Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa
disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung,
tetapi sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman
pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro
muscular (neuro muscular junction) dan saraf autonom(1).
Manifestasi sistemik tetanus disebabkan oleh absorbs eksotoksin sangat
akut yang dilepaskan oleh clostridium teteni pada masa pertumbuhan aktif dalam
tubuh manusia(2).
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah
mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari
keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan,
seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada
tetanus neonatorum, yaitu Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora
selama di luar tubuh manusia, tersebut luas di tanah. Juga terdapat di tempat yang
kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik
(didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat
menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmi,
yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot(3).
Kebanyakan kasus tetanus dihubungkan dengan jelas traumatis, sering
luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen
gelas, atau injeksi tidak steril, tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa
riwayat trauma. Tetanus pasca injeksi obat terlarang menjadi lebih sering,
sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses (termasuk
abses gigi), pelubangan cuping telinga, ulkus kulit kronis, luka bakar, fraktur
komplikata, radang dingin (frostbite), gangren, pembedahan usus, dan sirkumsisi
wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang
terkotaminasi atau sesudah injeksi intramuscular obat-obatan(4).

Tetanus sudah dikenal oleh orang-orang dimasa lalu, yang dikenal karena
hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot. Pada tahun 1884,
Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus
yang hidup bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut
diterangkan pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang
mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka
mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik
syaraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia
yang fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, Clostridium tetani
terisolasi dari suatu korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang
kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika
disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan
oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard
menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di
dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan
perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun
1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh
luka-luka pertempuran selama Perang Dunia II(5).

BAB II
TETANUS
I. Definisi
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit
ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat
dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta
diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala
klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf
pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot(4,6).
II. Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman
berbentuk batang ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 m dan mempunyai sifat(1,2,5,6) :
a. Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
b. Obligat anaerob (berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
c. Menghasilkan eksotosin yang kuat.
d. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam
suhu tinggi, kekeringan dan desinfektans.
e. Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di
daerah pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana,
mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan
dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam
lingkungan yang anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetative yang
akan menghasilkan eksotoksin.
f. Kuman ini memiliki toksin yang dapat menghancurkan sel darah merah,
merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang neuro
tropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot

g. Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan


tetanolisin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus.
Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah
2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70
kilogram (154lb) manusia.
h. Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak
memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga
tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.
i. Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya
terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada
suhu 249.8F (121C) selama 1015 menit. Juga resisten terhadap phenol
dan agen kimia yang lainnya.

Gambar Mikroskopik Clostridium tetani


III. Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang
tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan
adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia,
terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah
angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas
fisiknya. 2 Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak,
kuda dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini didaerah peternakan sangat
besar. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat
4

bertebaran di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk


antiseptic (dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi(1).
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan attack
rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologic. Cara bakteri ini masuk
tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui(1):
1. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar
yang luas
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan
penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.
IV. Patogenesis
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka
dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah,
nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen(6).
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi
luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan
produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktorfaktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh
strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah
menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan
penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan(6).

A. Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan
berbagai cara, sebagai berikut(6):
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka,
kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui
sinap ke dalam susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam
nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran
darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik,
namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui
pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan
beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam
pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan
dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara
intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran
darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat
penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain
melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan
transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf,
secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik
dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau
nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik
dan saraf inhibitor.

B. Mekanisme kerja toksin tetanus(6).


1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin
mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek
kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus
manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik,
penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan
dengan toksin tersebut
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik,
baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini
penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara
pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas.
Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin
tetanus yaitu toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan
dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas,
dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf.
Tetanus toxin(6).
Normal:
-

Inhibitory interneuron glycine

Blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation

Tetanus toxin:
-

Blocks glycine release

no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction spastic


paralysis

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter


Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti
glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin.
GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang

berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak
mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara
spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah
sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses
eksositosis.
C. Perubahan akibat toksin tetanus(6).
1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan
listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological
enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi
tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin
banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus
seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena
motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf
lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang
(interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi
toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.

Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala

ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat
tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel
saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.

Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar

biasanya berhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak,


seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau
antikonvulsan yang diberikan.

2. Aktifitas neuromuskular perifer(6).


Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga
mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di
susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP
tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP.
Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis
nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik
dari toksin atau karena axonopathi.
Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
a. Neuropati perifer
b. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot
yang terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai
beberapa bulan setelah sembuh.
c.

Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan pada sistem saraf autonom(6).


Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan
parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari
kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena
efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran
intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal).
Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ
seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan
kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ
tertentu.

V. Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari.
Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat
penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari
lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot
setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai
gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan
ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai
busur(1).
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit
ini menjadi nyata dengan(2):
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)
3. Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut)
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut
tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan,gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas , yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior
dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap
sadar. Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian
tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi
perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring.
Retensi urine dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna
vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan
cairan otak.

10

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu(4,6,7):


a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan
dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan
spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal
luka.
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,
pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).
Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan
biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal ini bisa berlanjut
menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
menimbulkan kematian. Bisa juga tetanus lokal ini dijumpai sebagai
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini
terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
b. Tetanus Cephalic
Tetanus cephalic adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1 2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya
benda asing dalam rongga hidung.
Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi
nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi
tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala
timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai (50%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku
kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot

11

punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot


pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia.
Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan
didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi
begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun
hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya
infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang
aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang
sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable
diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan
pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan
lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku
dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal,
ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan
fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia,
pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS
Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40
kasus tetanus biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional
( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan
20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ).
Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi
dari klasifikasi Abletts dapat dibagi menjadi IV diantaranya, yaitu(8):

Derajat I (tetanus ringan)


Trismus ringan sampai sedang (3cm)
Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
Tidak dijumpai disfagia atau ringan
Tidak dijumpai kejang
Tidak dijumpai gangguan respirasi

12

Derajat II (tetanus sedang)


Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)
Kekakuan jelas
Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan
Takipneu
Disfagia ringan

Derajat III (tetanus berat)


Trismus berat (1cm)
Otot spastis, kejang spontan
Takipne, takikardia
Serangan apne (apneic spell)
Disfagia berat
Aktivitas sistem autonom meningkat

Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :


Gangguan autonom berat
Hipertensi berat dan takikardi, atau
Hipotensi dan bradikardi
Hipertensi berat atau hipotensi berat

VI. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi(8):
-

Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa


riwayat luka.

Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan


otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek

Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun


spontan dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium(8):
-

Lekositosis ringan

Trombosit sedikit meningkat

Glukosa dan kalsium darah normal

Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

Enzim otot serum mungkin meningkat

13

EKG dan EEG biasanya normal

Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari


luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang
gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

VII. Komplikasi
Komplikasi

tetanus

yang

sering

terjadi

adalah

pneumonia,

bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada


sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat
menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat
menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem
kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi,
hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran
cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis
metabolik(2,4,6).
VIII. Penatalaksanaan
1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah(1,2,4,6).
1. Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus
bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam
termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman
tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan
sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain
1,2 juta 1 kali sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000
unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.

14

Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari


digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa
sudah ditegakkan diganti Penisilin G.
Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara
loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1
jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna
menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang
pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan
tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4
dosis dan diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200
mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah
gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.
2. Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing
dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita
mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat
dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat
dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin(1,2,4,6).
1. Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit,
setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara
IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus
neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak
diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang
berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga
untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal

15

dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus
dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera
mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus
sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat
efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991)
menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan
keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang
bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM
mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis
yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991)
mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk
meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP(1,2,4).
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.
Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot
yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi
ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal
menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi
pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam
yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian.
Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali
sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV
setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan
tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.
2. Barbiturat

16

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk


neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan
dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat
diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang
diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang.
Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10
mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
3. Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25
mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus.
Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan
syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.
2. Umum(2,6).
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan
dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum,
letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5 oC (36-37oC),
infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian
makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan
dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda
bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung
dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh
spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi
dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1.

Semua penderita dengan tetanus derajat IV

2.

Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali


dengan terapi konservatif dan PaO2

3.

Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain

17

X. Pencegahan
Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk
pencegahan, perlu dilakukan(1,2,4):

Perawatan luka.
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk,
luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama
perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan aerob.

Pemberian ATS dan toksoid Tetanus pada luka


Dengan Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka
baru (kurang dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi
aktif.

Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau Toksoid
tetanus.jenis imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis
kelamin. Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali,
DPT IV pada usia 18 bulan dan DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12
tahun diberikan DT. Toksoid tetanus diberikan pada wanita usia subur,
perempuan usia 12 tahun, dan ibu hamil. DPT/Dt diberikan setelah pasien
sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh
karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, dkk. Buku Ajar Infeksi &
Pediatric Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Badan
Penerbit IDAI, Jakarta. 2002. Hal 322 329
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Infomedika. Jakarta. 1986. Hal
568 573.
3. http://tongkal09.wordpress.com/2010/04/18/tetanus-pada-anak/
4. Behrman, kligman, Arvin. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Edisi 15. Vol. 2.
EGC. Jakarta. 2000. Hal 1004 1007.
5. http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/i-wayan-arditayasa078114135.pdf
6. http://referensikedokteran.com/2010/07/tetanus.html
7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysarafkiking2.pdf
8. http://www.4shared.com/document/jdZelxVS/TETANUS-1.html
9.

http://repository.usu.ac.id/2009/07/tetanus.html

19

Anda mungkin juga menyukai