Anda di halaman 1dari 37

Laporan Praktikum

Laboratorium Teknik Material 2


Modul B Proses Penguatan Logam (Metal Hardening)

Laboratorium Metalurgi dan Teknik Material


Program Studi Teknik Material
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini banyak sekali material logam yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu alasan dari penggunaan material logam
adalah karena sifat mekaniknya yang relatif baik dibandingkan dengan
material lainnya. Namun, pada dasarnya sifat mekanik logam murni tidak
begitu bagus, sehingga dilakukanlah alloying pada logam untuk meningkatkan
kekuatannya, contohnya adalah paduan Fe-C dan Al-Cu.
Alloying yang dihasilkan memiliki sifat mekanik yang berbeda-beda
tergantung dari komposisinya, mekanisme pengerasan yang dilakukan pun
berbeda-beda. Contohnya paduan Fe-C dapat dikeraskan melalui heat
treatment guna memunculkan fasa martensite yang kuat, dan paduan Al-Cu
yang dapat dikeraskan dengan cara memunculkan presipitat Al2Cu yang dapat
menghalangi pergerakan dislokasi.
Semua logam yang dihasilkan akan diproses lebih lanjut untuk diubah
menjadi suatu barang jadi. Proses pengerjaan yang biasa dilakukan adalah
proses pengerjaan dingin (cold-work) dimana proses tersebut dilakukan pada
temperatur yang relatif rendah (dibawah temperatur rekristalisasi logam).
Namun, karena sifat logam yang keras, maka keuletannya menurun dan
cenderung bersifat getas. Oleh karena itu perlu dilakukan proses lanjutan
untuk memperbaiki sifat logam yang getas akibat proses cold-work berupa
annealing treatment.

Page 2 of 37

1.2 Tujuan Praktikum


Tujuan dari Praktikum Metal Hardening adalah :
1. Mengukur dan membandingkan nilai kekerasan spesimen baja karbon
rendah dan baja karbon tinggi sebelum dan setelah diberi perlakuan panas
dan quenching di dalam air.
2. Mengetahui pengaruh komposisi karbon pada spesimen baja karbon
terhadap nilai kekerasan akhir yang dihasilkan.
3. Mengukur dan membandingkan nilai kekerasan spesimen paduan Al-Cu
sebelum dan setelah diberi perlakuan panas.
4. Mengetahui pengaruh waktu pemanasan kembali (aging) terhadap nilai
kekerasan spesimen paduan Al-Cu.
5. Mengukur dan membandingkan nilai kekerasan spesimen tembaga
sebelum dan setelah diberi perlakuan panas.
6. Mengetahui pengaruh temperatur pemanasan kembali terhadap nilai
kekerasan spesimen tembaga.
7. Mengetahui pengaruh deformasi plastis terhadap temperatur rekristalisasi
spesimen tembaga.
8.

Page 3 of 37

BAB II
TEORI DASAR
2.1 Kekerasan
Kekerasan adalah ketahanan suatu material terhadap deformasi plastis
lokal. Deformasi plastis lokal adalah perubahan bentuk suatu material secara
permanen pada daerah tertentu saja.
Semakin tinggi nilai kekerasan suatu material, maka semakin keras
material tersebut. Namun, apabila suatu material bersifat keras, belum tentu
material tersebut juga bersifat kuat. Kekerasan adalah kemampuan suatu material
untuk menahan deformasi plastis lokal, sedangkan kekuatan adalah kemampuan
suatu material untuk menahan deformasi plastis global.
2.2 Metode Pengerasan Pada Logam
Proses pengerasan pada logam pada dasarnya berhubungan dengan
pergerakan dislokasi. Kemampuan suatu logam untuk terdeformasi plastis
dipengaruhi oleh kemampuan logam untuk menggerakan dislokasinya. Oleh
karena itu dalam proses pengerasan logam hal yang dilakukan adalah
menghambat pergerakan dislokasi sehingga logam tersebut akan lebih sulit untuk
terdeformasi plastis.
Metode yang digunakan untuk menghambat pergerakan dislokasi pada
praktikum ini adalah sebagai berikut :
1. Martensite Hardening
Baja karbon dapat ditingkatkan nilai kekerasannya dengan cara
memunculkan fasa martensite melalui proses perlakuan panas (heat
treatment). Fasa martensite adalah fasa pada baja karbon yang bersifat sangat
keras, namun bukan termasuk kedalam fasa yang ada pada kesetimbangan.
Dengan adanya fasa martensite yang keras, pergerakan dislokasi menjadi
terhalang sehingga menurunkan kemampuan logam untuk terdeformasi
plastis.

Page 4 of 37

Heat treatment adalah proses pengubahan sifat logam, terutama baja


karbon, dengan cara mengubah struktur mikronya melalui pemanasan hingga
mencapai temperatur austenisasinya dan pengaturan laju pendinginan.
Dalam proses heat treatment, baja karbon dipanaskan hingga mencapai
temperatur austenisasinya. Setelah temperatur austenisasinya tercapai, maka
akan terbentuk fasa 100% austenite pada baja tersebut. Setelah fasa austenite
terbentuk, baja tersebut dibiarkan pada temperatur tersebut dengan durasi
tertentu agar temperatur pada seluruh bagian baja tersebut homogen. Setelah
temperatur pada baja homogen, dilakukanlah pendinginan secara cepat
(quenching) dalam suatu media. Proses quenching ini menyebabkan
transformasi fasa austenite menjadi fasa martensite, dimana struktur FCC
austenite bertransformasi menjadi struktur BCT yang dimiliki oleh
martensite.
Pada transformasi austenite menjadi martensite, struktur FCC yang
dimiliki austenite akan disisipi oleh atom-atom C dan membentuk struktur
BCT yang dimiliki martensite.

(Sumber : www.materia.coppe.ufrj.br)
Gambar 1. Struktur Body Centered Tetragonal fasa Martensite

Media quenching yang biasa digunakan adalah air, larutan NaOH, dan oli,
dimana setiap media memiliki kecepatan pendinginan yang berbeda-beda.
Kecepatan pendinginan media quenching dipengaruhi oleh :
1. Temperatur media
2. Panas spesifik
3. Panas penguapan
4. Konduktivitas thermal
5. Viskositas
6. Agitasi
2. Precipitation Hardening

Page 5 of 37

Precipitation Hardening adalah metode pengerasan logam dengan cara


membentuk presipitat yang tersebar halus di dalam matriks base metalnya.
Logam paduan yang dapat ditingkatkan kekerasannya adalah logam paduan
yang dapat membentuk larutan lewat jenuh yang ketika dilakukan proses
aging dapat membentuk presipitat. Presipitat yang terbentuk dan tersebar di
dalam butir ini dapat menghambat pergerakan dislokasi sehingga nilai
kekerasan paduan logamnya meningkat. Contoh paduan yang dapat
ditingkatkan nilai kekerasannya dengan metode ini adalah Al-Cu, Co-Be, CoSn, dan Mg-Al.
Precipitation hardening memanfaatkan sifat kelarutan suatu unsur pada
unsur lain di dalam paduannya, dimana persen kelarutan unsur paduannya
harus cukup besar di dalam komponen lainnya, dan mengingat batas kelarutan
yang menurun dengan cepat seiring dengan penurunan suhu. Oleh sebab itu,
jumlah unsur paduan yang dapat ditambahkan untuk dijadikan presipitasi
tidak boleh melebihi batas komposisi kelarutan maksimum, karena kalau
melebihi komposisi kelarutan maksimum, maka presipitat tidak akan
terbentuk.

(Sumber : Callister, William D. Materials and Science Engineering An Introduction, 6th


edition. John Wiley & Sons, Inc. 2003.)
Gambar 2. Proses Precipitation Hardening

Proses precipitation hardening terdiri dari dua tahap, yaitu :


1. Solution Heat Treating
Pada tahap ini, paduan dipanaskan hingga mencapai T o dimana
pada temperatur To fasa larut di dalam fasa . Setelah fasa
terbentuk, paduan ditahan pada temperatur To untuk beberapa saat
dengan tujuan menjamin fasa sudah sepenuhnya larut dan fasa yang ada

Page 6 of 37

adalah 100% fasa . Setelah itu, paduan didinginkan dengan cepat


(quench) hingga mencapai temperatur T1, dimana pada temperatur T1
difusi sangat sulit terjadi sehingga terbentuk larutan padat lewat jenuh
dengan atom B didalamnya. Pada T1, paduan yang dihasilkan relatif
lunak dan lemah, oleh karena itu masih harus diberi perlakuan lanjutan.
2. Precipitation Heat Treating
Pada tahap ini, larutan padat lewat jenuh dipanaskan hingga
mencapai temperatur T2. Temperatur T2 memungkinkan terjadinya difusi
sehingga atom B terdifusi dan membentuk presipitat. Setelah presipitat
terbentuk, dilakukan penahanan selama beberapa waktu pada temperatur
T2 dengan tujuan menyeragamkan ukuran butir dan distribusi presipitat
yang terbentuk (aging). Setelah itu, paduan didinginkan kembali hingga
mencapai temperatur ruang.
Dalam prosesnya, waktu pemanasan sangat mempengaruhi nilai
kekerasan paduan. Apabila waktu yang diterapkan terlalu lama, maka akan
terjadi overaging.Overaging adalah aging yang melebihi titik kekuatan dan
kekerasan maksimum dari paduan tersebut.

(Sumber : Callister, William D. Materials and Science Engineering An Introduction, 6th


edition. John Wiley & Sons, Inc. 2003.)
Gambar 3. Hubungan Aging Time dengan Kekerasan

Page 7 of 37

(Sumber : http://www.slideshare.net/VendiSupendi/ppt-presipitation-hardening )
Gambar 4. Hubungan Aging Time dengan Kekerasan Beserta Perubahan Struktur
Mikronya

Apabila overaging terjadi, makan akan terbentuk fasa dan yang


akan menurunkan nilai kekerasan paduan tersebut.

(Sumber : Callister, William D. Materials and Science Engineering An Introduction, 6th


edition. John Wiley & Sons, Inc. 2003.)
Gambar 5. Tahapan Pembentukan Fasa

Mekanisme

pengerasan

pada

precipitation

hardening

dapat

digambarkan melalui precipitation hardening pada paduan Al-Cu. Pada


gambar (a) terdapat atom Cu pada larutan padat lewat jenuh dengan
posisi yang tidak beraturan. Apabila dipanaskan, maka atom Cu akan
berdifusi membentuk suatu partikel transisi berupa fasa dan
menyebabkan distorsi lattice seperti pada gambar (b). Distorsi lattice yang
terjadi dapat menghambat pergerakan dislokasi sehingga nilai kekerasan
paduan. Apabila waktu pemanasan terlalu lama, maka atom Cu akan terus
berdifusi dan berubah menjadi fasa , dimana fasa tidak efektif untuk
meningkatkan kekerasan paduan.

Page 8 of 37

2.3 Annealing Treatment


Material logam yang mengalami deformasi plastis pada temperatur yang
rendah (cold work) akan mengalami perubahan butir disertai dengan kenaikan
kekuatan dan kekerasannya. Peningkatan kekuatan dan kekerasan tersebut
disebabkan oleh bertambahnya jumlah dislokasi di dalam butir, namun keuletan
dan ketangguhannya menurun sehingga material akan cenderung bersifat getas.
Oleh karena itu, dilakukanlah proses annealing (pemanasan) untuk memperbaiki
sifat keuletan suatu material logam.
Proses annealing treatment terdiri dari 3 tahap, yaitu :
a. Recovery
Pada saat recovery terjadi, internal strain energy yang ada di dalam
butir dilepaskan melalui pergerakan dislokasi karena adanya difusi atom
akibat adanya pemanasan yang dilakukan. Recovery menghasilkan butir
yang memiliki internal strain energy dan dislokasi yang lebih sedikit
sehingga sifat elektrik dan konduktivitas thermal logam meningkat.
b. Recrystallization
Rekristalisasi adalah pembentukan butir equiaxial baru yang bebas
regangan dan memiliki kerapatan dislokasi yang rendah. Pembentukan
butir baru ini terjadi akibat adanya perbedaan energi antara butir yang
memiliki regangan dan butir yang sudah tidak memiliki regangan. Butir
baru terbentuk dari inti yang kecil yang akan tumbuh hingga
menggantikan butir yang lama akibat adanya difusi atom.
Pada saat proses ini terjadi, sifat kekuatan material menurun, namun
keuletannya meningkat. Rekristalisasi sendiri merupakan proses yang
dependen terhadap waktu, dimana semakin lama waktu yang diterapkan,
maka ukuran butir yang dihasilkan akan semakin besar. Dengan semakin
membesarnya ukuran butir, keuletannya akan semakin meningkat, tapi
kekuatannya menurun.

Page 9 of 37

(Sumber : Callister, William D. Materials and Science Engineering An


Introduction, 6th edition. John Wiley & Sons, Inc. 2003.)
Gambar 6. Hubungan Temperatur terhadap Kekuatan, Keuletan, dan
Ukuran Butir Logam

Untuk logam murni, biasanya memiliki temperatur rekristalisasi 0.4T m


dimana Tm adalah temperatur lelehnya. Sedangkan untuk logam paduan,
temperatur reksristalisasinya sekitar 0.7Tm.
Temperatur rekristalisasi sendiri dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut
:
1.

Recovery
Semakin besar recovery yang terjadi, kecenderungan butir

untuk rekristalisasi menurun sehingga Trec meningkat.


2. Deformasi Plastis
Semakin banyak deformasi plastis yang dihasilkan dari
proses cold-work, semakin banyak pula energi yang tersimpan di
dalam butir sehingga akan lebih mudah untuk rekristalisasi.
Karena rekristalisasi semakin mudah untuk dilakukan, maka T rec
3.

menurun.
Kemurnian Logam
Kehadiran impurities dan partikel second phase dapat
menghambat pergerakan batas butir sehingga proses rekristalisasi

Page 10 of 37

menjadi terhambat. Karena reksritalisasi lebih sulit untuk terjadi,


makan Trec meningkat.
c. Grain Growth
Setelah proses rekristalisasi selesai, butir baru yang dihasilkan dari
proses rekristalisasi akan mengalami pertumbuhan seiring berjalannya
waktu. Driving force proses grain growth adalah reduksi dari energi total
batas butir.
Pertumbuhan butir ini sebisa mungkin dihindari, dan hanya digunakan
untuk homogenisasi ukuran butir karena berdasarkan persamaan HallPetch, kekuatan suatu material berbanding terbalik dengan ukuran
butirnya.
y = o + k y d

1
2

Dimana :
y = kekuatan material

ky = konstanta

d = diameter butir

o = konstanta

2.4 Diagram Fasa Fe-C

(Sumber : Callister, William D. Materials and Science Engineering An Introduction, 6th edition.
John Wiley & Sons, Inc. 2003.)
Gambar 7. Diagram Fasa Baja Karbon (Fe-C)

Diagram fasa adalah diagram yang menghubungkan temperatur,


komposisi, dan daerah stabil suatu fasa dalam kondisi kesetimbangan.

Page 11 of 37

Diagram diatas merupakan diagram fasa baja karbon (Fe-C). Diagram


tersebut menunjukan perubahan fasa atau fasa yang akan terbentuk apabila suatu
baja karbon didinginkan atau dipanaskan dengan laju yang lambat dengan
komposisi tertentu.
Pada paduan baja karbon, terdapat beberapa fasa sebagai berikut :
a. Austenite
Austenite adalah salah satu fasa pada baja karbon yang memiliki
struktur sel satuan FCC dan merupakan polimorf dari fasa ferrite.
b. Pearlite
Pearlite adalah mikrostruktur yang terdiri dari dua buah fasa, yaitu
fasa ferrite dan cementite yang dihasilkan melalui transformasi fasa
austenite pada temperatur dibawah 727oC (Teutektoid).

c. Ferrite
Ferrite adalah fasa pada baja karbon yang memiliki struktur sel
satuan BCC yang stabil pada temperatur kamar hingga mencapai
temperatur 912oC.
d. Bainite
Bainite adalah mikrostruktur yang terbentuk dari transformasi fasa
austenite pada temperatur diantara temperatur transformasi pearlite dengan
martensite. Mikrostrukturnya terdiri dari fasa ferrite dan dispersi halus
cementite.
e. Martensite
Martensite adalah fasa pada baja karbon yang bersifat semi-stabil,
terbentuk dari karbon lewat jenuh, dan bukan termasuk kedalam fasa pada
kesetimbangan baja karbon karena tidak diperoleh melalui proses difusi.
2.3 Diagram CCT dan Diagram TTT
Dalam proses perlakuan panas pada baja, terdapat berbagai macam proses
transformasi fasa. Untuk mengetahui fasa apa yang akan terbentuk akibat
pemanasan yang dilakukan sebagai fungsi waktu, digunakanlah diagram CCT dan
TTT.
1. Diagram CCT
Diagram CCT (Continuous Cooling Transformation) adalah diagram yang
menghubungkan temperatur dengan waktu untuk baja karbon dengan

Page 12 of 37

komposisi tertentu yang digunakan untuk menunjukkan proses transformasi


yang terjadi apabila terus didinginkan dengan kecepatan pendinginan yang
konstan.
Diagram CCT diturunkan dari diagram fasa Fe-C itu sendiri. Diagram
CCT dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan posisi komposisinya terhadap titik
eutektoid :

a. Diagram CCT Baja Hipoeutectoid (C < 0.76%)

(Sumber : Dokumen Pribadi)


Gambar 8. Diagram CCT Baja Hipoeutectoid

Berdasarkan diagram diatas, apabila fasa didinginkan, maka


akan bertransformasi menjadi fasa proeutektoid + proeutektoid. Jika didinginkan
lebih lanjut, maka fasa tersebut akan bertransformasi kembali menjadi fasa
pearlite + fasa proeutektoid isa + fasa proeutektoid sisa.
Karena komposisi karbonnya rendah, maka hidung kurva letaknya
akan sangat dekat dengan sumbu y. Hal ini menandakan bahwa pada
komposisi tersebut, sangat sulit untuk membentuk fasa martensite.
b. Diagram CCT Baja Eutectoid (C = 0.76%)

Page 13 of 37

(Sumber : Dokumen Pribadi)


Gambar 9. Diagram CCT Baja Eutectoid

Berdasarkan diagram diatas, apabila fasa didinginkan, maka


akan bertransformasi menjadi fasa eutektoid + Pearlite.
Karena komposisi karbonnya medium, maka hidung kurva
letaknya akan sedikit ke kanan. Hal ini menandakan bahwa pada
komposisi tersebut, memungkinkan untuk membentuk fasa martensite
apabila didinginkan secara cepat.

c. Diagram CCT Baja Hipereutectoid (C > 0.76%)

(Sumber : Dokumen Pribadi)


Gambar 10. Diagram CCT Baja Hipereutectoid

Berdasarkan diagram diatas, apabila fasa didinginkan, maka


akan bertransformasi menjadi fasa Pearlite + proeutektoid + Fe3CProeutektoid. Jika
laju pendinginannya lebih cepat, maka akan terbentuk fasa martensite.
Karena komposisi karbonnya tinggi, maka hidung kurva letaknya
akan cenderung ke kanan. Hal ini menandakan bahwa pada komposisi

Page 14 of 37

tersebut, mudah untuk membentuk fasa martensite (tidak memerlukan laju


pendinginan yang sangat cepat).

2. Diagram TTT

(Sumber : Callister, William D. Materials and Science Engineering An Introduction, 6th


edition. John Wiley & Sons, Inc. 2003.)
Gambar 11. Diagram TTT Baja Karbon Eutektoid

Diagram TTT atau Time-Temperature-Transformation adalah diagram


yang menghubungkan temperatur dengan waktu untuk baja karbon dengan
komposisi tertentu yang digunakan untuk menunjukkan proses transformasi
yang terjadi apabila didinginkan pada temperatur konstan.

Page 15 of 37

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pengerasan Baja Karbon
Metode yang digunakan dalam pengujian pengerasan baja karbon adalah
sebagai berikut :

Menyiapkan 2 buah spesimen yang terdiri dari baja karbon rendah dan baja karbon tinggi

Mengukur kekerasan awal tiap spesimen

Memanaskan spesimen pada temperatur austenisasinya selama 30 menit

Melakukan proses quenching ke dalam air

Mengukur kekerasan akhir tiap spesimen

3.2 Precipitation Hardening Pada Paduan Al-Cu

Page 16 of 37

Metode yang digunakan dalam pengujian percipitation hardening pada


paduan Al-Cu adalah sebagai berikut :

Menyiapkan 4 buah spesimen paduan Al-Cu

Memanaskan spesimen sampai temperatur 550oC selama 12 jam lalu melakukan quench ke dalam air (suda

Mengukur kekerasan awal tiap spesimen

Memanaskan spesimen pada temperatur 200oC masing-masing 10, 30, 60, dan 120 menit

Melakukan quenching di dalam air

Mengukur kekerasan akhir tiap spesimen

Membuat kurva kekerasan vs. waktu aging

Page 17 of 37

3.3 Rekristalisasi
Metode yang digunakan dalam pengujian rekristalisasi adalah sebagai
berikut :

en tembaga pada temperatur 800oC lalu mendinginkannya di udara dan melakukan pengerolan dengan redu

Memberi tanda pada tiap spesimen dengan nomor 1, 2, 3, 4, 5, dan 6

Mengukur kekerasan awal salah satu spesimen

a 120 menit. Memanaskan spesimen no 2, 3, 4, dan 5 berturut-turut selama 10, 15, 30, 45, dan 60 menit. Me

Mengukur kekerasan akhir tiap spesimen setelah melakukan pendinginan

Page 18 of 37

BAB IV
DATA PERCOBAAN DAN PENGOLAHAN DATA
4.1 Data Percobaan
a. Spesimen Baja Karbon
Indentor
: Intan (HRA)
Load
: 60 kg

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kekerasan Spesimen Baja Karbon

Baja Karbon
Kotak
Bulat

T (oC)
800
800

t (menit)
30
30

HRAwal
46.45
60.40

HRAkhir
67.00
73.90

b. Spesimen Paduan Al-Cu


Indentor
: Bola Baja 1/8 in (HRE)
Load
: 100 kg
Tabel 2. Hasil Pengukuran Kekerasan Spesimen Paduan Al-Cu

Al-Cu
1
2
3
4

T (oC)
200
200
200
200

t (menit)
10
30
60
200

HRAwal
67.47
67.47
67.47
67.47

HRAkhir
71.50
73.40
72.75
68.50

c. Spesimen Tembaga
Indentor
: Bola Baja 1/8 in
Load
: 100 kg (HRE) dan 60 kg (HRH)

Page 19 of 37

Tabel 3. Hasil Pengukuran Kekerasan Spesimen Tembaga

Tembaga
1
2
3
4
5
6

T (oC)
800
400
400
400
400
100

t (menit)
200
10
15
45
60
90

HRAwal (HRE)
65.9
65.9
65.9
65.9
65.9
65.9

HRAkhir (HRH)
35.10
43.00
42.00
39.10
40.25
79.00

Page 20 of 37

4.2 Pengolahan Data


Berdasarkan data percobaan, diketahui nilai kekerasan masing-masing
spesimen sebelum dan setelah diberi pelskusn. Untuk spesimen baja karbon,
variabel bebasnya adalah komposisi baja karbon, untuk spesimen paduan Al-Cu
variabel bebasnya adalah waktu pemanasan, dan untuk spesimen tembaga variabel
bebasnya adalah temperatur pemanasan dan waktu pemanasan.
Untuk hasil percobaan spesimen paduan Al-Cu dapat diplotkan kedalam
grafik nilai kekerasan vs. waktu sebagai berikut :
Grafik 1. Hubungan Waktu dengan Nilai Kekerasan Spesimen Paduan Al-Cu

Hubungan Waktu dengan Nilai Kekerasan Spesimen Paduan Al-Cu pada T = 200o C

Nilai Kekerasan (HRA)

Waktu (menit)

Page 21 of 37

BAB IV
ANALISIS DATA
Pada praktikum kali ini, dilakukanlah tiga jenis metode untuk
memperbaiki sifat suatu logam, yaitu martensite hardening dan precipitation
hardening untuk meningkatkan kekerasan spesimen logam, dan annealing
treatment untuk meningkatkan keuletan spesimen logam. Spesimen yang
digunakan adalah baja karbon, paduan Al-Cu, dan tembaga.
Untuk spesimen baja karbon, terdapat dua buah spesimen, yaitu baja
karbon dengan bentuk bulat dan baja karbon dengan bentuk kotak. Kedua
spesimen tersebut memiliki komposisi karbon yang berbeda. Spesimen tersebut
diukur nilai kekerasannya terlebih dahulu dengan menggunakan metode uji keras
rockwell. Dari hasil pengukuran didapat nilai kekerasan awal untuk baja karbon
kotak adalah 46.45 HRA dan untuk baja karbon bulat adalah 60.40 HRA.
Berdasarkan nilai kekerasan awalnya, dapat diketahui bahwa baja karbon kotak
adalah baja karbon rendah, sedangkan baja karbon bulat adalah baja karbon tinggi.
Spesimen baja karbon tersebut akan dikeraskan dengan metode martensite
hardening, yaitu memunculkan fasa martensite yang bersifat kuat. Spesimen
dipanaskan pada temperatur 800oC dimana temperatur tersebut merupakan
temperatur austenisasi selama 30 menit lalu di quenching ke dalam air. Setelah
diberi perlakuan, kedua spesimen diukur kembali kekerasannya. Spesimen baja
karbon kotak mengalami peningkatan kekerasan sebesar 44%, yaitu dari 46.45
HRA menjadi 67 HRA, begitupun dengan spesimen baja karbon bulat, yaitu
mengalami peningkatan kekerasan sebesar 22% dari 60.4 HRA menjadi 73.9
HRA.
Berdasarkan hasil percobaan, diketahui bahwa peningkatan kekerasan
spesimen baja karbon rendah (peningkatan kekerasan 44%) lebih besar
dibandingkan dengan spesimen baja karbon tinggi (peningkatan kekerasan 22%).

Page 22 of 37

Hal tersebut disebabkan oleh pada baja karbon tinggi, semua rongga oktahedral
yang dimiliki oleh struktur kristal FCC austenite telah diisi oleh atom C, sehingga
atom C yang lain juga mengisi rongga tetrahedral. Pengisian atom C pada rongga
tetrahedral akan membentuk struktur sel satuan FCC dan membentuk austenite
sisa. Karena austenite sisa terbentuk maka kenaikan nilai kekerasan pada
spesimen baja karbon tinggi tidak sebesar kenaikan kekerasan pada spesimen baja
karbon rendah yang mungkin tidak menghasilkan atau lebih sedikit menghasilkan
fasa austenite sisa. Selain itu, berdasarkan diagram CCT baja karbon rendah dan
baja karbon tinggi, martensite akan lebih sulit untuk terbentuk sepenuhnya apabila
komposisi karbonnya tinggi karena temperatur martensite finish nya sangat
rendah.
Untuk spesimen paduan Al-Cu, metode pengerasan yang akan digunakan
adalah precipitation hardening, yaitu memunculkan presipitat di dalam butirnya.
Pada spesimen Al-Cu 1 yang dipanaskan selama 10 menit dan spesimen Al-Cu 2
yang dipanaskan selama 30 menit terdapat kenaikan nilai kekerasan. Pada menit
ke 10 hingga 30 keberadaan presipitat masih dapat menghambat pergerakan
dislokasi. Namun, pada spesimen Al-Cu 3 yang dipanaskan selama 60 menit dan
spesimen Al-Cu 4 yang dipanaskan selama 200 menit, terjadi penurunan nilai
kekerasan. Penurunan nilai kekerasan tersebut disebabkan karena terjadi
overaging sehingga butir Al2Cu terus membesar dan menyebabkan menurunnya
nilai kekerasan spesimen.
Berdasarkan literatur[7] diketahui temperatur leleh tembaga adalah 1084 oC,
sehingga diketahui temperatur rekristalisasinya sekitar 542oC. Spesimen tembaga
1 dipanaskan melebihi temperatur rekristalisasinya dengan waktu yang lama,
sehingga nilai kekerasannya merupakan yang paling rendah diantara spesimen
lainnya, yaitu 35.10 HRH. Hal tersebut disebabkan oleh spesimen yang tidak
hanya mengalami rekristalisasi, namun grain growth yang berlebihan sehingga
menurunkan nilai kekerasan spesimen.
Spesimen tembaga nomor 2, 3, dan 4 yang dipanaskan pada temperatur
400oC memiliki nilai kekerasan akhir yang berbeda-beda akibat perbedaan waktu
pemanasan tiap spesimen. Pada temperatur 400oC spesimen sudah mengalami

Page 23 of 37

rekristalisasi, karena nilai kekerasan akhir yang dihasilkan tidak jauh berbeda
dengan nilai kekerasan akhir spesimen yang dipanaskan melebihi temperatur
rekristalisasinya (43 HRH; 42 HRH; 39.1 HRH; 40,25 HRH). Penurunan
temperatur rekristalisasi ini disebabkan oleh perlakuan cold work yang diberikan
kepada spesimen yang memberikan cukup banyak deformasi plastis (pengerolan
dengan reduksi sebesar 50%). Semakin banyak deformasi plastis yang diberikan,
maka akan semakin banyak pula energi yang tersimpan di dalam butir sehingga
akan lebih mudah untuk rekristalisasi. Karena rekristalisasi semakin mudah untuk
dilakukan, maka Trec menurun.
Pada pemanasan 400oC terdapat ketidakteraturan nilai kekerasan akhir
pada spesimen tembaga 4. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakakuratan dalam
pengukuran nilai kekerasan spesimen, dimana indentasi tidak dilakukan dengan
jarak minimal 3-5x diameter indentor (foto dilampirkan).
Spesimen tembaga 6 dipanaskan pada temperatur 100 oC selama 90 menit
memiliki nilai kekerasan akhir yang paling tinggi diantara semua spesimen, yaitu
79 HRH. Hal tersebut disebabkan oleh pada temperatur 100 oC spesimen hanya
mengalami proses recovery dimana internal strain energy mulai berkurang dan
jumlah dislokasi mengalami sedikit penurunan sehingga nilai kekerasannya masih
cukup tinggi.

Page 24 of 37

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari pengujian metal hardening adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, diperoleh nilai kekerasan
spesimen baja karbon sebelum dan setelah diberi perlakuan sebagai berikut :
Baja Karbon
Kotak
Bulat

HRAwal (HRA)
46.45
60.40

HRAkhir (HRA)
67.00
73.90

2. Komposisi karbon pada spesimen baja karbon dapat mempengaruhi nilai


kekerasan spesimen baja karbon setelah diberi perlakuan panas. Peningkatan
nilai kekerasan akan lebih efektif terjadi pada spesimen baja karbon rendah
atau medium dibandingkan dengan spesimen baja karbon tinggi.
3. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, diperoleh nilai kekerasan
spesimen paduan Al-Cu sebelum dan setelah diberi perlakuan sebagai
berikut :
Al-Cu
1
2
3
4

T (oC)
200
200
200
200

t (menit)
10
30
60
200

HRAwal (HRE)
67.47
67.47
67.47
67.47

HRAkhir (HRE)
71.50
73.40
72.75
68.50

4. Waktu aging dapat mempengaruhi nilai kekerasan spesimen paduan Al-Cu.


Apabila waktu aging melebihi waktu maksimumnya, maka akan terjadi
penurunan nilai kekerasan akibat membesarnya ukuran butir presipitat.

5. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, diperoleh nilai kekerasan


spesimen tembaga sebelum dan setelah diberi perlakuan sebagai berikut :
Tembaga
1
2
3

T (oC)
800
400
400

t (menit)
200
10
15

HRAwal (HRE)
65.9
65.9
65.9

HRAkhir (HRH)
35.10
43.00
42.00
Page 25 of 37

4
5
6

400
400
100

45
60
90

65.9
65.9
65.9

39.10
40.25
79.00

6. Temperatur pemanasan mempengaruhi nilai kekerasan spesimen tembaga.


Apabila temperatur pemanasan yang dilakukan dibawah temperatur
rekristalisasi maka tidak akan terjadi perubahan nilai kekerasan yang
signifikan. Apabila temperatur pemanasan yang dilakukan tepat atau melebihi
temperatur rekristalisasi, maka akan terjadi penurunan nilai kekerasan yang
signifikan.
7. Deformasi plastis akibat cold work mempengaruhi nilai temperatur
rekristalisasi. Semakin banyak deformasi plastis yang diberikan, maka akan
semakin banyak pula energi yang tersimpan di dalam butir sehingga akan
lebih mudah untuk rekristalisasi. Karena rekristalisasi semakin mudah untuk
dilakukan, maka Trec menurun.

5.2 Saran
Saran dari pengujian metal hardening adalah sebagai berikut :
1. Pengujian keras sebelum dan setelah perlakuan dilakukan pada semua
spesimen agar data yang diperoleh lebih akurat.
2. Praktikan disarankan membawa timer agar pada saat pemanasan tidak ada
spesimen yang terlalu lama mengalami pemanasan.

Page 26 of 37

3. Praktikan disarankan melakukan perlakuan panas sendiri agar waktu


pemanasan dapat tercatat dan terjaga dengan baik.
4. Pembahasan materi dilakukan setelah spesimen yang dipanaskan selama
60 menit dikeluarkan dari tungku agar fokus praktikan tidak terpecah.
5. Praktikum diharapkan dilakukan satu jam sebelum waktunya karena dalam
praktikum yang lalu, pekerjaan yang dilakukan tidak rapi karena terkejarkejar oleh waktu.
6. Penggunaan satuan kekerasan yang sama ketika mengukur kekerasan
spesimen sebelum dan sesudah diberi perlakuan agar mudah untuk
dibandingkan.

Page 27 of 37

DAFTAR PUSTAKA
1. Callister, William D. Materials and Science Engineering An Introduction,
6th edition. John Wiley & Sons, Inc. 2003.
2. Begeman, Myron L. Manufacturing Processes, 4th edition. John Wiley &
Sons, Inc. 1957.
3. https://www.quora.com/Why-is-martensite-so-hard
(diakses pada 8 Oktober 2016 pukul 22.10)
4. https://en.wikipedia.org/wiki/Guinier%E2%80%93Preston_zone
(diakses pada 8 Oktober 2016 pukul 23.35)
5. http://www.slideshare.net/VendiSupendi/ppt-presipitation-hardening (diakses
pada 9 Oktober pukul 09.58)
6. http://www.slideshare.net/felikslousitopu/cold-and-hot
(diakses pada 9 Oktober 2016 pukul 10.39)
7. http://www.engineeringtoolbox.com/melting-temperature-metals-d_860.html
(diakses pada 9 Oktober 2016 pukul 15.33)

Page 28 of 37

LAMPIRAN
Tugas Setelah Praktikum
A. Pengerasan Baja Karbon
1. Mengapa baja dengan kadar karbon lebih tinggi memiliki kekerasan yang
lebih tinggi daripada baja karbon dengan karbon rendah setelah proses
quenching ?
Jawab :
Baja dengan kadar karbon lebih tinggi akan memiliki kekerasan yang lebih
tinggi daripada baja karbon dengan karbon rendah setelah proses quenching.
Hal tersebut disebabkan oleh martensite yang terbentuk melalui proses
quenching. Martensite sendiri dihasilkan melalui penyisipan unsur karbon
diantara struktur FCC yang dimiliki fasa austenite membentuk struktur sel
satuan baru, yaitu BCT. Semakin banyak karbon yang dikandung oleh baja
karbon, maka semakin banyak pula struktur BCT yang akan terbentuk,
semakin banyak pula martensite yang terbentuk sehingga akan semakin tinggi
pula kekerasan yang dihasilkan. Pada baja karbon rendah, jumlah atom C
yang dimilikinya tidak cukup untuk membentuk martensite.
2. Apakah pengaruh proses quenching dengan kekuatan dan kekerasan baja?
Jawab :
Proses quenching dapat meningkatkan kekuatan dan kekerasan baja karbon,
karena melalui proses quenching, akan terbentuk martensite yang bersifat
keras.
3. Jelaskan mekanisme terbentuknya martensite dan mengapa martensite
memiliki kekerasan yang tinggi pada baja?
Jawab :
Baja karbon dipanaskan hingga mencapai temperatur austenisasinya
kemudian diquench ke dalam air sehingga fasa austenite berubah menjadi
martensite. Martensite terbentuk akibat adanya perpindahan atom C yang
menyisipi struktur kristal FCC yang dimiliki oleh austenite akibat adanya
pendinginan secara cepat. Atom C pada struktur kristal FCC berpindah karena
pada temperatur ruang, fasa yang stabil adalah ferrite yang memiliki struktur

Page 29 of 37

kristal BCC sehingga atom C akan bergerak untuk membentuk strutur BCC
dengan cara memasuki rongga oktahedral yang dimiliki oleh struktur FCC.
Namun, karena tidak ada waktu yang cukup untuk membentuk struktur BCC,
maka atom C terjebak di dalam rongga oktahedral tersebut dan kemudian
membentuk struktur kristal BCT yang tidak lain dan tidak bukan adalah
martensite.
Martensite memiliki kekerasan yang tinggi karena struktur BCT memiliki
karbon yang sangat jenuh dan memiliki slip system yang relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan fasa yang lainnya.
4. Kapan terbentuk austenite sisa pada proses quenching dan apa pengaruhnya
terhadap kekerasan?
Jawab :
Pada proses quenching, atom C akan bergerak mengisi rongga yang dimiliki
oleh struktur kristal FCC, yaitu tongga oktahedral dan tetrahedral. Atom C
akan cenderung mengisi rongga oktahedral terlebih dahulu karena ukuran
rongga yang relatif lebih besar dibandingkan dengan rongga tetrahedral.
Namun, apabila jumlah C yang ada sangat tinggi sedangkan rongga
oktahedral sudah terisi semua, maka atom C akan mengisi rongga tetrahedral.
Pada saat atom C mengisi rongga tetrahedral, struktur yang terbentuk adalah
FCC sehingga pada saat ini akan terbentuk austenite sisa.
Pengaruh kehadiran austenite sisa ini dapat menurunkan nilai kekerasan
karena jumlah slip system yang dimiliki struktur FCC relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan BCT.

5. Jelaskan cara yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan austenite sisa?


Jawab :
Cara yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan austenite sisa adalah
dengan mengurangi komposisi karbonnya sehingga tidak ada karbon yang
menempati rongga tetrahedral dan menurunkan temperatur media pendingin
sehingga Martensite finish dapat tercapai.

Page 30 of 37

B. Precipitation Hardening Pada Paduan Al-Cu


B.1 Tugas Setelah Praktikum
1. Buat analisis pengaruh waktu aging terhadap kekerasan !
Jawab :
Semakin lama waktu aging, maka ukuran butir akan semakin membesar.
Berdasarkan persamaan Hall-Petch, apabila ukuran butir semakin besar, maka
kekuatannya akan menurun. Apabila kekuatannya menurun, kekerasannya
pasti akan menurun.
2. Mengapa presipitasi meningkatkan kekerasan/kekuatan?
Jawab :
Presipitasi dapat meningkatkan kekerasan/kekuatan karena presipitat yang
terbentuk dapat menghalangi pergerakan dislokasi sehingga kekerasan akan
meningkat.
3. Apa yang dimaksud dengan natural aging, artificial aging, dan over aging?
Jawab :
Natural aging adalah aging yang terjadi pada temperatur ruang.
Artificial aging adalah aging yang terjadi diatas temperatur ruang.
Over aging adalah aging yang telah melewati nilai kekerasan maksimum
yang dimiliki oleh logam.
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan GP zone?
Jawab :
GP zone atau Guinier-Preston zone adalah daerah ketika mulai terbentuknya
presipitat pada paduan Al-Cu.

B.2 Pertanyaan Setelah Praktikum


1. Apakah semua material logam dapat dikeraskan dengan precipitation
hardening?
Jawab :
Tidak, yang dapat dikeraskan dengan metode precipitation hardening adalah
logam paduan, contohnya adalah paduan Al-Cu, Co-Be, Co-Sn, dan Mg-Al,
serta paduan logam yang batas kelarutan padatnya berkurang seiring
menurunnya temperatur.

Page 31 of 37

2. Jelaskan perubahan susunan atom yang terjadi pada paduan Al-Cu dari
sebelum sampai sesudah dilakukan precipitation hardening!
Jawab :

Pertama, terdapat atom Cu pada larutan padat lewat jenuh dengan posisi
yang tidak beraturan seperti pada gambar (a). Apabila dipanaskan, maka
atom Cu akan berdifusi membentuk suatu partikel transisi berupa fasa
dan menyebabkan distorsi lattice seperti pada gambar (b). Distorsi lattice
yang terjadi dapat menghambat pergerakan dislokasi sehingga nilai
kekerasan paduan meningkat. Apabila waktu pemanasan terlalu lama, maka
atom Cu akan terus berdifusi dan berubah menjadi fasa , dimana fasa
tidak efektif untuk meningkatkan kekerasan paduan karena tidak
menyebabkan distorsi lattice seperti pada gambar (c).
3. Mengapa temperatur yang digunakan untuk solution treatment adalah 550 oC
dan untuk aging 200oC? Apakah bisa dilakukan pada temperatur yang lain?
Jawab :

Page 32 of 37

Berdasarkan diagram diatas, alasan penggunaan temperatur 550oC adalah


karena pada temperatur tersebut, dengan komposisi Cu 4% larutan padat
sudah terbentuk. Sedangkan untuk aging digunakan temperatur 200oC karena
pada temperatur tersebut terdapat GP zone atau daerah ketika mulai
terbentuknya presipitat pada paduan Al-Cu.
Temperatur yang digunakan bisa selain 550oC dan 200oC selama tidak
melewati daerah pembentukan fasa dan GP zone.
C. Rekristalisasi
1. Buatlah analisis antara temperatur pemanasan pada T=800oC, 400oC, dan
100oC terhadap kekerasan material! Adakah hubungannya dengan struktur
mikronya? Jelaskan!
Jawab :
Apabila suatu logam dipanaskan pada temperatur 800oC, maka nilai
kekerasannya adalah yang paling rendah dibandingkan dengan logam yang
dipanaskan pada temperatur lainnya karena pada temperatur tersebut,
terjadi pertumbuhan butir yang cukup tinggi. Berdasarkan persamaan HallPetch, ukuran butir berbanding terbalik dengan kekuatannya.
Apabila logam dipanaskan pada temperatur 400oC, maka

nilai

kekerasannya berada diantara logam yang dipanaskan pada temperatur


800oC dan 100oC karena pada temperatur 400oC pertumbuhan butirnya
tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil.
Logam yang dipanaskan pada temperatur 100oC akan memiliki nilai
kekerasan yang paling tinggi dibandingkan dengan logam yang dipanaskan

Page 33 of 37

pada temperatur lainnya karena pada temperatur tersebut logam hanya


mengalami recovery.
2. Temperatur rekristalisasi dipakai sebagai batas antar cold working dan hot
working. Jelaskan mengapa pemberian deformasi pada hot working tidak
meningkatkan kekerasan?
Jawab :
Pemberian deformasi pada hot working tidak dapat meningkatkan
kekerasan karena pada prosesnya dilakukan diatas temperatur rekristalisasi
logamnya sehingga dislokasi yang dimilikinya menjadi sedikit.

3. Jelaskan pengaruh cold work terhadap temperatur rekristalisasi material?


Jawab :

Proses cold work dapat memberikan deformasi plastis pada material,


semakin banyak deformasi plastis yang dihasilkan, semakin banyak pula
energi yang tersimpan di dalam butir sehingga akan lebih mudah untuk
rekristalisasi. Karena rekristalisasi semakin mudah untuk dilakukan, maka
Trec material akan menurun.
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan cold working dan hot working! Apa
masing-masing kelebihan dan kekurangannya dan berikan contohnya!
Jawab :
Cold working adalah proses pengerjaan logam yang dilakukan pada
temperatur dibawah temperatur rekristalisasinya.

Page 34 of 37

Hot working adalah proses pengerjaan logam yang dilakukan pada


temperatur diatas temperatur rekristalisasinya.
Kelebihan Cold Work :
- Tidak memerluka pemanasan
- Biaya lebih murah
- Kekerasan dan kekuatan logam yang dihasilkan meningkat
- Dimensi yang dihasilkan lebih baik
- Menghasilkan permukaan yang halus
Kekurangan Cold Work :
-

Menurunkan keuletan
Membutuhkan gaya yang besar
Hanya dapat memproses material yang relatif lunak
Ketahanan korosi menurun
Konduktivitas thermal atau listrik menurun

Kelebihan Hot Work :


-

Jumlah energi yang dibutuhkan relatif kecil


Dapat mengurangi porositas
Menghasilkan butir yang halus
Material mengalami homogenisasi komposisi kimia, struktur mikro,
dan inklusi

Kekurangan Hot Work :


-

Dimensi yang dihasilkan tidak akurat


Biayanya mahal
Kekerasan dan kekuatan logam menurun
Terjadi oksidasi sehingga permukaan produk kasar

Contoh Cold Work : Drawing, Squeezing, Bending, Shearing, Extruding,


Shot Peening, dan Hobbing
Contoh Hot Work : Rolling, Pipe Welding, Forging, Piercing, Drawing,
Extrusion, dan Spinning.

Page 35 of 37

5. Jelaskan pengaruh recovery, recrystallization, dan grain growth terhadap


sifat mekanik material!
Jawab :

Recovery, Recrystallization, dan Grain Growth dapat menurunkan


kekuatan material namun meningkatkan keuletannya karena adanya
pelepasan internal strain energy, pengurangan kerapatan dislokasi, dan
pertumbuhan butir.

Page 36 of 37

Dokumentasi Pengujian

(Sumber : Dokumen Pribadi)


Gambar 12. Spesimen Baja Karbon

(Sumber : Dokumen Pribadi)


Gambar 13. Spesimen Al-Cu

(Sumber : Dokumen Pribadi)


Gambar 14. Spesimen Tembaga

Page 37 of 37

Anda mungkin juga menyukai