Anda di halaman 1dari 49

1.

Sejarah Penemuan Vaksin


Perkembangan vaksin virus diawali dengan penelitian Edward
Jenner yaitu seorang dokter dari Inggris menemukan bahwa inokulasi
cacar sapi (cowpox) pada seseorang ternyata dapat melindungi orang
tersebut dari penyakit cacar (smallpox). Edward Jenner mengambil sedikit
cairan dari luka pada orang yang terkena penyakit cacar kemudian
diinokulasi dan diberikan kepada orang lain dengan tujuan orang tersebut
terhindar dari penyakit cacar. Ternyata orang yang di berikan vaksin cacar
tersebut berhasil terhindar dari penyakit cacar. Jumlah anak yang terkena
penyakit cacar semakin menurun. Sejak saat itu vaksin mengalami
perkembangan baik dari cara menentukan epitop imunodominan, strategi
perbanyakan protein maupun cara aplikasinya.
Praktek vaksinasi berkembang cepat di Inggris, kemudian menjadi
hal yang diharuskan dalam kalangan Angkatan Darat dan Angkatan Laut
Inggris. Jenner dengan cuma-cuma mempersembahkan tekniknya kepada
dunia dan tidak berusaha sedikit pun memperoleh keuntungan uang dari
itu. Tetapi, di tahun 1802 parlemen Inggris sebagai tanda terimakasih dan
penghargaan menghadiahkannya uang sejumlah 20.000 pond. Maka Jenner
pun menjadi orang yang temasyhur di jagad, dibanjiri rupa-rupa
penghormatan dan medali. Jenner menikah dan memiliki tiga orang anak.
Dia hidup hingga umur 73 tahun, meninggal dunia di awal tahun 1823 di
rumahnya di kota Berkeley. Hal ini menjadi awal salah satu penemuan
besar di dunia kedokteran, meskipun sebenarnya praktek ini sudah
dilakukan di India, Persia, dan Cina.
Kemudian Pada tahun 1880, Louis Pasteur dan kawan-kawan telah
menemukan cara vaksinasi untuk pencegahan penyakit infeksi melalui
penggunaan agen penyakit yang telah dilemahkan terlebih dahulu, antara
lain vaksin rabies yang berasal dari virus alam yang ganas (street virus)
menjadi virus yang tidak ganas (fix virus). Sebelumnya, Pasteur
memasukkan vaksin rabies ke tubuh manusia yang menjadi kontroversi
dan mendapat protes keras oleh ahli jiwa dan masyarakat. Karena
mendapat protes keras dari masyarakat, Louis Pasteur kemudian

mengembangkan

tehnik

kimia

untuk

mengisolasi

virus

dan

melemahkannya, yang efeknya dapat dipakai sebagai vaksin. Oleh karena


itu peranan Louis Pasteur dalam dunia ke dokteran pada saat itu sangat
besar, karena telah berhasil menemukan varsin rabies. Selain vaksin rabies
Pasteur menemukan Vaksin Kolera dan Antraks, Pasteur membuka tabir
penyakit infeksi yang juga telah merenggut nyawa anak-anak nya.
Pada tahun 1954, dua tim ahli dipimpin oleh Jonas Salk and Albert
Sabin mengembangkan vaksin Polio. Kurang dari enam tahun, kasus Polio
menurun 90%. Tetapi vaksin Salk tidak melengkapi imunisasi secara
menyeluruh untuk semua jenis virus Polio. Pada tahun 1961, Sabin telah
mengembangkan vaksin oral yang bekerja secara aktif (hidup) berupa
virus yang telah dilemahkan, untuk menggantikan imunisasi dengan suntik
jenis Salk di Amerika Serikat. Pada tahun 1960-an, Vaksin digunakan
secara rutin dan tidak menyebabkan kontroversi pada masyarakat dan
paramedis, dan vaksin virus aktif (hidup) telah dikembangkan untuk
Campak (1963), Rubella/ campak Jerman (1966) dan penyakit Gondong
(1968). Dengan adanya penemuan penemuan tersebut, maka di jaman
sekarang dikenalah vaksin-vaksin yang digunakan di dunia kedokteran.
2. Pengertian Vaksin
Vaksin berasal dari bahasa latin vacca (sapi) dan vaccinia (cacar
sapi). Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan
kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau
mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau liar. Vaksin
dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak
menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau
hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.).
Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan untuk
bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau
toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan selsel degeneratif (kanker). Pemberian vaksin diberikan untuk merangsang
sistem imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat

melindungi tubuh dari serangan penyakit yang dapat dicegah dengan


vaksin. Ada beberapa jenis vaksin. Namun, apa pun jenisnya tujuannya
sama, yaitu menstimulasi reaksi kekebalan tanpa menimbulkan penyakit.
Vaksin

adalah

bahan

antigenik

yang

digunakan

untuk

menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat


mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau
liar.
Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan
sehingga tidak menimbulkan penyakit.Vaksin dapat juga berupa organisme
mati atau hasil-hasil pemurniannya (protein, peptida, partikel serupa virus,
dsb.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan manusia atau hewan
untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus,
atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan
sel-sel degeneratif (kanker).
Pemberian vaksin diberikan untuk merangsang sistem imunologi
tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi
tubuh dari serangan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin.Ada
beberapa jenis vaksin. Namun, apa pun jenisnya tujuannya sama, yaitu
menstimulasi reaksi kekebalan tanpa menimbulkan penyakit.
Ketika seorang individu divaksinasi terhadap penyakit atau infeksi,
mengatakan difterinya sistem kekebalan tubuh siap untuk melawan
infeksi.Setelah divaksinasi ketika orang terkena bakteri yang menyebabkan
tubuh persneling untuk melawan infeksi.
Vaksin memanfaatkan kemampuan alami tubuh untuk belajar
bagaimana untuk menghilangkan hampir semua penyebab penyakit
kuman, atau mikroba, yang menyerang itu.Setelah divaksinasi tubuh
"mengingat" bagaimana melindungi diri dari mikroba yang dialami
sebelumnya.

3. Komposisi Vaksin (Fisikokimia antigen)

Komposisi vaksin terdiri dari antigen (atenuated/ diinaktifkan) ditambah


adjuvant. Adjuvant ialah substansi yang bila disuntikkan bersama-sama dengan
antigen akan menambah produksi antibody. Berbagai macam substansi dengan
komposisi kimiawi memiliki efak adjuvant. Substansi semacam itu meliputi alum
dan garam-garam aluminium lainnya, natrium alginate,endotoksin bakteri, dan
suspense air dalam minyak dengan atau tanpa mikro bakteri yang telah dimatikan.
Sebagai contoh adjuvant Freund adalah yang paling banyak dipelajari serta paling
banyak digunakan didalam percobaan. Adjuvant freund terdiri dari minyak
mineral,zat pengemulsi dan basilus tuberkolosis yang telah dimatikan.
Terdapat 4 jenis adjuvan yaitu :
1. Adjuvant sebagai antigen depot : dilepaskan sedikit demi sedikit
contoh : cfa, ifa, aluminium hydroxida
2. Adjuvan bakteri :
contoh : corynebacterium parvum, bordetella pertusis, muramyl dipeptida
3. Adjuvan sbg vehicle : ke limpha dan nodus limfe
4. Adjuvan alternatif

4. Jenis - jenis Vaksin


Berdasarkan bahan imun yang digunakan ada tiga jenis vaksin, yaitu
vaksin hidup (aktif), vaksin hidup yang dilemahkan dan vaksin inaktif (vaksin
mati).
1. Vaksin hidup (aktif)
Vaksin hidup terbuat dari virus hidup yang diatenuasikan dengan cara pasase
berseri pada biakan sel tertentu atau telur ayam berembrio. Didalam vaksin
mengandung virus hidup yang dapat berkembang biak dan merangsang respon
imun tanpa menimbulkan sakit. Vaksin hidup yang telah dikembangkan antara lain
terhadap pasteurella multocida (pada ayam), vibrio cholera (pada manusia),
anthrax (pada domba), rabies (pada anjing).

2. Vaksin HIDUP yang dilemahkan

Vaksin hidup yang dibuat dari bakteri atau virus yang sudah dilemahkan daya
virulensinya dengan cara kultur dan perlakuan yang berulang-ulang, namun masih
mampu menimbulkan reaksi imunologi yang mirip dengan infeksi alamiah. Sifat
vaksin yang dilemahkan, yaitu :
* Vaksin dapat tumbuh dan berkembang biak sampai menimbulkan respon imun
sehingga diberikan dalam bentuk dosis kecil antigen
* Respon imun yang diberikan mirip dengan infeksi alamiah, tidak perlu dosis
berganda
* Dipengaruhi oleh circulating antibody sehingga ada efek netralisasi jika waktu
pemberiannya tidak tepat.
* Mempunyai kemampuan proteksi jangka panjang dengan keefektifan mencapai
95%
* Virus yang telah dilemahkan dapat bereplikasi di dalam tubuh, meningkatkan
dosis asli dan berperan sebagai imunisasi ulangan
Contoh : vaksin polio (Sabin), vaksin MMR, vaksin TBC, vaksin demam tifoid,
vaksin campak, gondongan, dan cacar air (varisela).
Keuntungan Vaksin Hidup Yang Dilemahkan
Kelebihan attenuated vaccine (vaksin hidup yang dilemahkan) adalah bahwa
agen infeksi yang dikandung dalam vaksin tersebut sama dengan tipe aslinya,
tetapi tidak lagi mampu menimbulkan penyakit (karena mengalami mutasi atau
dimutasikan) tetapi mempunyai jumlah imunogen yang sama. Selanjutnya karena
agen infeksinya masih hidup maka di dalam tubuh resipien akan bertambah
banyak, sehingga memberikan imunogen dalam jumlah hampir tidak terbatas
sehingga merangsang pembentukan antibodi yang lebih tahan lama dan juga
memberi perlindungan pada pintu-pintu masuk antigen dan tidak perlu adjuvant.
Kekurangan Vaksin Hidup Yang Dilemahkan
1. Agen infeksi yang terkandung di dalamnya tersebut mempunyai kemungkinan
untuk mengalami mutasi balik ke sifat virulennya sehingga dapat menyebabkan
penyakit.
2. Penyimpanan dan masa berlaku vaksin yang terbatas, dperlukan stabilisator
dalam penyimpanan

3. Tingginya resiko tercemar dengan organisme yang tidak diinginkan.


Para ilmuwan memproduksi vaksin dilemahkan dengan membunuh
mikroba penyebab penyakit dengan bahan kimia, panas radiasi, atau. Vaksin
tersebut lebih stabil dan lebih aman dari vaksin hidup: Para mikroba mati tidak
dapat bermutasi kembali ke penyebab penyakit negara mereka. Vaksin dilemahkan
biasanya tidak memerlukan pendinginan, dan mereka dapat dengan mudah
disimpan dan diangkut dalam bentuk beku-kering, yang membuat mereka dapat
diakses oleh orang di negara berkembang.
Kebanyakan vaksin tidak aktif, bagaimanapun, merangsang respon sistem
kekebalan yang lebih lemah dibandingkan vaksin hidup. Jadi kemungkinan akan
mengambil

dosis

beberapa

tambahan,

atau

suntikan

booster,

untuk

mempertahankan kekebalan seseorang. Hal ini bisa menjadi kelemahan di daerah


di mana orang tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan rutin dan tidak bisa
mendapatkan tembakan pendorong tepat waktu.
Hingga 15 % pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan
selama 3 hari yang dapat terjadi 8 - 12 hari setelah vaksinasi. Terjadinya
Encephalitis setelah vaksinasi pernah dilaporkan yaitu dengan perbandingan 1
kasus per 1 juta dosis yang diberikan.

Kelebihan dan Kelemahan Vaksin Hidup yang Dilemahkan :


Kelebihanannya :
Karena

mengandung

bibit

penyakit

hidup

yang

dilemahkan,

sehingga

menimbulkan reaksi rangsangan yang sangat kuat terhadap sistim imunologi


tubuh kita untuk memproduksi zat antibody, dan reaksi ini bertahan cukup lama
bahkan seumur hidup, sehingga kita tidak memerlukan mengulang vaksinasi
atau dosis booster.
Kelemhannya:

Kelemahanya adalah karena ini mengandung bakteri yang hidup meski telah
dilemahkan, sehingga vaksin jenis ini tidak boleh diberikan untuk wanita hamil,
mereka yang mengalami kelainan sistim imunologi /sistim pertahanan tubuh,
misalnya penderita penyakit HIV AIDs, orang yang dicangkok organ tubuh,
pasien ginjal yang melakukan dialisis (cuci) darah dan penderita yang diobati
dengan kortikosteroid.
Karena bibit penyakit masih hidup meskipun telah dilemahkan, masih ada
kemungkinan terjadi mutasi genetik, dimana bibit penyakit menjadi ganas
kembali, sehinggga menimbulkan penyakit bagi penerima vaksin tersebut.
Juga dikatakan bahwa kemungkinan efek samping lebih banyak ditemukan
dengan vaksin hidup yang dilemahkan daripada dengan vaksin mati
Karena mengandung bibit penyakit yang masih hidup, maka dalam penyimpanan
vaksin ini diperlukan suhu rendah untuk menyimpannya, biasanya adalah suhu
minus 20 derajat Celsius.
Catatan : dalam penelitian vaksin, ditemukan bahwa vaksin hidup lebih baik
dipakai untuk mencegah penyakit infeksi karena virus daripada penyakit infeksi
karena bakteri
Contoh vaksin hidup yang dilemahkan (Live Attenauted Vaccines) :
Vaksin MMR
Vaksin Oral Polio (OPV)
Vaksin Varicella
Vaksin Yellow Fever / Demam Kuning
Vaksin Rotavirus

3. Vaksin Mati (inaktif)


Vaksin inaktif dihasilkan dengan menghancurkan infektivitasnya sedangkan
imunogenitasnya masih dipertahankan. dengan cara; (1) fisik misalnya dengan
pemanasan, radiasi (2) kimia, dengan bahan kimia fenol, betapropiolakton,
formaldehid, etilenimin. Dengan perlakuan ini virus menjadi inaktif tetapi
imunogenitasnya masih ada. Vaksin ini sangat aman karena tidak infeksius,
namun diperlukan jumlah yang banyak untuk menimbulkan respon antibodi. Sifat
vaksin mati, yaitu :
* Respon imun yang timbul sebagian besar adalah humoral dan hanya sedikit atau
tidak menimbulkan imunitas seluler
* Titer antibodi dapat menurun setelah beberapa waktu sehingga diperlukan dosis
ulangan, dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif tetapi hanya
memacu dan menyiapkan system imun, respon imunprotektif baru barumuncul
setelah dosis kedua dan ketiga
* Tidak dipengaruhi oleh circulating antibody
Contoh : vaksin rabies, vaksin influenza, vaksin polio (Salk), vaksin pneumonia
pneumokokal, vaksin kolera, vaksin pertusis, dan vaksin demam tifoid.

Kelebihan dan Kelemahan Vaksin Mati :


Kelebihannya :
Keuntungan vaksin mati adalah bisa dipergunakan untuk semua orang, termasuk
untuk wanita hamil, mereka yang mengalami kelainan sistim imunologi/sistim
pertahanan tubuh, misalnya penderita penyakit HIV AIDs, orang yang
dicangkok organ tubuh, pasien ginjal yang melakukan dialisis (cuci) darah,
atau pasien yang mendapat pengobatan kortiosteroid.

Karena hanya mengandung bakteri atau virus mati, tidak ada lagi kemungkinan
mutasi genetik dari bibit penyakit kembali menjadi ganas, sehingga aman bagi
pemakai vaksin tersebut.
Cara menyimpan vaksin mati ini juga lebih mudah daripada vaksin hidup, cukup
disimpan dalam suhu 2 8 derajat Celsius.
Kelemahannya :
Kelemahannya adalah karena bakteri atau virus penyebab penyakitnya telah
dimatikan, maka reaksi perangsangan terhadap sistim imunologi tubuh lebih
lemah, sehingga untuk mendapatkan hasil proteksi yang optimal, dan berlangsung
lama, diperlukan pengulangan vaksinasi, yang disebut dosis booster / dosis
penguat ulangan.
Catatan: dalam penelitian vaksin, ditemukan bahwa vaksin mati lebih baik
dipakai untuk mencegah penyakit infeksi karena bakteri daripada penyakit
infeksi karena virus
Contoh Vaksin Mati (Killed Vaccines / Inactivated Vaccines) :
Vaksin Polio Inactivated (IPV)
Vaksin DPT
Vaksin Hepatitis A dan B
Vaksin Pneumonia
Vaksin Meningitis
Vaaksin Hib dan Vaksin Influenza
Vaksin Human Papiloma Virus
Vaksin Demam Typhoid

Keuntungan Vaksin Mati


Vaksin ini berupa mikroba yang dimatikan sehingga lebih stabil dan lebih
aman dibanding vaksin hidup karena mikroba tidak dapat bermutasi balik. Vaksin
ini menstimulasi sistem imun yang lebih lemah dibandingkan vaksin hidup. serta
vaksin ini mudah dalam proses penyimpanannya.
Kekurangan Vaksin Mati
1. Kekebalan berlangsung singkat, sehingga harus ditingkatkan kembali dengan
pengulangan

vaksinasi

yang

mungkin

menimbulkan

reaksi-reaklsi

hipersensitifitas.
2. Pemberian secara parenteral memberikan perlindungan yang terbatas.
3. Resistensi lokal pada pintu-pintu masuk alamiah/multiplikasi utama infeksi
virus tidak terjadi. Memerlukan adjuvan untuk meningkatkan antigenisitas yang
efektif.
4. Mempunyai viskositas yang tinggi sehingga sulit disuntikkan, mudah
mengalami kerusakan dalam penyimpanan pada suhu kamar, masa kadaluarsa
yang singkat.
Berdasarkan mikroorganisme pembentuknya, terdapat vaksin yang terbuat dari
komponen bakteri dan terbuat dari komponen virus.
* Vaksin dengan Komponen Bakteri :
* Vaksin Toksoid
Vaksin yang dibuat dari beberapa jenis bakteri yang menimbulkan penyakit
dengan memasukkan racun dilemahkan ke dalam aliran darah. Bahan bersifat
imunogenik yang dibuat dari toksin kuman. Hasil pembuatan bahan toksoid yang
jadi disebut sebagai natural fluid plain toxoid yang mampu merangsang
terbentuknya antibodi antitoksin. Imunisasi bakteri toksoid efektif selama satu
tahun. Bahan ajuvan digunakan untuk memperlama rangsangan antigenik dan
meningkatkan imunogenesitasnya.
Contoh : Vaksin Difteri dan Tetanus
Untuk bakteri yang mengeluarkan racun, atau bahan kimia berbahaya,
vaksin toksoid mungkin jawabannya. Vaksin ini digunakan ketika sebuah toksin

bakteri adalah penyebab utama penyakit. Para ilmuwan telah menemukan bahwa
mereka dapat menonaktifkan racun dengan memperlakukan mereka dengan
formalin solusi, formaldehida dan air steril. Seperti "didetoksifikasi" racun, yang
disebut toxoid, aman untuk digunakan dalam vaksin.
Ketika sistem kekebalan tubuh menerima vaksin yang mengandung
toksoid tidak berbahaya, ia belajar bagaimana untuk melawan toksin alami.
Sistem kekebalan tubuh menghasilkan antibodi yang mengunci ke dan blok
toksin. Vaksin terhadap difteri dan tetanus adalah contoh dari vaksin toksoid.
Kontra indikasi
Gejala-gejala berat karena dosis pertama TT.
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan. Gejala-gejalanya seperti lemas
dan kemerahan pada lokasi penyuntikan dan bersifat sementara. Terkadang terjadi
demam.

* Vaksin DNA (Plasmid DNA Vaccines)


Vaksin dengan pendekatan baru dalam teknologi vaksin yang memiliki potensi
dalam menginduksi imunitas seluler. Dalam vaksin DNA gen tertentu dari
mikroba diklon ke dalam suatu plasmid bakteri yang direkayasa untuk
meningkatkan ekspresi gen yang diinsersikan ke dalam sel mamalia. Setelah
disuntikkan DNA plasmid akan menetap dalam nukleus sebagai episom, tidak
berintegrasi kedalam DNA sel (kromosom), selanjutnya mensintesis antigen yang
dikodenya. Beberapa kelemahan vaksin DNA bahwa kemungkinan DNA dalam
vektor plasmid akan berintegrasi kedalam genom host/inang, kemungkinan akan
menginduksi tumor atau menginduksi terbentuknya antibodi terhadap DNA.
Selain itu vaksin DNA dapat menginduksi respon imun seluler yang kuat tidak
hanya terhadap antigen mikroba melainkan juga terhadap antigen inangnya.
Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mengetahui keamanan vaksin DNA
yang efektif terhadap patogen intraseluler.
Setelah gen dari mikroba telah dianalisis, para ilmuwan bisa mencoba
untuk membuat vaksin DNA terhadap itu.

Masih dalam tahap percobaan, vaksin ini menunjukkan janji besar, dan
beberapa jenis sedang diuji pada manusia. Vaksin DNA mengambil imunisasi ke
tingkat teknologi baru. Vaksin ini mengeluarkan dengan baik organisme
keseluruhan dan bagian-bagiannya dan mendapatkan hak ke penting: materi
genetik mikroba. Secara khusus, vaksin DNA menggunakan gen yang kode untuk
mereka semua-penting antigen.
Para peneliti telah menemukan bahwa ketika gen untuk antigen mikroba
adalah diperkenalkan ke dalam tubuh, beberapa sel akan mengambil DNA yang.
DNA kemudian memerintahkan sel-sel untuk membuat molekul antigen. Sel-sel
mensekresikan antigen dan menampilkan mereka di permukaan mereka. Dengan
kata lain, sel-sel tubuh sendiri menjadi vaksin-membuat pabrik, menciptakan
antigen yang diperlukan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh.
Sebuah vaksin DNA terhadap mikroba akan membangkitkan respon
antibodi yang kuat terhadap antigen yang mengambang bebas disekresikan oleh
sel, dan vaksin juga akan merangsang respon seluler yang kuat terhadap antigen
mikroba yang ditampilkan pada permukaan sel. Vaksin DNA tidak dapat
menyebabkan penyakit karena tidak akan mengandung mikroba, hanya salinan
dari beberapa gen. Selain itu, vaksin DNA relatif mudah dan murah untuk
merancang dan menghasilkan.
Jadi yang disebut vaksin DNA telanjang terdiri dari DNA yang diberikan
langsung ke dalam tubuh. Vaksin ini dapat diberikan dengan jarum suntik atau
dengan perangkat jarum-kurang yang menggunakan gas bertekanan tinggi untuk
menembak partikel emas dilapisi dengan DNA mikroskopis langsung ke dalam
sel. Kadang-kadang, DNA dicampur dengan molekul yang memfasilitasi
penyerapan oleh sel-sel tubuh. Vaksin DNA telanjang yang sedang diuji pada
manusia termasuk yang melawan virus yang menyebabkan influenza dan herpes.
Pada sistem saraf pusat dilaporakan terjadi malaise (perasaan tidak
nyaman) sekitar 12% dan sakit kepala (2%).pada system pencernaan
(gastrointestinal) dilaporkan terjadi mual (2-5%), muntah (3%) dan diare (2-3%).

Vaksin Konjugat
Jika bakteri memiliki lapisan luar dari molekul gula yang disebut
polisakarida, seperti bakteri berbahaya banyak, para peneliti dapat mencoba
membuat vaksin konjugasi untuk itu.Coating antigen polisakarida bakteri
menyamar sehingga sistem kekebalan yang belum matang bayi dan anak-anak
muda tidak dapat mengenali atau menanggapi mereka. Konjugat vaksin, tipe
khusus vaksin subunit, mendapatkan sekitar masalah ini.
Ketika membuat vaksin konjugasi, para ilmuwan menghubungkan toxoid
antigen atau dari mikroba bahwa sistem kekebalan bayi bisa mengenali dengan
polisakarida. Hubungan yang membantu sistem kekebalan tubuh yang belum
matang bereaksi terhadap lapisan polisakarida dan membela terhadap bakteri
penyebab penyakit.
Vaksin yang melindungi terhadap Haemophilus influenzae tipe B (Hib)
adalah vaksin konjugasi.

* Vaksin dengan Komponen Virus :


* Vaksin Acellular dan Subunit
Vaksin yang dibuat dari bagian tertentu dalam virus atau bakteri dengan
melakukan kloning dari gen virus atau bakteri melalui rekombinasi DNA, vaksin
vektor virus dan vaksin antiidiotipe.
Alih-alih seluruh mikroba, vaksin subunit hanya mencakup antigen yang
paling merangsang sistem kekebalan tubuh. Dalam beberapa kasus, vaksin ini
menggunakan epitop-bagian yang sangat spesifik antigen yang antibodi atau sel T
mengenali dan mengikat. Karena vaksin subunit hanya berisi antigen penting dan
tidak semua molekul lain yang membentuk mikroba, kemungkinan reaksi negatif
terhadap vaksin lebih rendah.
Vaksin subunit dapat berisi mana saja dari 1 sampai 20 atau lebih antigen.
Tentu saja, mengidentifikasi antigen yang terbaik merangsang sistem kekebalan
tubuh adalah, rumit proses memakan waktu. Setelah para ilmuwan itu,

bagaimanapun, mereka dapat membuat vaksin subunit dalam salah satu dari dua
cara:

Mereka bisa tumbuh mikroba di laboratorium dan kemudian menggunakan


bahan kimia untuk istirahat itu terpisah dan mengumpulkan antigen penting.

Mereka dapat memproduksi molekul antigen dari mikroba menggunakan


teknologi DNA rekombinan. Vaksin diproduksi dengan cara ini disebut "vaksin
subunit rekombinan."
Sebuah vaksin subunit rekombinan telah dibuat untuk virus hepatitis B. Para
ilmuwan dimasukkan hepatitis B gen yang kode untuk antigen penting ke ragi roti
yang umum itu. Ragi kemudian menghasilkan antigen, yang para ilmuwan
dikumpulkan dan dimurnikan untuk digunakan dalam vaksin. Penelitian
melanjutkan vaksin subunit rekombinan terhadap virus hepatitis C.

Contoh vaksin hepatitis B, Vaksin hemofilus influenza tipe b (Hib) dan vaksin
Influenza.
* Vaksin Rekombinan
Vaksin rekombinan memungkinkan produksi protein virus dalam jumlah besar.
Gen virus yang diinginkan diekspresikan dalam sel prokariot atau eukariot. Sistem
ekspresi eukariot meliputi sel bakteri E.coli, yeast, dan baculovirus. Dengan
teknologi DNA rekombinan selain dihasilkan vaksin protein juga dihasilkan
vaksin DNA. Penggunaan virus sebagai vektor untuk membawa gen sebagai
antigen pelindung dari virus lainnya, misalnya gen untuk antigen dari berbagai
virus disatukan ke dalam genom dari virus vaksinia dan imunisasi hewan dengan
vaksin bervektor ini menghasilkan respon antibodi yang baik. Susunan vaksin ini
(misal hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Sintesis dari
antigen vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi
sel penerima vaksin.
* Vaksin Idiotipe

Vaksin yang dibuat dengan melakukan kloning dari gen virus melalui rekombinasi
DNA, berdasarkan sifat bahwa Fab (fragment antigen binding) dari antibodi yang
dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung asam amino yang disebut sebagai
idiotipe atau determinan idiotipe yang dapat bertindak sebagai antigen. Vaksin ini
dapat menghambat pertumbuhan virus melalui netralisasai dan pemblokiran
terhadap reseptor pre sel B.
Vaksin rekombinan vektor
Vaksin rekombinan vektor vaksin eksperimental mirip dengan vaksin
DNA, tetapi mereka menggunakan sebuah virus dilemahkan atau bakteri untuk
memperkenalkan DNA mikroba untuk sel-sel tubuh. "Vector" mengacu pada virus
atau bakteri digunakan sebagai carrier.
Di alam, virus menempel pada sel-sel dan menyuntikkan materi genetik
mereka ke dalamnya. Di laboratorium, para ilmuwan telah mengambil keuntungan
dari proses ini. Mereka telah menemukan cara untuk mengambil genom virus
lapang tidak berbahaya atau dilemahkan tertentu dan memasukkan bagian-bagian
dari materi genetik dari mikroba lain ke dalamnya. Virus pembawa kemudian feri
bahwa DNA mikroba untuk sel. Vaksin rekombinan vektor sangat menyerupai
infeksi alam dan karena melakukan pekerjaan dengan baik merangsang sistem
kekebalan tubuh.

http://infoimunisasi.com/vaksin/definisi-vaksin/

Jumlah Antigen dalam Satu Sediaan Vaksin :


Vaksin Monovalent dan Vaksin Polyvalent
Dalam perkembangan teknologi pembuatan vaksin, telah terjadi suatu lompatan
besar dalam sediaan vaksin, yaitu adanya vaksin kombinasi yang terdiri beberapa

jenis antigen vaksin dalam satu sediaan, sehingga vaksinasi sekarang menjadi
lebih sederhana dan ringkas, yaitu sekali suntikan akan memberikan beberapa
jenis vaksin sekaligus, dengan demikian juga memberikan proteksi terhadap
beberapa penyakit sekali suntik saja, ini akan mengurangi sangat bermakna
jumlah suntikan yang harus diberikan untuk bayi dan anak.
Saat ini kita masih mengenal adanya Vaksin Monovalent yang artinya dalam
sediaan vaksin hanya mengandung satu jenis antigen saja, misalnya vaksin
Hepatitis A, vaksin Hepatitis B, vaksin Rabies, vaksin Polio inactivated, vaksin
influenza, semua contoh vaksin tadi yang dalam satu sediaan vaksin hanya
mengandung satu jenis antigen, sehingga bertujuan mencegah hanya satu jenis
penyakit saja.
Vaksin Monovalent ini adalah sedia vaksin yang pertama kali dibuat oleh pabrik
vaksin karena keterbatasan teknologi saat itu, juga karena indikasi pemakaiannya,
sehingga vaksin monovalent tetap diperlukan.
Kemudian kita juga dikenalkan dengan Vaksin Polyvalent atau lebih populer
dikenal Vaksin Kombinasi. Dalam satu sediaan vaksin polyvalent atau vaksin
kombinasi terdapat lebih dari 2 jenis antigen bakteri atau virus yang dipergunakan
untuk merangsang sistim imunologi tubuh untuk membuat zat antibody.
Saat ini vaksin kombinasi yang kita kenal adalah:
Vaksin DTwP dan vaksin DTaP > Vaksin bakteri kombinasi untuk penyakit
difteri, pertusis dan tetanus (vaksin kombinasi trivallent)
Vaksin DTaP HepB Polio > Vaksin bakteri dan virus, kombinasi untuk penyakit
DPT, hepatitis B dan Polio (vaksin kombinasi pentavalent)
Vaksin DTaP Hib Polio > Vaksin bakteri dan virus, kombinasi untuk penyakit
DPT, Haemophilus Influenza dan Polio (vaksin kombinasi pentavalent)
Vaksin DPaT HepB Hib Polio > Vaksin bakteri dan virus, kombinasi untuk
penyakit DPT, Hib, Hepatitis B dan Polio (vaksin kombinasi hexavalent)

Vaksin DPaT Hib > Vaksin bakteri kombinasi untuk penyakit DPT dan Hib
(vasin kombinasi tetravalent)
Pemakaian Vaksin kombinasi dan vaksin monovalent dapat dilakukan berdasarkan
usia bayi anak atau untuk vaksinasi orang dewasa dan orang usia lanjut.
Keuntungan vaksin kombinasi atau vaksin polyvalent adalah :
mengurangi jumlah suntikan yang harus diberikan sejak bayi baru lahir
hingga remaja
meningkatkan kepatuhan jadwal vaksinasi dan imunisasi bayi dan anak juga
bagi orang dewasa dan lanjut usia
efisiensi dan ekonomis bagi orang tua dan juga bagi rumah sakit dan dokter
vaksinator
memudahkan transportasi, rantai dingin (cold chain vaccine) dan ruang
penyimapanan /storage vaksin
5.

Bahan-bahan Pembuatan Vaksin

Berikut bahan-bahan pembuat vaksin :


1. Alumunium, logam ini ditambahkan kepada vaksin dalam bentuk gel atau
garam untuk mendorong anti body. Logam ini dikenal sebagai
kemungkinan penyebab kejang, penyakit Alzheimer, kerusakan otak, dan
dementia (pikun). Menurut pemerhati vaksin Australia bahan ini dapat
meracuni darah, syaraf pernafasan, mengganggu sistem imun dan syaraf
seumur hidup. Alumunium digunakan pada vaksin DPT dan Hepatitis B.
2. Benzetonium klorida, yaitu bahan pengawet yang belum dievaluasi untuk
konsumsi manusia dan banyak digunakan untuk vaksin anthrax.
3. Etilen Glikol, merupakan bahan utama anti beku yang digunakan pada
beberapa vaksin yaitu DPT, Polio, Hepatitis B sebagai bahan pengawet.

4. Formaldehida/Formalin, bahan ini menimbulkan kekhawatiran besar


karena dipakai sebagai karsinogen (zat pencetus kanker). Bahan ini
dikenal sebagai bahan pembalseman.
5. Gelatin, biasanya digunakan pada Vaksin Cacar Air dan MMR.
6. Glutamat, digunakan untuk menstabilkan beberapa vaksin panas, cahaya
dan kondisi lingkungan lainnya. Bahan Ini banyak ditemukan pada Vaksin
Varicella.
7. Neomicin, antibiotik ini digunakan untuk mencegah pertumbuhan kuman
di dalam perkembangbiakan vaksin. Bahan ini dapat menyebabkan gatal
pada sebagian orang dan biasanya terdapat pada Vaksin MMR dan Polio.
8. Fenol, bahan yang berasal dari tar batubara ini digunakan dalam produk
bahan pewarna. Bahan ini sangat berbahaya dan beracun.
9. Streptomisin, antibiotika ini dikenal menimbulkan reaksi alergi dan
ditemukan pada Vaksin Polio.
10. Timerosal, bahan ini adalah pengawet yang mengandung 50% etil
merkuri.
Sementara itu pemerhati vaksin dari Australia juga mencatat adanya bahan-bahan
lain seperti :
1. Ammonium Sulfat, diduga dapat meracuni sistem pencernaan, hati,
syaraf dan sistem pernafasan.
2. Ampotericin B, sejenis obat yang digunakan untuk mencegah penyakit
jamur. Efek sampingya dapat menyebabkan pembekuan darah.
3. Kasein, perekat yang kuat, sering digunakan untuk merekatkan label pada
botol. Walaupun dihasilkan dari susu, namun di dalam tubuh protein ini
dianggap sebagai protein asing beracun.
4.
Proses Pembuatan Vaksin oleh Virus

Produksi vaksin antivirus saat ini merupakan sebuah proses rumit bahkan
setelah tugas yang berat untuk membuat vaksin potensial di laboratorium.
Perubahan dari produksi vaksin potensial dengan jumlah kecil menjadi
produksi bergalon-galon vaksin yang aman dalam sebuah situasi produksi
sangat dramatis, dan prosedur laboratorium yang sederhana tidak dapat
digunakan untuk meningkatkan skala produksi.
Pengumpulan Benih Virus
Produksi vaksin dimulai dengan sejumlah kecil virus tertentu (atau disebut
benih). Virus harus bebas dari kotoran, baik berupa virus yang serupa atau
variasi dari jenis virus yang sama. Selain itu, benih harus disimpan dalam
kondisi ideal, biasanya beku, yang mencegah virus menjadi lebih kuat atau
lebih lemah dari yang diinginkan. Benih disimpan dalam gelas kecil atau
wadah plastik.Jumlah yang kecil hanya 5 atau 10 cm 3, mengandung ribuan
hingga jutaan virus, nantinya dapat dibuat menjadi ratusan liter vaksin.Freezer
dipertahankan pada suhu tertentu. Grafik di luar freezerakan mencatat secara
terus menerus suhu freezer. Sensor terhubung dengan alarm yang dapat
didengar atau alarm komputer yang akan menyala jika suhu freezer berada di
luar suhu yang seharusnya.
Pertumbuhan Virus
Setelah mencairkan dan memanaskan benih virus dalam kondisi tertentu
secara hati-hati (misalnya, pada suhu kamar atau dalam bak air), sejumlah
kecil sel virus ditempatkan ke dalam pabrik sel sebuah mesin kecil yang
telah dilengkapi sebuah media pertumbuhan yang tepat sehingga sel
memungkinkan virus untuk berkembang biak.
Setiap jenis virus tumbuh terbaik di media tertentu, namun semua media
umumnya mengandung protein yang berasal dari mamalia, misalnya protein
murni dari darah sapi. Media juga mengandung protein lain dan senyawa
organik yang mendorong reproduksi sel virus. Penyediaan media yang benar,
pada suhu yang tepat, dan dengan jumlah waktu yang telah ditetapkan, virus
akan bertambah banyak.

Selain suhu, faktor-faktor lain harus dipantau adalah pH.pH adalah ukuran
keasaman atau kebasaan, diukur pada skala dari 0 sampai 14, dan virus harus
disimpan pada pH yang tepat dalam pabrik sel. Air tawar yang tidak asam atau
basa (netral) memiliki pH 7. Meskipun wadah di mana sel-sel tumbuh tidak
terlalu besar (mungkin ukuran pot 4-8 liter), terdapat sejumlah katup, tabung,
dan sensor yang terhubung dengannya.Sensor memantau pH dan suhu, dan
ada berbagai koneksi untuk menambahkan media atau bahan kimia seperti
oksigen untuk mempertahankan pH, tempat untuk mengambil sampel untuk
analisis mikroskopik, dan pengaturan steril untuk menambahkan komponen ke
pabrik sel dan mengambil produk setengah jadi ketika siap.
Virus dari pabrik sel ini kemudian dipisahkan dari media, dan ditempatkan
dalam media kedua untuk penumbuhan tambahan. Metode awal yang dipakai
40 atau 50 tahun yang lalu yaitu menggunakan botol untuk menyimpan
campuran, dan pertumbuhan yang dihasilkan berupa satu lapis virus di
permukaan media. Peneliti kemudian menemukan bahwa jika botol itu
berubah posisi saat virus tumbuh, virus bisa tetap dihasilkan karena lapisan
virus tumbuh pada semua permukaan dalam botol.
Sebuah penemuan penting dalam tahun 1940-an adalah bahwa pertumbuhan
sel sangat dirangsang oleh penambahan enzim pada medium, yang paling
umum digunakan yaitu tripsin.Enzim adalah protein yang juga berfungsi
sebagai katalis dalam memberi makan dan pertumbuhan sel.
Dalam praktek saat ini, botol tidak digunakan sama sekali. Virus yang sedang
tumbuh disimpan dalam wadah yang lebih besar namun mirip dengan pabrik
sel, dan dicampur dengan manik-manik, partikel mikroskopis dimana virus
dapat menempelkan diri.Penggunaan manik-manik memberi virus daerah
yang lebih besar untuk menempelkan diri, dan akibatnya, pertumbuhan virus
menjadi jauh lebih besar.Seperti dalam pabrik sel, suhu dan pH dikontrol
secara ketat.Waktu yang dihabiskan virus untuk tumbuh bervariasi sesuai
dengan jenis virus yang diproduksi, dan hal itu sebuah rahasia yang dijaga
ketat oleh pabrik.
Pemisahan Virus

Ketika sudah tercapai jumlah virus yang cukup banyak, virus dipisahkan dari
manik-manik dalam satu atau beberapa cara. Kaldu ini kemudian dialirkan
melalui sebuah filter dengan bukaan yang cukup besar yang memungkinkan
virus untuk melewatinya, namun cukup kecil untuk mencegah manik-manik
dapat lewat. Campuran ini disentrifugasi beberapa kali untuk memisahkan
virus dari manik-manik dalam wadah sehingga virus kemudian dapat
dipisahkan. Alternatif lain yaitu dengan mengaliri campuran manik-manik
dengan media lain sehingga dapat memisahkan manik-manik dari virus.
Memilih Strain Virus
Vaksin bisa dibuat baik dari virus yang dilemahkan atau virus yang dimatikan.
Pemilihan satu dari yang lain tergantung pada sejumlah faktor termasuk
kemanjuran vaksin yang dihasilkan dan efek sekunder. Virus yang dibuat
hampir setiap tahun sebagai respon terhadap varian baru biasanya berupa virus
yang dilemahkan.Virulensi virus bisa menentukan pilihan; vaksin rabies,
misalnya, selalu vaksin dari virus yang dimatikan.
Jika vaksin dari virus dilemahkan, virus biasanya dilemahkan sebelum dimulai
proses produksi. Strain yang dipilih secara hati-hati dibudidayakan
(ditumbuhkan) berulang kali di berbagai media. Ada jenis virus yang benarbenar menjadi kuat saat mereka tumbuh. Strain ini jelas tidak dapat digunakan
untuk vaksin attenuated. Strain lainnya menjadi terlalu lemah karena
dibudidayakan berulang-ulang, dan ini juga tidak dapat diterima untuk
penggunaan vaksin. Beberapa virus yang tepat mencapai tingkat atenuasi
yang membuat mereka dapat diterima untuk penggunaan vaksin, dan tidak
mengalami perubahan dalam kekuatannya.Teknologi molekuler terbaru telah
memungkinkan atenuasi virus hidup dengan memanipulasi molekul, tetapi
metode ini masih langka.

Virus ini kemudian dipisahkan dari media tempat dimana virus itu
tumbuh.Vaksin yang berasal dari beberapa jenis virus (seperti kebanyakan
vaksin) dikombinasikan sebelum pengemasan. Jumlah aktual dari vaksin yang

diberikan kepada pasien akan relatif kecil dibandingkan dengan jumlah


medium yang dengan apa vaksin tersebut diberikan. Keputusan mengenai
apakah akan menggunakan air, alkohol, atau solusi lain untuk injeksi vaksin,
misalnya, dibuat setelah tes berulang-ulang demi keselamatan, steritilitas, dan
stabilitas.
6. Bahaya Vaksin
Vaksin mengandung substansi berbahaya yang diperlukan untuk mencegah
infeksi dan meningkatkan performa vaksin. Seperti merkuri, formaldehyde, dan
aluminium, yang dapat membawa efek jangka panjang seperti keterbelakangan
mental, autisme, hiperaktif. alzheimer, kemandulan, dll. Vaksin yang digunakan
untuk melindungi dan mencegah tubuh terserang penyakit dapat berasal dari
mikroorganisme

yang

dilemahkan

ataupun

toksin

yang

dihasilkan

mikroorganisme tersebut. Namun seringkali vaksin juga menyebabkan beberapa


efek samping yang merugikan karena vaksin akan langsung mempengaruhi
system kekebalan tubuh dan juga system syaraf, misalnya :
1. Mikroorganisme yang digunakan dalam membuat vaksin masih melanjutkan
proses produksi. Tidak semua kuman yang dilemahkan itu benar benar lemah pada
waktu diproduksi sebagai vaksin
2. Mikroorganisme yang digunakan dalam membuat vaksin masih memiliki
kemampuan untuk menyebabkan penyakit.
3. Ada sebagian orang yang alergi terhadap sisa-sisa sel yang ditinggalkan dari
proses vaksin meskipun sudah dilakukan proses pemurnian.
4. Orang-orang yang bekerja dalam pembuatan vaksin bersentuhan dengan
organisme berbahaya yang digunakan sebagai bahan pembuat vaksin meskipun
sudah dicegah dengan pengaman seperti masker dan sarung tangan. Material
pembawa kuman ini terdiri dari material yang tidak aman untuk kesehatan, seperti
logam Aluminium, Mercuri dan Formalin. Zat-zat ini terkenal sebagai zat yang
berbahaya untuk sistem syaraf dan malah bersifat menimbulkan kanker.

Efek Samping dari Vaksinasi

Seperti halnya obat, tidak ada vaksin yang bebas dari risiko efek samping. Namun
keputusan untuk tidak memberi vaksin juga lebih berisiko untuk terjadinya
penyakit atau lebih jauh menularkan penyakit pada orang lain. Resiko komplikasi
serius dari vaksin selalu jauh lebih rendah daripada risiko jika anak Anda jatuh
sakit dengan salah satu penyakit.
Vaksin terhadap Difteri, Tetanus, Batuk rejan, Polio dan Hib dapat
menyebabkan area merah dan bengkak di tempat vaksinasi. Hal ini akan hilang
dalam beberapa hari. Anak Anda mungkin mendapatkan demam pada hari
suntikan dan hingga 10 hari kemudian.
Efek samping yang paling sering terkait dengan Vaksin Pneumokokus adalah
reaksi di tempat suntikan seperti rasa sakit, nyeri, kemerahan atau bengkak,
demam dan lekas marah. Anak Anda mungkin juga mengantuk.
Vaksin MMR dapat menyebabkan reaksi singkat yang dapat dimulai dari
beberapa hari sampai tiga minggu setelah vaksinasi. Anak Anda mungkin
mendapatkan gejala-gejala ringan seperti penyakit yang sedang divaksinasi,
misalnya dingin, reaksi kulit, demam atau kelenjar ludah membengkak. Penelitian
intensif selama beberapa tahun terakhir telah menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara vaksin MMR dengan penyakit Crohn dan autis belum
terbukti.
Vaksin Meningitis C mungkin mempunyai efek sebagai berikut.
Bayi: beberapa pembengkakan dan kemerahan di tempat suntikan diberikan.
Balita selama 12 bulan: beberapa pembengkakan dan kemerahan di tempat suntikan
diberikan. Sekitar satu dari empat anak mungkin telah terganggu tidur.
Anak-anak Pra-sekolah: sekitar 1 dalam 20 mungkin memiliki beberapa bengkak di
tempat suntikan. Sekitar 1 dalam 50 mungkin mengalami demam ringan dalam
beberapa hari vaksinasi.
Anak-anak dan remaja: sekitar satu dari empat mungkin memiliki beberapa
pembengkakan dan kemerahan di tempat injeksi. Sekitar 1 dalam 50 mungkin
mengalami demam ringan. Sekitar 1 dari 100 mungkin mengalami sakit pada
lengan yang diinjeksi, yang bisa berlangsung satu atau dua hari.
Efek samping yang paling sering berkaitan dengan Vaksin HPV adalah rasa
sakit, kemerahan dan bengkak di tempat suntikan.

Efek samping umum lainnya antara lain adalah: sakit kepala, sakit otot atau
sendi, kemerahan dan bengkak di tempat suntikan, demam, pusing, iritasi kulit,
seperti gatal dan ruam, gangguan usus, seperti mual dan muntah, diare, sakit perut
Kerusakan Tubuh Akibat Vaksin

Menurut analisa bebas dari data yang dikeluarkan Vaccine Adverse Event
Reporting System (VAERS) di AS, pada tahun 1996 terdapat 872 peristiwa
buruk yang dilaporkan kepada VAERS, melibatkan anak-anak dibawah 14
tahun yang disuntik vaksin Hepatitis B. Anak-anak tersebut dibawa ke
ruang gawat darurat rumah sakit karena mengalami masalah kesehatan
yang mengancam nyawa. Sebanyak 48 anak dilaporkan meninggal setelah
mendapatkan suntikan vaksin tersebut.

Informasi kesehatan juga dipenuhi contoh yang mengaitkan vaksin dengan


timbulnya penyakit. Vaksin telah dikaitkan dengan kerusakan otak, IQ
rendah, gangguan konsentrasi, kemampuan belajar kurang, autisme,
neurologi.

Vaksin gondok dan campak yang diberikan pada anak-anak misalnya telah
menyebabkan kerusakan otak, kanker, diabetes, leukimia, hingga kematian
(sindrom kematian bayi mendadak).

Kajian tahun 1992 yang diterbitkan dalam The American Journal of


Epidemiology menunjukan tingkat kematian anak-anak meningkat hingga
8 kali pada jangka waktu 3 hari setelah mendapat suntikan vaksin DPT.

Kajian awal oleh CDC AS mendapati anak yang menerima vaksin Hib
berisiko 5 kali lebih mudah mengidap penyakit tersebut dibandingkan
anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin tersebut.

Pada tahun 1977, Dr Jonas Salk (Penemu vaksin Polio salk) mengeluarkan
pernyataan bersama ilmuan lain bahwa 87% dari kasus Polio yang terjadi
sejak tahun 1970 adalah akibat dari vaksin Polio.

Di AS sebelum tahun 1980 terdapat 1 dari 10.000 anak menderita autisme.


Pada tahun 2002 Institut Kesehatan Negeri AS mencatat peningkatan
angka tersebut menjadi 250 dari 10.000. Kini persatuan orang tua
penderita autisme Amerika memperkirakan peningkatan kasus autisme
10% per tahun. Vaksin yang mengandung raksa diyakini sebagai
penyebabnya.

Menurut Boyd Haley, pengurus program kimia Universitas Kentucky dan


pakar logam beracun Thimerosal mampu meresap diprotein otak, ia
sangat beracun bagi syaraf dan enzim Haley pun terlibat dalam penelitian
pada bulan Agustus tahun 2003, mendapati banyaknya kandungan raksa
pada penderita autisme, yang dapat dianalisa melalui kadar raksa pada
rambut mereka yang berarti etil raksa dari thimerosal telah meresap
kedalam otak dan organ tubuh lainnya sangat bepotensi menyebabkan
kerusakan sistem syaraf dan mengganggu fungsi ginjal.

Menurut San Jose Mercury News (6 Juli 2002), seorang dari sepuluh anakanak dan remaja AS mengalami kelemahan fisik dan mental, menurut
pengamatan tahun 2000 terdapat pertambahan mendadak angka kecacatan
pada penduduk usia muda. Sedangkan pada tahun sebelumnya data
menunjukan peningkatan kecacatan pada anak-anak.

Sampai usia 2 tahun, anak-anak Amerika dilaporkan telah menerima 237


mikrogram raksa melalui vaksin. Kadar ini melebihi ambang batas yang
ditetapkan Organisasi Perlindungan Alam AS yaitu 1/10 mikrogram per
hari.

Sebuah penemuan di Amerika menunjukan bahwa vaksin Hepatitis B


mengandung 12 mcg raksa (30 kali lipat dari ambang batas), DtaP dan Hib
mengandung 50 mcg raksa (60 kali lipat dari ambang batas) dan Polio
mengandung 62,5 mcg raksa (78 kali lipat dari ambang batas).

Di AS hari ini kasus asma, diabetes dan penyakit auto imun pada usia anak
telah meningkat 20 kali lipat dari tahun sebelumnya. Gangguan
konsentrasi telah meningkat 3 kali lipat.

Setiap tahun 25.000 bayi Amerika mengalami kematian mendadak.


Vaksinasi adalah penyebab terbesar kematian mendadak. Jepang telah
meningkatkan usia penerima vaksin sehingga 2 tahun kemudian angka
kematian mendadak turun drastis di negara itu (Cherry, et al, 1988)

Swedia menghentikan vaksinasi batuk rejan pada tahun 1979 karena


ternyata wabah penyakit ini terjadi pada anak-anak yang telah
mendapatkan vaksinasi. Setelah itu penyakit ini menjadi penyakit ringan
tanpa kasus kematian. Hal ini secara nyata menunjukan bahwa vaksin
sebenarnya menyebarkan penyakit.

Pada tahun 1975, Jerman menghentikan kewajiban vaksin Pertussis, dan


jumlah anak yang mengalami penyakit itu turun drastis. Pada tahun 2000
jumlahnya turun sampai 10%.

Bukti diatas menjadikan vaksinasi layak dipertanyakan. Fakta-fakta menjelaskan


bahwa vaksin tidak meningkatkan kesehatan anak-anak. Tetapi anehnya vaksin
terus-menerus dibuat dan diwajibkan kepada masyarakat.
http://kadekdharmadyatmika.blogspot.co.id/2013/01/makalah-biologivaksin_30.html
Manfaat
Dalam hal penyakit,

lebih bijaksana untuk mencegah

daripada

mengobati.Salah satu caranya adalah dengan memberikan vaksinasi.Vaksinasi


sangat membantu untuk mencegah penyakit-penyakit infeksi yang menular
baik karena virus atau bakteri, misalnya polio, campak, difteri, pertusis (batuk
rejan),

rubella

(campak

Jerman), meningitis,

tetanus, Haemophilus

influenzae tipe b (Hib), hepatitis, dll.


Sebenarnya setiap anak lahir dengan sistem kekebalan penuh terdiri dari
sel, kelenjar, organ, dan cairan yang berada di seluruh tubuhnya untuk melawan
bakteri dan virus yang menyerang.Sistem kekebalan mengenali kuman yang
memasuki tubuh sebagai penjajah asing, atau antigen, dan menghasilkan zat
protein yang disebut antibodi untuk melawan mereka.Suatu sistem kekebalan

tubuh yang sehat dan normal memiliki kemampuan untuk menghasilkan jutaan
antibodi untuk membela serangan terhadap ribuan antigen setiap hari.Mereka
melakukannya-secara alami sampai-sampai orang bahkan tidak menyadari mereka
sedang diserang dan membela diri. Ketika serangan sudah terlalu banyak dan
tubuh tidak mampu bertahan, barulah orang akan merasakan sakit atau berbagai
gejala penyakit. Banyak antibodi akan menghilang ketika mereka telah
menghancurkan antigen menyerang, tetapi sel-sel yang terlibat dalam produksi
antibodi akan bertahan dan menjadi sel memori. Sel memori ini dapat
mengingat antigen asli dan kemudian mempertahankan diri ketika antigen yang
sama mencoba untuk kembali menginfeksi seseorang, bahkan setelah beberapa
dekade kemudian. Perlindungan ini disebut imunitas.
Vaksin mengandung antigen yang sama atau bagian dari antigen yang
menyebabkan penyakit, tetapi antigen dalam vaksin adalah dalam keadaan
sudah dibunuh atau sangat lemah. Ketika mereka yang disuntikkan ke dalam
jaringan lemak atau otot, antigen vaksin tidak cukup kuat untuk menghasilkan
gejala dan tanda-tanda penyakit, tetapi cukup kuat bagi sistem imun untuk
menghasilkan antibodi terhadap mereka. Sel-sel memori yang menetap akan
mencegah infeksi ulang ketika mereka kembali lagi berhadapan dengan antigen
penyebab penyakit yang sama di waktu-waktu yang akan datang. Dengan
demikian, melalui vaksinasi, anak-anak mengembangkan kekebalan tubuh
terhadap penyakit yang mestinya bisa dicegah.
Namun perlu juga diingat bahwa karena vaksin berupa antigen, walaupun
sudah dilemahkan, jika daya tahan anak atau host sedang lemah, mungkin bisa
juga menyebabkan penyakit. Karena itu pastikan anak/host dalam keadaan sehat
ketika akan divaksinasi. Jika sedang demam atau sakit, sebaiknya ditunda dulu
untuk imunisasi/vaksinasi.

PALING BAWAH
7. Mikroba Penghasil Toksin Yang Berkaitan Dengan Vaksin (Toksoid)
a. Clostridium tetani
C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat
membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani
ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Tahan dalam autoklaf (1210C,
10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya.
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan
hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini
terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba,
anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.
Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan
neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian
sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan
tetanospasmin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus.
Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5
nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb)
manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak
memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.

Patogenesis
Infeksi Clostridium tetani muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari. Di dalam
luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Clostridium tetani
berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat.
Toksin ini akan mencapai system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke
bagian anterior spinal cord.

Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau
sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser
yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
Gambar 2. Luka Akibat Besi Berkarat
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian
tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas
pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak, toksin
terikat pada ganglion di medula spinalis. Toksin menghambat pelepasan
asetilkolin (mengganggu transmisi neurotransmitter) Gejala klonis yang
ditimbulkan dari toksin tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari
neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol.
Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan
dengan cara :
1. Imunisasi aktif dengan toksoid
a. Anti Tetanus Serum (ATS)
Suatu vaksin yang terbuat dari serum kuda yang telah kebal dari infeksi tetanus,
namun karena angka kejadian alergi yang cukup tinggi untuk vaksin ini, sehingga
penggunaannya sudah mulai ditinggalkan, termasuk di negara maju vaksin ini
sudah tidak dipergunakan sama sekali. Vaksin ini memberikan kekebalan secara
pasif.
Gambar 4. Anti Tetanus Serum
b. Tetanus Toksoid (TT)
Vaksin ini mengandung toksin (racun) dari kuman C. tetani yang telah
dilemahkan. Vaksin ini sengaja dimasukkan ke dalam tubuh dengan tujuan untuk

merangsang antibodi anti Tetanus, dan penggunaan vaksin ini perlu diperpanjang
dengan vaksin booster. Dan jenis vaksin ini adalah vaksin yang memberikan
kekebalan aktif.
Gambar 5. Tetanus Toksin
c. Tetanus Globulin
Suatu vaksin yang mengandung fraksi antibodi anti Tetanus dari manusia, dan
vaksin ini dapat dipergunakan dengan segera setelah penderita mendapatkan luka,
karena bekerja secara pasif, maka vaksin ini mampu menetralisir secara langsung
racun dari kuman C. tetani yang telah masuk ke dalam tubuh.
Gambar 6. Tetanus Globulin
2. Perawatan luka menurut cara yang tepat
3. Penggunaan antitoksi profilaksis
Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid
merupakan satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus, dimana
penderitanya akan mendapatkan kekebalan terhadap racun atau toksin Tetanus
baik secara pasif maupun aktif. Pencegahan dengan pemberian imunisasi telah
dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi
aktif( DPT atau DT ).
Pengobatan untuk penderita tetanus, dapat dilakukan dengan beberapa cara
antara lain :
1. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40
mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan
dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,


bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan.
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan
dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan
secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of
globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG
tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari
hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari
antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan
secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit.
Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar.
3. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang
hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan
obat obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi.

b. Bakteri Corynebacterium diphtheriae


Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan
difteri berupa infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Penyakit ini
bersifat setempat dan juga menyeluruh disebabkan oleh racun yang dihasilkan
oleh galur-galur Corynebacterium diphtheriae yang bersifat toksigenik.
Ada tiga tipe C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat
keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu :
a. gravis : agak kasar, rata,berwarna abu-abu sampai hitam, ukurannya juga paling
besar. bentuk pemukul dan bentuk halter, granula metakromatik sedikit, pada area
sel terwarnai dalam perbedaan corak biru. karakteristik koloni pada Mcleods
chocolate. Pada kaldu membentuk selaput pada permukaan.

b. mitis : koloni licin, cembung dan hitam. Bentuk batang pleomorfik dengan
sejumlah granula metakromatik, batasan sel tersusun huruf v & w, mirip spt
karakter tulisan kuno. Penyakit : ringan, karakteristik koloni pada Mcleods
chocolate. Pada kaldu : tumbuh merata.
c. Intermedius : koloni berukuran kecil dan dan licin dengan pusat berwarna
hitam. batang pendek, terwarnai dengan selang-seling pita biru terang & gelap,
tidak adanya granula metakromatik . penyakit : pertengahan pada kaldu akan
membentuk endapan.
. Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat
biokimia seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi
dari tiga tipe dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk
memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan
masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60 menit;
strain intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit, dan mitis
memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo),
tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras
pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.
Morfologi dan Sifat Biakan
Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um,
tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C.
diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh
pada suasana aerob. Pembiakan kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai,
perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar darah. Pada perbenihanperbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius
tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih
tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini
mudah dimatikan oleh desinfektan.

Epidemiologi

Difteri terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah.
Penyakit ini terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular
dan menyebar melalui kontak langsung secara droplet. Banyak spesies
Corynebacteria dapat diisolasi dari berbagai tempat seperti tanah, air, darah, dan
kulit manusia. Strain patogenik dari Corynebacteria dapat menginfeksi tanaman,
hewan, atau manusia. Namun hanya manusia yang diketahui sebagai reservoir
penting infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim
sedang atau di iklim tropis, tetapi juga dapat ditemukan di bagian lain dunia.
Penentu Patogenitas
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang
berbeda, yaitu
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan
proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme
kepatuhan terhadap difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis
pili. Toksin difteri juga mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel
eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin
bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C.
diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif
mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum
dipastikan bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses
penjajahan karena efek jangka pendek di lokasi kolonisasi.
Patogenesis
Organisme ini menghasilkan toksin yang menghambat sintesis protein
seluler dan bertanggung jawab atas kerusakan jaringan lokal dan pembentukan
membran. Toksin yang dihasilkan di lokasi membran diserap ke dalam aliran
darah dan didistribusikan ke jaringan tubuh. Toksin yang bertanggung jawab atas
komplikasi utama dari miokarditis dan neuritis dan juga dapat menyebabkan
rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia) dan protein dalam urin
(proteinuria).

Penyakit klinis terkait dengan jenis non-toksin umumnya lebih ringan. Sementara
kasus yang parah jarang dilaporkan, sebenarnya ini mungkin disebabkan oleh
strain toksigen yang tidak terdeteksi karena contoh koloni tidak memadai.
Gambaran klinis
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan
klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa
manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
1)Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung
mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi
kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi
ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2)Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi
faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan
demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap.
Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati
dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat
ditandai terjadinya edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama
dengan limfadenopati.
3)Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala
termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4)Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain
keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina,
serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh
pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling
sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung
yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi
pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi
saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan

kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu
kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena
obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan
untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%).
Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50
tahun terakhir.
Diagnosis
Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikusklinikus dan sering terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C.
Diphtheriae baik yang toksigenik maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula
spesies Corynebacterium yang lain pun secara morfologik mungkin serupa.
Karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman khas difteri,
maka hasil presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini
menunjukkan pentingnya dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat,
dan dengan hasil yang dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun demikian,
diagnosis laboratorium harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti
diagnosis klinik agar penanganan penyakit dapat cepat dilakukan. Hapusan
tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil sebelum pemberian obat
antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.
Pengobatan
Antitoksin difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di
Amerika Serikat pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan
pemberian antitoksin yang tepat jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin dapat
diberikan setelah diagnosis presumtif keluar, tanpa perlu menunggu diagnosis
laboratorium. Hal ini dilakukan karena toksin dapat dengan cepat terikat pada sel
jaringan yang peka, dan sifatnya irreversibel karena ikatan tidak dapat dinetralkan
kembali. Jadi penggunaan antitoksin bertujuan untuk mencegah terjadinya ikatan
lebih lanjut dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan akan mencegah
perkembangan penyakit.

Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti


Tetrasiklin atau Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder
(Streptococcus) dan pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan
eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2
gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian, intramuskular
(300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U /
sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Pencegahan
Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi.
Selain itu, imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada
bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid)
dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua
diberikan pada saat anak akan bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan dengan
menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal
yang sering berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya
harus dibatasai pada keadaan yang memang sanagt gawat. Tingkat kekebalan
seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan reaksi
Schick.
3. Clostridium botulinum
Gambaran Umum Clostridium botulinum
Clostridium botulinum merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang,
membentuk spora, dan bersifat anaerob obligat serta mampu menghasilkan
neurotoksin yang dapat menyebabkan penyakit. Bakteri ini banyak terdapat di
tanah dan mungkin mencemari hasil pertanian maupun peternakan. Botulisme
adalah suatu penyakit yang disebabkan

keracunan makanan oleh bakteri.

Botulisme berasal dari kata botulisme yang berarti sosis. Penyakit ini diberi nama
demikian karena selama bertahun-tahun sosis yang tidak dimasak dihubungkan
dengan penyakit ini. Botulin, juga dikenal sebagai botox, yaitu toksin bakteri
paling mematikan yang dapat terbentuk pada makanan kaleng yang tidak
diproses dengan benar atau cukup dipanasi.

Penyakit ini terjadi karena memakan toksin botulinum yang terdapat dalam
makanan yang diawetkan dengan cara kurang sempurna, seperti yang dijumpai
dalam makanan kaleng. Tetapi botulisme juga dapat disebabkan karena
kontaminasi luka yang akan menghasilkan toksin yang tumbuh pada jaringan
mati. Ada tujuh tipe Clostridium botulinum yang dikenali karena perbedaan
antigenik di antara toksin yang dihasilkannya yaitu tipe A, B, C, D, E, F, dan G.
Yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah tipe A, B, E, dan tipe F. Tipe C
dan D menyebabkan penyakit pada burung dan mamalia, sedangkan tipe G belum
diketahui dapat menyebabkan penyakit atau tidak.

Clostridium botulinum Peyebab Botulism :


Etiologi
1. Morfologi
Morfologi dari Cl botulinum yakni berentuk batang, berspora oval subterminal,
anaerob, motil (flagela peritrikus) dan merupakan bakteri gram negatif. Tipe dari
Cl. Botulinum adalah tipe A, B, C, D, E, dan F. Produksi toxin dapat pada daging
kering dengan kadar air kurang dari 30%. Menghasilkan neurotoxin botulin dan
pada umumnya ditemukan di tanah.

2. Sifat biakan
Di laboratorium Cl. Botulinum dapat diisolasi pada media trytose cycloserine
( TSC), selalu dalam lingkunan anerobik yang mengandung kurang dari 2%
oksigen. Cl. Botulinum tidak menggunakan laktosa sebagai sumber karbon utama.
Hidup pada pH 4,8-7,.
3. Struktur antigen
Bakteri ini dikelompokkan menjadi grup I-IV berdasarkan sifaf proteolitiknya dan
memiliki tujuh struktur antigen yakni antigen (A-G), serta antigen somatik.
Pathogenesis
Toksin botulinum yang dihasilkan oleh Clostridium adalah racun yang paling
ampuh. Sebagai contoh dosis letal (mematikan) bagi toksin tipe A pada tikus

diperkirakan 0,000000033 mg. Ini berarti 1 gram toksin dapat membunuh 33


milyar tikus. Racun ini menyerang urat syaraf, menyebabkan kelumpuhan pada
faring dan diafragma. Cara kerja toksin ini adalah dengan menghambat
pembebasan asetilkolin oleh serabut

syaraf

ketika impuls syaraf lewat di

sepanjang syaraf tepi. Cl. Perfringens tipe C dan D menyebabkan botulism pada
hewan sedangkan yang lain menyebabkan botulism pada manusia. Hewan yang
rentan adalah unggas, sapi kuda dan beberapa jenis ikan. Bakteri ini menghasilkan
racun saraf (neurotoksin botulin). Neurotoksin hanya dihasilkan saat terjadi proses
endospora dalam keadaan anerobik. Sporanya tersebar luas di lingkungan, di
tanah, udara, debu, dan air laut.
Infeksi oleh Cl. Botulinum dapat melalui makanan maupun luka. Jika hewan
menelan pakan yang terkontaminasi spora Cl. Clostridium dari lingkungan
sekitarnya.Setelah tertelan maka akan menghasilkan neurotoksin di dalam usus.
Pada hewan Cl. Botulinum yang menginfeksi adalah tipe C dan D, sehingga toxin
yang di hasilkan adalah toxin C dan D. Kemudian toxin akan berikatan dengan
reseptor pada saraf kolinergik dan memblokade pengeluaran asetikolin. Hal ini
akan menggangu stimulasi gerakan otot sehingga mengakibatkan paralisis. Dalam
beberapa saat akan menyebabkan muntah, lemas, kejang, dan akhirnya paralisis
sistem respirasi. Infeksi melalui luka biasanya terjadi karena luka tusuk dan
mekanismenya sama dengan keracunan pada makanan.
Epidemiologi botulisme
Clostridium botulinum tersebar luas di lingkungan darat dan perairan. Jika
sporanya mencemari makanan yang sudah diolah atau mengadakan kontak dengan
luka maka dapat berkembang biak menjadi sel-sel vegetatif dan menghasilkan
toksin. Selain itu infeksi juga dapat terjadi pada saluran bayi yang disebut
botulisme bayi. Toksinnya dihasilkan di dalam usus bayi, menyebabkan badan
lemah, tidak dapat buang air besar, dan lumpuh. Infeksi semacam ini mungkin
disebabkan karena pemberian susu yang mengandung spora Clostridium
botulinum pada bayi.
Gejala dari keracunan botulisme

Gejala penyakit ini biasanya mulai muncul sekitar 12 48 jam setelah


mengkonsumsi

makanan yang

sudah

tercemar. Gejala tersebut meliputi

kesulitan berbicara, pupil melebar, penglihatan ganda, mulut terasa kering, mual,
muntah, dan tidak dapat menelan. Kelumpuhan dapat terjadi

pada

kantung

kemih dan semua otot yang bekerja di daerah tersebut. Kematian mungkin terjadi
beberapa hari setelah timbulnya gejala karena tidak dapat bernafas atau jantung
tidak bekerja lagi. Gejala botulisme pada bayi yaitu tampak lesu, mengangis
lemah, sembelit, nafsu makan buruk, otot lisut. Jika gejala penderita penyakit ini
tidak segera teratasi, maka akan terjadi kelumpuhan dan gangguan pernafasan.
Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan dengan mengamati gejala klinis yang terjadi.
Diagmosa dapat diperkuat dengan melakukan uji di laboratorium dengan
mengisolasi bakteri. Isolasi dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengambil
spesimen dari feses pasien. Hasil isolasi dapat di isolasi pada hewan percobaat
(mencit) Untuk mengetahui tipenya dapat dilakukan uji netralisasi dengan
pemberian anti toksin pada mencit atau uji serologi berupa ELISA. Uji netralisai
membutuhkan waktu selama 48 jam.
Pencegahan Dan Pengobatan
Tidak ada penanganan spesifik untuk keracunan ini, kecuali mengganti cairan
tubuh yang hilang. Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan
pangan yang keliru (khususnya di rumah atau industry rumah tangga), misalnya
pengalengan, fermentasi, pengawetan dengan garam, pengasapan, pengawetan
dengan asam atau minyak. Bakteri ini mencemari produk pangan dalam kaleng
yang beredar asam rendah, ikan asap, kentang matang yang kurang baik
penyimpanannya, pie beku, telur ikan fermentasi, seafood, dan madu. Tindakan
pengendalian khusus bagi industri terkait bakteri ini adalah penerapan sterilisasi
panas dan penggunaan nitrit pada daging yang dipasteurisasi. Sedangkan bagi
rumah tangga atau pusat penjualan makanan antara lain dengan memasak pangan
kaleng dengan seksama (rebus dan aduk selama 15 menit), simpan pangan dalam
lemari pendingin terutama untuk pangan yang dikemas hampa udara dan pangan
segar atau yang diasap. Hindari pula mengkonsumsi pangan kaleng yang
kemasannya telah menggembung. Spora Cl Botulinum tersebar luas di alam, baik

di tanah, air laut, air danau debu dan udara. Pakan ternak sangat mudah
terkontaminasi, untuk itu penyimpanan pakan harus diperhatikan.
Untuk pengobatan dapat diberikan antibiotik penicilin atau metronidazole.dan
pemberian antitoksin botulinum.

Respon tubuh terhadap toksin dan vaksin


2.4.1 Reaksi tubuh terhadap vaksin yaitu:
Apabila ramuan vaksin tersebut memasuki aliran darah anak. Tubuhnya akan
segera bertindak untuk menyingkirkan racun tersebut melalui organ ekresi atau
melalui reaksi imun seperti demam, bengkak atau ruam pada kulit. Apabila tubuh
anak kuat untuk meningkatkan reaksi imun, tubuh anak mungkin akan berhasil
menyingkirkan vaksin tersebut dan mencegahnya terjangkit kembali dimasa yang
akan datang. Akan tetapi jika tubuh anak tidak kuat untuk meningkatkan reaksi
imun, vaksin beracun akan bertahan dalam jaringan tubuh.
Timbunan racun ini dapat menyebabkan penyakit seperti diabetes pada anakanak, asma, penyakit neurologi, leukimia, bahkan kematian mendadak. Ratusan
laporan mencatat efek samping jangka panjang yang buruk terkait vaksin seperti
penyakit radang usus, autisme, esenfalitis kronis, skelerosis multipel, artritis
reumatoid dan kangker. Selain itu jika tubuh diberi vaksin tubuh akan membentuk
kekebalan tubuh atau adanya

respon imun. Dilihat dari berapa kali tahapan

antigen maka dapat dikenal dua macam respons imun, yaitu respons imun primer
dan respons imun sekunder.
* Respons imun primer
Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada tahapn pertama
kalinya dengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons imun primer
kebanyakan adalah IgM dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons
imun sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen masuk
sampai dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila dibanding dengan
respons imun sekunder
* Respons imun sekunder

Pada respons imun sekunder, antibodi yang dibentuk kebanyakan adalah IgG,
dengan titer dan afinitas yang lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding
respons imun primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respons
imun primer akan cepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi
menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Demikian pula dengan imunitas
selular, sel limfosit T akan lebih cepat mengalami transformasi blast dan
berdiferensiasi menjadi sel T aktif sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan
sel memori. Pada imunisasi, respons imun sekunder inilah yang diharapkan akan
memberi respons adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa kelak. Untuk
mendapatkan titer antibodi yang cukup tinggi dan mencapai nilai protektif, sifat
respons imun sekunder ini diterapkan dengan memberikan vaksinasi berulang
beberapa kali.
Pemberian vaksin dalam tubuh akan menimbulkan kekebalan tubuh contohnya
dengan pemberian imunisasi sejak dini. Imunisasi adalah suatu cara untuk
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga
bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak akan terjadi penyakit.
Terdapat dua macam kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif.
Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat
oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh
dari

ibu,

atau

imunoglobulin.

kekebalan
Kekebalan

yang
pasif

diperoleh
tidak

setelah

berlangsung

pemberian
lama

suntikan

karena

akan

dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan waktu
paruh imunoglobulin lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan
yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi,
atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama
karena adanya memori imunologik.
Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat
(populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu di dunia seperti pada
imunisasi cacar. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis-jenis
penyakit yang transmisinya bergantung kepada manusia, seperti misalnya
penyakit difteria. Agar dapat lebih mudah memahami mengenai proses

imunologik yang terjadi pada vaksinasi maka terlebih dahulu perlu diketahui
tentang respons imun dan mekanisme pertahanan tubuh (lihat juga bab tentang
respons imun).
Macam-macam imunisasi sebagai berikut diantaranya :
* IMUNISASI BCG
Vaksin BCG tidak dapat mencegah seseorang terhindar dari infeksi M. tuberculosa
100%, tapi dapat mencegah penyebaran penyakit lebih lanjut, Berasal dari bakteri
hidup yang dilemahkan ( Pasteur Paris 1173 P2), Ditemukan oleh Calmette dan
Guerin
Diberikan sebelum usia 2 bulan Disuntikkan intra kutan di daerah insertio m.
deltoid dengan dosis 0,05 ml, sebelah kanan
Imunisasi ulang tidak perlu, keberhasilan diragukan
Vaksin BCG berbentuk bubuk kering harus dilarutkan dengan 4 cc NaCl 0,9%.
Setelah dilarutkan harus segera dipakai dalam waktu 3 jam, sisanya dibuang.
Penyimpanan pada suhu < 5C terhindar dari sinar matahari (indoor day-light).
Cara penyuntikan BCG
Bersihkan lengan dengan kapas air
Letakkan jarum hampir sejajar dengan lengan anak dengan ujung jarum yang
berlubang menghadap keatas.
Suntikan 0,05 ml intra kutan
merasakan tahan
benjolan kulit yang pucat dengan pori- pori yang khas diameter 4-6 mm
Reaksi sesudah imunisasi BCG
1. Reaksi normal
o 2 minggu indurasi, eritema, kemudian menjadi pustula
o 3-4 minggu pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu pengobatan)
o 8-12 minggu ulkus menjadi scar diameter 3-7 mm.
2. Reaksi regional pada kelenjar
o Merupakan respon seluler pertahanan tubuh
o Kadang terjadi di kelenjar axila dan servikal (normal BCG-it is)
o Timbul 2-6 bulan sesudah imunisasi

o Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-)


o Akan mengecil 1-3 bulan kemudian tanpa pengobatan.
* IMUNISASI HEPATITIS B
- Vaksin berisi HBsAg murni
- Diberikan sedini mungkin setelah lahir
- Suntikan secara Intra Muskular di daerah deltoid, dosis 0,5 ml.
- Penyimpanan vaksin pada suhu 2-8C
- Bayi lahir dari ibu HBsAg (+) diberikan imunoglobulin hepatitis B 12 jam
setelah lahir + imunisasi Hepatitis B
- Dosis kedua 1 bulan berikutnya
- Dosis ketiga 5 bulan berikutnya (usia 6 bulan)
- Imunisasi ulangan 5 tahun kemudian
- Kadar pencegahan anti HBsAg > 10mg/ml
- Produksi vaksin Hepatitis B di Indonesia, mulai program imunisasi pada tahun
1997
Efek samping
Demam ringan
Perasaan tidak enak pada pencernaan
Rekasi nyeri pada tempat suntikan
* IMUNISASI POLIO
o Vaksin dari virus polio (tipe 1,2 dan 3) yang dilemahkan, dibuat dalam biakan
sel-vero : asam amino, antibiotik, calf serum dalam magnesium klorida dan fenol
merah
o Vaksin berbentuk cairan dengan kemasan 1 cc atau 2 cc dalam flacon, pipet.
o Pemberian secara oral sebanyak 2 tetes (0,1 ml)
o Vaksin polio diberikan 4 kali, interval 4 minggu
o Imunisasi ulangan, 1 tahun berikutnya, SD kelas I, VI
o Anak diare gangguan penyerapan vaksin.
o Penyimpanan pada suhu 2-8C
o Virus vaksin bertendensi mutasi di kultur jaringan maupun tubuh penerima
vaksin

o Beberap virus diekskresi mengalami mutasi balik menjadi virus polio ganas
yang neurovirulen
o Paralisis terjadi 1 per 4,4 juta penerima vaksin dan 1 per 15,5 juta kontak
dengan penerima vaksin
- Kontra indikasi : defisiensi imunologik atau kontak dengannya

* IMUNISASI DPT
Terdiri dari
- toxoid difteri merupakan racun yang dilemahkan
- Bordittela pertusis merupakan bakteri yang dilemahkan
- toxoid tetanus racun yang dilemahkan (+) aluminium fosfat dan mertiolat
o Merupakan vaksin cair. Jika didiamkan sedikit berkabut, endapan putih
didasarnya
o Diberikan pada bayi > 2 bulan oleh karena reaktogenitas pertusis pada bayi
kecil.
o Dosis 0,5 ml secara intra muskular di bagian luar paha.
o Imunisasi dasar 3x, dengan interval 4 minggu.
o Vaksin mengandung Aluminium fosfat, jika diberikan sub kutan menyebabkan
iritasi lokal, peradangan dan nekrosis setempat.
- Reaksi pasca imunisasi:
o Demam, nyeri pada tempat suntikan 1-2 hari diberikan anafilatik + antipiretik
o Bila ada reaksi berlebihan pasca imunisasi demam > 40C, kejang, syok
imunisasi selanjutnya diganti dengan DT atau DPaT
Kontraindikasi
Kelainan neurologis n terlambat tumbuh kembang
Ada riwayat kejang
Penyakit degeneratif
Pernah sebelumnya divaksinasi DPT menunjukkan: anafilaksis, ensefalopati,
kejang, renjatan, hiperpireksia, tangisan/teriakan hebat.
* IMUNISASI CAMPAK

Vaksin dari virus hidup (CAM 70- chick chorioallantonik membrane) yang
dilemahkan + kanamisin sulfat dan eritromisin Berbentuk beku kering, dilarutkan
dalam 5 cc pelarut aquades.
o Diberikan pada bayi umur 9 bulan oleh karena masih ada antibodi yang
diperoleh dari ibu.
o Dosis 0,5 ml diberikan sub kutan di lengan kiri.
o Disimpan pada suhu 2-8C, bisa sampai 20 derajat celsius
o Vaksin yang telah dilarutkan hanya tahan 8 jam pada suhu 2-8C
o Jika ada wabah, imunisasi bisa diberikan pada usia 6 bulan, diulang 6 bulan
kemudian
Efek samping: demam, diare, konjungtivitis, ruam setelah 7 12 hari pasca
imunisasi. Kejadian encefalitis lebih jarang
Kontraindikasi:
* infeksi akut dengan demam, defisiensi imunologik, tx imunosupresif, alergi
protein telur, hipersensitifitas dng kanamisin dan eritromisin, wanita hamil.
* Anak yang telah diberi transfusi darah atau imunoglobulin ditangguhkan
minimal 3 bulan.
* Tuberkulin tes ditangguhkan minimal 2 bulan setelah imunisasi campak
* IMUNISASI HIB
o Untuk mencegah infeksi SSP oleh karena Haemofilus influenza tipe B
o Diberikan MULAI umur 2-4 bulan, pada anak > 1 tahun diberikan 1 kali
o Vaksin dalam bentuk beku kering dan 0,5 ml pelarut dalam semprit.
o Dosis 0,5 ml diberikan IM
o Disimpan pada suhu 2-8C
o Di Asia belum diberikan secara rutin
o Imunisasi rutin diberikan di negara Eropa, Amerika, Australia.
* IMUNISASI MMR
Merupakan vaksin hidup yang dilemahkan terdiri dari:
o Measles strain moraten (campak)
o Mumps strain Jeryl lynn (parotitis)
o Rubela strain RA (campak jerman)
o Diberikan pada umur 15 bulan. Ulangan umur 12 tahun

o Dosis 0,5 ml secara sub kutan, diberikan minimal 1 bulan setelah suntikan
imunisasi lain.
Kontra indikasi: wanita hamil, imuno kompromise, kurang 2-3 bulan sebelumnya
mendapat transfusi darah atau tx imunoglobulin, reaksi anafilaksis terhadap telur
* IMUNISASI TYPHUS
Tersedia 2 jenis vaksin:
o suntikan (typhim) >2 tahun
o oral (vivotif) > 6 tahun, 3 dosis
o Typhim (Capsular Vi polysaccharide-Typherix) diberikan dengan dosis 0,5 ml
secara IM. Ulangan dilakukan setiap 3 tahun.
o Disimpan pada suhu 2-8C
o Tidak mencegah Salmonella paratyphi A atau B
o Imunitas terjadi dalam waktu 15 hari sampai 3 minggu setelah imunisasi
Reaksi pasca imunisasi: demam, nyeri ringan, kadang ruam kulit dan eritema,
indurasi tempat suntikan, daire, muntah.
* IMUNISASI VARICELLA
o Vaksin varicella (vaRiLrix) berisi virus hidup strain OKA yang dilemahkan.
Bisa diberikan pada umur 1 tahun, ulangan umur 12 tahun. Vaksin diberikan
secara sub kutan Penyimpanan pada suhu 2-8C
o Kontraindikasi: demam atau infeksi akut, hipersensitifitas terhadap neomisin,
kehamilan, tx imunosupresan, keganasan, HIV, TBC belum tx, kelainan darah.
o Reaksi imunisasi sangat minimal, kadang terdapat demam dan erupsi papulovesikuler.
* IMUNISASI HEPATITIS A
o Imunisasi diberikan pada daerah kurang terpajan, pada anak umur > 2 tahun.
Imunisasi dasar 3x pada bulan ke 0, 1, dan 6 bulan kemudian. Dosis vaksin
(Harvix-inactivated virus strain HM 175) 0,5 ml secara IM di daerah deltoid.
Reaksi yag terjadi minimal kadang demam, lesu, lelah, mual-muntah dan hialng
nafsu makan
Dosis vaksin

* Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun
yang terjadi. Dosis yang terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang
diharapkan, sedangkan dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten.
Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji coba, karena itu dosis vaksin harus
sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
Frekuensi pemberian
* Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi.
Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder menyebabkan sel efektor
aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di
samping frekuensi, jarak pemberian pun akan mempengaruhi respons imun yang
terjadi. Bila vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih
tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik
tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten, bahkan dapat
terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah
suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga
terjadi peradangan lokal. Oleh sebab itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya
mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji coba.
2.4.2 Respon tubuh terhadap toksin
Efek toksin didalam tubuh:
* Reaksi alergi
Alergi adalah reaksi yang merugikan yang disebabkan oleh bahan kimia atau
toksikan karena peka terhadap bahan tersebut. Kondisi alergi sering disebut
sebagai hipersensitif , sedangkan reaksi alergi atau reaksi kepekaannya dapat
dipakai untuk menjelaskan paparan bahan polutan yang menghasilkan efek toksik.
Reaksi alergi timbul pada dosis yang rendah sehingga kurve dosis responnya
jarang ditemukan.

* Reaksi ideosinkrasi
Merupakan reaksi abnormal secara genetis akibat adanya bahan kimia atau bahan
polutan.
* Toksisitas cepat dan lambat

Toksisitas cepat merupakan manifestasi yang segera timbul setelah pemberian


bahan kimia atau polutan. Sedangkan toksisitas lambat merupakan manifestasi
yang timbul akibat bahan kimia atau toksikan selang beberapa waktu dari waktu
timbul pemberian.
* Toksisitas setempat dan sistemik
Perbedaan efek toksik dapat didasarkan pada lokasi manifestasinya. Efek setempat
didasarkan pada tempat terjadinya yaitu pada lokasi kontak yang pertama kali
antara sistem biologi dan bahan toksikan. Efek sistemik terjadi pada jalan masuk
toksikan kemudian bahan toksikan diserap, dan didistribusi hingga tiba pada
beberapa tempat. Target utama efek toksisitas sistemik adalah sistem syaraf pusat
kemudian sistem sirkulasi dan sistem hematopoitik, organ viseral dan kulit,
sedangkan otot dan tulang merupakan target yang paling belakangan.
Respon toksin tergantung pada :
1. Sifat kimia dan fisik dari bahan tersebut
2. Situasi pemaparan
3. Kerentanan sistem biologis dari subyek
Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas adalah :
* Jalur masuk ke dalam tubuh
Jalur masuk ke dalam tubuh suatu polutan yang toksik, umumnya melalui saluran
pencernaan makanan, saluran pernafasan, kulit, dan jalur lainnya. Jalur lain
tersebut diantaranya adalah intra muskuler, intra dermal, dan sub kutan. Jalan
masuk yang berbeda ini akan mempengaruhi toksisitas bahan polutan. Bahan
paparan yang berasal dari industri biasanya masuk ke dalam tubuh melalui kulit
dan terhirup, sedangkan kejadian keracunan biasanya melalui proses tertelan.
* Jangka waktu dan frekuensi paparan
* Akut : pemaparan bahan kimia selama kurang dari 24 jam
* Sub akut : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka waktu
1 bulan atau kurang
* Subkronik : pemaparan berulang terhadap suatu bahan kimia untuk jangka
waktu 3 bulan
* Kronik : pemaparan berulang terhadap bahan kimia untuk jangka waktu lebih
dari 3 bulan

Pada beberapa bahan polutan, efek toksik yang timbul dari paparan
pertama sangat berbeda bila dibandingkan dengan efek toksik yang dihasilkan
oleh paparan ulangannya. Bahan polutan benzena pada peran pertama akan
merusak sistem syaraf pusat sedangkan paparan ulangannya akan dapat
menyebabkan leukemia.
Penurunan dosis akan mengurangi efek yang timbul. Suatu bahan polutan
apabila diberikan beberapa jam atau beberapa hari dengan dosis penuh akan
menghasilkan beberapa efek. Apabila dosis yang diberikan hanya separohnya
maka efek yang terjadi juga akan menurun setengahnya, terlebih lagi apabila dosis
yang diberikan hanya sepersepuluhnya maka tidak akan menimbulkan efek. Efek
toksik yang timbul tidak hanya tergantung pada frekuensi pemberian dengan dosis
berbeda saja tetapi mungkun juga tergantung pada durasi paparannya. Efek kronis
dapat terjadi apabila bahan kimia terakumulasi dalam sistem biologi. Efek toksik
pada kondisi kronis bersifat irreversibel. Hal tersebut terjadi karena sistem biologi
tidak mempunyai cukup waktu untuk pulih akibat paparan terus-menerus dari
bahan toksin.
http://matakuliahbiologi.blogspot.co.id/2012/06/vaksin-dan-toksin.html
Julian vablo

Anda mungkin juga menyukai