Anda di halaman 1dari 6

5 cara menjadi guru yang kreatif

Bagaimana cara menjadi guru kreatif?


Guru menciptakan susasana kelas yang aman dan nyaman secara emosional dan
intelektual.
Sebagai guru, kerja keras kita salah satunya adalam menciptakan kelas yang memberik
keamanan secara emosional bagi siswa. Memang agar menjadi siswa yang percaya diri mereka
perlu mengambil resiko, tetapi di lingkungan yang tidak mendukung kenyamanan secara
emosional, siswa akan berpikir 1000 kali untuk mau bertanya dan berpendapat.
Anda juga bisa membuat peraturan kelas yang isinya antara lain Tidak boleh merendahkan atau
meremehkan pendapat orang lain, jangan lupa anda juga memberi contoh dahulu kepada siswa
untuk mengucapkan terima kasih dan menghargai untuk setiap pertanyaan, atau pendapat dari
siswa anda. Jika ini terjadi dikelas anda dijamin kelas akan berubah menjadi kelas yang setiap
individu didalamnya saling mendukung dan mudah untuk berkolaborasi dalam berpengetahuan.
Tidak hanya sampai disitu saja, kelas yang membuat guru menjadi guru kreatif semestinya juga
aman secara intelektual. Siswa bisa mandiri dan mengerti dimana letak alat tulis, dikarenakan
semua hal dikelas sudah disiapkan dengan rapih dan terorganisir. Siswa tahu apa yang harus
dikerjakan dikarenakan intruksi penugasan yang jelas oleh guru. Tidak hanya jelas tetapi juga
menantang dengan demikian siswa bisa mengekspresikan kemampuannya dalam mengerjakan
tugas yang guru berikan.
Guru mengukur dengan hati, seberapa besar keterlibatan (engagement) siswa dalam tugas
yang ia berikan.
Saya jadi ingat sebuah pertanyaan yang bersifat reflektif mengenai cara kita mengajar dan
membelajarkan siswa. Pertanyaan nya begini Jika saya adalah murid saya sekarang, seberapa
senang saya diajar oleh guru seperti saya?
Seorang guru yang ahli mampu menciptakan suasana kelas yang aktif dalam pembelajaran di
kelas yang diajarnya dalam presentasi keterlibatan yang penuh alias 100 persen. Artinya,
misalkan seorang guru mengajar selama 40 menit, maka selama 40 menit itu pulalah, siswa
belajar dengan aktif dan terlibat penuh dalam pembelajaran.
Tentu tidak dalam semalam semua guru bisa 100 persen menciptakan kelas yang aktif. Namun
membutuhkan latihan dan latihan. Tetapi jalan kesana akan lebih cepat apabila kita mau jujur
bertanya pada diri sendiri Seberapa besar siswa aktif atau terlibat penuh dalam pembelajaran
yang saya lakukan?.
5 menit terakhir yang menentukan

Jadikan 5 menit terakhir pembelajaran anda untuk merangkum, berbagi atau berefleksi mengenai
hal yang siswa sudah lakukan selama pembelajaran.
Bagilah menjadi dua pertanyaan besar, misalnya bagian mana yang paling berat dilakukan dan
susah dimengerti. Pertanyaan selanjutnya, pengetahuan baru apa yang kamu dapatkan hari ini?
Dengan demikian membuat siswa berdialog dengan dirinya sendiri mengenai proses belajar yang
telah dilakukannya.
Guru menciptakan budaya menjelaskan, bukan budaya asal menjawab dengan betul.
Ciri-ciri sebuah pertanyaan yang baik adalah pertanyaannya hanya satu tetapi mempunyai
jawaban yang banyak. Bandingkan dengan jenis pertanyaan yang hanya mempunyai satu
jawaban. Hal yang terjadi siswa akan berlomba menjawab dengan benar dengan segala cara.
Termasuk mencontek misalnya.
Sebagai guru budayakan pola perdebatan atau percakapan akademis di kelas kita. Saat
mendengarkan rekan mereka berbicara dan berargumen, mereka akan belajar memilih dan
membandingkan pendekatan atau cara yang orang lain lakukan untuk menjawab sebuah masalah
yang guru berikan.
Sebagai guru saat memberikan soal berikanlah siswa beberapa peluang kemungkinan dalam
menjawab sebuah soal. Misalnya soal yang bapak berikan ini punya tiga alternative, bisakah
kamu menemukan ketiga-tiganya?
Guru mengajarkan kesadaran siswa dalam memandang sebuah pengetahuan.
Saat membelajarkan siswa, dikarenakan keterbatasan kita, terkedang kita sudah membuat mereka
menebak atau mengarang-ngarang sebuah jawaban demi mendapatkan hasil yang benar. Hal ini
siswa lakukan secara sadar atau tidak sadar. Untuk itu mari kita letakkan gambar dibawah,
misalnya disamping soal yang kita berikan kepada siswa di kertas soal.
Dengan demikian sebagai guru kita menjadi tahu saat siswa menjawab soal dengan salah tapi
dengan keyakinan (for sure) atau menjawab soal dengan benar tapi dengan tidak yakin
(confused). Menarik bukan?
Posted 20th August 2011 by PGRI Kotar

10 tanda-tanda zaman dimana sebuah


bangsa sedang menuju jurang kehancuran,
yaitu:
1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja;
2. Membudayanya ketidak jujuran;
3. Sikap fanatik terhadap kelompok/peer group;
4. Rendahnya rasa hormat kepada orang tua & guru;
5. Semakin kaburnya moral baik & buruk;
6. Penggunaan bahasa yang memburuk;
7. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, &
seks bebas;
8. Rendahnya rasa tanggung jawab sebagai individu & sebagai warga negara;
9. Menurunnya etos kerja & adanya rasa saling curiga;
10. Kurangnya kepedulian di antara sesama
(Lickona. Educating for Character: How our school can teach respect &
responsibility., New Yor Bantam Books, 1992:12-22)
Posted 19th August 2011 by PGRI Kotar

Perbedaan Pendidikan di USA vs Indonesia


Email from: "sugengtriyono@yahoo.com" <sugengtriyono@yahoo.com>
*** Encouragement ****
...... LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar
di Amerika Serikat.
......Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence)
yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.
Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan
verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

......Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang


diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa
tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja

sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru
yang menerima saya hanya bertanya singkat. Maaf Bapak dari mana? Dari Indonesia, jawab
saya. Dia pun tersenyum.
*** Budaya Menghukum
......Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang
mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. Saya mengerti, jawab ibu
guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.
Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,
lanjutnya. Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini
bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! Dia
pun melanjutkan argumentasinya.
......Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu,
baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah
karya yang hebat, ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
......Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang
lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang
bergelimang nilai A, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus
menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap
menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
......Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun
suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak
ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya.
......Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya
sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan
mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal
sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut menelan
mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
......Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji
marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada
udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan
bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka
bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga,
kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang
tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
......Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di
Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi
penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka
punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang
membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan
saya.
......Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh
di depan, ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di
Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
......Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak
diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras,
seperti berikut. Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-

sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.


......Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya
ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia
pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan
gurunya salah. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
**Melahirkan Kehebatan
......Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut?
Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan
pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh
guru,sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman:
Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian
dan rapor di sekolah.
......Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih
disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat.
Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis,
melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat
tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya.
Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang
sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
.......Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita
renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan.
Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakutnakuti. (*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI......
Posted 11th May 2011 by PGRI Kotar

Metode CTL
Pembelajaran konteltual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru dalam
mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, dan memotivasi siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Melalui
pembelajaran kontektual diharapkan konsep-konsep materi pelajaran dapat diintegrasikan dalam
konteks kehidupan nyata dengan harapan siswa dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan
lebih baik dan mudah.
Pendekatan CTL itu memang bukan barang baru. Penelitian mengenai pembelajaran kontektual
kali pertama digulirkan John Dewey (1916). Ketika itu Demey menyimpulkan bahwa siswa
akan belajar denngan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan
terjadi di sekelilingnya.
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang
menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajarinya dan sekaligus
memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peran guru.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas
guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang
baru bagi siswa. Sesuatu yang baru itu didapat dari menemukan sendiri, bukan dari pada apa kata
guru.
"CTL merubah pola belajar yang tadinya siswa hanya memahami suatu konsep. Tetapi sekarang
siswa belajar dengan konsep belajar yang bermakna" kata Didik Suhardi, SH, MSI, Derektur
Pembinaan SMP.
Posted 11th April 2011 by PGRI Kotar

Anda mungkin juga menyukai