Anda di halaman 1dari 45

BAB 1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Wanita saat menginjak usia dewasa, ada keinginan pada dirinya untuk menikah,

dengan harapan dapat membentuk keluarga yang harmonis dengan pasangannya.


Wanita menganggap pernikahan sebagai salah satu sarana pencapaian identitas diri
yang utuh sebagai wanita dewasa. Banyak alasan dikemukakan wanita saat
memutuskan menikah. Salah satu alasan utama adalah adanya rasa aman sekaligus
dilindungi. Wanita dewasa yang mulai melepaskan ketergantungan diri dari figur orang
tua, mulai tertarik pada figur pria dewasa yang mampu memberikan rasa aman
sekaligus mencintainya.
Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Subekti, 2003). Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat
dilihat atau disebut hubungan formil. Sebaliknya, ikatan batin adalah hubungan yang
tidak formil atau suatu hubungan yang tidak dapat dilihat. Dalam kehidupan bersama
ikatan batin tercermin dari adanya keturunan. Perkawinan ini seharusnya membuat
suami dan istri merasa nyaman, diperhatikan, dibutuhkan, bebas dari keterasingan dan
kesepian sehingga kebutuhan terdalam sebagai manusia dapat terpenuhi.
Dalam kenyataannya, tujuan perkawinan tersebut sering tidak tercapai karena di dalam
perkawinan tersebut sering terjadi kekerasan rumah tangga yaitu kekerasan yang
terjadi dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap
pasangannya. Kekerasan dalam rumah tangga ini sangat bertentangan dengan tujuan
awal dibentuknya perkawinan karena tidak menimbulkan kebahagian bagi pihak korban
. Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan
berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan
kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan
perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga disamping

beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak
merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik.
Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik
antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis
apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya
konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi
dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi
sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan
anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada
rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah
sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang
mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing.
Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga
akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan,
kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah
kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masingmasing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar
permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga
melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara
tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.
Penyelesaian

masalah

dilakukan

dengan

marah

yang

berlebih-lebihan,

hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian


maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang,
memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat
dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau

perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.


Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis
kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum.

Tindak

kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban
diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan
bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan
korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi
oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial
yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para
penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang
akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup
sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan
rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap
wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak
kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan.
(Hasbianto, 1996)
Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami
melalui konteks sosial.

Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya

merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu
masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan
perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi
suami atas istri.
Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki
atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari
nature ke culture sering terjadi penaklukan.

Laki-laki sebagai culture mempunyai

wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature).


Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu

memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan.

Dari dua teori ini

menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang


kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku
individu dalam kehidupan berkeluarga.
Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak
kekerasan yang dihadapi.

Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak

kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya
respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan.
Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan
semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri.

Rumah

tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom,
sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.
Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan
perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness)
berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga. Menurut Murray A. Strause (1996),
bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan moralitas pribadi dalam rangka
mengatur dan menegakkan rumah tangga sehingga terbebas dari jangkauan
kekuasaan publik.
Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan
secara sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan,
menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan,. Menurut
Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak
kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka.

Mitra Perempuan

(2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan
suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor
berusia dibawah 18 tahun.

Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10

perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan
(fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus
tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC,
1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri)
menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami
kekerasan fisik.

Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari

Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN,
ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk
penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 1995).
Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998)
mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37
orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga,
kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan
ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak
hanya mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20 responden mengalami
labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri
(korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban,
bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.
Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak
kekerasan kepada istri meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri
dianggap tidak menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu,
pergi tanpa pamit.

Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga mereka mengalami

kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.


Penelitian yang mengkaitkan tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada
kesehatan reproduksi masih sedikit.

Menurut Hasbianto (1996), dikatakan secara

psikologi tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga menyebabkan gangguan
emosi, kecemasan, depresi yang secara konsekuensi logis dapat mempengaruhi
kesehatan reproduksinya. Menurut model Dixon-Mudler (1993) tentang kaitan antara
kerangka seksualitas atau gender dengan kesehatan reproduksi; pemaksaan hubungan
seksual atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri.

Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan reproduksi dapat dianggap tindakan
yang mengancam kesehatan seksual istri, karena hal tersebut menganggu psikologi
istri baik pada saat melakukan hubungan seksual maupun tidak..
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bagi masyarakat Indonesia bukanlah
fenomena baru. Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan yang mengatakan bahwa 11,4 % dari 217 juta penduduk
Indonesia atau 24 juta terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan
terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga (Soedjendro, 2005). Menurut catatan
Mitra Perempuan, hanya 15,2 % perempuan yang mengalami KDRT menempuh jalur
hukum, dan mayoritas (45,2 %) memutuskan pindah rumah dan 10,9 % memilih diam.
Berdasarkan studi kasus persoalan Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang masuk di Rifka
Annisa Womens Crisis Center pada tahun 1998, dari 125 kasus KTI, 11 % diantaranya
mengakhiri perkawinannya dengan perceraian, 13 % mengambil jalan keluar dengan
cara melaporkan suami ke polisi, ke atasan suami, atau mengajak berkonseling, dan
mayoritas korban (76 %) mengambil keputusan kembali kepada suami dan menjalani
perkawinannya yang penuh dengan kekerasan (Hayati, 2002).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum: mampu memahami secara menyeluruh tentang tindak kekerasan
pada istri dalam rumah tangga dan dampaknya terhadap kesehatan
reproduksi perempuan serta implikasi keperawatan yang dapat
diberikan oleh perawat.
2. Tujuan Khusus:
a. Dapat mengidentifikasi bentuk tindakan kekerasan dan kategori pada istri dalam
rumah tangga.
b. Dapat menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam
rumah tangga.
c. Memperoleh persepsi istri terhadap tindakan kekerasan yang dialaminya.
d. Dapat menjelaskan dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksinya.
e. Dapat mengetahui adanya issu tentang kekerasan dalam rumah tangga

f. Dapat mengimplikasikan peran perawat dalam melakukan pendampingan korban


tindak kekerasan dalam rumah tangga
C. Manfaat Penulisan.
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan proporsi kekerasan yang dialami
oleh perempuan.
b. Dengan diperolehnya proporsi jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan yang
mengalami kekerasan dalam rumah tangga, diharapkan dapat memberikan
informasi dan menambah wawasan mengenai kekerasan yang terjadi pada
perempuan.
c. Memberikan gambaran mengenai Implikasi yang dilakukan oleh perawat dalam
menghadapi kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri.
d. Hasil penulisan makalah ini dapat berlanjut untuk penelitian selanjutnya atau yang
sejenis atau makalah ini sebagai acuannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perilaku
Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia

dan

dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau
genetika.
Bimo Walgito (2003) berpendapat bahwa sikap yang ada pada seseorang akan
memberikan warna atau corak pada perilaku atau perbuatan orang yang bersangkutan.
Sementara sikap pada umumnya mengandung tiga komponen yang membentuk
struktur sikap, yaitu: komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Myers (1983), perilaku adalah sikap yang diekspresikan (expressed attitudes).
Perilaku dengan sikap saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
Kurt Lewin (1951, dalam Brigham, 1991) merumuskan satu model hubungan
perilaku yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi karakteristik individu (P)
dan lingkungan (E), dengan rumus: B = f(P,E). Karakteristik individu meliputi berbagai
variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi
satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam
menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan
perilaku, bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik
individu.http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7501181235497987150 - _ftn1
Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada
orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat
mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan
suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang
secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang
diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial. Dalam
kedokteran perilaku seseorang dan keluarganya dipelajari untuk mengidentifikasi faktor

penyebab, pencetus atau yang memperberat timbulnya masalah kesehatan. Intervensi


terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam rangka penatalaksanaan yang holistik dan
komprehensif.
Perilaku manusia dipelajari dalam ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi dan
kedokteran.
Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima,
perilaku aneh, dan perilaku menyimpang.
http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7501181235497987150 - _ftn2
B. Karakteristik perilaku
1.

Perilaku adalah perkataan dan perbuatan individu. Jadi apa yang dikatakan dan

dilakukan oleh seseorang merupakan karakteristik dari perilakunya.


2.

Perilaku mempunyai satu atau lebih dimensi yang dapat diukur, yaitu : frekuensi,

durasi, dan intensitas.


3.

Perilaku dapat diobservasi, dijelaskan, dan direkam oleh orang lain atau orang

yang terlibat dalam perilaku tersebut.


4.

Perilaku mempengaruhi lingkungan, lingkungan fisik atau sosial.

5.

Perilaku dipengaruhi oleh lingkungan (lawful).

6.

Perilaku bisa tampak atau tidak tampak. Perilaku yang tampak bisa diobservasi

oleh orang lain, sedangkan perilaku yang tidak tampak merupakan kejadian atau hal
pribadi yang hanya bisa dirasakan oleh individu itu sendiri atau individu lain yang
terlibat

dalam

perilaku

tersebut.http://www.blogger.com/post-create.g?

blogID=7501181235497987150 - _ftn3
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Manusia
Perilaku atau aktivitas pada individu atau organisme tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh organisme yang
bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Perilaku individu dapat
mempengaruhi individu itu sendiri, di samping itu perilaku juga berpengaruh pada
lingkungan. Demikian pula lingkungan dapat mempengaruhi individu, demikian
sebaliknya. Oleh sebab itu, dalam perspektif psikologi, perilaku manusia (human

behavior) dipandang sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat
kompleks (Bandura, 1977; Azwar, 2003).
Lebih lanjut, Icek Ajzen dan Martin Fishbein (1980, dalam Brehm and Kassin,
1990) mengemukakan teori tindakan beralasan (theory of reasoned action). Dengan
mencoba melihat anteseden penyebab perilaku volisional (perilaku yang dilakukan atas
kemauan sendiri), teori tindakan beralasan ini didasarkan pada asumsi-asumsi: (a)
bahwa manusia pada umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk
akal; (b) bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada; dan (c) bahwa
secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka.
Secara garis besar, perilaku manusia diakibatkan oleh:

Genetika

Sikap - adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku


tertentu.

Norma sosial - adalah pengaruh tekanan sosial.

Kontrol perilaku pribadi - adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya


melakukan

suatu

perilaku.http://www.blogger.com/post-create.g?

blogID=7501181235497987150 - _ftn4
D.Pengertian KDRT.
Komnas

Perempuan

(2001)

menyatakan

bahwa

kekerasan

terhadap

perempuan adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan


yang berakibat atau kecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan
fisik, seksual, maupun psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau
anak perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun
secara sengaja meng-kungkung kebebasan perempuan.

Tindakan kekerasan fisik,

seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun
2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
10

dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah perilaku yang muncul akibat adanya
bayangan tentang peran identitas berdasarkan jenis kelamin dan bayangan mengenai
kekuasaan yang dapat dimilikinya.Kekerasan adalah tindakan pemaksaan,kekuataan
fisik dan kekuasaan terhadap orang lain(Moore,dalam subhan,2004)
Kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu tindakan sosial dimana pelakunya
harus mempertangguangjawabkan tindakannya kepada masyarakat,Kekerasan dalam
rumah tangga adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan antara suami dan istri
maupun orang tua dan anak.Kekerasan dalam rumah tangga merupakan segala bentuk
tindak yang berakibat menyakitti secara fisik,psikis,seksual,dan ekonomi termasuk
ancaman perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga.
(Holf dalam subhan 2004).
Menurut tarigan dkk (2001).kekerasan dalam rumah tangga adalah segala
bentuk tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis yang terjadi dalam rumah
tangga,baik antara suami dan istri maupun orang tua dan anak.dapat dikatakan juga
bahwa kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan adalah tindakan yang
menghambat,melanggar atau meniadakan kenikmatan dan mengabaikan hak asasi
perempuan atas dasar gender.
Kekerasan menimbulkan rasa malu dan mengintimidasi perempuan, ketakutan
akan kekerasan menghalangi banyak perempuan mengambil inisiatif dan mengatur
hidup yang akan dipilihnya. Ketakutan terhadap kekerasan merupakan satu faktor kunci
yang menghambat perempuan ikut terlibat dalam pembangunan.

Womankind

Wordwide sebuah NGO yang dibentuk untuk meneropong secara khusus kebutuhan
dan potensi perempuan. Dunia ketiga menerbitkan laporan tentang kekerasan terhadap
perempuan yang merekam beberapa alasan mengapa kekerasan meningkat. Menurut
laporan itu, cara produksi baru menimbulkan berbagai perubahan dalam hubungan
antar jenis kelamin: yang selanjutnya mungkin mempertinggi ketegangan rumah tangga
dalam masyarakat dimana laki-laki percaya bahwa sudah menjadi haknya mengontrol
mitranya. Istri dipukul karena ketidakmampuan, atau penolakan mereka, untuk

11

menerima kerja ekstra yang berkaitan dengan produksi tanaman yang dijualbelikan,
perempuan yang tidak terlalu tergantung kepada suami atau bantuan mitranya.
Mungkin tidak begitu rentan terhadap kesemena-menaan walaupun laki-laki yang tidak
bekerja mungkin juga melampiaskan rasa frustasinya kepada perempuan (Womankind
Worldwide dalam Mosse, 2003,).
Kekerasan suami terhadap istri ada berbagai bentuk perilaku penyerangan baik
secara psikis (verbal dan non verbal), fisik, seksual maupun ekonomi dengan maksud
untuk melukai fisik atau emosi yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang dapat
menyebabkan hidup istri dalam bahaya (Nurani, 2004).
Heise (Hayati, 2000) menjelaskan bahwa penyebab kekerasan dalam keluarga
terjadi karena empat faktor, yaitu individual, keluarga, komunitas dan structural. Hayati
(2000, h.17-19), menjelaskan bahwa kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam
kehidupan

rumah

tangganya

berdampak negatif

bagi

kesehatan

perempuan.

Diantarannya dampak fisik menyebabkan perempuan mengalami patah tulang, kelainan


syaraf, memar, kulit yang tersayat, dan sebagainya. Secara psikologis, kekerasan
menyebabkan gangguan emosi seperti kecemasan, depresi, dan perasaan rendah diri,
dan sebagainya. Keguguran juga merupakan problem yang dialami perempuan karena
stres psikologis maupun ada insiden fisik akibat kekerasan terhadap istri. Kekerasan
terhadap istri juga sering menyebabkan korban menderita penyakit kronis, hingga
menyebabkan kematian secara perlahan-lahan. Selanjutnya Hayati menjelaskan bahwa
kekerasan terhadap istri juga menimbulkan dampak negatif yang serius bagi anak-anak,
tetapi selama ini masalah tersebut luput dari perhatian. Kekerasan terhadap perempuan
merupakan masalah kesehatan utama yang dapat melemahkan vitalitas fisik dan emosi
wanita, serta menurunkan rasa percaya diri (Heise, 1997).
Ceng (Hayati, 2002), menjelaskan bahwa pada kasus kekerasan terhadap
perempuan (penganiayaan dan pelecehan seksual), korban akan mengalami dampak
jangka pendek (short term effect) dan dampak jangka panjang (long term effect).
Keduanya merupakan suatu proses adaptasi yang normal (wajar) setelah seseorang
mengalami peristiwa traumatis. Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga
beberapa hari setelah kejadian. Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik korban,
seperti ada gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput darah, robek,

12

dan sebagainya) dan luka-luka pada bagian tubuh yang lain, akibat perlawanan dan
penganiayaan fisik. Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah,
jengkel, merasa bersalah, malu dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya
menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia) dan kehilangan nafsu makan (lost
apetite). Dampak jangka panjang dapat terjadi apabila korban kekerasan tidak dapat
penanganan dan bantuan ( konseling psikologis) yang memadai. Dampak jangka
panjang itu dapat berupa sikap atau persepsi yang negatif terhadap laki-laki atau
terhadap seks.
E. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam
rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a.

Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah
menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut
dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan
ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
b.

Kekerasan psikologis / emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,


hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya
dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku

kekerasan

yang

termasuk

penganiayaan

secara

emosional

adalah

penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri,


mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
c.

Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya,
memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak
memperhatikan kepuasan pihak istri.
d.

Kekerasan ekonomi

13

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh
dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang
istri (http://kompas.com., 2006).
F.

Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga

Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur


masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga (marital violence) sebagai berikut:
a.

Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,


sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
b.

Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan


wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c.

Beban pengasuhan anak

Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d.

Wanita sebagai anak-anak

Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak
melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
e.

Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya
sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu
adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam
konteks harmoni keluarga.

14

G.

Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara


penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a.

Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada

agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi
dengan baik dan penuh kesabaran.
b.

Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena

didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara,
dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap
pendapat yang ada.
c.

Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah

rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada
keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu
timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d.

Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar

anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika
sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika
tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang
berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e.

Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam

keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang
minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
H. Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan
prosesnya.

15

Masalah kesehatan perempuan merupakan masalah penting dan serius karena sejak
dua dekade terakhir Angka Kematian Ibu (AKI) tidak pernah turun. Berdasarkan hasil
penelitian SKRT (2000) AKI sebesar 396 / 100000, Aborsi tidak aman berkontribusi
terhadap AKI : 11-17 % (Herdayati, 2002), bisa mencapai 50 % (Azrul Azwar, 2003).
Angka aborsi 2-2,3 juta/tahun (Utomo, 2001), pelaku Aborsi 87 % wanita kawin,
penyebab : 57,5 % Psikososial dan 36 % gagal KB (YKP, 2002).
Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan
lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post
traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak
kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya mengakibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri
dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.
Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan reproduksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise,
Moore dan Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan
membentuk kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga
sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang
dipakai oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh
Schei dan Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga
menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan
tindak kekerasan menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketimbang dengan yang tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan problem ginekologis ini bisa berlanjut dalam rasa sakit terus menerus.
Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan
bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi
terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat.

16

Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami
gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan
wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido,
ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya.
Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan
seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus,
persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim.
Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya
kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil
dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir
cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah
tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak
terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir
korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut,
cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada
apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik
dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk
tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular
(www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun
tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak
bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekonomi secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga
untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara.

17

Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan /
pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh
diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri.
I.

Faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam

Rumah tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
(marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan
wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
maka istri mengalami tindakan kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita.
Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak
melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya
sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu
adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam
konteks harmoni keluarga.

18

J. Sikap Seorang perawat yaitu Nilai,Empati dan Altruistik.


Nilai memberikan hidup dan identitas kepada individu, profesi dan masyarakat. Nilai
dibentuk dan dipertahankan oleh individu pelakunya dan juga oleh sekelompok orang.
Pada praktiknya, perawat memprioritaskan nilai keperawatan ketika mengambil
keputusan dalam pelayanan kesehatan.
Pelayanan keperawatan di rumah sakit merupakan pelayanan yang paling sentral dan
perlu mendapat perhatian, perawat berinteraksi dengan pasien dan keluarga selama 24
jam, disinilah perawat akan memberikan pelayanannya secara komprehensif, baik itu
dari pelayanan fisik, psikologi, spiritual, sosial dan pendidikan kepada pasien. Maka
dengan demikian pelayanan keperawatan akan dapat dirasakan lebih sempurna oleh
pasien, jadi tidak hanya secara fisik saja mendapatkan perhatian perawat. Perawat
dalam memberikan pelayanan keperawatan memandang pasien sebagai pusat
perhatian. Sikap dan tingkah laku dalam memberikan pelayanan keperawatan meliputi
rasa empati, kepedulian, menghargai orang lain dan tenggang rasa. Pemahaman
perawat tentang nilai, klien, dan profesional akan sangat membantu dalam proses
pelayanan kesehatan atau yang lainnya. Persepsi perawat dan klien pada nilai
keperawatan akan membantu untuk mengetahui apakah nilai profesional sesuai dengan
nilai masyarakat.
Nilai adalah keyakinan yang mendasari seseorang melakukan tindakan dan tindakan itu
kemudian menjadi suatu standar atas tindakan yang selanjutnya, pengembangan dan
mempertahankan sikap terhadap objek-objek yang terkait, penilaian moral pada diri
sendiridan orang lain serta pembandingan diri dengan orang lain.
Empathy

19

Perilaku empati merupakan salah satu sikap dalam hubungan therapeutic yang
merupakan unsur yang sangat penting dalam proses yang berlangsung secara
interpersonal. Dengan empati akan membantu dalam mempererat hubungan antara
perawat dan pasien sehingga menjadikan pasien merasa diperhatikan dan pada
akhirnya akan meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan keperawatan.
Empati adalah suatu perasaan dalam diri seseorang yang sesuai dengan apa yang
dirasakan oleh orang lain secara psikologis. Empati memiliki beberapa fungsi yang
dapat membantu seseorang dalam bersosial, berinteraksi, berkomunikasi, dan bersikap
di lingkungan masyarakat.
Florence Nightiangel, tokoh dunia yang mengubah persepsi dunia bahwa perawat itu
merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan terhormat. Sebagai perawat dibutuhkan
kemampuan khusus yang tidak semua orang memilikinya, yaitu kemampuan empati.
Perawat yang memiliki empati diharapkan memiliki kemampuan empati, yaitu
kemampuan untuk melakukan aksi komunikasi secara sadar kepada pasien sehingga
dapat memahami dan merasakan suasana hati pasien tersebut. Perilaku yang muncul
dari tiap perawat terhadap pasien berbeda-beda, hal ini terkait dengan kemampuan
empati perawat itu sendiri.
Hal yang mempengaruhi kemampuan empati, yaitu:
1.

pikiran yang optimis

2.

tingkat pendidikan

3.

keadaan psikis

4.

pengalaman

5.

usia

6.

jenis kelamin

20

7.

latar belakang sosial budaya

8.

status sosial

9.

beban hidup

Kemampuan empati terkadang memang tidak dapat langsung muncul dari diri seorang
perawat begitu saja, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
empati,yaitu:
1. Peduli, perhatian dari perawat kepada pasiennya, sejauh mana komunikasi dapat
terbentuk sehingga pasien dapat merasa nyaman karena diperhatikan.
2. Berguru, dengan belajar kepada mereka yang telah nyata dianggap memiliki
kemampuan empati yang tinggi, misalnya seorang rohaniawan, psikolog, maupun
dokter di rumah sakit perawat tersebut mengabdi.
3. Berlatih, sepandai dan sepintar apapun kalau tidak pernah berlatih maka akan kalah
dengan

mereka

yang

masih

pemula

tetapi

rutin

untuk

rajin

berlatih

mengasahkemampuanempatinya.
4. Berbagi pengalaman, ingatlah bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik dan
melalui pengalaman kita dapat menjadi bijaksana, dengan berbagi pengalaman dengan
sesama rekan sekerja maka diharapkan perawat akan lebih tangguh dan hebat.
Dengan begitu maka perawat dapat meningkatkan kemampuan empatinya agar dapat
lebih mengerti, memahami, dan menghayati tidak hanya kondisi fisik namun juga
kondisi psikis pasien karena pada dasarnya pasien yang datang untuk berobat ke
rumah sakit tentunya dengan tujuan memulihkan kondisi fisiknya yang sakit, padahal
apabila kondisi fisik seseorang mengalami suatu keadaan sakit, maka akan
mempengaruhi kondisi psikisnya, biasanya pasien akan lebih labil emosinya. Tenaga
kesehatan khususnya perawat harus peka dengan keadaan seperti ini, perawat tidak
hanya menangani kondisi fisik dari pasien tetapi kondisi psikisnya juga, dengan
berempati kepada pasien maka diharapkan pasien dapat sembuh lebih cepat.
21

Dengan kemampuan empati maka perawat memiliki kemampuan untuk menghayati


perasaan pasien. Kemampuan empati seorang perawat dipengaruhi oleh kondisi
perawat itu sendiri. Perawat perlu menjaga kondisi kesehatan fisik dan psikis, karena
keduanya saling mempengaruhi satu sama lain.
Untuk

dapat

memiliki

kemampuan

empati,

seorang

perawat

harus

mampu

bersosialisasi. Kebanyakan perawat memiliki sifat extovert (terbuka), maka akan lebih
mudah

dalam

menangani

pasien,

karena

pasien

merasa

nyaman

dengan

keberadaannya.
Kemampuan empati perawat hendaknya disertai juga keramahan kepada keluarga atau
kerabat pengantar atau penunggu dari pasien lebih lagi kepada setiap pengunjung
rumah sakit, karena sesungguhnya citra rumah sakit ditentukan oleh sikap yang
diperlihatkan sumber daya tenaga kesehatan terutama perawat sebagai ujung tombak
rumah sakit. Semoga dengan meningkatnya kualitas tenaga kesehatan terutama
perawat di Indonesia ini maka diharapkan akan meningkatkan pula kesehatan dan
kesejahteraan seluruh warga.
Contoh:
Pagi pak atau bu bagaimana kabarnya, masih

demam pak, bagaimana tidurnya

semalam, mudah-mudahan lebih baik, komentar ini akan muncul di keseharian


seorang perawat entah dia berada di pelosok desa atau rumah sakit besar.
Senyum dan rasa empati yang ditimbulkan setidaknya akan menjadi multivitamin
dosage tinggi yang tanpa antibiotik atau obat yang super keras akan menyembuhkan
rasa terpelentirnya hati seorang pasien yang sedang menderita penyakit sekeras
apapun. Ada hal yang tidak bisa di teliti secara ilmiah dan juga tidak harus dengan
percobaan yang mahal, ada yang timbul dari hati yaitu keikhlasan untuk menolong
sesama.
Caring/care

22

Caring adalah fenomena universal yang mempengaruhi cara manusia berpikir, merasa,
dan mempunyai hubungan dengan sesama. Caring sebagai bentuk dasar dari praktik
keperawatan di mana perawat membantu klien pulih dari sakitnya, memberikan
penjelasan tentang penyakit klien, dan mengelola atau membangun kembali hubungan.
Caring membantu perawat mengenali intervensi yang baik, dan kemudian menjadi
perhatian dan petunjuk untuk memberikan caring nantinya.
Caring secara umum dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk berdedikasi bagi
orang, pengawasan dengan waspada, perasaan empati pada orang lain dan perasaan
cinta atau menyayangi. Secara teoritis, pengertian caring adalah tindakan yang
menunjukan pemanfaatan lingkungan pasien dalam membantu penyembuhan,
memberikan lingkungan yang bersih, ventilasi yang baik dan tenang kepada klien
(Florence Nightingale, 1860). Caring atau care tidak mempunyai pengertian yang tegas,
tetapi ada tiga makna dimana ketiganya tidak dapat dipisahkan yaitu memberi
perhatian, bertanggung jawab dan ikhlas (Delores Gaut, 1984). Dalam keperawatan,
caring merupakan bagian inti yang penting terutama dalam praktik keperawatan.
Rubenfeld (1999), mendefinisikan Caring : memberikan asuhan , dukungan emosional
pada klien, keluarga dan kerabatnya secara verbal maupun non verbal. Jean Watson
(1985), Caring merupakan komitmen moral untuk melindungi, mempertahankan dan
meningkatkan martabat manusia.
Caring merupakan heart profesi, artinya sebagai komponen yang fundamental dari
fokus sentral serta unik dari keperawatan (Barnum, 1994). Meskipun perkataan caring
telah digunakan secara umum, tetapi tidak terdapat definisi dan konseptualisasi yang
universal mengenai caring itu sendiri (Swanson, 1991, dalam Leddy, 1998). Setidaknya
terdapat lima perspektif atau kategori mengenai caring, yaitu:
1.caring sabagai sifat manusia (Benner & Wrubel,Leinenger)
2.caring sebagai intervensi terapeutik (Orem),
3.caring sebagai bentuk kasih sayang (Morse et al., 1990,

dalam Leddy, 1998).

23

Marriner dan Tomey (1994) menyatakan bahwa caring merupakan pengetahuan


kemanusiaan, inti dari praktik keperawatan yang bersifat etik dan filosofikal. Caring
bukan semata-mata perilaku. Caring adalah cara yang memiliki makna dan memotivasi
tindakan. Caring juga didefinisikan sebagai tindakan yang bertujuan memberikan
asuhan fisik dan memperhatikan emosi sambil meningkatkan rasa aman dan
keselamatan klien (Carruth et all, 1999) Sikap caring diberikan melalui kejujuran,
kepercayaan, dan niat baik. Caring menolong klien meningkatkan perubahan positif
dalam aspek fisik, psikologis, spiritual, dan sosial. Bersikap caring untuk klien dan
bekerja

bersama

dengan

klien

dari

berbagai

lingkungan

merupakan

esensi

keperawatan. Dalam memberikan asuhan, perawat menggunakan keahlian, kata-kata


yang lemah lembut, sentuhan, memberikan harapan, selalu berada disamping klien,
dan bersikap caring sebagai media pemberi asuhan (Curruth, Steele, Moffet,
Rehmeyer, Cooper, & Burroughs, 1999). Para perawat dapat diminta untuk merawat,
namun tidak dapat diperintah untuk memberikan asuhan dengan menggunakan spirit
caring.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Caring merupakan heart profesi,
artinya sebagai komponen yang fundamental dari fokus sentral serta unik dari
keperawatan.
Caring secara umum dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk berdediksi bagi
orang lain pengawasan dengan waspada, perasaan empati pada orang lain dan
perasaan cinta atau menyayangi. Secara teoritis, pengertian caring adalah tindakan
yang menunjukan pemanfaatan lingkungan pasien dalam membantu penyembuhan,
memberikan lingkungan yang bersih, ventilasi yang baik dan tenang kepada klien.
Caring atau care tidak mempunyai pengertian yang tegas, tetapi ada tiga makna
dimana ketiganya tidak dapat dipisahkan yaitu memberi perhatian, bertanggung jawab
dan ikhlas.
Altruisme

24

Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri
sendiri. Perilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap
penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas
etika.
Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme
memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk
melakukan

kebaikan

tanpa

memperhatikan

ganjaran,

sementara

kewajiban

memusatkan perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja),
organisasi khusus (seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb).
Beberapa orang dapat merasakan altruisme sekaligus kewajiban, sementara yang
lainnya tidak. Altruisme murni memberi tanpa memperhatikan ganjaran atau
keuntungan.
Konsep ini telah ada sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat dan etika, dan akhirakhir ini menjadi topik dalam psikologi (terutama psikologi evolusioner), sosiologi,
biologi, dan etologi. Gagasan altruisme dari satu bidang dapat memberikan dampak
bagi bidang lain, tapi metoda dan pusat perhatian dari bidang-bidang ini menghasilkan
perspektif-perspektif berbeda terhadap altruisme.
Gagasan altruisme
Konsep ini memiliki sejarah panjang dalam filosofis dan etika berpikir. Istilah ini awalnya
diciptakan oleh pendiri sosiologi dan filsuf ilmu pengetahuan, Auguste Comte, dan telah
menjadi topik utama bagi psikolog (terutama peneliti psikologi evolusioner), biologi
evolusioner, dan etolog. Sementara ide-ide tentang altruisme dari satu bidang dapat
memberikan dampak pada bidang lain, metode yang berbeda dan fokus bidang-bidang
ini menghasilkan perspektif yang berbeda pada altruisme.
Nilai altruisme dalam keperawatan

Pengertian : Peduli dengan kesejahteraan orang lain

25

Sikap dan Kualitas Pribadi :

Perhatian, komitmen, kasihan, kemurahan hati, ketekunan

Perilaku Profesional :

1. Berikan perhatian yang penuh pada klien ketika memberikan perawatan


2. Bantu rekan perawat lainnya dalam memberikan perawatan ketika mereka tidak
dapat melakukannya
3. Tunjukkan perhatian pada kecenderungan dan masalah sosial yang memiliki
implikasi perawatan kesehatan
B.Jurnal Terkait.
TUBAN (jurnalberita.com) - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan lagi menjadi urusan suami istri dalam
rumah tangga atau keluarga. Kini hal itu sudah menjadi urusan publik, kerabat keluarga dan masyarakat untuk
pencegahan dan pengawasan agar kekerasan dalam keluarga tidak marak terjadi.
Hal ini disampaikan oleh Nunuk Fauziyah, mantan aktivis perempuan kelahiran Lamongan, 10 Juni sekaligus Ketua
Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) Kabupaten Tuban saat ditemui jurnalberita.com di kantornya, Jumat,
(11/5/12).
Data yang kami dapat dari tahun 2004-2012 sudah 697 kasus kekerasan yang ditangani oleh Koalisi Perempuan
Ronggolawe (KPR) Tuban. Dari bulan Januari-Mei 2012 ini saja sudah ada 35 kasus kekerasan yang ditangani KPR,
daiantaranya kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan pada perempuan, penelantaran anak,
pemerkosaan dan pembunuhan.
Dengan angka ini Pemerintah Kabupaten Tuban belum ada tindakan secara riel dalam menangani kasus-kasus ini,
penanganan secara hukum ataupun untuk meminimalisir kasus-kasus kekerasan ini agar tidak bertambah banyak,
ujar Nunuk Fauziyah.
Pemerintah kabupaten Tuban sudah seharusnya membuat Peraturan Daerah (Perda), untuk mengatur mekanisme
pelayanan yang sesuai dengan undang-undang yang ditentukan, sehingga para korban bisa mendapatkan hakhaknya. Diantarannya, perlindungan, pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis, penanganan secara khusus
berkaitan dengan kerahasiaan korban, bantuan hukum, dan pelayanan bimbingan rohani, tambah Nunuk Fauziyah
secara tegas.

26

Dalam agenda terdekat Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) akan membuat Rumah Pengaduan Pedesaan (RPP),
untuk memberi pendidikan, informasi, dan konseling, agar kasus-kasus kekerasan tidak terus
bertambah. (jbc18/jbc2)
GRESIK (jurnalberita.com) Sidang lanjutan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan terdakwa,
Imam Gunarso (30), warga Dusun Tugu RT.01 RW 02 No.7 Desa Jono Kecamatan Cerme, kembali digelar dengan
agenda pembacaan tuntutan.
Dalam tuntutannya, jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Gresik, Dwi Setyadi SH menyatakan,
terdakwa terbukti melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan menuntut terdakwa dengan
hukuman 4 bulan perjara.
Usai pembacaan dan mendengar tuntutan JPU, majelis hakim yang diketuai Fathul Mujib SH memberikan
kesempatan terdakwa untuk mengajukan pledoi. Namun, dalam persidangan, terdakwa hanya meminta pada majelis
hakim agar berlaku bijaksana dan memberikan vonis pada dirinya dengan seadil-adilnya. Sidang ditunda minggu
depan untuk mendengarkan putusan.
Terdakwa, Imam Gunarso, dimajukan ke depan meja hijau setelah melakukan tindak kekerasan pada istrinya, Wahyu
Dwi Astuti, dengan cara melayangkan pukulan ke wajah istrinya dan mendorongnya hingga tersungkur. Tak hanya
itu, terdakwa juga mengeluarkan kata-kata yang memanaskan kuping.
Tak terima dengan perlakuan suaminya, Wahyu Dwi Astuti kemudian melaporkan perbuatan tersebut ke aparat
kepolisian sektor (Polsek) Cerme. Setelah kasusnya dilimpahkan ke Kejari Gresik, kini Imam Gunarso harus
menghadapi tuntutan hukuman dan menunggu vonis dari Hakim Pengadilan Negeri Gresik. (jb6/jb2)

C.Implementasi diindonesia
Menurut Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(PKDRT) No.23 Tahun 2004 (pasal 5), bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga
adalah kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat. Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan Seksual adalah setiap
perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan
atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan atau tujuan tertentu. Penelantaran Rumah Tangga adalah seseorang
yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu,
27

penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan


ekonomi dengan cara membatasi, dan atau melarang untuk bekerja yang layak di
dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bagi masyarakat Indonesia bukanlah
fenomena baru. Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan yang mengatakan bahwa 11,4 % dari 217 juta penduduk
Indonesia atau 24 juta terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dan
terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga (Soedjendro, 2005). Menurut catatan
Mitra Perempuan, hanya 15,2 % perempuan yang mengalami KDRT menempuh jalur
hukum, dan mayoritas (45,2 %) memutuskan pindah rumah dan 10,9 % memilih diam.
Berdasarkan studi kasus persoalan Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang masuk di Rifka
Annisa Womens Crisis Center pada tahun 1998, dari 125 kasus KTI, 11 % diantaranya
mengakhiri perkawinannya dengan perceraian, 13 % mengambil jalan keluar dengan
cara melaporkan suami ke polisi, ke atasan suami, atau mengajak berkonseling, dan
mayoritas korban (76 %) mengambil keputusan kembali kepada suami dan menjalani
perkawinannya yang penuh dengan kekerasan (Hayati, 2002).
Berbagai bentuk kekerasan rumah tangga yang terjadi tentu saja menimbulkan
berbagai dampak negatif bagi diri korban dan anak-anaknya. Kekerasan fisik umumnya
berakibat langsung dan dapat dilihat mata seperti cidera, luka, cacat pada tubuh dan
atau kematian. Kekerasan emosional atau psikologis umumnya sulit terlihat dan jarang
diperhatikan tetapi membawa dampak yang jauh lebih serius dibanding bentuk
kekerasan yang lain. Akibat psikis ringan yang dialami antara lain ketakutan, perasaan
malu, terhina dan terasing. Sedangkan akibat psikis yang lain yang dialami antara lain
perasaan rendah diri, hilangnya konsep diri dan kehilangan rasa percaya diri. Akibatakibat psikis tersebut tentu saja tidak baik bagi perkembangan mental para korban
karena menghambat potensi-potensi diri yang seharusnya berkembang. Kekerasan
seksual dapat menimbulkan gangguan pada fungsi reproduksi, haid tidak teratur, sering
mengalami keguguran, dan kesulitan menikmati hubungan seksual.
Data di atas menunjukkan bahwa kekerasan rumah tangga menjadi problem
serius yang dihadapi sebagian kaum perempuan di Indonesia. Meskipun banyak
dikutuk di hampir seluruh lapisan dunia, kekerasan terhadap perempuan khususnya

28

KDRT ini tidak juga mereda bahkan dari masa ke masa jumlah korban terus meningkat.
Keadaan ini tidak sesuai dengan Deklarasi RAN PKTP (Deklarasi Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan) yang bertujuan untuk
menghentikan dan memperbaiki kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan dalam rumah tangga ini menjadi masalah bersama yang harus
segera ditangani dan dicari solusinya. Jika masalah KDRT tidak ditangani serius maka
akan menimbulkan penderitaan yang semakin mendalam pada korban. Disamping itu,
kekerasan rumah tangga yang dibiarkan akan semakin rumit sehingga membutuhkan
penanganan yang lebih kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan
menggali faktor-faktor penyebab dan pemicu kekerasan dalam rumah tangga, dan
bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga serta dampak-dampaknya dan apa
solusi para istri untuk memecahkan masalah kekerasan dalam rumah tangga.
Issu tentang kekerasan dalam rumah tangga.
Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah
satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan
KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi
konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
(Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undangundang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah di artifikasi oleh
pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang
terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan
sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan.
Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Pada tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung
dalam Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
(Jangka-PKTP),

yang

merupakan

gabungan

LSM

perempuan

se-Indonesia,

29

membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


menjadi UU.
Kelompok mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan lakilaki dimana laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan
wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua, faktor
Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, dimana diskriminasi dan pembatasan
kesempatan bagi perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri)
ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri
mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor beban pengasuhan anak dimana istri
yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak.
Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalahkan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu faktor wanita
sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut
hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita.

Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan

kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar


menjadi tertib, Kelima faktor orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi
wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya,
diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda
atau ditutup.

Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya

legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks
harmoni keluarga.
Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia.
Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh
umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan
pemerataan.

Pembangunan

negara

yang

diongkosi

utang

luar

negeri,

dan

merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah
meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia
berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak

30

karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi


inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan,
termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu
ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah
melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan
yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi
sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan
berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual
seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman
sebagian

masyarakat

mengenai

dampak-dampak

kekerasan

dan

bagaimana

seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah


dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada
orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan
kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat
rendah.
Untuk persoalan

ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara.

Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan
pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur
karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari
istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami
diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti
menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum
yang tegas dan menyeluruh.
Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya
pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1)
menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga

31

juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi
kekerasan dalam rumah tangga masih minim. Masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan aparat penegak hukum
masih timbul berbagai persepsi.
Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan
dalam UU lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya
tindak pidana berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan
dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk
menyamakan persepsi.
Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama
bagi para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi
pihak yang mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia
dapat memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya.
UU PKDRT perlu direvisi pada bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis
kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan
harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas
kesetaraan gender, antara lain dengan merevisi UU Perkawinan, agar peraturan
perundang-undangan bisa saling mendukung dan tidak saling bertentangan, supaya UU
PKDRT dapat dirasakan efektivitasnya.
Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada
umumnya. Apabila negara tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan
yang diatur dalam UU PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan
dalam law in action (praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum
harus ditegakkan.

32

BAB III
PEMBAHASAN

Studi Kasus
Ny.N datang ke UGD RS X dengan wajah lebam, nyeri pada bagian yang lebam dan
sedikit pusing.klien mengaku terpelest di kamar mandi. Pada pemeriksaan fisik ,
ditemukan kejanggalan-kejanggalan oleh perawat seperti adanya memar hampir
diseluruh tubuh ,padahal klien mengatakan saat terpeleset dengan posisi miring ke kiri
sehingga menyebabkan wajah dan pelipis kiri mengalami kebiruan. Setelah
dilakukannya anamnesa lebih jauh ,akhirnya dengan berliangan air mata ibu N
mengatakan kalau baru dihajar oleh suaminya.menurut ibu N sebenarnya suaminya
baik, namun dalam 5 tahun terakhir ini sering menjadi tempramental dan bermain
tangan.hal ini terjadi karena menurut ibu N karena memang ada orang ketiga.ibu N
mengatakan sebenarnya tidak tahan menghadapi prahara rumah tangga ,namun jika
ingin bercerai tidak tahu apa yang harus dilakukan,karena sejak memiliki anak pertama
ibu N disuruh berhenti bekerja dan jika bercerai takut tidak mampu membiayai
kehidupan anak-anaknya
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa;
1.Suami sudah melakukan kekerasan terhadap istrinya
2.Sudah ada orang ketiga /perselingkuhan
3.Tidak memberikan kebebasan kepada seorang istri untuk bekerja membantu suami.
1. Faktor Perilaku
Faktor perilaku seseorang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga baik pelaku maupun korban. Faktor perilaku disini adalah kebiasaan buruk yang
dimiliki seseorang seperti: gampang marah, pemain judi, pemabuk, pencemburu,
cerewet, egois, kikir dan tidak bergaul dengan lingkungan. Perilaku yang demikian

33

sebenarnya dapat menjadi penyebab apabila ada faktor lain yang turut mempengaruhi
sehingga seseorang yang berperilaku tersebut dengan lingkungan.
perilaku yang buruk yaitu gampang marah, pencemburu dan suka minum sampai
mabuk dan telah dua kali istri saya melapor kepada pihak yang berwajib karena
melakukan kekerasan dan keonaran dalam rumah.
Dalam suatu tindak pidana tentulah terdapat faktor-faktor penyebab terjadinya tindak
pidana tersebut. Hal ini digambarkan dalam peristiwa pasangan suami isteri yang
mempunyai pola hidup dengan penuh kekerasan telah mempunyai anak, yang paling
merasakan dampaknya adalah anak-anak. Memang dampak secara fisik tidak akan
selalu ada akan tetapi dampak secara psikologis itulah yang paling berbahaya sehingga
dimungkinkan anak-anak tersebut ketika besar dan telah berkeluarga kelak akan
melakukan hal yang sama terhadap isteri atau keluarganya sebagaimana bapak dan
ibunya dahulu.
bahwa perilaku buruk sangat mempengaruhi seseorang dalam bertindak baik
dalam lingkup rumah tangganya maupun dalam pergaulannya di dalam masyarakat.
Mereka yang telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga datang pada
lembaga yang dikelolanya untuk meminta perlindungan sekaligus meminta bimbingan
rohani adalah termasuk orang yang mempunyai perilaku yang kurang baik seperti
malas mengurus rumah tangga, tidak taat kepada pelaku, suka keluar rumah dan tidak
taat beribadah.

34

Beberapa kasus yang terjadi, dimana pelaku maupun korban pada umumnya mereka
yang mempunyai perilaku kurang baik, seperti pemarah, pencemburu, egois, boros,
pemain judi, pemabuk, suka main perempuan dan tidak atau kurang taat menjalankan
ibadah sesuai agama yang dianut dan diyakininya, dapat menjadi pemicu terhadap
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
2. Faktor Perselingkuhan
Faktor

penyebab

terjadinya

kekerasan

dalam

rumah

tangga

adalah

perselingkuhan. Perselingkuhan adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan


terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Berbagai alasan yang secara umum
nyatakan bahwa karena adanya perselingkuhan dari salah satu pihak baik yang
dilakuan oleh suami atau istri keduanya dapat menjadi pemicu adanya kekerasan
dalam rumah tangga yang bentuknya

dapat berupa kekerasan fisik, psikis dan

penelantaran rumah tangga.


Kekerasan fisik dapat terjadi apabila suami yang berselingkuh tetapi istri selalu
mempersoalkan masalah tersebut, selalu marah-marah, cemburu. Hal ini dapat memicu
emosi suami untuk bertindak kasar sampai memukul istri., demikian juga jika istri yang
selingkuh apabila suami mengetahui ada yang langsung memukul istrinya ada pula
yang tidak langsung seperti memperingati istrinya kalau menurut larangan suami maka
dapat terjadi percekcokan berujung pada kekerasan fisik terhadap istri. Hal ini juga
dapat terjadi pada anak perempuan, ipar perempuan dan pembantu perempuan yang
berpacaran dengan seseorang yang tidak direstui keluarga, tentunya ia dilarang

35

berhubungan tapi apabila mereka tidak mengindahkan larangan tersebut, maka dapat
pula berujung pada kekerasan fisik.
Kekerasan psikis ini terjadi apabila suami selingkuh tetapi istri tidak mau atau tidak
mampu untuk mempersoalkan karena alasan takut di pukul, takut diceraikan atau malu
pada keluarga, maka ia memilih untuk diam atau dengan perasan sakit hati (psikis).
Seperti yang dikemukan oleh ibu Yolanda Ibrahim (wawancara pada tanggal 6 Januari
2012) mengemukan bahwa suaminya lebih dari 3 tahun terakhir berhubungan dengan
seseorang perempuan yang tidak jelas satusnya apakah telah kawin siri atau belum.
Telah membuat saya menderita batin, merasa tertekan, dilarang banyak keluar rumah
tanpa izin dan selalu dihantui rasa ketakutan kalau saya bertanya saja misalnya dari
mana terlambat pulang suami langsung marah-marah dan merusak barang-barang
yang ada di dekatnya. Suami saya tidak pernah melakukan kekerasan fisik terhadap
saya karena berusaha menghindari pertengkaran yang dapat berujung pada kekerasan
fisik.
Penelantaran rumah tangga, bentuk kekerasan ini dapat pula terjadi karena apabila
seorang suami mempunyai selingkuhan, biasanya melakukan hal-hal yang di luar
kebiasaannya, seperti mengurangi jatah belanja istrinya, sering meninggalkan rumah
tanpa sepengetahuan istri. Seperti yang dikemukan oleh ibu Sita bahwa selama satu
tahun suaminya selingkuh dengan seorang perempuan walau suaminya tidak sampai
memukul, tetapi suaminya tidak lagi memperhatikan saya dan anaknya serta uang
belanja, sekarang suami yang mengatur dan bahkan berkurang. Suami saya sering

36

keluar rumah bahkan sampai bermalam dan tidak memberitahukan kepada saya seperti
biasanya termasuk tidak meninggalkan uang belanja.
Berdasarkan gambaran yang dikemukan tersebut di atas maka faktor perselingkuhan
sebenarnya banyak mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
3. Faktor Ekonomi.
kasus-kasus yang dilaporkan karna alasan ekonomi memang pada umumnya
karna penghasilan kurang yaitu ada tuntutan istri yang selalu minta lebih kepada suami,
sedangkan

suami

tidak

mampu

memenuhinya.

Tetapi

ada

juga

dari

yang

berpenghasilan cukup atau berlebih yaitu karena korban atau istri tidak bisa mengatur
keuangan rumah tangga, sehingga berapapun besarnya uang yang diberikan selalu
habis.
Hal senada di sampaikan oleh Patahuddin B, SH (wawancara, tanggal 23 Januari 2012)
bahwa kalau sepintas lalu seseorang memukul istri karena masalah ekonomi, disini
bukan hanya karna penghasilan rendah tetapi juga ada yang berpenghasilan cukup.
Faktor ekonomi juga sangat bervariasi bentuknya, misalnya istri selalu minta uang
belanja melebihi jumlah penghasilan suaminya. Si suami yang punya tempramen tinggi
dan cepat marah setiap istri minta uang belanja selalu dibalas kata-kata kasar bahkan
dengan pukulan. Kasus lain dimana pelaku bukan karna kekurangan tetapi berlebih
atau cukup sehingga selain memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan cukup,
juga memakai untuk membiayai hidup perempuan selingkuhnya, sehingga sedikit

37

tersinggung langsung memaki-maki atau memukul istrinya karna untuk menutupi


perselingkuhannya.
Kasus yang lain yakni ketika istrinya selalu menghina, selalu mencelanya bahkan
memaki-makinya kalau ada masalah di dalam rumah tangga, bukan karena kurang
uang bahkan dapat dikatakan berlebih hanya dalam hal ini disebakan karena
penghasilan istri yang memenuhi segala keperluan rumah tangga. Kalau suami merasa
kesal diperlakukan demikian cekcok maka biasanya berujung pada kekersan fisik.
Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi karena faktor ekonomi relatif dapat di
lakukan baik yang berpenghasilan cukup maupun yang berpenghasilan kurang dapat
berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, hanya bentuknya
beda

4. Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan Terhadap Istri


Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka
masyarakat

perlu

digalakkan

pendidikan

mengenai

HAM dan

pemberdayaan

perempuan; menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti


kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk
memecahkan masalah; mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan;
mempromosikan kesetaraan jender; mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban
melalui media.
Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari
bantuan pada Psikolog untuk memulihkan kondisi psikologisnya.
Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan agar akar
permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar
untuk berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan

38

dalam pola pikir suami dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan
akan kembali terjadi.
Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif
dan belajar untuk berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada
LSM yang menangani kasus-kasus kekerasan pada perempuan agar mendapat
perlidungan.
Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam terapi kelompok dimana masingmasing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa hubungan
perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa
saling empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan
me-manage emosi sehingga jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan
kekerasan karena berpotensi anak akan mengimitasi perilaku kekerasan tersebut. Oleh
karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi
sedini mungkin namun semua itu harus diawali dari orangtua.
Sebagai penutup dari artikel ini, saya berharap semoga uraian di atas berguna
bagi para pembaca sehingga pembaca turut berpartisipasi untuk menghentikan budaya
kekerasan yang terjadi masyarakat kita.
5. Implikasi keperawatan yang dapat diberikan untuk menolong kaum
perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah :
1. Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, shelter dan one stop
crisis center.
2. Memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban.
Disini perawat dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban,
memfasilitasi ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang
memungkinkan. Perawat berperan penting dalam upaya membantu korban
kekerasan diantaranya melalui upaya pencegahan primer terdiri dari konseling
keluarga, modifikasi lingkungan sosial budaya dan pembinaan spiritual, upaya
pencegahan sekunder dengan penerapan asuhan keperawatan sesuai permasalahan yang dihadapi klien, dan pencegaha tertier melalui pelatihan/pendidikan, pembentukan dan proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi.
3. Memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan.

39

4. Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.


5. Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan
dalam rumah tangga sebagai bekal perawat untuk mendampingi korban.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan

40

1. Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang
mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana.

Bentuk kekerasannya dapat

berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah
tangga.
2. Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga
yaitu pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang
ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi
peradilan pidana pada laki-laki.
3. Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat
mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan
bersalin, serta setelah melahirkan dan bayi yang dilahirkan.
4. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat
antara lain mesupport secara psikologis korban, melakukan pendamping-an,
melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan crisis women centre.
5. Fenomena gunung es KDRT mulai terungkap setelah undang-undang KDRT tahun
2004 diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya masalah privacy manjadi
masalah publik ditandai laporan kasus KDRT semakin meningkat setiap tahunnya
dan pelaku mendapat hukuman pidana walaupun saat ini kultur Indonesia masih
dominasi laki-laki.
6. Perilaku peduli sangatlah penting untuk keperawatan. Kinerja perawat khususnya
pada perilaku peduli menjadi sangat penting dalam mempengaruhi

kualitas

pelayanan dan kepuasan pasien terutama di rumah sakit, dimana kualitas


pelayanan menjadi penentu citra institusi pelayanan yang nantinya akan dapat
meningkatkan kepuasan pasien dan mutu pelayanan

B. SARAN
Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya
menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus
KDRT lebih ditingkatkan pengawasannya.

41

Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan
dampak yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap
Rumah Sakit memiliki ruang perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan
kondisi psikisnya.
Bagi para istri harus dapat asertif kepada orang lain, dan berani berkata tidak pada
pasangan apabila sesuatu hal tidak berkenan di hatinya.
Bagi para praktisi masalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga untuk
memberikan penguatan psikologis pada perempuan kekerasan dalam rumah tangga.
Hal ini perlu dilakukan karena pada umumnya perempuaan korban kekerasan dalam
rumah tangga mengalami kerapuhan psikologis sebagai akibat penolakan, penyianyiaan dan kekerasan oleh pasangan.
Bagi para pelaku kekerasan (suami), agar bisa mengerti dan memahami kalau anak
dan istri adalah merupakan tanggung jawabnya, sehingga masalah-masalah yang
timbul seperti penghasilan yang tidak diberikan kepada istri tidak terjadi karena adanya
rasa tanggung jawab dari suami. Begitu juga dengan gaya hidup yang berbeda, agar
adanya saling pengertian satu sama lain dan suami yang bekerja di luar kota agar tetap
menjaga komunikasi dengan keluarga terutama terhadap istri dan anak-anaknya,
supaya masalah-masalah yang ada tidak menimbulkan kekerasan dalam rumah
tangga.

DAFTAR PUSTAKA
Saraswati, R. (2009). Perempuan dan penyelesaian kekerasan dalam rumah
tangga. Bandung: Citra Aditya Bakti.

42

Subhan, Z. (2001). Kodrat perempuan takdir atau mitos. Yogyakarta: Pustaka


Pesantren.
Subhan, Z. (2004). Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Tarigan, A., Sutjipto, A., Wibawa, D., Yudhan, E., Soenaryo, H., Harsono, I., &
Tjambang, J., dkk. (2001). Perlindungan terhadap perempuan dan anak
yang menjadi korban kekerasan: (Bacaan bagi awak ruang pelayanan
khusus-police women desk) Derap-warapsari psikologi feminins.
Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
Poerwandari, E.K. (2000). Kekerasan terhadap perempuan: Tinjauan psikologi
feminimistik, pemahaman bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap
perempuan dan alternative pemecahannya. Jakarta: Pusat kajian Wanita &
Jender UI.
Alhabib, S., Nur, U., & Jones, R. (2009). Domestic violence against women:
Systematic review of prevalence studies. LLC: Springer Science Business
Media.
Djannah, F., Rustam, N.S.M., & Batubara, C. (2002). Kekerasan terhadap istri.
Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara.
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak
dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep.
Kes. RI
__________. (2006). Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari
http://www.depkes.co.id.
Hasbianto, Elli N.

(1996).

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Potret Muram

Kehidupan
Perempuan Dalam Perkawinan, Makalah Disajikan pada Seminar Nasional
Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual. UGM
Yogyakarta, 6 November.

43

Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia.


Jakarta: Ameepro.
Kompas. (2006). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi.
Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com.
Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil
pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.
Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence Againts Women Increases The Risk Of
Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua. The
International Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.
Rahman, Anita. (2006). Pemberdayaan PerempuanDikaitkan Dengan 12 Area of
Concerns (Issue Beijing, 1995). Tidak diterbitkan, Universitas Indonesia,
Jakarta, Indonesia.
Sciortino, Rosalia dan Ine Smyth. (1997). Harmoni: Pengingkaran Kekerasan
Domestik di Jawa. Jurnal Perempuan, Edisi: 3, Mei-Juni.
WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan
Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI.
____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada
tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.
Hayati, E. N. (2000). Menggugat Harmoni. Yogyakarta: Kerjasama Rifka Annisa
Womens Crisis Center Dengan Ford Fondation.
________. (2001). Derita Dibalik Harmoni. Yogyakarta: Rifka Annisa Womens Crisis
Center.
________. (2002). Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan,
Konseling Berwawasan Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa Womens Crisis
Center.
Kalibonso, R. S. (2002). Kejahatan Itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jurnal Perempuan. Vol 25 (7-21).
Koblinsky, M. Timyan, J. Gay, J. (1997). Kesehatan Wanita: Sebuah Perspektif Global
Terjemahan Utarini, A. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

44

Meiyenti, S. (1999). Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga.


Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
Mosse, J. C. (2003). Gender Dan Pembangunan. Yogyakarta: Kerjasama Rifka Annisa
Womens Crisis Center Dengan Pustaka Pelajar.
Nurani, A. (2004). Sikap Jender Patriarkhis Dan Kekerasan Terhadap Istri. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala.
RAWCC. (2001). Menjadi Suami Sensitif Gender. Yogyakarta: Rifka Annisa Womens
Crisis Center.
Suharman. (1997). Kekerasan Terhadap Perempuan, Refleksi Sebuah Ketimpangan
Kekuasaan Rejim Yang Kehidupan Kelaki-lakian. Perempuan Dalam Wacana
Perkosaan. Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia.
Subekti, R. Tjisudibio, R. (2003). Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: PT.
Pradnya Paramita.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

45

Anda mungkin juga menyukai