Anda di halaman 1dari 20

BAB II

KERANGKA GEOLOGI REGIONAL

2.1

Geologi Regional
Kondisi geologi pulau jawa dikontrol oleh aktifitas tektonik. Dalam hal ini,

aktifitas tektonik yang diakibatkan oleh tumbukan antara Mikroplate Sunda yang
merupakan bagian dari Lempeng Eurasia yang bergerak cenderung kearah timur, dan
Lempeng Indo-Australia yang bergerak cenderung kearah utara ( A.J Barber, M.J .
Crow,

J.S. Milson; 2005) . Mikroplate sunda merupakan bagian dari lempeng

Eurasia yang tergolong lempeng benua dan lempeng Indo-Australia yang tergolong
lempeng samudra. Tumbukan antara dua lempeng yang berbeda jenis ini berimplikasi
pada keterbentukan zona subduksi yang memiliki ciri geologi yang unik.
Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Van Bemmelen (1949) kondisi
geologi Pulau Jawa mirip dengan Kondisi Geologi Pulau Sumatra karena keduanya
dipengaruhi oleh interaksi lempeng-lempeng yang sama. Perbedaannya adalah bidang
tumbukan lempeng di Pulau Jawa cenderung tegak lurus sedangkan di Pulau Sumatra
tidak tegak lurus.

17

Gambar 2.1 Ilustrasi tumbukan antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Pulau
Jawa dan Sumatra dikontrol oleh proses tumbukan antara lempeng tersebut. (Sumber:
Geology & Oceanograph: http://thejavatrench.weebly.com)

Perbedaan interaksi lempeng tersebut menghasilkan beberapa kondisi geologi


yang berlainan antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Beberapa gejala geologi yang
berlainan antara Jawa dan Sumatra menurut antara lain:
1. Produk gunung api muda mempunyai susunan yang lebih basa bila
dibandingkan dengan di Sumatra.
2. Gunung api berumur Tersier Akhir kebanyakan terletak atau bertengger di
atas endapan marin berumur Neogen, sedangkan di Sumatra terletak di atas
batuan Pra-Tersier

18

3. Batuan dasar di Pulau jawa terdiri dari komplek mlange berumur KapurTersier Awal
4. Di Pulau jawa tidak dijumpai adanya tanda-tanda unsur kerak benua
Van Bemmelen juga menyatakan bahwa zona subduksi di pulau jawa mengalami
beberapa kali pergeseran. Berbeda dengan di pulau Sumatra yang cenderung tetap.
Sujanto dan Sumanri (1977) mengatakan ada beberapa unsur tektonik yang
membentuk Pulau Jawa antara lain:
1. Jalur subduksi berumur Kapur-Paleosen yang memotong Jawa Barat, Jawa
Tengah, dan terus ke timur laut menuju Kalimantan Tenggara.
2. Jalur magma berumur Kapur di bagian utara Pulau Jawa.
3. Jalur subduksi berumur Tersier yang meliputi sepanjang pulau jawa
terletak agak kebagian selatan.
4. Jalur magma berumur Tersier yang menempati punggungan bawah laut di
selatan pulau jawa.
5. Jalur subduksi dan magma berumur kuarter (resen) terletak dibagian
selatan pulau jawa

19

Gambar 2.2 Evolusi Jalur Subduksi dan Jalur Magmatik di Jawa (Sumber: Sujanto dan Sumantri,
1977)

Dari segi tatanan tektonik, Van Bemmelen menyatakan bahwa Pulau Jawa
secara geologi merupakan suatu kompek sejarah penurunan basin, pensesaran
perlipatan dan vulkanisme di bawah pengaruh rezim tekanan yang berbeda dari waktu
ke waktu.
Dalam subbab ini akan dibahas lebih fokus kepada regional daerah penelitian
yang terletak di Kecamatan Langkaplancar dan Parigi Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Pembahasan meliputi aspek Fisiografi/Geomorfologi, Stratigrafi, Struktur Geologi,
dan Sejarah Geologi.

20

2.1.1

Fisiografi Regional
Dari segi aspek fisiografi, Van Bemmelen membagi Jawa bagian barat

menjadi 5 jalur fisiografi, antara lain:


1. Zona Dataran Pantai Jakarta
Zona ini tersebar memanjang mulai ujung barat Pulau Jawa ke arah timur
mengikuti Pantai Utara Jawa Barat ke kota Cirebon dengan lebar sekitar 40
km. Secara umum daerah ini mempunyai morfologi pedataran yang sebagian
besar tertutup oleh endapan sungai, endapan lahar, dan endapan piroklastik
gunungapi Kuarter.
2. Zona Bogor
Terletak di sebelah selatan Zona Dataran Pantai Jakarta. Zona ini memanjang
dari barat ke timur melalu kota Bogor, Purwakarta hingga Bumiayu di Jawa
Tengah dengan lebar sekitar 40 Km. Secara umum zona ini didominasi oleh
morfologi perbukitan yang disebut sebagai suatu Antiklinorium yang
terbentuk akibat proses perlipatan batuan sedimen berumur Neogen.
3. Zona Bandung
Zona ini membentang mulai dari Teluk Pelabuhanratu memanjang melalui
Dataran Tinggi Cianjur, Bandung, Garut hingga lembah sungai Citanduy dan
berakhir di Segara Anakan, Jawa Tengah. Secara morfologi, zona ini
merupakan depresi diantara jalur pegunungan berarah relatif barat-timur.
Secara stuktural, daerah ini merupakan bagian atas dari geantiklin Jawa yang

21

telah mengalami pensesaran selama atau setelah pengangkatannya pada jaman


Tersier Akhir. Zona ini sebagian besar ditutupi oleh endapan gunungapi
Kuarter, akan tetapi di beberapa tempat masih dijumpai endapan Tersier.
4. Zona Pegunungan Bayah
Terletak di sebelah barat Zona Bandung. Zona ini memanjang dari Ujung
Kulon hingga Sukabumi. Secara morfologi daerah ini merupakan daerah
pegunungan . Secara structural, daerah ini merupakan daerah endapan
sedimen yang terlipat kuat. Bagian tengah terdiri atas batuan andesit tua dan
bagian utara merupakan daerah peralihan Zona Bogor.
5. Zona Pegunungan Selatan
Zona ini merupakan dataran tinggi yang memanjang dengan arah barat-timur,
mulai dari Pangandaran hingga Nusakambangan. Secara keseluruhan zona ini
merupakan suatu geantiklin yang agak landai. Secara umum daerah ini
merupakan suatu bentang alam yang dipengaruhi oleh proses peremajaan
(peneplain), pengangkatan dan adanya limpahan material rombakan hasil
erosi. Erosi yang terjadi membentuk lembah-lembah yang sangat lebar dan
hampir rata. Adanya pengangkatan yang terus menerus mengakibatkan
terbentuknya kembali lembah-lembah yang dalam dan sempit.
Berdasarkan letak geografis, ciri batuan, morfologi, dan struktur geologinya,
daera penelitian kali ini termasuk kedalam Zona Pegunungan Selatan bagian timur.
(Martodjodjo, 1984).

22

Lokasi Daerah Penelitian

Gambar 2.3 Pembagian Zona Fisiografi Pulau Jawa bagian barat dan posisi relatif daerah penelitian
(Sumber: Van Bemmelen,1949. Sedikit mengalamai modifikasi)

2.1.2

Stratigrafi Regional
Daerah Penelitian termasuk kedalam Peta Geologi Regional Lembar

Karangnunggal (Supriatna, Sarmili, Sudana & Koswara, 1992) serta Peta Geologi
Regional Lembar Pangandaran (Simadjuntak, 1992). Adapun Peta Geologi Regional
Daerah penelitian dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut.

23

Gambar 2.4 Peta Geologi Regional Daerah Penelitian (Modifikasi dari Supriyatna
dkk. (1992) dan Simadjuntak (1992).

Van Bemmelen (1949) mengurutkan stratigrafi Zona Pegunungan Selatan


Jawa Barat bagian tiur berumur Pra-Tersier terdiri dari atuan bersifat basa dan ultrabasa.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Supriatna dkk (1992) dan
Simadjuntak dkk (1992) Formasi Batuan daerah penelitian dari urutan yang paling
tua ke muda adalah sebagai berikut (Gambar 2.5)

24

1. Formasi Jampang
Formasi ini diperkirakan berumur Oliogosen-Miosen yang tersusun
atas breksi aneka bahan, tuff sisipan lava, batupasir, batulanau, dan
batulempung. Di beberapa tempat ditemukan pula lensa batugampig.
Umumnya berwarba kelabu kehitaman, padat, dan keras.
Breksi aneka bahan, berwarna kelabu tua sampai hitam kehijauan,
terpilah buruk, ukuran komponen 0,5-20 cm, bentuk komponen menyudut,
teriri dari andesit, basal, rijang, batugamping, dan tuf hablur yang terkersikkan
dan terpropilitikan. Massa dasar berupa pasir gampingan. Bagian bawahnya
mempunyai perselingan batupasir kelabu dengan struktur perlapisan bersusun.
Tuf, berwarna putih ungu dan biru terang, pejal, terkersikkan, Di
beberapa tempat menunjukkan perlapisan yang baik.
Lava, umumnya berwarna kelabu tua sampai kelabu kehijauan,
bersusunan

andesit

dan

basal,

terkersikkan,

terpropilitkan

dan

termineralkan,memiliki struktur amigdaloid denan isian kalsit, zeolite, dan


kalsedonite.
Batupasir tufaan, berlapis baik, berbutir halus sampa sedang dan
terpilah buruk dengan tebal lapisan 5-20 cm. Warna putih kecoklatan.
Terdapat sisipan batulanau, batupasir, dan batulempeng dengan perlapisan
baik.

25

Lensa batugamping, berwarna coklat kekuningan dengan tebal


mencapai 2 meter, perlapisan tidak begitu jelas. Batuan ini mengandung koral,
ganggang dan foraminifera.
Batuan gunung api formasi ini umumnya telah terpropilitkan, terlipat
dan terkekarkan sangat kuat.
2. Formasi Pamutuan
Formasi ini diperkirakan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir

Tersusun atas litologi batupasir, batulempug, kalkarenit, napal, dan tuf.


Perselingan.Batupasir memiliki warna kehijauan dengan besar utir
kasar-halus, berlapis baik, dengan komponen sebagian besar merupakan
rombakan batuan gunungapi dan pecahan batugamping.
Batulempung memili warna kelabu kecoklatan, perlapisan baik,
berstruktur parallel laminasi dengan ketebalan 0,5-5 cm.
Napal memiliki warna kelabu kebiruan, agak padat, memiliki struktur
parallel laminasi.
Tuf,

berwarna

kelabu

dan

coklat

kekuningan,

berkomponen

plagioklas, mineral felsic, piroksen, kalsit, oksida besi dan volcanic glass.
Berlapis baik dengan struktur parallel laminasi atau graded bedding.
Batugamping berwarna kelabu, terdapat banyak urat kalsit atau
aragonite, berlapis baik dengan ketebalan 5-30 cm, terdapat sisipan kalkarenit
dengan ketebalan 3-20 cm.

26

Fossil yang dijumpai dalam batugamping dan napal dari jenis


foraminifera yaitu: Globoquadrina altispira, globigerinoides immaturus,
Globorotalia mayeri, globcassidulina sp., Aphistegina sp., dan Gyroidina sp.,
Fossil-fossil tersebut mencerminkan lingkungan laut dangkal terbuka dan
memiliki umur Miosen Tengah.
Secara stratigrafi, Formasi Pamutuan menindih secara selaras Formasi
Jampang dan diduga menjemari dengan Formasi Kalipucang akibat kontak
yang tidak begitu jelas Serta tertindih tidak selaras oleh Formasi Bentang.
Menurut Supriatna dkk (1992) dan Simadjuntak dkk (1992), Formasi
Pamutuan memiliki dua anggota yaitu Anggota Batugamping dan Anggota
Tuf Napalan.

Anggota Batugamping Formasi Pamutuan


Anggota Batugamping terdiri dari litologi kalsiluit, batugamping
pasiran (klastika) dan napal.
Batugamping pasiran berwarna kuning, berlapis buruk, berukuran
butir halus sampai kasar, tebal lapisan rata-rata 15 cm.
Kalsilutit. Berwarna kuning terang, berongga, banyak mengandung
fossil Mollusca. Menunjukkan perlapisan yang baik dengan tebal rata-rata 15
cm.

27

Napal, berwarna kelabu terang sampai kebiruan, padat, berlapis baik,


dengan tebal lapisan rata-rata 8 cm. mengandung fossil foraminifera bentonik
dan planktonic serta ganggang.
Fossil Foraminifera benonik yang terdapat pada napal antara lain
Globocassidulina sp. dan Euvigerina sp. Sedangkan foraminifera planktonic
yaitu Globigerinoides subquadratus, Globigerina immaturus, Globoquadrina
altispira,

Globigerina

peripheroacuta.

Dari

fossi-fossil

tersebut,

mengindkasikan bahwa anggota ini berumur MIosen Tengah dengan


lingkungan pengendaan laut dangkal dan terbuka (Simadjuntak, 1981).
Secara stratigraf, Anggota Batugampig Formasi Pamutuan menindih
secara selaras Formasi Jampang, menjemari dengan Anggota Tuf Napalan
Formasi Pamutuan, serta tertindih secara tidak selaras oleh Formasi Bentang.

Anggota Tuf Napalan Formasi Pamutuan


Anggota Tuf Napalan terdiri dar litologi tuf napalan berselingan
dengan batupasir tufan dan batulempung tufan.
Tuf napalan berwarna putih kekuningan, memiliki perlapisan yang
baik. Batu pasir tufan berwarna kelabu kehijauan, berlapis baik, memiliki
struktur parallel laminasi, ukuran butir pasir sedang, terdapat kandungan
mineral mafic dan material tuf berukuran pasir.

28

Anggota ini memiliki kandungan fossil Globorotalia fohsi robusa,


Globorotalia scitula, Globoquadriana altispir, globigerinoides obliquus.
Fossil-fossil tersebut mengindikasikan lingkungan pengendapan laut dangkal
dan terbuka dengan umur Miosen Tengah.
Secara stratigrafi, Anggota Tuf Napalan Formasi Pamutuan menindih
secara selaras Formasi Jampang, menjemari dengan Anggota Batugamping
Formasi Pamutuan, serta tertindih secara tidak selaras oleh Formasi Bentang.
3. Formasi Bentang
Formasi ini tersusun dari litologi batupasir gampingan, batupasir tufan,
bersisipan serpih dan lensa-lensa batugamping. Menurut Supriatna dkk.
(1992) dan Simadjuntak dkk. (1992),formasi ini merupakan formasi termuda
yang dapat ditemukan di daerah peneltian.
Batupasir gampingan memiliki warna putih kusam hingga putih
kekuningan, ukuran butir kasar hingga sedang, bentuk butir membundar
tanggung, terdapat fragmen kuarsa, mineral mafic, dan banyak mengandung
fossil foraminifera kecil dan besar.
Batupasir tufan berwarna putih kotor, berukuran buti sedang, terdapat
sisipan serpih dan lignit. Bagian bawahnya terdapat lensa batugamping yang
brwarna kuning.
Pada formasi ini terdapat kandungan fossil foraminifera kecil
plaktonik

seperti:

Globorrotalia

acostaensis,

Globigerinoides

29

conglobatus,globigerinoides

immaturus,

globoquadrina

altispira,

Globorotalia menardii, Globigerinoides extremus, Orbulina universa,


Globorotalia sp., Globigerina foliate. Keberadaan fossil tersebut menunjukan
umur Miosen Akhir dan lingkungan pengendapan neritic.
Secara stratigrafi, Formasi bentang menindih secara tidak selaras
Formasi Pamutuan, Anggota Batugamping Formasi Pamutuan, serta Anggota
Tuf Napalan Formasi Pamutuan. Formasi Bentang tertindih secara tidak
selaras oleh Satuan Endapan Gunungapi Muda.

Gambar 2.5 Stratigraf Regional Daerah Peneitian menurut bebrapa peneliti terdahulu

30

2.1.3 Geologi Struktur Regional


Menurut penelitian Van Bemmelen (1949), pulau jawa, secara geologi,
merupakan suatu komple sejarah penurunan cekungan, hasil pensesaran, perlipatan,
dan vulkanisme dibawah rezim tekanan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu
(Gambar 2.2). Perubahan jalur penujaman berumur kapur yang bearah timurlautbaratdaya (NE-SW) menjadi relatif timur-barat (E-W) sejak kala oligosen hingga hari
ini berefek pada tatanan geologi pulau jawa yang sangat kompleks.
Menurut Situmorang, dkk (1976), pola struktur di pulau jawa merupakan
produk dari wrench-fault tectonic. Konsep yang dicetuskan oleh Situmorang dkk
menyatakan bahwa sistem rekahan di Jawa merupakan hasil kompresi dengan arah
tegasan utama mendatar, dengan azimuth berarah utara-selatan. Mengacu pada
konsep sesar Moody & Hill (1956), tegasan dengan pola ini akan menghasilkan sesar
dengan beberapa orde, dengan arah seperti yang ada pada gambar 2.6.
Van Bemmelen (1949) menyatakan bahwa terdapat tiga arah pola umum
struktur di pulau jawa yaitu arah timurlaut-baratdaya (NE-SW) yang disebut pola
meratus, arah utara-selatan (N-S) atau disebut pola sunda, dan arah barat-timur (W-E)
atau disebut pola jawa.
Pola meratus merupakan pola yang paling tua dengan perkiraan berumur
Kapur-Paleosen. Pola ini diekspresikan pada Sesar Cimandiri dan pola penyebaran
batuan Pra-Tersier di Karang Sambung. Pola sunda terbentuk setelah pola meratus

31

dengan perkiraan memiliki umur Eosen Akhir Oligosen Akhir. Van Bemmelen
menyatakan bahwa pola sunda menyebabkan re-aktivasi sesar-sesar pola meratus.
Pola paling muda adalah pola jawa yang diperkiraan terbentuk setelah pola sunda dan
masih aktif hingga sekarang. Pola ini mengaktifkan kembali pola-pola yang sudah
ada sebelumnya.

Arah tegasan utama

Sesar Orde 1

Sesar orde3
Sesar orde 2

Gambar 2.5 Sistem wrench-fault tectonic di pulau jawa (Sumber: Situmorang dkk, 1976)

Dalam penelitian yang dilakukan Haryanto (2013), rangkaian perbukitan dan


gunungapi di pulau jawa membentuk suatu jalur yang memanjang dengan arah barattimur. Berkaitna dengan hal ini, hampir semua sungai-sungau utama di Jawa Bagian
Barat mengalir ke utara-selatan. Adapun sungai-sungai utama dan cabang sungai

32

yang berbelok ke arah barat-timur dan membentuk kelursana diintepretasikan sebagai


jalur sesar. Poin intepretasi ini juga didukung dengan kelurusan perbukitan sedimen
dan gunungapi di jawa bagian barat yang menunjuka arah utara-selatan, baratlauttenggara, baratdaya-timurlaut, dan barat-timur.
Dengan gambaran pola pengaliran sungai dan morfologi seperti di atas,
Haryanto (2013), dengan mengacu pada konsep triaxial stress, menafsirkan bahwa
struktur geologi di Jawa Bagian Barat memiliki arah utara-selatan, baratlaut-tenggara,
baratdaya-timurlaut, dan barat-timur. Dengan struktur lipatan yang berkembang
memiliki arah sumbu lipatan dominan barat-timur. Sesar dengan arah bara-timur
diintepretasikan sebagai sesar naik atau sesar normal, arah baratlaut-tenggara sebagai
sesar mendatar dekstral, arah timurlaut-baratdaya sebagai sesar mendatar sinistral,
dan arah utara-selatan sebagai sesar mendatar atau sesar normal.
Pada daerah penelitian kali ini, yang termasuk kedalam zona fisiografi
pegunungan selatan, Van Bemmelen menyatakan bahwa sumbu struktur geantiklin di
pulau jawa bagian barat membentang dari Teluk Ciletuh bagian barat melalui intrusi
Intra Miosen sampai ke Teluk Parigi di jawa barat bagian timur dan dikedua pinggir
sumbu geantiklin terjadi juga beberapa perlipatan. Arah gaya umum yang bekerja
adalah relatif utara-selatan (N-S).

33

Daerah Penelitian
Gambar 2.7 Kelurusan punggungan dan gunungapi serta pola pengaliran sungai di Jawa Bagian Barat
yang diintepretasikan sebagai arah struktur geologi (sesar, lipatan, dan kekar) (sumber: Haryanto,
2013)

Menurut Van Bemmelen (1949), Jalur Pegunungan Selatan Jawa Barat bagian
timur telah mengalami dua kali periode tektonik yaitu: (1) Periode Miosen Pliosen
yang mengakibatkan adanya pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran pada batuan
berumur lebih tua dari miosen (2) Periode Pliosen Pleistosen yang mengakibatkan
pengangkatan dan disusul oleh kegiatan gunungapi yang diduga berasal dari Gunung
Cikuray.
2.1.4 Sejarah Geologi Regional
Menurut Van Bemmelen (1949) yang dikutip dalam Ardiansyah (2012),
wilayah pegunungan selatan jawa pada Oligosen-Miosen merupakan suatu cekungan

34

yang tengah membentuk siklus sedimentasi pada lingkungan laut. Adanya kegiatan
tektonik mengakibatkan cekungan ini lambat laun mengalami pengangkatan dan
berhenti pada kala Miosen Tengah. Periode tektonik berikutnya mengakibatkan
batuan yang ada pada cekungan ini mengalami perlipatan sehingga membentuk
antiklinorium besar atau disebut Geantiklin jawa bagian selatan yang di berbagai
tempat mengalami pensesaran. Pada periode Oligosen-Miosen, terjadi pula kegiatan
erupsi gunungapi. Tektonik yang terjadi pada Oligosen_miosen menyebabkan
terjadinya eruspi gunung api bawah lau yang menghasilkan Formasi Jampang.
Menjelang Miosen Awal, terjadi kegiatan gunung api yang berbeda, menghasilkan
perselingan endapan gunungapi berkomposisi dasitan, batuan klastika halus, dan
endapan karbonat.
Pada awal Miosen Tengah, daerah ini stabil. Kegiatan gunungapi mulai
mereda dan batugamping Formasi Kalipucang mulai terbentuk. Pembentukan
Formasi Kalipucang diikuti oleh sedimentasi batuan klastika karbonat dan tuf napalan
Formasi Pamutuan yang berlingkungan laut dangkal dan terbuka. Pada umur ini juga
disertai penerobosan granodiorit dan batuan terlipatkan, sebagian terkersikkan dan
termetamorfkan. Proses tersebut mempengatuhi batuan terutama batuan Formasi
Jampang yang terkloritisasikan, terserisitkan, dan terpropilitkan. Sedangkan
batugamping Formasi Kalipucang sebagian terubah menjadi batu pualam (marmer).
Pada awal Miosen Akhir, Wilayah Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat,
terjadi kegiatan erupsi gunungapi bawah laut yang menghasilkan sedimen klastika

35

yang mengandung fragmen piroklastika. Terbentuklah Formasi Bentang yang


diendapkan pada lingkungan litoral sampai neritik. Antara Formasi Jampang
Formasi Pamutuan, dan Formasi Bentang terdapat jeda waktu yang menyebabkan
adanya ketidakselarasan.
Pada

periode

Pliosen-Pleistosen,

kegiatan

tektonik

dimulai

dengan

pengangkatan yang terjadi pada Pliosen dan disusul oleh kegiatan gunungapi yang
diduga bersumber dari Gunung Cikuray. Pada periode ini diselingi beberapa kali
kegiatan erupsi gunungapi cukup besar yang mengakibatkan sebagian dari hasil
aktifitas tektonik ini tertimbun. Perlipatan dan pesesaran diduga terjadi setelah itu.

36

Anda mungkin juga menyukai