Anda di halaman 1dari 8

Khutbah Idul Adha 2016: Memaknai Arti Qurban

.

.
. :

Ikhwn al-Muslimn jamaah Id al-Adha rahimakumullah
Dalam suasana gembira merayakan hari raya iedul adha, kita semua kembali
berkumpul bersama-sama di tempat
ini melantunkan takbir dan tahmid sebagai ungkapan rasa syukur serta terima
kasih kita kehadirat Allah Swt, Kita
mengagungkan dan memuji asma Allah, Tuhan yang Maha Agung lagi Maha
Pengasih dan Maha Penyayang.
Dengan menghayati kalimat takbir dan tahmid ini akan tehunjam pengertian dan
pemahaman ke relung hati kita
masing-masing yang lebih dalam betapa kecil dan kerdilnya kita sebagai
manusia berhadapan dengan kebesaran
serta kekuasaan Allah Swt. Oleh karena itu, kearogansian, kesombongan,
kepongahan, ketakaburran yang
disebabkan oleh kekuasaan, jabatan, kedudukan dan harta, kita campakkan
sebab semuanya itu semu serta tidak
abadi sama dengan kefanaan alam termasuk di dalamnya manusia itu sendiri
yang kedudukannya sebagai elemen
terkecil dari seluruh sistem alam.
Marilah kita membuka mata, telinga dan hati kita, menyaksikan salah satu tanda
kebesaran dan kekuasaan Allah,
sekaligus satu perumpamaan yang sangat besar. Marilah kita melihat bagaimana
umat Islam yang telah kembali
kepada fitrahnya menuju ke tempat dilaksanakannya Salat Id seraya mengingat
akan suatu hari di mana semua
manusia sejak Nabi Adam as. hingga manusia yang terakhir diciptakan Allah
akan dikumpulkan pada suatu hari
yang oleh Allah di dalam al-Qurn disebut yawmun l yanfa ml wal banun,
illa man at Allah bi qalb salm (hari

yang ketika harta dan anak-anak tidak memberi manfaat lagi, kecuali orang
yang datang menghadap Allah dengan
hati yang tenang).

Hari ini adalah hari yang teristimewa, dimana Allah Swt, menamakannya
sebagai hari raya haji atau hari raya
qurban. Karena pada saat ini, jutaan umat Islam yang berasal dari seluruh
penjuru dunia sedang lebur dan
tenggelam dalam melaksanakan ibadah haji dengan mengumandangkan takbir
dan talbiyah silih berganti. Dan pada
hari ini pula, kita mengenang peristiwa sejarah yang agung melibatkan dua
tokoh besar, dua orang rasul Allah yang
tetap akan dikenang sepanjang zaman.
Setiap kali kita merayakan Id Adha, pasti kita akan kembali mengenang sejarah
peristiwa berqurban yang telah
dilakoni oleh dua hamba Allah yang ikhlas melaksanakan perintah Tuhan seperti
yang terlukis dan terpahat dalam
satu rangkuman ayat yang amat sangat indah bahasanya di dalam al-Quran.
Dimana dilukiskan dalam suatu dialog
interaktif antara Nabi Ibrahim a.s. dengan anaknya Nabi Ismail a.s, ditugaskan
untuk mengurbankan putra
kesayangannya.
Ketika Nabi Ismail a.s, menginjak usia remaja (kallolo campedda), sang ayah,
yaitu Nabi Ibrahim a.s, mendapat
perintah langsung dari Allah lewat mimpi yang benar bahwa ia harus
mengurbankan Ismail putra kesayangannya.
Nabi Ibrahim a.s, duduk sejurus termenung memikirkan ujian yang maha berat
yang ia hadapi.
Dapat kita bayangkan sendiri, bagaimana kegembiraan hati sang ayah yang
telah lama mendambakan generasi
pengganti dirinya dari sekian tahun lamanya, dan bagaimana tingkat
kecintaannya terhadap putra tunggal, anak
kandung sibiran tulang, cahaya mata, pelepas rindu, tiba-tiba harus dijadikan
qurban, merenggut nyawa anaknya
oleh tangan ayahnya sendiri.
Tentu, suatu konflik batin yang bergejolak yang tejadi pada diri Nabi Ibrahim
antara kecintaan kepada anak dan
ketaatan memenuhi perintah ilahi. Namun, cintanya kepada Allah jauh lebih
besar dan lebih di atas daripada
cintanaya kepada anak, isteri, harta benda dan materi kedunian lainnya.
Oleh karena itu, Nabi Ibrahim a.s, jauh lebih memilih perintah Allah yang
diwahyukan lewat mimpi yang benar, tanpa

memperhitungkan serta memperdulikan kosekuensi bakal apa yang akan terjadi


sebagai akibat dari pelaksanaan
perintah itu.
Untuk melaksanakan perintah itu, Nabi Ibrahim a.s, mengajuk hati putranya
dengan mengadakan dialog sebagai
bentuk komunikasi efektif antara sang ayah dengan anak dalam rangka
mendidik serta membina hubungan yang
baik yang ditata oleh suatu ikatan batin kasih sayang, ketaatan dan kepatuhan.
Dalam dialognya seperti yang dilukiskan dalam bahasa yang sangat indah dan
menyejukkan di dalam al-Quran:

Wahai anak kandungku, sibiran tulang cahaya mata dan buah hatiku!,
sesungguhnya ayah melihat dalam mimpi
bahwa saya akan menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa yang akan menjadi
keputusan
Ismail sebagai anak yang soleh, patuh dan taat kepada orang tua yang
melahirkan dan membesarkannya,
sepontanitas menjawab:


Wahai ayahku yang tercinta, laksanakanlah apa yang telah Allah perintahkan
kepadamu. Insya Allah, ayahanda
akan menyaksikan sendiri bahwa ananda sabar serta tabah menghadapi ujian
itu.
Dalam suasana peristiwa yang sangat mengharukan itu, dan detik-detik yang
amat menegangkan, sebagaimana
yang kita maklumi bersama bahwa bukanlah Ismail yang tersembelih, karena
dengan kekuasaan dan kasih sayang
Allah, tiba-tiba Ia mengganti dengan seekor kibas besar yang dibawa oleh
malaikat, seperti yang dinyatakan dalam
al-Quran:

Dan Kami tebus dia yaitu Ismail dengan suatu sembelihan yang besar.

Hadirin dan hadirat jamaah id rahimakumullah.
Demikianlah prolog sejarah berqurban, maka sebagai epilog dari peristiwa
penting itu, Allah Swt, mensyariatkan
umat ini bagi orang yang mampu supaya melaksanakan qurban setahun sekali
pada hari raya idul adha.

Pada dasarnya watak universal qurban itu terletak pada dimensi


pembebasannya, melawan dominasi, dan
ketidakadilan, sama persis dengan agenda reformasi yang kita perjuangkan
sekarang ini. Ekspresi bahasa tindakan
tersebut akan hilang manakala qurban dipahami tanpa refleksi perasaan dan
pengalaman mental atas fenomena
aktual.
Berqurban mempunyai dan memiliki makna yang bernilai mulia, bilamana
makna essensi (hakikat) berqurban itu
dapat kita tangkap dengan baik. Jadi, berqurban bukanlah sekedar ritual tanpa
makna, atau teradisi tanpa arti.
Berqurban, harus mampu menggugah perasaan pelakunya untuk menghayati
apa yang tersirat di balik yang
tersurat dari pelaksanaan ritual tersebut.
Menurut pandangan Ali Syariati terhadap peristiwa qurban Ismail mengandung
makna yang sifatnya simbolistik.
Pada dasarnya semua orang bisa saja berperan sebagai Ibrahim yang memiliki
Ismail. Ismail yang kita miliki dapat
berwujud sebagai anak, isteri yang cantik, harta benda yang banyak, pangkat,
kedudukan yang tinggi, pendeknya
segala apa yang kita cintai, yang kita dambakan, yang kita kejar-kejar dengan
rela mempertaruhkan semua yang
kita miliki.
Ismail-ismail yang kita miliki itu, kadang dan bahkan tidak sedikit membuat
kita terlena dan lalai serta terbuai dari
gemerlapan duniawi yang menyebabkan melanggar ketentuan moral, etika dan
agama, sehingga sulit kembali
mengingat Allah swt.
Oleh karena itu, berperanlah sebagai Ibrahim untuk dapat menaklukkan IsmailIsmail itu. Janganlah kita dibelenggu
oleh apa-apa di dunia ini. Janganlah kita dipalingkan dari Tuhan oleh hal-hal
yang pada hakikatnya bersifat semu
dan tidak abadi. Kita boleh memiliki apa saja di dunia ini, asalkan halal.
Boleh saja kita memiliki uang bermilyar-milyar banyaknya asal tidak menipu
dan menyengsarakan orang lain.
Bahkan lebih dari itu kita boleh menguasai dunia ini asal tahu batas kemampuan
kita. Akan tetapi jangan sekali-kali
dunia yang kita cintai ini menjadikan dan membiarkan kita terbuai dan terlena
sehingga lupa hakikat diri kita
sebagai makhluk yang beriman kepada Allah swt. dan sebagai manusia yang
beraqidah.

Apa yang digelar Nabi Ibrahim as. di dalam panggung sejarah peradaban
manusia adalah mengurbankan anaknya
secara manusiawi yang menurut naluri dan pikiran orang biasa bahwa tugas itu
adalah sesuatu yang amat sulit
diterima; akan tetapi buat keluarga Nabi Ibrahim as. hal itu adalah suatu
kebahagiaan dan kemuliaan.
Keluarga Nabi Ibrahim as.justru menyambut tugas itu dengan suka cita lantaran
berkesempatan mengorbankan
sesuatu yang paling berharga bagi dirinya untuk Allah swt., sebagaimana firman
Allah dl QS. Ali Imran (3): 92

Dan tidak dianggap membuat kebajikan seseorang di antara kalian sampai


kamu menginfaqkan apa yang kalian
cintai.
Rasa suka cita yang dialami oleh keluarga Nabi Ibrahim as. untuk berkorban
dilandasi atas pemahaman yang benar
tentang nilai-nilai kehidupan. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala
sesuatu yang ada di dunia ini: anak,
isteri, harta, pangkat dan jabatan semuanya datang dari Allah dan pasti akan
kembali kepada Allah. Oleh sebab itu,
bagaimana pun modelnya perintah Allah harus dilaksanakan sebaik-baiknya
tanpa melihat untung dan rugi
keberadaan dirinya yang membangun diri dan lingkungannya kepada lima
kualitas: kualitas iman yang tinggi,
kualitas taqwa yang kokoh, kualitas intelektual yang hebat, kualitas karsa yang
nyata, dan kualitas karya yang
maju.
Namun sayangnya, pada kenyataannya makna dari kerelaan berqurban masih
kurang mendapat perhatian dan
penghayatan yang memadai, karena masih banyak di antara yang berperan di
bundaran dunia fana ini, cuma
menanti pengorbanan orang lain, bahkan andai kebetulan ia menjadi orang
atasan, berpangkat dan berkedudukan,
maka diperasnya bawahannya agar sudi berkorban baginya demi kenikmatan
egonya, demi prestise kejayaannya
dan lain-lain. Dan sebaliknya, andai manusia semacam itu menjadi bawahan,
maka dibekamnya fitrah citra luhurnya
demi kondite sementara yang disangkanya akan membahagiakan hidup di dunia
dan di akhirat.

Memang dalam kehidupan ini manusia dicoba dengan bermacam-macam ujian


Ismail-Ismail yang sewaktu-waktu
meminta pengorbanan. Ada kalanya pengorbanan tenaga, harta, pengorbanan
perasaan, dan kesenangan bahkan
suatu ketika meningkat pada pengorbanan jiwa. Berkorban jauh lebih baik dan
mulia dari pada menjadi korban.

Penyembelihan qurban merupakan suatu tindakan penundukan dan penguasaan
kecenderungan-kecenderungan
hewani dalam diri manusia itu sendiri yang dalam bahasa agama disebut alnfasu al-ammrah dan al-nafsuallawwamah, yakni keinginan-keinginan rendah yang selalu mendorong atau
menarik manusia ke arah kekejian dan
kejahatan.
Qurban disyariatkan guna mengingatkan manusia bahwa jalan menuju
kebahagiaan membutuhkan pengobanan.
Akan tetapi yang dikorbankan bukan manusia, bukan pula kemanusiaan. Namun
yang dikorbankan adalah
binatang, yang sempurna lagi tidak cacat, sebagai indikasi agar sifat-sifat
kebinatangan yang sering bercokol pada
diri kita harus dienyahkan serta dibuang jauh-jauh.
Misalnya: sifat mau menang sendiri walau dengan menginjak-injak hak orang
lain, sikap tamak dan rakus walau
kenyang dari kelaparan orang lain, bahagia dan senang walau menari-menari di
atas penderitaan orang lain, mabuk
kuasa dengan ambisi yang tidak terkendali, sombong, serta angkuh, iri hati dan
dengki, tidak rela disaingi, tidak mau
dikritik, tidak mampu mendengar nasihat dan lain sebagainya.
Hikmat inilah yang diajarkan dalam berqurban, seperti dalam firman Allah swt.
QS. Al-Hajj (22): 37

Daging-daging dan darah binatang qurban itu tidak akan sampai kepada Allah,
tetapi apa yang akan sampai
kepadaNya hanyalah ketaqwaan. Demikianlah dia memperuntukkan binatang
ternak itu bagiMu semoga kamu
mengagungkan Allah. Allah berkenan dengan petunjukNya kepadamu, lalu
berikanlah berita gembira kepada orangorang yang membuat kebajikan.
Hadirin dan hadirat yang berbahagia,

Di samping itu, lewat ajaran perintah berqurban, islam mengajarkan, mendidik,


serta menyadarkan umat ini
bagaimana membangkitkan kepekaan dan kepedulian sosial kita kepada sesama
saudara kita yang lain, yaitu
membantu terbinanya pengentalan persaudaraan yang hakiki, cinta kasih dan
tanggung jawab antara sesama
ummat, serta terwujudnya pemerataan pendistribusian protein hewani untuk
meningkatkan gizi masyarakat dalam
rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga dapat
meningkatkan pengabdian-nya
kepada Allah dan sesamanya.

5/6
Sebagai penutup dari uraian khutbah ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Manusia tidak dibenarkan menqorbankan manusia lainnya untuk sesuatu
kepentingan, sekalipun adalah
kepentingan Tuhan.
2. Seseorang dituntut berkorban, baik harta, jabatan dan kedudukan, bahkan
jiwa sekalipun, tetapi jangan sekalikali membawa efek yang merugikan orang lain. Prinsipnya, lebih baik
berkorban dari pada mengorbankan atau jadi
korban orang lain.
3. Nilai pengorbanan tidak dilihat dari kuantitas, tetapi dari niat dan kualitas
ketulusan dan keikhlasan.
4. Makna lain dari berqurban adalah upaya mereformasi diri sendiri dengan
jalan menyembelih serta membunuh
watak dan tabiat hewaniyah yang kita miliki, seperti: mau menang sendiri,
tamak dan rakus serta bakhil, gila
kekuasaan, ambisi yang tidak terekendali, sombong dan arogansi, iri hati dan
dengki, tidak mau mendengar kritikan
dan nasehat, dan lain-lain sebagainya dari segala sifat yang tidak terpuji.
5. Ibadah qurban mengandung aspek ilahiah, di samping aspek insaniah. Dalam
aspek insaniah (sosial) adalah
menumbuhkan kekentalan persaudaraan (silaturrahim) dan meningkatkan
protein dalam rangka mendorong semangat pengabdian kepada Allah dan
sesama manusia lainnya.

Hadirin hadirat rahimakumullah,


Mengakhiri khotbah kita pada kesempatan ini, marilah kita bersama-sama
memusatkan ingatan kita kepada Allah
seraya mengangkat tangan dan memohon doa ke hadirat-Nya.
Ya Allah, ya Tuhan kami, pada hari ini kami berkumpul merayakan hari yang
Engkau agungkan, hari yang sangat
bersejarah dalam kehidupan umat manusia, khususnya manusia yang mengakui
keberadaan dan kemahabesaranMu. Oleh karena itu ya Allah, kami bermohon kepadamu, kiranya senantiasa
berkenan melimpahkan rahmat dan
kasih sayang kepada kami sehingga kami mampu menjalankan semua yang
engkau perintahkan dan meninggalkan
semua larangan-Mu.
Ya Allah, ya Tuhan kami, Tuhan yang senantiasa mendengarkan semua
pengaduan hambanya, anugrahilah kami
rezeki yang mulia serta hati yang ikhlas untuk senantiasa rela berkorban demi
memenuhi panggilan-Mu.
Ya Allah, anugrahkan pula kepada kami hati yang pandai bersyukur, sehingga
kami dapat mensyukuri segala nikmat
yang telah Engkau berikan kepada kami. Kami bermohon pula, kiranya Engkau
memberikan kesabaran dan
ketabahan dalam menghadapi cobaan-cobaan dunia seperti berbagai krisis yang
sedang dihadapi oleh bangsa
Indonesia sekarang ini, dan hanya bantuan-Mulah yang senantiasa kami
harapkan untuk mengatasinya.
Ya Allah ya Tuhan kami, limpahkanlah rezeki yang Engkau berkati dan
jadikanlah rezeki itu sebagai alat untuk
memperkokoh silaturahmi di antara kami, dan bukan menjadi bala atau
ssumber bencana atas kami.
Ya Allah, ya gaffr ya Rahman, ya Rahim, ampunilah dosa dan kesalahan kami,
ampunilah segala dosa dan
kesalahan ayah dan ibu kami, sayangilah mereka sebagaimana mereka
menyayangai dan mendidik kami sewaktu
kecil.
Ya Allah, ya Mujibassailin, perkenankanlah semua permintaan kami.

Anda mungkin juga menyukai