Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Sistem imun berperan penting dalam mengenali dan menghancurkan atau
menetralisasi benda-benda di dalam tubuh yang dianggap asing oleh tubuh normal. Peran
penting sistem imun yaitu sebagai pertahanan terhadap patogen penginvasi (mikroorganisme
penghasil penyakit misalnya; virus dan bakteri), pengeluaran sel-sel yang rusak misalnya sel
darah merah yang tua dan debris jaringan- jaringan yang rusak oleh trauma atau penyakit,
penting untuk penyembuhan luka dan perbaikan jaringan, Identifikasi dan destruksi sel
abnormal atau mutan yang berasal dari tubuh sendiri1. Fungsi ini, yang diberi nama surveilans
imun, adalah mekanisme pertahanan internal utama terhadap kanker, respon imun yang tidak
sesuai yang menimbulkan alergi, yaitu tubuh bereaksi terhadap zat kimia dari lingkungan
yang tidak berbahaya, atau penyakit autoimun, yaitu saat sistem pertahanan secara salah
menghasilkan antibodi terhadap tubuh sendiri, sehingga terjadi kerusakan sel jenis tertentu
dalam tubuh,

penolakan sel-sel jaringan asing, yang menjadi kendala utama dalam

transplantasi organ dan implantasi pada janin. 2


Peranan utama dari sistem imun adalah untuk melindungi tubuh dari invasi
organisme asing dan produk toksin mereka. Hal ini membutuhkan kemampuan untuk
mendiskriminasikan antara self antigen dan nonself antigen, sehingga sistem imun dapat
merusak organisme yang menyerang dan bukan jaringan normal. Dalam kehamilan, janin
yang merupakan antigen asing bertumbuh didalam ibunya selama 9 bulan, tidak terancam
oleh sistem imun ibu. Singkatnya, adaptasi imun harus terjadi pada kehamilan yang sangat
penting untuk kelangsungan hidup janin sambil mempertahankan kemampuan ibu untuk
melawan infeksi.3

Billingham dan Medawar mencetuskan konsep bagaimana janin di dalam kandungan


ibu dapat hidup hingga usia kehamilan cukup bulan tanpa mengalami reaksi penolakan dari
sistem imun maternal. Konsep ini dilahirkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana janin
dapat bertahan hidup di dalam kandungan ibunya tanpa memicu suatu reaksi penolakan sama
sekali dari tubuh ibunya, meskipun janin tersebut memiliki antigen yang berasal dari
ayahnya. Konsep bahwa janin memiliki genom yang berasal sebagian dari ayah dan sebagian
dari ibu sehingga janin akan mempresentasikan antigen yang terdapat pada ayah dan ibu
(semi-alogenik) telah diketahui sebelumnya. Ekspresi antigen paternal janin di dalam tubuh
ibu tentu dapat memicu reaksi penolakan sistem imun maternal berdasarkan hukum
transplantasi. Keberhasilan transplantasi organ padat akan sangat ditentukan oleh reaksi
penolakan sistem imun resipien terhadap aloantigen yang diekspresikan oleh jaringan donor.
Namun, dengan perkembangan teknologi di dalam bidang kedokteran reaksi penolakan
sistem imun resipien terhadap aloantigen jaringan donor saat ini dapat dicegah dengan
pemberian obat-obatan imunosupresi.4
Janin adalah suatu jaringan yang bersifat alogenik dan berada di dalam tubuh seorang
ibu yang memiliki imunokompeten untuk menimbulkan suatu reaksi penolakan. Billingham
dan Medawar membuat beberapa hipotesis yang mencoba untuk menjelaskan mengapa sistem
imun maternal tidak bereaksi terhadap janin yang bersifat semi-alogenik. Berdasarkan hasilhasil penelitian selanjutnya, ternyata dapat disimpulkan bahwa sistem imun maternal
menunjukkan

toleransi

terhadap

antigen-antigen

yang

terdapat

pada

jaringan

janin. Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah jaringan janin yang bersifat semialogenik
tersebut langsung mengadakan kontak dengan sistem imun maternal karena pada
kenyataannya sirkulasi keduanya tetap terpisah selama masa kehamilan. Pada kenyataannya
bahwa hanya jaringan plasenta dan membran janin sajalah yang langsung mengadakan
kontak dengan sirkulasi maternal. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terdapat karakteristik-

karakteristik tertentu yang bersifat spesifik dari jaringan plasenta dan membran janin yang
dapat memicu toleransi sistem imun maternal pada jaringan janin. Selain pada sisi janin,
diduga pula bahwa terjadi perubahan pada sistem imun maternal selama kehamilan sehingga
akan memicu reaksi toleransi terhadap jaringan janin.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Imun
Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap
infeksi disebut sistem imun. Imunitas adalah resistensi terhadap

suatu penyakit

sedangkan reaksi dari sel-sel,molekul-molekul dan jaringan terhadap mikroba dan


bahan lain yang dianggap asing oleh tubuh disebut respon imun.

Sistem imun

membentuk sistem pertahanan badan terhadap bahan asing seperti mikroorganisme,


molekul-molekul berpotensi toksik, atau sel-sel tidak normal (sel terinf eksi virus atau
malignan). Sistem ini menyerang bahan asing atau antigen dan juga mewujudkan
peringatan tentang kejadian tersebut supaya pendedahan yang berkali-kali terhadap
bahan yang sama akan mencetuskan gerak balas yang lebih cepat dan bertingkat.
B. Klasifikasi Sistem Imun
Imunitas bawaan (Imunitas non-spesifik)
Epitel permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap infeksi.
Pertahanan epitel mekanis terhadap infeksi mencakup pergerakan siliar pada mucus
dan ikatan sel epitel yang ketat yang mencegah mikroorganisme untuk masuk ke
dalam ruang interseluler dengan mudah. Mekanisme pertahanan secara kimiawi
mencakup enzim (misal, lisosim dalam saliva, pepsin), pH yang rendah didalam usus,
dan peptide antibakterial yang membunuh bakteri. Mekanisme mikrobiologi juga ada
untuk mencegah infeksi bakteri. Misalnya, flora normal pada intestinal dan vagina
bersaing untuk zat gizi dan perlekatan epitel dengan bakteri yang lain dan dapat
menghasilkan senyawa antibakteri. Setelah memasuki jaringan, banyak bakteri
patogen yang dikenali, dicerna, dan dibunuh oleh fagosit, sebuah proses yang di
mediasi oleh makrofag dan neutrofil.5

Pertahananpertahanan non spesifik yang beraksi tanpa memandang apakah agen


pencetus pernah atau belum pernah dijumpai adalah:
1. Peradangan, suatu respon non-spesifik terhadap cedera jaringan, pada keadaan ini
spesialis-spesialis fagositik neutrofil dan makrofag berperan penting disertai
2.

bantuan dari sel-sel imun jenis lain.


Interferon, sekelompok protein yang secara nonspesifik mempertahankan tubuh

terhadap infeksi virus.


3. Sel natural killer, sel jenis khusus mirip limfosit yang secara spontan dan
relatif nonspesifik melisiskan (menyebabkan ruptur) dan menghancurkan sel
pejamu yang terinfeksi virus dan sel kanker.
4. Sistem komplemen, sekelompok protein plasma inaktif yang apabila diaktifkan
secara sekuensial, menghancurkan sel asing dengan menyerang membrane
plasma. Sistem komplemen dapat secara nonspesifik diaktifkan oleh adanya benda
asing. Sistem ini juga dapat diaktifkan oleh antibodi yang dihasilkan sebagai
bagian dari respon imun spesifik terhadap mikroorganisme tertentu.2
Imunitas adaptif (imunitas spesifik)
Selain kekebalan bawaan, tubuh manusia juga mempunyai kemampuan membentuk
kekebalan spesifik yang sangat kuat terhadap setiap agen penginvasi seperti bakteri yang
mematikan, virus, toksin, dan jaringan asing dari binatang lain. Kekebalan ini dinamakan
kekebalan dapatan atau kekebalan adaptif. Fungsi dari sistem imun adaptif atau
didapat adalah untuk mengeliminasi infeksi sebagai lini kedua dari sistem imunitas dan
meningkatkan perlindungan terhadap re-infeksi melalui memori imunologi. Terdapat 2
jenis imunitas dapatan yaitu imunitas yang diperantarai oleh antibodi atau imunitas
humoral yang melibatkan pembentukan antibodi oleh turunan limfosit B yang dikenal
sebagai sel plasma dan imunitas yang diperantarai oleh sel atau imunitas seluler yang
melibatkan pembentukan limfosit T aktif yang secara langsung menyerang sel-sel yang
tidak diinginkan.2, 6

Limfosit B dan T memiliki riwayat hidup yang berbeda dan sifat serta fungsi yang
berbeda. Limfosit mampu mengenali secara spesifik dan berespon secara selektif terhadap
berbagai agen asing yang jenisnya hampir tidak terbatas serta terhadap sel kanker. Proses
pengenalan dan respon pada sel B dan T berbeda. Mikroorganisme beserta produkproduknya yang berada di ekstraselular akan dikenali oleh reseptor-reseptor yang ada
pada sel limfosit B, dalam hal ini adalah antibodi. Sementara untuk mikroorganisme yang
berada di intrasel, produk-produknya akan dikenali oleh reseptor-reseptor dari limfosit
T (T cell receptor = TCR). TCR akan mengenali fragmen-fragmen peptida yang berasal
dari mikroorganisme intrasel dan dipresentasikan oleh HLA pada permukaan sel atau selsel khusus yang disebut sebagai Antigen Presenting Cells (APC).2,4

Human Leukocyte Antigen (HLA)4


Seperti telah disebutkan sebelumnya HLA memegang peranan penting dalam
hal aktivasi respons imun baik yang bersifatinnate maupun adaptif. Kalau sistem
imun innate cara mengenali antigennya lebih kepada pengenalan struktur karbohidrat
ataupun lipid yang asing, yang tidak ditemukan di dalam tubuh (non-self), maka
respons imun adaptif lebih melakukan pengenalan kepada struktur peptida yang
berasal dari protein asing (non-self). Pengenalan terhadap struktur peptida ini akan
lebih

menguntungkan

karena

diversitas

struktur

peptida

ternyata

lebih

banyak jika dibandingkan dengan karbohidrat ataupun lipid. Oleh karena itu,
diharapkan sistem imun adaptif dapat lebih mengenali secara spesifik suatu imunogen
sehingga dapat memicu suatu respons imun yang lebih spesifik.
HLA adalah suatu molekul yang akan mempresentasikan fragmen peptida
pada permukaan sel. Fragmen peptida yang dipresentasikan oleh HLA berasal dari
protein eksogen ataupun endogen yang diproses baik melalui jalur endositik (HLA

kelas II) maupun jalur skosolik (HLA kelas I). Fragmen peptida yang dipresentasikan
juga berasal dari protein self dan non-self. Oleh karena proses tadi berjalan secara
terus menerus, maka permukaan sel akan dipenuhi oleh HLA-HLA dengan fragmen
peptidanya masing-masing. Sel-sel yang tidak terinfeksi tentu saja hanya akan
mempresentasikan fragmen-fragmen peptida self. Oleh karena itu, HLA juga bersifat
sebagai pertanda imunogenik di mana memiliki fungsi untuk membedakan antara selsel yang berasal dari diri sendiri (self) dengan sel-sel yang berasal dari
orang lain (non-self) atau disebut sebagai histokompatibilitas. Oleh karena itu, HLA
sering disebut pula Major Histocompatibility Complex (MHC) yang ada pada
manusia. Dasar-dasar pengetahuan mengenai HLA saat ini telah jauh berkembang
seiring dengan semakin majunya ilmu kedokteran transplantasi. Hal ini jugalah yang
mendasari pemikiran-pemikiran mengenai keilmuan imunologi reproduksi.
HLA berdasarkan struktur dan fungsinya terdiri atas 2 kelas, yaitu kelas I dan
kelas II. HLA akan dikoding oleh gen yang terletak pada kromosom no 6 tepatnya
padaregio 6p21.31 (lengan pendek). Paling tidak telah dikenali 20 gen dari HLA kelas
I yang hanya mengoding untuk rantai saja, di mana tiga di antaranya termasuk ke
dalam kelompok HLA klasik/kelas la di antaranya adalah HLA-A, HLA-B, dan HLAC. HLA kelas I yang klasik memiliki fungsi untuk mempresentasikan fragmen peptida
(antigen) kepada sel limfosit T sitotoksik (CD8+) dan biasanya dimiliki oleh seluruh
sel somatik meski ekspresinya akan sangat bervariasi bergantung pada jenis
jaringannya. Selain HLA kelas I klasik, juga terdapat kelompok nonklasik/kelas lb
yang terdiri atas HLA-G, HLA-E, dan HLA-F. HLA non-klasik seperti HLA-G
banyak dibicarakan perannya dalam menentukan keberhasilan kehamilan. Sementara
gen yang akan mengoding HLA kelas II akan mengoding rantai dan yang
berfungsi untuk mempresentasikan fragmen peptida (antigen) kepada sel limfosit T

helper (CD4+) dan biasanya di ekspresikan oleh subkelompok dari sel-sel imun
seperti sel dendritik makrofag, limfosit B, limfosit T yang teraktivasi, dan
epitelial timus.
Tiap

HLA

memiliki

kemampuan untuk

mengikat

fragmen

peptida

pada peptide binding site-nya. Masing-masing HLA memiliki peptide binding


site yang bentuknya berbeda, sehingga fragmen peptida yang akan terikat juga akan
berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh protein HLA yang dikoding oleh kromosom 6.
Seorang manusia akan menerima gen yang berasal dari kedua orang tuanya. Satu gen
yang berasal dari ayah dan satu gen yang berasal dari ibu. Oleh karena itu, apabila
HLA kelas I terdapat 3 lokus gen dan HLA kelas II memiliki 3 lokus gen, maka setiap
individu akan memiliki 6 jenis HLA kelas I dan 6 jenis HLA kelas II. Saat ini
diketahui tiap lokus gen HLA memiliki beberapa alel, contohnya HLA-A dapat
memiliki 115 alel, sementara HLA-B dapat memiliki 301 alel. Oleh karena itu, gen
HLA dikenal sebagai sistem gen yang bersifat paling polimorfik Bagian yang
polimorfik ini justru umumnya terdapat pada peptide binding site. Oleh karena itu,
tiap jenis HLA dari alel yang berbeda dapat mengikatf ragmen peptida yang berbeda
pula. Selain bersifat polimorfik, HLA akan diekspresikan secara kodominan, yang
berarti apabila seseorang memiliki 6 jenis HLA kelas I, maka keenam-enamnya akan
diekspresikan pada setiap permukaan sel somatik.

C.

Respon Imun dalam Kehamilan


Kehamilan

ditandai

oleh

toleransi

maternal

dari paternal

major

histocompatibility antigens sambil mempertahankan kompetensi imunitas terhadap


infeksi. Hal ini dapat tercapai dengan beberapa mekanisme, yang mencakup: fetal

trophoblastic evasion of maternal immune detection (minimal dengan kegagalan


untuk mengeluarkan molekul antigen histocompatibilitas mayor kelas I atau II);
pengeluaran ligand Fas trofoblast; pengeluaran complement regulatory protein CD46,
CD55, dan CD59 (yang memiliki efek perlindungan); sel sitotrofoblas ekstravilli yang
mengeluarkan gen histokompatibilitas mayor non-klasik yang mengkodekan HLA-G
(menurunkan fungsi sel natural killer); dan produksi sitokin desidua. Perubahan ini
berefek pada timus dan sel B, yang berperan terhadap penekanan respon autoimun
serta perubahan pada sel T yang bersirkulasi dan lokal.7
Biasanya, kehamilan dari sudut pandang imunologi, telah dilihat sebagai
sebuah konflik antara janin semiallogenik dan ibu dimana kelangsungan hidup janin
bergantung pada penekanan respon imun maternal. Akan tetapi, telah jelas bahwa
sementara fungsi limfosit mengalami perubahan pada saat kehamilan, tidak terdapat
penekanan respon imun maternal yang meluas. Konsep kontemporer dalam imunologi
reproduktif sekarang menekankan pada sifat kooperatif dari interaksi antara sel
individual dan molekul sistem imun dan janin dalam mengatur hasil luaran kehamilan.
Saat ini perhatian berpusat pada keterkaitan antara sel natural killer dan kegagalan
reproduktif.
Sel natural killer merupakan limfosit yang menjadi bagian dari sistem imun
bawaan. Sel NK dapat dibagi menjadi sel yang ditemukan pada darah perifer dan yang
terdapat pada desidua uterus. Terdapat perbedaan fenotip dan fungsional yang penting
pada kedua tempat ini. Tidak seperti sel NK darah perifer, sel NK uterus memiliki
kemampuan membunuh yang kecil. Analisis micro-assay yang dikombinasikan
dengan flow cytometric dan penelitian RT-PCR telah memperlihatkan bahwa fenotip
sel NK uterus berbeda dari sel NK dalam darah perifer.

Respon sitokin pada hubungan maternal-fetal saat ini juga menjadi subjek
penelitian. Respon ini secara umum dapat dibagi menjadi respon tipe Th-1 (yang
ditandai oleh produksi interleukin-2, interferon- dan TNF-) atau respon tipe Th-2
(yang ditandai oleh produksi antibody pemblok pada mask fetal trophoblast
antigen yang berasal dari perkenalan imunologis oleh respon sitotoksik yang
dimediasi oleh sel Th-1 maternal. Sebaliknya, wanita yang mengalami aborsi rekuren
cenderung lebih dominan menghasilkan respon sel tipe Th-1 pada periode implantasi
embrionik dan selama kehamilan. Imuno-modulasi dari respon sitokin pada saat awal
kehamilan mencerminkan adanya kemungkinan besar untuk melakukan percobaan
terapi di masa yang akan datang.8
Lebih dari lima puluh tahun lalu pemenang nobel Peter B Medawar
mengajukan sesuatu yang dikenal sebagai paradox imunologis dalam kehamilan.
Medawar berargumen janin itu seperti transplant setengah asing, karena setengah
gennya berasal dari sang ayah. Oleh karena itu, dia menyimpulkan, sistem imun ibu
dan janin akan mengalami masalah. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa
sistem imun aktif pada tempat dimana embrio yang berkembang melekat pada uterus
pada permulaan kehamilan. Sehingga sistem imun maternal yang agresif akan
menyerang embrio, sehingga embrio mengambil tindakan defensive.9,10
Yang terbaru, ahli imunologi telah menyatakan apakah paparan terhadap
protein dalam cairan semen dapat membantu agar sistem imun wanita dapat bersiap
untuk konsepsi dan kehamilan. Tremellen dan rekannya telah meneliti sebuah protein
yang disebut TGF, yang ditemukan dalam kadar yang cukup tinggi dalam semen.
Mereka menyuntikkan TGF kedalam uterus tikus yang disertai dengan beberapa
protein asing, dan menemukan bahwa injeksi protein yang sama di bawah kulit tidak
mengurangi kekuatan reaksi imun. Tremellen percaya bahwa imunisasi dengan TGF

melalui hubungan seksual membantu sistem imun maternal belajar untuk mentolerir
antigen dalam semen dengan merubah produksi molekul peradangan yang disebut
sitokin. Dia telah menunjukan bahwa fertilisasi in vitro jauh lebih berhasil jika
pasangan telah melakukan hubungan seksual sebelum dilakukannya IVF.11
Terdapat paradox dalam sebuah kehamilan bahwa, walaupun kemampuan ibu
untuk menghasilkan antibody tampak normal, kemampuan mereka untuk menyusun
respon imun yang dimediasi sel menjadi lemah. Konsep ini didukung oleh
pengamatan klinis bahwa wanita hamil, walaupun tidak mengalami penurunan sistem
imun yang terlalu parah, lebih rentan mengalami penyakit yang normalnya berkaitan
dengan respon imun yang dimediasi oleh sel. Infeksi virus tertentu, seperti hepatitis,
herpes simplek, dan Epstein-barr, lebih sering terjadi pada kehamilan. Penyakit yang
disebabkan

oleh

pathogen

intraseluler

(misal

lepra,

tuberculosis,

malaria,

toksoplasmosis, dan coccidioidomycosis) tampaknya dapat menjadi lebih parah pada


kehamilan. Lebih lanjut lagi, sekitar 70% wanita dengan rheumatoid arthritis (yang
disebabkan oleh sel T sitotoksik pada daerah persendian) mengalami penyembuhan
sementara pada gejalanya pada saat gestasi, sedangkan SLE (yang disebabkan oleh
autoantibody) cenderung menjadi buruk pada saat kehamilan.3, 12
Dapat disimpulkan bahwa sistem imun secara signifikan berubah pada saat
kehamilan dan perubahan-perubahan ini penting untuk mendukung plasentasi yang
normal dan agar kehamilan dapat berjalan normal dan sehat. Gangguan pada sistem
imun maternal dapat mengganggu keseimbangan yang baru saja terbentuk antara
toleransi dan imunitas pada saat kehamilan dan dapat mempengaruhi plasenta. Hasil
luaran dan/atau perjalanan kehamilan.12

D.

PATOFISIOLOGI TOLERANSI FETAL

Kehamilan adalah sebuah fenomena imunologis yang unik, dimana penolakan


imun normal terhadap jaringan asing tidak terjadi. Plasenta bukanlah pembatas antara
sel maternal dan janin, dan sel-sel ini mengalami kontak langsung pada beberapa
lokasi, yang mencerminkan hubungan maternal-fetal. Syncytiotrofoblast, lapisan
paling luar dari vili chorionic, melakukan kontak langsung dengan darah ibu dalam
ruang intervilli. Trofoblas ekstravilli dalam desidua melakukan kontak dengan
berbagai macam sel maternal, yang mencakup makrofag, sel NK uterus, dan sel T.
trofoblas endovascular menggantikan sel endothelial pada arteri spiral maternal dan
berkontak langsung dengan darah maternal. Akhirnya, makrofag janin dan maternal
berkontak dengan lapisan chorion pada membrane janin.5
Mekanisme toleransi imunologi janin harus bekerja pada penghubung janinibu untuk mencegah penolakan pada janin. Sekitar 30% wanita primipara atau
multipara membentuk antibody terhadap HLA janin paternal yang diwariskan.
Persistensi dari antibody-antibodi ini tidak tampak membahayakan janin. Sel fetal
yang persisten dalam ibu dapat memainkan peranan dalam persistensi antibodiantibodi ini, karena pada beberapa wanita antibodinya menetap, sedangkan pada ibu
yang lain antibody ini tidak tampak. Pembentukan antibody IgG terhadap antigen
HLA paternal yang diwariskan berkaitan dengan adanya limfosit T sitotoksik yang
spesifik untuk antigen HLA ini. Limfosit T maternal yang spesifik untuk antigen janin
juga muncul pada saat hamil, tetapi kurang responsive.5

Toleransi melalui antigen leukosit manusia (HLA)


Trofoblas janin dan sel dalam membrane plasenta berkontak langsung dengan
sel dan darah maternal, dan seharusnya beresiko mengalami penolakan imunologis.
Pengeluaran molekul MHC oleh sel-sel fetal ini pada awalnya sepertinya tidak

menguntungkan yang dapat memicu respon imun yang menolak perlekatan janin pada
uterus. Dari berbagai macam bentuk trofoblas plasenta, hanya sel trofoblas ekstravilli
yang mengeluarkan molekul MHC kelas I (HLA-C, -E, dan -G). Berdasarkan ekspresi
HLA-nya, populasi sel-sel trofoblas dapat dibagi menjadi 3 populasi, yaitu sel-sel
trofoblas yang melapisi ruang intravili. Sel-sel trofoblas di sini akan langsung
mengadakan kontak dengan sel-sel imun maternal dari sirkulasi maternal, maka selsel trofoblasnya tidak akan mengekspresikan HLA kelas I sama sekali; sel-sel trofoblasendovaskular, yaitu sel-sel trofoblas yang menginvasi pembuluh darah arteri spiralis. Sel-sel trofoblas di sini akan berkontak dengan sel-sel imun maternal pada sirkulasi maternal. Namun, bedanya sel-sel trofoblas tersebut mengekspresikan HLA
kelas I, seperti HLA-G, HLA-E, dan HLA-C; dan sel-sel trofoblas yang akan
menginvasi lapisan desidua. Sel-sel ini juga berpotensi untuk berkontak dengan selsel imun maternal yang terdapat pada lapisan desidua. Maka, sel-sel trofoblas pada
lapisan ini juga hanya akan mengekspresikan HLA-G, HLA-E, dan HLA-C.4,5
Karena distribusinya yang unik pada jaringan trofoblastik janin, HLA-G
diperkirakan menjadi komponen yang penting dalam toleransi janin. Meskipun fungsi
pasti dari HLA-G masih belum diketahui, bukti menunjukkan bahwa HLA-G
melindungi sitotrofoblast invasif agar tidak dibunuh oleh sel NK-uterus. HLA-G,
yang berinteraksi dengan sel NK-U, kemungkinan berperan pada pemeliharaan
toleransi imun pada penghubung maternal-fetal dan kehamilan yang normal.3,5

Toleransi melalui pengaturan sel T maternal


Sel T maternal berada dalam keadaan toleransi transien untuk alloantigen
paternal tertentu. Hal ini telah diperlihatkan pada tikus betina yang disensitisasi untuk
mengenali antigen paternal sebelum hamil. Tikus betina menjadi toleran terhadap
antigen paternal yang sama yang dikeluarkan oleh janin yang sebelumnya telah
dikenali dan dihancurkan. Oleh karena itu harus terdapat beberapa mekanisme untuk
menekan respon sel T maternal.
Sebuah populasi special dari sel T, yang disebut sel T pengatur, menekan
respon imun terhadap antigen tertentu dan meningkat dalam sirkulasi maternal pada
wanita dan tikus betina pada saat hamil. Sel T pengatur (CD4 + CD25+) terutama
berperan untuk mencegah respon autoimun yang terjadi jika sel T self-reactive keluar
dari timus pada saat perkembangan sel yang normal. Mekanisme penekanan sel T

pengatur pada respon sel T masih belum diketahui tetapi mungkin melibatkan kontak
sel secara langsung atau menghasilkan sitokin anti-peradangan.5
Cara lain untuk menekan sel T maternal pada penghubung maternal-fetal
melibatkan deplesi triptofan oleh indoleamine 2,3 dioxygenase (IDO), sebuah enzim
yang mengkatabolisasikan triptofan. IDO dalam keadaan normal berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan antimikroba bawaan dengan cara memungkinkan sel untuk
menghapus triptofan dari kelompok intraseluler atau lingkungan mikro lokal. IDO
dipertimbangkan berperan untuk membuat sel T menjadi kurang responsive pada saat
hamil, karena triptofan adalah sebuah asam amino essensial untuk fungsi sel T.5

BAB IV
Penutup
Peranan utama dari sistem imun adalah untuk melindungi tubuh dari invasi
organisme asing dan produk toksin mereka. Hal ini membutuhkan kemampuan untuk
mendiskriminasikan antara self antigen dan nonself antigen, sehingga sistem imun dapat
merusak organisme yang menyerang dan bukan jaringan normal. Dalam kehamilan, janin
yang merupakan antigen asing bertumbuh didalam ibunya selama 9 bulan, tidak terancam
oleh sistem imun ibu. Singkatnya, adaptasi imun harus terjadi pada kehamilan yang sangat
penting untuk kelangsungan hidup janin sambil mempertahankan kemampuan ibu untuk
melawan infeksi.3
HLA-G diperkirakan menjadi komponen yang penting dalam toleransi janin. HLA-G
melindungi sitotrofoblast invasif agar tidak dibunuh oleh sel NK-uterus. HLA-G, yang
berinteraksi dengan sel NK-U, kemungkinan berperan pada pemeliharaan toleransi imun pada
penghubung maternal-fetal dan kehamilan yang normal
Sel T maternal berada dalam keadaan toleransi transien untuk alloantigen paternal
tertentu. Sel T pengatur, menekan respon imun terhadap antigen tertentu dan meningkat
dalam sirkulasi maternal pada wanita

pada saat hamil. Sel T pengatur (CD4 + CD25+)

terutama berperan untuk mencegah respon autoimun yang terjadi jika sel T selfreactive keluar dari timus pada saat perkembangan sel yang normal.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Anonymous. Immune Sistem Function During and After Pregnancy. Available


from www.pregnancy-info.com. Accessed on march 5, 2012.

2.

Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem ed 2. EGC: Jakarta. 2001.

3.

Reece Albert E, et al. Clinical Obstetric the Fetus and Mother, 3rd edition.
Massachusets, Blackwel publishing; 2007.

4.

Wiknjosastro H. Kontrasepsi. Ilmu Kandungan. Edisi kedua. 2010. Yayasan bina


pustaka sarwono prawirohardjo; Jakarta. Hal. 534-535.

5.

Gabbe, S et al. Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. Ed 5. Philadelphia:


Churcill Livingstone. 2007.

6.

Guyton C Arthur. Guyton Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC:


Jakarta. 2002.

7.

Martin L. Pernoll, M.D. Handbook of Obstetriks and Gynecology 10th edition. New
York, McGraw-Hill Companies. 2001.

8.

Edmonds D. Keith. Dewhursts Textbook of Obstetrics & Gynaecology, 7th edition.


London, Blackwell. 2007.

9.

Mor G. Pregnancy reconceived: what keeps a mother's immune sistem from treating
her baby as foreign tissue? A new theory resolves the paradox. Available
from www.findarticle.com. Accessed on march 5, 2012.

10. Cardenas I. The Immune Sistem in Pregnancy: A Unique Complexity. Available


from www.ncbi.nlm.nih.gov. Accessed on march 5, 2012.
11. Pearson H. Maternal Immune Response to Pregnancy. Available
from www.nature.com. Accessed on march 5, 2012.

12. Anonymous. Adjuvanted Vaccines in Pregnancy: What is Known About Their


Safety?: Pregnancy & the Immune Sistem. Available from www.emedicine.com.
Accessed on march 5, 2012

Anda mungkin juga menyukai