Anda di halaman 1dari 47

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki ada perempuan
salah satu ciri makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk generasi
atau melanjutkan keturunan. Oleh Allah manusia diberikan karunia berupa pernikahan
untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan melestarikan
generasinya.
Untuk merealisasikan terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah
hubungan yang benar-benar manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa
ajaran pernikahan yang sesuai dengan syariat-Nya. Islam menjadikan lembaga
pernikahan itu pulan akan lahir keturunan secara terhormat, maka adalah satu hal yang
wajar jika pernikahan dikatakan wajar pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa dan
sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.

B. Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi nikah
2. Untuk mengetahui hukum-hukum nikah
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat nikah
4. Untuk mengetahui hikmah dan tujuan pernikahan
5.Talak,macam-macam talak dan iddah
6.Hal-hal yang terlarang sehubungan dengan pernikahan

BAB II
PEMBAHASAN

A. HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN


1. Arti Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata
kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut
istilah syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan
diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi terwujudnya keluarga
bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat
memenuhi kebutuhan biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi
dan dikasihi, serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian,
dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau
sunnah Rasul. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji Allah SWT dan menyanjungNya, beliau bersabda: Akan tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi
wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku, maka bukanlah dia dari golonganku.
(HR. Al-Bukhari dan muslim)

2. Hukum Pernikahan

a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah


Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan
boleh ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa.
Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan,
hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.

b. Nikah yang Hukumnya Sunnah


Sebagian besar ulama berpendapat bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang
mereka kemukakan bahwa perintah nikah dalam berbagai Al-Quran dan hadits hanya
merupakan anjuran walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits tersebut.
Akan tetapi, bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak semua amar harus wajib,
kadangkala menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah. Adapun nikah
hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah dan berkehendak
untuk nikah.

c. Nikah yang Hukumnya Wajib


Nikah menjadi wajib menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai
ayat dan hadits sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan
hadits riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah saw., Barang siapa yang tidak
mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor
tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah
mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi
seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah
SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.

Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab
sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu. (HR. Al-Hakim dan Abu
Daud)

d. Nikah yang Hukumnya Makruh


Hukum nikah menjadi makruh apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah
mempunyai keinginan atau hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk
memberi nafkah tanggungannya.

e. Nikah yang Hukumnya Haram


Nikah menjadi haram bagi seseorang yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan
yang dinikahinya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa
hawa nafsunya terhadap prempuan akan berkurang. (HR. Jamaah Ahli Hadits)
Firman Allah di dalam Al-Quran:

Maka nikahilah wanita yang engkau senangi. (QS.An-Nisa/4:3)

Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orangorang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan

kemampuan-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), MahaMengetahui. (QS.AnNur/24:32)

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian1036 diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.(Q.S An-Nur/24:32)

Berpijak dari firman Allah dan hadits sebagaimana tersebut di atas, maka bahwa dapat
dijelaskan bahwa hukum menikah itu akan berubah sesuai dengan faktor dan sebab yang
menyertainya. Dalam hal ini setiap mukalaf penting untuk mengetahuinya. Misalnya,
orang-orang yang belum baligh, seorang pemabuk, atau sakit gila, maka dalam situasi
dan kondisi semacam itu seseorang haram uinutuk menikah. Sebab, jikja mereja menikah
dikhawatirkan hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih besar pada orang lain.

3. Rukun Nikah
Rukun nikah adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk melangsungkan suatu
pernikahan. Rukun nikah terdiri atas:

b.

c. Sigat akad, yang terdiri atas ijab dan kabul. Ijab dan kabul ini dilakukan olehy wali
mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Ijab diucapkan wali mempelai perempuan
dan kabul diucapkan wali mempelai laki-laki.
C. RUKUN DAN SYARATNYA PERNIKAHAN
Rukun pernikahan ada lima:
1. Mempelai laki-laki syaratnya: bukan dari mahram dari calon istri, idak terpaksa, atas
kemauan sendiri, orangnya tertentu, jelas orangny,calon suami, syaratnya antara lain
beragama Islam, benar-benar pria, tidak karena terpaksa, bukan mahram (perempuan
calon istri), tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
2. Mempelai perempuan syaratnya-syaratnya: tidak ada halangan syarI yaitu tidak
bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri,
jelas orangnya. Calon istri, syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar
perempuan, tidak karena terpaksa, halal bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang
ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 16 tahun.
3. Wali (wali si perempuan) keterangannya adalah sabda Nabi Saw:

Barangsiapa diantara perempuan yang menikah dengan tanpa izin walinya, maka
pernikahannya batal (Riwayat Empat Ahli Hadis kecuali NasaI)
Dan syarat-syaratnya: laki-laki, baligh, waras akalnya, tidak dipaksa, adil.
d. Wali mempelai perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa),
berakal sehat, merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau
umrah. Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan
pernikahannya.
Sabda Nabi Muhammad saw.:

Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersbda: perempuan mana saja yang menikah tanpa izin
walinya, maka pernikahan itu batal (tidak sah). (HR. Al-Arbaah kecuali An-Nasai)
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung, bapak tiri tidak sah menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai perempuan.
3) Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara laklaki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak.
7) Paman (saudara laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki paman.
9) Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali yang tersebut di atas semuanya tidak ada,
sedang berhalangan, atau menyerahkan kewaliannya kepada hakim. .
e. Dua orang saksi, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat,
merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah. Pernikahan
yang dilakukan tanpa saksi adalah tidak sah.

Sabda Nabi Muhammad saw.:


Dari Aisyah ra., Rasulullah saw. bersabda: Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan
dua orang saksi yang adil. (HR. Ibnu Hiban)
4. Dua orang saksi
( )
Tidak sah nikah kecuali dengan wali dengan 2 saksi yang adil (HR. Ahmad)
Syarat-syaratnya: laki-laki, baligh, waras akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat,
bebas (tidak dipaksa), memahami bahasa yang digunakan ijab qabul.

5. Sighat (akad) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali Saya
nikahkan kamu dengan anak saya bernama.. jawab mempelai laki-laki
Saya terima menikahi, boleh juga didahului perkataan dari pihak
mempelai seperti Nikahkanlah saya dengan anakmu jawab wali Saya nikahkan
engkau dengan anak saya.. karena maksudnya sama.
Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya.
Sabda Rasulullah Saw:
( )
Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil mereka
dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat
Allah (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan kalimat kalimat Allah dalam hadis ialah Al-Quran, dan dalam
Al-Quran tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij) maka harus dituruti
agar tidak salah pendapat yang lain, asal lafadz akad tersebut maqul mana, tidak
semata-mata taabbudi.

4. Pernikahan yang Terlarang


Pernikahan yang terlarang aalah pernikahan yang di haramkan oleh agama Islam. Adapun
penikahan yang terlarang adalah sebagai berikut:
a. Nikah Mutah
Nikah mutah adalah pernikahan yang diniatkan dan diakadkan untuk sementara waktu
saja (hanya untuk bersenang-senang), misalnya seminggu, satu bulan, atau dua bulan.
Masa berlakunya pernikahan dinyatakan terbatas. Nikah mutah telah dilarang oleh
rasulullah saw. sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits:

Dari Rabi bin Sabrah al-Juhani bahwasannya bapaknya meriwayatkan, ketika dia
bersama rasulullah saw., beliau bersabda: wahai sekalian manusia, dulu pernah aku
izinkan kepada kamu sekalian perkawinan mutah, tetapi ketahuilah sesungguhnya Allah
telah mengharamkannya sampai hari kiamat. (HR. Muslim)

b. Nikah Syigar
Nikah syigar adalah apabila seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya dengan
tujuan agar seorang laki-laki lain menikahkan anak perempuannya kepada laki-laki
(pertama) tanpa mas kawin (pertukaran anak perempuan). Perkawinan ini dilarang
dengan sabda Rasulullah saw.
Dari Ibnu Umar ra., sesungguhnya Rasulullah saw. melarang perkawinan syigar. (HR.
Muslim)

c. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan yang tidak ditalak bain, dengan bermaksud pernikahan tersebut membuka
jalan bagi mantan suami (pertama) untuk nikah kembali dengan bekas istrinya tersebut
setelah cerai dan habis masa idah.

Dikatakan muhallil karena dianggap membuat halal bekas suami yang menalak bain
untuk mengawini bekas istrinya. Pernikahan ini dilarang oleh rasulullah saw. dengan
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Masud:
Dari Ibnu Abbas ra., Rasulullah saw. melaknat muhallil (yang mengawini setelah bain)
dan muhallil lalu (bekas suami pertama yang akan mengawini kembali). (HR. Al-Kamsah
kecuali Nasai)

d. Kawin dengan pezina


Seorang laki-laki yang baik-baik tidak diperbolehkan (haram) mengawini perempuan
pezina. Wanita pezina hanya diperbolehkan kawin dengan laki-laki pezina, kecuali kalau
perempuan itu benar-benar bertobat.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran.

Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan
perempuan musyrik; dan Pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina
laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang
mukmin. (QS. An-Nur/24:3)

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
oran-orang yang mu'min (Q.S An-Nur/24:3)

Akan tetapi, kalau perempuan pezina tersebut sudah bertobat, halallah perkawinan yang
dilakukannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
Dari Abu Ubaidah bin abdullah dari ayahnya berkata: Bersabda rasulullah saw.: Orang
yang bertobat dari dosa tidak ada lagi dosa baginya. (HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, secara lahiriah perempuan pezina kalau benar-benar bertobat, maka
dapat kawin dengan laki-laki yang bukan pezina (baiuk-baik)

B. HIKMAH PERNIKAHAN

Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia
merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap
keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat
penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia.
Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke
lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai
kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin,
kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini
dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.

1. Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih Sayang dan ketentraman


Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan rohaniah sudah
pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan jasmaniah perlu
dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada kebutuhan pria yang
pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga sebaliknya. Pernikahan
merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan. Pernikahan merupakan
lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman, dan kasih sayang
keluarga.
Allah berfirman:

Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia meniptakan pasangan-pasangan


untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS. ArRum/30:21)

2. Pernikahan Dapat Melahirkan keturunan yang Baik


Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang shaleh adalah
idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak yang shaleh akan selalu
mendoakan orang tuanya.
Rasulullah saw. bersabda:
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw., bersabda: Apabila telah mati manusia cucu
Adam, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya. (HR. Muslim)

3. Dengan Pernikahan, Agama Dapat Terpelihara


Menikahi perempuan yang shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik.
Pelaksanaan ajaran agama terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan
teratur. Rasulullah saw. memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh.
Mempunyai istri yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan setengah
dari urusan agamnya. Beliau bersabda:
Dari Anas bin malik ra., Rasulullah saw., bersabda: Barang siapa dianugerahkan Allah
Istri yang shalehah, maka sungguh Allah telah menolong separuh agamanya, maka
hendaklah ia memelihara separuh yang tersisa. (HR. At-Thabrani)

4. Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian martabat Seorang Wanita


Wanita adalah teman hidup yang paling baik, karena itu tidak boleh dijadikan mainan.
Wanita harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya.
Pernikahan merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik dan terhormat.
Sesudah menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli pasangannya secara
baik dan terhormat pula.

Firman Allah dalam Al-Quran:

Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. (QS. An-Nisa/4:19)

Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang
pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina
dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piarannya. (QS. AnNisa/4:25)

5. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan


Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu seksual. Nafsu ini
memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat, dan sah adalah melalui
pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau nikah dan tetap mencari penyaluran

yang tidak sehat, dan melanggar aturan agama, maka akan terjerumus ke lembah
perzinahan atau pelacuran yang dilarang keras oleh agama.

Firman Allah dalam Surah Al-isra ayat 32:

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra/17:32)

Jelasnya, hikmah pernikahan itu adalah sebagai berikut:


Menciptakan struktur sosial yang jelas dan adil.
Dengan nikah, akan terangkat status dan derajat kaum wanita.
Dengan nikah akan tercipta regenerasi secara sah dan terhormat.
Dengan nikah agama akan terpelihara.
Dengan pernikahan terjadilah keturunan yang mampu memakmuram bumi.

Pengertian Nikah
secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad.
secara syari : dihalalkannya seorang lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang,
melakukan hubungan seksual, dll .
Hukum Nikah
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada
kondisi pelakunya :

Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam
zina.
Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau
alasan yang mengharamkan menikah.
Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan
isterinya.
Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan
isterinya.
A. TUJUAN DAN HIKMAH NIKAH
Tujuan Nikah ditinjau dari:
TUJUAN FISIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang
memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
TUJUAN PSIKOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan
jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
TUJUAN SOSIOLOGIS

Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :


1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga.
2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota
keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
TUJUAN DAWAH
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
1. Menjadi obyek wajib dawah pertama bagi sang dai.
2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat
muslim dan nonmuslim.
3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam dawah.
4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan
Islam tidak mensyariatkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan
dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan
maslahat bagi pelaksananya :
1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21)
2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa : 1, An Nahl :
72)
Rasulullah berkata : Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak.
Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku. (HR. Baihaqi)
4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : Wahai pemuda, barang siapa
diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan
pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena

sesungguhnya puasa itu sebagai wija (pengekang syahwat) baginya. (HR Bukhari dan
Muslim dalam Kitab Shaum)
B. PEMINANGAN (KHITBAH) SEBELUM PELAKSANAAN PERNIKAHAN
Definisi Peminangan
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat dalam pendefinisian peminangan. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang
lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung
kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh
secara langsung ataupun dengan perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai
permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas.
Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan
pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk
melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan
yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada
anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian
seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah
proses permintaan atau pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh
dua orang, lelaki dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian.
Pinangan (khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
Dasar dan Hukum Pinangan

Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi
SAW. Bersabda kepadanya, Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya
melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya. (H.R. Nasai
dan Tirmizi).
Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata, Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang
seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang
perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,Sudahkah engkau lihat
wajahnya? laki-laki itu menjawab, belum. Rasulullah bersabda lagi, pergi dan
lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang
menjadi cacat. (H.R. Muslim dan Nasai).
Memang terdapat dalam al-quran dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal
peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam al-quran maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena
itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya,
dalam arti hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan
bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadishadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan
tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu.
Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam
hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing,
kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang

mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor
syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan
ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling
menjaga, merawat dan melindungi.
Sebagai penguat ikatan perkawinan ynag diadakan sesudah itu, karena dengan
peminangan itu kedua belah pihak dapat saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata
kepada seseorang yang telah meminang perempuan: melihatlah kepadanya karena yang
demikian akan lebih menguatkan ikatan perkawinan.
Macam-Macam Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya sebagai berikut:
1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak
mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,saya
berkeinginan untuk menikahimu.
2. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau
dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan
maksud lain, seperti pengucapan,tidak ada orang yang tidak sepertimu.
Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya
boleh dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan
sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun
dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh
meminangnya dengan menggunakan bahasa terus terang tadi.
Hal-Hal yang Berkaitan dengan Peminangan.
1. Norma Kedua Calon Pengantin Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan
termasuk dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini,

karena peminangan (khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi
tenang akibat telah saling mengetahui.
Oleh karena itu, walaupun telah terlaksana proses peminangan, norma-norma pergaulan
antara calon suami dan calon istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh
memperlihatkan hal-hal yang dilarang untuk diperlihatkan.
2. Peminangan Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang.
Seluruh ulama bersepakat bahwa peminangan seseorang terhadap seseorang yang telah
dipinang adalah haram. Ijma para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua, yang
datang setelah pinangan yang pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi apabila:
* Perempuan itu senang kepada laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu
secara jelas (Sharahah) atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan
itu.
* Pinangan kedua datang tidak dengan izin pinangan pertama.
* Peminang pertama belum membatalkan pinangan.
Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang berbunyi, Janganlah kalian membeli sesuatu
pembelian saudara kalian, dan janganlah kalian meminang pinangan saudara kalian,
kecuali dengan izinnya.
Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna.
Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain.
Adapun mengenai pinangan yang belum sempurna, dengan pengertian masih menunggu
jawaban, beberapa ulama berbeda pendapat. Hanafiah mengatakan, pinangan terhadap
seseorang yang sedang bingung dalam menentukan keputusan adalah makruh. Hal ini
bertentangan dengan pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya
perbuatan itu tidak haram. Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang
dilamar oleh tiga orang sekaligus, yaitu Muawiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah

bin Zaid. Hal itu terjadi setelah selesainya masa iddah Fatimah yang telah ditalak oleh
Abu Umar bin Hafsin.
Walaupun demikian, pendapat Hanafi lebih kuat landasannya karena sesuai dengan tata
perilaku islam yang mengajarkan solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap
seseorang yang sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan lebih berdampak
pada pemutusan silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu
psikologis yang dipinang.
3. Orang-Orang yang Boleh Dipinang.
Pada dasarnya, seluruh orang yang boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang.
Sebaliknya, mereka yang tidak boleh untuk dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang.
Dalam hal ini, ada syarat agar pinangan diperbolehkan.
* Bukan Orang-Orang yang Dilarang Menikahinya.
* Bukan Orang-Orang yang Telah Dipinang Orang Lain.
* Tidak Dalam Masa Iddah
3. Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para ulama terbagi menjadi empat bagian:
* Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian.
Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan
seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya.
* Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
* Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut
Hambali.
* Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al-Auzai.

* Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini
berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika
meminang.
4. Waktu dan Syarat Melihat Pinangan
Imam Syafii berpendapat bahwa seorang calon pengantin, terutama laki-laki, dianjurkan
untuk melihat calon istrinya sebelum pernikahan berlangsung. Dengan syarat bahwa
perempuan itu tidak mengetahuinya. Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut terjaga.
Baik dengan izin atau tidak.
Imam Maliki dan Imam Hambali mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat
kebutuhan mendesak. Itu disebabkan agar tidak menimbulkan fitnah dan menimbulkan
syahwat.
Wahbah Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan
tidak dengan syahwat.
C. PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)
PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah =
mengawinkan wanita.
secara syari : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat
perantara walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan shalih.
RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini :

1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada
mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai
bukti kerelaan kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai
miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian,
disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a) Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221, Al
Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a) Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat
QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b) Tidak ada halangan syari (tidak bersuami, tidak dalam masa iddah & bukan mahrom
dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.

e) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.


4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki laki seayah
g) Paman sekandung
h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari paman sekandung
j) Anak laki-laki dari paman seayah.
k) Hakim
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi,
tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar
pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah

a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).


b) Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari
seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat
QS. An Nisaa : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syariat Islam menyerahkan perkara ini
untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus
berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan
pernah pula
E.TALAK
Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat dari kata

ithlaq, yang berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syari, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan.
Dalil Dibolehkannya Talak

Allah Taala berfirman,



Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al Baqarah: 229)

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) (QS. Ath
Tholaq: 1)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak
istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam. Lalu Umar bin Al Khottob radhiyallahu anhu menanyakan masalah ini
kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam
lantas bersabda,



Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian
haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh
mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah sebagaimana
yang telah diperintahkan Allah 'azza wajalla.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi menyatakan bahwa para ulama sepakat (berijma) akan
dibolehkannya talak. Ibroh juga menganggap dibolehkannya talak. Karena dalam rumah
tangga mungkin saja pernikahan berubah menjadi hal yang hanya membawa mafsadat.
Yang terjadi ketika itu hanyalah pertengkaran dan perdebatan saja yang tak kunjung
henti. Karena masalah inilah, syariat Islam membolehkan syariat nikah tersebut diputus
dengan talak demi menghilangkan mafsadat.

Kritik Hadits
Adapun hadits yang berbunyi,




Perkara yang paling dibenci Allah Taala adalah talak.Dalam sanad hadits ini ada dua
illah (cacat): (1) dhoifnya Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, (2) terjadi
perselisihan di dalamnya. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ahmad bin Yunus Abu
Daud menyebutnya tanpa menyebutkan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma. Sanad hadits
dari Al Hakim dinilaidhoif. Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits yang dhoif. Di
antara yang mendhoifkannya adalah Al Baihaqi, Syaikh Al Albani, dan Syaikh Musthofa
Al Adawi.
Hukum Talak
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang
makruh, ada yang wajib, ada yang sunnah dan ada yang boleh.
Rincian hukum talak di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, talak yang haram yaitu talak bidi (bidah) dan memiliki beberapa bentuk.
Kedua, talak yang makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika
pernikahan yang ada diteruskan.
Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang di antara bentuknya adalah adanya perpecahan
(yang tidak mungkin lagi untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang disebabkan karena si istri tidak memiliki
sifat afifah (menjaga kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkaraperkara yang wajib dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat
itu ia pun sulit diperingatkan.

Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan
bertingkah laku jelek dan mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih
tujuan dari menikah.

1. Talak Sunni dan Talak Bidi


Talak dipandang dari aspek sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syara terbagi pada
dua bagian; a. Talak sunni dan b. Talak bidi. Ulama fikih beraneka ragam dalam
menstandari batasan-batasan talak sunni dan bidi.
Kalangan Hanafiyah membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu: a. Talak ahsan b. Talak
hasan dan c. Talak bidi.
Talak ahsan adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak satu,
pada masa suci dan tidak disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan (tidak
mentalak lagi) pada istrinya sampai iddahnya berakhir dengan tiga kali haid. Talak hasan
adalah talak yang dilakukan suami pada istrinya dengan talak tiga, dalam waktu tiga kali
suci dan disetiap masa suci dilakukan talak satu. Sedangkan Talak bidi adalah talak yang
dijatuhkan suami pada istrinya dengan talak tiga, atau talak dua dengan memakai satu
kalimat, atau ia mentalak tiga dalam satu masa suci.
Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bidi dengan
memberi syarat-syarat tertentu. Ada empat syarat talak dapat dikategorikan talak sunni:
a. Perempuan pada waktu ditalak suci dari haid dan nifas,
b. Suami tidak menjimanya pada waktu,
c. Suami mentalak satu,
d. Suami tidak mentalak istrinya yang kedua kali sampai masa iddahnya berakhir.
Dan menurut mereka, talak bidi adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau
seluruhnya. Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak

istrinya pada masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa
suci itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bidi pada isrinya
ia dipaksa untuk rujuk kembai sampai masa iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau
untuk merujuknya, Hakim boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap
enggan untuk merujuknya ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam
keengganannya, seorang Hakim berhak memaksa untuk merujuknya.
Sementara kalangan Syafiiyah membagi talak pada tiga bagian dengan istilah yang
sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah :
a. Talak sunni, b. Talak bidi, dan c. Talak bukan sunni dan bukan bidi (talak qhairu bidI
wa la- sunni).
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan
tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya,
dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu
disetiap masa suci.
Berkenaan dengan talak bidi terbagi menjadi dua macam:
a. Talak yang dijatuhkan pada masa haid yang dicampuri pada masa haidnya, sebab
syara memerintahkan untuk mentalak istri pada masa suci, dan juga membuat mudharat
pad istri dengan lamanya menjalani masa iddah.
b. Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa suci tetapi telah dicampuri pada masa suci
itu.
Macam talak yang terakhir, yaitu talak qhiru bidi wa la-sunni hanya terjadi bagi istri
yang masih kacil, perempuan monopause, istri yang berkhulu, istri yang hamil dan
kehamilannya dipastikan hasil hubungan dengan suaminya, dan istri yang belum pernah
didukhul.

Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang suami
menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu
kemudian ia tidak mentalaknya lagi sampai masa iddahnya berakhir. Sedangkan talak
bidi adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau
nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat
mayoritas Ulama selain Hanafiyah, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan 122.
Pasal 121: Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap
istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Pasal 122: Talak bidi adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu
istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu
suci tersebut.

2. Talak Raji dan Talak Bain


Talak ditilik dari boleh dan tidak bolehnya rujuk terbagi pada dua macam :
a. Talak raji, dan b. Talak bain.
Talak raji adalah talak yang boleh bagi suami untuk merujuk pada istrinya dengan tanpa
perlu akad baru selama masa iddah, meskipun istri tidak mau untuk dirujuk. Talak raji
ini terjadi dalam talak satu dan dua tetapi setelah masa iddah istri sudah habis, suami
tidak dapat merujuk kembali melainkan dengan akad baru.
Talak bain ada dua macam:
a. Bain shughraa (bain kecil)
b. Bain kubraa (bain besar)
Talak bain shughraa adalah talak yang suami tidak dapat untuk rujuk kembali pada
mantan istrinya, melainkan dengan akad dan mahar baru. Talak bain shughraa terjadi

bagi istri yang belum didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan iwad (ganti
rugi), talak yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak sebab ila.
Talak bain kubraa adalah talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada
istri kecuali bila istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya,
kemudian ia ditalak dan telah berakhir iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam
ini terjadi dalam talak tiga

Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari kata adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan),
seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita
menanti/menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau
setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa
quru, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
Macam-Macam Masa Iddah
Barangsiapa yang ditinggal mati suaminya, maka, iddahnya empat bulan sepuluh hari,
baik sang isteri sudah dicampuri ataupun belum. Hal ini mengacu pada firman Allah
SWT, Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.
(Al-Baqarah :234).
Terkecuali isteri yang sudah dicampuri dan sedang hamil, maka masa iddahnya sampai
melahirkan,Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai
mereka melahirkan kandungannya. (At-Thalaq : 4).
Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa, Subaiah al-Aslamiyah r.a. pernah melahirkan
dan bernifas setelah beberapa malam kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi saw

lantar meminta idzin kepada Beliau untuk kawin (lagi). Kemudian Beliau
mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). (Muttafaqun alaih: Fathul Bari IX:470
no:5320 dan Muslim II:1122 no:1485).
Wanita yang ditalak sebelum sempat dicampuri, maka tidak ada masa iddah baginya,
berdasarkan pada firmannya Allah SWT berfirman, Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah
bagimu yang kamu minta, menyempurnakannya. (Al-Ahzaab:49).
Sedang wanita yang ditalak yang sebelumnya sempat dikumpuli dan dalam keadaan
hamil maka, masa iddahnya ialah ia melahirkan anak yang diakndungnya. Allah SWT
berfirman, Dan wanita-wanita hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka
melahirkan kandungannya. (At-Thalaq:4).
Dari az-Zubair bin al-Awwam r.a. bahwa ia mempunyai isteri bernama Ummu Kultsum
bin Uqbah radhiyallahu anha. Kemudian Ummu Kultsum yang sedang hamil berkata
kepadanya, Tenanglah jiwaku (dengan dijatuhi talak satu). Maka az-Zubir pun
menjatuhkan padanya talak satu. Lalu dia keluar pergi mengerjakan shalat, sekembalinya
(dari shalat) ternyata isterinya sudah melahirkan. Kemudian az-Zubir berkata: Gerangan
apakah yang menyebabkan ia menipuku, semoga Allah menipunya (juga). Kemudian dia
datang kepada Nabi saw lalu beliau bersabda kepadanya, Kitabullah sudah menetapkan
waktunya; lamarlah (lagi) di kepada dirinya. (Shahih: Shahih Ibnu Majah no:1546 dan
Ibnu Majah I:653 no:2026).
Jika wanita yang dijatuhi talak termasuk perempuan yang masih berhaidh secara normal,
maka masa iddahnya tiga kali haidh berdasarkan Firman Allah SWT, Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu tiga kali quru).. (Al-Baqarah :228).

Kata quru berarti haidh. Hal ini mengacu pada hadits Aisyah r.a. bahwa Ummu Habibah
r.a. sering mengeluarkan darah istihadhah(darah yang keluar dari wanita karena sakit atau
lainnya), lalu dia bertanya kepada Nabi saw. (mengenai hal tersebut). Maka Beliau
menyuruh meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya. (Shahih Lighairih: Shahih Abu
Daud no:252 dan Aunul Mabud I:463 no:278).
Jika wanita yang dijatuhi talak itu masih kecil, belum mengeluarkan darah hadih atau
sudah lanjut usia yang sudah manopause (berhenti masa haidh), maka iddahnya adalah
tiga bulan lamanya. Allah swt berfirman, Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh
lagi (manopause) diantara isteri-isteri kaian jika ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
maka masa iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang
belum haidh. (At-Thalaq:4)

1. PENGERTIAN ZINA

Dalam al-Mujamul Wasith hal 403 disebutkan, Zina ialah seseorang bercampur dengan
seorang wanita tanpa melalui akad yang sesuai dengan syari.

2. HUKUM ZINA

Zina adalah haram hukumnya, dan ia termasuk dosa besar yang paling besar.

Allah swt berfirman:


Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS al-Israa: 32)
Dari Abdullah bin Masud r.a, ia berkata: Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw,
(Ya Rasulullah), dosa apa yang paling besar? Jawab Beliau, Yaitu engkau mengangkat
tuhan tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang telah menciptakanmu. Lalu saya
bertanya (lagi), Kemudian apa lagi? Jawab Beliau, Engkau membunuh anakmu karena
khawatir ia makan denganmu. Kemudian saya bertanya (lagi). Lalu apa lagi? Jawab
Beliau, Engkau berzina dengan isteri tetanggamu. (Muttafaqun alaih: Fathul Bari XII:
114 No. 6811, Muslim I: 90 No. 86, Aunul Mabud VI: 422 No. 2293 No. Tirmidzi V: 17
No. 3232).
Allah swt berfirman:
Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia
mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada
hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orangorang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka
diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS Al-Furqaan: 68-70).

Dalam hadist Sumarah bin Jundab yang panjang tentang mimpi Nabi saw, Beliau saw
bersabda:
Kemudian kami berjalan dan sampai kepada suatu bangunan serupa tungku api dan di
situ kedengaran suara hiruk-pikuk. Lalu kami tengok ke dalam, ternyata di situ ada

beberapa laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat. Dari bawah mereka datang
kobaran api dan apabila kena nyala api itu, mereka memekik. Aku bertanya, Siapakah
orang itu Jawabnya, Adapun sejumlah laki-laki dan perempuan yang telanjang bulat
yang berada di dalam bangunan serupa tungku api itu adalah para pezina laki-laki dan
perempuan. (Shahih: Shahihul Jamius Shaghir no: 3462 dan Fathul Bari XII: 438 no:
7047).
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Rasulullah saw. bersabda, Tidaklah seorang hamba berzina
tatkala ia sebagai seorang mumin; dan tidaklah ia mencuri, manakala tatkala ia mencuri
sebagai seorang beriman; dan tidaklah ia meneguk arak ketikaia meneguknya sebagai
seorang beriman; dan tidaklah ia membunuh (orang tak berdosa), manakala ia membunuh
sebagai seorang beriman.
Dalam lanjutan riwayat di atas disebutkan:
Ikrimah berkata, Saya bertanya kepada Ibnu Abbas, Bagaimana cara tercabutnya iman
darinya? Jawab Ibnu Abbas: Begini ia mencengkeram tangan kanan pada tangan
kirinya dan sebaliknya, kemudian ia melepas lagi, lalu manakala dia bertaubat, maka
iman kembali (lagi) kepadanya begini ia mencengkeramkan tangan kanan pada tangan
kirinya (lagi) dan sebaliknya-. (Shahih: Shahihul Jamius Shaghir no: 7708, Fathul Bari
XII: 114 no: 6809 dan Nasai VIII: 63).
Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara
individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual,
homoseksualitas mengacu kepada "pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman
seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis" terutama atau secara eksklusif pada
orang dari jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu
tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan
keanggotaan dalam komunitas lain yang berbagi itu." Lesbian adalah istilah bagi

perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan atau


disebut juga perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional
atau secara spiritual.[1] Istilah ini dapat digunakan sebagai kata benda jika merujuk pada
perempuan yang menyukai sesama jenis, atau sebagai kata sifat apabila bermakna ciri
objek atau aktivitas yang terkait dengan hubungan sesama jenis antar perempuan

(homo seksual) adalah hubungan antara sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki),
sedangkan hubungan antara wanita dengan wanita disebut lesbian.
Homo seksual adalah salah satu penyelewengan seksual, karena menyalahi sunnah Allah,
dan menyalahi fitrah makhluk ciptaanNya.
Lebih kurang empat belas abad yang lalu, Al Quran telah memperingatkan umat
manusia ini, supaya tidak mengulangi peristiwa kaum Nabi Luth. Allah berfirman:
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lut itu yang di atas ke
bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar
dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari
orang-orang yang zalim. (Hud: 82-83)
Pada ayat lain Allah berfirman:
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istriistri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang
melampaui batas. (Asy Syuara: 165-166)
Selanjutnya pada ayat lain Allah berfirman:
Dan telah kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang
mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik.
(Al Anbiya: 74)

Setelah Rasulullah menerima wahyu tentang berita kaum Luth yang mendapat kutukan
dari Allah dan merasakan azab yang diturunkanNya, maka beliau merasa khawatir
sekiranya peristiwa itu terulang kembali kepada ummat di masa beliau dan sesudahnya.
Rasulullah bersabda:
Sesuatu yang paling saya takuti terjadi atas kamu adalah perbuatan kaum Luth dan
dilaknat orang yang memperbuat seperti perbuatan mereka itu, Nabi mengulangnya
sampai tiga kali: Allah melaknat orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth; Allah
melaknat orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth; Allah melaknat orang yang
berbuat seperti perbuatan kaum Luth, (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Al Hakim)

Pemerkosaan
Pemerkosaan adalah suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika
seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual
dalam bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti
tangan, atau dengan benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.
Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai "penetrasi vagina atau
anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda -- bahkan
jika dangkal -- dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-fisik." Mahkamah Kejahatan
Internasional untuk Rwanda tahun 1998 merumuskan pemerkosaan sebagai "invasi fisik
berwatak seksual yang dilakukan kepada seorang manusia dalam keadaan atau
lingkungan yang koersif"
Istilah pemerkosaan dapat pula digunakan dalam arti kiasan, misalnya untuk mengacu
kepada tindakan-tindakan kriminal umum seperti pembantaian, perampokan,

penghancuran, dan penangkapan tidak sah yang dilakukan kepada suatu masyarakat
ketika sebuah kota atau negara dilanda perang

Kumpul kebo
Kumpul kebo dalam arti hidup bersama dan melakukan hubungan seksual tanpa menikah,
merupakan fenomena yang sangat biasa dan dimaklumi secara kultural di negara-negara
barat. Contoh paling gamblang adalah kisah banyak pemain sepakbola di liga-liga utama
di Eropa yang hampir selalu hidup serumah dengan pacar-pacarnya kendatipun mereka
belum menikah. Tidak jarang mereka baru menikah setelah memiliki satu atau dua orang
anak.
Pacaran
Janganlah kamu sekalian mendekati perzinahan, karena zina itu adalah perbuatan yang
keji (QS. Al-Isra : 32).
Istilah pacaran yang dilakukan oleh anak-anak muda sekarang ini tidak ada dalam Islam.
Yang ada dalam Islam ada yang disebut Khitbah atau masa tunangan. Masa tunangan
ini adalah masa perkenalan, sehingga kalau misalnya setelah khitbah putus, tidak akan
mempunyai dampak seperti kalau putus setelah nikah. Dalam masa pertunangan
keduanya boleh bertemu dan berbincang-bincang di tempat yang aman, maksudnya ada
orang ketiga meskipun tidak terlalu dekat duduknya dengan mereka.
Kalau dilihat dari hukum Islam, pacaran yang dilakukan oleh anak-anak sekarang adalah
haram. Mengapa haram?
Karena pacaran itu akan membawa kepada perzinahan dimana zina adalah termasuk dosa
besar, dan perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu ayatnya berbunyi
sebagaimana yang dikutip di awal tulisan ini. Ayat tersebut tidak mengatakan jangan

berzina, tetapi jangan mendekati zina, mengapa demikian ? Karena biasanya orang yang
berzina itu tidak langsung, tetapi melalui tahapan-tahapan seperti : saling memandang,
berkenalan, bercumbu kemudian baru berbuat zina yang terkutuk itu

ONANI DAN MANSTURBASI

Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta (meraih


kesenangan/kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah Subhanahu wa Taala halalkan.
Allah tidak membolehkan istimta dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri
atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Taala berfirman.

Yang artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, [6] kecuali terhadap isteriisteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela. [QS Al Mu'minuun: 5 - 6]

Jadi, istimta apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka
tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah
memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran dan
pengaruh negative syahwat.

Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya : Wahai para pemuda,
barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena
nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang
barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan

menjadi tameng baginya. [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari
Ibnu Mas'ud]

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan)


syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara : berpuasa untuk yang
tidak mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk beliau ini
menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan
menggunakannya untuk menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka
onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun
menurut jumhur ulama.

Wajib bagi anda untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Taala dan tidak
mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang
dapat mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda
menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat.
Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang
menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk
sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.

Seorang muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan
membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah
pada diri anda, hendaknya anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film
dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan
yang membakar syahwat. Jadi anda wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya
kepada anda.

Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi anda. Perbuatan
dosa yang anda lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah anda kerjakan. Jika anda
mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian setelah itu anda melakukan
onani, maka onani itulah yang diharamkan anda berdosa karena melakukannya-,
sedangkan ibadah yang anda kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu
ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai syariat, maka tidak akan batal/gugur
kecuali oleh syirik atau murtad kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun
dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan,
namun pelakunya tetap berdosa.[Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Syaikh Shalih bin
Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]

ZINAH MATA
Mata yang merupakan anugerah Allah Azza Wa Jalla, bisa mendatangkan kemuliaan,
tetapi juga bisa mendatangkan laknat yang membinasakan. Mata yang selalu melihat
fenomena kehidupan alam dan seisinya, dan kemudian menimbulkan rasa syukur kepada
sang Pencipta, selanjutnya akan mendatangkan kemuliaan dan kebahagiaan di sisi-Nya.
Sebaliknya, mata yang merupakan anugerah yang paling berharga itu, bisa mendatangkan
laknat yang membinasakan bagi manusia, bila ia menggunakan matanya untuk berbuat
khianat terhadap Rabbnya.
Di dalam Islam ada jenis maksiat yang disebut dengan zina mata (lahadhat). Lahadhat
itu, pandangan kepada hal-hal, yang menuju kemaksiatan. Lahadhat bukan hanya sekadar
memandang, tetapi diikuti dengan pandangan selanjutnya. Pandangan mata adalah

sumber itijah (orientasi) kemuliaan, juga sekaligus duta nafsu syahwat. Seseorang yang
menjaga pandangan berarti ia menjaga kemaluan. Barangsiapa yang mengumbar
pandangannya, maka manusia itu akan masuk kepada hal-hal yang membinasakannya.
Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, pernah menasihati Ali :
Jangan kamu ikuti pandangan pertamamu dengan pandangan kedua dan selanjutnya.
Milik kamu adalah pandangan yang pertama, tapi yang kedua bukan.
Dalam musnad Ahmad, disebutkan, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda :
Pandangan adalah panah beracun dari panah-pandah Iblis. Barangsiapa yang
menundukkan pandangannya dari keelokkan wanita yang cantik karena Allah, maka
Allah akan mewariskan dalam hatinya manisnya iman sampai hari kiamat.
Sarah hadist itu, tak lain, seperti di jelaskan oleh Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam:

Abu Hurairoh berkata dari Nabi saw,Sesungguhnya Allah telah menetapkan terhadap
anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya dan hal itu tidaklah
mustahil. Zina mata adalah pandangan, zina lisan adalah perkataan dimana diri ini
menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau
mendustainya. (HR. Bukhori)
Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Zina Anggota Tubuh Selain
Kemaluan, artinya bahwa zina tidak hanya terbatas pada apa yang dilakukan oleh
kemaluan seseorang saja. Namun zina bisa dilakukan dengan mata melalui pandangan
dan penglihatannya kepada sesuatu yang tidak dihalalkan, zina bisa dilakukan dengan
lisannya dengan membicarakan hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa dilakukan
dengan tangannya berupa menyentuh, memegang sesuatu yang diharamkan.

Ibnu Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol yaitu,Pandangan dan pembicaraan


dinamakan dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut menuntun seseorang untuk
melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena itu kata selanjutnya adalah serta
kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya. (Fathul Bari juz XI hal 28)

Meskipun demikian hukum zina tangan, lisan dan mata tidaklah sama dengan zina
sebenarnya yang wajib atasnya hadd. Si pelakunya hanya dikenakan teguran dan
peringatan keras.
DR Wahbah menyebutkan bahwa pelaku onani haruslah diberi teguran keras dan tidak
dikenakan atasnya hadd. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz VII hal 5348)

Begitu pula penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan bersandar pada pendapat
yang paling benar dari Imam Ahmad bahwa pelaku onani haruslah diberikan teguran
keras. (Majmu al Fatawa juz XXIV hal 145)
Ibnul Qoyyim mengatakan,Adapun teguran adalah pada setiap kemaksiatan yang tidak
ada hadd (hukuman) dan juga tidak ada kafaratnya. Sesungguhnya kemaksiatan itu
mencakup tiga macam :
1.

Kemaksiatan yang didalamnya ada hadd dan kafarat.

2.

Kemaksiatan yang didalamnya hanya ada kafarat tidak ada hadd.

3.

Kemaksiatan yang didalamnya tidak ada hadd dan tidak ada kafarat.

Adapun contoh dari macam yang pertama adalah mencuri, minum khomr, zina dan
menuduhorang berzina.
Adapun contoh dari macam kedua adalah berjima pada siang hari di bulan Ramadhan,

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pernikahan yaitu ikatan dua orang hamba berbeda jenis dengan suatu ikatan akad
2. Hukum-hukumnya nikah adalah jaiz, sunnat, wajib, makruh, haram.
3. Diantaranya rukun-rukun nikah adalah mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali,
dua orang saksi, sighat.
4. Tujuan adanya pernikahanan ternyata sangat banyak ditinjau dari berbagai sisi
B. Hikmah
1. Pernikahan yang sah menjadikan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan
yang bukan muhrim menjadi halal.
2. Pernikahan menjadi sah dengan rukun dan syarat nikah.
C. Saran
Akhirnya, pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut
membantu di dalam menyelesaikan makalah kami ini. Disamping itu, kritik dan saran
dari mahasiswa serta dosen pengampu dan para pembaca sangat kami harapkan, demi
kebaikan kita bersama terutama bagi pemakalah.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2005. Al-Quran dan terjemahnya. Toha Putra


Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera
Rasjid, H. Sulaiman. 2008. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
RifaI, H. Moh. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra
Drs. H. Muh. Rifai. Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT Karya Toha Putra)
Al-Quran dan Terjemahnya (Departemen Agama Islam)
H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo) 381-383
http://rumahabi.info, http://id.shvoong.com, http://www.eramuslim.com

Anda mungkin juga menyukai