Anda di halaman 1dari 13

BAB I

LAPORAN KASUS
A.

Anamnesis
Identitas Pasien
Nama
: An. A
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Usia
: 10 tahun
Alamat
: menasah mesjid
Masuk Puskesmas: 31 desember 2014
No. RM
: 14/ 09 071
Anamnesis dilakukan tanggal 31 desember 2014, pukul 10.00, secara auto dan
alloanamnesis
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : nyeri ulu hati, mual, muntah, pusing
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Puskesmas dengan keluhan demam sejak 6 hari. Demam dirasakan
terutama sore hari, naik perlahan kadang disertai menggigil (hari pertama dan kedua),
tidak kejang. Demam disertai nyeri ulu hati, mual, muntah sebanyak 2 kali, pusing dan
nafsu makan berkurang. Demam tidak disertai pilek dan batuk. Pasien juga tidak
mengeluh bab cair. Bab berwarna merah atau kehitaman disangkal. buang air kecil
seperti biasa. Nafsu makan dan minum berkurang.
Pasien memiliki kebiasaan jajan di warung sekitar lingkungan rumahnya. Pasien sudah
mencoba minum obat tetapi keluhannya belum sembuh.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

B.

Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran
: composmentis
Berat Badan
: 18,5 Kg
Tanda vital
:
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
1

Nadi
: 98 x/menit, regular, isi cukup
RR
: 24 x / menit
Suhu
: 38,6 C (axila)
Pemeriksaan status generalis :
Kepala
: tidak tampak kelainan
Mata
: mata cekung (+), konjungtiva anemis (-),sclera ikterik (-)
THT
: faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, lidah tampak kotor
Leher
: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax
: bentuk normal.
Paru
:
Inspeksi
: Bentuk dan Pergerakan simetris, Retraksi sela iga (-).
Palpasi
: stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi
: sonor di kedua lapang paru, batas paru normal
Auskultasi
: suara nafas vesikuler, ronkhi (-), whezing (-)
Jantung
:
Inspeksi
: iktus kordis tidak tampak
Palpasi
: iktus kordis tidak teraba
Perkusi

: Batas Atas

: ICS II linea parasternal sinistra

Batas Kanan : Linea parasternal dextra


Auskultasi
Abdomen

Inspeksi

: Datar

Palpasi

:Nyeri Tekan (+) pada region epigastrium,Defance Muscular (-)

Auskultasi

: Peristaltik (+) normal

Perkusi

C.

D.

E.

Batas Kiri : ICS V, 2 Cm medial LMC sinistra


: S1,S2 tunggal, regular, suara tambahan (-)

: timpani

Hati, Limpa
: Dbn
Ekstremitas
: akral hangat, petekie (-), CR <2 detik
Diagnosis
Diagnosis Banding :
- Susp. Demam Typoid
- Demam berdarah dengue
- Malaria
- infeksi saluran kemih
Diagnosis Kerja: Susp. Demam Typoid
Usulan pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan darah rutin, urin rutin
- Pemeriksaan serologis (Tes widal, IgM)
- Pemeriksaaan hapusan darah tepi
Penatalaksanaan
- Diet lunak
-Paracetamol 3 x 250 mg
-Ranitidine
2

-Amoxisilin syr
Edukasi
Tirah baring
Istirahat cukup
Minum obat secara teratur dan tepat waktu
Tidak mengkonsumsi makanan di sembarang tempat
Cuci tangan sebelum makan
Menjaga lingkungan dan kebersihan diri
Meningkatkan makan dan minum yang bergizi
Memberitahu tentang perjalanan penyakit kepada orang tua pasien
Memberitahu komplikasi yang mungkin terjadi
F.

Prognosis
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam

: ad bonam
: ad bonam
: ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid atau typhus abdominalis merupakan penyakit infeksi sistemik terutama
mengenai sistem retikuloendotelial, jaringan limfoid intestinal, dan kantung empedu,
yang disebabkan oleh kuman basil gram negatif Salmonella typhi maupun Salmonella
paratyphi.
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi (Widoyo, 2008).
Demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Demam tifoid adalah
penyakit demam sistemik akut generalisata yang disebabkan oleh Salmonella typhi,
biasanya menyebar melalui ingesti makanan dan air yang terkontaminasi, ditandai dengan
bakteremia berkepanjangan serta invasi oleh patogen dan multifikasinya dalam sel-sel
fagosit mononuklear pada hati, limpa, kelenjar getah bening, dan plak Peyeri di ileum.
(Sudoyo, dkk. 2006).
B. Epidemiologi
3

Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
C. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif,
berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik
berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita
demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut.

Gambar 1. Salmonella Typhi


D. Patofisiologi
Masuknya

kuman

Salmonella

Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Penelitian yang dilakukan terhadap sukarelawan menunjukkan dosis infeksi organism
adalah 105-109 organisme, dengan masa inkubasi berjarak selama 4-14 hari,
bergantung jumlah kuman yang dapat masuk. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak.
Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi tubuh dengan menembus mukosa usus
ileum terminal, yang mungkin melalui antigen sample sel yang dikhususkan yang
diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus, berhubungan dengan jaringan limfoid,
melalui enterosit atau melalaui rute paraselular. Bila respons imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama
sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak
dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum
4

distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sitemik.
Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi infeksi sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.

Gambar 2. Patofisiologi Demam Tifoid

E. Manifestasi klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga
bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid


Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa infeksi akut pada umumnya yaitu
Demam sekitar interminten/remiten
Lidah kotor, mulut kering, mual muntah
Gambaran gejala saluran nafas atas
Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/

hepatomegali
Raseola mungkin ditemukan

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa


Demam kontinyu

Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8

kali permenit)
Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung
Hepatomegali dan splenomegali,
Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) dan

kehilangan nafsu makan


Nyeri, distensi perut, meteorismus

Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain:


Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi
Jika keadaan memburuk:
- Disorientasi, bingung, insomnia,
- Komplikasi perdarahan dan perforasi.
F. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil kultur
darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal penyakit
dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur
feses kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik.
Pada pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat
pula terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga
dilakukan dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan
dengan mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun
tes ini kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan falsepositif terjadi.
Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody
yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah
untuk menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid
yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
8

terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula
timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah
sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H
menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan
selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibody. Serum
yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen
Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O ( 1 : 160) menunjukkan adanya
2)

infeksi aktif.
Titer H yang tinggi ( 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah

divaksinasi atau pernah terkena infeksi.


3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Pengobatan dini dengan antibiotik


Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid
Waktu pengambilan darah
Daerah endemik atau non endemik
Riwayat vaksinasi
Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan

demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi


7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah
dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :

1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya
secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah
psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.
G. Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang tepat
merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat dirawat
dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up utnuk mengikuti
perkembangan penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atu kegagalan terapi.
Pasien dengan muntah yang persisten, diare berta dan distensi abdomen memerlukan
perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic parenteral.
Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid. Istirahat
yang adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi ketidakseimbangan
cairan-elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO) harus
diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan pada pasien distensi
abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting untuk meminimalisir komplikasi.
Pengggunaan chloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai angka
kekambuhan masing-masing 5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk demam
tifoid pada anak juga dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba. Berikut
adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid. Sebagai tambahan untuk
antibiotik, terapi suportif juga penting dan pemeliharaan keseimbangan cairan dan
elektrolit juga harus diperhatikan.
Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgBB dosis awal,
diikuti 1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan pada pasien
dengan syok, penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini harus dilakukan dengan
pengawasan .

10

Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid

Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid


11

H. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan
ekstraintestinal.
- Intestinal
- Ekstraintestinal

: peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi


: ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis, hepatitis.

I. Pencegahan
- Higiene peorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
penanganan pembuangan limbah feses.
-

Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid,
terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih
diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari
(hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.

J. Prognosis
Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan
penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi
meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan
munculnya komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak yang
terinfeksi dapat kambuuh setelah respon awal terapi. Individu yang mengekskresikan
S.typhi 3bulan setelah infeksi dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko
untuk menjadi karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya
umur, namun secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi.

12

DAFTAR PUSTAKA

Ganong, WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC.


Garna Herry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
Gunawan, SG, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.Jawetz Ernest et

al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho Edi, Maulani RF.
Jakarta EGC
Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI.

Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology,


Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272
Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III edisi IV. Jakarta FKUI

13

Anda mungkin juga menyukai