Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon dan
mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan untuk
mempertahankan pengembangannya. Paru-paru sebenarnya mengapung dalam rongga
toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang menjadi pelumas bagi
gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan normal rongga pleura berisi
sedikit cairan dengan tekanan negatif yang ringan (1).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga
pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka akan menimbulkan
penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak dapat mengembang dengan
maksimal sebagaimana biasanya ketika bernapas. Pneumotoraks dapat terjadi baik
secara spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat
primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik
dan non iatrogenik(2).
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak
diketahui. Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan
bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa yang berumur sekitar
40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita, dengan perbandingan 5 : 1

(2)

. Pada

pria, resiko pneumothorax spontan akan meningkat pada perokok berat dibanding
non perokok.Pneumothorax spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi
puncak pada dekadeketiga kehidupan (20-40 tahun). Sementara itu, pneumothorax
traumatik dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung pada
dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi iatrogenik maupun non-iatrogenik.
Pneumothorax

iatrogenik

merupakan

tipe

pneumothorax

yangsangat

sering

terjadiSesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak dikerjakan


pendekatan baru berupa tindakan torakostomi disertai video (VATS = video assisted
thoracoscopy surgery), ternyata memberikan banyak keuntungan pada pasien-pasien
yang mengalami pneumotoraks relaps dan dapat mengurangi lama rawat inap di
rumah sakit (2).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumothorax diartikan dengan adanya udara yang memenuhi rongga pleura.
Meskipun tekanan intrapleura dalam siklus pernafasan biasa bersifat negatif, udara tidak
dapat masuk menembus ke dalam rongga pleura karena jumlah tekanan parsial rata rata dari
gas dalam kapiler darah hanya 93,9 kPa (706 mmHg). Sedangkan gerakan gas dari kapiler
darah menuju ke rongga pleura membutuhkan tekanan pleura sekitar -54 mmHg yang tidak
mungkin terjadi pada keadaan normal. Namun apabila ditermukan adanya udara di kavum
pleura pasti terjadi salah satu diantara keadaan berikut ini :
1. Adanya saluran atau lesi yang menghubungkan rongga alveolar dengan pleura
2. Adanya hubungan secara langsung dan tidak langsung antara atmosfer dan rongga
pleura.
3. Adanya mikroorganisme dalam kavum pleura yang dapat memproduksi gas (Noppen,
2010).
Ketika adanya penguhubung antara alveolus atau rongga udara intarpulmonar dengan
rongga pleura maka akan terjadi aliran udara dari alveolus menuju rongga pleura hingga tidak
ada perbedaan tekanan antar dua rongga tersebut atau hingga penghubung tersebut ditutup
(Jindal et al., 2008).
2.2Epidemiologi
Insiden pneumothorax sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui,
pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1 (Hisyam dan Budiono, 2009).
Pneumothorax spontan primer (PSP) memiliki insidensi 7.4 18 kasus per 100.000 penduduk
setiap tahun pada laki-laki, dan 1,2 6 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun pada
perempuan (Noppen, 2010). Berbagai macam penyakit atau kelainan pada sistem respirasi
dapat menjadi penyebab pneumothorax spontan sekunder (PSS). Berdasarkan berbagai
macam penyakit yang mendasari tersebut, puncak insidensi dari PSS adalah pasien berusia
60-65 tahun, dengan penyebab yang paling sering adalah penyakit paru obstruktif kronis
(Noppen, 2010; Daley et al., 2015). Selain itu Seaton et al. dalam Hisyam dan Budiono
(2009) melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi pneumothorax
sekitar 1,4% dan jika terjadi kavitas komplikasi pneumothorax meningkat lebih dari 90%.

Pneumothorax traumatik dan pneumothorax tension lebih sering terjadi daripada


pneumothorax spontan. Di Amerika, insidensi semakin meningkat seiring dengan modalitas
pelayanan ICU menjadi yang bergantung pada ventilasi tekanan positif, pemasangan central
venous catheter, dan lain-lain yang berpotensi menginduksi pneumothorax iatrogenik.
Insidensi pneumothorax iatrogenik adalah 5-7 per 10.000 kasus, dengan mengeksklusi pasien
yang melakukan operasi thorax karena pneumothorax kemungkinan merupakan typical
outcome dari operasi tersebut (Daley et al., 2015).
2.3Anatomi
a. Cavum Thorax
Cavum thorax diisi oleh paru-paru dan cavum pleura, di bagian tengah paruparu dan pleura disebut sebagai mediastinum. Daerah-daerah mediastinum antara lain,
mediastinum anterior yang terletak diantara pericardium dan sternum yang berisi
limfonodi, mediastinum media berisi pericardium dan jantung, dan mediastinum
posterior yang terletak diantara pericardium dan collum vertebra, di dalamnya berisi
esofagus, ductus toracicus, trunkus simpatis, dan aorta desenden. Cavum thoraxini
memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama dari trauma fisik.
Cavum thoraxmemiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12 pasang costa beserta
cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis, sternum, dan otot otot rongga
dada. Otot - otot yang menempel di luar cavum thoraxberfungsi untuk membantu
respirasi dan alat gerak untuk extremitas superior (Masyudi et al., 2014).

Gambar 1. Rangka dada dan cavea throacis (Putz et al., 2007)


b. Pleura
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thorax, paru juga
dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embriologi dari
coelom extraembryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi 3 yakni pleura
parietal, pleura visceral dan pleura bagian penghubung. Pleura visceral adalah pleura
yang menempel erat dengan substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal
adalah lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan paru.
Pelura bagian penghubung yakni pleura yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini
merupakan pelura yang menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral (Masyudi
et al., 2014).
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura
diafragmatika, pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura. Pleura
diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma. Pleura
mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke mediastinum thorax, pleura
sternocostalis adalah pleura yang berhadapan dengan costa dan sternum. Sementara

cupula pleura adalah pleura yang melewati apertura thoracis superior. Pada proses
fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan pleura melalui
stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura (Masyudi et al., 2014).
Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang
disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada proses
respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum
pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma
dan dinding dada mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga
sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk melumasi
dinding dalam pleura (Masyudi et al., 2014).

Gambar 2. Rongga Pleura (Putz et al., 2007).


c. Paru
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai
alat respirasi dalam tubuh manusia, parusecara spesifik memiliki peran untuk
terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbondioksida (CO2). Pertukaran ini
terjadi pada alveolusalveolus di paru melalui sistem kapiler.16Paru terdiri atas 3
lobus pada paru sebelah kanan, dan 2 lobus pada parusebelah kiri. Pada paru kanan

lobuslobusnya antara lain yakni lobus superior,lobus medius dan lobus inferior.
Sementara pada paru kiri hanya terdapat lobussuperior dan lobus inferior. Namun
pada paru kiri terdapat satu bagian di lobussuperior paru kiri yang analog dengan
lobus medius paru kanan, yakni disebutsebagai lingula pulmonis. Di antara lobus
lobus paru kanan terdapat dua fissura,yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua,
sementara di antara lobus superiordan lobus inferior paru kiri terdapat fissura oblique
(Masyudi et al., 2014).
Paru sendiri memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk
mengembang dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembang
dan mengempis ini di sebabkan karena adanya surfactan yang dihasilkan oleh sel
alveolar tipe 2. Namun selain itu mengembang dan mengempisnya paru juga sangat
dibantu olehOtot otot dinding thorax dan otot pernafasan lainnya, serta tekanan
negatif yang teradapat di dalam cavum pleura (Masyudi et al., 2014).

Gambar 3. Pulmo (Putz et al., 2007).

2.4Klasifikasi dan etiologi

Berdasarkan etiologinya dibagi menjadi empat yaitu pneumothorax primer, sekunder,


iatrogenic dan traumatic. Pada seseorang yang menderita pneumothorax kadang kadang
dapat diikuti oleh adanya hemothorax akibat adanya perdarahan dari pembuluh darah
subpleura ketika paru paru kolaps (currie et al., 2007).
a. Pneumothorax spontaneous primer
Pneumothorax spontaeuous primer (PSP) banyak terjadi pada pria usia muda,
memiliki tinggi badan relative tinggi, kurus dan tidak memiliki riwayat penyakit paru
dan trauma thorax sebelumnya (Currie et al., 2007). Sebagian ahli berpendapat bahwa
PSP merupakan hasil dari adanya rupture dari bula yang terdapat pada lapisan
subpleura. Namun, hanya beberapa pasien yang menderita PSP ditemukan adanya
bula atau bleb pada pemeriksaan pencitraan atau pada saat dilakukan operasi.
Mekanisme lain yang menyebabkan terjadinya PSP adalah adanya peningkatan
porositas pleural akibat adanya inflamasi. Adanya perkembangan bulla, bleb ataupun
porositas pleural dapat disebabkan oleh berbagai factor seperti inflamasi pada saluran
nafas bawah, adanya anomali pada cabang bronkus, kelainan pada formasi jaringan
pengikat , iskemia local dan adanya malnutrisi (Luh., 2010).
PSP biasanya dapat terjadi pada saat istirahat, ditandai dengan adanya onset
akut dari nyeri dada pleuritis local dan diikuti oleh sesak nafas. Nyeri dada yang
dirasakan seperti ditusuk-tusuk mulai dari ringan hingga berat. Hal tersebut dirasakan
terus menerus dan biasanya menghilang setelah 24 jam meskipun kelainan struktur
pneumothorax masih ada (Luh, 2010).
b. Pneumothorax sekunder
Pneumothorax sekunder terjadi akibat sudah adanya kelainan pada paru
sebelumnya. Kondisi yang paling banyak menyebabkan pneumothorax sekunder
adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Berikut adalah beberapa kondisi
kelainan pada paru yang dapat menyebabkan terjadinya pneumothorax sekunder
(Currie et al., 2007).

Penyakitparuobstruktif
Penyakitparuobstruktifkronis
Asma
Penyakitparusupuratif
Bronkiektasis
Kistik fibrosis

Penyakit malignancy
Kankerparu
Penyakitparuintertisial
Fibrosis paru
Ekstrinsik allergic alveolitis
Sarkoidosis
Limfangileiomiomatosis
Histiositosis X
Infeksi
Pneumonia
Tuberkulosis
Lain lain
Respiratory distress syndrome
Sindrommarfan
Sindromehlordanlos
Catamenial
Arthritis rheumatoid
Tabel 1. Kondisi yang dapat menyebabkan pneumothorax sekunder
c. Pneumothorax iatrogenic
Pneumothorax iatrogenic adalah pneumothorax yang terjadi akibat komplikasi
dari tindakan medis. Pneumothorax iatrogenic banyak disebabkan oleh pemasangan
kanulasi vena sentral ( terutama vena subsclavia dan vena jugularis interna, biopsy
pleural, biopsy transbronkial, fine needle aspiration biopsy dan dapat pula disebabkan
oleh jarum akupuntur. Pasien yang memerlukan pemberian obat melalui vena sentral
memiliki risiko tinggi untuk mengalami pneumothorax. Pasien intubasi dengan
ventilasi mekanik dapat berkembang menjadi pneumothorax akibat tingginya tekanan
udara inspirasi yang diberikan sehingga menyebabkan barotrauma pada paru paru
(Currie et al., 2007).
d. Pneumothorax traumatic
Pneumothorax traumatic disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai thorax.
Trauma tersebut meliputi trauma tajam yang penetrasi pada rongga dada atau fraktur
costa yang merobek pleura visceralis(Currie et al., 2007). Pneumothorax traumatic
diperkirakan 40 % dari semua kasus pneumothorax. Pneumthorax trauma tidak harus
disertai dengan fraktur iga atau luka penetrasi. Trauma tumpul atau kontusio pada
dinding dada juga dapat menimbulkan pneumothorax (Sudoyo et al., 2010).
Berdasarkan jenis fistulanya pneumothorax dibagi menjadi tiga yaitu pneumothorax
tertutup, terbuka dan tension pneumothorax.
a. Pneumothorax tertutup

Pneumothorax tertutup yaitu suatu pneumothorax dengan tekanan udara di rongga


pleura yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tekanan pleura pada sisi hemithorax
kontralateral tetapi tekanannya masih lebih rendah dari tekanan atmosfir Pada
jenis ini tidak didapatkan defek atau luka terbuka dari dinding dada
b. Pneumothorax terbuka
Pneumothorax terbuka terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga
pada saat inspirasi udara dapat keluar melalui lubang tersebut. Pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal tetapi pada saat ekspirasi mediastinum
bergeser kearah dinding dada yang terluka.
c. Tension pneumothorax
Terjadi karena mekanisme check-valve yaitu pada saat inspirasi udara masuk ke
dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari rongga pleura tidak
dapat keluar. Semakin lama tekanan di dalam rongga pleura akan meningkat
melebihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat
menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal nafas. Pneumothorax ini sering
disebut pula pneumothorax ventil (Sudoyo et al., 2010).

2.5Patofisiologi

Gambar 4. Mekanisme terjadinya pneumothorax


Tekanan dalam rongga pleura selalu negatif selama proses respirasi berlangsung.
Tekanan negatif tersebut disebabkan karena pengembangan dada. Jaringan paru mempunyai
kecenderungan untuk menjadi kolaps karena sifat yang elastik (elastic recoil). Bila ada
kebocoran antara alveoli dengan rongga pleura, udara akan berpindah ke rongga pleura
sampai tekanan kedua ruang tersebut sama atau sampai kebocoran tertutup sehingga paru
akan menguncup karena sifat paru yang elastik. Hal yang sama akan terjadi bila terjadi
hubungan antara dinding dada dengan rongga pleura. Meskipun mekanisme terjadinya
pneumothorax belum jelas, percobaan menunjukkan distensi berlebih paru normal akan
menyebabkan rupture alveoli subpleural. Udara akan merembes sepanjang lapisan
bronkoalveolar ke arah mediastinum sehingga akan terjadi emfisema subkutan atau
pneumothorax (Currie et al., 2007).
Pada pneumothorax spontan terjadi akibat robeknya suatu kantong udara dekat pleura
visceralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumothorax spontan
yang parunya di reseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk bleb
atau bulla. Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotic yang

menebal, sebagian dari jaringan fibrosa paru sendiri, dan sebagian lagi oleh jaringan paru
emfisematous. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang pecah melalui jaringan intertisial ke
dalam lapisan fibrosa tipis pleura visceralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista.
Mekanisme terjadinya bula atau bleb masih belum jelas, banyak pendapat menyatakan
terjadinya kerusakan bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau peningkatan
distensi pada alveoli akibat tekanan pleura yang lebih negative. Selain itu salah satunya salah
satu mekanisme pembentukan bula atau bleb adalah degradasi benang elastin pada paru yang
diinduksi oleh asap rokok diikuti sebukan neutrofil dan makrofag menyebabkan timbulnya
bleb tersebut. Degradasi ini menyebabkan ketidakseimbangan antara protease dan
antiprotease dan sistem oksidan dalam paru. Inflamasi dalam paru akan menginduksi
obstruksi saluran napas, tekanan intraalveolar akan meningkat sehingga terjadi kebocoran
udara menuju ruang interstisial paru dan ke hilus menyebabkan pneumomediastinum.
Tekanan mediastinum akan meningkat dan pleura mediastinum akan rupture sehingga timbul
pneumothorax. Apabila dilihat secara patologis dan radiologis pada pneumothorax spontan
sering ditemukan adanya bula di apeks paru. Kelainan intriksik jaringan konektif seperti
sindroma marfan, prolapse katub mitral, kelainan bentuk tubuh mempunyai kecendrungan
terbentuknya bleb atau bulla. Belum ada hubungan yang jelas antara aktivitas yang
berlebihan dengan pecahnya bula atau bleb karena pada keadaan istirahat juga dapat terjadi
pneumothorax. Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran
nafas kecil sehingga menimbulkan distensi ruang udara di bagian distalnya. Obstruksi jalan
nafas bias diakibatkan oleh penumpukan mucus dalam bronkioli baik oleh karena infeksi
ataupun bukan infeksi (Sudoyo et al., 2010).
Pada pneumothorax sekunder terjadi karena pecahnya bleb visceralis atau bula
subpleura dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Patogenesis
PSS multifactorial. Umumnya terjadi akibat komplikasi penyakit PPOK, asma, kistik fibrosis,
tuberculosis paru den penyakit paru infiltrative lainnya. Pneumothorax sekunder umumnya
lebih serius keadaannya dibandingkan PSP karena pada Pneumothorax sekunder terdapat
penyakit paru yang mendasarinya. Arthritis rheumatoid juga dapat menyebabkan
pneumothorax akibat dari terbentuknya nodul rheumatoid pada paru (Sudoyo et al., 2010).
Perubahan fisiologis akibat pneumothorax adalah penurunan kapasitas vital dan PaO2
dehingga terjadi hipoventilasi dan asidosis respiratorik. Yang paling berbahaya adalah
pneumothorax ventil. Pada keadaan ini tekanan di rongga pleura akan meningkat terus hingga
paru akan menguncup total selanjutnya mediastinum akan terdorong ke sisi lawannya.
Pendorongan mediastinum inilah yang dapat menyebabkan gangguan aliran darah karena

tertekuknya pembuluh darah. Bila gangguannya hebat dapat terjadi syok sampai
kematian(Currie et al., 2007).
2.6 Manifestasi Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah:
1
2
3
4

Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien


Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien
Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien
Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan biasanya pada
PSP.

Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi, bisa mulai dari
asimptomatik atau menimbulkan gangguan ringan sampai berat (Knipe dan Gorrochategui,
2015). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas melemah sampai menghilang,
fremitus

melemah

sampai

menghilang,

resonansi

perkusi

dapat

normal

atau

meningkat/hipersonor. Pneumothorax ukuran kecil biasanya hanya menimbulkan takikardia


ringan dan gejala yang tidak khas. Pada pneumothorax ukuran besar biasanya didapatkan
suara napas yang melemah bahkan sampai menghilang pada auskultasi, fremitus raba
menurun dan perkusi hipersonor. Pneumothorax tension dicurigai apabila didapatkan adanya
takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum dan trakea ke kontralateral (Daley et
al., 2015, Hisyam dan Budiono, 2009). Pada pneumothorax spontan dan iatrogenik, tandatandanya sangat bergantung pada penyakit paru yang mendasari dan luas dari pneumothorax.
Takikardia merupakan tanda yang paling umum dijumpai, sedangkan takipnea dan hipoksia
mungkin dapat ditemukan (Daley et al., 2015).

2.7 Pencitraan
a Foto Polos

Gambar 5. Tampilan foto polos pasien pneumothorax

Bayanganudaradalamrongga

pleura

memberikanbayanganradiolusen

yang

tanpastrukturjaringanparu (avascular pattern) denganbatasparuberupagarisradioopak tipis


yang

berasaldari

pleura

visceral.Bilapenumothoraxnyatidakbegitubesar,

fotodenganpernafasandalam (inspirasipenuh) pun tidakakanmenunjukkankelainan yang


jelas.

Dalamhalinidianjurkanmembuatfoto

denganinspirasidanekspirasipenuh.Selamaekspirasimaksimaludaradalamrongga
lebihdidorongkeapeks,

sehinggaronggaintrapleura

dada
pleura
di

apeksjadilebihbesar.Selainituterdapatperbedaandensitasantarajaringanparudanudaraintrapl
eurasehinggamemudahkandalammelihatpneumothorax,
yakniterdapatnyakenaikandensitasjaringanparuselamaekspirasitapitidakmenaikkandensita
spneumothorax (Putra danLaksminingsih, 2013).

Gambar 6. Gambaran Pneumothorax pada Posisi Supine dan Erect

Foto

lateral

decubitus

padasisi

yang

sehatdapatmembantudalammembedakanpneumothoraxdengankistaatau

bulla.

Padapneumothoraxudarabebasdalamrongga

pleura

lebihcenderungberkumpulpadabagianatassisi lateral (Putra danLaksminingsih, 2013).

Gambar7Pneumothoraxpadaposisi supine (panahmerah= posisiudara di tengah)

Gambar8, 9.PneumothoraxTertutuppadaProyeksi PA (panahmerah= white


PleuralLinedenganUdaraAtmosfer di luarnya

Jikapneumothoraxluas,
akanmenekanjaringanparukearahhilusatauparumenjadikuncup/kolaps
daerahhilusdanmendorong

mediastinum

di
kearahkontralateral.

Selainituselaigamenjadilebihlebar.Udaradalamruang
jadilebihradiolusendibandingkanparu-paru
bersebelahandenganpneumothoraxtersebut,
dimampatkan,

atauterkenapenyakit

pleura
yang

terutamajikaparu-paruberkurangvolumenya,

yang

meningkatkankepadatanparu

(Putra

danLaksminingsih, 2013).

Gambar 10.Tension Pneumothorax Kanan denganPergeseran Mediastinumke Kiri


b Computed Tomography (CT) Scan

Gambar 11. Tampilan hasil CT Scan Pasien Pneumothorax


CT scan Thorax adalah "gold standart" untuk deteksi dini dari pneumotoraks pada
pasien trauma. Hasil diagnosa mungkin tidak dapat terlihat dalam foto polos. Oleh karena
itu, CT scan dapat digunakan jika informasi mengenai adanya pneumothorax adalah hal
yang sangat penting, karena pneumothorax relatif lebih mudah dideteksi pada CT sesuai
potongan aksis (Putra dan Laksminingsih, 2013).
Ruang pleura yang paling kecil yaitu cekungan anteromedial dan subpulmonik
terlihat pada pasien dengan posisi antero-posterior. Penumpukan udara terdapat pada
kedua ruang diawali dengan peluasan lebih jauh ke arah lateral dan apikal karena
peningkatan volume udara atau posisi pasien menjadi lebih tegak. Udara bebas berjalan
menuju regio tertinggi dari thorax yaitu regio cardiophrenic. Volume yang lebih besar dari
udara bebas selanjutnya muncul pada regio subpulmonal dan ke regio anteromedial. Hal
ini tidak terlihatpada x-ray thoraxposisi antero-posterior konvensional, sehingga indikasi
sebagai standar baku untuk menyingkirkan pneumothorax adalah CT scan thorax.

Gambar 12. Tampilan hasil CT Scan Pasien Pneumothorax

Pneumothorax yang terlihat pada gambaran CT scan thorax diklasifikasikan


menurut Wolfman et al. sebagai pneumotoraks minimal, anterior, dan anterolateral.
Pneumothorax minimal didefinisikan sebagai pengumpulan udara tipis sampai ketebalan
1 cm pada irisan terbesar dan tidak terlihat lagi pada empat gambar yang berdekatan.
Pneumothorax anterior dikategorikan sebagai pengumpulan udara pleura lebih dari 1 cm,
berlokasi di anterior, tidak meluas sampai garis mid-koronal, yang mungkin masih terlihat
pada empat atau lebih gambar yang berdekatan. Pneumothorax anterolateral didefinisikan
sebagai udara pleura yang meluas paling tidak sampai ke garis mid-koronal (Putra dan
Laksminingsih, 2013).

Ultrasonografi

Gambar 13. Tampilan USG Pasien Pneumothorax


Ada

atautidak

adanyaparu-paru

grafismenggunakanM-mode

Doppler.

yang

bergeser

Sebuah

dapatdigambarkansecara

gambaryang

normalakan

tergambar"gelombang di pantai". Dinding dadaanteriorstasionermenunjukkanpolalinear,


sedangkan posteriorke garispleuramenunjukkangerakparu-parudengan polagranulartidak
teratur. Padapneumotoraks, M-mode DopplerUSGhanya akan menampilkanpengulangan
garis horizontal, menunjukkan kurangnya pergerakan paruyang dikenal sebagai"barcode"
atau"stratosphere sign" (Seif et al., 2012).
2.8Diagnosis Banding Klinis
Pneumothorax dapat memberikan gejala seperti infark miokard, emboli paru, dan
pneumonia. Nyeri dada pada infark miokard biasanya khas seperti nyeri tertekan, terbakar,
atau nyeri tajam. Nyeri tersebut merupakan nyeri retrosternal dan menjalar ke leher, pundak,
lengan atas, atau rahang, dan dicetuskan oleh suatu stres, baik stres fisik maupun emosional.
Takipnea dapat timbul karena ada kongesti paru. Batuk dengan dahak yang berbuih bisa
terjadi (Zafari et al., 2015)
Emboli paru biasanya timbul dari trombus yang berasal dari sistem vena ekstremitas
bawah, tapi dapat juga berasal dari pelvis, ekstremitas atas, atau ruang jantung kanan (jarang
terjadi). Setelah melalui paru, trombus tersebut dapat menyumbat bifurcatio arteri pulmonal
atau cabang lobularnya yang menyebabkan hemodynamic compromise. Selain itu nyeri dada
pleuritik dan hipoksia juga dapat ditemukan. Beberapa faktor risiko yang dapat menjadi
penyebab emboli paru antara lain statis vena, keadaan hiperkoagulasi, imobilisasi, trauma,
kehamilan, dll (Ouellette et al., 2015).

Pada pneumonia, pasien juga akan merasa sesak napas. Hipotensi dapat ditemukan
pada pneumonia yang parah. Batuknya biasanya mempunyai dahak yang purulen. Dari hasil
pemeriksaan fisik, pada pneumonia dapat ditemukan fremitus tektil yang menurun, tetapi
suara perkusi akan redup (Cunha et al., 2014)
Pada pasien tinggi, muda, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada
pneumothorax, umumnya diagnosis kita menjurus ke PSP. PSS kadang sulit dibedakan
dengan pneumothorax yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura (Hisyam dan
Budiono, 2009).
Beberapa penyakit dibawah ini menunjukkan gambaran yang menyerupai
pneumothorax, diantaranya:
a. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum adalah terkumpulnya udara extraluminal di dalam mediastinum yang
dapat berasal dari paru-paru, trakea, bronkus, esofagus, atau saluran dari mediastinum ke
leher atau abdomen (Weerakkody and Gorrochategui, 2015)
Gambaran Radiologis Pneumomediastinum

Foto Thorax PA
o Area streaky radiolusen di mediastinum (paling sering ditemukan pada area
paracardiac kiri)
o Air outlining mediastinal structure
o Continous diaphragma sign of Levin

Gambar 14. Tampilan Steaky Lucencies (panah atas)

Gambar 15.Continous diaphragma sign of Levin


Panah biru menunjuk pada continous diaphragma sign . Keseluruhan
diafragma tervisualisasi karena udara di mediastinum membentuk suatu garis
di bagian tengah, yang biasanya ditutupi oleh jantung dan struktur soft tissue
mediastinum yang kontak dengan diafragma. Panah merah menunjukkan
udara di bagian posterior bawah jantung.

Foto Thorax lateral


o Gambaran udara retrosternal

Gambar 16. Foto Lateral dengan Tampilan Udara Retrosternal


o Ring around the artery sign (tubular artery), merupakan area radiolusen di
sekeliling arteri pulmonar kanan yang terlihat pada proyeksi lateral

Gambar 17. Tampilan Tubular Artery Sign

Foto Thorax LLD


o Udara tidak akan berpindah dengan perubahan posisi

Neck Films
o Air outlining fascial planes of the neck

Gambar 18. Tampilan Foto Cervical menunjukkan Streak Lucencies dan


Abberant Air
Pada bayi, ada gambaran khas pneumomediastinum, yaitu haystack sign dan Thymic sail
sign. Haystack sign merupakan gambaran udara yang mengelilingi bagian superior dan
inferior jantung yang membuat gambaran jantung terlihat seperti Haystack.

Gambar 19, 20. Tampilan khas pada Bayi dengan Pneumomediastinum


Sedangkan thymic spinnaker-sail sign merupakan gambaran timus yang terdorong udara ke
atas (Carolan, 2015)

Pneumothorax dan Pneumomediastinum


Pneumothorax dapat dibedakan dengan pneumomediastinum bila dilihat dengan foto
posisi lateral decubitus. Pada pneumothorax, posisi lateral decubitus membuat udara akan
berpindah ke bagian atas, sedangkan pada pneumomediastinum, udara akan tetap berada di
posisinya dan tidak berpindah. Selain itu, terdapat gambaran garis yang jelas (clear
delineation) pada struktur intramediastinal (Arteri pulmonar, aorta, esofagus, dan airway)
pada pneumomediastinum yang tidak ditemukan pada pneumothorax (McDonald dan
Lieberman, 2002; Bevjan dan Godwin, 1996).
b. Pneumatocele
Pneumatocele merupakan ruang kistik yang berisi udara dan terdapat pada jaringan
intrapulmonal dan memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi. Kerika matur pneumocele
akan berupa rongga kistik dengan dinding tipis berisi udara dalam parenkim paru. Gambaran
pneumatocele secara radiologis adalah sebagai berikut :
1. Batas bagian dalam kista halus
2. Apabila terdapat cairan pada kista tersebut maka volume cairannya sedikit.
3. Apabila dinding pneumocele terlihat maka dindingnya tipis dan tepinya reguler

Gambar 21. Panah putih menandakan adanya multiple pneumatocele

Gambar 22. Kista pneumatocele pada aspek medial lobus posterior sinistra

Gambar 23. Kista pneumatocele yang berisi air

Gambar 24. Foto lateral kista pneumatocele

c. Vanishing Lung Syndrome (Idiopathic Giant Bullous Emphysema)


Vanishing lung syndrome merupakan kelainan yang jarang didapatkan. Karakteristik
sindrom ini adalah adanya bulla yang berukuran sangat besar (dapat mencapai 3 lobus paru).
Bula adalah suatu rongga udara yang dilapisi oleh dinding tipis (<1mm) pada paru, yang
dapat menyebabkan destruksi jaringan alveolar. Dinding tipis yang dimaksud dapat dibentuk
oleh pleura, septum, atau jaringan paru yang terkompresi. Pasien ini dapat asimptomatik
ataupun dapat ditemukan hipoksia (dispnea ataupun nyeri dada) (Knipe et al., 2013).

Pemeriksaan Radiologi

Foto Thorax
Panah (1)

Panah (2)

Gambar 25, 26. Tampilan pada Pasien dengan Vanishing Lung Syndrome

(1) Pada gambaran foto thorax ini didapatkan giant bulla telah menempati
keseluruhan hemithorax kiri (dinding bulla ditunjukkan oleh panah putih)
(2) Didapatkan gambaran bulla berbentuk bulat (ditunjuk oleh panah kuning)
Pada pemeriksaan radiologi, bula biasanya ditemukan pada 1 sisi paru (asimetris) dan
melibatkan lobus superior. Yang membedakan giant bulla dengan pneumothorax ialah
tidak didapatkan visceral white line.

CT Scan
Panah (1)

Panah (2)

Gambar 27, 28 Tampilan CT Scan Pasien dengan Vanishing Lung Syndrome

CT scan merupakan pemeriksaan paling akurat untuk membedakan antara


giant bulla dan pneumothorax (Waseem et l.,2005). Pada CT scan dengan resolusi
tinggi, dapat ditemukan diameter bulla yang mencapai 1-20cm, namun paling banyak
bulla yang ditemukan berukuran 2-8 cm (Stern et al., 2015).
Pada CT scan gambar (1) didapatkan bulla yang berukuran besar telah
mengkompresi lobus media dan posterior, sedangkan pada gambar (2) terlihat adanya
bulla yang mengkompresi lobus superior.
2.8 Penanganan Pneumothorax
Tindakan pengobatan pneumothorax tergantung dari luasnya pneumothorax.
Pneumothorax mula-mula diatasi dengan pengamatan konservatif bila kolaps paru 20%
atau kurang. Udara sedikit demi sedikit diabsorbsi melalui permukaan pleura yang
bertindak sebagai membran basah, yang memungkinkan difusi O 2 dan CO2 (Price dan

Wilson, 2006). Tujuan dari penatalaksanaan pneumothorax adalah untuk mengeluarkan


udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi.
Penentuan untuk observasi atau penanganan segera pada pasien pneumothorax
didasarkan pada kondisi klinis pasien. Pada pasien asimptomatik, keputusan penanganan
dilakukan dengan memperkirakan risiko lebih lanjut. Pada pasien simptomatik namun
secara klinis stabil, dapat diberikan aspirasi simpel sebagai penanganan awal. Apabila
secara klinis, pasien tidak stabil, maka segera dilakukan evakuasi udara serta diobservasi.
Apabila pasien dalam kondisi yang mengancam nyawa, maka harus segera dilakukan tube
thoracostomy(Daley et al., 2015).
British Thoracic Society dan American College of Chest Physicians telah memberikan
rekomendasi untuk penanganan pneumothorax. Prinsip penanganan pneumothorax adalah:
a. Observasi dan pemberian tambahan oksigen
Observasi simpel diberikan ppada pasien asimptomatik dengan pneumothorax minimal (<
15-20%), udara dapat tereabsorbsi secara spontan 1,25% dari ukuran pneumothorax setiap
harinya. Pemberian oksigen 3L/menit secara nasal kanul digunakan untuk mengatasi
hipoksemia pada pasien
b. Aspirasi sederhana dengan jarum dan pemasangan tube torakostomi dengan atau tanpa
pleurodesis
Tindakan ini dilakukan seawal mungkin pada pasien pneumothorax yang luasnya >15%.
Tindakan ini bertujuan mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi). Tindakan
-

dekompresi dapat dilakukan dengan cara :


Menusukkan jarum melalui dinding dada sampai masuk rongga pleura sehingga tekanan

udara positif akan keluar melalui jarum tersebut (aspirasi).


Membuat hubungan dengan udara luar melalui saluran kontra ventil (tube torakostomi)

c. Torakoskopi dengan pleurodesis dan penanganan terhadap adanya bleb atau bulla
Torakoskopi adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan
alat

bantu

torakoskop.

Torakoskopi

yang

dipandu

dengan

video

(Video

AssistedThoracoscopy Surgery=VATS) memberikan kenyamanan dan keamanan baik bagi


operator maupun pasiennya karena akan diperoleh lapang pandang yang lebih luas dan
gambar yang lebih bagus. Tindakan ini dilakukan apabila :
-

Tindakan aspirasi maupun WSD gagal


Paru tidak mengembang setelah 3 hari pemasangan tube torakostomi
Terjadinya fistula brnkopleura

Timbulnya kembali pneumothorax setelah tindakan pleurodesis


Pada pasien yang berkaitan dengan pekerjaannya agar tidak mudah kambuh kembali

d. Torakotomi
Tindakan pembelahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini
dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek paru,
maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut
2.9 Prognosis
Pasien dengan pneumothorax spontan hampir seluruhnya akan mengalami
kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube thoracostomy.
Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumothorax yang dilakukan torakotomi
terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik, umumnya tidak dijumpai
komplikasi.
BAB III
KESIMPULAN

1. Pneumothorax adalah suatu keadaan adanya udara atau gas dalam cavum pleura,
dimana merupakan suatu ruang potensial antara pleura visceral dan parietal, yang
dapat menyebabkan suatu gangguan oksigenasi dan/atau ventilasi yang dapat
mengancam jiwa. Berdasarkan etiologinya dibagi menjadi empat yaitu pneumothorax
primer, sekunder, iatrogenic dan traumatik.
2. Pemeriksaan radiologis merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis dari
pneumothorax.
3. Penting untuk para klinisi untuk dapat membedakan gambaran radiologi antara
pneumothorax dengan diagnosis banding lainnya.
4. Prinsip utama penanganan pneumothorax adalah dengan membebaskan udara dari
cavum pleura sehingga dapat mengembalikan kestabilan hemodinamik pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hameed

FM

(2013).

Pneumothorax

Imaging.

http://emedicine.medscape.com/article/360796-overview -(Diakses 5 Mei 2016).


Bevjan SM dan Godwin JD (1996). Pneumomediastinum: Old Signs and New Signs. AJR,
166: 1041-1048.
Carolan PL (2015). Pneumomediastinum. http://emedicine.medscape.com/article/1003409workup#a0720 Diakses pada 5 Mei 2016.
Cunha BA, Lopez FA, Talavera F, Sanders CV (2014). Community-Acquired Pneumonia.
http://emedicine.medscape.com/article/234240-overview#aw2aab6b9 Diakses pada 5 Mei
2016.
Currie GP, Alluri R, Christie GL, Legge JS (2007). Pneumothorax : an update. Postgrad Med
J.83(981): 461465.
Daley BJ, Bhimji S, Bascom R, Benninghiff MG, Alam S (2015). Pneumothorax.
http://emedicine.medscape.com/article/424547-overview - Diakses pada 8 Juni 2015.
Elliot

(2013).

Tension

pneumothorax

pathogenesis

and

clinical

finding.

http://calgaryguide.ucalgary.ca/slide.aspx?slide=Tension%20Pneumothorax.jpg (diakses pada


5 Mei 2016).

Hisyam B, Budiono E (2009). Pneumothorax Spontan. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing.
Jindal P, Sharma A (2008). Principles of diagnosis and management of traumatic
pneumothorax. J. Emerg Trauma Shock. 1(1) : 34-41.
Knipe

H,

Muzio

DB

(2013).

Idiopathic

Giant

Bullous

Emphysema.

Radiopaedia.org/articles/idiopathic-giant-bullous-emphysema (diakses pada 5 Mei 2016)


Knipe

H,

Gorrochategui

(2015).

Pneumothorax.

http://radiopaedia.org/articles/pneumothorax - Diakses pada 8 Juni 2015.


Luh SP (2010). Diagnosis and treatment of primary spontaneous pneumothorax. J Zhejiang
Univ Sci B. 11(10): 735744.
Masyudi ANF (2014). Hubungan jumlah volume drainase water sealed drainage dengan
kejadian udema pulmonum reekspansi pada pasien efusi pleura massif. Repository
Universitas Diponegoro.
McDonald AC dan Lieberman G (2002). Pneumomediastinum: a patient presentation.
eradiology.bidmc.harvard.edu/LearningLab/respiratory/McDonald.pdf Diakses pada 5 Mei
2016.
Noppen M (2010). Spontaneous pneumothorax: epidemiology, pathophysiology and cause.
European Respiratory Review, 19(117): 217-219.
Ouellette

DR,

Harrington

A,

Kamangar

(2015).

Pulmonary

Embolism.

http://emedicine.medscape.com/article/300901-clinical - Diakses pada 5 Mei 2016.


Price SA, Wilson LM (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Jakarta: EGC, hal: 800-801.
Putra PAS, Laksminingsih NS (2012). Gambaran radiologis pada occult pneumothorax.
Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Putz R, Pabst R (2007). Atlas Anatomi Sobotta. Jilid 2 Edisi 22. Jakarta : EGC.
Richard
G
(2014).
Pneumatocele.
http://rad.usuhs.edu/medpix/cow_image.php?
mode=case_viewer&case_prog=cow_image.php&imid=12533&pt_id=5311&quiz=&th=&ta
ble=card&showall=#pic (diakses pada 5 Mei 2016)

Seif D, Perera P, Mailhot T, Riley D, Mandavia D (2012). Bedside ultrasound in resuscitation


and the rapid ultrasound in shock protocol. Pubmed.
Stern EJ, Webb WR, Weinacker A dan Muller NL (2015).

Vanishing lung syndrome.

Learningradiology.com/archive06/COW%20222-Vanishing
%20lung/vanishinglungccorrect.html#link705995CO (diakses pada 5 Mei 2016)
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.Jilid 2 Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
Hal: 1063-1067.
Waseem M, Jones J, Brutus S, et al (2005). Giant Bulla mimicking pneumothorax. J Emerg
Med; 29: 155-158.
Weerakkody

dan

Gorrochategui

(2015).

Pneumomediastinum.

http://radiopaedia.org/articles/pneumomediastinum - Diakses pada 5 Mei 2016.


Zafari AM, Reddy SV, Jeroudi AM, Garas SM (2015). Myocardial Infarction.
http://emedicine.medscape.com/article/155919-overview - Diakses pada 5 Mei 2016.

Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian


A. Pneumotoraks spontan
1. Pneumotoraks Spontan Primer
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-paru yang
sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka kejadian
pneumotoraks spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan
1,2-6 per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and Gray, 2007). Umumnya,
kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi, kurus, dan berusia antara 18-40
tahun. Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah ruptur bleb
subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara yang terdapat
di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan
radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai PSP mempunyai
penyakit paru-paru subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan
kebiasaan merokok meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini (Heffner and
Huggins, 2004).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP adalah
terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan
porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa perubahan
emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko
terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura meningkat dari dasar ke apeks
paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru orang bertubuh tinggi rentan terhadap
meningkatnya tekanan yang dapat mendahului proses pembentukan kista subpleura
(Mackenzie and Gray, 2007).
PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak
adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins, 2004). Pada
sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan dalam
24-48 jam. Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga pleura sekitar 1,25-1,8%
dari volume hemitoraks per hari, dan suplementasi oksigen sebesar 10 lpm akan
meningkatkan kecepatan absorpsi sampai dengan empat kali lipat (Mackenzie and
Gray, 2007). Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan pada pasien PSP antara
lain observasi, drainase interkostal dengan atau tanpa pleurodesis, dan video-assisted
thoracoscopic surgery (VATS) (Heffner and Huggins, 2004).
Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society (BTS)
dan American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan untuk besarkecilnya pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik dan PSP

simtomatik yang stabil di antara keduanya(Mackenzie and Gray, 2007). Berikut


adalah ringkasan gabungan panduan terapi menurut BTS dan ACCP (Mackenzie and
Gray, 2007).
a. Clinically stable small pneumotoraks
Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan pneumotoraks
kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala minimal adalah dengan
melakukan observasi dan di-KRS-kan. Panduan ACCP menyarankan
dilakukannya observasi sekitar 3-6 jam, foto rontgen paru-paru, diKRSkan
dengan instruksi lengkap, dan pasien diminta untuk kontrol dalam dua hari
berikutnya.
b. Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks
Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi. BTS
merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama pada PSP
luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks kecil simtomatis. CXR dilakukan
setelah aspirasi untuk menentukan apakah terdapat perbaikan. Apabila tidak
ada perbaikan atau pasien masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal kurang
dari 2,5 liter aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila aspirasi pertama sudah
lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan tidak berhasil maka pemasangan drain
interkostal harus dilakukan.
c. Clinically unstable patients with a large pneumotoraks
Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan
pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus dapat
mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR dilakukan setiap
24 jam.
d. Surgical intervention
Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat kebocoran udara
persisten atau paru-paru gagal melakukan re-ekspansi setelah 3-5 hari.Indikasi
dilakukannya operasi meliputi terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua,
pneumotoraks kontralateral yang pertama, dan adanya reiko pekerjaan seperti
penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya menjalani
tindakan operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan
seperti VATS, pleural abrasion, surgical talc pleurodesis, pleurectomy, dan
open thoracostomy (Mackenzie and Gray, 2007).
Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak mempengaruhi
efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi antara ukuran drain
dan tingkat komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien dirawat. Namun kateter

dengan diameter kecil tidak dapat digunakan apabila terdapat cairan pleura (karena
dapat menyumbat) dan adanya kebocoran udara (menyebabkan reekspansi yang
tidak adekuat). Suction hanya dapat dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan
drain untuk mengurangi resiko terjadinya edema re-ekspansi paru-paru dan harus
dikonsulkan kepada dokter ahli paru-paru. BTS merekomendasikan sistem suction
dengan volume besar dan tekanan rendah (-10 to -20 cm H2O). Drain sebaiknya
tidak diklem kecuali diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV. Pengekleman
drain dapat berbahaya dan tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan angka
keberhasilan atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah apabila
terdapat kebocoran udara terus menerus karena berpotensi menyebabkan tension
pneumotoraks.
2. Pneumotoraks Spontan Sekunder
PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru
yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD, fibrosis kistik,
tuberkulosis, pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat terjadi ada
penyakit intersisiel paru seperti sarcoidosis, lymphangioleiomyomatosis, langerhans
cell histiocytosis and tuberous sclerosis. Secara umum udara pada PSS memasuki
rongga pleura melalui alveoli yang melebar atau rusak. Perburukan klinis dan
sequelae biasanya terjadi akibat adanya kondisi komorbid.
Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat. Apabila
pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang progresif muncul dan
biasanya bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan penanda signifikan
untuk mortalitas pasien COPD. Setiap kejadian pneumotoraks meningkatkan resiko
kematian sampai dengan empat kali lipat. Sekitar 40-50% pasien akan mengalami
PSS yang kedua apabila pleurodesis tidak dilakukan (Heffner and Huggins, 2004).
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube untuk
setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna mencegaj
rekurensi. Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi dengan syringe
dan kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit paru yang mendasari
ringan. Sebagian besar pasien membutuhkan drainase melalui chest tube. Pelepasan
chest tube dilakukan setelah terjadi re-ekspansi paru dan resolusi kebocoran udara.
Pleurodesis merupakan terapi pilihan terakhir dan dilakukan pada pasien dengan
kebocoran udara yang tidak teratasi dan mengalami pneumotoraks rekuren
(Mackenzie and Gray, 2007).

Patofisiologi Pneumotoraks
Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik, iatrogenik.
Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ paru dan pneumotoraks
iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi diagnostic ataupun terapeutik.
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang
mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural ditemukan
pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan tindakan video-assisted
thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumotoraks spontan primer sering
dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari pembentukan bula subpleural,
namun pada sebuah penelitian dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa
89% kasus dengan bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah
bukan perokok.
Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah teori
menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh rokok yang
kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini menyebabkan
ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-antioksidan serta menginduksi
terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan
alveolar sehingga terjadi kebocoran udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan
menyebabkan pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura
parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.
Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh udara
akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya keseimbangan
tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil
dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya
sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.
Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa

faktor genetik berperan dalam

patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks spontan

primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti: sindrom marfan, homosisteinuria,
serta sindrom Birt-Hogg-Dube.
Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang sudah
ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan alveolar yang
melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah ke interstitial menuju
hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah melalui
pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks.
Beberapa penyebab terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah:

Penyakit saluran napas


o PPOK
o Kistik fibrosis
o Asma bronchial

Penyakit infeksi paru


o Pneumocystic carinii pneumonia
o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram negatif atau
staphylokokus)

Penyakit paru interstitial


o Sarkoidosis
o Fibrosis paru idiopatik
o Granulomatosis sel langerhans
o Limfangioleimiomatous
o Sklerosis tuberus

Penyakit jaringan penyambung


o Artritis rheumatoid
o Spondilitis ankilosing
o Polimiositis dan dermatomiosis
o Sleroderma
o Sindrom Marfan
o Sindrom Ethers-Danlos

Kanker
o Sarkoma

o Kanker paru

Endometriosis toraksis

Diagnosis Pneumotoraks
A. Keluhan
1. Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya pada saat bernafas
dalam atau batuk.
2. Sesak, dapat sampai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam, apabila sebagian paru
yang kolaps sudah mengembang kembali.
3. Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.
4. Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen (cyanosis).
B. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan nafas, tertinggal
pada sisi yang sakit.
2. Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar, iktus jantung
terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus suara melemah atau menghilang.
3. Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi tympani dan tidak bergetar, batas jantung
terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi.
4. Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat amforik apabila
ada fistel yang cukup besar
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Toraks:
a. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general
b. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi avaskuler.
c. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya kolaps dari paruparu sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak ini lebih padat
dengan densitas seperti bayangan tumor.
d. Biasanya arah kolaps ke medial
e. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan pada jantung
misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang kita kenal sebagai tension
pneumothorax
f. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang berlawanan.

Gambar 1. Pneumotoraks Sinister

Gambar 2. Pneumotoraks Dexter

Gambar 3. Fase Inspirasi pada Pneumotoraks

Gambar 4. Fase Ekspirasi pada Pneumotoraks


2. CT-Scan

Pemeriksaan Computed Tomography (CT-Scan) mungkin diperlukan


apabila dengan pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan.
Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan emfisema bullosa dengan
pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner serta
untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer atau sekunder. Sensitivitas
pemeriksaan CT-scan untuk mendiagnosis emfisema subpleura yang bisa
menimbulkan pneumotoraks spontan primer antara 80-90%. Dengan CT scan dapat
melihat:
a.
b.
c.
d.

Kumpulan cairan dan udara dalam rongga pleura


Kemungkinan dapat dilihat fraktur iga yang menembus dada
Kemungkinan dapat dilihat kontusio dan laserasi paru
Injuri abdominal yang terkait
Pemeriksaan endoskopi (torakokopi) merupakan pemeriksaan invasif,

tetapi memiliki sensivitas lebih besar dibandingkan pemeriksaan CT-scan.


3. BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien

Penatalaksanaan Pneumotoraks
A. Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan stabiisasi leher
hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan cara memasang cervical
collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat kesadaran dengan menyapa pasien
dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC (airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).
Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw thrust (bila
dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head tilt chin lift dilanjutkan
dengan

membersihkan

rongga

mulut

dengan

swab

mengunakan

jari

telunjuk,

mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada pasien tidak sadar dilakukan
pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah jatuh dan menutup jalan nafas (Boon,
2008).
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan dilakukan secara
bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan dinding dada asimetris, deviasi
trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara nafas menurun bahkan menghilang dan pada

perkusi didapatkan hipersonor. Bila didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan


tindakan needle thoracostomy (Boon, 2008).
Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan memeriksa
capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila terjadi perdarahan masif
dilakukan pemasangan double line dengan cairan kristaloid (Boon, 2008).
B. Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Kebanyakan simple pneumothoraces akan membutuhkan pemasangan intecostal
chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothoraces kecil, khususnya yang hanya terlihan
dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data diobservasi berdasarkan status klinis
pasien prosedur yang direncanakan berikutnya. Pemasangan chest tube cocok pada kasus
yang terdapat multiple injury, pasien yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau
pasien yang akan ditransfer dengan jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension
pneumothorax mungkin sulit atau tertunda (Brohi, 2004).
C. Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus dipertimbangkan
bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh menunda pemasangan chest
tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada open pneumotoraks adalah menutup luka
dan segera memasang intercostal chest drain (Brohi, 2004).
Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa melakukan
terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada tiga sisinya. Secara
teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk memungkinkan udara keluar dari
pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit
bila dilakukan pada luka yang luas dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest
drain harus dipasang dan luka ditutup (Brohi, 2004).
D. Penatalaksanaan Tension Pneumothorax
1. Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada emergensi dengan
needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada Intercostal Space (ICS) II Mid
Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit
yang terhubung dengan jarum. Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara
yang keluar dengan cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini
mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004).

2.

Pemasangan Chest Tube


Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension pnemothorax.

Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan pemasangannnya biasanya
cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik untuk blind needle thoracostomy. Hal ini
menyebabkan status respiratori dan hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit
tambahan untuk melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),
tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa terburu-buru.
Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual dengan tekanan positif (Brohi,
2004).

Komplikasi Pneumotoraks
Komplikasi

yang

dapat

terjadi

pada

pneumotoraks

antara

lain

adalah

pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi melalui tiga


tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya adalah terjadinya ruptur
alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung bronkovaskuler menuju daerah hilus dan
akhirnya

udara

mencapai

mediastinum.

Pneumomediastinum

jarang

menyebabkan

komplikasi klinis yang signifikan. Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum
dapat menyebabkan peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung
terhadap jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan curah
jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema subkutis. Apabila udara
pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat terjadi kompresi jalan napas dan
jantung (Carolan, 2010).

Gambar 2.1 Pneumomediastinum Gambaran pneumomediastinum pada foto thoraks


tampak sebagai daerah radiolusens di sekitar batas jantung kiri.
Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal, dan selubung
pembuluh darah leher, dan toraks lateral (Carolan, 2010). Emfisema subkutis terjadi akibat

udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi sebagai pembengkakan tidak


nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas. Gambaran radiologis untuk emfisema subkutis
adalah radiolusen di tepian struktur anatomi terkait.Komplikasi ini dapat memperparah
keadaan pasien dengan pneumotoraks akibat kompresi jalan napas. Pertolongan pertama yang
dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan pisau pada daerah kulit yang
mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008).

DAFTAR PUSTAKA
Barmawi Hisyam, Eko Budiono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Brohi

K.

2004.

Chest

Trauma:

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTopen.html.

Pneumothorax-Open.
Diakses

tanggal

26

September 2011 jam 19.30


Brohi

K.

2004.

Chest

Trauma:

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTpneumo.html.

Pneumothorax-Simple.
Diakses

tanggal

26

September 2011 jam 19.00


Brohi

K.

2004.

Chest

Trauma:

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTtension.html.

Pneumothorax-Tension.
Diakses

tanggal

26

September 2011 jam 19.00


Carolan,

PL.

2010.

Pneumomediastinum.

Medscape

Reference.

Emedicine.

http://www.medscape.com/article/1003409. Diakses tanggal 29 September 2011 Jam


03.00
Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous Pneumothorax:
Therss Confusion in the Air. Chest Journal; 125; 190-1192
Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007. Primary Spontaneous Pneumothorax: why all the
confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of Physicians of
Edinburgh; 37:335-338
Michael L. Grey, Jagan M. Ailinani. 2003. CT and MRI Pathology : A Pocket Atlas. USA:
The McGraw-Hill Companies
Paramasivam, E. 2008. Air Leaks, Pneumothorax, and Chest Drains: Subcutaneous
Emphysema, Pneumomediastinum, and Pneumopericardium. Cont edu Anaesth Crit
Care & Pain. 8(6): 204-209. Oxford University Press

TENSION PNEUMOTHORAX
A. Definisi
Tension pneumothorax adalah bertambahnya udara dalam ruang pleura secara
progresif, biasanya karena laserasi paru-paru yang memungkinkan udara untuk masuk ke
dalam rongga pleura tetapi tidak dapat keluar atau tertahan di dalam rongga pleura. Hal
ini dapat terjadi secara spontan pada orang dengan kondisi paru-paru kronis ("primer")
dan juga pada mereka dengan penyakit paru-paru ("sekunder"), dan banyak pula yang
terjadi setelah trauma fisik ke dada, cedera ledakan , atau sebagai komplikasi dari
perawatan medis. Ventilasi tekanan positif dapat memperburuk efek one-way-valve.
Peningkatan progresif tekanan dalam rongga pleura mendorong mediastinum ke
hemithorax berlawanan, menghalangi aliran balik vena ke jantung, dan menekan paruparu pada hemithorax kontralateral.. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan peredaran
darah dan dapat menyebabkan traumatic arrest (Sharma, 2008; Sideras, 2011)
Tension pneumothorax adalah komplikasi pada sekitar 1-2% dari kasus
pneumothorax spontan idiopatik. Tension pneumothorax merupakan keadaan emergensi
yang mengancam jiwa penderita. Dapat disebabkan oleh trauma yang menyebabkan luka
pada parenkhim paru, spontan akibat pecahnya bulla paru atau iatrogenik yang
membentuk mekanisme ventil, yaitu udara dapat memasuki rongga pleura tetapi tidak
dapat keluar. Tidak jarang pneumothoraks simpel pada trauma dapat berubah menjadi
tension pneumothorax.
B. Patofisiologi
Tension pneumothorax terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada saat
inspirasi udara masuk ke dalam rongga pleura, tetapi pada saat ekspirasi udara dari
rongga pleura tidak dapat keluar. Semakin lama tekanan udara di dalam rongga pleura
akan meningkat dan melebihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul dalam rongga
pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal nafas. Pneumothorax
ini sering disebut pneumothorax ventil (Sudoyo et al, 2009).
Tension pneumothorax terjadi kapan saja, gangguan melibatkan pleura visceral,
pleura parietal, atau tracheobronchial. Kondisi ini terjadi ketika jaringan yang terluka
membentuk katup 1 arah, yang memungkinkan aliran udara dengan inhalasi ke dalam
ruang pleura dan mencegah aliran udara keluar. Volume udara intrapleural nonabsorbable
ini meningkat dengan inspirasi karena efek katup 1 arah. Akibatnya, tekanan meningkat
pada hemithorax yang terkena. Selain itu, tekanan positif yang digunakan dengan terapi
ventilasi mekanik dapat menyebabkan terperangkapnya udara (Daley, 2015).

Karena tekanan meningkat, paru-paru ipsilateral kolaps dan menyebabkan hipoksia.


Kenaikan tekanan lebih lanjut menyebabkan mediastinum bergeser ke arah sisi
kontralateral dan menimpa dan mengkompresi kedua paru-paru kontralateral dan
merusak aliran balik vena ke atrium kanan. Hipoksia menyebabkan paru-paru kolaps
pada sisi yang terkena dan paru yang terkompresi pada sisi kontralateral penurunan
pertukaran gas efektif. Hipoksia ini dan penurunan aliran balik vena disebabkan oleh
kompresi dinding yang relatif tipis atria mengganggu fungsi jantung. Kinking dari vena
cava inferior dianggap kejadian awal membatasi darah ke jantung. Hal ini paling jelas
pada pasien trauma yang hipovolemik dengan mengurangi kembali darah vena ke
jantung (Daley et al, 2015).
C. Gejala
Gejala dan tanda tension pneumothorax biasanya lebih impressive lebih dari simple
pneumothorax, dan interpretasi klinis penting untuk diagnosis dan terapi. Tension
pneumothorax ditandai dengan hipotensi dan hipoksia. Pada pemeriksaan, tidak ada
suara nafas pada paru yang terkena, dan trakea deviasi dari sisi yang terkena ke sisi yang
sehat. Thorax mungkin juga menjadi hiperresonan, distensi vena jugularis, dan takikardia
(Daley et al, 2015).
Gejala dari tension pneumothorax meliputi nyeri dada (90%), dyspnea (80%),
cemas (anxiety), fatigue, atau nyeri epigastrium akut (jarang ditemukan) (Daley, 2015).
D. Diagnosis
Tension pneumothorax merupakan keadaan yang paling mengancam nyawa dari
kedua keadaan pneumothoraks diatas. Pada inspeksi tampak penderita sesak hebat,
takhipnoe, sianosis, sisi dada yang terkena tertinggal pada pernapasan, pucat karena syok
dan vena jugularis leher melebar. Trakhea terdorong, bunyi napas pada hemithoraks yang
terkena tidak terdengar pada auskultasi dan hipersonor pada perkusi (Daley, 2015)
Diagnosa tension pneumothorax merupakan diagnosa dari klinis, bukan dari
radiologi (Misra et al, 2007). Tanda-tanda klasik dari tension pneumothorax adalah
adanya distress nafas, takikardi, hipotensi, adanya deviasi trakea, hilangnya suara nafas
unilateral, distensi vena leher, dan bisa menjadi sianosis pada manifestasi lanjutnya.
Gejala klinis dari tension pneumothorax ini mungkin mirip dengan gejala klinis dari
cardiac tamponade, tetapi angka kejadian tension pneumotorax ini lebih besar dari
cardiac tamponade. Selain itu untuk membedakannya juga bisa dilakukan dengan

mengetahui bahwa dari perkusi didapatkan adanya hiperresonansi pada bagian dada
ipsilateral.
Pada pemeriksaan fisik thorak didapatkan :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding
dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura
tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang (Sudoyo, 2011)
E. Pemeriksaan Radiologi, Gambaran Radiologi, Interpretasi
1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus pneumotoraks antara
lain:
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan
tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps
tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus
paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radioopaque yang
berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.
Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang
dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals
melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada

pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar
telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

Foto Rontgen pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak

panah merupakan bagian paru yang kolaps.


Deviasi trakhea menjauh dari sisi dada yang terkena tension.
Pergeseran mediastinum.
Depresi dari diafragma-hemiselulosa.

2. CT-scan thorax
CT-scan thoraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner
dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.

CT dari tension pneumotoraks


F. Terapi
1. Needle Thoracostomy

Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi yang segera. Dekompresi ini


dapat dilakukan dengan memasukkan jarum ke ruang intercostal ke dua pada garin
midclavicular pada sisi dada yang terkena. Terapi definitifnya biasanya
membutuhkan insersi chest tube ke dalam ruang pleural melalui ruang intercostal ke
lima (setinggi puting susu) dibagian depan di garis midclavicular.
Prinsip terapi dari tension pneumothrax ini adalah menjaga jalan nafas agar tetap
terbuka, menjaga kualitas ventilasi, oksigenasi, menghilangkan penyebab traumanya
dan menghilangkan udara di ruang pleura, dan mengontrol ventilasi (Jain, 2008)
Keberhasilan dari terapi yang kita lakukan bisa dinilai dari hilangnya udara bebas
pada ruang interpleural dan pencegahan pada kekambuhan atau recurensi (Jain,
2008).
Pada kasus tension pneumotoraks, tidak ada pengobatan non-invasif yang dapat
dilakukan untuk menangani kondisi yang mengancam nyawa ini. Pneumotoraks
adalah kondisi yang mengancam jiwa yang membutuhkan penanganan segera. Jika
diagnosis tension pneumotoraks sudah dicurigai, jangan menunda penanganan
meskipun diagnosis belum ditegakkan.
Pada kasus tension pneumotoraks, langsung hubungkan pernafasan pasien dengan
100% oksigen. Lakukan dekompresi jarum tanpa ragu. Hal-hal tersebut seharusnya
sudah dilakukan sebelum pasien mencapai rumah sakit untuk pengobatan lebih
lanjut. Setelah melakukan dekompresi jarum, mulailah persiapan untuk melakukan
torakostomi tube. Kemudian lakukan penilaian ulang pada pasien, perhatikan ABCs
(Airway, breathing, cirvulation) pasien. Lakukan penilaian ulang foto toraks untuk
menilai ekspansi paru, posisi dari torakostomi dan untuk memperbaiki adanya
deviasi mediastinum. Selanjutnya, pemeriksaan analisis gas darah dapat dilakukan
(Jain, 2008).
Dekompresi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumothoraks yang
luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra
pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan
demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi
negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set. Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke
dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal

saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem


penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infus set yang berada di dalam botol.
2) Jarum abbocath. Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan
jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding
toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap
ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set.
Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infuse set yang berada di dalam botol.
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang
menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum
pleura (rongga pleura)
Tujuan:
Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan

tekanan

negatif

rongga

tersebut

Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya
terisi sedikit cairan pleura / lubrican.1,15
4) Tindakan bedah
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang
yang menyebabkan pneumothoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan
paru tidak bisa mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan reseksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau
terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian
kedua pleura dilekatkan satu sama lain.1,15
G. Prognosis
Tension pneumotoraks timbul dari berbagai penyebab dan cepat berkembang menjadi
insufisiensi pernapasan, kolaps kardiovaskular, dan akhirnya kematian jika dikenali dan
diobati. Oleh karena itu, jika gambaran klinis sesuai tension pneumothorax, harus diatasi

kegawadaruratannya sebelum menghasilkan instabilitas hemodinamik dan kematian


(Daley, 2015).
Prognosis tension pneumothorax adalah dubia ad bonam. Prognosis baik jika diagnosis
dini dan pengobatan segera. Secara keseluruhan prognosis tergantung pada cedera dan
mobiditas.

DAFTAR PUSTAKA

Daley

et

al.

2015.

Pneumothorax Clinical

Presentation.

http://emedicine.medscape.com/article/424547-clinical

diakses

Mei 2016.
Jain,

Dhruv

et

al.

2008.

Understanding

And

Managing

Tension

Pneumothorax. New Delhi. Journal Indian Academy Of Clinical


Medicine.
Hacking

and

Gaillard

et

al.

Tension

pneumothorax

http://radiopaedia.org/articles/tension-pneumothorax diakses 7 Mei


2016.
Misra et al. 2007. AZ of Chest Radiology. New York: Cambridge University Press.
Sharma, Anita. Jindad, Parul. 2008. Principles Of Diagnosis And Management Of Traumatic
Pneumothorax. Uttarakhand: Journal Of Emergencies.
Sideras, Jim. 2011. Tension Pneumothorax: Identification And Treatment. Harvard
University: EMS1.com
Sudoyo et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publising. P: 23392341

Pneumothorax Traumatik
Bisa disebabkan oleh trauma dada penetrasi maupun non penetrasi. Pada trauma dada
penetrasi luka menyebabkan udara mengalir masuk kedalam kavum pleura langsung melalui
dinding dada atau melalui pleura visceral dari percabangan trakeo bronkial. Pada non
penetrasi pneumothorax dapat terjadi jika adanya laserasi pada pleura visceral dikarenakan
fraktur costae maupun dislokasi costae. Kompresi dada yang tiba tiba meningkatakn tekanan
alveolar yang mana dapat menyebabkan ruptur alveolus. Ketika alveolus pecah, udara masuk
kedalam spatium interstitial dan membelah parenkim paru menuju pleura visceral maupun
mediastinal. Pneumthorax dapat terjadu jika adanya ruptur pleura visceral maupun
mediastinal, menyebabkan udara masuk kedalam kavum pleura.
Patofisiologi
Traumatik
a. trauma penetrasi (luka tusuk, luka tembak, tertusuk benda asing) seringnya melukai
paru perifer, menghasilkan hemothorax dan pneumothorax pada lebih dari 80%
kejadian trauma penetrasi
b. trauma tumpul dapat menyababkan fraktur costae yang mana dapat meningkatkan
tekanan intratorakal dan ruptur bronkial. Ditandai dengan Fallen lung sign, hilus
jatuh kebagian bawah rongga dada atau pneumothorax persisten dengan penggunaan
chest tube

Gambar 1. Fallen Lung Sign

Barotrauma Pulmoner
Karena volume gas pada temperatur konstan berbanding terbalik dengan tekanannya,
maka jika volume udara yang tersaturasi dalam suhu tubuh mengembang 1,5 kali
dibandingakan volume pada permukaan air laut. Dan jika pada ketinggian 3050 m udara yang
terjebak pada bleb pleura bisa ruptur menyebabkan pneumothorax seperti pada petugas
penerbangan. Hal yang sama juga terjadi pada penyelam scuba dimana udara yang
terkompresi dialirkan kedalam paru berdasarkan kebutuhan regulator dan ketika naik
kepermukaan barotrauna dapat menyababkan penurunan tiba tiba tekanan dalam paru
sehingga udara dalam paru mengembang dan menyebabkan pneumothorax

Pneumothorax Iatrogenik
Penyebab pneumothorax berdasarkan frekwensi kejadiannya
Transthoracic needle aspiration or biopsy
Subclavian or jugular vein catherterization
Thoracentesis
Closed pleural biopsy
Mechanical ventialtion
Cardiopulmonary resuscitaion
Nasogastric tube placement
Transbronchial biopsy
Tracheostomy
Liver biopsy

24%
22%
20%
8%
7%

Penyebab utama pneumothorax iatrogenik adalah aspirasi jarum transtorakal. Dua


faktor yang bertanggung jawab adalah kedalaman dan ukuran lesi. Jika lesi lebih dalam dan
ukuran lebih kecil maka kemungkinan terjadinya pneumothorax traumatik meningkat
Kedua adalah kanulasi sentral. Hal ini dikarenakan peningkatan jumlah pasien yang
membutuhkan penanganan intensif
Ketidaksengajaan mengambil arteri subklavia merupakan komplikasi tersering pada
pungsi vena subklavia. Rata rata insidensi yang dilaporkan berkisar 1-13 %. Insidensi ini
akan meningkat sekirat 40% jika dilakukan pengulangan tindakan. Thorakosintesis

merupakan penyebab ketiga pneumothorak iatrogenik. Hal ini bisa dikurangi jika dilakukan
dengan panduan USG. Ventilasi mekanik mulai jarang menyebabkan pneumothorax karena
pada mode ventilasi yang lebih baru memungkinkan melakukan ventilasi pada pasien dengan
tekanan puncak yang lebih rendah.

Sharma A, Jindal P. Principles of diagnosis and management of traumatic pneumothorax.


J Emerg Trauma Shock. 2008 Jan-Jun; 1(1): 3441. doi

Anda mungkin juga menyukai