KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
1. Guru
a. Profesi guru
Kata profesi idientik dengan kata keahlian. Jarvis via Yamin (2007: 3)
mengartikan seseorang yang melakukan tugas profesi juga sebagai seorang ahli
(expert). Pada sisi lain, profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni
pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik, dan prosedur berdasarkan
intelektualitas.
Sardiman (2009: 133) berpendapat secara umum profesi diartikan sebagai
suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut dalam science dan teknologi
yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam
kegiatan yang bermanfaat. Pengertian profesi menurut Sardiman ini dikuatkan
dengan pengertian profesi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Menurut KBBI (2005: 897), kata profesi berarti bidang pekerjaan yang dilandasi
pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.
Dari beberapa pengertian mengenai istilah profesi menurut Javis,
Sardiman, dan KBBI, dapat disimpulkan bahwa profesi adalah suatu pekerjaan
yang memerlukan keterampilan khusus untuk melakukannya. Karena dua kata
kunci dalam istilah profesi adalah pekerjaan dan keterampilan khusus, maka guru
merupakan suatu profesi. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Uno. Menurut Uno
(2008: 15), guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang
memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh
sembarang orang di luar bidang kependidikan.
b. Pengertian guru
20 22 tahun 130
17 19 tahun 115
14 16 tahun 100
11 13 tahun 85
8 10 tahun 70
5 7 tahun 55
2 4 tahun 40
Keterangan: Tugas belajar diperhitungkan dalam pengalaman mengajar
4) Diklat
Menurut Depdiknas, dalam panduan penyusunan portofolio sertifikasi
guru dalam jabatan tahun 2007, yang dimaksud dengan pendidikan dan pelatihan
(diklat) yaitu pengalaman dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan
dalam rangka pengembangan dan/atau peningkatan kompetensi dalam
melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada tingkat kecamatan, kabupaten
atau kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Bukti fisik komponen ini
dapat berupa sertifikat, piagam, atau surat keterangan dari lembaga
penyelenggara diklat.
Suhadak (2010: 34) dalam desertasinya juga berpendapat bahwa guru
perlu dikutsertakan sesering mungkin dalam berbagai diklat peningkatan profesi
guru (inservice training) yang dikelola secara profesional dan merujuk pada
kebutuhan guru dalam menjalankan peran dan fungsinya. Dasar pemikirannya
adalah seiring dengan perkembangan IPTEK, dimungkinkan kebutuhan siswa
dalam belajar akan meningkat, baik kebutuhan informasi, kebutuhan cara
pendekatan, maupun kebutuhan pembimbingan dalam belajar. Kondisi tersebut
jelas menuntut guru untuk selalu mengembangkan diri. Untuk itulah diperlukan
inservice training pengelolaan pembelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk
Departemen
Pendidikan
Nasional
Mengikuti diklat internasional
Mengikuti diklat kepemimpinan
tingkat menengah dan tinggi
Standar
IX
2. Pengawas Berpengalaman menjadi kepala
sekolah baik di sekolah negeri
maupun swasta
Mengikuti diklat kepengawasan
dan diklat lain yang menunjang
kompetensinya
Memahami standar kompetensi
pengawas
Standar
VIII
3. Kepala
Sekolah
Pernah menjadi wakil kepala
sekolah
Mengikuti diklat kepemimpinan
tingkat tinggi
Memahami standar kompetensi
kepala sekolah
Standar
VII
4. Wakil Kepala
Sekolah
Mengikuti diklat kepemimpinan
tingkat menengah
Memahami standar kompetensi
guru
Telah mengikuti diklat
instruktur/pengembangan tingkat
menengah
Standar
VI
5. Guru Utama Mengikuti diklat
instruktur/pengembangan tingkat
menengah
Mengikuti diklat kepemimpinan
tingkat lanjut
Memiliki pengalaman dalam tugas
sebagai wali kelas, dan tugas
sekolah lainnya
Standar
V
6. Guru Dewasa Mengikuti diklat kepemimpinan
tingkat dasar
Mengikuti diklat jenjang tinggi
dar
Menurut Suparlan (2008: 182), pembinaan profesionalisme guru dapat
dilakukan melalui beberapa kegiatan. Kegiatan tersebut yaitu: (1) peningkatan
kualifikasi melalui jenjang pendidikan formal; (2) peningkatan kompetensi
melalui pendidikan dan pelatihan; (3) peningkatan kompetensi melalui kegiatan
yang dirancang oleh oraganisasi profesi; (4) belajar mandiri.
Depdiknas juga mengelompokkan dan menemberikan nilai dalam
penilaian fortofolio mengenai pendidikan dan pelatihan guru. Berikut merupakan
pedoman penilaian masa kerja guru dalam Buku III Rubrik Penilaian Portofolio
Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Tahun 2007.
Tabel 4. Pedoman Penilaian Pedidikan dan Pelatihan Guru
Lama
Diklat
(jam
Pelatihan)
Internasional Nasional Provinsi Kab/Kota Kecamatan
R TR R TR R TR R TR R TR
> 640 60 45 50 40 45 35 40 30 35 25
481640 55 40 45 35 40 30 35 25 30 20
161 480 45 35 40 30 35 25 30 20 25 15
81 160 40 30 35 25 30 20 25 15 20 10
30 80 35 25 30 20 25 15 20 10 15 7
8 29 30 20 25 15 20 10 15 5 10 3
Keterangan:
R : relevan; materi diklat mendukung pelaksanaan tugas profesional guru
TR : tidak relevan: materi diklat tidak mendukung pelaksanaan tugas
profesional guru
3. Pengelolaan kelas dalam pembelajaran bahasa Indonesia
a. Pengertian pengelolaan kelas
Sebelum mengetahui pengertian pengelolaan kelas, terlebih dahulu akan
dijabarkan mengenai arti kedua kata tersebut secara terpisah. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2005: 534), pengelolaan adalah (1) proses, cara,
perbuatan mengelola; (2) proses melakukan kegiatan tertentu dengan
menggerakkan tenaga orang lain; (3) proses yang membantu merumuskan
kebijaksanaan dan tujuan organisasi; (4) proses yang memberikan pengawasan
pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian
tujuan.
Yamin dan Maisah (2009: 34) mengungkapkan bahwa kata pengelolaan
memiliki arti yang sama dengan management dalam bahasa Inggris. Kata
mangement dalam bahasa Inggris tersebut selanjutnya diserap ke dalam bahasa
Indonesia sehingga menjadi kata manajemen.
Beralih pada kata kelas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:
529-530), kelas adalah (1) tingkat; (2) ruang tempat belajar di sekolah; (3)
kelompok masyarakat berdasarkan pendidikan; (4) golongan atau kumpulan
(sesuai persamaan berbagai sifat tertentu), dan; (5) bio klasifikasi dalam biologi
sesudah devisi dan sebelum bangsa. Namun, Yamin dan Maisah (2009: 34)
mengungkapkan pengertian kelas sebagai kelompok orang. Jika kedua pendapat
mengenai pengertian kelas tersebut digabungkan, maka akan terbentuklah sebuah
pengertian kelas yang cukup ideal. Kelas adalah ruangan yang dibatasi oleh
empat dinding, tempat sejumlah orang berkumpul untuk mengikuti proses belajar
mengajar.
Gabungan antara kata pengelolaan dan kata kelas adalah kata pengelolaan
kelas. Kata pengelolaan kelas di sini akan memunculkan makna yang berbeda
dengan hanya menggabungkan dua kata yang telah dijelaskan sebelumnya.
Menurut Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia (2005: 708), manajemen kelas
adalah manajemen untuk mencapai tujuan pengajaran di kelas secara efektif dan
efisien.
Manajemen kelas sebenarnya tidak berbeda dengan pengelolaan kelas.
Wragg memiliki pengertian sendiri mengenai pengelolaan kelas. Menurut Wragg
(1996: 8), pengelolaan kelas adalah segala sesuatu yang dilakukan guru agar
anak-anak berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar-mengajar, bagaimanapun
cara dan bentuknya. Mulyasa mengungkapkan pengertian yang berbeda dengan
Wragg. Menurut Mulyasa (2007: 91), pengelolaan kelas adalah keterampilan
guru untuk menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif dan
mengendalikannya jika terjadi gangguan dalam pembelajaran.
Pujiastuti (2009: 5), memberikan pengertian mengenai mengelola kelas.
Menurutnya, mengelola kelas adalah menciptakan dan memelihara kondisi
belajar yang optimal, dan/atau mengembalikan ke kondisi yang optimal dari
gangguan dalam proses belajar.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai pengelolaan kelas dari teoriteori
tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan kelas adalah
keterampilan guru yang berupa kegiatan-kegiatan untuk menciptakan kondisi
pembelajaran yang optimal dan kondusif, serta mengendalikannya ketika terjadi
gangguan, sehingga siswa dapat berpatisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan begitu, pengelolaan kelas merupakan kunci penting untuk mewujudkan
tercapainya tujuan pembelajaran.
Rohani dan Ahmadi (1995: 116) membedakan antara pengelolaan
pengajaran dan pengelolaan kelas, walaupun keduanya memiliki hubungan yang
sangat erat. Jika pengelolaan pengajaran mencakup semua kegiatan yang secara
langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pengajaran, maka
pengelolaan kelas menunjuk pada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan
mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar. Yamin dan
Maisah (2009: 34) juga mendukung pendapat Rohani dan Ahmadi tersebut.
Menurut mereka, dalam proses pembelajaran di sekolah dapat dibedakan adanya
dua kelompok masalah yaitu masalah pengelolaan kelas dan pengelolaan
pembelajaran.
b. Tujuan pengelolaan kelas
Pengelolaan kelas yang efektif merupakan prasyarat mutlak bagi
terjadinya proses belajar mengajar yang efektif (Rohani dan Ahmadi, 1995: 117).
Dengan kata lain, kemampuan pengelolaan kelas yang efektif merupakan hal
yang sangat penting dan mendasar yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Menurut Wragg (1996: 1), kemampuan pengelolaan kelas sering juga
disebut kemampuan menguasai kelas. Hal ini berarti seorang guru harus mampu
mengontrol atau mengendalikan prilaku muridnya sehingga mereka terlibat
secara aktif dalam proses belajar mengajar.
Kemampuan pengelolaan kelas ini memiliki beberapa tujuan. Menurut
Hasibuan (via Suwarna, 2006: 82), tujuan keterampilan pengelolaan kelas yaitu:
(1) mendorong siswa mengembangkan tingkah lakunya sesuai tujuan
pembelajaran; (2) membantu siswa menghentikan tingkah lakunya yang
menyimpang dari tujuan pembelajaran; (3) mengendalikan siswa dan sarana
pembelajaran dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan, untuk mencapai
tujuan pembelajaran, dan; (4) membina hubungan baik antara guru dengan siswa
dan siswa dengan siswa, sehingga kegiatan pembelajaran menjadi efektif.
c. Komponen pengelolaan kelas
Menurut Yamin dan Maisah (2009: 34), terdapat beberapa prinsip yang
harus diperhatikan dalam pengelolaan kelas. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: (1)
kehangatan dan keantusiasan; (2) tantangan; (3) bervariasi; (4) luwes; (5)
penekanan pada hal-hal positif; (6) penanaman disiplin diri.
Selain prinsip-prinsip pengelolaan kelas, Pujiastuti (2009: 5) juga
mengungkapkan tentang hal yang perlu dihindari dalam pengelolaan kelas. Hal
yang perlu dihindari tersebut adalah (1) campur tangan yang berlebihan; (2)
ketidaktepatan waktu kegiatan; (3) bertele-tele; (4) pengulangan penjelasan yang
tidak perlu.
Menurut Mulyasa (2007: 91), terdapat dua komponen keterampilan
mengelola kelas. Komponen keterampilan mengelola kelas tersebut adalah (1)
penciptaan dan pemeliharaan iklim pembelajaran yang optimal, dan; (2)
keterampilan yang berhubungan dengan pengendalian kondisi belajar yang
optimal.
Keterampilan penciptaan dan pemeliharaan iklim pembelajaran yang
optimal ini terdiri dari enam. Enam hal tersebut adalah (1) menunjukkan sikap
tanggap di kelas; (2) membagi perhatian secara visual dan verbal; (3)
memusatkan perhatian kelompok dengan cara menyiapkan peserta didik dalam
pembelajaran; (4) memberikan petunjuk yang jelas; (5) memberikan teguran
secara bijaksana, dan; (6) memberi penguatan ketika diperlukan.
Keterampilan yang berhubungan dengan pengendalian kondisi belajar
yang optimal menurut Mulyasa (2007: 91-92) terdiri dari tiga hal. Keterampilan
tersebut yaitu: (1) modifikasi perilaku; (2) pengelolaan kelompok dan; (3)
menemukan dan mengatasi perilaku yang menimbulkan masalah. Masing-masing
keterampilan tersebut kemudian akan dijabarkan lagi dalam kutipan sebagai
berikut.
Modifikasi perilaku terdiri dari tiga hal penting yaitu: (1) mengajarkan
perilaku baru dengan contoh dan pembiasaan; (2) meningkatkan perilaku
yang baik melalui penguatan dan; (3) mengurangi perilaku buruk dengan
hukuman. Pengelolaan kelompok terdiri dari dua hal penting yaitu: (1)
peningkatan kerjasama dan keterlibatan dan; (2) menangani konflik dan
memperkecil masalah yang timbul. Sedangkan menemukan dan mengatasi
perilaku yang menimbulkan masalah, terdiri dari sembilan hal penting
yaitu: (1) pengabdian yang direncanakan; (2) campur tangan dengan
isyarat; (3) mengawasi secara ketat; (4) mengakui perasaan negatif peserta
didik; (5) mendorong peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya;
(6) menjauhkan benda-benda yang dapat mengganggu konsentrasi; (7)
menyususn kembali program belajar; (8) menghilangkan ketegangan
dengan humor dan; (9) mengekang secara fisik.
Muijs dan Reynold (2008: 117) dalam bukunya yang berjudul Effective
Teaching Teori dan Aplikasi, mengemukakan elemen-elemen manajemen kelas
yang efektif. Menurut mereka, elemen-elemen manajemen kelas yang efektif
adalah (1) memulai pelajaran tepat waktu; (2) penataan tempat duduk yang tepat
di kelas; (3) mengatasi disrupsi atau gangguan yang berasal dari luar kelas; (4)
menetapkan aturan dan prosedur yang jelas sejak awal tahun pembelajaran; (5)
peralihan yang mulus antar segmen pelajaran; (6) menangangi murid yang
berbicara selama pelajaran berlangsung; (7) memberikan pekerjaan rumah; (8)
mempertahankan momentum selama pelajaran; (9) menghindari downtime, dan;
(10) mengakhiri pelajaran.
Menurut Djamarah dan Zain (2006: 2), pengelolaan kelas yang baik akan
melahirkan interaksi belajar mengajar yang baik pula. Tujuan pembelajaran pun
dapat dicapai tanpa menemukan kendala yang berarti. Sayangnya, pengelolaan
kelas yang baik tidak selamanya dapat dipertahankan. Hal tersebut disebabkan
adanya gangguan yang tidak dikehendaki datang secara tiba-tiba. Suatu gangguan
yang datang secara tiba-tiba dan berada di luar kemampuan guru adalah kendala
spontanitas dalam pengelolaan kelas. Dengan hadirnya kendala spontanitas,
suasana kelas biasanya akan terganggu yang ditandai dengan pecahnya
konsentrasi anak didik. Setelah kejadian itu, tugas terberat guru adalah
mengupayakan anak didik untuk kembali belajar dengan mempertahankan tugas
belajar yang diberikan oleh guru.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat ditangkap bahwa terdapat masalahmasalah
yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam pengelolaan kelas. Untuk
lebih mengetahui masalah-masalah yang timbul dalam pengelolaan kelas, maka
selanjutnya akan dijabarkan mengenai masalah-masalah dalam pengelolaan kelas
tersebut.
d. Masalah dalam pengelolaan kelas
Masalah pengelolaan kelas dapat dikelompokkan menjadi dua kategori,
menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 117). Masalah pengelolaan kelas tersebut
adalah masalah individual dan masalah kelompok.
Dreikus dan Cassel (via Rohani dan Ahmadi, 1995: 118) membedakan
empat kelompok masalah pengelolaan kelas individual yang didasarkan pada
asumsi bahwa semua tingkah laku individu merupakan upaya pencapaian tujuan
pemenuhan keputusan untuk diterima kelompok dan kebutuhan untuk mencapai
harga diri. Empat kelompok masalah individu tersebut adalah (1) tingkah laku
yang ingin mendapatkan perhatian orang lain; (2) tingkah laku yang ingin
menunjukkan kekuatan; (3)tingkah laku yang bertujuan menyakiti orang lain,
dan; (4) peragaan ketidakmampuan, yaitu dalam bentuk tidak mau melakukan
segala sesuatu yang diperintahkan guru karena merasa tidak mampu.
Johnson dan Bany (via Rohani dan Ahmadi, 1995: 119) mengemukakan
enam kategori masalah kelompok dalam pengelolaan kelas. Masalah-masalah
yang dimaksud adalah (1) kelas kurang kohesif; (2) kelas mereaksi negatif
terhadap salah seorang anggotanya; (3) membesarkan hati anggota kelas yang
justru melanggar norma kelompok; (4) kelompok cenderung mudah dialihkan
perhatiannya dari tugas yang tengah digarap; (5) semangat kerja rendah; (6) kelas
kurang mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru.
Selain masalah dalam pengelolaan kelas, terdapat juga faktor-faktor yang
menjadi penghambat dalam pengelolaan kelas. Faktor-faktor tersebut adalah (1)
faktor guru; (2) faktor peserta didik; (3) faktor fasilitas, dan; (4) faktor keluarga.
Faktor guru yang menjadi penghambat dalam pengelolaan kelas adalah (1)
tipe kepemimpinan guru; (2) format belajar yang monoton; (3) kepribadian guru;
(4) pengetahuan guru, dan; (5) pemahaman guru tentang peserta didik.
Kekurangsadaran peserta didik dalam memenuhi tugas dan haknya sebagai
anggota suatu kelas juga dapat menjadi faktor utama penyebab masalah
pengelolaan kelas. Sedangkan faktor fasilitas yang menjadi penghambat dalam
pengelolaan kelas adalah (1) jumlah peserta didik dalam kelas; (2) besar ruang
kelas; (3) ketersedian alat. Kebiasaan yang kurang baik di lingkungan keluarga
seperti tidak tertib, tidak patuh pada disiplin, kebebasan yang berlebihan, atau
pun terlampau dikekang, juga dapat menjadi latar belakang yang menyebabkan
peserta didik melanggar disiplin di kelas.
e. Tindakan pengelolaan kelas
Masalah-masalah kelas di atas tidak perlu terjadi apabila guru melakukan
tindakan pengelolaan kelas yang baik. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 119),
tindakan pengelolaan kelas dibagi menjadi dua, yaitu tidakan pencegahan dan
tindakan korektif.
1) Tindakan pencegahan
Tindakan pencegahan seperti yang dimaksud tersebut, dapat dilakukan
dengan mengatur kondisi dan situasi pembelajaran maupun mengatur disiplin dan
tata tertib.
a) Mengatur kondisi dan situasi pembelajaran
Mengatur kondisi dan situasi pembelajaran dapat meliputi tiga aspek.
Ketiga aspek tersebut adalah (1) mengatur kondisi fisik; (2) mengatur kondisi
sosio-emosional, dan; (3) mengatur kondisi organisasional.
Lingkungan fisik yang menguntungkan dan memenuhi syarat minimal
mendukung meningkatnya intensitas proses perbuatan belajar peserta didik dan
mempunyai pengaruh positif terhadap pencapaian tujuan pengajaran (Rohani dan
Ahmadi, 1995: 120-121). Kondisi fisik yang dimaksud adalah (1) ruang
berlangsungnya proses pembelajaran; (2) pengaturan tempat duduk; (3) ventilasi
dan pengaturan cahaya, dan; (4) pengaturan penyimpanan barang-barang.
Ruang tempat berlangsungnya proses belajar harus memungkinkan semua
bergerak leluasa tidak berdesak-desakan dan saling mengganggu antara peserta
didik yang satu dengan yang lain pada saat melakukan aktivitas belajar. Besarnya
ruang sangat tergantung pada dua hal yaitu jenis kegiatan dan jumlah peserta
didik. Sedangkan dalam mengatur tempat duduk, yang penting adalah
memungkinkan terjadinya tatap muka. Dengan demikian perilaku peserta didik
dapat terkontrol dengan baik. Ventilasi harus cukup menjamin kesehatan peserta
didik. Jendela harus cukup besar sehingga memungkinkan panasnya matahari
masuk. Barang-barang hendaknya disimpan ditempat khusus yang mudah
dicapai.
Kondisi sosio-emosional dalam kelas juga akan mempunyai pengaruh
yang cukup besar terhadap proses pembelajaran. Menurut Rohani dan Ahmadi
(1995: 123), kondisi sosio-emosional dalam situasi pembelajaran ada tiga, yaitu:
(1) tipe kepemimpinan guru; (2)sikap guru, dan; (3) suara guru.
Tipe kepemimpinan guru akan mewarnai suasana emosional di dalam
kelas. Tipe kepemimpinan guru yang otoriter tentu akan berbeda pengaruhnya
dengan tipe kepemimpinan guru yang demokratis. Sikap guru dalam menghadapi
peserta didik hendaknya sabar dan bersahabat. Suara guru, walaupun bukan
faktor yang besar, tetapi turut mempunyai pengaruh dalam belajar. Suara yang
melengking tinggi atau demikian rendah sehingga tidak terdengar oleh peserta
didik secara jelas dari jarak yang agak jauh akan membosankan dan membuat
peserta didik tidak memperhatikan pembelajaran. Suara macam ini juga akan
mengundang tingkah laku yang tidak diinginkan.
Kegiatan rutin yang secara organisasional dilakukan baik tingkat kelas
maupun tingkat sekolah akan dapat mencegah masalah pengelolaan kelas.
Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 125), kegitan tersebut yaitu: (1) pergantian
pelajaran; (2) guru yang berhalangan hadir, dan; (3) masalah peserta didik, seperti
peserta didik yang berkelahi dan lain sebagainya.
b) Disiplin dan tata tertib
Di sekolah, disiplin banyak digunakan untuk mengontrol tingkah laku
peserta didik yang dikehendaki agar tugas-tugas di sekolah dapat berjalan dengan
optimal. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 128) terdapat dua sumber
pelanggaran disiplin di sekolah. Pertama, pelanggaran disiplin yang bersumber
pada lingkungan sekolah dan kedua, pelanggaran disiplin yang bersifat umum.
Pelanggaran disiplin yang bersumber dari lingkungan sekolah tidak akan
dibahas karena sifatnya yang kompleks. Yang akan di jelaskan adalah masalah
pelanggaran disiplin yang bersifat umum. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995:
129), terdapat tiga sebab pelanggaran disiplin yang bersifat umum, yaitu: (1)
kebosanan dalam kelas; (2) perasaan kecewa dan tertekan karena peserta didik
dituntut untuk bertingkah laku yang kurang wajar sebagai remaja, dan; (3) tidak
terpenuhinya kebutuhan akan perhatian, pengenalan, atau status.
Ada berbagai cara yang dapat ditempuh guru dalam menanggulangi
pelanggaran disiplin. Menurut Rohani dan Ahmadi (1995: 129), cara-cara tersebut
adalah (1) pengenalan peserta didik; (2) melakukan tindakan korektif; (3)
melakukan tindakan penyembuhan, dan; (4) tertib ke arah siasat.
2) Tindakan korektif
Tindakan korektif dapat dibagi menjadi dua yaitu, tindakan yang
seharusnya segera diambil guru pada saat terjadi gangguan (dimensi tindakan)
dan tindakan penyembuhan terhadap tingkah laku yang menyimpang.
a) Dimensi tindakan
Dimensi tindakan merupakan kegiatan yang seharusnya dilakukan guru
bila terjadi masalah pengelolaan. Guru dituntut untuk berbuat sesuatu dalam
menghentikan perbuatan peserta didik secepat dan setepat mungkin. Guru harus
segera mengingatkan peserta didik terhadap peraturan tata tertib yang dibuat dan
ditetapkan bersama dan konsekuensinya, untuk kemudian melaksanakan sanksi
yang seharusnya berlaku. Kegiatan ini juga bertujuan untuk memonitor efektifitas
aturan dan tata tertib.
b) Tindakan penyembuhan
Pelanggaran yang sudah terlanjur dilakukan peseta didik perlu
ditanggulangi dengan tindakan penyembuhan baik secara individu, maupun
secara kelompok. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam tindakan
penyembuhan ini meliputi:
(1) mengidentifikasi peserta didik yang mendapat kesulitan untuk menerima
dan mengikuti tata tertib atau menerima konsekuensi dari pelanggaran
yang dibuatnya
(2) membuat rencana yang diperkirakan tepat tentang langkah-langkah yang
akan ditempuh dalam mengadakan kontrak dengan peserta didik
(3) menetapkan waktu pertemuan dengan peserta didik yang disetujui bersama
bersama oleh guru dan peserta didik yang bersangkutan
(4) saat bertemu dengan peserta didik, jelaskan maksud pertemuan tersebut,
dan manfaat yang mungkin diperoleh dari pertemuan tersebut
(5) tunjukkan kepada peserta didik bahwa guru pun bukan manusia yang
sempurna dan tidak bebas dari kekurangan
(6) bila pertemuan yang dilakukan ternyata tidak responsip, maka guru dapat
mengajak peserta didik untuk diskusi dilain kesempatan
(7) pertemuan guru dan peserta didik harus sampai pada pemecahan masalah
(8) melakukan kegiatan tindak lanjut.
f. Pengelolaan Kelas dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Jamaluddin (2003: 18) juga mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembelajaran. Faktor tersebut adalah (1) faktor internal yang
meliputi faktor fisiologis dan psikologis dan; (2) faktor eksternal yang meliputi
faktor sosial dan nonsosial. Guru berada dalam salah satu faktor sosial yang
mempengaruhi pembelajaran.
Jika guru merupakan salah satu faktor sosial yang sangat berpengaruh
dalam proses pembelajaran, maka guru harus memiliki kemampuan dan
keterampilan leadership yang baik dalam menjalankan tugasnya. Hal tersebut
dibutuhkan untuk dapat mengontrol dan mengelola kelas peserta didik dengan
baik.
Arends (via Tumisih, 2003: 37) mengemukakan tree important leadership
functions of teaching are planning, menaging classroom life, and assessing
kerja dengan kinerja guru SMP Sekecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas; (3)
adanya hubungan antara motivasi dengan kinerja guru SMP Sekecamatan
Purwojati Kabupaten Banyumas, dan; (4) adanya hubungan antara tingkat
pendidikan, masa kerja, dan motivasi dengan kinerja guru SMP Sekecamatan
Purwojati Kabupaten Banyumas.
Penelitian yang dilakukan Suparjo relevan dengan penelitian ini karena
dua variabel dari tiga variabel bebas dalam penelitian Suparjo yaitu, tingkat
pendidikan dan masa kerja termasuk dalam dua komponen variabel bebas dalam
penelitian ini yaitu kualifikasi guru. Selain itu, variabel terikat dalam penelitian
Suparjo, kinerja guru juga berhubungan dengan variabel terikat dalam penelitian
ini, pengelolaan kelas. Kedua varibel tersebut saling berhubungan dikarenakan
pengelolaan kelas merupakan salah satu hal penting yang perlu diteliti dalam
pelaksanaan kinerja guru.
C. Kerangka Pikir
Guru yang merupakan salah satu faktor sosial yang dapat mempengaruhi
pembelajaran. Di samping harus memiliki kualifikasi, guru juga dituntut untuk
memiliki kompetensi. Pengelolaan kelas merupakan salah salah satu kompetensi
profesional yang wajib dimiliki guru. Oleh karena itu, kualifikasi dan kompetensi
guru akan mempengaruhi satu sama lain. Jadi, untuk dapat mengelola kelas
dengan baik, seorang guru harus memiliki kualifikasi yang baik. Semakin tinggi
kualifikasi guru, maka semakin banyak pengalaman yang di dapatkan oleh guru,
dan semakin baik pula kemampuan pengelolaan kelasnya.
Dari penjelasan di atas, terdapat hubungan antara kualifikasi guru dengan
pengelolaan kelas. Kualifikasi guru yang meliputi kualifikasi akademis, sertifikasi
profesi, pengalaman mengajar, dan diklat yang pernah diikuti guru akan
mempengaruhi seorang guru dalam mengelola kelas saat pembelajaran