Anda di halaman 1dari 60

HUBUNGAN GAYA HIDUP DAN KEPRIBADIAN DENGAN KEJADIAN

HIPERTENSI
DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS MAJALENGKA
KABUPATEN MAJALENGKA
TAHUN 2012

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Ujian Sarjana
Pada Program S-1 Keperawatan
STIKes YPIB Majalengka

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) YPIB
MAJALENGKA
2012

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak semua orang yang perlu mendapatkan
perhatian dari semua pihak. Hidup dengan sehat merupakan suatu
kebutuhan yang penting dari kondisi secara fisik mapun psikis yang
memungkinkan seseorang hidup lebih produktif. Untuk itu perlu dilakukan
upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat yaitu
dengan meningkatkan kesadaran hidup sehat, upaya pencegahan dan
penyembuhan penyakit, serta pengobatan yang dilakukan sesuai dengan
anjuran petugas kesehatan yang profesional.
Menurunya derajat kesehatan masyarakat dalam rangka kegiatan
Perawatan

Kesehatan

meningkatnya

angka

Masyarakat
kesakitan

(Perkesmas)

pada

keluarga

diakibatkan
sasaran

oleh

khususnya

keluarga rawan, keluarga yang rentan terhadap masalah kesehatan. Hal


ini disebabkan karena adanya beberapa faktor antara lain meningkatnya
suatu penyakit di masyarakat, kurangnya kegiatan perawatan kesehatan
masyarakat oleh petugas, kurang akuratnya data yang tersedia dan
lingkungan yang tidak sehat dan bersih.
Dewasa ini, penyakit degeneratif yang banyak terjadi di masyarakat dan
mempunyai tingkat mortalitas yang cukup tinggi serta mempengaruhi
kualitas hidup dan produktifitas seseorang salah satunya adalah penyakit
hipertensi. Menurut Marliani (2007) bahwa hipertensi atau tekananan
darah tinggi merupakan gangguan pada sistem peredaran darah yang

dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu


melebihi 140 / 90 mmHg.
Prevalensi hipertensi di dunia pada tahun 2006 menurut WHO di
seluruh dunia terdapat 972 juta orang atau 26,4% penghuni bumi
mengalami kejadian hipertensi. Angka ini kemungkinan akan meningkat
menjadi 29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta
berada di negara maju dan 639 juta sisanya berada di negara sedang
berkembang, temasuk Indonesia (Andra, 2007).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2007
prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7% dari total jumlah
penduduk dewasa. Hipertensi merupakan penyebab kematian utama
ketiga di Indonesia untuk semua umur (6,8%), setelah stroke (15,4%) dan
tuberkulosis (7,5%). Prevalensi hipertensi di Jawa dan Sumatera memiliki
prevalensi yang lebih tinggi dari prevalensi nasional. Angka kejadian
hipertensi di Indonesia paling banyak terjadi di daerah Jawa Barat yaitu
mencapai 47,8% (Departemen Kesehatan RI, 2009).
Penyakit hipertensi merupakan salah satu penyakit yang tidak
diketahui penyebabnya secara pasti. Namun menurut Yogiantoro (2006)
bahwa hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi
dan sisanya hipertensi sekunder yaitu tekanan darah tinggi yang
penyebabnya dapat diklasifikasikan, diantaranya adalah kelainan organik
seperti penyakit ginjal, kelainan pada korteks adrenal, pemakaian obatobatan sejenis kortikosteroid, dan lain-lain.
Kejadian hipertensi dengan bertambahnya usia selalu mengalami
peningkatkan sehingga perlu diwaspadai dan ditangani dengan tepat
karena risikonya yang dapat menyebabkan kematian. Menurut Sustrani
(2006) hipertensi mengakibatkan jantung bekerja lebih keras sehingga
proses perusakan dinding pembuluh darah berlangsung dengan lebih
cepat. Hipertensi meningkatkan resiko penyakit jantung dua kali dan
meningkatkan resiko stroke delapan kali dibanding dengan orang yang
tidak mengalami hipertensi. Selain itu hipertensi juga menyebabkan
terjadinya payah jantung, gangguan pada ginjal dan kebutaan serta yang

paling parah adalah efek jangka panjangnya yang berupa kematian


mendadak.
Menurut Crea (2008) menyatakan bahwa pada umumnya penderita
hipertensi adalah orang-orang yang berusia 45 tahun ke atas namun
pada saat

ini tidak menutup kemungkinan diderita oleh orang berusia

muda. Beberapa hal yang dapat memicu penyakit hipertensi adalah


ketegangan, kekhawatiran, status sosial, kebisingan, gangguan dan
kegelisahan.

Pengendalian

pengaruh

dan

emosi

negatif

tergantung juga pada kepribadian masing-masing individu.

tersebut
Hipertensi

dapat dipengaruhi oleh gaya hidup (merokok, minum kopi, minum alkohol,
olah raga) dan juga kepribadian.
Gaya hidup dan kepribadian merupakan faktor yang sangat penting
untuk dikaji karena kedua faktor tersebut merupakan faktor yang
mempengaruhi perilaku masyarakat yang pada akhirnya akan tercapai
atau

tidaknya

derajat

kesehatan

masyarakat

tersebut.

Menurut

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat


berkaitan dengan status kesehatan masyarakat ini dapat diukur dari
beberapa aspek salah satunya adalah dari segi health behaviour. Health
behaviour merupakan perilaku nyata dari anggota masyarakat yang
secara langsung berkaitan dengan kesehatan masyarakat itu sendiri.
Artinya bahwa penyakit hipertensi yang berkembang di masyarakat ini
dapat disebabkan oleh perilaku masyarakat itu sendiri dalam hal ini
adalah gaya hidup dan kepribadian masyarakat.
Berdasarkan Dinas Kesehatan Kabupaten Majalengka tahun 2011
kejadian hipertensi yaitu 45.187 kejadian terdiri dari 41.981 (92,9%)
hipertensi primer dan 3.206 (7,1%) hipertensi sekunder. Sementara
kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka dari
tahun ke tahun pun mengalami peningkatan. Jumlah pasien baru
hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka menunjukan
kenaikan setiap tahunnya. Pada tahun 2009 tercatat terdapat 1.671 kasus
hipertensi, sedangkan pada tahun 2010 kejadian hipertensi meningkat
menjadi 2.632 kasus dan pada tahun 2011 terjadi lagi peningkatan kasus
hipertensi menjadi 3.412 kasus. Peningkatan kasus hipertensi yang terjadi

di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka ini perlu mendapatkan


perhatian yang serius dari petugas kesehatan dan apabila dibandingkan
dengan puskesmas lainnya angka kejadian hipertensi ini lebih tinggi salah
satunya dengan UPTD Puskesmas Panyingkiran yaitu sebesar 3.006
kejadian.
Tingginya kejadian hipertensi di tengah-tengah masyarakat perlu
dikaji

secara

mendalam

dan

diketahui

faktor-faktor

yang

mempengaruhinya. Hal ini akan berkontribusi positif bagi keperawatan


komunitas

dalam

menggali

dan

mengetahui

masyarakat yang secara langsung berdampak

fenomena

perilaku

pada meningkatnya

kejadian hipertensi. Pentingnya kajian mengenai hipertensi ini maka


penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan gaya
hidup dan kepribadian dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
1.2 Rumusan Masalah
Kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan pada tahun 2009 tercatat
sejumlah 1.671 kasus, tahun 2010 sejumlah 2.632 kasus dan tahun 2011
sejumlah 3.412 kasus. Bila dibandingkan dengan Puskesmas Panyingkiran
maka angka kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka lebih tinggi. Peningkatan tersebut diduga timbul akibat
adanya interaksi dari berbagai faktor. Berdasarkan hal tersebut, maka
yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah Apakah ada
hubungan antara gaya hidup dan kepribadian dengan kejadian hipertensi
di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka
Tahun 2012?.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Pada penelitian ini dibatasi pada faktor gaya hidup dan kepribadian,
serta hubungan antara kedua faktor tersebut dengan kejadian hipertensi.
Subjek penelitian ini adalah penduduk di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Juli tahun 2012.
Alasan penelitian ini dilakukan karena kejadian hipertensi di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Majalengka dari tahun ke tahun selalu mengalami
peningkatan. Jenis penelitian ini akan menggunakan desain analitik
kuantitatif dengan pendekatan case control.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara gaya hidup dan kepribadian dengan
kejadian

hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka

Kabupaten Majalengka Tahun 2012.


1.4.2 Tujuan Khusus
1)

Diketahuinya gambaran kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD

Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.


2)
Diketahuinya gambaran gaya hidup di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
3)
Diketahuinya gambaran kepribadian di wilayah kerja UPTD Puskesmas
4)

Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.


Diketahuinya hubungan antara gaya hidup dengan kejadian hipertensi
di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka

5)

Tahun 2012.
Diketahuinya hubungan antara kepribadian dengan kejadian hipertensi
di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka
Tahun 2012.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi UPTD Puskesmas Majalengka
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan
masukan mengenai perilaku kesehatan masyarakat khususnya gaya hidup
dan kepribadian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka sehingga

menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada


masyarakat untuk mencegah hipertensi melalui perilaku hidup sehat.
1.5.2 Bagi Pasien Hipertensi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
wawasan

mengenai

kebiasaan-kebiasaan

masyarakat

yang

dapat

menimbulkan penyakit hipertensi.


1.5.3 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan

ilmiah

yang

bermanfaat

dalam

pengembangan

ilmu

pengetahuan dan penelitian selanjutnya tentang penyakit hipertensi.


1.5.4 Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan
tentang penyakit hipertensi dan faktor-faktor yang menjadi penyebabnya
serta menambah pengalaman dalam melakukan penelitian di lapangan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Pengertian Hipertensi
Beberapa

definisi

tentang

hipertensi

telah

diungkapkan

oleh

beberapa ahli atau penulis buku tentang hipertensi diantaranya menurut


Marliani (20070 menyatakan bahwa hipertensi atau tekanan darah tinggi
merupakan

gangguan

pada

sistem

peredaran

darah

yang

dapat

menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu melebihi


140 / 90 mmHg. Menurut Crea (2008) hipertensi adalah istilah medis
untuk penyakit tekanan darah tinggi dan merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang banyak diderita di dunia termasuk di
Indonesia. Hipertensi termasuk penyakit umum, tanpa disertai gejala
khusus dan biasanya dapat ditangani secara mudah, namun bila dibiarkan
tanpa penanganan dapat menyebabkan bebagai komplikasi yang lebih
parah

berupa

penyakit

jantung

dan

pembuluh

darah

seperti

aterosklerosis, infark miokard, gagal jantung, gangguan fungsi ginjal dan


kematian dini.
Menurut Shanty (2011) menyatakan bahwa hipertensi atau tekanan darah
tinggi adalah penyakit yang umum terjadi dalam masyarakat kita.
Keadaan itu terjadi jika tekanan darah pada arteri utama didalam tubuh
terlalu tinggi. Hipertensi kini semakin sering dijumpai pada orang lanjut
usia.
Berdasarkan beberapa pengertian hipertensi tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa hipertensi adalah salah satu penyakit yang biasanya
gangguan terjadi pada sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan

kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu melebihi 140 / 90


mmHg
2.1.2 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial
dan hipertensi sekunder yaitu sebagai berikut (Setiawati dan Bustami,
2005):
1) Hipertensi esensial, juga disebut hipertensi primer atau idiopatik, adalah
hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi
termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada
hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab
hipertensi esensial adalah mulitifaktor, terdiri dari factor genetic dan
lingkungan. Factor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya
riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga. Faktor predisposisi genetic
ini dapat berupa sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap stress,
peningkatan

reaktivitas

vascular

(terhadap

vasokonstriktor),

dan

resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat


menyebabkan hipertensi yakni, makan garam (natrium) berlebihan, stress
psikis, dan obesitas.
2) Hipertensi sekunder. Prevalensinya hanya sekitar 5-8 % dari seluruh
penderita hipertensi. Hipertensi ini dapat disebabkan oleh penyakit ginjal
(hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lainlain. Hipertensi renal dapat berupa:
a. Hipertensi renovaskular, adalah hipertensi akibat lesi pada arteri ginjal
sehingga menyebabkan hipoperfusi ginjal.
b. Hipertensi akibat lesi pada parenkim ginjal menimbulkan gangguan fungsi
ginjal.
Sementara menurut Sutanto (2009), penyebab hipertensi pada
orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan-perubahan pada :
1)
2)
3)

Elastisitas dinding aorta menurun


Katub jantung menebal dan menjadi kaku
Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun
sesudah berumur 20 tahun, kemampuan jantung memompa darah
menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.

4)
5)

Kehilangan

elastisitas

pembuluh

darah.

Hal

ini

terjadi

karenakurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi


Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
2.1.3 Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi hipertensi menurut JNC (Joint National Committee On
Prevention, Detection, Evaluation, And The Treatment Of High Blood
Pressure), yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat.
Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya
dipertimbangkan normal ternyata dapat menyebabkan peningkatan resiko
komplikasi kardiovaskuler. Sehingga mendorong pembuatan klasifikasi
baru pada JNC 7, yaitu terdapat pra hipertensi dimana tekanan darah
sistol pada kisaran 120-139 mmHg, dan tekanan darah diastole pada
kisaran 80-89 mmHg. Hipertensi level 2 dan 3 disatukan menjadi level 2.
Tujuan dari klasifikasi JNC 7 adalah untuk mengidentifikasi individuindividu yang dengan penanganan awal berupa perubahan gaya hidup,
dapat membantu menurunkan tekanan darahnya ke level hipertensi yang
sesuai dengan usia.

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII

Klasifikasi tekanan darah


Normal
Prehipertensi
Hipertensi stadium 1
Hipertensi stadium 2

Tekanan darah
Sistol (mmHg)
< 120
120-139
140-159
> 160

Tekanan darah
Diastol
(mmHg)
Dan < 80
Atau 80-89
Atau 90-99
Atau > 100

(Sumber: Crea, 2008:8)


WHO dan ISHWG (International Society Of Hypertension Working
Group) mengelompokkan hipertensi ke dalam klasifikasi optimal, normal,
normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat

yaitu sebagai berikut:


Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO
Kategori
Optimal

Sistol
< 120

Diastol
< 80

Normal

< 130

< 85

Normal tinggi
Tingkat 1 (hipertensi ringan)

130 139
140 159

85 89
90 99

Sub grup: perbatasan


Tingkat 2 (hipertensi sedang)
Tingkat 3 (hipertensi berat)
Hipertensi sistol terisolasi

140 149
160 179
180
140

90 94
100 109
110
< 90

Sub-gruo: perbatasan

140 - 149

< 90

(Sumber: Crea, 2008:9)


Perhimpunan Hipertensi Indonesia pada januari 2007 meluncurkan
pedoman penanganan hipertensi di Indonesia, yang diambil dari pedoman
Negara maju dan Negara tetangga. Dan klasifikasi hipertensi ditentukan
berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan diastolic dengan merujuk
hasil JNC 7 dan WHO yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Hasil Consensus Perhimpunan Hipertensi Indonesia

Kategori tekanan darah


Normal
Prehipertensi
Hipertensi stadium 1
Hipertensi stadium 2
Hipertensi sistol terisolasi
(Sumber: Crea, 2008:9)
2.1.4 Patofisiologi

Tekanan darah
Sistol (mmHg)
< 120
120 139
140 159
> 160
140

Tekanan darah
Diastol
(mmHg)
Dan < 80
Atau 80-89
Atau 90-99
Atau > 110
< 90

Patofisiologi hipertensi masih belum jelas, banyak faktor yang saling


berhubungan terlibat dalam peningkatan tekanan darah pada pasien
hipertensi esensial. Namun, pada sejumlah kecil pasien penyakit ginjal
atau

korteks

adrenal

(2%

dan

5%)

merupakan

penyebab

utama

peningkatan tekanan darah (hipertensi sekunder) namun selebihnya tidak


terdapat penyebab yang jelas pada pasien penderita hipertensi esensial.
Beberapa mekanisme fisiologi turut berperan aktif pada tekanan darah
normal dan yang terganggu. Hal ini mungkin berperan penting pada
perkembangan penyakit hipertensi esensial. Terdapat banyak faktor yang
saling berhubungan terlibat dalam peningkatan tekanan darah pada
pasien hipertensi (Crea, 2008).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di
toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin,
yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah,
dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi
pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi.
Individu

dengan

hipertensi

sangat

sensitiv

terhadap

norepinefrin,

meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi
(Crea, 2008).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respons

vasokonstriktor

pembuluh

darah.

Vasokonstriksi

yang

mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan


rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian

diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada


gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon
ini

menyebabkan

retensi

natrium

dan

air

oleh

tubulus

ginjal,

menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini


cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Crea, 2008).
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan
struktural

dan

fungsional

pada

system

pembuluh

perifer

bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia


lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah,
yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang
kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung
dan peningkatan tahanan perifer (Rohaendi, 2008).
2.1.5 Gejala Hipertensi
Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak
memiliki gejala khusus. Menurut Sutanto (2009), gejala-gejala yang
mudah diamati antara lain yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)

Gejala ringan seperti pusing atau sakit kepala


Sering gelisah
Wajah merah
Tengkuk terasa pegal
Mudah marah
Telinga berdengung
Sukar tidur
Sesak napas
Rasa berat ditengkuk
Mudah lelah
Mata berkunang-kunang
Mimisan (keluar darah dari hidung).
Menurut Crea (2008) gejala hipertensi adalah sakit kepala bagian
belakang dan kaku kuduk, sulit tidur dan gelisah atau cemas dan kepala
pusing, dada berdebar-debar dan lemas, sesak nafas, berkeringat, dan
pusing.

2.1.6 Komplikasi Hipertensi


Hipertensi dapat berpotensi menjadi komplikasi berbagai penyakit
diantaranya adalah stroke hemorragik, penyakit jantung hipertensi,
penyakit arteri koronaria anuerisma, gagal ginjal, dan ensefalopati
hipertensi (Shanty, 2011).
1) Stroke
Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang disebabkan karena
berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba. Jaringan otak
yang mengalami hal ini akan mati dan tidak dapat berfungsi lagi. Kadang
pula stroke disebut dengan CVA (cerebrovascular accident). Hipertensi
menyebabkan tekanan yang lebih besar pada dinding pembuluh darah,
sehingga dinding pembuluh darah menjadi lemah dan pembuluh darah
rentan pecah. Namun demikian, hemorrhagic stroke juga dapat terjadi
pada bukan penderita hipertensi. Pada kasus seperti ini biasanya
pembuluh darah pecah karena lonjakan tekanan darah yang terjadi secara
tiba-tiba karena suatu sebab tertentu, misalnya karena makanan atau
faktor emosional. Pecahnya pembuluh darah di suatu tempat di otak
dapat menyebabkan sel-sel otak yang seharusnya mendapat pasokan
oksigen dan nutrisi yang dibawa melalui pembuluh darah tersebut
menjadi kekurangan nutrisi dan akhirnya mati. Darah yang tersembur dari
pembuluh darah yang pecah tersebut juga dapat merusak sel-sel otak
yang berada disekitarnya.
2) Penyakit Jantung
Peningkatan

tekanan

darah

sistemik

meningkatkan

resistensi

terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi


hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan
oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal
ini mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya
menyebabkan angina dan infark miokardium. Disamping itu juga secara
sederhana

dikatakan

peningkatan

aterosklerosis dan arteriosclerosis.


3) Penyakit Arteri Koronaria

tekanan

darah

mempercepat

Hipertensi umumnya diakui sebagai faktor resiko utama penyakit


arteri koronaria, bersama dengan diabetes mellitus. Plak terbentuk pada
percabangan arteri yang ke arah aterikoronaria kiri, arteri koronaria kanan
dan agak jarang pada arteri sirromflex. Aliran darah kedistal dapat
mengalami obstruksi secara permanen maupun sementara yang di
sebabkan olehakumulasi plak atau penggumpalan. Sirkulasi kolateral
berkembang

di

sekitar

obstruksiarteromasus

yang

menghambat

pertukaran gas dan nutrisi ke miokardium. Kegagalan sirkulasikolateral


untuk menyediakan supply oksigen yang adekuat ke sel yang berakibat
terjadinya penyakit arteri koronaria.
4) Aneurisme
Pembuluh darah terdiri dari beberapa lapisan, tetapi ada yang
terpisah sehingga memungkinkan darah masuk. pelebaran pembuluh
darah bisa timbul karena dinding pembuluh darah aorta terpisah atau
disebut

aorta

disekans.

kejadian

ini

dapat

menimbulkan

penyakit

aneurisma diamana gejalanya adalah sakit kepala yang hebat, sakit di


perut sampai ke pinggang belakang dan di ginjal. aneurisme pada perut
dan dada penyebab utamanya pengerasan dinding pembuluh darah
karena proses penuaan (aterosklerosis) dan tekanan darah tinggi memicu
timbulnya aneurisme.
2.1.7 Pencegahan Hipertensi
Agar terhindar dari komplikasi fatal hipertensi, harus diambil
tindakan pencegahan yang baik (stop High Blood Pressure), antara lain
1)

menurut (Crea, 2008), dengan cara sebagai berikut:


Mengurangi konsumsi garam.
Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal 2 g garam

dapur untuk diet setiap hari.


2)
Menghindari kegemukan (obesitas).
Hindarkan kegemukan (obesitas) dengan menjaga berat badan (b.b)
normal atau tidak berlebihan. Batasan kegemukan adalah jika berat badan
3)

lebih 10% dari berat badan normal.


Membatasi konsumsi lemak.

Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol darah tidak


terlalu tinggi. Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat mengakibatkan
terjadinya endapan kolesterol dalam dinding pembuluh darah. Lama
kelamaan, jika endapan kolesterol bertambah akan menyumbat pembuluh
nadi

dan

menggangu

peredaran

darah.

Dengan

demikian,

akan

memperberat kerja jantung dan secara tidak langsung memperparah


4)

hipertensi.
Olahraga teratur.
Menurut penelitian,

olahraga

secara

teratur

dapat

meyerap

atau

menghilangkan endapan kolesterol dan pembuluh nadi. Olahraga yang


dimaksud adalah latihan menggerakkan semua sendi dan otot tubuh
(latihan isotonik atau dinamik), seperti gerak jalan, berenang, naik
sepeda. Tidak dianjurkan melakukan olahraga yang menegangkan seperti
tinju, gulat, atau angkat besi, karena latihan yang berat bahkan dapat
menimbulkan hipertensi.
5)
Makan banyak buah dan sayuran segar.
Buah dan sayuran segar mengandung banyak vitamin dan mineral. Buah
yang banyak mengandung mineral kalium dapat membantu menurunkan
6)
7)

tekanan darah.
Tidak merokok dan minum alkohol.
Latihan relaksasi atau meditasi.
Relaksasi atau meditasi berguna untuk

mengurangi

stress

atau

ketegangan jiwa. Relaksasi dilaksanakan dengan mengencangkan dan


mengendorkan otot tubuh sambil membayangkan sesuatu yang damai,
indah, dan menyenangkan. Relaksasi dapat pula dilakukan dengan
mendengarkan musik, atau bernyanyi.
8)
Berusaha membina hidup yang positif.
Dalam kehidupan dunia modern yang penuh dengan persaingan, tuntutan
atau tantangan yang menumpuk menjadi tekanan atau beban stress
(ketegangan) bagi setiap orang. Jika tekanan stress terlampau besar
sehingga melampaui daya tahan individu, akan menimbulkan sakit kepala,
suka marah, tidak bisa tidur, ataupun timbul hipertensi. Agar terhindar
dari efek negative tersebut, orang harus berusaha membina hidup yang
positif. Beberapa cara untuk membina hidup yang positif adalah sebagai
berikut:
a. Mengeluarkan isi hati dan memecahkan masalah

b.

Membuat jadwal kerja, menyediakan waktu istirahat atau waktu untuk

c.

kegiatan santai.
Menyelesaikan satu tugas pada satu saat saja, biarkan orang lain

menyelesaikan bagiannya.
d. Sekali-sekali mengalah, belajar berdamai.
e. Cobalah menolong orang lain.
f.
Menghilangkan perasaan iri dan dengki.
2.1.8 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah target tekanan darah
yatiu < 140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti diabetes
melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah < 130/80 mmHg,
penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler dan menghambat
laju penyakit ginjal. Pada umumnya penatalaksanaan pada pasien
hipertensi meliputi dua cara yaitu (Yogiantoro, 2006):
1. Non Farmakologis
Terapi non farmakologis terdiri dari menghentikan kebiasaan merokok,
menurunkan berat badan berlebih, konsumsi alkohol berlebih, asupan
garam dan asupan lemak, latihan fisik serta meningkatkan konsumsi buah
dan sayur.
a.

Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih

Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap


tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat
penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi.
b.

Meningkatkan aktifitas fisik

Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50%


daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit
sebanyak > 3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.
c.

Mengurangi asupan natrium

Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian obat
anti hipertensi oleh dokter.
d.

Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol

Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan


lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol
lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.
2. Farmakologis

Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII
yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis,
beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist, Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau
AT1 receptor antagonist/ blocker (ARB).
2.2 Konsep Perilaku
Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman
serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku
merupakan respon/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal
dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini dapat bersifat pasif
maupun aktif (melakukan tindakan) (Maulana, 2009).
Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas dari
manusia itu sendiri, yang mempunyai bentangan yang sangat luas
mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpikir, persepsi dan emosi.
Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktifitas organisme, baik yang dapat
diamati secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku dan gejala yang tampak pada kegiatan organisme tersebut
dipengaruhi oleh faktor genetik dan hidup terutama perilaku manusia.
Faktor

keturunan

perkembangan

merupakan

perilaku

konsep

makhluk

hidup

dasar
itu

atau

modal

selanjutnya,

untuk

sedangkan

lingkungan merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku


tersebut (Sudarma, 2008).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa banyak perilaku yang
melekat pada diri manusia baik secara sadar maupun tidak sadar. Salah
satu perilaku yang penting dan mendasar bagi manusia adalah perilaku
kesehatan.
2.2.1 Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2007)
adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,

makanan, minuman dan lingkungan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo


(2007), membuat klasifikasi tentang perilaku kesehatan yang terdiri dari:
1. Perilaku Hidup Sehat
Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau
kegiatan

seseorang

untuk

mempertahankan

dan

meningkatkan

kesehatannya yang mencakup antara lain:


a.

Makan dan menu seimbang (appropriate diet)

b.

Olahraga teratur

c.

Tidak merokok

d. Tidak minum-minuman keras dan narkoba


e.

Istirahat yang cukup

f.

Mengendalikan stress

g.

Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya
tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.
2. Perilaku sakit (IIInes behaviour)
Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan
penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang gejala dan
penyebab penyakit, dan sebagainya.
3. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)
Orang sakit (pasien) mempunyai hak dan kewajiban sebagai orang sakit,
yang harus diketahui oleh orang sakit itu sendiri maupun orang lain
(terutama keluarganya). Perilaku ini disebut perilaku peran sakit (the sick
role) yang meliputi:

a.

Tindakan untuk memperoleh kesembuhan

b.

Mengenal / mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan


penyakit yang layak.

c.

Mengetahui hak (misalnya : hak memperoleh perawatan, memperoleh


pelayanan kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit
(memberitahukan penyakitnya kepada orang lain terutama kepada
dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang
lain, dan sebagainya).
2.2.2 Bentuk-Bentuk Perilaku

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007), seorang ahli psikologi


merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang
terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Berdasarkan rumus teori
Skinner tersebut maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu:
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih
belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang
masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan
dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus sudah berupa
tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau
observable behavior. Dari penjelasan di atas dapat disebutkan bahwa
perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dan dipengaruhi oleh dua
faktor utama, yaitu :
a.

Faktor eksternal, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar diri
seseorang. Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik
lingkungan fisik, maupun non-fisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi
maupun politik.

b.

Faktor internal, yaitu respon yang merupakan faktor dari dalam diri
seseorang.

Faktor

internal

yang

menentukan

seseorang

merespon

stimulus dari luar dapat berupa perhatian, pengamatan, persepsi,


motivasi, fantasi, sugesti dan sebagainya. Dari penelitian-penelitian yang
ada faktor eksternal merupakan faktor yang memiliki peran yang sangat
besar dalam membentuk perilaku manusia karena dipengaruhi oleh faktor
sosial dan budaya dimana seseorang itu berada (Notoatmodjo, 2007).
2.2.3 Teori Health Belief Model (HBM)
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu
tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi
dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan
berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa

interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak


sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu.
Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku
individu, sebelum mampu mengubah perilaku tersebut (Machfoedz, 2006).
Health Belief Model (HBM) adalah suatu model kepercayaan
penjabaran dari model sosio-psikologis. Munculnya model ini didasarkan
pada

kenyataan

kegagalan

orang

bahwa
atau

masalah-masalah
masyarakat

untuk

kesehatan
menerima

ditandai

oleh

usaha-usaha

pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh


provider. Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan
perilaku pencegahan penyakit menjadi model kepercayaan kesehatan
(Notoatmodjo, 2003).
Health Belief Model (HBM) dikembangkan sejak tahun 1950 oleh
kelompok ahli psikologi sosial dalam pelayanan kesehatan masyarakat
Amerika. Model ini digunakan sebagai upaya menjelaskan secara luas
kegagalan partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau
deteksi penyakit dan sering kali dipertimbangkan sebagai kerangka utama
dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia yang dimulai
dari pertimbangan orang-orang tentang kesehatan (Maulana, 2009).
Menurut teori HBM derajat kesehatan masyarakat yang ditentukan
oleh perilaku sehat masyarakatnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
1) variabel demografi yaitu umur, jenis kelamin, latar belakang budaya),
2) variabel sosio-psikologis yaitu kepribadian, kelas sosial (gaya hidup),
tekanan sosial, dan 3) variabel struktural yaitu pengetahuan dan
pengalaman sebelumnya.
2.3 Gaya Hidup
Gaya

hidup

diekspresikan

adalah

dalam

pola

aktifitas,

hidup
minat

seseorang
dan

di

opininya.

dunia

yang

Gaya

hidup

menggambarkan keseluruhan diri seseorang yang berinteraksi dengan


lingkungannya (Sakinah, 2002).

Menurut Lisnawati (2006) gaya hidup

sehat menggambarkan pola perilaku sehari-hari yang mengarah pada


upaya memelihara kondisi fisik, mental dan sosial berada dalam keadaan
positif. Gaya hidup sehat meliputi kebiasaan tidur, makan, pengendalian

berat badan, tidak merokok atau minum-minuman beralkohol, berolahraga


secara teratur dan terampil dalam mengelola stres yang dialami.
Sejalan

dengan

pendapat

Lisnawati,

Notoatmojo

(2005)

menyebutkan bahwa perilaku sehat (healthy behavior) adalah perilakuperilaku

atau

kegiatan-kegiatan

yang

berkaitan

dengan

upaya

mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai gaya


hidup yang sehat diperlukan pertahanan yang baik dengan menghindari
kelebihan dan kekurangan yang menyebabkan ketidakseimbangan yang
menurunkan kekebalan dan semua yang mendatangkan penyakit. Hal ini
juga didukung oleh pendapat Maulana (2009) yang menyebutkan bahwa
untuk mendapatkan kesehatan yang prima jalan terbaik adalah dengan
merubah gaya hidup yang terlihat dari aktifitasnya dalam menjaga
kesehatan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan gaya hidup adalah pola perilaku individu sehari-hari yang
diekspresikan dalam aktifitas, minat dan opininya untuk mempertahankan
hidup

sedangkan

gaya

hidup

sehat

dapat

disimpulkan

sebagai

serangkaian pola perilaku atau kebiasaan hidup sehari-hari untuk


memelihara dan menghasilkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya
penyakit serta melindungi diri untuk sehat secara utuh.
2.3.1 Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat
dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan
risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari
Brigmans and Womens Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek
yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok,
36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok
perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari.
Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan
dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok

subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari (Rahyani,


2007).
Telah ditemukan 4.000 jenis bahan kimia dalam rokok, dengan 40
jenis diantaranya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker),
dimana bahan racun ini lebih banyak didapatkan pada asap tembakau
yang disebarkan ke udara bebas (asap samping), misalnya karbon
monoksida (CO) 5 kali lipat lebih banyak ditemukan pada asap samping
daripada asap utama, benzopiren 3 kali, dan amoniak 50 kali. Nikotin dan
CO

pada

rokok

mengganggu

selain

suplai

meningkatkan

oksigen

ke

otot

kebutuhan
jantung

oksigen,

(miokard)

juga

sehingga

merugikan kerja miokard. Nikotin mengganggu sistem saraf simpatis


dengan

akibat

meningkatnya

kebutuhan

oksigen

miokard.

Selain

menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga merangsang pelepasan


adrenalin, meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah,
kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung.
Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh
lainnya (Marliani, 2007).
Hubungan antara rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler
telah banyak dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar
tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseorang lebih dari
satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada
mereka yang tidak merokok. Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan
karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran
darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan
mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi (Marliani, 2007).
Nikotin

dalam

tembakau

merupakan

penyebab

meningkatnya

tekanan darah segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain
dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat
kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam
beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap
nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas
epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh
darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan

yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja maka baik tekanan
sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan
tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap
rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah
juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan
darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari (Crea, 2008).
2.3.2 Kebiasaan Minum-minuman Beralkohol
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel
darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan
darah. Alkohol hanya mengandung energi tanpa mengandung zat gizi lain,
kebiasaan minum alkohol dapat mengakibatkan kurang gizi, penyakit
gangguan

hati,

kerusakan

saraf

otak

dan

jaringan

serta

dapat

mengakibatkan hipertensi apabila konsumsi terlalu banyak (Setiawati dan


Bustami, 2005).
Orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau terlalu banyak,
akan cenderung memiliki tekanan darah yang tinggi dari pada individu
yang tidak mengkonsumsi alkohol. Berlebihan mengkonsumsi alkohol ( >
2

gelas

bir/wine/whiskey/hari)

merupakan

faktor

risiko

hipertensi

(Sustrani, 2006).
Peminum alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme
timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti. Orang-orang yang
minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan
yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit.
Menurut Ali Khomsan konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei
menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi
alkohol. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih
belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan
volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam
menaikkan tekanan darah (Yogiantoro, 2006).

Diperkirakan konsumsi alkohol berlebihan menjadi penyebab sekitar


5-20% dari semua kasus hipertensi. Mengkonsumsi tiga gelas atau lebih
minuman berakohol per hari meningkatkan risiko mendapat hipertensi
sebesar dua kali. Bagaimana dan mengapa alkohol meningkatkan tekanan
darah belum diketahui dengan jelas. Namun sudah menjadi kenyataan
bahwa dalam jangka panjang, minum-minuman beralkohol berlebihan
akan merusak jantung dan organ-organ lain (Shanty, 2011).

2.3.3 Kebiasaan Minum Kopi


Konsumsi kopi yang berlebihan dalam jangka yang panjang dan
jumlah yang banyak diketahui dapat meningkatkan risiko penyakit
Hipertensi atau penyakit Kardiovaskuler. Beberapa penelitian menunjukan
bahwa orang yang mengkonsumsi kafein (kopi) secara teratur sepanjang
hari mempunyai tekanan darah rata-rata lebih tinggi dibandingkan
dengan didalam 2-3 gelas kopi (200-250 mg) terbukti meningkatkan
tekanan sistolik sebesar 3-14 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 4-13
mmHg pada orang yang tidak mempunyai hipertensi (Crea, 2008).
Mengkonsumsi kafein secara teratur sepanjang hari mempunyai
tekanan darah rata-rata lebih tinggi di bandingkan dengan kalau mereka
tidak mengkonsumsi sama sekali. Kebiasaan mengkonsumsi kopi dapat
meningkatkan kadar kolesterol darah dan meningkatkan risiko terkena
penyakit jantung (Sustrani, 2006).
Menurut Rohaendi (2008) kebiasaan minum kopi diklasifikasikan
menjadi:
a.

Minum kopi ringan bila konsumsi kopi kurang dari 200 mg perhari
(1-2 gelas sehari ) atau kurang dari 4 sdm perhari

b.

Minum kopi sedang bila konsumsi kopi 200-400 mg perhari (3-4


gelas sehari) atau konsumsi 4-8 sdm perhari

c.

Minum kopi berat bila konsumsi lebih dari 400 mg perhari (> 5 gelas
sehari) atau konsumsi lebih dari 8 sdm perhari.

2.3.4 Kebiasaan Berolahraga


Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan
melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus
melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu.
Peningkatan intensitas aktivitas fisik, 30 45 menit per hari, penting
dilakukan sebagai strategi untuk pencegahan dan pengelolaan hipertensi.
Olah raga atau aktivitas fisik yang mampu membakar 800-1000 kalori
akan meningkatkan high density lipoprotein (HDL) sebesar 4.4 mmHg
(Khomsan, 2004).
Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi
karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang
tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot
jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin
keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan
yang mendesak arteri. Latihan fisik berupa berjalan kaki selama 30-60
menit setiap hari sangat bermanfaat untuk menjaga jantung dan
peredaran darah. Bagi penderita tekanan darah tinggi, jantung atau
masalah pada peredaran darah, sebaiknya tidak menggunakan beban
waktu jalan. Riset di Oregon Health Science kelompok laki-laki dengan
wanita yang kurang aktivitas fisik dengan kelompok yang beraktifitas fisik
dapat menurunkan sekitar 6,5% kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein)
faktor penting penyebab pergeseran arteri (Rohaendi, 2008).
Ketidakaktifan fisik meningkatkan resiko penyakit jantung koroner
(CHD) yang setara dengan hiperlipidemia atau merokok, dan seseorang
yang tidak aktif secara fisik memiliki resiko 30-50% lebih besar untuk
mengalami hipertensi. Selain meningkatkanya perasaan sehat dan
kemampuan untuk mengatasi stress, keuntungan latihan aerobik yang
teratur adalah meningkatnya kadar HDL-C, menurunnya kadar LDL-C,
menurunnya

tekanan

darah,

berkurangnya

obesitas,

berkurangnya

frekuensi denyut jantung saat istirahat dan konsumsi oksigen miokardium

(MVO2), dan menurunnya resistensi insulin (Price, 2005).


2.4 Kepribadian
2.4.1 Pengertian
Kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan
munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku (Pervin, 2010).
Banyak teori kepribadian yang ditinggalkan oleh para ilmuwan psikologi
dunia. Baik yang secara khusus bicara tentang struktur kepribadian, atau
yang membahas panjang lebar tentang tahap perkembangan manusia.
Seiring berkembang waktu teori-teori itupun mengalami perkembangan,
sampai pada masa bermunculan ilmuwan psikologi yang berbicara
tentang pembagian tipe kepribadian manusia dengan penetapan dimensidimensi sebagai tolok ukur.
Kepribadian merupakan sejumlah pola tingkah laku yang aktual dan
potensial yang ditentukan oleh bawaan dan lingkungan yang dihubungkan
melalui interaksi fungsional dari aspek kognitif dan afektif ke dalam pola
tingkah laku. Sadli (2004) mengemukakan bahwa kepribadian adalah
proses be coming, yaitu suatu proses dinamis yang berkelanjutan dimulai
sejak individu dilahirkan sampai ia meninggal. Oleh karena itu setiap insan
yang normal memiliki ciri-ciri kepribadian yang membedakan individu
yang satu dengan yang lain. Walaupun perbedaan itu tampak jelas,
namun tidak berarti berbeda peranan dalam aspek atau komponen yang
terdapat pada pribadi yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepribadian

adalah keseluruhan

tingkah

laku baik

aktual

maupun

potensial dari individu yang bersifat khas, dinamis dalam hubungannya


dengan lingkungan, yang diperoleh individu melalui interaksinya dengan
dunia sekitar.
2.4.2 Kepribadian Introvert dan Esktrovert
Pembagian tipe kepribadian manusia dalam sifat introvert dan
ekstrovert merupakan teori Jung yang sangat populer. Jung menyatakan
bahwa kepribadian introvert dan ekstrovert terbentuk berdasarkan sikap

jiwa. Sikap jiwa adalah arah energi psikis umum atau libido yang
menjelma dan orientasi manusia terhadap dunianya. Arah aktivitas fisik
ini dapat ke luar atau ke dalam dan demikian pula arah orientasi manusia
dapat ke luar atau ke dalam (Parkinson, 2004).
Jung menyatakan bahwa ekstrovert diartikan sebagai keramahan,
terus terang, cepat akrab, berakomodasi secara natural dan mudah
menyesuikan diri dengan berbagai situasi, jarang was-was, sering
berspekulasi dan sembrono pada situasi yang belum dikenal. Introvert
sebaliknya,
menarik

berhubungan

dari

obyek,

dengan
dan

keragu-raguan,

senang

reflektif

bersembunyi

defensif,

dibalik

rasa

ketidakpercayaan (Parkinson, 2004).


Eysenck

menyatakan

bahwa

orang

introvert

cenderung

mengembangkan gejala-gejala ketakutan dan depresi yang ditandai


dengan kecenderungan obsesi, mudah tersinggung, apatis, syaraf otonom
mereka labil, gampang terluka, mudah gugup, rendah diri, mudah
melamun, sukar tidur. Sedangkan orang ekstrovert memperlihatkan
kecenderungan untuk mengembangkan gejala-gejala histeris, sedikit
energi, perhatian sempit, sejarah kerja yang kurang baik, hipokondriosis
(Ahmadi, 2005).
Jung menyatakan apabila orientasi seseorang terhadap sesuatu itu
sedemikian rupa sehingga keputusan-keputusan dan tindakannya tidak
dikuasai oleh pendapat subyektifitas melainkan ditentukan oleh faktorfaktor

obyektif

atau

faktor

luar,

maka

orang

yang

demikian

itu

mempunyai orientasi ekstrovert. Apabila orientasi ini menjadi kebiasaan,


maka orangnya dikatakan tipe ekstrovert. Sebaliknya apabila seseorang
menghadapi sesuatu, faktor-faktor yanng berpengaruh adalah faktor
subyektif atau yang berasal dari dunia batin sendiri, maka orang tersebut
mempunyai orientasi introvert (Ahmadi, 2005).
Parkinson (2004), menyatakan orang introvert biasanya kaku, suka
menyendiri, hati-hati dan terkontrol. Orang dengan kepribadian ekstrovert
biasanya impulsif, suka menuruti dorongan hati, mudah berubah, mudah
dipengaruhi dan terangsang, agresif, mudah gelisah, tersinggung dan
mudah marah.

Introvert

dan

ekstrovert

dimaksudkan

sebagai

derajat

mana

orientasi seseorang ditujukan ke dalam, pada diri seseorang atau


ditujukan keluar dunia luar. Pada ujung introvert pada skala terdapat
individu yang pemalu dan lebih suka bekerja sendirian, mereka cenderung
menarik diri ke dalam diri mereka sendiri terutama pada saat mereka
mengalami stres, emosional atau konflik. Pada ujung ekstrovert terdapat
individu yang peramah dan suka bergaul, menyukai pekerjaan yang
memungkinkan mereka bekerja secara langsung dengan orang lain, pada
saat stres mereka mencari kawan (Parkinson, 2004).
2.4.3 Penilaian Kepribadian Introvert dan Ekstrovert
Karakteristik komponen untuk menilai kepribadian introvert dan
ekstrovert

adalah

expresiveness,

activity,

sociability,

reflexiveness,

dan

risk

taking,

responsibility.

impulsiveness,

Ketujuh

aspek

ini

digunakan oleh Eysenck sebagai tolak ukur tentang tingkat ekstrovert dan
introvert dari penelitian. Tujuh aspek ini merupakan komponen obyek
sikap yang dapat diukur. Karakteristik tersebut berpengaruh terhadap
tindakan dalam kesehariannya yang akan berdampak pada derajat
kesehatan seseroang (Ahmadi, 2005).
Dalam

activity

diukur

bagaimanakah

subyek

melakukan

aktivitasnya, aktif dan energik atau sebaliknya, bagaimana mereka


menikmati pekerjaannya dan jenis pekerjaan atau aktivitas apakah yang
dipilih atau disukainya. Sociability mengukur bagaimana orang melakukan
kontrak sosial, apakah orang tersebut memiliki banyak teman, suka
bergaul,

mudah

beradaptasi

dengan

lingkungan

baru

dan

mudah

berbicara atau sebaliknya, merasa minder, tidak banyak teman, menyukai


kesepian dan lain-lain (Ahmadi, 2005).
Risk taking mengukur bagaimana keberanian orang mengambil
resiko

dalam

hidupnya.

Impulsiveness

digunakan

untuk

melihat

perbedaan antara orang introvert dan ekstrovert dari segi orang itu
impulsif atau tidak. Orang impulsif akan terlihat tergesa-gesa dalam
mengambil keputusan, mudah berubah dan tidak dapat diramalkan.

Orang dengan kepribadian ekstrovert biasanya impulsif daripada orang


introvert (Ahmadi, 2005).
Selanjutnya
expresiveness.

impulsiveness
Dalam

berhubungan

expresiveness

diukur

dengan
bagaimana

aspek
orang

memperlihatkan gejala perasaannya seperti marah, benci, cinta, simpati


dan rasa suka. Orang introvert biasanya pandai menguasai perasaannya,
dingin dan terkontrol dalam mengekspresikan pikiran dan perasaannya.
Reflexiveness mengukur ketertarikan pada dunia dan ide abstrak dan
pertanyaan filosofis yang akan mendorong orang introvert untuk menjadi
orang pemikir dan introspektif. Sebaliknya orang ekstrovert, mereka
tertarik

dalam

melakukan

sesuatu

daripada

memikirkannya.

Responsibility adalah komponen untuk mengukur bagaimana individu


bertanggung jawab terhadap aktivitas dan pekerjaannya (Ahmadi, 2005).
Menurut Parkinson (2004) untuk mengukur kepribadian dapat
menggunakan instrumen kepribadian The Mind Style Questionnaire (MSQ).
MSQ adalah sebuah penilaian terhadap lima sifat utama yang disusun
untuk mengukur kepribadian seseorang. Instrumen ini terdiri dari 88
pertanyaan dan untuk mengukur kepribadian introvert dan ekstrovert
terdiri dari 12 pertanyaan masing-masing 6 pertanyaan kepribadian
ekstrovert dan 6 pertanyaan kepribadian introvert.
2.3 Kerangka Teori
Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka maka kerangka teori
dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 2.1
Kerangka Teori Hubungan antara Gaya Hidup dan Kepribadian dengan
Kejadian Hipertensi

Sumber : Teori Perilaku Health Belief Model (HBM) dalam Maulana (2009)
Keterangan:

Diteliti
Tidak diteliti
BAB III

METODE PENELITIAN
3.1

Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep
yang ingin diamati dan diukur melalui penelitian-penelitian yang akan
dilakukan

(Notoatmodjo,

2005).

Dalam

penelitian

ini

faktor

yang

berhubungan dengan kejadian hipertensi yang diteliti adalah gaya hidup


dan kepribadian. Hal tersebut diangkat dari teori perilaku bahwa kedua
faktor tersebut merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perilaku
kesehatan sesorang untuk mencapai derajat kesehatannya. Artinya bahwa
penyakit hipertensi yang berkembang saat ini diakibatkan oleh gaya hidup
dan kepribadian seseorang dalam berperilaku hidup sehat. Berdasarkan
hal tersebut maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat
pada diagram berikut:
Variabel Bebas

Variabel Terikat

(Independen)

(Dependen)

39
Diagram 3.1

Kerangka Konsep Hubungan antara Gaya Hidup dan

Kepribadian dengan Kejadian Hipertensi


3.2

Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri,
sifat, atau ukuran yang memiliki atau yang didapatkan oleh satuan-satuan
penelitian tentang suatu konsep tertentu (Notoatmodjo, 2005). Variabel
dalam penelitian ini terdiri dari variable independen (variabel bebas) dan
variable

dependen

(variabel

terikat).

Variabel

independen

dalam

penelitian ini adalah gaya hidup dan kepribadian, sedangkan variabel


dependen dalam penelitian ini adalah kejadian hipertensi.
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1

Definisi Operasional Hubungan Gaya Hidup dan Kepribadian dengan

Kejadian Hipertensi

No

Variabel

Gaya
hidup

Definisi

Cara

Alat

Operasional
3

Ukur
4

Ukur
5

Pola hidup

Angk

Kuisi0 = Berisiko, jika

seseorang di

et

oner

Hasil Ukur
6
memiliki kebiasaan

dunia yang

merokok/ minum

diekspresikan

beralkohol/ minum

dalam aktifitas,

kopi/ kurang olah raga

minat dan
opininya

1 = Tidak berisiko, jika


tidak memiliki
kebiasaan merokok,
minum beralkohol,
minum kopi dan
kebiasaan olah raga
teratur

Skala
Ukur
7
Ordina
l

Kepribadi

Karakteristik

Angk

Kuisi0 = Kepribadian

Nomin

an

seseorang yang

et

oner introvert
1 = Kepribadian

al

menyebabkan

ekstrovert

munculnya
konsistensi
perasaan,
pemikiran, dan
3

Kejadian

perilaku
Keadaan

Angk

Kuisi 0 = Hipertensi, jika

Hiperten

responden

et

oner

si

dengan tekanan
darah > 140/90
mmHg

tekanan darah >


140/90 mmHg
1 = Tidak hipertensi,
jika tekanan darah <
140/90 mmHg

3.4 Hipotesis Penelitian


1)

Ada hubungan antara gaya hidup dengan kejadian hipertensi di wilayah

kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.


2)
Ada hubungan antara kepribadian dengan kejadian hipertensi di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
3.5 Metode Penelitian
3.5.1 Desain dan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian analitik kuantitatif dengan
pendekatan case control

yaitu suatu penelitian dimana efek (penyakit

atau status kesehatan) diidentifikasikan pada saat ini, kemudian faktor


resiko diindentifikasi adanya atau terjadinya pada waktu yang lalu
(Notoatmodjo, 2005).
3.5.2 Populasi dan Sampel
1. Populasi

Ordina
l

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006).


Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk yang ada di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Majalengka tahun 2012. Populasi dalam penelitian ini
terbagai menjadi dua kelompok yaitu populasi kontrol dan populasi kasus.
Populasi kasus adalah penduduk yang mempunyai hipertensi. Sedangkan
populasi kontrolnya adalah penduduk yang memiliki riwayat keluarga
hipertensi tapi tidak hipertensi.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi (Arikunto, 2006). Sampel dalam penelitian ini ditetapkan
sebanyak 50 sampel terdiri dari 25 sampel kasus dan 25 sampel kontrol.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara
purposive sampling yaitu sampel ditentukan berdasarkan kriteria tertentu
dan banyaknya sesuai dengan jumlah sampel yang ditetapkan. Kriteria
sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.

Kriteria inklusi

Kriteria inklusi untuk kelompok kasus dan kontrol adalah responden


merupakan penduduk di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka dan
tidak

sedang

menjalani

pengobatan

penyakit

tertentu

(diet

dan

sebagainya).
b.

Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi untuk kelompok kasus dan kontrol adalah penduduk di


wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka yang tidak bisa membaca dan
menulis atau memahami kuesioner.
3.5.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di UPTD Puskesmas Majalengka bulan
Juni-Juli tahun 2012.
3.5.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer


yaitu

berupa

kuesioner

untuk

mengukur

variabel

dependen

dan

independen. Pengumpulan data dimulai pada bulan Juni 2012. Setelah


didapatkan subjek penelitian, kemudian dilakukan pengumpulan data
dengan teknik angket. Angket dan pengambilan kuesioner dilakukan pada
subjek penelitian di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka.
3.5.5 Etika Penelitian
Etika penelitian yang meliputi (Arikunto, 2006):
1)

Informed Concent, diberikan sebelum melakukan penelitian. Informed


concent adalah lembar persetujuan untuk menjadi responden.

2)

Anonimity, berarti tidak perlu mencantumkan nama pada lembar


pengumpulan data (kuesioner). Peneliti hanya menulis kode pada lembar
pengumpulan data tersebut.

3)

Confidentiality, kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti,


hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan dalam hasil
penelitian.

3.5.6 Pengolahan Data


Langkah-langkah pengolahan data menurut Notoatmodjo (2003)
adalah sebagai berikut:
1)

Editing

(pemeriksaan

data),

langkah

ini

dimaksudkan

untuk

melakukan pengecekan kelengkapan data, kesinambungan data dan


keseragaman data.
2)

Coding (pengkodean), tahap ini memudahkan dalam memasukan


data dan pengolahan pemberian data, maka pertanyaan yang telah
diajukan diberi tanda/ kode.

3)

Transfering (pemindahan data), memindahkan data ke dalam tabel


master penelitian.

4)

Tabulasi data, dilakukan dengan mengelompokkan data sesuai


dengan variabel yang diteliti, guna memudahkan dalam analisis.

5)

Mengeluarkan informasi yang dibutuhkan.

2.5.7 Analisa Data


1. Analisa Univariat
Analisis univariat yang dilakukan terhadap variabel-variabel, dari
hasil yang diperoleh dalam penelitian, pada umumnya dari hasil analisis,
menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel-variabel yang
ada,

dalam penelitian

ini

menggunakan analisis

univariat

dengan

distribusi proporsi (Sugiyono, 2009). Hasil analisis ini menghasilkan


distribusi dari tiap variabel yang bertujuan untuk memperoleh distribusi
dari tiap variabel dengan menggunakan rumus (Arikunto, 2006):

Keterangan :
P = Proporsi
n = Jumlah kategori sampel yang diambil
N = Jumlah populasi
2. Analisa Bivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Uji yang dipakai adalah chisquare = 0,05.dengan batas kemaknaan

Menentukan uji kemaknaan

hubungan dengan cara membandingkan nilai

value) dengan

nilai = 0,05 pada taraf kepercayaan 95 % dengan kaidah keputusan


sebagai berikut (Sugiyono, 2009):
1)

Nilai

value) < 0,05 maka HO ditolak, yang berarti ada

hubungan yang bermakna antara variabel bebas dengan variabel terikat.


2)

Nilai

value) > 0,05 maka Ho gagal ditolak, yang berarti

tidak ada hubungan yang bermakna antar variabel bebas dengan variabel
terikat.
Selain menentukan uji kemaknaan juga ditentukan nilai Odds Ratio
(OR) yaitu ratio odds antara kelompok kasus dan kelompok kontrol.
Perhitungan odds ratio dapat menggunakan tabel 2 x 2 sebagai berikut:

Tabel 3.4 Tabel Silang (2 x 2)


Faktor Resiko

Kelompok Kasus

(+)
(-)

a
c
a+c (n1)

Kelompok
Kontrol
b
d
b+d (n2)

a+b (m1)
c+b (m2)
N

Odds pemajanan pada kelompok kasus

Odds pemajanan pada kelompok kontrol


Odds ratio

yang merupakan perbandingan

antara odds pemajanan pada kelompok kasus dengan odds pemajanan


pada kelompok kontrol. Interpretasi dari nilai OR adalah sebagai berikut
(Arikunto, 2006):
OR > 1 artinya variabel tersebut merupakan faktor resiko
OR = 1 artinya variabel tersebut tidak mempunyai efek
OR < 1 artinya hanya sebagai efek protektif
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1

Hasil Penelitian
Hasil penelitian mengenai hubungan gaya hidup dan kepribadian

dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka


Kabupaten Majalengka Tahun 2012 dengan jumlah sampel 50 responden
terdiri dari 25 sampel kasus dan 25 sampel kontrol yang disajikan dalam
bentuk tabel dan narasi.
4.1.1 Analisis Univariat

1. Gambaran

Kejadian

Hipertensi

di

Wilayah

Kerja

UPTD

Puskesmas

Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012


Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi berdasarkan Kejadian Hipertensi di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Kejadian
Hipertensi
Hipertensi

25

50,0

Tidak hipertensi

25

50,0

50

100

Jumlah
47

Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa setengahnya responden di


Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun
2012 yang mengalami hipertensi yaitu sebesar 25 responden (50,0%) dan
setengahnya responden tidak mengalami hipertensi yaitu sebesar 25
responden (50,0%).
2. Gambaran Gaya Hidup di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012

Gaya hidup

Berisiko

22

44,0

Tidak berisiko

28

56,0

50

100

Jumlah

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa kurang dari setengah


responden di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten
Majalengka Tahun 2012 dengan gaya hidup berisiko yaitu sebesar 22
responden (44,0%) dan lebih dari setengah responden dengan gaya hidup
tidak berisiko yaitu sebesar 28 responden (56,0%).

3. Gambaran Kepribadian di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka


Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi berdasarkan Kepribadian di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012

Kepribadian

Introvert

29

58,0

Ekstrovert

21

42,0

50

100

Jumlah

Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa lebih dari setengah


responden di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten
Majalengka Tahun 2012 dengan kepribadian introvert yaitu sebesar 29
responden

(58,0%)

dan

kurang

dari

setengah

responden

dengan

kepribadian ekstrovert yaitu sebesar 21 responden (42,0%).

4.1.2 Analisis Bivariat


1. Hubungan antara Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012

Tabel 4.4 Hubungan antara Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Kejadian
Gaya Hidup

hipertensi
Tidak
Hipertensi
hipertensi
f
%
f
%

Jumlah

Berisiko

15

60,0

28,0

22

100

Tidak berisiko

10

40,0

18

72,0

28

100

25

100

25

100

50

100

Jumlah

OR

value

95%CI

3,857
0,046

(1,18012,606)

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa dari 25 responden yang


mengalami hipertensi terdapat lebih dari setengahnya responden dengan
gaya hidup berisiko sebesar 60,0% dan kurang dari setengahnya dengan
gaya hidup berisiko sebesar 40,0%. Sementara dari 25 responden yang
tidak mengalami hipertensi terdapat kurang dari setengahnya responden
dengan gaya hidup berisiko sebesar 28,0% dan lebih dari setengahnya
dengan gaya hidup berisiko sebesar 72,0%.
Hasil penghitungan statistik menggunakan desain case control
dengan = 0,05 diperoleh value sebesar 0,046 ( value < ) sehingga
hiptesis nol ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara gaya hidup
dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012. Berdasarkan nilai OR diperoleh
sebesar 3,857 (95%CI: 1,180 < OR < 12,606) yang berarti bahwa
penduduk dengan gaya hidup yang berisiko mempunyai peluang 3,85 kali
lebih besar akan mengalami hipertensi dibandingkan responden dengan
gaya hidup yang tidak berisiko.
2. Hubungan antara Kepribadian dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Tabel 4.5 Hubungan antara Kepribadian dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012

Kejadian
hipertensi
Tidak
Hipertensi
hipertensi
f
%
f
%

Kepribadian

Introvert
Ekstrovert
Jumlah

Jumlah

19

76,0

10

40,0

29

100

24,0

15

60,0

21

100

25

100

25

100

50

100

OR

value

95%CI

4,750
0,022

(1,40616,051)

Berdasarkan tabel 4.5 diketahui bahwa dari 25 responden yang


mengalami hipertensi terdapat lebih dari setengahnya responden dengan
kepribadian introvert sebesar 76,0% dan kurang dari setengahnya dengan
kepribadian ekstrovert sebesar 24,0%. Sementara dari 25 responden yang
tidak mengalami hipertensi terdapat kurang dari setengahnya responden
dengan kepribadian introvert sebesar 40,0% dan lebih dari setengahnya
dengan kepribadian ekstrovert sebesar 60,0%.
Hasil penghitungan statistik menggunakan desain case control
dengan = 0,05 diperoleh value sebesar 0,022 ( value < ) sehingga
hiptesis nol ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara kepribadian
dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012. Berdasarkan nilai OR diperoleh
sebesar 4,750 (95%CI: 1,406 < OR < 16,051) yang berarti bahwa
penduduk dengan kepribadian introvert mempunyai peluang 4,75 kali
lebih besar akan mengalami hipertensi dibandingkan responden dengan
kepribadian ekstrovert.
4.1.2 Pembahasan
1. Gambaran

Kejadian

Hipertensi

di

Wilayah

Kerja

UPTD

Puskesmas

Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012


Berdasarkan
responden

hasil

penelitian

diketahui

bahwa

setengahnya

di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten

Majalengka Tahun 2012 yang mengalami hipertensi yaitu sebesar 50,0%.

Hipertensi merupakan penyakit yang sudah dikenal di tengahtengah masyarakat, namun tidak sedikit yang memahami dampak yang
lebih parah dari penyakit hipertensi ini. Hipertensi dapat mengakibatkan
jantung bekerja lebih keras sehingga proses perusakan dinding pembuluh
darah berlangsung dengan lebih cepat yang mendorong terjadinya payah
jantung, gangguan pada ginjal dan kebutaan serta yang paling parah
adalah efek jangka panjangnya yang berupa kematian mendadak.
Penyakit hipertensi merupakan salah satu penyakit yang tidak
diketahui penyebabnya secara pasti. Namun menurut Yogiantoro (2006)
bahwa hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi
dan sisanya hipertensi sekunder yaitu tekanan darah tinggi yang
penyebabnya dapat diklasifikasikan, diantaranya adalah kelainan organik
seperti penyakit ginjal, kelainan pada korteks adrenal, pemakaian obatobatan sejenis kortikosteroid, dan lain-lain.
Menurut Marliani (2007) bahwa hipertensi atau tekanan darah tinggi
merupakan

gangguan

pada

sistem

peredaran

darah

yang

dapat

menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu melebihi


140 / 90 mmHg. Sementara menurut Crea (2008) hipertensi adalah istilah
medis untuk penyakit tekanan darah tinggi dan merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang banyak diderita di dunia termasuk di
Indonesia. Hipertensi termasuk penyakit umum, tanpa disertai gejala
khusus dan biasanya dapat ditangani secara mudah, namun bila dibiarkan
tanpa penanganan dapat menyebabkan bebagai komplikasi yang lebih
parah

berupa

penyakit

jantung

dan

pembuluh

darah

seperti

aterosklerosis, infark miokard, gagal jantung, gangguan fungsi ginjal dan


kematian dini.
Ada beberapa gejala yang bisa ditemukan dan dirasakan sebagai
penyakit hipertensi. Menurut Crea (2008) menyatakan gejala hipertensi
diantaranya sakit kepala bagian belakang dan kaku kuduk, sulit tidur dan
gelisah atau cemas dan kepala pusing, dada berdebar-debar dan lemas,
sesak nafas, berkeringat dan pusing.
Hipertensi di masyarakat seiring dengan usia maka kejadiannya pun
semakin meningkat, namun risiko akibat hipertensi ini dapat dikurangi

diantaranya melalui cara hidup yang sehat seperti mengkonsumsi


makanan dan minuman yang sehat, kebiasaan olah raga yang teratur dan
memeriksakan diri secara rutin untuk mengetahui perkembangan tekanan
darah terutama pada masyarakat yang merasakan gejala hipertensi.
2. Gambaran Gaya Hidup di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kurang dari
setengah responden di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012 dengan gaya hidup berisiko yaitu
sebesar 44,0%.
Gaya hidup dalam penelitian ini merupakan kebiasaan masyarakat
yang dapat berisiko terhadap penyakit hipertensi seperti kebiasaan
merokok, kebiasaan minum minuman beralkohol, kebiasaan minum kopi
dan keteraturan dalam berolah raga. Hasil penelitian ternyata masih
banyak atau bahkan hampir setengahnya penduduk di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Majalengka yang masih mempunyai kebiasaan gaya hidup
yang kurang baik. Dari pengumpulan data di lokasi penelitian ternyata
penduduk yang mengalami hipertensi masih ada yang mempunyai
kebiasaan merokok, minum minuman yang beralkohol, minum kopi dan
tidak teratur berolah raga. Bahkan jumlah penduduk yang memiliki
kebiasaan merokok, minum minuman yang beralkohol, minum kopi dan
tidak teratur berolah raga lebih banyak terdapat pada penderita hipertensi
dibandingkan yang tidak mengalami hipertensi.
Gaya hidup dapat diartikan sebagai kebiasaan seseorang dalam
kehidupan sehari-harinya sebagai salah satu bentuk perilaku. Kebiasaan
yang positif atau baik yang merupakan upaya seseorang untuk hidup
sehat maka termasuk kedalam perilaku hidup sehat. Sebagaimana teori
Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2007) yang membuat klasifikasi
tentang perilaku kesehatan yang terdiri dari perilaku hidup sehat, perilaku
sakit dan perilaku peran sakit. Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang
berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahankan
dan meningkatkan kesehatannya yang mencakup antara lain makan dan
menu seimbang (appropriate diet), olahraga teratur, tidak merokok, tidak

minum-minuman keras dan narkoba, istirahat yang cukup, mengendalikan


stress termasuk gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya
tidak berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks.
Menurut Sakinah (2002) menyatakan bahwa gaya hidup merupakan
pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktifitas, minat
dan opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang
yang berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan Lisnawati (2006)
menyatakan gaya hidup sehat menggambarkan pola perilaku sehari-hari
yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik, mental dan sosial
berada dalam keadaan positif. Gaya hidup sehat meliputi kebiasaan tidur,
makan, pengendalian berat badan, tidak merokok atau minum-minuman
beralkohol, berolahraga secara teratur dan terampil dalam mengelola
stres yang dialami.
Berdasarkan hal tersebut maka perlunya meningkatkan kesadaran
terutama baik pada penderita hipertensi maupun yang tidak hipertensi
untuk berperilaku hidup sehat yaitu dengan menjaga dan memelihara
gaya hidup yang sehat pula, dan bagi petugas kesehatan perlunya
meningkatkan kegiatan penyuluhan dan pemberian informasi tentang
gaya hidup sehat dalam mengurangi risiko yang lebih parah akibat
penyakit hipertensi.
3. Gambaran Kepribadian di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa lebih dari
setengah responden di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012 dengan kepribadian introvert yaitu
sebesar 58,0%.
Tipe kepribadian dalam berbagai literatur dapat dibedakan secara
beragam.

Namun

pada

penelitian

ini,

tipe

kepribadian

dibedakan

berdasarkan tipe kepribadian introvert dan ekstrovert. Hal tersebut karena


kedua tipe kepribadian ini berkaitan dengan perilaku seseorang dalam
menyikapi permasalahan yang sedang dialaminya termasuk perilaku
hidup sehat maupun sakit. Sebagaimana menurut teori Skinner (1938)

dalam Notoatmodjo (2007) bahwa perilaku manusia dapat dikelompokkan


menjadi dua, yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku
terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap
stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara
jelas

karena

masih

dalam

bentuk

perhatian,

perasaan,

persepsi,

pengetahuan dan sikap terhadap stimulus. Sementara perilaku terbuka


(overt behavior) merupakan respon terhadap stimulus sudah berupa
tindakan, atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau
observable behavior.
Kepribadian adalah karakteristik seseorang yang menyebabkan
munculnya konsistensi perasaan, pemikiran, dan perilaku (Pervin, 2010).
Sementara menurut Sadli (2004) mengemukakan bahwa kepribadian
adalah proses be coming, yaitu suatu proses dinamis yang berkelanjutan
dimulai sejak individu dilahirkan sampai ia meninggal. Oleh karena itu
setiap insan yang normal memiliki ciri-ciri kepribadian yang membedakan
individu yang satu dengan yang lain. Walaupun perbedaan itu tampak
jelas, namun tidak berarti berbeda peranan dalam aspek atau komponen
yang terdapat pada pribadi yang bersangkutan.
Pembagian tipe kepribadian manusia dalam sifat introvert dan
ekstrovert merupakan teori Jung yang sangat populer. Jung menyatakan
bahwa kepribadian introvert dan ekstrovert terbentuk berdasarkan sikap.
Menurut Eysenck dalam Ahmadi (2005) bahwa orang introvert cenderung
mengembangkan gejala-gejala ketakutan dan depresi yang ditandai
dengan kecenderungan obsesi, mudah tersinggung, apatis, syaraf otonom
mereka labil, gampang terluka, mudah gugup, rendah diri, mudah
melamun, sukar tidur. Sementara ekstrovert menurut Parkinson (2004)
diartikan sebagai keramahan, terus terang, cepat akrab, berakomodasi
secara natural dan mudah menyesuaikan diri dengan berbagai situasi.
Berdasarkan hal tersebut maka tipe kepribadian ekstrovert dalam
kehidupan keseharian perlu dikembangkan agar perilaku masyarakat
dalam menyikap peran sakit lebih siap.
Perlunya petugas kesehatan memberikan dorongan dan motivasi
bagi penderita hipertensi dan yang tidak hipertensi untuk menumbuhkan

keyakinan dan kesadaran menjaga kesehatan lebih penting untuk


menghindari resiko yang lebih parah serta melakukan pemeriksaan rutin
kepada petugas kesehatan untuk mengetahui perkembangan penyakit
hipertensi yang dialaminya.
4. Hubungan antara Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan antara
gaya hidup dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 ( value = 0,046). Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa penduduk yang memiliki gaya hidup
seperti kebiasaan merokok, minum kopi, minum alkohol dan kurang
teratur dalam berolahraga lebih besar akan mengalami hipertensi. Hal
tersebut juga dapat dilihat dari nilai OR yang diperoleh sebesar 3,857
(95%CI: 1,180 < OR < 12,606) yang berarti bahwa penduduk dengan
gaya hidup yang berisiko mempunyai peluang 3,85 kali lebih besar akan
mengalami hipertensi dibandingkan penduduk dengan gaya hidup yang
tidak berisiko.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Health Belief Model (HBM)
dalam Maulana (2009) menyatakan bahwa derajat kesehatan masyarakat
ditentukan oleh perilaku sehat masyarakat yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu variabel demografi seperti umur, jenis kelamin, latar
belakang budaya, variabel sosio-psikologis yaitu kepribadian, kelas sosial
(gaya hidup), tekanan sosial, dan variabel struktural yaitu pengetahuan
dan pengalaman sebelumnya.
Berdasarkan teori HBM tersebut maka gaya hidup seseorang dalam
hipertensi merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
seseorang mengalami penyakit hipertensi. Dalam hal ini perilaku sakit
(illnes behaviour) dan perilaku peran sakit (the sick role behaviour)
seseorang

menyebabkan

seseorang

menderita

suatu

penyakit.

Masyarakat yang mempunyai kebiasaan merokok, minum minuman


beralkohol, minum kopi dan tidak teratur dalam berolah raga akan
mengalami penyakit hipertensi lebih besar dibandingkan masyarakat yang

tidak mempunyai kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol,


minum kopi dan teratur dalam berolah raga.
Banyak hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
meroko berkaitan dengan peninggian tekanan darah. Dalam penelitian
kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and Womens
Hospital, Massachussetts dalam Rahyani (2007) terhadap 28.236 subyek
yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok,
36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok
perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari.
Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun. Kesimpulan
dalam penelitian tersebut yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada
kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari.
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Menurut Sustrani (2006) bahwa orang-orang yang minum alkohol terlalu
sering atau terlalu banyak, akan cenderung memiliki tekanan darah yang
tinggi dari pada individu yang tidak mengkonsumsi alkohol. Berlebihan
mengkonsumsi alkohol (> 2 gelas) merupakan faktor risiko hipertensi.
Konsumsi kopi yang berlebihan dalam jangka yang panjang dan
jumlah yang banyak diketahui dapat meningkatkan risiko penyakit
hipertensi. Beberapa penelitian dalam Crea (2008) menunjukan bahwa
orang yang mengkonsumsi kafein (kopi) secara teratur sepanjang hari
mempunyai tekanan darah rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan
didalam 2-3 gelas kopi (200-250 mg) terbukti meningkatkan tekanan
sistolik sebesar 3-14 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 4-13 mmHg
pada orang yang tidak mempunyai hipertensi.
Menurut Rohaendi (2008) bahwa kurangnya aktivitas fisik menaikan
risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi
gemuk. Riset di Oregon Health Science kelompok laki-laki dengan wanita
yang kurang aktivitas fisik dengan kelompok yang beraktifitas fisik dapat
menurunkan sekitar 6,5% kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) faktor
penting penyebab pergeseran arteri.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2005)
menyebutkan bahwa perilaku sehat (healthy behavior) adalah perilakuperilaku

atau

kegiatan-kegiatan

yang

berkaitan

dengan

upaya

mempertahankan dan meningkatkan kesehatan. Untuk mencapai gaya


hidup yang sehat diperlukan pertahanan yang baik dengan menghindari
kelebihan dan kekurangan yang menyebabkan ketidakseimbangan yang
menurunkan kekebalan dan semua yang mendatangkan penyakit. Hal ini
juga didukung oleh pendapat Maulana (2009) yang menyebutkan bahwa
untuk mendapatkan kesehatan yang prima jalan terbaik adalah dengan
merubah gaya hidup yang terlihat dari aktifitasnya dalam menjaga
kesehatan.
Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisa data ternyata masih
ada masyarakat dengan gaya hidup tidak berisiko tetapi mengalami
hipertensi. Hal ini dapat dikarenakan adanya faktor lain yang dapat
mempengaruhi kejadian hipertensi. Selain gaya hidup dan kepribadian,
faktor lain yang dapat mempengaruhi kejadian hipertensi diantaranya
adalah usia, jenis kelamin, ras, tekanan sosial, pengetahuan dan
pengalaman. Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi hipertensi meskipun seseorang tidak memiliki kebiasaan
merokok, minum minuman beralkohol, minum kopi dan teratur dalam
berolah raga. Kebiasaan yang baik tersebut ternyata belum cukup jika
pengetahuan tentang hipertensi rendah karena menyebabkan seseorang
tidak memahami dengan baik mengenai penyakit hipertensi sehingga
tidak mengetahui cara penanganan terhadap penyakit hipertensi.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan teori yang sudah
dikemukakan

di

atas,

maka

hasil

penelitian

ini

tidak

terdapat

kesenjangan. Oleh karena itu maka bagi penderita hipertensi yang


mempunyai kebiasaan merokok, minum minuman alkohol, minum kopi
dan tidak teratur berolah raga perlu mendapatkan bimbingan dari petugas
kesehatan serta dukungan keluarga agar merubah gaya hidup yang
kurang baik tersebut ke arah gaya hidup sehat sehingga dapat
mengurangi bahayanya penyakit hipertensi yang lebih parah.
5. Hubungan antara Kepribadian dengan Kejadian Hipertensi di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan antara
kepribadian dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja UPTD Puskesmas

Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 ( value = 0,022). Hasil


penelitian ini menunjukan bahwa penduduk yang memiliki kepribadian
introvert berisiko lebih besar akan mengalami hipertensi daripada
kepribadian introvert. Hal tersebut pun dapat dilihat dari nilai OR yang
diperoleh sebesar 4,750 (95%CI: 1,406 < OR < 16,051) yang berarti
bahwa penduduk dengan kepribadian introvert mempunyai peluang 4,75
kali lebih besar akan mengalami hipertensi dibandingkan penduduk
dengan kepribadian ekstrovert.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Health Belief Model (HBM)
dalam Maulana (2009) menyatakan bahwa salah satu derajat kesehatan
masyarakat ditentukan oleh perilaku sehat masyarakat yang dipengaruhi
oleh sosio-psikologis yaitu kepribadian. Juga teori Ahmadi (2005) yang
menyatakan bahwa karakteristik komponen untuk menilai kepribadian
introvert

dan

ekstrovert

adalah

activity,

sociability,

risk

taking,

impulsiveness, expresiveness, reflexiveness, dan responsibility. Ketujuh


aspek ini digunakan oleh Eysenck sebagai tolak ukur tentang tingkat
ekstrovert dan introvert dari penelitian. Tujuh aspek ini merupakan
komponen

obyek

berpengaruh

sikap

terhadap

yang

dapat

tindakan

diukur.

dalam

Karakteristik

kesehariannya

tersebut

yang

akan

berdampak pada derajat kesehatan seseorang.


Menurut

karakteristiknya

maka

masyarakat

yang

memiliki

kepribadian introvert yang cenderung mengembangkan gejala-gejala


ketakutan dan depresi yang ditandai dengan kecenderungan obsesi,
mudah tersinggung, apatis, syaraf otonom mereka labil, gampang terluka,
mudah gugup, rendah diri, mudah melamun dan sukar tidur dapat
menjadi suatu kendala untuk mencapai derajat hidup sehat. Penduduk
yang tidak terbuka dan tidak mau memeriksakan dirinya kepada petugas
kesehatan dalam hipertensi ini maka tidak akan mengetahui dan
menyadari bagaimana harus bersikap dan bertindak menghadapi penyakit
hipertensi.
Pada penelitian ini, berdasarkan hasil analisa data ternyata masih
ada

penduduk

dengan

kepribadian

ekstrovert

tetapi

mengalami

hipertensi. Hal ini dapat dikarenakan selain kepribadian, faktor lain seperti

usia,

jenis kelamin, ras, tekanan sosial, pengetahuan dan pengalaman

juga dapat mempengaruhi kejadian hipertensi. Dalam hal ini apabila


seseorang mempunyai kepribadian ekstrovert namun belum pernah
mengalami hipertensi sebelumnya dapat menyebabkan orang tersebut
kurang peduli terhadap kesehatan dirinya. Pengalaman seseorang dapat
menjadi sumber pengetahuan dan pendidikan dalam menghadapi suatu
permasalahan termasuk dalam menyikapi penyakit hipertensi.
Hasil penelitian ini tidak terdapat kesenjangan dengan teori yang
telah dijelaskan sebelumnya, maka dari itu penduduk yang menderita
hipertensi dengan tipe kepribadian introvert perlu mendapatkan dorongan
dan motivasi dari petugas kesehatan serta dukungan keluarga untuk
terbuka menyampaikan keluhan penyakit yang sedang dialaminya serta
mau memeriksakan diri kepada petugas kesehatan dengan rutin. Namun,
hasil

penelitian

memperhatikan

ini
faktor

perlu

dikembangkan

pengalaman

sehingga

lebih

lanjut

dengan

menghasilkan

hasil

penelitian yang lebih luas dan akurat.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan
gaya hidup dan kepribadian dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja

UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012, maka


dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Setengahnya penduduk di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012 yang mengalami hipertensi sebesar
50,0%.
2. Kurang dari setengah penduduk di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 dengan gaya hidup
berisiko sebesar 44,0%.
3. Lebih dari setengah penduduk di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 dengan kepribadian
introvert sebesar 58,0%.
65
4.

Ada hubungan antara gaya hidup dengan kejadian hipertensi di

wilayah kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun


2012 ( value = 0,046 dan OR = 3,857 dengan 95%CI: 1,180 < OR <
12,606).
5. Ada hubungan antara kepribadian dengan kejadian hipertensi di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012 (
value = 0,022 dan OR = 4,750 dengan 95%CI: 1,406 < OR < 16,051).

5.2 Saran
5.2.1 Bagi UPTD Puskesmas Majalengka
Disarankan

agar

petugas

kesehatan

di

wilayah

kerja

UPTD

Puskesmas Majalengka lebih meningkatkan kegiatan penyuluhan dan


pemberian informasi tentang gaya hidup sehat serta memberikan
dorongan dan mitivasi bagi penduduk yang menderita hipertensi yang
mempunyai kepribadian introvert.
5.2.2 Bagi Pasien Hipertensi
Perlu
kesehatan

memeriksakan
agar

diketahui

kesehatan

secara

perkembangan

rutin

tekanan

kepada

petugas

darahnya

serta

memperoleh informasi dari petugas kesehatan tentang hipertensi lebih


luas lagi.
5.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini perlu dikembangkan dan dijadikan sebagai salah
satu sumber untuk pengembangan ilmu dan pengetahuan tentang
kejadian hipertensi dan faktor yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi.

5.2.4 Bagi Peneliti


Bagi peneliti lain agar memperhatian faktor-faktor lain yang tidak
diteliti dalam penelitian ini sehingga menghasilkan ilmu yang lebih luas
dan lebih akurat.

Lampiran 1

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN


Yang terhormat,
Bapak/Ibu
di UPTD Puskesmas Majalengka
Saya adalah mahasiswa Program S1 Keperawatan STIKes YPIB
Majalengka, saat ini sedang menyelesaikan tugas akhir Skripsi. Dalam
rangka mengumpulkan data, saya memohon kesediaan dan bantuan
Bapak/Ibu meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner ini. Hasil dari

kuesioner ini sepenuhnya akan digunakan untuk kepentingan penelitian


tentang Hubungan Gaya Hidup dan Kepribadian dengan Kejadian
Hipertensi

di

Desa

Kawunggirang

Wilayah

Kerja

UPTD

Puskesmas

Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.


Jawaban kuesioner ini akan terjamin kerahasiannya, oleh karena itu
Bapak/Ibu

tidak

perlu

menuliskan

nama.

Mengingat

keberhasilan

penelitian ini akan sangat tergantung kepada kelengkapan jawaban,


dimohon dengan sangat agar kiranya jawaban Napak/Ibu dapat diberikan
selengkap mungkin.
Kejujuran serta kesungguhan Bapak/Ibu dalam mengisi kuesioner ini
akan sangat berarti dan sangat saya hargai. Atas kesediaan serta
kerjasama Bapak/Ibu, saya ucapkan banyak terima kasih.

Majalengka,...
Peneliti,

(Rini Nuraisa)
Lampiran 2
LEMBAR PERSETUJUAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :


Nama
Alamat

:.
:.

Dengan ini menyatakan dengan sebesar-besarnya bahwa saya telah


mendapat penjelasan mengenai tujuan, manfaat, dan prosedur dari
penelitian ini dengan judul Hubungan Gaya Hidup dan Kepribadian

dengan Kejadian Hipertensi di Desa Kawunggirang Wilayah Kerja UPTD


Puskesmas Majalengka Kabupaten Majalengka Tahun 2012.
Selanjutnya saya dengan ikhlas dan sukarela menyatakan ikut serta
dalam penelitian ini sebagai responden. Demikian pernyataan ini saya
buat dengan sebenar-benarnya dan tanpa ada paksaan dari pihak
manapun.

Majalengka,
Yang menyatakan,

.
(Responden)

Lampiran 3
KUESIONER PENELITIAN
Hubungan Gaya Hidup dan Kepribadian dengan Kejadian Hipertensi
di Desa Kawunggirang Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Majalengka
Kabupaten Majalengka Tahun 2012

A. Identitas Responden
1.

Nomor Responden

2.

Inisial Responden

: ______________________

3. Jenis Kelamin

Laki-laki
Perempuan

4. Umur Responden

: ..tahun

5. Apakah Anda mempunyai riwayat keluarga hipertensi?


a. Ya
b. Tidak

B. Gaya Hidup
Petunjuk :
Jawablah pertanyaan dengan memberikan tanda V pada kolom yang
sesuai dengan keadaan dan pendapat anda!

No

Pertanyaan

1.

Apakah anda mempunyai kebiasaan

2.

merokok?
Apakah anda mempunyai kebiasaan minum

3.

minuman beralkohol?
Apakah menurut anda kebiasaan minum

Jawaban
Ya
Tidak

kopi tidak akan mengganggu kesehatan


jika kita mengkonsumsinya tidak
4.

berlebihan/terlalu banyak?
Apakah anda suka melakukan olahraga
secara teratur?

C. Tipe Kepribadian
Petunjuk:
Jawablah pertanyaan dengan memberikan tanda V pada kolom yang
sesuai dengan keadaan anda!

Jawaban
BENAR
SALAH

NO

PERNYATAAN

1
2

Saya suka berbicara di depan umum


Saya merasa tidak nyaman sebagai

pusat perhatian
Saya
suka
bersosialisasi

banyak orang
Saya lebih suka

5
6

personal dengan orang lain


Saya suka memberi kejutan
Saya lebih suka di rumah

berbicara

dengan
secara

dan

membaca buku
NO

Jawaban
BENAR
SALAH

PERNYATAAN

Saya

suka

yang ramai dan penuh tantangan


Jika sedang melakukan sesuatu saya

tidak suka diganggu


Saya sering bertindak sesuai dengan

10

dorongan hati saya


Saya perlu suasana yang tenang untuk

11

bekerja secara efektif


Kadang-kadang
saya
mengatakan

12

memainkan

sesuatu

permainan

tanpa

sering
berfikir

terlebih dahulu
Saya memiliki beberapa orang yang
benar-benar merupakan teman baik
saya

D. Hipertensi
1.

Apakah Anda pernah mendengar istilah darah tinggi (hipertensi)


sebelumnya?
a. Pernah
b. Belum pernah

2. Tekanan darah Anda (hasil pemeriksaan yang terakhir) = /.. mmHg


3. Apakah Anda sering memeriksakan tekanan darah ke Puskesmas?
a. Ya
b. Tidak

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. M. 2005. Psikologi Perkembangan. Penerbit Renika Cipta.
Andra. 2007. Ancaman Serius Hipertensi di Indonesia. http://www.majalahfarmacia.com, diakses 27 Maret 2012.
Anggraini, A.D., dan Waren, A. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Hipertensi pada Pasien yang berobat di Poliklinik Dwasa
Puskemas

Bangkiang

periode

Januari

sampai

Juni

2008.

Http://yayanakhyar.wordpress.com, diakses tanggal 2 April 2012.


Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pengantar Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Crea, M. 2008. Hypertension. Jakarta: Medya.
Departemen Kesehatan RI, 2009. Kendalikan Stress dan Hipertensi, Raih
Produktivitas. http://www.depkes.co.id, diakses tanggal 28 Maret 2012.
Elsanti, S. 2009. Panduan Hidup Sehat Bebas Kolesterol, Stroke, Hipertensi &
Serangan Jantung. Yogyakarta: Araska.
Irza, S. 2009. Analisis Faktor Risiko Hipertensi Pada Masyarakat Nagari Bungo
Tanjung Sumatera Barat. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Kumar, 2005. Hipertensi Penyakit Vaskuler. http://www.medicine.com/, diakses
tanggal 12 Maret 2012.
Marliani, L. 2007. 100 Question & Answers Hipertensi. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo Gramedia.
Mifbakhuddin. 2007. Hubungan antara Faktor Karakteristik, Konsumsi Garam
dan Konsumsi Energi dengan Kejadian Hipertensi Penduduk Usia Lebih

Dari 30 Tahun di Desa Pasar Banggi Rw 4 Kecamatan Rembang Kabupaten


Rembang. Semarang: Universitas Muhammdiyah.
Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Parkinson, M. 2004. Test Yourself: Personality Questionnaires, Memahami
Kuesioner Kepribadian. Solo: Tiga Seragkai.
Price, L. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rahyani. 2007. Epidemiologi Penderita Hipertensi Esensial yang Dirawat di
Bagian Penyakit Dalam Perjan RS DR. M. Djamil Padang. Skripsi. Padang.
Setiawati dan Bustami. 2005. Anti Hipertensi dalam Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: FKUI.
Shanty, M. 2011. Penyakit yang Diam-diam Mematikan. Yogyakarta: Javalitera.
Sustrani, L. 2006. Hipertensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sutanto. 2009. Awas 7 Penyakit Degeneratif. Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
Yogiantoro, M. 2006. Hipertensi Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I. Edisi IV. Jakarta: FKUI.

Diposkan oleh ina sartina di 00.45


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke
FacebookBagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Arsip Blog

2013 (2)
o Mei (2)

HUBUNGAN GAYA HIDUP DAN KEPRIBADIAN DENGAN


KEJADIA...

kumpulan contoh skripsi

Mengenai Saya

ina sartina
Lihat profil lengkapku
Template Simple. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai