Anda di halaman 1dari 16

BAB I

STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama

: Ny. W

Usia

: 60 tahun

Alamat

: Grogol, Sukoharjo

No RM

: 305xxx

Tanggal pemeriksaan

: 7 September 2016

Jenis Pemeriksaan

: Foto Colon in Loop

B. Hasil Pemeriksaan Radiologi

Foto

: X Foto Colon In Loop, hasil:


Melalui cath dengan balon, kontras dimasukkan melalui lubang anus,
mengisi rektum, sigmoid, kolon descenden, transversum sampai di colon
ascenden
Pasang kontras lancar
Tampak haustra dan incisura menghilang dengan kaliber colon rectosigmoid sampai colon descenden mengecil
Tidak tampak filling defect maupun additional shadow

Kesan :

Menyokong gambaran Colitis colon descenden sampai recto-

sigmoid

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Istilah

kolitis

merujuk

pada

peradangan

kolon

yang

dapat

berhubungan dengan enteritis (peradangan usus kecil), proktitis (peradangan


rektum), atau keduanya (Piccoli et al2016). Kolitis termasuk dalam
Inflammatory Bowel Disease (IBD) yaitu penyakit inflamasi yang melibatkan
saluran cerna dengan penyebab pastinya belum diketahui jelas (Dojoningrat,
2009). IBD terbagi menjadi 3 jenis yaitu Crohns disease, kolitis ulseratif, dan
jika sulit dibedakan dimasukkan dalam kategori inderteminate colitis
(Djojoningrat, 2009).
Kolitis ulseratif merupakan penyakit peradangan usus idiopatik yang
menyerang mukosa dan ditandai gejala klinis diare, nyeri abdomen, dan
hematokezia (John Hopkins Medical Institution, 2013).

Gambar 1. Derajat pembagian perluasan keterlibatan usus dengan kolitis ulseratif


(Glickman, 2000)

B. Epidemiologi
Prevalensi penyakit ini di Amerika diperkirakan sebanyak 200 kasus
per 100.000 penduduk (Judge & Lichtenstein, 2003). Literatur menyebutkan
angka insiden kolitis ulseratif lebih tinggi pada wanita dibanding laki laki.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada usia dewasa, namun gejala dapat muncul
pada dekade ke lima atau enam. Diet, menyusui, kontrasepsi oral, dan
merokok telah diketahui sebagai faktor risiko kolitis ulseratif.
(John Hopkins Medical Institution, 2013)
C. Etiologi

Sementara ini penyebab kolitis ulseratif masih belum diketahui,


gambaran tertentu penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan
penting meliputi faktor genetik, infeksi, imunologik, dan psikologik (Judge &
Lichtenstein, 2003). Sebagai tambahan, beberapa kondisi dapat menyebabkan
kolitis yang memiliki patofisiologinya masing-masing, meliputi necrotizing
enterocolitis (NEC), kolitis alergi, kolitis pseudomembranosa, kolitis infeksi,
kolitis iskemik, dan kolitis sekunder akibat penyakit defisiensi imun (Piccoli,
2016).
D. Patogenesis
Patogenesis kolitis ulseratif masih belum diketahui. Beberapa teori
telah diajukan yang melibatkan gangguan vaskuler, mekanisme autoimun,
interaksi bakteri-imun, dan reaksi alergi atau hipersensitivitas.
Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit
yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menyebabkan IBD. Hipotesis
kedua adalah antigen dietary atau agen mikroba non patogen yang normal
mengaktivasi respon imun yang abnormal. Sehingga terbentuk mekanisme
penghambat yang gagal. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah
autoantigen yang dihasilkan epitel saluran cerna. Hipotesis autoimun ini
meliputi perusakan sel-sel epitel oleh sitotoksisitas seluler antibodydependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara langsung.
(Yamada, 2005)
E. Manifestasi Klinis
Gejala predominan pada kolitis ulseratif adalah diare, yang kadang
disertai darah. Pasien memiliki pergerakan usus yang sering akibat iritabilitas
dari rektum yang meradang (proktitis). Gejala lain meliputi nyeri rektal atau
abdominal, demam, dan berat badan menurun. Walau diare merupakan
keluhan paling dominan pada pasien kolitis ulseratif, beberapa pasien kadang
mengeluh konstipasi dan tenesmus.
(John Hopkins Medicine Institution, 2003)
Beberapa kasus ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah
berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik
(Glickman, 2000).
Derajat klinik kolitis ulsratif dapat dibagi atas berat, sedang, dan
tingan berdasarkan frekuensi diare, ada tidaknya demam, derajat anemia yang

terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove). Perjalanan penyakit kolitis
ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai
ringan yang bertambah berat secara gradual seetiap minggu. Berat ringannya
serangan pertama sesuai dengan panjang kolon yang terlibat. Lesi mukosa
bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa. Secara
endoskopik, penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif relatif lebih mudah
dengan menilai gradasi berat ringannya lesi pada mukosa dan luas bagian
usus yang telibat.
(Djojoningrat, 2009)
Aktivitas
Pergerakan usus
Suhu (C)
Denyut jantung per menit
Hemoglobin
Laju
sedimentasi
eritrosit
(mm/jam)
Albumin (g per dL)
Hematokrit (%)
Penurunan Berat badan (%)

Ringan
<4
Afebril
<90
>11
<20

Sedang
4-6
37,2 37,8
90-100
10,5-11
20-30

Berat
>6
>37,8
>100
<10,5
>30

Normal
Normal
Tidak ada

3.0-3,5
30-40
1-10

<3.0
<30
>10

Tabel 1. Klasifikasi keparahan kolitis ulseratif Truolove dan Witts (Chang, 2004)

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat klinis berguna untuk menyingkirkan berbagai macam
etiologi diare kronis pada pasien yang sebelumnya belum didiagnosis
kolitis ulseratif. Sebagai contoh, penggunaan antibiotik dalam waktu
dekat dapat menuju kolitis pseudomembranosa, riwayat perjalanan dapat
mengindikasikan kolitis infeksius, nyeri abdomen yang membaik dengan
pergerakan usus dapat menunjukkan Irritable Bowel Syndrome.
(Robert et al, 2007)
Pasien yang sudah didiagnosis kolitis ulseratif, adanya gejala
konstitusional dan manifestasi ekstraintestinal khususnya arthtritis dan
lesi kulit dapat sebagai petunjuk keparahan penyakit (Carter, 2004).
2. Pemeriksaan fisik
Temuan fisik pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik, bisa
terdapat nyeri abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus

ringan, pemeriksaan fisis umum akan tampak normal. Demam, takikardi


dan hipotensi postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih
berat.
(Glickman, 2000)
Manifestasi ekstrakolon bisa dijumpai. Hal ini termasuk penyakit
okular (iritis, uveitis, episkleritis), keterlibatan kulit (eritem nodusum,
pioderma gangrenosum), dan atralgia/artritis (periferal dan aksial
artropati). Kolangitis sklerosis primer jarang dijumpai (Jin, 2006).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan
derajat dan berat perdarahan dan inflamasi. Anemia dapat ditemukan yang
mencerminkan penyakit kronik serta deefisiensi besi akibat kehilangan
darah kronis. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju
endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat.
Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia mencerminkan derajat diare.
Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan
biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa ynag
ulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit
hepatobiliraris yang berhubungan.
(Glickman, 2000)
4. Gambaran Radiologi
a. Foto polos abdomen
Pemendekan kolon dan hilangnya haustral tampak pada foto
polos serta foto dobel kontras barium enema (John Hopkin Medicine
Instituion, 2013). Foto polos abdomen banyak digunakan dan
menyediakan informasi penting pada saat keadaan akut. Foto polos
abdomen biasanya dilakukan tanpa penggunaan kotras intravena, oral
maupun rektal (Autenrieth, 2012).
Jika didapatkan klinis perforasi, film supine dan tegak harus
dilakukan, dan posisi left decubitus sebagai alternatif jika pasien tidak
bisa berdiri (Deepak & David, 2012). Dilatasi merupakan gambaran
paling sering pada kolon trasnversum, dan tanda lain yang
menandakan adanya inflamasi aktif meliputi colonic air-fluid level

atau hilangnya haustrasi kolon (Autenrieth, 2012). Pada kasus yang


lebih berat, kolon dapat menunjukkan gambaran nodular, iregulan
dengan mucosal islands (Feldman et al, 2010).

Gambar 2. Pasien wanita 32 tahun dengan kolitis ulseratif . Foto polos abdomen
menunjukkan area thumbprintingmengarah ke edema dinding kolon
(Deepak & David, 2014)

Gambar 3. Foto polos abdomen menunjukkan penebalan dinding usus di seluruh


kolon.

Penebalan

lipatan

haustral

menimbulkan

gambaran

thumbprinting (Deepak & David, 2014)

b. Barium enema
Merupakan alat evaluasi pasien kolitis ulseratif paling efektif
dan aman yang dapat menunjukkan ulserasi dan fistula (Yamada,
2005). Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema, dilakukan
persiapan meliputi memakam makanan rendah serat atau rendah rsidu

selama 2 hari berturut turut, dan minum air putih yang banyak, dan
jika diperlukan dapat diberikan laksatif peroral (Murna, 2005).
Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik
kontras tunggal maupun dengan kontras ganda yaitu barium sulfat dan
udara. Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa
kolon dibandingkan teknik single contrast, walaupun prosedur
pelaksanaannya

cukup

sulit.

Teknik

double-contrast

ini

memungkinkan mukosa dilapisi oleh lapisan tipis dari barium dan


lumen tetap distensi dengan udara. Pemeriksaan ini dapat digunakan
untuk inflamasi aktif dan menentukan perluasan penyakit namun
perannya sudah dikurangi oleh endoskopi. Gambaran foto barium
enema pada kasus kolitis ulseratif adalah mukosa kolon yang granuler
dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak kaku seperti
tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada
seluruh kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme.
Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon.
(Avunduk, 2002)

Gambar 4. Pemeriksaan barium enema double-contrast menunjukkan hilangnya


lipatan haustral di seluruh kolon desenden dengan ulserasi. Kolon
terlihat gambaran lead-pipe (Murna, 2005)

Gambar 5. Foto barium enema single-contrast pada anak 8 tahun dengan kolitis
ulseratif menunjukkan hilangnya lipatan haustral di bagian distal dan
colon asenden dengan gambaran tubular (Iannaccone et al, 2005)

c. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi langsung keadaan intralumen dan
ekstralumen, serta mengevaluasi sejauh mana komplikasi ekstralumen
kolon yang telah terjadi. Gambaran CT scan pada kolitis ulseratif
tampak dinding usus menebal secara simetris dan jika terpotong
melintang maka terlihat gambaran target sign. Komplikasi di luar usus
dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau
keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium.
(Murna, 2005)

Gambar 6. CT enterografi pada wanita 55 tahun dengan kolitis ulseratif pankolon.


Panah putih menunjukkan daerah yang mengalami penebalan dinding
(Deepak & David2014).

Gambar 7. CT scan transversal pada wanita 35 tahun dengan kolitis ulseratif dan
toxic megakolon menunjukkan kolon transversus distended dengan
mukosa yang kasar (Ruedi & John, 2006).

Gambar 8. CT scan potongan transversal pada wanita 32 tahun dengan kolitis


ulseratif dan diare berdarah menunjukkan halo ganda atau target sign
dengan lapisan dalam mukosa (tanda panah) dan lapisan luar lamina
propria muskularis (kepala panah) akibat edema submukosa (Ruedi &
John, 2006)

5. Gambaran Kolonoskopi
Kolonoskopi merupakan prosedur yang membutuhkan waktu 30-60 menit
dan dapat memeriksa keseluruhan usus besar dari rektum melalui kolon
ke ileum terminalis. Zat sedatif diperlukan sehingga pasien tidak
mengalami ketidaknyamanan. Kolon harus kosong sebelum dilakukan
pemeriksaan kolonoskopi. Pasien harus diet cairan selama 1-2 hari
sebelum pemeriksaan dan dapat diberikan laksatif atau enema untuk
membersihkan kolon.

10

(John Hopkins Medicine Institution, 2013)


G. Diagnosis Banding
Penyakit
Crohns Disease

Gejala khas
Lesi perianal, hematokezia lebih

Kolitis infeksius

sering dibanding kolitis ulseratif


Onset mendadak, patogen pada feses,

Kolitis iskemik

nyeri abdomen predominan


Menyerang usia lebih tua, kadang
terdapat penyakit vaskuler, onset

Kolitis pseudomembranosa

mendadak, kadang nyeri


Penggunaan antibiotik dalam waktu
dekat, Clostridium difficile
Toxin terdeteksi pada feses

Tabel 2. Diagnosis Banding Kolitis ulseratif (Robert, 2007)

H. Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi komplikasi perforasi usus,
terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, megakolon toksik, perdarahan,
dan dgenerasi maligna. Diperkirakan risiko terjadinya kanker pada IBD
kurang lebih 13%.
(Djojoningrat, 2009)
I. Tatalaksana
Kolitis ulseratif tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan, tujuan
pengobatan dengan obat adalah untuk 1) menginduksi remisi, 2)
mempertahankan remisi, 3) meminimalkan efek samping pengobatan,
4) meningkatkan kualitas hidup, dan 5) meminimalkan risiko kanker (Marc
D, 2011).
Pengobatan kolitis ulseratif dilakukan dengan pemberian obat-obatan
yang secara luas atau selektif efektif dalam mengontrol keakutan penykit dan
menghambat remisi gejala dalam jangka waktu yang lama. Pengobatan kolitis
ulseratif juga menerapkan prinsip stepladder menggunakan regimen yang
lebih

poten

hanya

diberikan

pada

pasien

yang

gagal

berespon

dengan pengobatan sebelumnya (Podolsky, 2002).


Terdapat beberapa regimen yang digunakan yaitu:
1. Asam 5- aminosalisilat

11

Asam 5- minosalisilat atau yang dikenal sebagai sulfasalazine


menjadi obat pilihan utama dalam pengobatan kolitis ulseratif yang ringan
sampai sedang.
2. Kortikosteroid
Prednison dengan dosis 40- 60 mg/ hari secara oral terbukti dapat
menyembuhkan 75- 90% pasien dengan kolitis ulseratif. Seperti pada
penyakit

crohn,

pengunaan

kortikosteroid

jangka

panjang

tidak

dianjurkan. Pasien yang diterapi dengan kortikosteroid harus diterapi


bersama dengan asam 5-aminosalisilat untuk mendapatkan keuntungan
obat tersebut yaitu steroid sparing effect. Setelah terlihat adanya
perbaikan, maka kortikosteroid di turunkan dngan cara tappering off
dalam jangka waktu 6-8 minggu.
Pasien yang tidak responsif terhadap asam 5-aminosalisilat,
kemudan diterapi dengan hidrocortisone enema (100mg) satu sampai dua
kali sehari. Kortikosteroid foam dan suppositoria dapat digunakan untuk
pengobatan ulseratif proktitis.
3. Imunosupresan
Penggunaan imunosupresant diindikasikan jika pasien tidak respon
atau ketergantungan terhadap kortikosteroid. Masih dimungkinkan untuk
penggunaan 6-mercaptopurin dalam tahap awal penyakit pada beberapa
pasien, tetapi penggunaannya jangan menunda keempatan untuk operasi
pada kolitis yang ekstensif yang juga beresiko untuk menderita kanker.
Penggunaan cyclosporin pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter
terhadap kortikosteroid intravena dapat dicoba. Pada kelompok pasien ini
cyclosporin intravena tampaknya menginduksi remisi cepat pada lebih
80% pasien.
4. Pembedahan
Secara umum indikasi terapi pembedahan adalah kolitis ulseratif
disertai perforasi, perdarahan hebat, displasia atau kanker, dan tidak
respon terhadap 7-10 hari terapi kortikosteroid ataupun cyclosporin. Peran
proktokolektomi pada pasien dengan penyakit ekstensif yang lama masih
kontroversial. Di masa lalu operasi standar untuk kolitis ulseratif adalah
proctokolectomi baik disertai dengan ileostomy (Brooke) atau teknik yang

12

lebih sulit continent ileostomy (Koch). Prosedur ini adalah abdominal


colectomi yang dilakukan dengan membuat anastomosis antara kantong
(pouch) distal ileum dengan rektum distal (cuff). Biasanya diverting
ileostomy dilakukan juga untuk memungkinkan pouch dan anastomosis
menyembuh dalam beberapa bulan. Operasi ini disebut ileoanal
pullthrough atau ileal pouch-anal anastomosis. Komplikai yang sering
terjadi pasca operasi adalah pouchitis yang ditandai dengan frekuensi
defekasi yang meningkat, urgensi, kram, dan malaise. Hal tersebut
berhubungan dengan adanya stasis dalam puoch.
(Glickman, 2000)

KESIMPULAN
Kolitis merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar
mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut

13

dan demam. Kolitis bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya dimulai
antara umur 15-30 tahun.Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa tidak
selalu

memperngaruhi

seluruh

ketebalan

dari

usus

dan

tidak pernah

mengenai usus halus. Diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang. Radiologi berperan penting dalam menyingkirkan
diagnosis banding. Pengobatan kolitis ulseratif memiliki tujuan adalah untuk
1.
2.
3.
4.
5.

Menginduksi remisi
Mempertahankan remisi
Meminimalkan efek samping pengobatan
Meningkatkan kualitas hidup
Meminimalkan risiko kanker
Prognosis dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon

terhadap pengobatan konservatif.

DAFTAR PUSTAKA
Autenrieth, D. M., Baumgart D. C. 2012. Toxic Megacolon. Inflamm Bowel
Dis;18:58491.
Avunduk, C. 2002. Inflammatory Bowel Disease, Manual of Gastroenterology:
Diagnosis and Therapy. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins p. 239-56
14

Carter, M. J., Lobo A. J., Travis S. P. 2004. British Society of Gastroenterology:


Guidelines for the management of inflammatory bowel disease in
adults. (53 suppl 5):V1-16.
Chang, J. C., Cohen RD. 2004. Medical management of severe ulcerative colitis.
Gastroenterol Clin North Am ;33:236
Deepak, Parakkal and David H. Bruining. 2014. Gastroenterology Report.
Gastroenterology Report Advance Access. pg 1-9
Djojoningrat, D. 2009. Inflammatory Bowel Disease Alur Diagnosis dan
Pengobatan di Indonesia. Dalam: Sudoyo A. W. et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit
Dalam FK UI:. 384-388.
Feldman, M., Friedman L. S., Brandt L. E. et al. 2010. Sleisenger And Fordtrans
Estinal And Liver Disease: Pathophysiology, Diagnosis, Management,
9th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Glickman, R. M., 2000. Penyakit Radang Usus (Kolitis dan penyakit Crohn)
dalam: Asdie A. H., editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. vol 4 ed 13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC 1577-91
Iannaccone, R, Celestre M., Marin D. 2005. Ulcerative colitis: Conventional
radiographic findings in a child. Euro Sos of Rad pg 1-5
Jin, Choo. O. 2006. Inflammatory Bowel Disease. In: Guan R et al., editors.
Management of Common Gastroenterological Problems: A Malaysia &
Singapore Perspective. 4th ed. Singapore: Ezyhealth p 116-222
Judge, T. A., Lichtenstein G. R. 2003. Inflammatory Bowel Disease. In: Friedman
S. L., Mc Quaid K. R., Grendell J. H., editors. Current Diagnosis and
Treatment in Gastroenterology 2nd ed. International ed. New York:
Mcgraw-Hill
Marc,

D.
Basson.
2011.
Ulcerative
Colitis.
http://emedicine.medscape.com/article/183084-overview. diakses 14
September 2016

Murna, I. W. 2005. Gambaran Radiologi pada Inflammatory Bowel Disease


dalam: Simadibrata M., Syam A. F., editor. Update in Gastroenterology
Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI p: 70-9

15

Piccoli, David A. et al. 2016. Colitis. emedicine.medscape.com/article/927845overview#a2. Diakses 12 Septembr 2016


Podolsky, Daniels. 2002. Inflammatory Bowel Disease. The New England Journal
of Medicine. Vol 347 No 6. pp 417-427.
Robert, C. Langan; Patricia B. Gotsch; Michael A. Krafczyk; And David D.
Skillinge,. 2007. Ulcerative Colitis: Diagnosis and Treatment. Am Fam
Physician ;76:1323-30, 1331
Ruedi, F. Thoeni, John P. 2006. CT Imaging of Colitis. RSNA: Volume 240:
Number 3p 623-38
Yamada, T. 2005. Inflammatory Bowel Disease, Handbook of Gastroenterology.
2nd ed. PhiladelphiaL Lippincott Williams & Wilkins. p: 357-73

16

Anda mungkin juga menyukai