Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
pengertian
c. Bagaimana
pergumulan
Muhammadiyah
dalam
berpolitik?
d. Bagaimana perkembangan
politik Muhammadiyah?
e. Apa landasan operasional
politik Muhammadiyah?
f. Bagaimana
high
politics
dan politics?
g. Bagaimana
agenda
Muhammadiyah
dalam
Politik di Masa Depan ?
3. Tujuan
PEMBAHASAN
1. Latar
Belakang
Muhammadiyah
Lahirnya
dari
1 Deliar Noer, Gerakan Modern dalam
Islam di Indonesia 1900-1942,(Jakarta:
LP3ES, 1985), hlm. 84.
Hal 2 dari 24
Hal 3 dari 24
Adapun
faktor-faktor
terdiri atas :
ekstern
bersifat
1) ketidakmurnian
amalan
Islam
akibat tidak dijadikannya al-Quran
dan Hadis sebagai satu-satunya
rujukan oleh sebagian besar umat
Islam Indonesia.
2) Lembaga pendidikan yang dimiliki
umat
Islam
belum
mampu
menyiapkan generasi yang siap
mengemban
misi
selaku
yang
bersifat
berpengaruh
dalam
masyarakat Jawa.
kehidupan
Hal 5 dari 24
Ajaran
agama
seperti
digambarkan diatas itulah yang
hidup dan berkembang di Indonesia
serta menjadi anutan bagi mereka
yang
memeluknya.
Semua
itu
mengakibatkan tidak utuh dan tidak
murni lagi paham dan praktek ajaran
Islam di Indonesia. Akibat lebih lanjut
adalah Islam dan ajaran-ajarannya
tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya, kehilangan pamor dan
daya tariknya.
Kondisi
historis
inilah
yang
mendorong KH. Ahmad Dahlan
mendirikan
persyarikatan
Muhammadiyah dengan tujuan untuk
memurnikan ajaran agama Islam
yang ada di masyarakat.Tujuan
didirikan
Muhammadiyah
adalah
berjuang memperbaiki pengamalan
ajaran agama Islam yang ada di
Indonesia khususnya di Jawa yang
penuh dengan takhayul, bidah dan
khurafat.
Pengaruh
Gerakan
Modernis
Islam dari Timur Tengah
Lahirnya gerakan pembahruan
Islam di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh tokohtokoh gerakan modernis Islam di
Timur
Tengah,
khususnya
Muhammad Abduh ( 1849-1905 M )
serta muridnya yang terkenal, Rasyid
Ridha (1865 1935 M ). Dalam hal ini
Deliar Noer mengatakan bahwa
gerakan reformasi Islam di Indonesia,
sebagian karena terpengaruh oleh
perkembangan dan ide dari luar
Indonesia, terutama Timur Tengah,
yakni Mekah dan Kairo yang menjadi
Dalam
kekuasaannya,
mempertahankan
setiap
bentuk
pemerintah
kolonial
sedapat
mungkin berusaha memahami adat
kebiasaan penduduk pribumi di
wilayah jajahannya. Hal ini berguna
untuk
memperkuat
dan
melanggengkan kekuasaan penjajah.
Belanda menyadari sepenuhnya
bahwa mayoritas penduduk pribumi
menganut agama Islam. Kenyataan
ini
memerlukan
sikap
dan
pendekatan yang hati-hati, justru
karena
agama
ini
selalu
menyadarkan
para
pemeluknya
bahwa mereka sedang berada dalam
penjajahan, dimana disisi yang
lainnya ajaran Islam menyatakan
bahwa cinta tanah air merupakan
bagian dari iman. Sikap yang hatihati
dari
pemerintah
Belanda
dianggap
penting
oleh
karena
adanya
pengalaman
bahwa
semangat keagamaan yang tinggi
beberapa
kali
menyulut
api
pemberontakan terhadap Belanda,
misalnya
perang
Banten
pada
pertengahan abad ke-18, perang
Cirebon
1802-1806,
perang
Diponegoro 1825-1830 dan perang
Aceh 1873 1903 .12
Sampai jangka waktu yang cukup
lama politik Belanda terhadap Islam
tidak terumuskan. Hal ini disebabkan
karena
Belanda
tidak
memiliki
pengetahuan
yang
yang
tepat
tentang Islam itu sendiri. Kebijakan
terhadap Islam hanya dilakukan
dengan semangat rasa takut serta
pengharapan yang berlebihan. Rasa
takut
terhadap
Islam
sebagai
kekuatan yang fanatik dan punya
hubungan
dengan
gerakan
internasional.
Pengharapan
yang
sangat optimistik bahwa dengan
berhasilnya
Kristenisasi
maka
pengaruh Islam akan hilang dengan
sendirinya.
12 Harry J. Benda, Bulan Sabit , hlm. 36
Setelah
kedatangan
Snouck
Hurgronje pada tahun 1889, barulah
pemerintah
Belanda mempunyai
kebijakan yang jelas terhadap Islam.
Snouck Hurgronje adalah seorang
ahli bahasa Arab, ahli agama Islam,
dan pernah tinggal di Mekah dan
berhasil dalam membantu Belanda
pada peristiwa perang Aceh. Ia
memberikan informasi yang jelas
kepada pemerintah Belanda tentang
agama Islam, antara lain
bahwa
dalam Islam tidak dikenal lapisan
kependetaan seperti yang ada dalam
dalam Kristen, ulama bukanlah
bagian dari hierarki Konstantinopel,
dan mereka tidak boleh dinilai secara
apriori sebagai fanatik dan harus
dimusuhi.13
Dengan memahami kondisi Islam
di Indonesia pada waktu itu dan
berbekal
pengalaman
dan
pergaulannya dengan dunia Islam,
Snouck
Hurgronje
memberikan
pandangan
kepada
pemerintah
dalam rangka menetapkan politik
Islam. Menurut Hurgronje Islam harus
dibedakan dalam tiga kategori, yakni
pertama
Islam
sebagai
ajaran
agama, kedua, Islam sebagai ajaran
sosial kemasyarakatan, dan ketiga,
Islam
sebagai
bagian
politik.
Menurutnya
orang
Islam
akan
bangkit melawan penjajah, jika
mereka mengalami hambatan dalam
menjalankan ajaran agamanya. Oleh
karena itu pemerintah Belanda harus
harus
memberikan
kebebasan
kepada mereka untuk menjalankan
ajaran agama Islam, sepanjang tidak
mengganggu kekuasaan pemerintah
Belanda.
Demikian juga dalam lapangan
sosial kemasyarakatan, pemerintah
dapat memanfaatkan adat kebiasaan
yang berlaku di lingkungan mereka
sendiri bahkan pemerintah Belanda
13 Ibid, hlm. 41.
Hal 7 dari 24
Perjuangan
perubahan
sosial
dan
sebagai
kekuatan politik. Sebagai gerakan
pembaharuan
keagamaan,
Muhammadiyah
tampil
dalam
gerakan
pemurnian
dengan
memberantas
syirik,
tahayul,
bidah,dan kurafat dikalangan umat
Islam. Sebagai agen perubahan
sosial, Muhammadiyah melakukan
modernisasi sosial dan pendidikan
guna memberantas keterbelakangan
umat Islam. Sebagai kekuatan politik
Muhammadiyah memerankan diri
sebagai
kelompok
kepentingan.
Wajah lain dari Muhammadiyah
adalah sebagai pembendung paling
aktif terhadap misi-misi kristenisasi
di Indonesia.17
Bila
ditelusuri,
paradigma
perjuangan Muhammadiyah agaknya
tidak terlepas dari apa yang telah
dicontohkan
oleh
KH.
Ahmad
Dahlan
,
karena
dasar-dasar
pemikiran
Muhammadiyah
pada
masa-masa
sesudahnya
dapat
dikatakan sebagai penjabaran dari
pemikirannya yang
dikemukakan
ketika masih hidup.
Mengenai pandangan keagamaan
KH. Ahmad Dahlan, sekalipun tidak
anti sufi, tetapi ia cenderung kepada
pemurnian ajaran Islam dengan alQuran dan Hadis sebagai landasan
pokoknya.
Muhammadiyah
juga
dikenal
sebagai
gerakan
nonmadzhab.
KH.
Ahmad
Dahlan
misalnya menolak segala bentuk
bidah dalam ibadah. Ibadah sebagai
bentuk hubungan vertikal antara
manusia
dan
Tuhan
haruslah
dijalankan
berdasarkan
dalil-dalil
agama yang kuat. Dengan kata lain,
inovasi di bidang ibadah dipandang
sebagai perbuatan menambah ajaran
17 Haedar Nashir, Dinamika Politik
Muhammadiyah, (Yogyakarta : Bigraf
Publishing, 2000), hlm.2.
Hal 9 dari 24
5) Ittiba
(mengikuti)
langkah
perjuangan
Nabi
Muhammad
dalam setiap usaha.
6) Melancarkan
amal usaha dan
perjuangan dengan ketertiban
organisasi.19
Berdasarkan
paradigma
inilah
maka menjadikan Muhammadiyah
sebagai
organisasi
Islam
yang
menekankan kepada amal usaha
nyata
terwujud
dalam
usaha
mendirikan sekolah, rumah sakit,
tempat ibadah, panti asuhan, dan
sebagainya.
Hal
inilah
yang
menjadikan
Muhammadiyah
menggunakan
berlomba-lomba
dalam kebaikan sebagai semboyan
gerakan. Semboyan gerakan ini
sangat relevan dengan orientasi
Muhammadiyah sebagai organisasi
keagamaan Islam yang bergerak
untuk
berpartisipasi
dalam
pembangunan umat, bangsa, dan
negara.
19 Musthafa Kamal Pasha dan A. Adaby
Darban, Muhammadiyah Sebagai,
hlm.181-182
Hal 10 dari 24
Berdasarkan
paradigma
perjuangannya
juga,
maka
Muhammadiyah telah memberikan
kontribusi yang nyata bagi kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara. Peran dan partisipasi
Muhammadiyah bagi masyarakat
yang
luas,
yang
dikalangan
Muhammadiyah
disebut
dengan
istilah amal usaha Muhammadiyah
merupakan hal yang fundamen bagi
gerakan ini, apalagi jika ditinjau dari
latar
belakang
kelahiran
Muhammadiyah itu sendiri.
2. Pengertian Politik
Politik
(siasah-bahasa
arab;
politics-bahas inggris) memiliki
pengertian yang sangat luas. Kata
politik mengundang kontroversi
terutama bagi mereka yang tidak
memahaminya.Akan tetapi apakah
itu politik? Mungkin ada baiknya
diungkapkan mengenai apa makna
politik. Ilmuan politik yang sanagat
terkenal, David Easton, menyatakn
politik
tidak
lain
daripada
bagaiman mengalokasikan sejumlah
nilai secara otoritatif bagi sebuah
masyarakat
authoratitative
allocation of values for a society.
Artinya dalam kehidupan seharihari ada sejumlah nilai yang selalu
dicari, dikejar-kejar, dan tentu saja
dipertaruhkan orang dalam hidup
bermasyarakat
serta
bernegara.
Nilai-nilai
tersebut
tentu
saja
merupakan sesuatu yang sanagat
berharga atau bermakna dalam
kehidupan sehingga orang dapat
melakukan
apa
saja
untuk
memperolehnya. Apakah nilai-nilai
tersebut? Seorang ahli ilmu politik
lainnya,
Karl
W.
Deutsch,
mengelompokkan nilai-nilai tersebut
dalam delapan kategori, termasuk
didalamnya kekuasaan, kekayaan,
kehormatan,
kesehatan,
kesejahteraan
(enlightment),
kebebasan, keamanan, dan lainlainnya.
Nilai-nilai
tersebut
dialokasikan secara otoritatif, artinya
sekali
diputuskan
oleh
Negara
bagaimana
mengalokasikannya,
maka
akan
mengikat
(binding)
semua pihak yang berkepentingan
dengan nilai-nilai tersebut, sehingga
negara
memiliki
hak
untuk
memberikan paksaan fisik agar orang
tunduk
dan
patuh
terhadap
keputusan yang mengikat dalam
rangka alokasi nilai tersebut.
Di dalam konteks masyarakat
Indonesia sering terjadi kesenjangan
antara ilmu politik yang dipelajari
dengan politik-politik yang terjadi.
Ilmu politik adalah ilmu social yang
khusus mempelajari sifat dan tujuan
dari
Negara
sejauh
Negara
merupakan organisasi kekuasaan,
beserta sifat tujuan dari gejala-gejala
kekuasaan lain yang resmi, yang
dapat mempengaruhi Negara. Di
dalam praktiknya, pengrtian politik
menjadi deterministic yakni segara
urusan dan tindakan (kebijaksannan,
siasat, dan sebagainya) mengenai
pengertian sesuatu Negara atau
terhadap Negara lain, tipu muslihat
atau
kelicikan,
dan
juga
dipergunakan sebagai nama bagi
sebuah disiplin pengetahuan, yaitu
ilmu politik. Segala aktivitas atau
sikap yang berhubungan dengan
kekuasaan
dan
bermaksud
mempengaruhi,
dengan
jalan
mengubah atau mempetahankan
suatu
macam
bentuk
susunan
masyarakat.
Pada
umumnya
dikatakan bahwa politik adalah
bermacam-macam kegiatan dalam
suatu system politik atau Negara
yang
bekenan
dengan
proses
menentukan
tujuan-tujuan
dari
sistem itu dan melaksanakan tujuantujuan itu.
Hal 11 dari 24
Muhammadiyah
Islamiyah
(Banyuwangi),
Khairiyah (Surabaya).
dan
4. Perkembangan
Muhammadiyah
Politik
Secara
historis,
politik
yang
melekat
pada
muhammadiyah
adalah politik kebangsaan yang
sering disebut dengan politik amar
maruf nahi munkar (mengajak ke
kebaikan
dan
mencegah
kemungkaran).
Bahkan,
para
pemimpin
terdahulu
di
Muhammadiyah sangat akif berpolitik
seperti KH Ahmad Dahlan di Budi
Utomo atau KH Mas Mansur dalam
BPUPKI. Artinya, Muhammadiyah itu
tidak segan-segan menjadi pengeritik
paling
depan
jika
pemerintah
bertindak salah, tapi muhammadiyah
juga menjadi pendukung terdepan
jika pemerintah memang benar.
5. Landasan
Operasional
Muhammadiyah
Politik
seluruh
warga
Muhammadiyah
dalam menjalani kehidupan politik
dari seluruh warga Muhammadiyah
dalam menjalani kehidupan politik
untuk
tegaknya
kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah meyakini bahwa
negara
dan
usaha-usaha
membangun kehidupan berbangsa
dan
bernegara,
baik
melalui
perjuangan politik maupun melalui
pengembangan masyarakat, pada
dasarnya merupakan wahana yang
mutlak
diperlukan
untuk
membangun kehidupan dimana nilainilai ilahiah melandasi dan tumbuh
subur bersamaan dengan tegaknya
nilai-nilai kemanusiaan, keadilan,
perdamaian,
ketertiban,
kebersamaan dan keadaban untuk
terwujudnya Baldatun thayyibatun
wa rabbun Ghafur.
Muhammadiyah
memilih
perjuangan
dalam
kehidupa
berbangsa dan bernegara melalui
usaha-usaha
pembinaan
atau
perbedayaaan
masyarakat
guna
terwujudnya
masyarakat
yang
madani (civil society) yang kuat
sebagaimana tujuan muhammadiyah
untuk mewujudkan masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya. Sedangkan
hal-hal yang berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan
kenegaraan
sebagai proses dan hasil dari fungsi
politik pemerintahah akan ditempuh
melalui
pendekatan-pendekatan
secara tepat dan kebijakan sesuai
prinsp-prinsip perjuangan kelompok
kepentingan yang efektif dalam
kehidupan negara demokratis.
Muhammadiyah
mendorong
secara kritis atas perjuangan politik
yang besifat praktis atau berorientasi
pada kekuasaan (real politics ) untuk
dijalankan oleh partai-partai politik
dan
lembaga-lembaga
formal
kenegaraan dengan sebaik-baiknya
Hal 14 dari 24
dengan
misi
dan
kepentingan
Muhammmadiyah
demi
kemaslahatan baangsa dan negara.
Kebebasan Beraspirasi
Politik Praktis
dalam
Metamorfose
Sikap
Muhammadiyah
Politik
a) Tahun
19121926,
Muhammmadiyah
dinyatakan
bukan sebagai organisasi politik,
meskipun
banyak
anggota
Muhammadiyah yang menjadi
anggota aktif dalam organisasi
Budi Utomo, Sarikat Islam, Partai
Sarikat Islam Indonesia.
b) Tahun
1927-1938,
Muhammadiyah
memantapkan
diri sebagai organisasi Islam dan
amal. Anggota Muhammadiyah
yang memasuki Partai Sarikat
Islam Indonesia (PSII) terkena
disiplin organisasi tidak boleh
merangkap keanggotaan dengan
Muhammadiyah.
c) Tahun 1938-1942, pada tahun
1923 para pemuka Joung Islami
ten Bond (JIB) dan para anggota
Muhammadiyah
berhasil
Hal 15 dari 24
d)
e)
f)
g)
h)
7. Agenda
Muhammadiyah
dalam Politik di Masa Depan
Dalam
menghadapi
dinamika
kehidupan nasional perkembangan
dunia yang makin global dan penuh
pertarungan kepentingan yang keras
antar kelompok dan golongan dalam
masyarakat, Muhammadiyah sebagai
gerakan
Islam
yang
cukup
berpengaruh di Indonesia dituntut
untuk memainkan perannya secara
signifika. Demikian
juga dalam
ehidupan politik, Muhammadiyah
dituntut
untuk
menghadapi
perkembangan yang makin dinamik
itu secara cerdas dan tepat sasaran,
yang
memerlukan
pemikiranpemikiran dan langkah-langkah yang
strategis.
Muhammadiyah perlu melakukan
identifikasi atas pesoalan-persoalan
penting dan strategis khususnya
dalam kehidupan politik nasional,
agar dalam melangkah tidak bersifat
reaktif semata. Dalam kepentingan
ini Muhammadiyah perlu menyusun
agenda-agenda strategis khususnya
dalam
politik
,
sehingga
Muhammadiyah menjadi kekuatan
yang memiliki kesiapan yang matang
dan sistemik dalam memasuki masa
depan
yang
penuh
tantangan.
Muhammadiyah bisa melakukannya
tanpa harus terlibat langsung dalam
politik
praktis.
Langkah-langkah
strategis
dalam
menghadapi
dinamika kehidupan politik yang
penuh tantangan itu seharusnya
dibangun
diatas
landasan
dan
orientasi gerakan dakwah amar
maruf nahi munkar sebagai misi
utama dari Muhammadiyah.
Dalam konteks kehidupan politik
nasional dapat dicermati bagaimana
bahwa
umat
Islam
bukanlah
merupakan satu entitas politik yang
utuh.
Dalam menyikapi fenomena politik
baru di lingkungan umat Islam ini,
maka
Muhammadiyah
harus
merumuskan
agenda-agenda
strategis mengenai politik baik yang
berkaitan
dengan
pemikiranpemikiran
maupun
dalam
mempermainkan fungsi-fungsi politik
sesuai dengan identitas dan garisgaris
perjuangan
yang
membingkainya
sebagai
wujud
pertanggungjawaban
dalam
pencerahan
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa,
dan
bernegara. Muhammadiyah harus
mempunyai agenda-agenda politik
sebagai kerangka secara sistemis
yang
berkaitan
dengan
pertanggungjawaban atau amanat
Muhammadiyah dalam ikut serta
melakukan pembangunan politik di
Indonesia. Agendaagenda strategis
Muhammadiyah itu antara lain :
Pertama, merumuskan konsep
pandangan Muhammadiyah tentang
politik, yaitu Muhammadiyah dituntut
untuk menyusun suatu konsep yang
komprehensif dan sistemik mengenai
politik
yang
berangkat
dari
pandangan- pandangan keagamaan
dan elaborasi pemikiran ijtihad yang
menjadi metode pemahaman Islam
dalam
Muhammadiyah.
Konsep
politik ini dapat dianggap sebagai
pandangan Muhammadiyah tentang
politik. Konsep ini berfungsi sebagai
landasan pemikiran dan perilaku
politik
Muhammadiyah
maupun
orang-orang Muhammadiyah dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang
mencerminkan pertanggungjawaban
dakwah amar maruf nahi munkar
dari Muhammadiyah. Konsep ini
dapat diarahkan pada ijtihad politik
Muhammadiyah
dalam
pemikiran mengenai politik.
dunia
merekomondasikan
agar
Muhammadiyah
mempersiapkan
partai politik baru.
Walaupun
akhirnya PP Muhammadiyah tidak
mendirikan partai politik, tetapi
kehadiran PAN tidak lepas dari proses
ijtihad
politik
dari
Tanwir
Muhammadiyah di Semarang
Dalam melihat politik, kekuasaan
ataupun
negara
Muhammadiyah
meletakkannya sebagai produk dari
dinamika sosial kemasyarakatan dan
kebudayaan, yang kemudian dikenal
sebagai gerakan dakwah. Bagi
Muhammadiyah, politik baik itu
partai politik ataupun negara adalah
sub-sistem dari gerakan dakwah.
Dari sinilah maka terlihat bahwa
hubungan antara Muhammadiyah
dengan partai politik tidak konsisten,
selalu berubah dan tidak pernah
bersifat struktural. Muhammadiyah
diletakkan diatas basis yang lebih
besar dan lebih kultural daripada
dinamika politik kenegaraan. Hal ini
cenderung bersiakap pragmatis atau
akomodatif Muhammadiyah dalam
politik, tetapi juga berarti peletakan
sistem
dan
tata
sosial-politik
kenegaraan diatas dasar nilai-nilai
etik.22
Sejak
berdiri
tahun
1912,
Muhammadiyah
belum
pernah
menjadi partai politik, namun selalu
terlibat
perpolitikan
nasional,
langsung maupun melalui aktivitas
elit Muhammadiyah. Dalam situasi
politik kenegaraan mengalami krisis,
seperti
masa-masa
menjelang
kemerdekaan, awal pembentukan
negara merdeka pasca G-30 S/ PKI
dan era reformasi ini, aktivis
Muhammadiyah
hampir
selalu
terlibat
dalam
dinamika
politik
22 Abdul Munir Mulkhan, Menggugat
Muhammadiyah, ( Yogyakarta : Fajar Pustaka
Baru, 2000), hlm. 115.
Hal 21 dari 24
yang
sosial-
politik
yang
dilakukan
Muhammadiayh
adalah
kelalaian
dalam mengembangkan wacana baru
menyangkut negara dan politik,
ketidak seriusan dalam menghadapi
masalah negara dan politik, tidak
adanya
think
tank
untuk
merumuskan strategi dan kebijakan
publik,
serta
rencanarencana
sistemis
untuk
mengekspresikan
tujuan-tujuan politik jangka pendek
dan
jangka
panjang.
Menurut
Azyumardi
Azra
berdasarkan
kelemahan-kelemahan
Muhammadiyah
tersebut
dan
dikaitkan dengan situasi masa kini,
maka
Muhammadiayh
perlu
merumuskan kembali paradigma dan
praksis politiknya. Politik alokatif
(allocative politics) yang menjadi
paradigma
dan
praksis
politik
Muhammadiyah pada masa Orde
Baru, akan kehilangan relevansi
untuk masa sekarang.26
Dalam Muktamar ke- 44 pada
tanggal 8- 11 Juli 200 di Jakarta,
Muhammadiyah kembali menetapkan
Islam sebagi asas tunggal. Dalam
Muktamar ini juga diputuskan bahwa
Muhammadiyah sebagai organisasi
sosial-keagamaan
akan
menjaga
jarak yang sama denagn semua
partai
politik.
Para
pengurus
Muhammadiyah dilarang melakukan
rangkap jabatan dengan semua
partai politik.27 Menurut A. Syafii
Maarif yang terpilih sebagai ketua PP
26 Azyumardi Azra, Muhammadiyah dan
Negara : Tinjauan TeologisHistoris, dalam Edi Suandi Hamid, M.
Dasron Hamid, dan Sjafri Sairin
(penyunting ), Rekontruksi Gerakan
Muhammadiyah Pada Era
Multiperadaban, (Yogyakarta : UII Press,
2000), hlm. 18.
27 Suara Muhammadiyah, No. 14, Th. Ke85, 16-31 Juli 2000, hlm. 4
Hal 23 dari 24
atau
masyarakat
Islami
dalam
koridor keridhaan Illahi. Masyarakat
itu haruslah adil, terbuka dan
menghargai pluralisme pandangan
hidup dan aspirasi politik. Semua
pihak wajib tunduk kepada ketentuan
konstitusi yang telah disepakati
bersama. Bermain diluar konstitusi
pasti mengandung anarkisme dan
konflik berkepanjangan yang dapat
melumpuhkan masyarakat secara
keseluruhan.
Dalam
menggagas
sebuah
sistem
politik
Muhammmadiyah menurut A. Syafii
Maarif
seharusnya
lebih
mengutamakan substansi dibanding
bentuk dan merek.30
Dengan berbagai agenda diatas
diharapkan Muhammadiyah tidak
ketinggalan dalam dinamika politik
nasional. Mengambil posisi dan peran
sebagai organisasi sosial-keagamaan
yng non-politik bagi Muhammadiyah
tidak berarti harus alergi politik dan
kehilangan
artikulasi
dalam
memainkan fungsi politik sebagai
kelompok kepentingan dengan misi
moral keagamaan. Muhammadiyah
perlu menumbuhkan kesadaran yang
positif dikalangan elit dan warganya,
bahwa politik itu penting dan
strategis serta memiliki keterkaitan
dengan pejuangan untuk membentuk
masyarakat utama (civil society),
seperti yang dicita-citakan oleh
Muhammadiyah.
Hal 24 dari 24