Anda di halaman 1dari 17

REFERAT KASUS

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

Disusun Oleh:
Fitka Romanda
Frans Saputra
Kiky Putri Anjany
Muhamad Prayoga
M. Teguh Hadinata
Pramudita Widiastuti
Pratiwi Fatmasari Ningrum

J510165008
J510165034
J510165033
J510165065
J510165060
J510165056
J510165024

Pembimbing : dr. Agung Priatmaja Sp.KJ, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KSEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

REFERAT KASUS
POST TRAUMATIC STRESS DISORDER
Disusun Oleh:
Fitka Romanda

J510165008

Frans Saputra

J510165034

Kiky Putri Anjany

J510165033

Muhamad Prayoga

J510165065

M. Teguh Hadinata

J510165060

Pramudita Widiastuti

J510165056

Pratiwi Fatmasari Ningrum

J510165024

Telah disetujui oleh bagian program profesi Fakultas Kedokteran Universitas


Muhammadiyah Surakarta
Dipersentasikan dihadapan :
dr. Agung Priatmaja Sp.KJ, M.Kes

(.............................)

Disahkan Ka Program Pendidikan Profesi FK UMS


dr. Dona Dewi Nirlawati

(............................)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peristiwa traumatis mempengaruhi jutaan nyawa setiap tahunnya,
kesadaran masyarakat tentang dampak trauma mengalami peningkatan dalam
dekade terakhir. Peristiwa traumatis dalam skala besar seperti perang, bencana
alam, ataupun peristiwa lainnya yang terjadi pada skala yang lebih kecil,
seperti kecelakaan kendaraan bermotor, kekerasan seksual, kekerasan dalam
rumah tangga, dan penembakan. Seorang individu dapat mengalami trauma
dengan cara menyaksikan orang lain mengalami trauma, belajar dari trauma
yang dialami oleh anggota keluarga atau secara langsung. PTSD merupakan
kelainan psikologis yang umum diteliti setelah terjadinya bencana (Forneris,
et al, 2013; Tentama, 2014).
Sebanyak 60,7% laki-laki dan 51,2% perempuan akan mengalami
setidaknya satu peristiwa yang berpotensi traumatis dalam hidup mereka.
Prevalensi terjadinya PTSD seumur hidup secara signifikan lebih tinggi pada
wanita daripada pria. Prevalensi PTSD pada korban kejahatan adalah antara
19% dan 75%, sebanyak 80% telah dilaporkan terjadi pada korban
pemerkosaan. Prevalensi PTSD pada korban bencana langsung dilaporkan
sebanyak 30% -40%, dan pada petugas penyelamat adalah 10% -20%.
Prevalensi PTSD pada polisi, pemadam kebakaran, dan pekerja layanan
darurat berkisar antara 6% -32%. Tingkat prevalensi keseluruhan 4% untuk
populasi umum, tingkat penyelamatan pekerjaan/ pemulihan berkisar antara
5% sampai 32%, dengan tingkat tertinggi dilaporkan pada personil pencarian
dan penyelamatan (25%), petugas pemadam kebakaran dan pekerja tanpa
pelatihan sebelumnya untuk menghadapi bencana (21%) (Javidi, 2012).

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) diklasifikasikan dalam


gangguan anxietas. Gangguan anxietas atau kecemasan adalah bentuk
penyakit psikiatri yang paling banyak diderita. Gangguan anxietas memiliki
banyak tanda dan gejala dari rasa takut. Anxietas dapat bertahan lama meski
stressor yang menstimulasi telah dihilangkan dan ancamannya telah berlalu.
Seperti rasa nyeri kronik yang tidak memiliki makna yang berarti lagi,
demikian juga rasa cemas/anxietas tidak memiliki makna yang berarti. Bila
gejala tersebut bertahan hingga lebih dari 4 minggu, maka dapat didiagnosis
sebagai PTSD. Stresor yang menyebabkan acute stress disorder maupun
PTSD cukup luar biasa untuk mempengaruhi siapa saja. Stresor tersebut dapat
berasal dari pengalaman berperang, penganiayaan/penyiksaan, bencana alam,
pemerkosaan, kecelakaan seperti kecelakaan mobil, kebakaran dalam gedung.
Gejala dapat berupa depresi, cemas, dan gangguan kognitif (Sadock, 2007) .
Studi epidemiologi telah mengindikasikan prevalensi kejadian
traumatic yang dialami selama hidup adalah sebesar 40%-90%. Dan angka
kejadian prevalensi PTSD dalam suatu komunitas adalah sebesar 1%-9%. Ini
mengindikasikan bahwa tidak semua orang yang mengalami trauma akan
memiliki gangguan ini. Factor-faktor tambahan seperti kerentanan masingmasing dan variable-variabel post trauma pasti sangat berpengaruh. Ada
hubungan yang sangat kuat antara tingkatan bahaya yang dipersepsi oleh
seseorang terhadap suatu kejadian trauma dengan kemungkinan timbulnya
PTSD (APA, 2013)
Perang adalah salah satu stres paling intens yang dikenal manusia.
Angkatan bersenjata memiliki prevalensi lebih tinggi dari depresi, gangguan
kecemasan, penyalahgunaan alkohol dan PTSD. anak berisiko tinggi yang
telah disalahgunakan atau mengalami bencana alam mungkin memiliki
prevalensi lebih tinggi dari PTSD daripada orang dewasa jenis kelamin
perempuan, masalah kejiwaan sebelumnya, intensitas dan sifat paparan
peristiwa traumatik, dan kurangnya dukungan sosial yang dikenal faktor risiko
untuk PTSD yang berhubungan dengan pekerjaan. Bekerja dengan pasien

sakit parah, wartawan dan keluarga mereka, dan penonton yang menyaksikan
trauma serius dan perang berisiko lebih tinggi PTSD
Gejala PTSD paling sering timbul dalam hitungan jam atau hari pasca
peristiwa traumatis, kadang-kadang dapat muncul setelah beberapa minggu,
bulan, atau bahkan bertahun tahun. Untuk mendiagnosis PTSD, gejala harus
bertahan lebih dari 1 bulan pasca peristiwa traumatis dan sangat berpengaruh
terhadap kehidupannya, seperti keluarga dan pekerjaan. Pada DSM V ,
gangguan yang menyerupai PTSD disebut acute stress disorder, dimana gejala
yang timbul bertahan dalam kurun waktu 3 hari sampai dengan 1 bulan
(Sadock, 2007).
Bila gejala tersebut bertahan hingga lebih dari 4 minggu, maka dapat
didiagnosis sebagai PTSD. Stresor yang menyebabkan acute stress disorder
maupun PTSD cukup luar biasa untuk mempengaruhi siapa saja. Stresor
tersebut dapat berasal dari pengalaman berperang, penganiayaan/penyiksaan,
bencana alam, pemerkosaan, kecelakaan seperti kecelakaan mobil, kebakaran
dalam gedung. Gejala dapat berupa depresi, cemas, dan gangguan kognitif
(APA, 2013).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah suatu gangguan yang
bersifat kompleks karena mempunyai gejala-gejala yang mempunyai
kemiripan dengan gejala depresi, kecemasan, dan gejala gangguan psikologis
lain (Solichah, 2013).
Post Traumatic Stress Disorder

(PTSD) merupakan sindrom

kecmasan, ketidakstabilan emosi, dan kilas balik dari suatu pengalaman yang
amat pedih setelah stress fisik maupun emosi yang telah melampaui batas
ketahanan seseorang (Kaplan, 2002).
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan stress yang
berlangsung yang mengikuti kejadian traumatis (Solichah, 2013).
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD
sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang
mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya.
Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang
menimpa manusia, kecelakaan atau perang (WHO, 2005).
Hikmat (2005) mengatakan PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul
setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan, dan mengancam
jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, kekerasan
seksual (sexual abuse), atau perang.
Dalam DSM (Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders),
PTSD didefinisikan suatu kejadian atau beberapa kejadian traumatis yang
dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang berupa kematian atau
ancaman kematian, atau cidera serius, atau ancaman terhadap integritas fisik
atau diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan ketakutan yang
ekstrem, horor, atau rasa tidak berdaya (Gerald et.al. 2006).

B. Epidemiologi
Statistik pada anak-anak dan remaja menunjukkan bahwa hampir 40%
muncul paling tidak satu peristiwa traumatik yang dapat berkembang menjadi
PTSD pada hampir 15% terjadi pada anak perempuan, dan sebesar 6% terjadi
pada anak laki-laki. Hampir 100% dari anak-anak yang menyaksikan orang
tuanya dibunuh dan mengalami kekerasan seksual atau kekerasan rumah
tangga mengarah untuk dapat berkembang menjadi suatu PTSD (Edwards,
2010).
Insiden menderita PTSD sepanjang hidup diperkirakan sekitar 9-15%
dan prevalensi seumur hidupnya sekitar 8% populasi umum. Pada kelompok
resiko tinggi yang mengalami peristiwa traumatis angka prevalensi seumur
hidupnya 5-75%. Prevalensi seumur hidup perempuan 10-12% dan 5-6% pada
laki-laki. Di Amerika Serikat, gambaran resiko untuk menderita PTSD
sepanjang hidup menggunakan DSMIV dengan kriteria 75 tahun adalah
8,7%. Prevalensi selama 12 bulan diantara orang tua di AS sekitar 3,5%.
Perkiraan lebih rendah dapat dilihat di Eropa dan sebagian besar Asia, Afrika,
dan negara-negara Amerika Latin dikelompokkan sekitar 0,5% - 1,0%
( Sadock, 2007).
PTSD dapat terjadi pada usia berapapun dengan prevalensi tersering
dewasa muda akibat pajanan situasi penginduksi. Trauma pada laki-laki
biasanya berupa pengalaman berperang sedangkan pada perempuan kekerasan
dan perkosaan. Cenderung terjadi pada orang yang lajang, bercerai, janda,
menarik diri secara sosial, atau tingkat sosioekonomi rendah ( Sadock, 2007).
Di Indonesia meskipun belum terdapat data yang pasti berapa jumlah
anak yang mengalami PTSD akibat kejadian trauma bencana alam akan tetapi
dapat dikatakan jumlah anak yang mengalami PTSD meningkat seiring
dengan angka kejadian bencana alam yang terjadi. Di Indonesia sendiri, angka
kekerasan terhadapanak tidak pernah menunjukkan penurunan, berdasarkan
data yang ada ditemukan 1.891 kasus kekerasan pada tahun 2009, dan 1600
kasus pada tahun 2008.

C. Etiologi
Stress pasca trauma atau Post Traumatic Stress Disorder merupakan
stress yang berlangsung mengikuti kejadian traumatis. Bila PTS terakumulasi
sampai menghasilkan kumpulan gejala (symptom) seperti yang tercantum
dalam DSM IV maka disebut sebagai PTSD. PTSD (Post traumatic stress
disorder) sebagai sebuah bentuk gangguan psikologis yang kompleks yang
dikaitkan dengan berbagai peristiwa besar yang menimbulkan banyak korban
atau peristiwa yang dapat menimbulkan ketakutan yang kuat atau kengerian,
misalnya gempa bumi, atau peristiwa lama lainnya, perang, dan kekerasan
termasuk perkosaan. Perkosaan sebagai bentuk kekerasan seksual yang paling
ekstrim, memiliki kemungkinan lebih besar untuk menimbulkan gejala PTSD
(Post traumatic stress disorder) bagi korbannya.
Menurut Keane (2006) mengelompokkan factor resiko PTSD kedalam 3
kategori :
1. Factor yang sudah ada dan unik bagi setiap individu
Factor yang sudah ada, seperti kontribusi genetic, jenis kelamin
seperti pada pria lebih berpeluang mengalami trauma (seperti pertarungan)
sedangkan wanita lebih berpeluang mengalami PTSD.
2. Factor yang terkait dengan kejadian traumatis
Pengalaman cedera tubuh. Dalam suatu penelitian, tentara yang
terluka yang terluka lebih berpeluang mengalami PTSD, mereka yang
terlibat pertempuran yang sama namun tidak terluka.
3. Factor kejadian yang mengikuti pengalaman traumatis
Factor ketiga yaitu berfokus pada apa yang terjadi setelah
mengalami trauma.

D. Faktor Resiko PTSD


Ketika dihadapkan dengan trauma yang luar biasa dapat menimbulkan
gejala PTSD pada sebagian besar orang. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor
resiko yang berperan. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Faktor usia
PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak dan
usia > 60 tahun merupakan kelompok usia yang lebih rentan mengalami
PTSD. Anak-anak memiliki kebutuhan dan kerentanan khusus jika
dibandingkan dengan orang dewasa, karena masih adanya rasa
ketergantungan dengan orang lain, kemampuan fisik dan intelektual yang
sedang

berkembang,

memecahkan

berbagai

serta

kurangnya

persoalan

pengalaman

sehingga

dapat

hidup

dalam

mempengaruhi

perkembangan kepribadian seseorang. Prevalensi PTSD 2 kali lipat lebih


banyak terjadi pada wanita daripada pada laki-laki. Hal ini terjadi karena
kerentanan pada wanita yang mudah terkena kekerasan (Matthew, 2000).
Pada remaja juga rentan terjadi PTSD karena masa remaja masih
mempunyai sifat labil dan rentan terhadap berbagai masalah (Tentama,
2014).
2. Faktor sosial
Adanya ketidak stabilan dan dukungan sosial dalam suatu keluarga
kehidupan masa kecil yang buruk, perubahan kehidupan yang penuh
dengan stress atau tekanan serta terjadinya perceraian dapat meningkatkan
prevalensi terjadinya PTSD (Greenberg et al, 2015).

3. Faktor Lingkungan
Adanya kondisi sosial ekonomi yang rendah, pendidikan rendah
dan karakteristik budaya (Arnaudova, 2015).
4. Durasi trauma dan banyaknya trauma yang dialaminya.
Semakin lama / kronik seseorang mengalami kejadian trauma
semakin berisiko berkembang menjadi PTSD. Trauma yang multipel lebih
berisiko menjadi PTSD (Weems, 2007).

E. Patofisiologi PTSD
Stressor
Menurut defisinisinya, stressor adalah faktor penyebab utama dalam
perkembangan ganguan stress pascatraumatik. Tetapi tidak setiap orang
mengalami gangguan stress pascatraumatik setelah suatu peristiwa traumatic.
Walaupun stressor diperlukan, stressor tidak cukup untuk menyebabkan
gangguan. Adanya faktor biologis individual yang telah ada sebelumnya, faktor
psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma juga
mempengaruhi terjadinya gangguan. Faktor kerentanan yang merupakan
predisposisi yang tampkanya memainkan peranan penting dalam menentukan
apakah gangguan berkembang adalah
1.

adanya trauma masa anak-anak

2.

sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen atau antisocial

3.

sistem pendukung yang tidak adekuat.

Aspek biologis dari gangguan stress pasca trauma


Gejala-gejala gangguan stress paskatrauma timbul sebagai akibat dari
respons biologic dan juga psikologi seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh
karena aktivasi dari beberapa sistem di otak yang berkiatan dengan timbulnya
perasaan takut pada diri seseorang.terpaparnya seserorang oleh persitiwa yang
traumatic akan menibulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan
menilai kondisi berbayahaya yang dialami. Jika seseorang mengalami tekanan

maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan pengeluaran katekolamin(sistem


saraf simpatis) dan hormone kortisol. Katekolamin yang meningkat ini akan
membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika hormone
kortisol gagal dalam menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan
tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan
dari ingatan-ingatan peristiwa traumatic yang dialami.
Aspek psikodinamik dari gangguan pasca trauma
Model psiodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stress pasca trauma
terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang belum
terselesaikan dari masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatic yang dialami
maka konflik-konflik psikologis yang belum diselesaikan itu akan tereaktivasi
kembali. Sistem ego akan kembali tereaktivasi dan berusaha untuk mengatasi
masalah dan meredakan kecemasan yang terjadi.
Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stress
pasca trauma adalah:
1. Arti subjektif dari stressor yang dialami mungkin menentukan dampak
peristiwa traumatic yang dialami oleh seseorang.
2. Kejadian traumatic yang dialami mungkin mereaktivasi konflik-konflik
psikologis akibat peristiwa trauatik di masa kanak.
3. Persitiwa traumatic akan membuat seseroang gagal untuk meregulasi
sistem afeksinya.
4. Refleksi peristiwa traumatic yang dialami mungkin akan timbul dalam
bentuk somatisasi atau aleksitimia.
5. Beberapa sistem defense yang sering digunakan pada individu dengan
gangguan stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi,
disosiasi dan rasa bersalah.
6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari
berbagai peran seperti penyelamat yang omnipoten atau korban yan
omnipoten.

F.Penatalaksanaan

Penderita PTSD dapat dilakukan menggunakan dua macam terapi


pengobatan yaitu, dengan menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi. Hasil
pengobatan akan lebih efektif jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga
tercapai penanganan yang holistik dan komprehensif (Sadock, B.J. & Sadock,
V.A., 2007).
a. Psikoterapi Psikoterapi adalah suatu bentuk dari perawatan (treatment)
terhadap masalah-masalah yang dasarnya emosi, dimana seseorang yang
terlatih dengan seksama membentuk hubungan profesional dengan pasien
dengan tujuan memindahkan, mengubah, atau mencegah munculnya gejala
dan menjadi perantara untuk menghilangkan pola-pola perilaku yang
terhambat (Wolberg, 1954). Dengan demikian, perawatan menggunakan
teknik psikoterapi ini merupakan perawatan yang secara umum
menggunakan intervensi psikis dengan pendekatan psikologis terhadap
pasien yang mengalami gangguan psikis atau hambatan kepribadian.
Adapun macam-macam psikoterapi diantaranya adalah:
1) Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Menurut penelitian Cognitive
Behavioral Therapy (CBT) merupakan pendekatan yang paling efektif
dalam mengobati PTSD. Dalam CBT, terapis membantu untuk
mengubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi
dan menganggu kegiatan-kegiatan penderita PTSD misalnya, pada
seorang anak korban kejahatan mungkin akan menyalahkan diri sendiri
karena ketidakhati-hatiannya. Prinsip-prinsip CBT digunakan untuk
modifikasi perilaku dan proses relearning. Tujuan terapi ini adalah
mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan
bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran
tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk
membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.

2) Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) EMDR


adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model

pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagai


landasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena
jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilaku
kita. Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan
memori yang telah ada, EMDR dijalankan dengan melakukan kegiatan
fisik yang merangsang aktivasi pemrosesan informasi di dalam otak
(dalam konteks EMDR disebut sebagai stimulasi bilateral) melalui
indra pengelihatan/pendengaran/perabaan.
3) Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengobati
PTSD pada anak periode awal/young children. Pada terapi ini bertujuan
untuk memahami trauma anak dan memberikan kebebasan untuk
berekspresi dalam mengurangi tekanan emosional ynag dialami.
Bermain peran, menggambar, bermain dengan boneka atau benda-benda
figural dapat dijadikan cara untuk menyesuaikan diri dan memberi
kesempatan pada terapis untuk melakukan reexposure yaitu, membahas
peristiwa traumatiknya dalam situasi yang mendukung.
b. Farmakoterapi Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obatobatan. Terapi ini diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang
menyebabkan kecemasan, kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain
merupakan terapi simptomatik pada PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini
pertama dalam penanganan PTSD tetapi dapat dijadikan sebagai terapi
pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil yang optimal dalam
menangani kasus PTSD. Adapun beberapa contoh farmakoterapi yang
sering digunakan dalam kasus PTSD, antara lain:
1) Golongan benzodiazepin: Chlordiazepoxide, Diazepam, Lorazepam.
2) Golongan non-benzodiazepin: Buspirone, Sulpiride, Hydroxyzine.
3) Golongan antidepresan: Trisiklik, Amitriptyline, Imipramine.
4) Golongan Monoamin Oksidase Inhibitor (MAOI): Moclobemide 23
5) Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI): Sertraline,
Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine.

G. Dampak PTSD
Adapun akibat yang dapat ditimbulkan oleh Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) yaitu:
a. Perubahan Pikiran
Perubahan tingkah laku yang dapat terjadi pada penderita PTSD
yaitu mimpi buruk, teringat oleh pencetus trauma, susah dalam
berkonsentrasi, tidak dapat menerima kenyataan, serta dapat menjadi
pelupa (Solichah, 2013). Pada gangguan tidur dan konsentrasi dapat terjadi
secara berlanjut terus menerus (Frommberger, 2014).
b. Perubahan Tingkah Laku
Perubahan tingkah laku juga dapat terjadi pada penderita PTSD,
diantaranya adalah jantung berdebar-debar, sesak nafas, susah tidur, nafsu
makan berkurang, menarik diri dari orang lain, dan menjadi mudah
terkejut (Solichah, 2013).
c. Perubahan Perasaan
Perubahan perasaan yang dapat terjadi pada penderita PTSD yaitu
seperti rasa cemas, selalu merasa curiga, takut yang berlebihan, perasaan
orang lain tidak mengerti akan penderitaanya,penakut, pemarah, rasa sedih
dan bimbang, sampai merasa tak pantas hidup lagi (Arnaudova, 2015).

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan stress pasca trauma adalah gangguan kecemasan yang timbul


setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwaperistiwa trauma seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu
kecelakaan yang serius.
Perempuan lebih beresiko mengalami gangguan stress pasca trauma,
meskipun pemaparan kejadian traumatic lebih sering pada laki-laki, terdapat
penurunan fungsi untuk menyelesaikan tugas pada pasien dengan gangguan ini,
yang berpengartuh pada activity daily liveang, yaitu terputusnya sosial grup,
karena pasien

merasa hubungan

sosial

diantaranya

merenggang,

yang

menghambat proses pemulihan.


Peristiwa ini menyebabkan reaksi ketakutan, tak berdaya. Stressor adalah
penyebab utama terjadinya stress pasca trauma. Stressor berupa kejadian yang
traumatis misalnya akibat pemerkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada
anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara. Penatalaksanaan stress
pasca trauma dapat dilakukan dengan psikoterapi berupa terapi indvidu maupun
kelompok dan farmakoterapi.

DAFTAR PUSTAKA

Arnaudova, M., Ivan, s., Valery, S., Veronica, I., Petar, Y. 2015. Diagnostic
Challenges In Assessing Post-Traumatic Stress Disorder. J of IMAB.
21(4) : 987-989.
American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. Edisi 5. USA: American Psychiatric Publishing.

Edwards, R.D. 2010. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). MedicineNet.


http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?
articlekey=12578&pf=3&page=1.

Forneris, C.A.,Gerald Gartlehner., Kimberly A. Brownley. et al. 2013. Prevent


Post-Traumatic Stress Disorder A Systematic Review. Am J Prev Med,
Volume 44(6):635 650
Frommberger, U., John, A., Mathias, B. 2014. Post-Traumatic Stress Disorder a
Diagnostic

and

Therapeutic

Challenge.

Deutsches

rzteblatt

International. 111(5): 5965.


Gerald C Davidson, John M Naele, Ann M King, 2006. Psikologi Abnormal;
Penerjemah, Noermalasari Fajar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Greenberg, N. 2015. Latest Developments In Post-Traumatic Stress Disorder:
Diagnosis And Treatment. British Medical Bulletin. 0(0) : 1-9.
Javidi, H., M. Yadollahie. 2012. Post-traumatic Stress Disorder. The International
Journal of Occupational and Environmental Medicine, Volume 2, No 1

Matthew, J. 2000. Risk Factor for PTSD. Ptsd Research Quarterly.11(1) : 1-8.

Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) on teenage victims of Mount Merapi


eruption. International Journal of Research Studies in Psychology,
Volume 3 Nomer 3, 101-111
Solichah, M. 2013. Assesment Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Pada
Perempuan Korban Perkosaan (Acquaintance Rape). Humanitas. 10 (1) :
87-102.
Tentama, F. 2014. Dukungan Sosial Dan Post-Traumatic Stress Disorder Pada
Remaja Penyintas Gunung Merapi. Jurnal Psikologi Undip. 13(2) : 133138.
Weems, C. 2007. The Association Between PTSD Symptoms and Salivary
Cortisol in Youth: The Role of Time Since the Trauma. Journal of
Traumatic Stress. 20(5) : 903-907.
World Health Organization, 2005. Mental Health. Genewa.

Anda mungkin juga menyukai