Anda di halaman 1dari 107

1

Kasus 2
Seorang laki-laki berusia 45 tahun dibawa ke unit gawat darurat RS dengan
keluhan nyeri dada sebelah kiri disertai nafas terasa berat.
STEP 1
Keluhan utama : Nyeri dada dan nafas terasa berat
STEP 2

Intoksikasi
idiopatik
Pneumotoraks
spontan

Infeksi
Nyeri dada dan
Nafas terasa
berat

Pneumonia
Perikarditis
Miokarditis
TB Paru

Lain-lain
Angina Pectoris

Trauma

Infark miokard

Pneumotoraks

Hipertensi Heart
Disease

Hematotoraks

Congestive Heart
Failure

Tension
Pneumotoraks

STEP 3
A. Intoksikasi Idiopatik dan Trauma
1. Pneumothoraks
A. Klasifikasi dan Etiologi Pneumotoraks
Pneumothoraks dapat terjadi secara spontan atau traumatik dan
klasifikasi pneumothoraks berdasarkan penyebabnya adalah sebagai
berikut (American College of Surgeons Commite on Trauma, 2005):
a. Pneumothoraks Spontan
Pneumothoraks spontan adalah setiap pneumothoraks yang
terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu penyebab (trauma ataupun
iatrogenik), ada 2 jenis yaitu :
1. Pneumothoraks Spontan Primer.
Pneumothoraks

spontan

primer

(PSP) adalah

suatu

pneumothoraks yang terjadi tanpa ada riwayat penyakit paru


yang mendasari sebelumnya, umumnya pada individu sehat,
dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas fisik yang
berat tetapi justru terjadi pada saat istirahat dan sampai
sekarang belum diketahui penyebabnya.
2. Pneumothoraks Spontan Sekunder.
Pneumothoraks spontan sekunder (PSS) adalah suatu
pneumothoraks yang terjadi karena penyakit paru yang
mendasarinya (tuberkulosis paru, PPOK, asma bronkial,
pneumonia, tumor paru, dan sebagainya).

b. Pneumothoraks Traumatik
Pneumothoraks traumatik adalah pneumothoraks yang
terjadi akibat suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan
yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Pneumothoraks traumatik diperkirakan 40% dari semua kasus
pneumothoraks. Pneumothoraks traumatik tidak harus disertai
dengan fraktur iga maupun luka penetrasi yang terbuka. Trauma
tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan
pneumotoraks. Beberapa penyebab trauma penetrasi pada dinding
dada adalah luka tusuk, luka tembak, akibat tusukan jarum maupun
pada saat dilakukan kanulasi vena sentral (American College of
Surgeons Commite on Trauma, 2005).
Berdasarkan kejadiannya pneumothoraks traumatik dibagi
2 jenis yaitu (American College of Surgeons Commite on Trauma,
2005):
1. Pneumothoraks traumatik bukan iatrogenik

Adalah pneumothoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan,


misalnya jejas pada dinding dada baik terbuka maupun
tertutup, barotrauma.
2. Pneumothoraks traumatik iatrogenik

Adalah pneumothoraks yang terjadi akibat komplikasi dari


tindakan medis. Pneumothoraks jenis ini pun masih dibedakan
menjadi 2, yaitu:
a. Pneumothoraks traumatik iatrogenik aksidental, adalah
pneumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan/komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada
tindakan

parasintesis

dada,

biopsi

pleura,

biopsi

transbronkial, biopsi/aspirasi paru perkutaneus, kanulasi


vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik).

b. Pneumothoraks traumatik iatrogenik artifisial, adalah


pneumothoraks yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisi udara ke dalam rongga pleura melalui

jarum

dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya untuk terapi


tuberkulosis (sebelum era antibiotik), atau untuk menilai
permukaan paru.
Berdasarkan jenis fistulanya pneumothoraks dapat dibagi
menjadi 3 yaitu (American College of Surgeons Commite on
Trauma, 2005):
a. Pneumothoraks tertutup (simple pneuothoraks)
Pneumothoraks tertutup yaitu suatu pneumothoraks dengan
tekanan udara di rongga pleura yang sedikit lebih tinggi
dibandingkan

tekanan

pleura

pada

sisi

hemithoraks

kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dari tekanan


atmosfir. Pada jenis ini tidak didapatkan defek atau luka
terbuka dari dinding dada.
b. Pneumothoraks terbuka (open pneumothoraks)
Pneumothoraks terbuka terjadi karena luka terbuka pada
dinding dada sehingga pada saat inspirasi udara dapat keluar
melalui luka tersebut. Pada saat inspirasi, mediastinum dalam
keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum
bergeser kearah sisi dinding dada yang terluka.
c. Tension pneumothoraks
Tension pneumothoraks terjadi karena mekanisme check valve
yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke dalam rongga pleura,
tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak dapat
keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam rongga pleura
akan meningkat dan melebihi tekanan atmosfir. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru

sehingga sering menimbulkan gagal napas. Pneumothoraks ini


juga sering disebut pneumothoraks ventil.
B. Patogenesis
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial,
ditunjang oleh jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh
getah bening. Rongga pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel
mesotelial, terdiri atas pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura
parietalis melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago,
diafragma dan mediastinum, sangat sensitif terhadap nyeri. Pleura
viseralis melapisi paru dan menyusup ke dalam semua fisura dan tidak
sensitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi cairan (1020 ml) dan berfungsi sebagai pelumas diantara kedua lapisan pleura.
Patogenesis pneumothoraks spontan sampai sekarang belum jelas
(American College of Surgeons Commite on Trauma, 2005).
a. Pneumothoraks Spontan Primer (PSP)
PSP terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat
pleura viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa
pasien pneumothoraks spontan yang parunya direseksi tampak
adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bleb dan
bulla. Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh
pleura fibrotik yang menebal, sebagian oleh jaringan fibrosa paru
sendiri dan sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematosus. Bleb
terbentuk dari suatu alveoli yang pecah melalui jaringan interstisial
ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis yang kemudian
berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme terjadinya bulla dan
bleb belum jelas, banyak pendapat menyatakan terjadinya
kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau
peningkatan distensi pada alveoli daerah apeks paru akibat tekanan
pleura yang lebih negatif. Apabila dilihat secara patologis dan
radiologis pada pneumothoraks spontan sering didapatkan bulla

diapeks paru. Observasi klinis yang dilakukan pada pasien PSP


ternyata angka kejadiannya lebih banyak dijumpai pada pasien pria
yang berbadan tinggi dan kurus. Kelainan intrinsik jaringan
konektif seperti pada sindrom Marfan, prolaps katup mitral,
kelainan bentuk tubuh mempunyai kecenderungan terbentuknya
bleb atau bulla. Belum ada hubungan yang jelas antara aktivitas
yang berlebihan dengan pecahnya bleb atau bulla karena pada
keadaan

tanpa

aktivitas

(istirahat)

juga

dapat

terjadi

pneumothoraks. Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi


check valve pada saluran napas kecil sehingga timbul distensi
ruang udara di bagian distalnya. Obstruksi jalan napas bisa
diakibatkan oleh penumpukan mukus dalam bronkioli baik oleh
karena infeksi atau bukan infeksi (American College of Surgeons
Commite on Trauma, 2005).
b. Pneumothoraks Spontan Sekunder (PSS)
PSS terjadi karena pecahnya bleb viseralis atau bulla
subpleura dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang
mendasarinya. Patogenesis PSS multifaktorial, umumnya terjadi
akibat komplikasi penyakit PPOK (penyakit paru obstruktif
kronik), asma, fibrosis kistik, tuberkulosis paru, penyakit-penyakit
paru infiltratif lainnya (misalnya pneumonia supuratif dan
termasuk pneumonia P.carinii). PSS umumnya lebih serius
keadaannya daripada PSP, karena pada PSS terdapat penyakit paru
yang mendasarinya. Pneumothoraks katamenial (endometriosis
pada pleura) adalah bentuk lain dari PSS yang timbulnya
berhubungan dengan menstruasi pada wanita dan sering berulang.
Artritis rheumatoid juga dapat menyebabkan pneumothoraks
spontan karena terbentuknya nodul rheumatoid pada paru
(American College of Surgeons Commite on Trauma, 2005).

C. Manifestasi Klinis
a. Keluhan Subyektif
1)
2)
3)
4)

Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien.


Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien.
Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
Tidak menunjukka gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan
biasanya pada PSP.
Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun
kombinasi dan menurut Mills dan Luce derajat gangguannya bisa
mulai dari asimptomatik atau menimbulkan gangguan ringan
sampai berat (American College of Surgeons Commite on Trauma,
2005).

D. Pemeriksaan Fisis
Suara napas melemah sampai menghilang, fremitus melemah
sampai

menghilang,

resonansi

perkusi

dapat

normal

atau

meningkat/hipersonor. Pneumothoraks ukuran kecil biasanya hanya


menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang tidak khas. Pada
pneumothoraks ukuran besar biasanya didapatkan suara napas yang
melemah bahkan sampai menghilang pada auskultasi, fremitus raba
menurun dan perkusi hipersonor. Pneumothoraks tension dicurigai
apabila didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran
mediastinum atau trakea (American College of Surgeons Commite on
Trauma, 2005).
E. Penatalaksanaan
Tindakan pengobatan pneumothoraks tergantung dari luasnya
pneumothoraks. Tujuan dari penatalaksanaan tersebut yaitu untuk
mengeluarkan

udara

dari

rongga

pleura

dan

menurunkan

kecenderungan untuk kambuh lagi. British Thoracic Society dan


American College of Chest Physicians telah memberikan rekomendasi
untuk

penanganan

pneumothoraks.

Prinsip-prinsip

penanganan

pneumothoraks adalah (American College of Surgeons Commite on


Trauma, 2005):
1) Observasi dan pemberian tambahan oksigen
2) Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasagan tube torakostomi
dengan atau tanpa pleurodesis
3) Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb
atau bulla
4) Torakotomi
2. Hematotoraks
A. Definisi
Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau
tembus pada toraks. Sumber perdarahan umumnya berasal dari A.
interkostalis atau A. mamaria interna. Pada rongga hemitoraks dapat
menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematotoraks dapat terjadi
syok hipovolemik berat yang mengakibatkan terjadinya kegagalan
sirkulasi, tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata oleh karena
perdarahan masif yang terjadi, yang terkumpul di dalam rongga toraks
(Sudoyo, 2009).
B. Etiologi
1) Traumatik
a) Trauma tumpul
b) Trauma tembus
2) Nontraumatik atau spontan
a) Neoplasma
b) Komplikasi antikoagulan
c) Emboli paru dengan infark
d) Bullous dengan emphysema
e) Robekan adhesi pluera yang berhubungan dengan pneumotoraks
f)
g)
h)
i)
j)

spontan
Nekrosis akibat infeksi
Tuberculosis
Fistula arteri atau vena pulmonal
telangiectasia hemoragik herediter
kelainan vaskular intratoraks nonpulmoner (aneurisma aorta pars

thoraxica, aneurisma arteri mamaria interna)


k) sekuestrasi intralobar dan ekstralobar
l) patologi abdomen ( pancreatic pseudocyst, splenic artery aneurysm,
hemoperitoneum).

C. Patofisiologi
Pada trauma tumpul dada, tulang rusuk dapat menyayat jaringan paruparu atau arteri, menyebabkan darah berkumpul di ruang pleura. Benda
tajam seperti pisau atau peluru menembus paru-paru. mengakibatkan
pecahnya membran serosayang melapisi atau menutupi thorax dan paruparu. Pecahnya membran ini memungkinkan masuknya darah ke dalam
rongga pleura. Setiap sisi toraks dapat menahan 30-40% dari volume darah
seseorang (Sudoyo, 2009).
Perdarahan jaringan interstitium, Pecahnya usus sehingga perdarahan
Intra Alveoler, kolaps terjadi pendarahan. arteri dan kapiler, kapiler kecil ,
sehingga takanan perifer pembuluh darah paru naik, aliran darah menurun.
Hb menurun, anemia, syok hipovalemik, sesak napas, tahipnea,sianosis,
tahikardia. Gejala / tanda klinis (Sudoyo, 2009).
Hemothorak tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah
didinding dada. Luka di pleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan
nyeri. Secara klinis pasien menunjukan distress pernapasan berat, agitasi,
sianosis, tahipnea berat, tahikardia dan peningkatan awal tekanan darah, di
ikuti dengan hipotensi sesuai dengan penurunan curah jantung (Sudoyo,
2009).

10

D. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang ditemukan pada hematotoraks sesuai dengan
besarnya perdarahan atau jumlah darah yang terakumulasi. Perlu
diperhatikan adanya tanda dan gejala dari instabilitas hemodinamik dan
depresi pernapasan. Adapun gejala dan tanda dari hematotoraks yang lain
adalah sebagai berikut (Sudoyo, 2009):
1) nyeri dada
2) dispneu
3) takipneu
4) takikardia
5) deviasi trakea
6) penurunan suara nafas
7) hiperresonans
8) penurunan vocal fremitus
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan foto toraks boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil.
Pada kasus hematotoraks terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh
lapangan

paru,

dijumpai

bayangan

air-fluid

level

pada

kasus

hematopneumotoraks (Sudoyo, 2009).


F. Penatalaksanaan
1) Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan
sirkulasi
2) Pada 90 % kasus hematotoraks tindakan bedah yang dilakukan hanya
dengan Torakostomi + WSD
3) Tindakan operasi torakotomi emergensi dilakukan untuk menghentikan
perdarahan apabila dijumpai :
a) Dijumpai perdarahan massif atau inisial jumlah produksi darah di
atas 1500 cc.
b) Bila produksi darah di atas 5 cc/kgBB/jam.
c) Bila produksi darah 3-5 cc/kgBB selama 3 jam berturut-turut.
Bila kita memiliki fasilitas, sarana, dan kemampuan tindakan
video assisted thoracic surgery atau VATS dapat dilakukan evakuasi
darah dan penjahitan fistula atau robekan paru pleura parieatalis
(Sudoyo, 2009).

11

B. Infeksi
1. Pneumonia

A.

Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel
1 memuat daftar mikroorganisme dan masalah patologis yang
menyebabkan pneumonia (Sudoyo, 2009).
Tabel 1.Daftar mikroorganisme yang menyebabkan pneumonia

Infeksi Bakteri
S. Pneumonia
Haemophillus influenza
Klebsiella pneumonia
Pseudomonas aeruginosa
Gram-negatif (E. Coli)

Infeksi Atipikal
Mycoplasma pneumoniae
Legionella pneumophillia
Coxiella burnetii
Chlamydia psittaci

Infeksi Jamur
Aspergillus
Histoplasmosis
Candida
Nocardia

Infeksi Virus
Influenza
Coxsackie
Adenovirus
Sinsitial respiratori

Infeksi Protozoa
Pneumocytis carinii
Toksoplasmosis
Amebiasis

Penyebab Lain
Aspirasi
Pneumonia lipoid
Bronkiektasis
Fibrosis kistik

(Sudoyo, 2009)
Dalam keadaan sehat, pada pru tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh
adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh,

mikroorganisme

mikroorganisme

dapat

dan

lingkungan,

berkembang

biak

dan

sehingga
berakibat

timbulnya sakit (Sudoyo, 2009).


Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru
dapat memlalui berbagai cara (Sudoyo, 2009):
a.

Inhalasi langsung dari udara

b.

Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring

c.

Perluasan langsung dari tempat-tempat lain

d.

Penyebaran secara hematogen.

12

Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya


pneumonia yaitu (Sudoyo, 2009):
A. Mekanisme pertahanan paru
Paru

berusaha

untuk

mengeluarkan

berbagai

mikroorganisme yang terhirup seperti partikel debu dan


bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa
bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran
napas, reflex batuk, sistem mukosilier, juga sistem fagositosis
yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikelpartikel yag mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini
berjalan baik, maka bahan infeksi yang bersifat infeksius
dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan, sehingga pada
orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran
napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem
pertahanan paru yang tidak bekerja dengan baik.
B. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan
Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri
yang bersifat komnesal. Bila jumlah mereka semakin
meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup,
kuman ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru,
dan akibat kegagalan mekanisme pembersihan saluran napas,
keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme
yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran anaps
akan ikut dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama
mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi.
C. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius
Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki
oleh berbagai mikroorganisme dari saluran napas atas, akan
tetapi tidak menimbulkan sakit, ini menunjukkan adanya
suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga

13

dapat menyapu bersih mikroorganisme sebelum mereka


bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru
terhadap bahan- bahan berbahaya dan infeksius berupa reflex
batuk, penyempitan saluran napas, juga dibantu oleh respon
imunitas humoral (Supandi, 1992).
B. Anamnesis
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien
pneumonia adalah sesak napas, peningkatan suhu tubuh, dan
batuk. Pada pasien dengan pneumonia, keluhan batuk biasanya
timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat
batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan
batuk yang tidak produktif, tapi selanjutnya akan berkembang
menjadi batuk produktif

dengan mucus purulen kekuning-

kuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau busuk. Pasien


biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil.
Adanya keluhan nyeri dada, sesak napas, peningkatan frekuensi
pernapasan, lemas, dan kepala nyeri (Sudoyo, 2009).

C. Gambaran Klinis
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran
napas akut bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti
dengan demam, menggigil,

suhu tubuh kadang-kadang

melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga


disertai batuk, dengan sputum purulen, kadang-kadang
berdarah. Pada pasien muda atau tua dan pneumonia atipikal
(misalnya Mycoplasma), gambaran nonrespirasi (misalnya
konfusi, ruam, diare) dapat menonjol (Sudoyo, 2009).

D. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat
peningkatan sel darah putih (White blood Cells, WBC)

14

3
biasanya didapatkan jumlah WBC 15.000- 40.000/mm , jika
disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah WBC dapat
normal atau menurun. Dalam keadaan leukopenia laju endap
3
darah (LED) biasanya meningkat hingga 100/mm , dan protein
reaktif

mengkonfirmasi

infeksi

bakteri.

Gas

darah

mengidentifikasi gagal napas (Jeremy, 2007). Kultur darah


dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Kadang-kadang didapatkan peningkatan kadar ureum darah,
akan tetapi kreatinin masih dalam batas normal(Sudoyo, 2009).
Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat
menunjukkan perbedaan nyata antara infeksi virus dengan
bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran
infiltrat

intertisial

dan

hiperinflasi.

Pneumonia

yang

disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering memperlihatkan


adanya infiltrate bilateral atau bronkopneumonia (Sudoyo,
2009).
E. Penatalaksanaan
a.

Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik


berdasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan
organisme, karena hasil mikrobiologis tidak tersedia selama 1272 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan sensitivitas
antibiotika (Sudoyo, 2009).

b.

Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan


PaO2 > 8 kPa (SaO2 < 90%) dan resusitasi cairan intravena
untuk

memastikan

stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi:

ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas positif kontinu


(continous positive airway pressure), atau ventilasi mekanis
mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan bronkoskopi
membantu bersihan sputum (Sudoyo, 2009).

15

2. Perikarditis
A. Definisi
Pericarditis adalah peradangan pericardium parietalis,
pericardium visceralis, atau keduanya. Pericardium merupakan
suatu kantung fibroserosa yang membungkus, menyangga, dan
melindungi jantung. Respons pericardium terhadap peradangan
bervariasi dari akumulasi cairan atau darah (efusi pericard), deposisi
fibrin, proliferasi jaringan fibrosa, pembentukan granuloma atau
kalsifikasi. (Sudoyo, 2009).
B. Etiologi
Etiologi dari pericarditis sebagai berikut (Sudoyo, 2009):
1) infeksi,
2) penyakit autoimun sistemik,
3) sindrom pasca-infark miokard,
4) kelainan metabolik,
5) kehamilan,
6) trauma,
7) neoplasma,
8) iatrogenik, dan
9) obat-obatan
C. Patofisiologi
Infeksi
Trauma
Neoplasma
Inflamasi Selaput
dll
Jantung

Daya Kerja jantung


terganggu

Proses fibrotik

Penebalan
perikardial

Akumulasi cairan
pericardial

Tekanan intrakardial
meningkat

Konstriksi perikardial

Proses radang yang terjadi dapat menimbulkan penumpukan cairan


efusi dalam rongga pericardium dan kenaikan tekanan intracardial,kenaikan
tekanan tersebut akan mempengaruhi daya kontraksi jantung,akhirnya
menimbulkan proses fibrotic dan penebalan pericardial,lama kelamaan
terjadi kontriksi pericardial dengan pembentukan cairan,jika berlangsung
secara kronis menyebapkan fibrosis dan klasifikasi (Sudoyo, 2009).

16

Proses inflamasi dan akibat sekunder dari fenomena infeksi pada


perikaditis akan memberikan respon sebagai berikut (Sudoyo, 2009):
a.

Perubahan patologis selanjutnya yang terjadi berupa terbentuknya


jaringan parut dan perlengketan disertai klasifikasi lapisan
perikardium viseral maupun parietal yang menimbulkan suatu
perikaditis konstriktif yang apabila cukup berantakan menghambat
pengembangan volume jantung pada fase diastolik Pada kondisi
lain terakumulasinya cairan pada perikardium yang sekresinya
melebihi

absorpsi

menyebabkan

suatu

efusi

perikardium.

Pengumpulan cairan intraperikardium dalam jumlah yang cukup


untuk menyebabkan obstruksi serius terhadap masuknya darah ke
kedua bilik jantung bisa menimbulkan tamponade jantung. Salah
satu komplikasi perikarditis paling fatal dan memerlukan tindakan
darurat adalah tamponade. Tamponade jantung merupakan akibat
peninggian tekanan intraperikardium dan restriksi progresif
pengisian ventrikel.

17

(Sudoyo, 2009)
D. Manifestasi klinis
1) Nyeri dada substernal atau parasternal yang menjalar ke leher
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

bahu punggung
Gesekan perikard
Kardiomegali
Buni jantung melemah
Sesak nafas saat bekerja
Demam dengan suhu 39-400C
Berkeringat
Friction rub (suara tambahan).(Sudoyo, 2009)

E. Pemeriksaan Penunjang

1) Elektrokardiogram (EKG) elevasi segmen ST, sinus takikardia

18

2) Laboratorium leukositosis, peningkatan Laju Endapan Darah


(LED)
3) Radiografi normal atau kardiomegali. (Sudoyo, 2009)
F. Penatalaksanaan
1) Penderita biasanya dirawat di rumah sakit, diberikan obat untuk
mengurangi peradangan (misalnya Aspirin atau ibuprofenibuprofen)
dan

diawasi

kemungkinan

terjadinya

komplikasi

(terutama

tamponade jantung).
2) Bila nyerinya hebat mungkin perlu diberikan opium (misalnya
morfin) atau corticosteroid.
3) Obat yang paling sering digunakan untuk nyeri yang hebat adalah
prednisone.
4) Pengobatan lanjutan dari perikarditis akut bervariasi, tergantung
kepada penyebabnya.
5) Penderita kanker mungkin memberikan respon terhadap kemoterapi
(obat anti kanker) atau terapi penyinaran; tetapi biasanya penderita
menjalani pembedahan untuk mengangkat perikardium.
6) Penderita gagal ginjal mungkin akan memberikan respon terhadap
perubahan program dialisayang dijalaninya.
7) Infeksi bakteri diobati dengan antibiotik dan nanah dari perikardium
dibuang melalui pembedahan.
8) Jika penyebabnya adalah obat-obatan, maka pemakaian obat
tersebut segera dihentikan.
9) Aspirin, ibuprofen atau corticosteroid diberikan kepada penderita
yang mengalami perikarditis berulang yang disebabkan oleh virus.
10) Pada beberapa kasus diberikan colchicine.
11) Jika penanganan dengan obat-obatan gagal, biasanya dilakukan
pembedahan untuk mengangkat perikardium (Sudoyo, 2009).

3. Miokarditis

19

Miokarditis adalah peradangan pada otot jantung atau


miokardium. hal ini disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi,
akan tetapi dapat sebagai akibat reaksi alergi terhadap obat-obatan
dan efek toxin bahan-bahan kimia dan radiasi. (Sudoyo, 2009)
A.

Etiologi
Umumnya miokarditis ini disebabkan oleh penyakit akan
tetapi dapat juga disebabkan oleh sebagai akibat reaksi alergi
terhadap obat-obatan serta efek toksik bahan-bahan kimia radiasi
dan infeksi. (Sudoyo, 2009)
Pada miokarditis karena difteri yaitu kerusakan miokardium
disebabkan toksik yang dikeluarkan hasil mikrobakteri. Toksin
akan menghambat sintesis protein dan secara mikroskopis akan
didapatkan miosit dengan infiltrasi lemak serat otot mengalami
nekrosis hialin. (Sudoyo, 2009)
Beberapa organisme dapat menyerang dinding arteri kecil,
terutama

pada

arteri

koronaria

intramuskuler

yang

akan

memberikan reaksi radang perivaskuler miokardium. Hal ini


dsebabkan oleh pseudomonas serta beberapa jenis jamur seperti
aspergilus dan kandida. Sebagian kecil mikroorganisme menyerang
langsung terhadap sel-sel miokardium yang menyebabkan reaksi
radang. (Sudoyo, 2009)
Miokarditis biasanya diakibatkan oleh proses infeksi,
infeksi, terutama oleh virus, bakteri, jamur, parasit, protozoa, dan
spirozeta atau dapat juga disebabkan oleh keadaan hipersensitivitas
seperti demam rematik. (Sudoyo, 2009)
B. Patofisiologi
Jantung merupakan organ otot. Bila serabut otot sehat,
jantung dapat berfungsi dengan baik, jika ada cedera katup yang
berat; dan serabut otot rusak maka hidup dapat terancam.

20

Miokarditis dapat menyebabkan dilatasi jantung, trombus dalam


dinding jantung, infiltrasi sel darah yang beredar disekitar
pembuluh koroner, serabut otot dan degenerasi serabut otot itu
sendiri. (Sudoyo, 2009)
Kerusakan miokard oleh kuman-kuman infeksius ini
dengan melalui tiga mekanisme dasar (Sudoyo, 2009):
a. Invasi langsung ke miokard
b. Proses imunologis terhadap miokard
c. Mengeluarkan toksin yang merusak miokard
Proses miokarditis viral ada 2 tahap (Sudoyo, 2009):
a. Fase akut berlangsung kira-kira satu minggu, dimana terjadi
invasi virus ke miokard, replikasi virus dan lisis sel.
Kemudian terbentuk neutralizing antibody dan virus akan
dibersihkan atau dikurangi jumlahnya dengan bantuan
makrofag dan Natural Killer Cell (sel NK).
b. Pada fase berikutnya miokard diinfiltrasi oleh sel-sel radang
dan sistem imun akan diaktifkan antara lain dengan
terbentuknya antibodi terhadap miokard, akibat perubahan
permukaan sel yang terpajan oleh virus. Fase ini berlangsung
beberapa minggu sampai beberapa bulan dan diikuti
kerusakan miokard dari yang minimal sampai yang berat.
C.

Tanda dan gejala

a.
b.
c.
d.
e.

Menggigil
Demam
Anoreksi
Nyeri dada
Dispnea dan disritmia
Menurut Griffith, 1994 tanda dan gejala yang timbul pada
klien dengan miokarditis (Sudoyo, 2009):

a. Letih
b. Napas pendek (cepat dan sesak)
c. Jantung tidak teratur

21

d. Demam
D.

Pemeriksaan Diagnostik

a.
b.
c.
d.

Laboratorium: Leukosit, LED, limfosit, dan LDH


Elektrokardiografi
Rontgen thorax
Ekokardiografi
e. Biopsi endomiokardial. (Sudoyo, 2009)

E.

Penatalaksanaan
Pasien diberi pengobatan khusus terhadap penyebab yang
mendasarinya,

bila

diketahui

(misalnya

penisillin

untuk

streptokokkus hemolitikus) dan dibaringkan di tempat tidur untuk


mengurangi beban jantung. Berbaring juga membantu mengurangi
kerusakan miokardial residual dan komplikasi miokarditis.
pengobatan pada dasarnya sama dengan yang digunakan untuk
gagal jantung kongestif. (Sudoyo, 2009)
Penatalaksanaan medis umum (Sudoyo, 2009):
1. Perawatan untuk tindakan observasi.
2. Tirah baring/pembatasan aktivitas.
3. Antibiotik atau kemoterapeutik.
4. Pengobatan sistemik supportif ditujukan pada penyakti infeksi
sistemik.
5. Antibiotik.
6. Obat kortikosteroid.
7. Jika berkembang menjadi gagal jantung kongestif : diuretik
untuk mengurangi retensi ciaran ; digitalis untuk merangsang
detak jantung ; obat antibeku untuk mencegah pembentukan
bekuan.
4.

Tuberkulosis Paru (TB Paru)

22

A. Definisi Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang diketahui
banyak menginfeksi manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis kompleks. Penyakit ini biasanya menginfeksi paru.
Transmisi penyakit biasanya melalaui saluran nafas yaitu melalui
droplet yang dihasilkan oleh pasien yang terinfeksi TB paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus (Djojodibroto, 2014).

B. Etiologi dan Faktor Risiko TB Paru


Tuberkulosis

adalah

penyakit

menular

langsung

yang

disebabkan oleh infeksi kuman (basil) Mycobacterium tuberculosis.


Organisme

ini

termasuk

ordo

Actinomycetalis,

familia

Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium


memiliki beberapa spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis
yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk
batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan
ukuran panjang 2 m-4 m dan lebar 0,2 m0,5 m. Organisme ini
tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila
diwarnai

akan

terlihat

berbentuk

manik-manik

atau

granuler

(Djojodibroto, 2014).
Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat
juga menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis
merupakan mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria
aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa
karbon sederhana. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri
dan pertumbuhan pada media kultur biasanya dapat dilihat dalam
waktu 6-8 minggu. Suhu optimal untuk tumbuh pada 37C dan pH 6,4-

23

7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60C akan mati dalam waktu 15-20
menit. Kuman ini sangat rentan terhadap sinar matahari dan radiasi
sinar ultraviolet. Selnya terdiri dari rantai panjang glikolipid dan
phospoglican yang kaya akan mikolat (Mycosida) yang melindungi sel
mikobakteria dari lisosom serta menahan pewarna fuschin setelah
disiram dengan asam (basil tahan asam) (Djojodibroto, 2014).
Mikobakteria cenderung lebih resisten terhadap faktor kimia
daripada bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya
dan pertumbuhannya yang bergerombol. Mikobakteria ini kaya akan
lipid., mencakup asam mikolat (asam lemak rantai-panjang C78-C90),
lilin dan fosfatida. Dipeptida muramil (dari peptidoglikan) yang
membentuk kompleks dengan asam mikolat dapat menyebabkan
pembentukan granuloma; fosfolipid merangsang nekrosis kaseosa.
Lipid dalam batas-batas tertentu bertanggung jawabterhadap sifat
tahan-asam bakteri (Djojodibroto, 2014).
Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor
lingkungan :
1. Faktor host terdiri dari:
a. Kebiasaan dan paparan, seseorang yang merokok memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terkena TB.
b. Status nutrisi, seseorang dengan berat badan kurang memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk terkena TB. Vitamin D juga memiliki
peran

penting

dalam

aktivasi

makrofag

dan

membatasi

pertumbuhan Mycobacterium. Penurunan kadar vitamin D dalam


serum akan meningkatkan risiko terinfeksi TB.
c. Penyakit sistemik, pasien pasien dengan penyakit-penyakit seperti
keganasan, gagal ginjal, diabetes, ulkus peptikum memiliki risiko
untuk terkena TB.
d. Immunocompromised, seseorang yang terkena HIV memiliki risiko
untuk terkena TB primer ataupun reaktifasi TB. Selain itu,
pengguna obat-obatan seperti kortikosteroid dan TNF-inhibitor
juga memiliki risiko untuk terkena TB.

24

e. Usia, di Amerika dan negara berkembang lainnya, kasus TB lebih


banyak terjadi pada orang tua daripada dewasa muda dan anakanak (Djojodibroto, 2014).
2.

Faktor lingkungan
Orang yang tinggal serumah dengan seorang penderita TB akan
berisiko untuk terkena TB. Selain itu orang yang tinggal di lingkungan
yang banyak terjadi kasus TB juga memiliki risiko lebih tinggi untuk
terkena TB. Selain itu sosioekonomi juga berpengaruh terhadap risiko
untuk terkena TB dimana sosioekonomi rendah memiliki risiko lebih
tinggi untuk terkena TB (Djojodibroto, 2014).
Pada anak, faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah
anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB
positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene
dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan,
penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB
dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah
pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan Basil
Tahan Asam (BTA) positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA
sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi
tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut
terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius (Djojodibroto, 2014).
C. Patogenesis TB paru
Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui
inhalasi droplet saluran nafas yang mengandung kuman kuman basil
tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang
mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit
yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada dalam ruang
alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau dibagian atas
lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi peradangan.
Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan
memfagosit bakteri tersebut, namun tidak membunuh organisme

25

tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag.


Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. Bakteri terus
difagositatau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar
melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang
dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10
sampai 20 hari (Djojodibroto, 2014).
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang
tuberkulosis pneumoni kecil dan disebut sarang primer atau fokus
Ghon. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah
bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah
bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dormant.
c. Berkomplikasi dan menyebar
Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder ini
dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru. Sarang
dini ini mula-mula juga berbentuk tuberkel yakni suatu granuloma
yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang
dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan
jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya mengalami nekrosis
menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan perkejuan
dibatukkan, akan menimbulkan kavitas (Djojodibroto, 2014).

26

Gambar : Patomekanisme TB Paru (Djojodibroto, 2014).


D. Klasifikasi TB Paru
Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru dikategorikan
menjadi:
1. TB Paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
BTA positif.
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA

positif dan biakan positif. (Price&Lorraine, 2013)


2. TB Paru BTA Negatif
a.

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,


gambaran

klinis

dan

kelainan

radiologi

menunjukkan

tuberkulosis aktif.
b.

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan


biakan menunjukkan tuberkulosis positif.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi


menjadi beberapa tipe pasien, yaitu (Price&Lorraine, 2013):

27

1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register
TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas.
Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan ulangan
(Price&Lorraine, 2013)
E. Gejala Klinis TB paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejalagejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan
lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas,

28

dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu


dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Gejala
klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik (Price&Lorraine, 2013).
Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori (Price&Lorraine, 2013).:
1. Gejala respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala
sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala
respiratorik terdiri dari :
a. Batuk produktif 2 minggu.
b. Batuk darah.
c. Sesak nafas.
d. Nyeri dada.
2. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang timbul dapat berupa :
a. Demam.
b. Keringat malam.
c. Anoreksia.
d. Berat badan menurun (Price&Lorraine, 2013)
F. Diagnosis TB paru
Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif artinya
penjaringan suspek penderita dilaksanakan pada mereka yang datang
berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif
tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas
kesehatan

maupun

masyarakat

untuk

meningkatkan

cakupan

penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan


passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif
dengan promosi yang aktif) (Price&Lorraine, 2013)
Selain itu semua yang memiliki kontak dengan penderita TB
paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa dahaknya.

29

Seorang

petugas

kesehatan

diharapkan

menemukan

tersangka

penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah penyakit


menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka
penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-turut yaitu sewaktu pagi - sewaktu ( SPS ) (Price&Lorraine,
2013).
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan

fisis,

pemeriksaan

bakteriologis,

radiologis

dan

pemeriksaan penunjang lainnya. Pada pemeriksaan fisis, kelainan paru


pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks
dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada
pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial,
amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma, dan mediastinum. Pada TB paru yang lanjut dengan
fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot
interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi
mediastinum atau paru lainnya (Price&Lorraine, 2013).
Pada pemeriksaan radiologi, gambaran yang dicurigai sebagai
lesi TB aktif adalah :
1.

Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior lobus


atas paru dan segmen superior lobus bawah.

2.

Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak


berawan atau nodular.

3.

Bayangan bercak milier.

4.

Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)


Ada beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
TB yaitu dengan cara konvensional dan tidak konvensional. Cara
konvensional terdiri dari pemeriksaan mikroskopik, biakan kuman, uji
kepekaan terhadap obat, dan identifikasi keberadaan kuman isolat
serta pemeriksaan histopatologis (Price&Lorraine, 2013).
Pemeriksaan sputum merupakan hal yang penting karena
dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah bisa

30

ditegakkan. Dikatakan BTA (+) jika ditemukan dua atau lebih dahak
BTA (+) atau 1 BTA (+) disertai dengan hasil radiologi yang
menunjukkan TB aktif. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak
dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Diagnosis TB
paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan

dahak

mikroskopis

merupakan

diagnosis

utama.

Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu
menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur
prosedur diagnostik untuk suspek TB paru (Price&Lorraine, 2013).

Gambar : Alur Diagnosis TB Paru (Price&Lorraine, 2013)


G. Penatalaksanaan TB Paru

31

Pengobatan TB bertujuan untuk ;


a. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan
produktivitas.
b. Mencegah kematian.
c. Mencegah kekambuhan.
d. Mengurangi penularan.
e. Mencegah terjadinya resistensi obat (Djojodibroto, 2014).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip
sebagai berikut:
1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan (Djojodibroto, 2014).
2) Untuk

menjamin

kepatuhan

pasien

menelan

obat,

dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh


seorang Pengawas Menelan Obat (PMO)
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
dan lanjutan.
1. Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan (Djojodibroto, 2014).
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persistent sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia yaitu :

32

a. Kategori I
1) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks
terdapat lesi luas.
2) Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/ 4 RH atau 2
RHZE/6HE atau 2 RHZE/ 4R3H3.
b. Kategori II
1) TB paru kasus kambuh.
Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZES/ 1 RHZE sebelum
ada hasil uji resistensi. Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai
dengan hasil uji resistensi.
2) TB paru kasus gagal pengobatan
Paduan obat yang dianjurkan adalah obat lini 2 sebelum ada hasil
uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).
Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/
1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak
terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE (Djojodibroto, 2014).
3. TB Paru kasus putus berobat.
1. Berobat 4 bulan
BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada
perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi
aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan diagnosis TB
dengan mempertimbangkan juga kemungkinan panyakit paru lain. Bila
terbukti TB, maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES
/ 1 RHZE / 5 R3H3E3). BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama (Djojodibroto, 2014).
2. Berobat 4 bulan

33

a. Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES / 1
RHZE / 5 R3H3E3).
b. Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan
diteruskan.
c. Kategori III
a. TB paru (kasus baru), BTA negatif atau pada foto toraks terdapat lesi
minimal.
b. Paduan obat yang diberikan adalah 2RHZE / 4 R3H3 (Djojodibroto, 2014).
d. Kategori IV
a. TB paru kasus kronik. Paduan obat yang dianjurkan bila belum ada hasil
uji resistensi, berikan RHZES. Bila telah ada hasil uji resistensi, berikan
sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif ditambah obat lini 2
(pengobatan minimal 18 bulan) (Djojodibroto, 2014).
e. Kategori V
a. MDR TB, paduan obat yang dianjurkan sesuai dengan uji resistensi
ditambah OAT lini 2 atau H seumur hidup (Djojodibroto, 2014).
Obat-obat TB memiliki efek samping diantaranya :
1. Isoniazid

dapat

mengakibatkan

menyebabkan
mual,

muntah,

kerusakan
dan

hepar

jaundice.

yang

akan

Kadang

dapat

menyebabkan kebas pada tungkai.


2. Rifampisin dapat menyebabkan kerusakan hepar, perubahan warna air
mata, keringat, dan urine menjadi oranye.
3. Pirazinamid dapat menyebabkan kerusakan hepar dan gout.
4. Etambutol dapat menyebabkan pandangan kabur dan gangguan
penglihatan warna karena obat ini mempengaruhi Nervus optikus.
5. Streptomisin dapat menyebabkan pusing dan gangguan pendengaran
akibat kerusakan saraf telinga dalam (Djojodibroto, 2014).
F.

Hasil Pengobatan
Merupakan hasil akhir dari pengobatan penderita TB paru BTA

34

positif dan negatif. Dikategorikan menjadi :


a. Sembuh merupakan pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif
sebelum pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum BTA atau kultur
negatif pada akhir pengobatan serta sedikitnya satu kali pemeriksaan
sputum sebelumnya negatif dan pada foto toraks, gambaran radiologi
serial (minimal 2 bulan) tetap sama/ perbaikan (Djojodibroto, 2014).
b. Pengobatan lengkap merupakan pasien yang telah menyelesaikan
pengobatan tetapi tidak memiliki hasil pemeriksaan sputum atau kultur
pada akhir pengobatan.
c. Meninggal merupakan pasien yang meninggal dengan apapun
penyebabnya selama dalam pengobatan.
d. Gagal merupakan pasien dengan hasil sputum atau kultur positif pada
bulan kelima atau lebih dalam pengobatan.
e. Default/drop out merupakan pasien dengan pengobatan terputus dalam
waktu dua bulan berturut-turut atau lebih.
f. Pindah merupakan pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan pelaporan
berbeda dan hasil akhir pengobatan belum diketahui (Djojodibroto,
2014).
C.

Lain-lain

1.

Angina Pectoris
A. Definisi
Angina pectoris adalah suatu syndrome klinis yang ditandai
denganepisode atau paroksisma nyeri atau perasaan tertekan di
dada depan. Nyeri hebat yang berasal dari jantung dan terjadi
sebagai respon terhadap suplai oksigen yang tidak adekuat ke selsel miokardium dibandingkan kebutuhan mereka akan oksigen.
Nyeri angina dapat menyebar ke legan kiri, kepunggung, ke rahang
atau ke daerah abdomen. (Talbert, 2008)
B.

Jenis-Jenis Angina Pectoris


Berdasarkan kuantitas dan intensitasnya angina pectoris
terbagi menjadi :

35

1. Angina Pektoris Stabil


Nyeri dada yang awalnya agak berat berangsur-angsur
turun

kuantitas

dan

intensitasnya

dengan

atau

tanpa

pengobatan, berkurang pada saat istirahat kemudian menetap


pada aktivitas yang lebih berat dari sehari-hari, dan dapat
menjadi asimtomatik. Angina tidak berubah dalam waktu 6
bulan. Disebabkan karena kebutuhan metabolik otot jantung
dan energi yang tidak dapat dipenuhi karena terdapat stenosis
yang menetap pada arteri koroner yang disebabkan oleh proses
aterosklerosis. Keluhan nyeri dada akan timbul bila melakukan
suatu pekerjaan.
Beberapa pencetusnya seperti:
a. Selalu timbul sesudah kegiatan berat
b. Timbul sesudah melakukan kegiatan sedang ( jalan cepat
1/2km)
c. Timbul sesudah melakukan kegiatan ringan (jalan 100 m)
d. Jika melakukan aktivitas yang ringan (jalan biasa)
Beberapa contoh angina stabil :
1. Angina Nokturnal : Nyeri terjadi saat malam hari, biasanya saat
tidur, dapat dikurangi dengan duduk tegak. Biasanya akibat
gagal ventrikel kiri.
2. Angina Dekubitus : Angina saat berbaring
3. Iskemia tersamar : Terdapat bukti obyektif ischemia (seperti
tes pada stress tetapi pasien tidak menunjukkan gejala)
2. Angina Pektoris Tidak Stabil
Nyeri dada biasanya lebih berat dan lebih lama, mungkin
timbul pada waktu istirahat atau aktivitas yang minimal,
biasanya disertai dengan keluhan sesak napas, mual, muntah,
keringat dingin. Frekwensi, intensitas, dan durasi serangan
angina meningkat secara progresif. Rasa sakit di dada dapat
berlangsung selama 10 atau 15 menit dan tidak berkurang

36

dengan istirahat atau obat-obatan. Unstable angina tidak


mengikuti pola tertentu seperti stable angina dan dapat menjadi
indikasi serangan jantung dalam waktu dekat. Disebabkan
primer oleh kontraksi otot poles pembuluh koroner sehinggga
mengakibatkan iskeia miokard. Patogenesis spasme tersebut
hingga kini belum dapat diketahui, kemungkinan tonus
alphaadrenergik yang berlebihan. Manifase pembuluh koroner
yang paling sering adalah variant (prinzmental).

Angina jenis ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


a. Angina yang baru terjadi (dalam 1 bulan)
b. Crescendo Angina (meningkatnya frekuensi atau keparahan
dalam beberapa hari atau minggu)
c. Insufisiensi koroner akut (nyeri angina yang menetap pada saat
istirahat tanpa adanya infark miokardium)
d. Angina Refrakter atau intraktabel, angina yang sangat berat
3.

sampai tidak tertahan


Varian angina (Angina Prinzmetal)
Nyeri angina yang bersifat spontan disertai elevasi segmen ST pada
EKG, di duga disebabkan oleh spasme arteri koroner. Variant angina dapat
diatasi dengan minum obat yang sesuai. Angina ini terjadi biasanya antara
tengah malam dan pagi hari. Disebabkan oleh vasospasma . Vasospasma
merupakan kekejangan yang disebabkan oleh penyempitan arteri koronari
dan berkurangnya aliran darah ke jantung. Angina jenis ini jarang terjadi.
Variant angina atau Prinzmetals angina pertama kali dikemukakan
pada tahun 1959 digambarkan sebagai suatu sindroma nyeri dada sebagai
akibat iskemia miokard yang hampir selalu terjadi saat istirahat. Hampir
tidak pernah dipresipitasi oleh stress / emosi dan pada pemeriksaan EKG
didapatkan adanya elevasi segmen ST. (Talbert, 2008)
Mekanisme iskemia pada Prinzmetals angina terbukti disebabkan
karena terjadinya spasme arteri koroner. Kejadiannya tidak didahului oleh
meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Hal ini dapat terjadi pada arteri
koroner yang mengalami stenosis ataupun normal. Proses spasme biasanya

37

bersifat lokal hanya melibatkan satu arteri koroner dan sering terjadi pada
daerah arteri koroner yang mengalami stenosis. (Talbert, 2008)
Penderita dengan Prinzmetals angina biasanya terjadi pada
penderita lebih muda dibandingkan dengan angina stabil ataupn angina
tdiak stabil. Seringkali juga tidak didapatkan adanya faktor risiko yang
klasik kecuali perokok berat. Serangan nyeri biasanya terjadi antara tengah
malam sampai jam 8 pagi dan rasa nyeri sangat hebat. Pemeriksaan fisik
jantung biasanya tidak menunjukkan kelainan. (Talbert, 2008)
Pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan adanya elevasi segmen
ST (kunci diagnosis). Pada beberapa penderita bisa didahului depresi
segmen ST sebelum akhirnya terjadi elevasi. Kadang juga didapatkan
perubahan gelombang T yaitu gelombang T alternan, dan tidak jarang
disertai dengan aritmia jantung. (Talbert, 2008)
C. Epidemiologi Angina Pektoris
Penyakit kardiovaskular adalah penyebab utama kematian di
Amerika Serikat dan sekitar setengah dari penyakit kardiovaskular yang
sering terjadi adalah penyakit jantung koroner. Angina pectoris merupakan
tanda klinis pertama pada sekitar 50% pasien yang mengalami penyakit
jantung koroner.(Kimble) Angina pectoris dilaporkan terjadi dengan rata
rata kejadian 1,5% tergantung pada jenis kelamin, umur, pasien dan faktor
resiko. Data dari studi Framingharm pada tahun 1970 dengan studi Kohort
diikuti selama 10 tahun menunjukkan prevalensi sekitar 1.5% untuk
wanita dan 4.3% untuk pria berusia 50 59 tahun. American Heart
Association memperkirakan prevalensi angina pectoris mencapai 6,4juta di
tahun 1998. Resiko perkembangan IHD tidak sama di deluruh dunia.
Negara seperti Jepang dan Prancis memiliki perkembangan yang rendah,
sedangkan Finlandia, Irlandia, Skotlandia dan Afrika Selatan rata rata
memiliki perkembangan IHD yang tinggi. (Talbert, 2008)
D. Etiologi Angina Pektoris
Angina pektoris biasanya berkaitan dengan penyakit jantung
koroner aterosklerotik, tapi dalam beberapa kasus dapat merupakan
kelanjutan dari stenosis aorta berat, insufisiensi atau

hipertrofi

38

kardiomiopati tanpa atau disertai obstruksi, aortitis sifilitika, peningkatan


kebutuhan metabolik (seperti hipertiroidisme atau pascapengobatan tiroid),
anemia yang jelas, takikardi paroksismal dengan frekuensi ventrikular
cepat, emboli, atau spasme koroner. (Katzung, 2002)
Penyakit jantung iskemik merupakan masalah jantung serius yang
paling lazim terjadi di banyak masyarakat Barat. Sejauh ini yang paling
sering menyebabkan angina adalah obstruksi ateromatus pembuluh
pembuluh darah koroner besar ( angina aterosklerotik, angina klasik).
Walaupun demikian spasme sesaat dari pembuluh darah setempat yang
biasanya dikaitkan dengan terbentuknya ateroma yang mendasarinya,
dapat pula menyebabkan iskemia miokardium yang bermakna serta
kemudian menimbulkan nyeri (angiospastik atau angina varian). Penyebab
utama angina pectoris adalah suatu ketidakseimbangan antara kebutuhan
oksigen jantung dengan jumlah oksigen yang dipasok ke jantung melalui
pembuluh darah koroner. Pada angina klasik, ketidakseimbangan terjadi
ketika kebutuhan oksigen miokardium meningkat, seperti dalam latihan,
sedang aliran darah koroner tidak ikut meningkat secara proporsional.
Iskemia yang terjadi biasanya menyebabkan rasa nyeri. Oleh karena itu
angina

klasik

merupakan

angina

pada

saat

melakukan

suatu

usaha/aktivitas (angina of effort). Pada angina varian pengiriman oksigen


menurun sebagai akibat dari vasospasme koroner yang reversible.
(Katzung, 2002)
a. Faktor Predisposisi
Faktor yang dapat diubah atau dimodifikasi yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Diet (hiperlipidemia)
Rokok
Hipertensi
Stress
Obesitas
Kurang aktifitas
Diabetes Mellitus
Pemakaian kontrasepsi oral
Faktor yang tidak dapat diubah, yaitu:

a. Usia
b. Jenis Kelamin

39

c. Ras
d. Herediter
Faktor pencetus yang dapat menimbulkan serangan antara lain :
a. Stress atau berbagai emosi amarah akibat situasi yang menegangkan,
mengakibatkan frekuensi jantung meningkat, akibat pelepasan adrenalin
dan meningkatnya tekanan darah, dengan demikian beban kerja jantung
juga meningkat.
b. Kerja fisik terlalu berat dapat memicu serangan dengan cara meningkatkan
kebutuhan oksigen jantung
c. Makan makanan berat akan meningkatkan aliran darah ke daerah
mesentrik untuk pencernaan, sehingga menurunkan ketersediaan darah
untuk suplai jantung. (pada jantung yang sudah sangat parah, pintasan
darah untuk pencernaan membuat nyeri angina semakin buruk).
d. Pajanan terhadap dingin dapat mengakibatkan vasokonstriksi dan
peningkatan tekanan darah, disertai peningkatan kebutuhan oksigen.
E. Patofisiologi Angina Pektoris
Angina pektoris biasanya terjadi ketika kebutuhan oksigen
melebihi suplai oksigen di miokardium. Kondisi patologis yang mendasari
ketidakseimbangan ini adalah adanya aterosklerosis pada satu atau lebih
arteri koroner epicardial (pembuluh konduktansi). Pada pasien dengan
angina stabil kronis, stenosis arteri koroner yang paling banyak adalah
melebihi 70%. Penurunan linear dalam aliran darah koroner terjadi jika
plak menempati lebih dari 80% lumen arteri. Pada titik ini, penurunan
aliran darah tidak sesuai dengan ukuran plak. Aliran darah yang terganggu
dengan lesi aterosklerotik mungkin dipengaruhi oleh disfungsi vasomotor
menyebabkan vasokonstriksi abnormal dan mengakibatkan berkurangnya
suplai darah. Secara fungsional, aliran darah koroner tidak ada ketika lesi
menyumbat lebih dari 95% dari lumen pembuluh darah. (Price, 2013)
Pembuluh darah kolateral bisa memberikan perlindungan melawan
iskemia miokard. Pembuluh ini biasanya sangat kecil dan tidak memiliki
fungsi dalam jantung normal. Jika aliran darah tersumbat, pembuluh
kolateral dapat mengembalikan beberapa aliran darah miokard. Ketika

40

kebutuhan oksigen miokard meningkat secara berlebihan, aliran darah


kolateral biasanya tidak mencukupi, dan angina atau sindrom iskemia
miokard lainnya pun berkembang. (Price, 2013)
Dengan pemahaman menyeluruh dari faktor-faktor penentu suplai
dan kebutuhan oksigen miokard, maka dapat untuk lebih memahami
penggunaan obat-obatan pada sindrom anginal stabil dan tidak stabil.
(Price, 2013)
a. Kebutuhan dan Suplai Oksigen Miokard
Kebutuhan oksigen jantung ditentukan oleh beban kerjanya. Faktor
penentu utama pemakaian oksigen di miokardium adalah denyut jantung,
kontraktilitas, dan tekanan dinding intramyocardial selama sistol. Tekanan
dinding intramyocardial , yang merupakan kekuatan dari jantung
diperlukan untuk mengembangkan dan mempertahankan selama kontraksi,
yang dipengaruhi terutama oleh perubahan tekanan dan volume ruang
ventrikel. Pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan dalam ventrikel
sistolik meningkatkan kekuatan dinding dan kebutuhan oksigen miokard.
Peningkatan kontraktilitas dan denyut jantung juga menyebabkan
kebutuhan oksigen meningkat. Kontrol farmakologis dari angina sebagian
diarahkan terhadap penurunan kebutuhan oksigen miokard dengan
menurunkan denyut jantung, kontraktilitas miokard, atau tekanan dan
volume ventrikel. (Price, 2013)
Dari banyak faktor yang mempengaruhi suplai oksigen ke jantung,
aliran darah koroner dan pengeluaran oksigen adalah yang paling penting.
Pengeluaran oksigen oleh sel-sel jantung cukup tinggi (~ 70% -75%)
bahkan pada saat istirahat. Karena pengeluaran oksigen meningkat hanya
sedikit ketika jantung bekerja sangat berat, kebutuhan oksigen yang tinggi
harus dipenuhi oleh peningkatan aliran darah koroner. Peningkatan
mendadak kebutuhan oksigen menyebabkan penurunan cepat dalam
resistensi pembuluh darah koroner dan peningkatan aliran darah koroner.
Mekanisme dimana resistensi arteri koroner menurun selama peningkatan
kebutuhan tidak sepenuhnya jelas, tetapi mungkin melibatkan berbagai
mediator, seperti adenosin dan nitrat oksida (NO) dilepaskan dari miosit

41

dan endothelium. Kandungan oksigen dari darah arteri juga penting. Oleh
karena itu, hematokrit (Hct), hemoglobin (Hb), dan gas darah arteri (ABG)
harus dipantau. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen miokard, kontrol
farmakologis angina diarahkan dengan cara meningkatkan suplai oksigen
melalui vasodilatasi pembuluh darah koroner epicardial. (Price, 2013)
b. Iskemia
Iskemia pada miokardium terjadi ketika ada ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen di miokardium. Ketidakseimbangan
ini sering disebabkan oleh penurunan aliran darah sebagai akibat dari
peningkatan denyut arteri koroner atau pembentukan trombus. Kondisi ini
dikenal sebagai supply ischemia atau low-flow ischemia dan biasanya
terjadi pada saat sindrom koroner akut (ACS) seperti angina tidak stabil
atau MI. Dalam kondisi berbeda, iskemia bisa hasil dari peningkatan
kebutuhan oksigen miokard ketika suplainya tetap. Kondisi ini dikenal
sebagai demand ischemia atau high-flow ischemia dan biasanya ada dalam
pengaturan angina stabil kronis dimana pasien memiliki persediaan tetap
pada miokardium dan menjalani exercise. (Price, 2013)
Meskipun hal itu berguna untuk memudahkan pemahaman tentang
bagaimana iskemia miokard berkembang, pada kenyataannya sebagian
besar pasien baik angina stabil kronis atau ACS berkembang iskemia dari
peningkatan kebutuhan oksigen dan penurunan suplai oksigen. Seperti
yang telah dibahas, pada bagian arteri koroner di mana lesi aterosklerotik
telah berkembang, fungsi vasomotor dari dinding arteri sering mengalami
abnormalitas terhadap disfungsi endotel. Hal ini dapat menyebabkan
vasokonstriksi abnormal dengan memburuknya iskemia yang berlangsung
pada pasien dengan angina stabil kronis. Dalam pengaturan ACS, aliran
darah koroner sering menurun secara akut. Vasokonstriksi koroner bisa
terjadi pada sindrom koroner akut ini juga. (Price, 2013)
c. Intracellular Sodium and Calcium Handling
Penelitian baru-baru ini menyoroti peran arus late sodium current
(INa)

dalam

pengembangan

dan

pemeliharaan

iskemia

miokard.

42

Kebanyakan natrium memasuki miokardium pada fase 0 dari potensial


aksi. Dibawah kondisi normal, sejumlah kecil natrium akan masuk ke
dalam sel selama 2 fase (plateau phase) dari potensial aksi. Ketika iskemia
terjadi, natrium diubah sehingga peningkatan yang substansial terjadi di
(INa) terlambat. Peningkatan natrium intraseluler memicu peningkatan
masuknya kalsium melalui cara dari penukar natrium-kalsium. Hasil dari
perubahan dalam penanganan ion intraselular adalah kalsium intraseluler
yang overload. Peningkatan kalsium intraseluler mengganggu relaksasi
miokard, meningkatkan tekanan dinding intramyocardial, menurunkan
perfusi pada miokardium karena untuk meningkatkan kebutuhan oksigen
miokard. Akhirnya perubahan patologis ini mengubah penggunaan natrium
dan kalsium yang berfungsi secara terus-menerus dan memperburuk
iskemia. Proses patologis ini telah menyebabkan perkembangan baru obat
anti-anginal (misalnya, ranolazine) dengan mekanisme aksi berbeda
dibandingkan dengan obat anti-anginal sebelumnya (yaitu, nitrat, blocker, dan calcium channel blockers). (Price, 2013)
d. Aterosklerotik Pembuluh Darah
Meskipun memahami faktor-faktor penentu suplai dan kebutuhan
oksigen miokardium penting dalam mengobati penyakit jantung koroner,
sama pentingnya adalah memahami bagaimana plak aterosklerotik
berkembang. Melalui pemahaman ini, pilihan farmakoterapi yang rasional
dapat ditentukan, dan proses aterosklerosis dapat dihentikan atau
dicegah. (Price, 2013)
Aterosklerosis ini pernah dianggap sebagai penyakit sederhana
yang melibatkan akumulasi lemak berlebihan dalam dinding arteri. Saat
ini, aterosklerosis diketahui sebagai proses yang kompleks. Kemajuan
terbaru dalam biologi vaskular menunjukkan bahwa inflamasi memainkan
peran mendasar dalam semua tahap proses aterosklerotik. Pemeriksaan lesi
aterosklerotik menunjukkan bahwa setiap plak mengandung unsur
inflamasi

dan

respon

fibroproliferative.

Meskipun

tahap

awal

aterosklerosis tetap spekulatif, umumnya berpikir bahwa langkah pertama

43

adalah akumulasi lipid (terutama low-density lipoprotein kolesterol [LDLC]) pada dinding pembuluh darah dan oksidasi selanjutnya lipoprotein
LDL. Ini diikuti dengan pengerahan leukosit dan akumulasi pada dinding
pembuluh. Setelah dalam dinding arteri, leukosit dapat mengambil
kolesterol teroksidasi dan menjadi makrofag lemak (sel busa). Ketika
progres

lesi, sel otot polos bermigrasi, berkembang biak, dan

mengeluarkan

sejumlah

besar

matriks

ekstraseluler

(kolagen),

dipromosikan dengan melepaskan beberapa sitokin proinflamasi yang


diproduksi oleh leukosit. Hasil akhirnya adalah tingginya pembentukan
plak, yang menyumbat lumen pembuluh. Proses inflamasi tidak hanya
terlibat dalam inisiasi dan perkembangan aterosklerosis, tetapi juga secara
langsung terlibat dalam komplikasi trombotik akut aterosklerosis, seperti
MI atau angina tidak stabil. Sitokin diproduksi oleh makrofag diaktifkan
menginduksi produksi enzim proteolitik, yang memecah matriks
ekstraseluler dan membuat plak lebih rentan terhadap rupture. (Price,
2013)
Faktor risiko, seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes,
dan obesitas, terkait dengan proses aterosklerosis melalui kemampuan
mereka untuk menghasilkan stres oksidatif di dalam pembuluh darah
tersebut. Stres oksidatif meningkat menyebabkan penurunan progresif
tingkat NO

dan disfungsi endotel, memberikan substrat untuk

aterosklerosis berkembang. Selain itu, pola diet biasanya terlihat di


negara-negara barat telah dikaitkan dengan stres oksidatif yang meningkat
dalam pembuluh darah tersebut. Hal ini mungkin dapat menjelaskan
hubungan antara pola diet dan perkembangan atherosclerosis. Penelitian
terbaru memberikan pemahaman yang lebih mendalam hubungan antara
obesitas dan perkembangan CAD. Jaringan adiposa, lebih daripada hanya
sebagai pembawa penyimpanan pasif, adalah organ yang aktif secara
metabolik yang mengeluarkan sejumlah sitokin aktif yang meningkatkan
inflamasi dan stres oksidatif dalam vasculature. Tingkat adiponektin juga
menurun pada obesitas, yang selanjutnya berfungsi untuk mempromosikan
perkembangan aterosklerosis . Peran gaya hidup sehat dan pola diet

44

keduanya lebih penting dari pada mencegah perkembangan atau


perkembangan CAD. (Price, 2013)
Meskipun faktor risiko telah lama diakui sebagai penyebab untuk
perkembangan

CAD,

upaya

penelitian

terus

berusaha

untuk

mengidentifikasi faktor risiko baru untuk memperbaiki penilaian risiko


untuk perkembangan CAD. Faktor risiko baru ini meliputi protein Creaktif, homosistein, fibrinogen, dan lipoprotein (a), dan lainnya. Dalam
penelitian internasional case-control yang besar, sembilan faktor risiko
klinis yang sangat terkait dengan perkembangan MI yang pertama dan
menyumbang> 90% dari risiko untuk mengembangkan CAD (merokok,
psychosocial, diabetes, hipertensi,dll). Yang penting hasilnya konsisten di
seluruh

jenis

kelamin,

wilayah

geografis,

dan kelompok

etnis,

menunjukkan strategi untuk mengurangi timbulnya CAD dapat diterapkan


secara universal. (Price, 2013)
e. Agregasi Platelet dan Pembentukan Trombus
Meskipun plak pecah (ruptur) dan pembentukan lapisan trombus
biasanya dipertimbangkan dalam patofisiologi ACS, aktivasi platelet dan
pembentukan trombus juga merupakan bagian integral dari proses
aterosklerotik

kronis.

Kemajuan

dalam

biologi

vascular

telah

menunjukkan bahwa trombosit bisa menjadi sumber mediator inflamasi.


Untuk merespon kerusakan dinding pembuluh arteri (misalnya, lesi
aterosklerosis), agregat platelet dan melepaskan isi granular. Aktivitas ini
meningkatkan agregasi platelet, vasokonstriksi (obstruksi dinamis), dan
dalam banyak kasus, pembentukan trombus. Meskipun aterosklerosis
koroner adalah mekanisme yang untuk sebagian besar pasien dengan
sindrom anginal, faktor trombotik sering memainkan peran kunci dalam
patogenesis iskemia miokard. Aliran darah turbulensi dan stasis dapat
menyebabkan agregasi trombosit intermiten atau trombosis arteri koroner
intermiten. Dengan demikian, agen platelet aktif digunakan dalam
pengobatan angina stabil kronis dan angina tidak stabil, pencegahan
primer MI (Miokard Infark), pencegahan sekunder dari iskemia miokard

45

dan MI akut, dan pada pasien setelah angioplasti koroner atau bypass
grafting arteri koroner (CABG). (Price, 2013)

Patofisiologi Angina Pectoris (Price, 2013)


F. Manifestasi Klinis
a. Nyeri seperti diperas, diikat atau tertekan (biasanya tidak menusuk), terjepit,
terasa panas di daerah perikardium, sternal, atau substernum dada,
kemungkinan menyebar ke lengan, permukaan dalam tangan kiri, permukaan
ulnar jari manis dan jari kelingking, rahang bawah, atau thoraks yang
menghilang selama 2-10 menit.
b. Rasa sesak, tercekik dan kualitas yang terus-menerus.
c. Rasa lemah atau baal di lengan atas, pergelangan tangan dan tangan yang
menyertai nyeri
d. Pada angina stabil dan tidak stabil, nyeri biasanya berkurang dengan istirahat.
Angina Prinzmental tidak mereda dengan istirahat tetapi biasanya menghilang
selama 5 menit.
e. Tercetus oleh
1) Latihan fisik, dapat memicu serangan dengan cara meningkatkan kebutuhan
oksigen jantung

46

2) Pajanan terhadap dingin, dapat mengakibatkan basokonstriksi dan


peningkatan tekanan darah, disertai dengan peningkatan kebutuhan oksigen
3) Makan makanan berat akan meningkatkan aliran darah ke daerah mesenterik
untuk pencernaan, sehingga menurunkan ketersediaaan darah untuk suplai
jantung (pada jantung yang sudah sangan parah, pintasan darah untuk
pencernaan membuat nyeri angina semakin buruk)
4) Stress atau berbagai emosi akibat situasi yang menegangkan, menyebabkan
frekuensi jantung meningkat, akibat pelepasan adrenalin dan meningkatnya
tekanan darah, dengan demikian beban kerja jantung juga meningkat.
5) Tanda utama adalah depresi segmen ST pada elektrokardiogram (EKG)
selama serangan.
6) Pemeriksaan klinik sistem kardiovaskular dan elektrokardiogram di antara
waktu serangan biasanya normal. (Sudoyo, 2009)

(Price, 2013)
D. Diagnosis

47

Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat


penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam
keluarga, anamnesis susunan atau anamnesis pribadi.(Sudoyo, 2009)
a) Identitas
Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atu tanggal lahir, jenis
kelamin, namaorang tua, pendidikan, pekerjaan suku bangsa dan agama.
b) Keluhan Utama (Presenting Symptom)
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa
pasien pergi kedokter ataupun mencari pertolongan. Dalam keluhan utama harus
disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terinci dan
jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama
pasien datang berobat. Riwayat perjalana penyakit disusun yang baik dan
sesuai dengan apa yan diceritakan oleh pasien. Dalam melakukan anamnesis, (1)
waktu dan lama keluhan berlangsung (2) sifat dan berat beratnya serangan (3) Lokalisasi
dan penyebarannya, menjalar atau berpindah-pindah (4) Hubungannya dengan
waktu misalnya pagi lebih sakit atau siang atau sore, (5) hubungan dengan
aktivitas, (6) Keluhan-keluhan yang menyertai serangan (7) Apakah
keluhan baru pertama kali atau berulang kali (8) faktor risiko dan pencetus
serangan.
d) Riwayat penyakit dahulu
Bertujuan untuk mengtahui kemungkina-kemungkinan adanya hubungan
yang pernah diderita dengan penyakit sekarang. Tanyakan pula apakah
pasien pernah mengalami kecelakaan, menderita penyakit yang berat dan
menjalani operasi tertentu, riwayat alergi obat dan makanan, lama
perawatan, apakah sembuh sempurna atau tidak.
e) Riwayat peribadi
Riwayat peribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan
kebiasaan. Perlu ditanya pula apakah pasien mengalami kesulitan dalam
kehidupan

hariannya

seperti

masalah

keuangan,

perkerjaan

dan

sebagainya. Kebiasaan yang ditanya adalah kebiasaan merokok, minum


alkohol termasuk penyalahgunaan obat yang terlarang (narkoba). Pasien
yang sering melakukan perjalanana juga harus ditanyakan tujuan
perjalanan yang telah dilakukan untuk mencari kemungkinan tertular

48

penyakit infeksi tertentu di tempat perjalananya. Bila ada indikasi riwayat


perkawinan dan kebiasaan seksual juga harus ditanyakan. (Sudoyo, 2009)
E. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan

fisik biasanya

normal

pada

penderita angina

pectoris. Tetapi pemeriksaan fisik yang dilakukan saat serangan angina


dapat

memberikan

informasi

tambahan yang

berguna.

Adanya gallop, mur-mur regurgitasi mitral, split S2 atau ronkhi


basah basal yang kemudian menghilang bila nyerinya mereda dapat
menguatkan diagnosa PJK. Hal-hal lain yang bisa didapat dari
pemeriksaan

fisik

adalah tanda-tanda adanya faktor resiko,

misalnya tekanan darah tinggi. (Sudoyo, 2009)

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogram (EKG)
Gambaran EKG saat istirahat dan bukan pada saat serangan angina sering
masih normal. Gambaran EKG dapat menunjukkan bahwa pasien pernah
mendapat infark miokard di masa lampau. Kadang-kadang menunjukkan
pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina, dapat pula
menunjukkan perubahan segmen ST dan gelombang T yang tidak khas.
Pada saat serangan angina, EKG akan menunjukkan depresi segmen
ST dan gelombang T dapat menjadi negatif.(Sudoyo, 2009)
b. Foto rontgen dada
Foto rontgen dada sering menunjukkan bentuk jantung yang normal. Pada
pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang
tampak adanya kalsifikasi arkus aorta. (Sudoyo, 2009)
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam diagnosis angina
pektoris. Walaupun demikian untuk menyingkirkan diagnosis infark
jantung akut sering dilakukan pemeriksaan enzim CPK, SGOT atau LDH.
Enzim tersebut akan meningkat kadarnya pada infark jantung akut
sedangkan pada angina kadarnya masih normal. Pemeriksaan lipid darah
seperti kolesterol, HDL, LDL, trigliserida dan pemeriksaan gula darah

49

perlu dilakukan untuk mencari faktor risiko seperti hiperlipidemia dan/atau


diabetes melitus. (Sudoyo, 2009)
Pemeriksaan jantung secara spesifik bisa non-invasif atau invasif dan
mungkin digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis iskemia pada pasien
yang diduga mengalami angina stabil, untuk mengidentifikasi kondisi
terkait faktor pencetus, untuk stratifikasi risiko, dan untuk mengevaluasi
efektivitas pengobatan. Beberapa pemeriksaan tersebut seharusnya
dilakukan secara rutin pada semua pasien. Dalam prakteknya, pemeriksaan
diagnostik dan prognostik dilakukan bersama-sama, bukan terpisah, dan
banyak dari investigasi yang digunakan untuk diagnosis juga menawarkan
informasi prognostik. (Sudoyo, 2009)
Berikut ini adalah klasifikasi Angina Pectoris menurut Canadian
Cardiovascular Society Classification System :
a. Kelas I : Pada aktivitas fisik biasa tidak mencetuskan angina.
Angina akan muncul ketika melakukan peningkatan aktivitas fisik
(berjalan cepat, olahraga dalam waktu yang lama).
b. Kelas II : Adanya pembatasan aktivitas sedikit / aktivitas sehari-hari
(naik tangga dengan cepat, jalan naik, jalan setelah makan, stres,
dingin).
c. Kelas III : Benar-benar ada pembatasan aktivitas fisik karena sudah
timbul gejala angina ketika pasien baru berjalan 1 blok atau naik
tangga baru 1 tingkat.
d. Kelas IV : Tidak bisa melakukan aktivitas sehari-sehari, tidak
nyaman, untuk melakukan aktivitas sedikit saja bisa kambuh, bahkan
waktu istirahat juga bisa terjadi angina. (Talbert, 2008)
Tes diagnosis yang dapat dilakukan diantaranya yaitu:
1) Gambaran elektrokardiogram saat istirahat (EKG) diikuti dengan latihan
tes toleransi biasanya tes pertama dilakukan untuk pasien yang stabil.
2) Foto x-ray dada seharusnya dilakukan jika pasien memiliki gejala gagal
jantung.
3) Menggunakan radioisotop untuk mendeteksi iskemik miokardium dan
mengukur fungsi ventrikel. thalium 201: tampak area iskemik sebagai
area pengambilan thalium yang menurun

50

4) Echocardiography juga dapat digunakan untuk menilai gerak dinding


ventrikel saat istirahat atau selama ada tekanan / stres.
5) Kateterisasi jantung dan arteriografi koroner digunakan untuk menentukan
anatomi arteri, merupakan satu-satunya teknik yang memungkinkan untuk
melihat penyempitan pada koroner. Suatu kateter dimasukkan lewat arteri
femoralis ataupun brakialis dan diteruskan ke aorta ke dalam muara arteri
koronaria kanan dan kiri. Media kontras radio grafik kemudian
disuntikkan dan cineroentgenogram akan memperlihatkan kontur arteri
serta daerah penyempitan. Kateter ini kemudian didorong lewat katup
aorta untuk masuk ke ventrikel kiri dan disuntikkan lebih banyak media
kontras untuk menentukan bentuk, ukuran, dan fungsi ventrikel kiri. Bila
ada stenosis aorta, maka derajat keparahannya akan dapat dinilai, demikian
juga kita dapat mengetahui penyakit arteri koroner lain. Arteri koroner
bypass grafting (CABG), atau prosedur revaskularisasi lainnya (3) juga
dapat digunakan untuk fungsi diagnostik.
6) Multigated imaging (MUGA) : mengevaluasi penampilan ventrikel
7) Injeksi ergonovine (Ergotrate) : pasien yang mengalami angina saat
istirahat menunjukkan hiperspastik pembuluh coroner. (Sudoyo, 2009)
G. Penatalaksanaan
a. Terapi Farmakologi
Tujuan terapi jangka pendek untuk penyakit jantung iskemik
adalah untuk mengurangi atau mencegah gejala angina yang membatasi
exersice dan mengganggu kualitas hidup. Tujuan jangka panjang terapi
adalah mencegah kejadian CHD (Coronary Heart Diseases) seperti infark
miokard, aritmia, dan gagal jantung dan untuk memperpanjang kualitas
hidup pasien. (Talbert, 2008)
Langkah pertama dalam pengobatan angina stabil kronis atau CAD
(Coronary Artery Disease), maka harus ada modifikasi setiap faktor risiko
dan adanya penerapan hidup sehat

(1,2)

serta digunakan terapi dengan 3

golongan utama yaitu nitrat, -blocker, calsium channel blocker, dan


ranolazine. (Talbert, 2008)
1) Nitrat

51

Nitrat menjadi pilhan pertama dalam mengelola serangan akut pada


pasien angina stabil kronis jika serangan tersebut jarang terjadi (yaitu
hanya beberapa kali per bulan) atau untuk profilaksis gejala ketika
melakukan kegiatan. (Talbert, 2008)
Nitrat efektif digunakan untuk semua kelas angina karena dapat
mengurangi aliran balik vena ke jantung sehingga mengurangi beban kerja
jantung. Nitrat dapat memvasodilatasi koroner. Nitrat pada umumnya
dapat ditoleransi dengan baik. Untuk mencegah efek yang merugikan
akibat penggunaan jangka panjang, maka harus ada interval bebas nitrat 10
sampai 12 jam. Oleh karena itu, nitrat harus dikombinasikan dengan blocker atau CCB (misalnya verapamil, diltiazem). (Koda-Kimble, 2009)
Organik Nitrat yang Umumnya Digunakan

Onset
Drug
Short-acting
Nitroglycerin

Dosage Form

Duration (min)

Usual Dosage

Sublingual (SL)

1030

13

0.40.6 mga,b

(NTG)
NTG

min
Translingual spray 1030

24

0.4 mg/metered spraya,b

NTG

Intravenous (IV)

min
35 minc 12

Initially 5 mcg/min. Increase


every (Q) 35 min
until pain is relieved or
hypotension occurs

Long-acting
NTG

Sustained

NTG
NTG

(SR) capsule
Topical ointmente 48 hr
30
12 inches Q 46 hrf
Transdermal patch 4>8 hr 3060 0.10.2 mg/hr to start; titrate

NTG
ISDNg

ISMNh

release48 hr

Transmucosal
36 hr
SL
24 hr
Chewable
24 hr
Oral
26 hr
SR
48 hr
Tab
(ISMO,78 hr
Monoket)

30

6.59 mg Q 8 hr

up to 0.8 mg/hrf
25
13 mg Q 35 hrf
25
2.510 mg Q 24 hrf
25
510 mg Q 24 hrf
1540 1060 mg every 46 hrf
1540 4080 mg Q 68 hrf
3060 1020 mg twice daily (BID)
(morning and midday)

52

to start; titrate to 2040 mg


SR tablet (Imdur)

812 hr

BIDf
3060 60 mg every day (QD) to
start; titrate to 30120 mg
QD

Nitrat menghasilkan vasodilatasi dengan 2 mekanisme, yaitu :


menstimulasi

produksi

monofosfat

siklik

guanosin

(cGMP)

dan

penghambatan sintetase tromboksan. Nitrat organik diubah menjadi NO.


Oksida nitrat identik dengan EDRF, senuah vasodilator endogen. Nitrat
oksida bereaksi dengan kelompok sulfhidril pada otot polos vaskular untuk
menghasilkan S-nitrosothiol. Yang kemudian mengaktifkan adenilat
guanilat dan meningkatkan konsentrasi cGMP intraselular. Yang mana
cGMP mengatur jumlah kalsium otot polos vaskuler yang dapat
menyebabkan kontraksi otot dengan mengikat kalmodulin dan fosforilasi
rantai miosin. (Koda-Kimble, 2009)
2) -blocker
Terapi profilaksis untuk pasien dengan episode angina perhari lebih
dari sekali dapat digunakan agen -blocker(3). Bahkan -blocker dapat
mengurangi keparahan dan frekuensi serangan angina axertional serta
dapat meningkatkan keberlangsungan hidup pasien pada pasien yang telah
infark miokard. Sebaliknya, agen ini tidak dapat digunakan untuk angina
vasospastic (angina varian)

(2)

. Rokok mampu mengurangi efektivitas dari

antiangina. Hal ini mungkin akibat dari peningkatan metabolesme hepatik


obat atau adanya keterkaitan efek merokok dengan MVO2 dan oksigenasi.
(Talbert, 2008)
Kebanyakan -blocker memiliki efektivitas yang sama dalam
pengobatan angina exertional. Timolol, metoprolol, atenolol, dan
propranolol telah terbukti memberikan efek kardioprotektif (5). -blocker
dengan waktu paruh yang lama (misalnya, nadolol) lebih cenderung
mempengaruhi produk ganda untuk jangka waktu yang lebih lama dan
dosis yang lebih sedikit perhari(3). Efektivitas -blocker dalam pengobatan

53

angina exertional disebabkan adanya penurunan oksigen miokard saat


istirahat dan selama eksersi, meskipun ada juga kecendrungan aliran darah
meningkat ke arah daerah iskemik. Penurunan kebutuhan oksigen
dikarenakan efek kronotropik negatif (terutama saat berolahraga), efek
inotropik negatif, dan penurunan tekanan darah arteri (terutama tekana
sistolik) selama latihan. (Brunton, 2006)
Pemilihan -blocker pada angina berdasar pada pemilihan dosis
yang tepat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan memilih
antiangina yang dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien dan biaya.
(Talbert, 2008)
3) Calsium Channel Blocker
CCB (Calcium Channel Blocker) memiliki keuntungan potensial
dengan meningkatkan aliran darah koroner melalui vasodilatasi arteri
koroner serta penurunan MVO2 dan dapat digunakan sebagai pengganti blocker untuk terapi profilaksis kronis, namun pada angina stabil kronis,
uji coba

komparatif

antara

long-acting

CCB dengan -blocker

menunjukkan respon yang signifikan. Penggunaan CCB dapat digunakan


pada banyak pasien yang kontraindikasi pada penggunaan -blocker.
(Brunton, 2006)
CCB merupakan senyawa yang sangat beragam dalam struktur kimia
serta memiliki spesifisitas untuk jaringan jantung dan perifer. Berdasarkan
karakteristik tersebut, maka CCB dapat diklasifikasikan dalam bebrapa
jenis utama. (Kode-Kimble, 2009)
Calcium Channel Blockers in Anginal Syndromes

Usual

Dose

for

Drug Name FDA Approved Chronic Stable Angina Product Availability


Dihydropyridines
Amlodipine Angina,
2.510 mg QD
2.5, 5, 10 mg tab
Felodipine
Isradapine

hypertension
Hypertension
Hypertension

Nicardipine

Angina

520 mg QD
2.510 mg BID
510 mg QD
(IR2040 mg TID

5, 10 mg ER tab
2.5, 5 mg IR cap
5, 10 mg CR tab
20, 30 mg IR cap

54

Nifedipine

only),
Hypertension
Angina,

3060 mg BID
1030 mg TID

30, 45, 60 mg SR cap


10, 20 mg IR cap

30180 mg QD
2060 mg QD

30, 60, 90 mg ER tab


10, 20, 30, 40 mg ER

Hypertension
Nisoldipine

Hypertension

(Sular)
Diphenylalkylamines
Verapamil
Angina,
hypertension,
SVT

tab
30120 mgTID/QID

40, 80, 120 mg IR tab

120240 mg BID

120, 180, 240 mg SR

120480 mg Q HS

tab
180, 240 mg DR, ER tab
120, 180, 240, 360 mg
ER cap
100, 200, 300 mg DR,
ER tab

Benzothiazepines
Diltiazem
Angina,
hypertension,
SVT

30120 mg TID/QID

30, 60, 90, 120 mg IR

60180 mg BID

tab
60, 90, 120, 180 mg SR

120480 mg QD

cap
120, 180, 240, 300, 360
mg cap
120, 180, 240 mg ER
cap
120, 180, 240, 300, 360,
420 mg ER cap

Diltiazem dan verapamil memberi efek kualitatif yang serupa pada


jaringan miokard dan perifer. Kedua obat ini memperlambat konduksi dan
memperlama periode refraktori pada nodus AV. Kedua agen ini dapat
menekan kontraktilitas miokard dan harus digunakan dengan disfungsi LV
(gagal jantung). Agen ini merupakan vasodilator perifer sedang dan
vasodilator arteri koroner(5).

55

Nifedipin merupakan senyawa prototipe dari derivatif dihidropiridin.


Meskipun amlodipin, felodipin, isradipin dan nicardipin adalah generasi
kedua dihidropiridin, hanya nicardipin dan amlodipin saat ini disepakati
untuk pengobatan kronis angina pektoris stabil. Selain itu, amlodipin
diindikasikan untuk angina vasospastic. Berbeda dengan diltiazem dan
verapamil, golongan dihidropiridin tidak memperlambat konduksi jantung
dan karenanya harus ada antiaritmia(5).
b. Terapi Non Farmakologi
Keputusan untuk melakukan PCI atau CABG untuk revaskularisasi
adalah berdasarkan luasnya

penyakit koroner (jumlah pembuluh

darah/jumlah stenosis) dan fungsi ventrikel. Jika terjadi nyeri dada iskemik
berkepanjangan dan perubahan EKG yang tidak hilang dengan terapi nitrat
atau CCB,mungkin dianggap adanya oklusi total pembuluh darah maka
harus diambil langkah memulihkan aliran darah dengan baik PCI atau
CABG. Coronary artery bypass graft (CABG) merupakan indikasi pada
angina yang sulit dikendalikan, terutama pada obstruksi cabang utama
koroner kiri. (Talbert, 2008)
Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) dan
bedah pintas arteri coroner dapat menurunkan serangan angina klasik.
Dengan PTCA, lesi ateroskerotik berdilatasi dengan bantuan kateter yang
dimasukkan menembus kulit ke dalam arteri femoralis atau brakialis dan
didorong ke jantung. Setelah berada di pembuluh darah yang sakit, balon
di dalam kateter digembungkan. Hal ini akan memecah plak dan
meregangkan arteri. (Talbert, 2008)

56

Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty


H.

Pengawasan dan evaluasi


Untuk menilai hasil pengobatan IHD dan angina dapat dilihat dari
adanya perbaikan gejala angina, kinerja jantung yang membaik dan
perbaikan faktor risiko. Penilaian obyektif diperoleh melalui peningkatan

57

durasi latihan pada ETT dan tidak adanya perubahan iskemik pada EKG
atau merusak perubahan hemodinamik.
1) Pengobatan terhadap serangan akut, berupa nitrogloserin sublingual -1
tablet yang merupakan obat pilihan yang bekerja sekitar 1-2 menit dan
dapat diulang dengan interval 3-5 menit.
2) Pencegahan serangan lanjutan:
a. Long-acting nitrate, yaitu ISDN 3 x 10-40 mg oral.
b. Beta blocker: propanolol, metoprolol, nadolol, atenolol, dan pindolol.
c. Kalsium antagonis: verapamil, diltiazem, nifedipin, nikardipin, atau
isradipin.
3) Tindakan invasif: Percutaneus transluminal coronary angioplasty
(PTCA), laser coronary angioplasty, Coronary artery bypass grafting
(CABG).
4) Olahraga disesuaikan.
2.

Infark Miokard

A. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI)


Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke
jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di
pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali
sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah
otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau
alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot
jantung, dikatakan mengalami infark (Sudoyo, 2009).
a.

Manifestasi Klinik
Keluhan yang paling sering dijumpai adalah awitan baru atau
perburukan sesak napas saat aktivitas, nyeri dada substernum yang terasa
berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke leher,
rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di
dada. Beberapa faktor yang menentukan bahwa keluhan tersebut
presentasi dari SKA adalah sifat keluhan, riwayat PJK, jenis kelamin,
umur, dan jumlah faktor risiko tradisional (PERKI, 2015).

b.

Pemeriksaan Penunjang
1)

Elektrokardiogram.

58

Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak


kontak medis pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan
hasil EKG sebelumnya dapat sangat membantu diagnosis. Setelah
perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu dilakukan
perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang
mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI antara lain:
1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai
dengan elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
2. Gelombang Q yang menetap
3. Nondiagnostik
4. Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan
kemungkinan diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya
akibat iskemia tersembunyi di daerah sirkumfleks atau keterlibatan
ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG normal perlu
dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan (PERKI, 2015).
Depresi segmen ST 0,5 mm di dua atau lebih sadapan
berdekatan sugestif untuk diagnosis UAP atau NSTEMI, tetapi
mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST yang kecil,
diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST 1
mm. Depresi segmen ST 1 mm dan/atau inversi gelombang T2 mm
di beberapa sadapan prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis
UAP atau NSTEMI (tingkat peluang tinggi). Gelombang Q 0,04
detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T
menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi
sehingga diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA
atau Definitif SKA. Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan
kelainan nondiagnostik, sementara angina masih berlangsung,
pemeriksaan diulang 10 20 menit kemudian (rekam juga V7-V9).
Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang
nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara keluhan angina
sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk

59

dilakukan EKG ulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang
(PERKI, 2015).
Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG,
misalnya depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang
signifikan, maka diagnosis UAP atau NSTEMI dapat dipastikan.
Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil (0,5 mm) yang
terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri dada
hilang sangat sugestif diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress test dapat
dilakukan untuk provokasi iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri
dada tidak berulang, EKG tetap nondiagnostik, marka jantung negatif,
dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil stress test yang positif
meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi UAP
atau NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA
diragukan dan dilanjutkan dengan rawat jalan (PERKI, 2015).
2) Marka jantung.
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam
diagnosis NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung
tersebut akan terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan
troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus digabungkan dengan
kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis
NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui
nilai normal atas (upper limit of normal, ULN). Dalam menentukan
kapan marka jantung hendak diulang seyogyanya mempertimbangkan
ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang negatif
pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut (PERKI, 2015).
Kadar troponin pada pasien infark miokard akut meningkat di
dalam darah perifer 3 4 jam setelah awitan infark dan menetap
sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya
menghilang dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas,
peningkatan ini dapat menetap hingga 2. Mengingat troponin I/T tidak
terdeteksi dalam darah orang sehat, nilai ambang peningkatan marka

60

jantung ini ditetapkan sedikit di atas nilai normal yang ditetapkan oleh
laboratorium setempat (PERKI, 2015).
Perlu diingat bahwa selain akibat STEMI dan NSTEMI,
peningkatan kadar troponin juga dapat terjadi akibat:
1. Takiaritmia atau bradiaritmia berat
2. Miokarditis
3. Dissecting aneurysm
4. Emboli paru
5. Gangguan ginjal akut atau kronik
6. Stroke atau perdarahan subarakhnoid
7. Penyakit kritis, terutama pada sepsis
Apabila pemeriksaan troponin tidak tersedia, pemeriksaan
CKMB dapat digunakan. CKMB akan meningkat dalam waktu 4
hingga 6 jam, mencapai puncaknya saat 12 jam, dan menetap sampai
2 hari (PERKI, 2015).

Gambar 1. Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung (PERKI, 2015).


3) Pemeriksaan Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat
memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna
untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia
segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan
menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding
seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat

61

dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan,


pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di
ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin
bagi pasien tersangka SKA (PERKI, 2015).
Stress test seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya
dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK obstruktif pada
pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal dan marka jantung
yang negatif (PERKI, 2015).
Multislice

Cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk

menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan


kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan
troponin dan EKG tidak meyakinkan (PERKI, 2015).
4) Pemeriksaan Angiografi Koroner
Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan
tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan
diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang
tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya pada arteri
sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang mengalami gejala
atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan mereka
dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk
kejadian kardiovaskular

yang

serius, angiografi

koroner disertai

perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali


memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan
angiografi yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi,
penampakkan yang kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya
trombus intrakoroner (PERKI, 2015).
B. Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI)
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation
Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner

62

akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi
ST, dan IMA dengan elevasi ST.11 Infark miokard akut dengan elevasi ST
(STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok,
hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2009).
Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu
usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang
masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses
aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan
toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori
(Sudoyo, 2009).
Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA.
Penelitian angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan
oleh trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang
sudah ada (pembentukan fisura) merupakan suatu nidus untuk pembentukan
thrombus (Sudoyo, 2009).
a. Patogenesis
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau
ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri coroner. Penelitian histologis menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami ruptur jika fibrous cap tipis dan inti
kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada STEMI terdiri
atas fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik (Sudoyo, 2009).
Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu,
aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein
IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino

63

pada protein adhesi yang terlarut (integrin) seperti faktor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang
dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan
ikatan platelet dan agregasi setelah mengalami konversi fungsinya (Sudoyo,
2009).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi
protombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh
trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan fibrin (Sudoyo, 2009).
Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli
arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria
terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik (Sudoyo, 2009).
b. Gejala dan Tanda IMA
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum
yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan
ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak
enak di dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada
sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa
jam sampai hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan
biasanya tidak banyak berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi
biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada
sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri
dada. Silent AMI ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus
dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut. Pemeriksaan fisik
menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah)
dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat
adanya STEMI (Sudoyo, 2009).

64

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam
tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi
terapi reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan
adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau
cTn I, yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal
untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada
keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB (Sudoyo, 2009).
Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan elevasi ST
dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan
adanya nekrosis jantung (Sudoyo, 2009).
1) CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4
hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB.
2) cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat
setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari
sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pemeriksaan enzim jantung yang
lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic dehydrogenase
(LDH)
Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri
dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/ul
(Sudoyo, 2009).
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien
dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10
menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan
keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik
untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat
STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12

65

sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi


perkembangan elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada
pasien dengan STEMI inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark
ventrikel kanan (Sudoyo, 2009).

d. Penatalaksanaan
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari
evidence based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus
berkembang ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline)
(Sudoyo, 2009).
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet,
memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam
tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan
ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di
masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada (Sudoyo, 2009).
1. Tatalaksana awal
1) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
2) Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman
dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval
5 menit.
3) Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
4) Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2

66

dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang


emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg.
5)

Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,

pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa


diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari
10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam (Sudoyo,
2009).
2. Tatalaksana di rumah sakit
1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam
4-12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark
miokard.
3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode

inaktivitas dengan penenang. Diazepam

5mg, oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4
kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi
komod di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan
pencahar ringan secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200
mg/hari) (Sudoyo, 2009).
3. Penyakit Jantung Hipertensi
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara
5-10% sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung

67

hipertensi sekitar 14,3% dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun
1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia (Sudoyo, 2009).
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau
diebut sebagai hipertensi primer (hipertensi sesensial atau idiopatik).
Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya
(hipertensi sekunder). Tidak ada data akurat mengenai prevalensi
hipertensi sekunder dan sangat tergantung dimana angka itu diteliti.
Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu
gangguan sekresi ormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi
sering meninggal dini karena komplikas jantung (yang disebut sebagai
penyakit jantung hipertensi). Juga dapat menyebabkan stroke, gagal ginjal,
atau gangguan retina mata (Sudoyo, 2009).
A. Patogenesis
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung
menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal
yang ditandai dengan penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi
konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri
memacu mekanisme Frank Starling melalui peningkatan volume diastolik
ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhinya akan terjadi gangguan
kontraksi miokard (penurunan/ganggguan fungsi sistolik) (Sudoyo, 2009).
Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark jantung dan
lain-lain) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis
dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK,
ismekiamiokard dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama
kerusakan miosit pada hipertensi (Sudoyo, 2009).
Evaluasi pasien hipertensi atau penyakit jantung hipertesi ditujukan
untuk:
a. Meneliti kemungkinan hipertensi sekunder
b. Menetapkan keadaan pra pengobatan

68

c. Menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan atau


faktor yang akan berubah karen pengobatan
d. Menetapkan kerusakan organ target, dan
e. Menetapkan faktor resiko PJK lainnya
(Sudoyo, 2009).
B. Keluhan dan gejala
pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan
pasien tidak ada keluhan. Bila simtomatik biasanya disebabkan oleh:
a. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar,
rasa melayang (dizzy) dan impoten
b. Penyakit jantung/ hipertensi vaskular seperti capek, sesak
napas, sakit dada (iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak
kedua kaki atau perut. Gangguan vaskular lainnya adalah
epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena perdarahan
retina, transient serebral ischemic
c. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi,
polyuria, dan kelemahan otot pada aldoteronisme primer,
peningkatan berat badan dengan emosi yang labil pada sindrom
Cushing. Feokromositoma dapat muncul dengan keluhan
episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa
melayang saat berdiri (postural dizzy)
(Sudoyo, 2009).
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum:
memperhatikan keadaan khusus seperti: Cushing, feokromasitoma,
perkembangan tidak proporsionalnya tubuh atas dibannding bawah yang
sering ditemkan pada koaktasio aorta. Pengukuran tekanan darah di lengan
kiri dan kanan saat tidur dan berdiri. Funduskopi dengan klasifikasi
Wagener-Barker sangat berguna untuk menilai prognosis. Palpasi dan
auskultasi aeteriokarotis untuk menilai stenosis atau oklusi (Sudoyo,
2009).

69

Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan


untuk menilai HVK dan tanda-tanda gagal jantung. Impuls apeks yng
prominen. Bunyi jantungS2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan
katup aorta. Kadang ditemukan murmur diastolic akibat regurgitasi aorta.
Bunyi S4 gallop dapat ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium
kiri. Sedangkan bunyi S3 gallop ditemukan bila tekanan akhir diastolic
ventrikel kiri meningkat akibat dari dilatasi ventrikel kiri. Bila S3 dan S4
ditemukan bersama disebut summation gallop. Paru perlu diperhatikan
apakah ada suara napas tambahan seperti ronki basah atau ronki
kering/mengi. Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma,
pembesaran hepar, limpa, ginjal, dan asites. Auskultasi bisisng sekitar kiri
kanan umbilikus, arteri radialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis pedis
harus diraba. Tekanan darah di betis harus dikur minimal sekali pada
hipertensi umur muda (< 30 tahun) (Sudoyo, 2009).
D. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium awal meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Urinalisis: protein, leukosit, eritrosit, dan silinder


Hemoglobin/hemotokrit
Elektrolit darah: kalium
Ureum/kreatinin
Gula darah puasa
Kolesterol total
Elektrokardiografi menunjukan HVK pada sekitar 20-50% tetapi
masih menjadi metode standar

(Sudoyo, 2009).
Apabila keuangan tidak menjadi kendala, maka diperlukan juga
pemeriksaan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

TSH
Leukosit darah
Tligiserida, HDL, dan kolesterol LDL
Kalsium dan fosfor
Foto toraks
Ekokardiografi dilakukan karena dapat menemukan HVK lebih dini
dan lebih spesifik (95-100%)

70

g. Ekokardiografi-Doppler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolic


(gangguan fungsi relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal atau tipe
restriktif)
(Sudoyo, 2009).
E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu kepada tuntunan
umum (JNC VII 2003, ESH/ESC 2003). Pengelolaan lipid agresif dan
pemberian aspirin sangat bermanfaat. Pasien hipertensi pasca infark
jantung sangat mendaapat manfaat pengobatan dengan penyekat beta,
penghambat ACE, atau antialdosteron (Sudoyo, 2009).
Pasien hipertensi dengan resiko PJK yang tinggi mendapat manfaat
dengan pengobatan diuretik, penyekat beta dan penghambat kalsium
(Sudoyo, 2009).
Pasien hipertensi dengan gangguan fungsi ventrikel mendapat
manfaat tinggi dengan pengobatan diuretic, penghmbat CE/ARB, penyekat
beta dan antagonis aldosteron (Sudoyo, 2009).
Bila sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi, maka prinsip
pengobatannya sama dengan pengobatan gagal jantung yang lain yaitu
diuretik, penghambat ACE/ARB, penghambat beta dan penghambat
aldosteron (Sudoyo, 2009).
4.

Gagal Jantung Kongestif / Congestive Heart Failure (CHF)

a. Definisi
Gagal

jantung

kongestif

adalah

ketidakmampuan

jantung

memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan


jaringan terhadap oksigen dan nutrien (PERKI, 2015).
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya
hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.

71

Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi


gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan (PERKI, 2015).
b. Etiologi
Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh (PERKI, 2015):
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung,
disebabkan

menurunnya

kontraktilitas

jantung.

Kondisi

yang

mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis


koroner, hipertensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran
darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat
penumpukan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung)
biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan
penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
4. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi
darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis
AV), peningkatan mendadak afterload..
6. Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan
dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal:
demam), hipoksia dan anemia diperlukan peningkatan curah jantung

72

untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia


juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis
respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung
c. Patomekanisme

(PERKI, 2015)
d. Manifestasi Klinis

73

(PERKI, 2015)

e. Klasifikasi Gagal Jantung

74

(PERKI, 2015)

f. Penegakan Diagnosis

75

(PERKI, 2015)
g. Penatalaksanaan
Dasar penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah (PERKI, 2015):
1. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
2. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan
bahan farmakologis
3. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi
diuretic diet dan istirahat.

Terapi Farmakologi
1. Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)

76

Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala


volume berlebihan seperti ortopnea dan dyspnea noktural peroksimal,
menurunkan volume plasma selanjutnya menurunkan preload untuk
mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan juga
menurunkan afterload agar tekanan darah menurun.
2. Antagonis Aldosteron
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai
berat.
3. Obat inotropik
Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.
4. Glikosida Digitalis
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan
penurunan volume distribusi.
5. Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat)
Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh
darah vena menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan
meningkatkan kapasitas vena.
6. Inhibitor ACE
Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi
sekresi aldosteron sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium
dan air. Inhibitor ini juga menurunkan retensi vaskuler vena dan
tekanan darah yg menyebabkan peningkatan curah jantung (PERKI,
2015).
Terapi non farmakologi
1. Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya
keluhan seperti: diet rendah garam, mengurangi berat badan,
mengurangi lemak, mengurangi stress psikis, menghindari rokok,
olahraga teratur (PERKI, 2015).

STEP 4
A. Anamnesis
1. Idenititas
a. Nama
: Tn.Y
b. Umur
: 45 tahun
c. Pekerjaan : PNS

77

d. Alamat
e. Status

: Perumnas
: Sudah menikah

2. Keluhan
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada 3 jam yang lalu. Nyeri dada
seperti tertindih benda berat dan berlangsung kurang lebih 10 menit.
Nyeri timbul pada saat pasien sedang berolahraga dan merasa lebih
baik ketika istirahat. Nyeri menjalar ke bagian leher dan punggung.
Nyeri dada juga disertai dengan rasa sesak dan sesak ini juga membaik
ketika istirahat. Sesak ini tidak dipengaruhi oleh posisi tubuh. Keluhan
lain yang dirasakan antara lain adalah mual muntah dan keringat
dingin. Pusing,demam, batuk, dan riwayat trauma sebelumnya
disangkal.

Pasien

belum

meminum

obat

untuk

meringankan

keluhannya.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan yang sama seperti ini sebelumnya disangkal. Pasien
mengatakan bahwa ia mempunyai riwayat tekanan darah tinggi sejak
10 tahun yang lalu dan jarang control ataupun meminum obat. Selain
itu, ia juga mempunyai riwayat hiperkolesterol sejak 2 tahun yang lalu.
Riwayat asma dan penyakit jantung lain disangkal.
c. Riwayat Keluarga
Ayah pasien mempunyai riwayat penyakit jantung
d. Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien mengatakan bahwa ia merokok sejak SMA dan menghabiskan
5-10 batang dalam satu hari. Riwayat penggunaan alkohol disangkal.
Konsumsi makanan sehari-hari pasien dikatakan biasa saja, tetapi ia
B.
1.
2.
3.

4.
5.
6.

sangat suka mengkonsumsi gorengan. Pasien jarang berolahraga.


Pemeriksaan Fisik
Kesadaran
:
Kompos mentis
Keadaan Umum
:
Tampak sakit berat
Tanda-Tanda Vital
:
TD 160/110 mmHg
RR 24 kali/menit
Suhu 37,2
Nadi 72 kali/menit
Tinggi Badan
:
164cm
Berat Badan
:
75kg
Kepala
:
Mata tidak tampak cekung
Konjungtiva anemis (-)
Sklera ikterik (-)

78

7. Hidung

8. Mukosa bibir

9. Leher

10. Thorax
Inspeksi

:
:

Nafas cuping hidung (-)


Secret (-)
Sianosis (-)
Mukosa kering (-)
JVP tidak meningkat 5+2 cm
Pembesaran KGB (-)
Deviasi trakea (-)

Pergerakan dada simetris


Retraksi intercostal (-)
Palpasi
:
Taktil fremitus paru kanan kiri normal
Ekspansi pernafasan (dbn)
Perkusi
:
Sonor kedua lapang paru
o Batas kanan jantung
:ICS IV Linea Parasternal Dextra
o Apeks jantung
:ICS V Linea Midclavicularis
Sinistra
o Pinggang jantung

Sinistra
Auskultasi

11. Abdomen
Inspeksi

:ICS

III

Linea

Suara nafas vesikuler


Ronkhi (-)
S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Cembung (-)
Spider nervi (-)
Distensi (-)

Auskultasi
Perkusi
Palpasi
12. Ekstremitas
Superior
Inferior
C. Diagnosis awal
STEP 5
Diagnosis banding

Midclavicularis

:
:
:

Bising usus (dbn)


Timpani
Nyeri tekan (-)

:
:
:

Akral dingin, CRT <2 detik


Akral dingin, CRT <2 detik
Sindrom koroner akut

Unstable angina
NSTEMI
STEMI

STEP 6
Penatalaksanaan awal
:
O2 2-4 Liter/menit kanul nassal
IVFD NaCl 0,9% 500cc/24 jam
Aspirin kunyah 320mg dilanjutkan 1x160 mg p.c.

79

ISDN 5mg sublingual


STEP 7
Pemeriksaan penunjang :
Hemoglobin 14 g/dL (nilai normal 12,1-17,6g/dL)
hematokrit 45 % (nilai normal 35-45 %)
eritrosit 4,84 juta/mm (nilai normal 4,5-5,9 juta/mm)
leukosit 12,3 ribu/mm (nilai normal 4,4-11,3 ribu/mm)
trombosit 24,4 ribu/mm (nilai normal 150-450 ribu/mm)
basofil 0,5 % (nilai normal 0-2 %)
eosinofil 2 % (nilai normal 0-4 %)
neutrofil 69,2% (nilai normal 55-80 %)
limfosit 22 % (nilai normal 22-44 %)
monosit 6,3 % (nilai normal 0-7 %)
MCV 93 fL (nilai normal 80-96 fL)
MCH 30 pg (nilai normal 28-33 pg)
MCHC 32 % (nilai normal 32-36 %)
kolesterol total 203 mg/dL (nilai normal 50-200 mg/dL)
HDL 38 mg/dL (nilai normal 30-63 mg/dL)
LDL 191 mg/dL (nilai normal 66-147 mg/dL)
trigliserid 186 mg/dL (nilai normal kurang dari 150 mg/dL)
ureum 27,8 mg/dL (nilai normal 10-50 mg/dL)
kreatinin 1,12 mg/dL (nilai normal 0,9-1,13 mg/dL)
GDS 150
SGOT 72 U/L (nilai normal 0-35 U/L)
SGPT 28 U/L (nilai normal 0-45 U/L)
CK 150
CK-MB 50mg/mL (nilai normal kurang dari 5,1 ng/mL)
EKG diperoleh gambaran ST depresi dan T inverted.
STEP 8
Diagnosis kerja
:
Non ST-Elevasi Miokard Infark (NSTEMI)
STEP 9
Penatalaksanaan Kausatif :
1. Anti Iskemia
a.

Penyekat Beta (Beta blocker).


Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada
efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya
konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan
pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikuler yang
signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada

80

kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan


injeksi (PERKI, 2015).
Penyekat beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau
NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia, dan
selama tidak terdapat kontraindikasi, penyekat beta oral hendaknya
diberikan dalam 24 jam pertama. Penyekat beta juga diindikasikan
untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Pemberian
penyekat beta pada pasien dengan riwayat pengobatan penyekat
beta kronis yang datang dengan SKA tetap dilanjutkan (PERKI,
2015).
Tabel 1. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi UAP atau
NSTEMI
Penyekat

Selektivitas Aktivitas

beta
Atenolol

B1

Bisoprolol
Carvedilol

B1
dan

agonis parsial
+

Dosis untuk
angina
50-200
mg/hari
10 mg/hari
2x6,25
mg/hari,
titrasi sampai
maksimum
2x25 mg/hari

Metoprolol
Propanolol

B1

50-

Nonselektif

200mg/hari
2x2080mg/hari

b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena
yang mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir
diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium
berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah

81

koroner

baik

yang

normal

maupun

yang

mengalami

aterosklerosis (PERKI, 2015).


1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan
dalam fase akut dari episode angina.
2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada
berlanjut sebaiknya mendapat nitrat sublingual setiap 5
menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu harus
dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada
kontraindikasi.
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten,
gagal jantung, atau hipertensi dalam 48 jam pertama
UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat intravena
tidak

boleh

menurunkan

menghalangi
mortalitas

pengobatan

seperti

yang

penyekat

terbukti

beta

atau

angiotensin converting enzymes inhibitor (ACE-I).


4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah
sistolik <90 mmHg atau >30 mmHg di bawah nilai awal,
bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa
gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan.
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah
mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sidenafil dalam 24
jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat untuk terapi
nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan.
Tabel 2. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi UAP/NSTEMI
Nitrat
Isosorbid dinitrate
(ISDN)

Dosis
Sublingual 2,515 mg (onset 5
menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3
dosis

Isosorbid 5

Intravena 1,25-5 mg/jam


Oral 2x20 mg/hari

mononitrate

Oral (slow release) 120-240

82

mg/hari
Nitroglicerin

Sublingual tablet 0,3-0,6 mg1,5

(trinitrin, TNT,

mg
Intravena 5-200 mcg/menit

glyceryl trinitrate)

c. Calcium Channel Blockers (CCB)

Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator


arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV
Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek
terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus
efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai
efek dilatasi koroner yang seimbang. Oleh karena itu CCB,
terutama golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan
untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan CCB
pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang
seimbang dengan penyekat beta dalam

mengatasi keluhan

angina (PERKI, 2015).


1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi
gejala bagi pasien yang telah mendapatkan nitrat dan
penyekat beta.
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien
NSTEMI dengan indikasi kontra terhadap penyekat beta.
3. CCB

nondihidropiridin

(long-acting)

dapat

dipertimbangkan sebagai pengganti terapi penyekat beta.


4. CCB direkomendasikan

bagi

pasien

dengan angina

vasospastic.
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediaterelease) tidak direkomendasikan kecuali bila dikombinasi
dengan penyekat beta.

83

Tabel 3. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi


UAP/NSTEMI

Penghambat kanal
kalsium
Verapamil
Diltiazem
Nifedipine

GITS

acting)
Amlodipine
2.

Dosis
180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis

120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis


(long 30-90 mg/hari
5-10 mg/hari

Antikoagulan
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet

secepat mungkin (PERKI, 2015).


1.

Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang


mendapatkan terapi antiplatelet.

2.

Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan


iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut.

3.

Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan


berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah
2,5 mg setiap hari secara subkutan.

4.

Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks,


penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU
untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa)
perlu diberikan saat IKP.

5.

Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien


dengan risiko perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak
tersedia.

6.

Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau
heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang

84

direkomendasikan)

diindaksikan

apabila

fondaparinuks

atau

enoksaparin tidak tersedia.


7.

Dalam

strategi

yang

benar-benar

konservatif,

pemberian

antikoagulasi perlu dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari


rumah sakit.
8.

Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan.

Tabel 4. Jenis dan dosis antikoagulan untuk UAP/NSTEMI

Antikoagulan

Dosis

Fondaparinuks
Enoksaparin
Heparin tidak
terfraksi

2,5 mg subkutan
1mg/kg, dua kali sehari
Bolus i.v. 60 U/g, dosis
maksimal 4000 U.
Infus i.v. 12 U/kg selama
24-48

3.

jam

dengan

maksimal 1000 U/jam

dosis

Anti

target

kolesterol

aPTT 11/2-2x kontrol


a. Penghambat HMG CoA Reduktase / Statin
Statin saat ini merupakan hipolipidemik yang paling
efektif dan aman. Obat ini terutama efektif untuk menurunkan
kolesterol. Pada dosis tinggi statin juga dapat menurunkan
trigliserida yang disebabkan oleh peninggian VLDL (PERKI,
2015).

a) Farmakodinamik

85

Statin bekerja dengan cara menghambat sintesis


kolesterol dalam hati, dengan menghambat enzim HMG CoA
reduktase. Akibat penurunan sintesis kolesterol ini, maka
SREBP yang terdapat pada membran dipecah oleh protease,
lalu diangkut ke nukleus. Faktor-faktor transkripsi kemudian
akan berikatan dengan gen reseptor LDL, sehingga terjadi
peningkatan sintesis reseptor LDL. Peningkatan jumlah
reseptor LDL pada membran sel hepatosit akan menurunkan
kadar kolesterol darah lebih besar lagi. Selain LDL, VLDL dan
IDL juga menurun, sedangkan HDL meningkat. (PERKI, 2015)
b) Farmakokinetik
Semua statin, kecuali lovastatin dan simvastatin berada
dalam bentuk asam -hidroksi. Kedua statin disebut diatas
merupakan prodrug dalam bentuk lakton dan harus dihidrolisis
lebih dahulu menjadi bentuk aktif asam -hidroksi. Statin
diabsorpsi sekitar 40-75%, kecuali fluvastatin yang diabsorpsi
hampir sempurna. Semua obat mengalami metabolisme lintas
pertama di hati. Waktu paruhnya berkisar 1-3 jam, kecuali
atorvastatin (14 jam) dan rosuvastatin (19 jam). Obat-obat ini
sebagian besar terikat protein plasma. Sebagian besar dieksresi
oleh hati ke dalam cairan empedu dan sebagian kecil lewat
ginjal (PERKI, 2015).
c) Efek Samping dan Interaksi Obat
Umumnya statin ditoleransi dengan baik oleh pasien.
Pada kira-kira 1-2% pasien terjadi peningkatan kadar
transaminase hingga melebihi 3 x nilai normal. Dalam segi
keamanan perlu dilakukan pemeriksaan transaminase pada
awal pemberian dan 3-6 bulan setelahnya. Jika normal, maka
uji ulang dapat dilakukan setelah 6-12 bulan. Obat harus

86

dihentikan jika didapat kadar transaminase yang tetap tinggi


atau bertambah tinggi (PERKI, 2015).
Efek samping statin yang potensial berbahaya adalah
miopati dan rabdomiolisis. Insidens miopati rendah (< 1%),
tetapi meningkat bila diberikan bersama obat-obat tertentu
seperti

fibrat

dan

asam

nikotinat

dan

mempengaruhi

metabolisme statin (PERKI, 2015).


Losartan, simvastatin, atorvastatin dan serivastatin
terutama dimetabolisme oleh CYP3A4, sedangkan fluvastatin
dan rosuvastatin lewat CYP2C9. Pravastatin dimetabolisme
lewat cara lain termasuk reaksi nonenzimatik dan enzimatik
dalam saluran cerna dan hati. Golongan statin yang
dimetabolisasi lewat CYP3A4 akan berkumulasi dalam plasma
bila

diberikan

bersama

obat

yang

menghambat

atau

berkompetisi untuk CYP3A4 seperti antibiotik makrolid,


siklosporin,

ketokonazol,

penghambat

protease

HIV,

takrolimus, nefazodon, fibrat, dll. Peningkatan risiko miositis


juga terjadi bila digunakan bersama amiodaron atau verapamil.
Sebaliknya obat-obat yang menstimulasi CYP3A4 seperti
fenitoin,

barbiturat,

griseofulvin,

dan

rifampin

akan

mengurangi kadar plasma statin. Hal serupa juga terjadi pada


penghambat CYP2C9 seperti ketokonazol, metronidazol,
sulfinpirazon,

amiodaron

dan

simetidin

yang

akan

meningkatkan kadar plasma fluvastatin dan rosuvastatin bila


diberikan bersamaan. Pravastatin tampaknya merupakan obat
terpilih bila digunakan bersama verapamil, ketokonazol,
makrolid dan siklosporin (PERKI, 2015).
Kombinasi serivastatin dan gembfibrozil telah dilarang
karena sejumlah laporan mengenai miopati. Pada pasien
dengan miopati dapat terjadi mioglobinuria dan gagal ginjal,
dimana CPK serum meningkat hingga 10 x lebih. CPK harus

87

diukur pada awal terapi, lalu tiap interval 2-4 bulan


sesudahnya. Perbedaan lipofisitas diantara statin tampaknya
tidak bermakna secara klinis (PERKI, 2015).
Efek samping lain yang dapat terjadi adalah gangguan
saluran cerna, sakit kepala, rash, neuropati perifer dan
sindroma lupus. Belum diketahui keamanan penggunaan statin
pada kehamilan. Demikian pula statin sebaiknya tidak
digunakan ibu laktasi. Penggunaan pada anak dibatasi hanya
untuk hiperkolesterolemia familial homozigot dan kasus-kasus
tertentu yang heterozigot (PERKI, 2015).
d) Indikasi
Statin, kecuali atorvastatin dan rosuvastatin sebaiknya
diberikan pada malam hari. Absorpsi lovastatin meningkat bila
disertai makanan. Pemberian statin sebaiknya dimulai dengan
dosis kecil lalu ditingkatkan hingga dosis yang lebih tinggi
sampai didapatkan efek yang diinginkan. Lovastatin dimulai
dari dosis 20 mg hingga maksimal 80 mg/hari, pravastatin 1080 mg/hari, simvastatin 5-80 mg/hari, fluvastatin 20-80
mg/hari, atorvastatin 10-80mg/hari dan rosuvastatin 10-40
mg/hari. Serivastatin telah ditarik dari edaran pada tahun 2001
(PERKI, 2015).
4. Antitrombotik / Antiplatelet
Antitrombotik adalah obat yang dapat menghambat
agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya
pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada
sistem arteri (PERKI, 2015).
a. Aspirin
Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 (TXA2) di
dalam trombosit dan prostasiklin (PGI2) di pembuluh darah
dengan menghambat secara ireversibel enzim siklooksigenase

88

(akan tetapi siklooksigenase dapat dibentuk kembali oleh sel


endotel). Penghambatan enzim siklooksigenase terjadi karena
aspirin mengasetilasi enzim tersebut. Aspirin dosis kecil hanya
dapat menekan pembentukan TXA2, sebagai akibatnya terjadi
pengurangan agregasi trombosit. Sebagai antitrombotik dosis
efektif aspirin 80-320 mg/hari. Dosis lebih tinggi selain
meningkatkan toksisitas (terutama perdarahan), juga menjadi
kurang efektif

karena selain menghambat TXA2 juga

menghambat pembentukan prostasiklin (PERKI, 2015).


Pada

infark

miokard

akut

nampaknya

aspirin

bermanfaat untuk mencegah kambuhnya miokard infark yang


fatal maupun nonfatal. Pada pasien TIA penggunaan aspirin
jangka

panjang

juga

bermanfaat

untuk

mengurangi

kekambuhan TIA, stroke karena penyumbatan dan kematian


akibat gangguan pembuluh darah. Berkurangnya kematian
terutama jelas pada pria (PERKI, 2015).
Efek samping aspirin misalnya rasa tidak enak di perut,
mual, dan perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan
bila dosis perhari tidak lebih dari 325 mg. Penggunaan bersama
antasid atau antagonis H2 dapat mengurangi efek tersebut. Obat
ini dapat mengganggu hemostasis pada tindakan operasi bla
diberikan bersama heparin atau antikoagulan oral dapat
meningkatkan risiko perdarahan (PERKI, 2015).
Sekarang tersedia aspirin tablet salut enterik 100 mg
untuk pencegahan trombosis pada pasien dengan risiko
trombosis yang tinggi (PERKI, 2015).
b. Dipiridamol
Dipiridamol menghambat ambilan dan metabolisme
adenosin oleh eritosit dan sel endotel pembuluh darah, dengan
demikian meningkatkan kadarnya dalam plasma. Adenosin

89

menghambat fungsi trombosit dengan merangsang adenilat


siklase

dan

merupakan

vasodilator.

Dipiridamol

juga

memperbesar efek antiagregasi prostasiklin. Karena dengan


dosis yang diperlukan untuk menghambat agregasi trombosit
kira-kira 10% pasien mengalami flushing dan sakit kepala,
maka sering diberikan dosis dipiridamol yang lebih kecil
bersama aspirin atau antikoagulan oral. Dipiridamol sering
digunakan bersama heparin pada pasien dengan katup jantung
buatan. Obat ini juga banyak digunakan bersama aspirin pada
pasien dengan infark miokard akut untuk prevensi sekunder
dan pada pasien TIA untuk mencegah stroke (PERKI, 2015).
Efek samping yang paling sering yaitu sakit kepala
biasanya jarang menimbulkan masalah dengan dosis yang
digunakan sebagai antitrombotik. Bila digunakan untuk pasien
angina pektoris, dipiridamol kadang-kadang memperberat
gejala karena terjadinya fenomena coronary steal. Efek
samping lain ialah pusing, sinkop, dan gangguan saluran cerna
(PERKI, 2015).
Bioavailabilitas obat ini sangat bervariasi. Lebih dari
90% dipiridamol terikat protein dan mengalami sirkulasi
enterohepatik. Masa paruh eliminasi bervariasi 1-12 jam. Dosis
untuk profilaksis jangka panjang pada pasien katup jantung
buatan 400 mg/hari bersama dengan warfarin. Untuk mencegah
aktivasi trombosit selama operasi by-pass dosisnya 400 mg
dimulai 2 hari sebelum operasi (PERKI, 2015).
c. Tiklopidin
Tiklopidin

menghambat

agregasi

trombosit

yang

diinduksi oleh ADP. Inhibisi maksimal agregasi trombosit baru


terlihat setelah 8-11 hari terapi. Berbeda dari aspirin, tiklopidin
tidak mempengaruhi metabolisme progtaglandin. Dari uji

90

klinik secara acak dilaporkan adanya manfaat tiklopidin untuk


pencegahan kejadian vaskular pada pasien TIA, stroke, dan
angina pektoris tidak stabil (PERKI, 2015).
Efek samping yang paling sering mual, muntah, dan
diare. Yang dapat terjadi sampai pada 20% pasien. Selain itu
antara lain dapat terjadi perdarahan (5%), dan paling berbahaya
leukopenia (1%). Leukopenia dideteksi dengan pemantauan
hitung jenis leukosit selama 3 bulan pertama pengobatan.
Trombositopenia juga dilaporkan sehingga perlu dipantau
hitung trombosit. Dosis tiklopidin umumnya 250 mg 2 kali
sehari. Agar mula kerja lebih cepat ada yang menggunakan
dosis muat 500 mg. Tiklopidin terutama bermanfaat untuk
pasien tidak dapat mentoleransi aspirin. Karena tiklopidin
mempunyai mekanisme kerja yang berbeda dari aspirin, maka
kombinasi kedua obat diharapkan dapat memberi efek aditif
atau sinergistik (PERKI, 2015).
d. Klopidogrel
Obat ini sangat mirip dengan tiklopidin dan nampaknya
lebih jarang menyebabkan trombositopenia dan leukopenia
dibandingkan tiklopidin. Klopidogrel merupakan prodrug
dengan mula kerja lambat. Dosis umumnya 75 mg/hari dengan
atau tanpa dosis muat 300 mg. Untuk pencegahan berulangnya
stroke kombinasi klopidogrel dengan aspirin nampaknya sama
efektif dengan kombinasi tiklopidin dengan aspirin (PERKI,
2015).
e. Penghambat Glikoprotein IIb/IIIa
Glikoprotein IIb/IIIa merupakan integrin permukaan
trombosit, yang merupakan reseptor untuk fibrinogen dan
faktor von Willebrand, yang menyebabkan melekatnya

91

trombosit pada permukaan asing dan antar trombosit, sehingga


terjadi agregasi trombosit (PERKI, 2015).
Absiksimab merupakan antibodi monoklonal chimeric
mencit / manusia. Absiksimab bekerja memblokade reseptor
glikoprotein IIb/IIIa sehingga menghambat agregasi trombosit.
Absiksimab digunakan bersama aspirin dan heparin untuk
pasien yang sedang menjalani angioplasti dan aterektomi.
Dosis 0,25 mg/kgBB diberikan secara bolus IV 10 menit
sebelum tindakan, diikuti dengan infus 10 g/menit selama 12
jam. Suatu studi pendahuluan (PROLOG) memberikan hasil
kurangnya perdarahan bila heparin dikombinasi dengan
absiksimab dibandingkan dengan heparin saja. Penelitian lebih
besar saat ini sedang dilakukan. Efek samping antara lain
perdarahan dan trombositopenia (PERKI, 2015).
Integrilin merupakan suatu peptida mempunyai afinitas
tinggi terhadap reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Integrilin
digunakan untuk pengobatan angina tidak stabil dan untuk
angioplasti koroner. Dosis diberikan sebagai bolus 135-180
g/kgBB diikuti dengan 0,5-3,0 g/kgBB/menit untuk sampai 72
jam. Untuk angioplasti koroner integrilin dapat mengurangi
infark miokard atau kematian sekitar 20%. Efek samping antara
lain perdarahan dan trombositopenia (PERKI, 2015).
STEP 10
Pembahasan :
A. Infark Miokard
a. Definisi
Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan
akibat iskemia lokal, disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke
daerah itu, paling sering karena trombus atau embolus. Iskemia
terjadi oleh karena obstruksi, kompresi, ruptur karena trauma

92

dan vasokonstriksi. Obstruksi pembuluh darah dapat disebabkan


oleh embolus, trombus atau plak aterosklerosis. Kompresi
secara mekanik dapat disebabkan oleh tumor, volvulus atau
hernia. Ruptur karena trauma disebabkan oleh aterosklerosis
dan

vaskulitis.

Vasokonstriksi

pembuluh

darah

dapat

disebabkan obat-obatan seperti kokain (Guyton, 2012).


Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis
otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen. Klinis sangat mencemaskan
karena sering berupa serangan mendadak umumya pada pria
35-55 tahun, tanpa gejala pendahuluan (Guyton, 2012).
Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh koroner
utama,

yaitu

arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri.

Kedua arteri ini keluar dari aorta. Arteri koroner kiri kemudian
bercabang menjadi arteri desendens anterior kiri dan arteri
sirkumfleks kiri. Arteri desendens anterior kiri berjalan pada
sulkus interventrikuler hingga ke apeks jantung. Arteri
sirkumfleks kiri berjalan pada sulkus arterio-ventrikuler dan
mengelilingi permukaan posterior jantung. Arteri koroner kanan
berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah
(Guyton, 2012).

93

Gambar 1. Anatomi arteri koroner jantung (Sherwood, 2012)

b. Etiologi dan Faktor Resiko


Infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara
lain (Sudoyo, 2009):
1. Infark miokard tipe 1
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur
plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu,
peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan
nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard.
Hal-hal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan
hiper atau hipotensi.
2. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi
dan spasme arteri menurunkan aliran darah miokard.
3. Infark miokard tipe 3
Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak
didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar
pertanda biokimiawi sempat meningkat.
4. a. Infark miokard tipe 4a
Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard
(contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal
akibat pemasangan percutaneous coronary intervention
(PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.
b. Infark miokard tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent
trombosis.
5. Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai

94

normal. Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan


dengan operasi bypass koroner.
Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang
tidak dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat
keluarga. Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring
bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum
usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga
berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktorfaktor tersebut adalah abnormalitas
hipertensi,

kadar

merokok, diabetes, obesitas,

serum

lipid,

faktor psikososial,

konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik


(Sudoyo, 2009).
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor
resiko

adalah

hiperlipidemia.

Hiperlipidemia

adalah

peningkatan kadar kolesterol atau trigliserida serum di atas


batas normal. The National Cholesterol Education Program
(NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab
penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention
Trial

(CPPT)

memperlihatkan

bahwa

penurunan

kadar

kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark miokard


(Sudoyo, 2009).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
sedikitnya

140 mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90

mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan


resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel
kiri.

Akibatnya

kerja

jantung

bertambah,

sehingga

ventrikel kiri hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa.


Bila proses aterosklerosis terjadi, maka penyediaan oksigen
untuk

miokard

berkurang.

Tingginya

kebutuhan oksigen

karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar


oksigen yang tersedia (Sudoyo, 2009).
Sekitar 25-49%

penyakit

jantung koroner di negara

95

berkembang berhubungan dengan peningkatan indeks masa tubuh


(IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT>25-30 kg/m

dan

2
obesitas dengan IMT > 30 kg/m . Obesitas sentral adalah
obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya
keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti
peninggian kadar trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan
darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus
tipe II (Sudoyo, 2009).
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja,
rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik,
ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko
terkena aterosklerosis (Sudoyo, 2009).
Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien
yang mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C
dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol
satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi
resiko terjadinya infark miokard. Namun bila mengkonsumsi
berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien
memiliki peningkatan resiko terkena penyakit (Sudoyo, 2009).
c. Patologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian
pembuluh

darah.

Penyakit

ruptur

dan

menyumbat

aterosklerosis ditandai dengan

formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding

arteri.

Lama- kelamaan plak ini terus tumbuh, sehingga diameter


lumen menyempit. Penyempitan lumen mengganggu aliran
darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi (Isselbacher,
2008).
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok,
diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species

96

dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial.


Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury
bagi sel endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat
lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric
oxide, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik dan
anti-proliferasi.
meningkatkan

Sebaliknya,
produksi

disfungsi

vasokonstriktor,

endotel

justru

endotelin-1,

dan

angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan


sel (Isselbacher, 2008).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel
teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan
berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai
pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel
makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi
disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit
menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam
tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah
bercak

lemak

menjadi ateroma

matur.

Lapisan

fibrosa

menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh


darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar
menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur
mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi
dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri (Isselbacher, 2008).
Penyempitan
disebabkan oleh

arteri

koroner

segmental

banyak

formasi plak. Kejadian tersebut secara

temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan


aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis
infark miokard.

Lokasi

obstruksi

berpengaruh

terhadap

kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis


penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner
kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya (Isselbacher,
2008).

97

Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen


ke jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan
gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan
miokard.

Perfusi

yang

buruk

ke

elektrikal

subendokard

jantung

menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan


cepat iskemia yang disebabkan
arteri koroner

oklusi total atau

subtotal

berhubungan dengan kegagalan otot jantung

berkontraksi dan berelaksasi (Isselbacher, 2008).


Selama
abnormalitas

kejadian

iskemia,

terjadi

beragam

metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard

normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi


karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang,
asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi
asam laktat dan

pH intrasel menurun. Keadaaan ini

mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran


sel menyebabkan kebocoran kanal K

+
dan ambilan Na oleh

monosit. Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara


suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan
miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel
(>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark
miokard (Isselbacher, 2008).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi
trombus di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe
elevasi segmen ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari
stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam
rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah
kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri
koroner tersumbat cepat (Isselbacher, 2008).
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa
elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner
akibat erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma
menimbulkan

ketidakseimbangan

suplai

dan

kebutuhan

98

oksigen. Pada Non STEMI, trombus yang terbentuk biasanya


tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri koroner
(Isselbacher, 2008).
Infark

miokard

dapat

bersifat

transmural

dan

subendokardial (nontransmural). Infark miokard transmural


disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu
dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot
jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang
bersamaan. Infark miokard subendokardial terjadi hanya di
sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah
terjadi pada waktu berbeda-beda (Isselbacher, 2008).
d. Gejala klinis
Nyeri dada penderita infark miokard serupa dengan
nyeri angina tetapi lebih intensif dan berlangsung lama serta
tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian
nitrogliserin. Angina pektoris adalah jeritan otot jantung
yang merupakan rasa sakit pada dada akibat kekurangan
pasokan oksigen miokard. Gejalanya adalah rasa sakit pada
dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah
satu atau kedua tangan, leher dan punggung. Faktor pencetus
yang menyebabkan angina adalah kegiatan fisik, emosi
berlebihan dan terkadang sesudah makan. Hal ini karena
kegiatan

tersebut

mencetuskan

peningkatan

kebutuhan

oksigen. Namun, sakit dada juga sering timbul ketika


pasien sedang beristirahat (Sudoyo, 2009).
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah,
takut,

berkeringat dingin dan lemas. Pasien terus menerus

mengubah posisinya di tempat tidur. Hal ini dilakukan untuk


menemukan posisi yang dapat mengurangi rasa sakit, namun
tidak berhasil. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta

99

ektremitas biasanya terasa dingin (Sudoyo, 2009).


Pada fase awal infark miokard, tekanan vena jugularis
normal atau sedikit meningkat.
melemah

karena

Pulsasi

arteri

karotis

penurunan stroke volume yang dipompa

jantung. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus


infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat.
Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai. Tekanan darah
menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam
waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal
(Sudoyo, 2009).
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara
jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada
infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal
yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan
suara

jantung

tambahan

(S3

dan

S4),

penurunan

intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung


S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika
didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction rub
perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural
tipe STEMI (Sudoyo, 2009).
e. Patofisiologi Infark Miokard Akut
IMA terjadi ketika iskemia yang terjadi berlangsung
cukup lama yaitu lebih dari 30-45 menit sehingga menyebabkan
kerusakan seluler yang ireversibel. Bagian jantung yang terkena
infark akan berhenti berkontraksi selamanya. Iskemia yang terjadi
paling banyak disebabkan oleh penyakit arteri koroner / coronary
artery disease (CAD). Pada penyakit ini terdapat materi lemak
(plaque) yang telah terbentuk dalam beberapa tahun di dalam
lumen arteri koronaria (arteri yang mensupply darah dan oksigen
kepada jantung). Plaque dapat ruptur sehingga menyebabkan
terbentuknya bekuan darah pada permukaan plaque. Jika bekuan

100

menjadi cukup besar, maka bisa menghambat aliran darah baik


total maupun sebagian pada arteri koroner (Isselbacher, 2008).
Terbendungnya aliran darah menghambat darah yang kaya
oksigen mencapai bagian otot jantung yang disuplai oleh arteri
tersebut. Kurangnya oksigen akan merusak otot jantung. Jika
sumbatan itu tidak ditangani dengan cepat, otot jantung yang rusak
itu akan mulai mati. Selain disebabkan oleh terbentuknya sumbatan
oleh plaque ternyata infark juga bisa terjadi pada orang dengan
arteri koroner normal (5%). Diasumsikan bahwa spasme arteri
koroner berperan dalam beberapa kasus ini (Isselbacher, 2008).
Spasme yang terjadi bisa dipicu oleh beberapa hal antara
lain: mengkonsumsi obat-obatan tertentu, stress emosional,
merokok, dan paparan suhu dingin yang ekstrim. Spasme bisa
terjadi pada pembuluh darah yang mengalami aterosklerotik
sehingga

bisa

menimbulkan

oklusi

kritis

sehingga

bisa

menimbulkan infark jika terlambat dalam penangananya. Letak


infark ditentukan juga oleh letak sumbatan arteri koroner yang
mensuplai darah ke jantung. Terdapat dua arteri koroner besar yaitu
arteri koroner kanan dan kiri. Kemudian arteri koroner kiri
bercabang menjadi dua yaitu desenden anterior dan arteri
sirkumfleks kiri. Arteri koronaria desenden anterior kiri berjalan
melalui bawah anterior dinding ke arah afeks jantung. Bagian ini
menyuplai aliran dua pertiga dari septum intraventrikel, sebagaian
besar apeks, dan ventrikel kiri anterior. Sedangkan cabang
sirkumfleks kiri berjalan dari koroner kiri kearah dinding lateral
kiri dan ventrikel kiri. Daerah yang disuplai meliputi atrium kiri,
seluruh dinding posterior, dan sepertiga septum intraventrikel
posterior. Selanjutnya arteri koroner kanan berjalan dari aorta sisi
kanan arteri pulmonal kearah dinding lateral kanan sampai ke
posterior jantung. Bagian jantung yang disuplai meliputi: atrium
kanan, ventrikel kanan, nodus SA, nodus AV, septum interventrikel

101

posterior superior, bagian atrium kiri, dan permukaan diafragmatik


ventrikel kiri (Isselbacher, 2008).
Berdasarkan hal diatas maka dapat diketahui jika infark
anterior kemungkinan disebabkan gangguan pada cabang desenden
anterior kiri, sedangkan infark inferior bisa disebabkan oleh lesi
pada arteri koroner kanan. Berdasarkan ketebalan dinding otot
jantung yang terkena maka infark bisa dibedakan menjadi infark
transmural dan subendokardial. Kerusakan pada seluruh lapisan
miokardiom disebut infark transmural, sedangkan jika hanya
mengenai lapisan bagian dalam saja disebut infark subendokardial.
Infark miokardium akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot
yang nekrosis akan kehilangan daya kotraksinya begitupun otot
yang mengalami iskemi (disekeliling daerah infark). (Isselbacher,
2008).
Secara

fungsional

infark

miokardium

menyebabkan

perubahan-perubahan sebagai berikut:


a. Daya kontraksi menurun, gerakan dinding abnormal (daerah
yang terkena infark akan menonjol keluar saat yang lain
melakukan kontraksi),
b. Perubahan daya kembang dinding ventrikel, penurunan volume
sekuncup,
c. Penurunan fraksi ejeksi.
Gangguan

fungsional

yang

terjadi

tergantung

pada

beberapa factor dibawah ini:


a. Ukuran infark jika mencapai 40% bisa menyebabkan syok
kardiogenik,
b. Lokasi Infark dinding anterior mengurangi fungsi mekanik
jantung lebih besar dibandingkan jika terjadi pada bagian
inferior,
c. Sirkulasi kolateral berkembang sebagai respon terhadap iskemi
kronik dan hiperperfusi regional untuk memperbaiki aliran

102

darah yang menuju miokardium. Sehingga semakin banyak


sirkulasi kolateral, maka gangguan yang terjadi minimal.
Mekanisme kompensasi bertujuan untuk mempertahankan
curah jantung dan perfusi perifer. Gangguan akan mulai terasa
ketika mekanisme kompensasi jantung tidak berfungsi dengan
baik. (Isselbacher, 2008).
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya
aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh
darah. Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap
fatty plaque di dalam dinding arteri. Lama-kelamaan plak ini terus
tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit.
Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat
penyumbatan terjadi (Isselbacher, 2008).
Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes
mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi
menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan
terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel.
Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi
molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja
sebagai vasodilator, anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya,
disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor,
endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan
pertumbuhan sel (Isselbacher, 2008).
Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel
teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan
berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai
pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel
makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut
sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit
menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika
intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak
menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur,

103

membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit


ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya
trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau
perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri
(Isselbacher, 2008).
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan
oleh formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat
memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah
koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard.
Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard
dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu,
obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner
desendens kiri berbahaya (Isselbacher, 2008).
Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke
jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan
dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi
yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang
lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan
oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan
kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi (Isselbacher,
2008).
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas
metabolisme,

fungsi

dan

struktur

sel.

Miokard

normal

memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida


dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak
dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH
intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran
sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal
K+ dan ambilan Na+ oleh monosit. Keparahan dan durasi dari
ketidakseimbangan

antara

suplai

dan

kebutuhan

oksigen

menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel

104

(<20 menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel


berakhir pada infark miokard (Isselbacher, 2008).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus
di arteri koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen
ST (STEMI). Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak
menimbulkan STEMI karena dalam rentang waktu tersebut dapat
terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain STEMI
hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat (Isselbacher, 2008)
Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi
segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi
dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non
STEMI, trombus yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan
oklusi menyeluruh lumen arteri koroner (Isselbacher, 2008)
Infark
subendokardial

miokard

dapat

(nontransmural).

bersifat
Infark

transmural
miokard

dan

transmural

disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu


dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung
yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan.
Infark miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard
dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah terjadi pada waktu
berbeda-beda (Isselbacher, 2008).

105

Gambar 2.Patofisiologi Infark Miokard Akut (Isselbacher, 2008).

106

Daftar Pustaka
ACC/AHA 2007 guidelines for the management of patients with
unstable angina/non ST-elevation myocardial infarction. A
report of the American College of Cardiology/ American
Heart Association Task Force on Practive Guidelines. J Am
Coll
Cardiol.
2007.
available
at
http://content.onlinejacc.org/cgi/content/full/50/7/e1.Circula
tion
Djojodibroto Darmantao. 2014. Respirologi. Jakarta; EGC
Guyton A.C, Hall J.E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
11. Jakarta: EGC
Isselbacher. 2008. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam
Volume 3. Jakarta: EGC
PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi
Ketiga. Jakarta: centra Communications
Price Sylvia A and Lorraine M. Wilson. 2013. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Jakarta; EGC
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Kedokteran Edisi VI.
Jakarta:EGC
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta:
Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Talbert, R. L., 2008, Ischemic Heart Disease, In Pharmacotherapy:
A Pathophysiology Approach, McGraw Hill, New York.

107

Anda mungkin juga menyukai