Disusun oleh:
Kelompok A
PPDH Gelombang I Tahun 2015/2016
No. Protokol
: P/04/06/16
Hari/Tanggal
: Selasa,
Dosen PJ
Anamnesa
:-
Signalement
Nama Hewan
Jenis Hewan
Bangsa
Jenis Kelamin
Umur
Warna Kulit
Tanggal Nekropsi
:: Anjing
: Labrador
: Jantan
: 12 tahun
: kuning
: 23 Februari 16
Hasil Pemeriksaan Nekropsi
Organ
Keadaan Umum Luar
Epikrise
Diagnosa PA
Kulit
Mata
Keratokonjunctivitis
Mukosa pucat
Anemis
Anus
Perlemakan
Sedikit
Otot
Kulit
Rongga Tubuh
Situs Viscerum
Lain-lain
Traktus Respiratorius
Hidung
Laring
Trakhea
Edema pulmonum
Bronkhus
Edeme pulmonum
Paru-paru
Edeme pulmonum
Traktus Digestivus
Rongga mulut
Anemis
gigi
Lidah
Glositis ulseratif
dextra sebesar 1x 4 cm
Esofagus
Lambung
Gastritis ulseratif
Usus Halus
Enteritis katarrhalis
Pankreas
Hati
Traktus Sirkulatorius
Degenerasi
Jantung
Apex tumpul
menipis
Pembuluh darah
Sistem Limforetikuler
Limpa
Limfonodus
Ln. Mandibula
Ln. Retropharyngeal
Ln. Axillaris
Ln. Prescapularis
Ln. Poplitea
Traktus Urogenitalia
Ginjal
Fibrosis
tidak rata
Ureter
VU
Korda Spinalis
Saraf Perifer
Sistem lokomosi
Otot
Tulang
Sumsum tulang
Pucat
Anemis
Persendian
disebabkan oleh tingginya produk sisa turunan Nitrogen (ureum) dalam darah akibat
gangguan kerja ginjal (Zachary dan McGavin 2012). Gigi geligi tampak masih lengkap dan
ditemukan adanya karang gigi pada gigi geraham (molar). Esofagus tidak menunjukkan
adanya ulkus atau kelainan. Pemeriksaan lambung terlihat adanya ulcer pada bagian pylorus
yang menandakan lambung mengalami gastritis ulcerative cattharalis. Kondisi ini dapat
disebabkan akibat produksi asam lambung yang tinggi tanpa disertai adanya asupan makanan,
karena pada lumen lambung tidak ditemukan sisa makanan. Permukaan lambung juga terlihat
mengkilap dikarenakan adanya produksi mukus yang berlebihan.
Pada pemeriksaan usus halus ditemukan adanya hiperemi dan eksudat kataralis
(enteritis kataralis). Pada sekum dan kolon ditemukan sisa feses dengan konsistensi encer
dan berwarna kuning kehitaman. Konsistensi feses encer diduga hewan mengalami diare
sebelum kematian. Ditemukan adanya hiperemi di perbatasan antara usus besar (colon) dan
caecum. Mukosa usus besar mengalami hiperemi dengan mukosa kataralis. Pada pemeriksaan
pankreas tidak ditemukan kelainan dengan warna merah akibat autolisisis setelah kematian.
Kantung empedu mengalami penegangan dan cairan empedu berwarna hitam pekat dengan
konsistensi kental. Hal ini dapat disebabkan karena sebelum kematian anjing tidak makan
selama 24-48 jam sehingga cairan empedu tidak disekresikan ke usus halus dan
mengakibatkan cairan empedu mengental. Pemeriksaan hati menunjukkan warna merah
kehitaman dan tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan limpa tidak menunjukkan
adanya kelainan ditandai dengan bentuk tepi limpa meruncing dan warna homogen.
Traktus Sirkulatorius
Hasil patologi anatomi yang ditemukan pada jantung anjing ini adalah adanya double
apex akibat ventrikel kanan mengalami dilatasi. Dilatasi ventrikel kanan terjadi karena
adanya peningkatan tekanan pengisian ventrikel. Jantung kanan terutama ventrikel kanan
berperan penting terhadap suplai darah menuju organ paru-paru. Apabila paru-paru
mengalami peradangan akan berimplikasi terhadap dilatasi ventrikel kanan. Sel-sel otot pada
ventrikel kanan akan berkontraksi untuk meningkatkan kekuatan kontraktil sehingga
menimbulkan peningkatan aliran cardiac output dan volume darah menuju paru-paru (Madias
2011). Tekanan darah pada ventrikel kanan yang meningkat akan menimbulkan dilatasi
ventrikel kanan dan atau hipertrofi ventrikel kanan yang akan diikuti dengan hipertrofi atau
dilatasi dari atrium kanan yang kemudian akan menghasilkan biventrikula dan biatrium.
Kontraksi sel-sel otot ventrikel kanan terbatas sehingga sewaktu-waktu kerja ventrikel kanan
akan menurun akibat kekuatan kontraktil menurun (Carlton & McGavin, 1995). Menurut
Vleet dan Ferrans (2006), hipertrofi dan dilatasi jantung, serta peningkatan denyut jantung
dapat menyebabkan kerja jantung semakin meningkat. Dilatasi dan hipertrofi pada otot
jantung dapat mengakibatkan kegagalan fungsi jantung karena jantung tidak dapat memompa
untuk memasok dan mengalirkan darah ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan
kematian pada hewan.
Hypertrophic cardiomyopathy (HCM) adalah suatu bentuk penyakit jantung yang
ditandai dengan pembesaran dan penebalan otot jantung terutama dari dinding ventrikel kiri.
Pembesaran dinding ventrikel merupakan penambahan massa, sebagai respon miosit terhadap
berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan tekanan darah. Aktivasi sistem reninangiotensin melalui aksi angiotensin II pada reseptor angiotensin I mendorong pertumbuhan
sel-sel interstisial dan komponen matrik sel. Perkembangan hipertrofi ventrikel kiri
dipengaruhi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan struktur
interstisium skeleton kordis. Ketika ventrikel kiri menjadi menebal, ruang yang memisahkan
ventrikel kiri dan kanan menjadi lebih kecil dan otot sangat kaku, sehingga sulit untuk
mengisi dengan darah. Hal ini juga menjadi sulit bagi darah untuk dipompa keluar dari
ventrikel melalui aorta. Hal ini membuat lebih sulit untuk darah mengalir keluar dari aorta,
dan juga menyebabkan kerusakan katup. Akibatnya, atrium kiri menjadi meregang keluar dan
melebar. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan tekanan di atrium . Peningkatan tekanan
dapat ditransmisikan ke paru-paru, sehingga retensi cairan di paru-paru dan gagal jantung
kongestif akhirnya (Olson dan Frey, 2003).
Traktus Urogenitalia
Pada pemeriksaan traktus urogenital, bagian ginjal kiri mengalami atrofi. Permukaan
ginjal kiri dan kanan tidak rata, hal ini diduga karena terbentuk jaringan ikat fibrosa yang
berlebihan atau fibrosis. Fibrosis ginjal adalah keadaan patologis pada ginjal berupa
akumulasi dari matriks ekstra seluler akibat rusaknya sel epitel glomerulus dan tubulus ginjal
(Chatziantoniou 2005). Keadaan patologis ini biasanya berasal dari kondisi seluler yang
mengalami komplikasi seperti aktivasi EMT (Epithelial to Mesenchymal Transition) yang
meingkatan matriks ekstra seluler dan infiltrasi makrofag. Keadaan ini menyebabkan aktivasi
sel tubular yang mengarah ke produksi molekul proinflamasi yang berkontribusi pada
terjadinya fibrosis ginjal. Fibrosis berkembang ketika tingkat sintesis dan stabilisasi matriks
berlebihan dan / atau ketika kapasitas degradasi menurun. Fibrosis ginjal merupakan
penyebab utama dari penyakit ginjal kronik (Cho 2010). Penyakit ginjal kronik ini
merupakan tahap akhir kerusakan ginjal yang bersifat progesif dan ireversibel.
Gagal ginjal kronis bersifat progresif dan ireversibel. Gagal ginjal kronis
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal hal ini diakibatkan salah satunya oleh berkurangnya
kemampuan filtrasi oleh glomerulus. Pada keadaan gagal ginjal kronik, sangat sering terjadi
azotemia pada pasien atau bahkan uremia. Azotemia adalah peningkatan BUN dan
ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat gagal
ginjal yang berat.
Kerusakan ginjal juga dapat meningkatkan sel jukstaglomerulus untuk melepas renin.
Renin berfungsi mengaktifkan angiotensinogen plasma untuk membentuk angiotensin yang
meningkatkan tekanan darah perifer. Menurut Ganong (1995), angiotensin menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah langsung pada otot polos. Tekanan darah yang terus menerus
meningkat dalam waktu yang lama menyebabkan gangguan pada sirkulasi jantung. Akibatnya
jantung bekerja secara optimum dan menyebabkan gagal jantung. Kejadian gagal jantung
pada kasus ini, tampak sebagai dilatasi ventrikel kanan dan hipertrofi ventrikel kiri.
Gagal ginjal kronis dapat dihasilkan dari beberapa kondisi gangguan kesehatan,
diantara adalah diabetes dan glomerulonepritis. Gejala klinis penderita gagal ginjal kronis
diantaranya terjadi perubahan keseimbangan air, elektrolit, gangguan koagulasi, anemia, dan
terjadi perubahan fungsi kardiovaskular serta dapat meneyebabkan kematian (Matovinovic,
2009). Manifestasi dari gagal ginjal kronis dapat diamati dari ketidakmampuan ginjal untuk
melakukan fungsinya dalam mengatur cairan dan keseimbangan elektrolit, mengendalikan
tekanan darah melalui volume cairan, mengatur dan mengendalikan sistem renin-angiotensin,
mengatur sel darah merah melalui sintesis eritropoietin.
Eritropoetin adalah hormon yang terutama diproduksi oleh ginjal untuk meningkatkan
produksi eritrosit. Hipoksia meningkatkan produksi hormon eritropoietin sedangkan
hiperoksia menurunkan hormon eritropoietin dan menurunkan produksi eritrosit (Krantz
1991). Eritropoietin bersirkulasi dalam plasma dan mengikat reseptor spesifik di sel-sel
progenitor eritrosit sehingga berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel darah merah (Bunn
et.al 1998). Tujuan produksi eritropoetin adalah untuk menjaga massa sel darah merah yang
optimal dalam kondisi fisiologis (Prenggono DM 2015). Eritropoetin diproduksi terutama
oleh ginjal (Koury et.al 1988) sebagian kecil diproduksi di hati, tetapi semua sel pada
dasarnya memiliki kemampuan mentranskripsi gen eritropoietin dalam kondisi hipoksia.
Produksi eritropoietin di ginjal bersifat terus-menerus dan maksimal (Koury et.al 1989).
Apabila fungsi ginjal terganggu bahkan rusak maka produksi eritropoietin akan terganggu
juga. Akibatnya hewan akan mengalami anemia. Pada kasus ini, anemia ditunjukkan dengan
sumsum tulang yang pucat.
DAFTAR PUSTAKA
Bunn HF, Gu J, Huang LE, Park JW, Zhu H. 1998. Eryhtropoietin: A model system for
studying oxygen-dependent gene regulation. J Exp Biol. 201: 1197-201.
Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomsons Special Veterinary Pathology Ed 2nd, St.
Loius (US) : Mosby
Chatziantoniou C. 2005. Insights into the mechanisms of renal fibrosis: is it possible to
achieve regression? Am J Physiol Renal Physiol 289(2): 227-34.
Chauhan RS. 2010. Textbook of Veterinary Pathology. India: IBDC Publishers
Cho MH. 2010. Renal Fibrosis. Korean J Pediatr 53(7):735-740
Fachary JF dan McGavin MD. 2012. Pathologic Basis of Veterinary Disease Fifth Edition.
St. Louis : Elsevier
Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta (ID) : EGC
Glaus T, Schellenberg S, Lang J (2010) ; Cardiogenic and non-cardiogenic pulmonary
oedema: pathomechanisms and causes. Schweizer Archiv fur Tierheilkunde 152, 311317.
Kakouros NS, Kakouros SN (2003). Non-cardiogenic pulmonary edema. Hellenic Journal of
Cardiology 44, 385 391.
Koury ST, Bondurant MC, Koury MJ. 1988. Localization of erythropoietin synthesizing cells
in murine kidneys by in situ hybridization. Blood. 71:524-37.
Koury ST, Koury MJ, Bondurant MC, Caro J, Graber SE. 1989. Quantitation of
erythropoietin-producing cells in kidneys of mice by in situ hybridization: Correlation
with hematocrit, renal erythropoietin mRNA, and serum erythropoietin concentration.
Blood. 74: 645-51.
Krantz SB. 1991. Erythropoietin. J. Exp. Biol. 77(41): 9-34.
Madias JE. 2011. Right ventricular dilatations often neglected component in the
electrocardiographic assessment of patients with heart failure. Europace . 13(9) : 1217
1218.
Matovinovic MS. 2009. Pathophysiology and classification of kidney diseases. The Journal
Of International Federation Of Clinical Chemistry and Laboratory Medicine
Prenggono DM. 2015. Eritropoietin dan penggunaan eritropoietin pada pasien kanker anemia.
CDK. 42(1): 20-28.
Vleet JF, Ferrans VJ. 2006. Cardiovascular system dalam McGavin MD, Zachary JF 2006.
Pathology Basis of Veterinary Disease 4th edition. Philadelphia (US): Mosby Elsevier.