TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Terapi
Intravena (Infus)
atau
menggantikan
cairan
tubuh
yang
mengandung
air,
adekuat
melalui
oral,
memperbaiki
keseimbangan
asam-
14
15
16
17
(dialysis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah
tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan
kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang.Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum
(bagiancair dari komponen darah), sehingga terus berada di osmolaritas (tingkat
kepekatan) cairannya mendekati serum (bagiancair dari komponen darah),
sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang
mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus
menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada
penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan RingerLaktat (RL), dan normalsaline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.
Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan
mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan
Hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+RingerLactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin. (Perry &
Potter, 2006)
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
a.
18
yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera.
Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
b.
19
akan diberikan permenit, bagi dengan 60. Hitung jumlah tetesan permenit yang
akan diinfuskan. Jika kecepatan alirannya tidak tepat, sesuaikan dengan kecepatan
tetesan (Smeltzer & Bare, 2002).
20
Darmadi
(2010)
beberapa
komplikasi
yang
dapat
terjadi
21
tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat
penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau tusukan berulang
pada pembuluh darah. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan
sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati
pembuluh darah. Plebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi
akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar Emboli udara,
yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara
yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah, rasa perih/sakit dan reaksi
alergi.
2.2 Plebitis
2.2.1 Pengertian Plebitis
Plebitis didefinisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi
kimia, mekanik maupun oleh bakteri. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya
daerah yang memerah dan hangat di sekitar daerah penusukan atau sepanjang
vena, pembengkakan, nyeri atau rasa keras disekitar daerah penusukan atau
sepanjang vena dan bisa keluar cairan/pus. Insiden plebitis meningkat sesuai
dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komplikasi cairan atau obat yang
diinfuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula
dimasukkan, pemasangan jalur intravena yang tidak sesuai dan masuknya
mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan Sudarth,2002).
Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) plebitis merupakan peradangan
pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai
komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan dari mekanisme iritasi
22
yang terjadi pada endhothelium tunika intima vena, dan perlekatan tombosit pada
area tersebut.
2.2.2
Menurut Perry & Potter 2005 faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis,
diantaranya adalah faktor internal dan eksternal. Yang termasuk faktor internal
adalah:
a.
Usia: pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada pasien
neonatus sangat rentan terhadap infeksi. Menurut WHO (2009) sebagian
besar infeksi neonatus lanjut di dapat di rumah sakit melalui pemberian cairan
intravena, kurangnya tindakan aseptik untuk semua prosedur dan tindakan
menyuntik yang kurang bersih. Pada neonatus keadaan banyak bergerak dapat
mengakibatkan vena kateter bergeser dan hal ini yang bisa menyebabkan
plebitis.
b.
Status nutrisi: pada pasien dengan gizi buruk mempunyai vena yang tipis
sehingga mudah rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya kurang
sehingga jika terjadi luka mudah terkena infeksi.
c.
Stress: tubuh berespon terhadap stress dan emosi atau fisik melalui adaptasi
imun. Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anakanak,konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak-anak
yang mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan
merasa lebih takut terhadap nyeri dan cenderung menghindari perawatan
medis, dengan menghindari pelaksanaan pemasangan infus/berontak saat
23
Keadaan vena: kondisi vena yang kecil dan vena yang sering terpasang infus
mudah mengalami plebitis.
e.
Menurut INS (2006) faktor eksternal yang dapat menyebabkan plebitis adalah:
kimia, mekanik, dan bacterial.
a.
Kejadian plebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika
intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi
peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan
material kateter yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7,35 7,45 dan
cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang
berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih
asam untuk mencegah terjadinya kristalisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi
autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa
digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik. Osmolalitas
diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel yang larut dalam
suatu larutan.
24
25
terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006). Partikel materi yang terbentuk dari
cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa menyebabkan
resiko terjadinya plebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5
mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan resiko plebitis akibat
partikel materi yang terbentuk tersebut (Darmawan,2008).
b.
26
Tabel 2.1 Kuman Pathogen yang Sering Ditemukan di Aliran Darah Pathogen
Tabel 2.1 Kuman pathogen yang sering ditemukan di
aliran darah Pathogen
1986 - 1989
1992 - 1999
Coagulase-negatif Staphylococcus
27
37
S Aureus
16
13
Enterococcus
13
Gram-negatif rods
19
14
E coli
Enterobacter
P aeruginosa
K pneumoniae
Candida species
27
selama
sekitar 3 hari setelah cedera. Proses perbaikan terdiri dari mengontrol perdarahan
(hemostatis), mengirim darah dan sel ke area yang mengalami cedera, dan
28
membentuk selsel epitel pada tempat cedera (epitelialisasi). Sel epitel pada tempat
cedera (epitelialisasi). Selama proses hemostatis, pembuluh darah yang cedera
akan mengalami konstriksi dan trombosit berkumpul untuk menghentikan
perdarahan. Bekuan-bekuan darah membentuk matriks fibrin yang nantinya akan
menjadi kerangka untuk perbaikan sel. Apabila fase ini berlangsung lebih dari 3
hari maka proses iflamasi akan berlanjut.
d. Aseptic dressing
INS merekomendasikan untuk penggunaan balutan yang transparan sehingga
mudah untuk melakukan pengawasan tanpa harus memanipulasinya Penggunaan
balutan konvensional masih bisa dilakukan, tetapi kassa steril harus diganti tiap 24
jam.
e. Kecepatan pemberian
Makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko plebitis.
Namun, ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan
osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya
beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu
kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan
pemberian tinggi (150330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter
yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang
diinginkan, dengan filter 0.45mm. Katheter harus diangkat bila terlihat tanda dini
nyeri atau kemerahan.Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus
sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi parenteral.
29
2.2.4
Menurut Putra (2012) neonatus adalah masa kehidupan pertama diluar rahim
sampai dengan usia 28 hari. Terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan
di dalam rahim menjadi di luar rahim. Pada masa ini akan terjadi pematangan
organ hampir pada semua system organ bayi. Neonatus mengalami masa
perubahan dari kehidupan di dalam rahim yang serba tergantung pada ibu menjadi
kehidupan di luar rahim yang serba mandiri. Masa perubahan yang paling besar
terjadi selama 24-72 jam pertama. Oleh karena itu sangatlah diperlukan penataan
dan persiapan yang matang untuk melakukan tindakan invasif terhadap neonatus.
Neonatus sangat rentan terhadap infeksi dikarenakan system kekebalan tubuhnya
belum cukup matang untuk melawan infeksi. Infeksi pada neonatus umumnya
disebabkan oleh bakteri yang masuk ke dalam tubuh karena mereka mendapatkan
perawatan invasif seperti pemasangan infus, kateter dan selang pernafasan
(ventilator). Oleh karena itu neonatus yang terpasang infus sangat rentan terjadi
plebitis, dengan tehnik aseptik, pengawasan dan observasi yang ketat angka
kejadian plebitis pada neonatus dapat dicegah.
30
VIP Score
Terapi infus termasuk ke dalam salah satu tindakan infasive, oleh karena itu
perawat harus terampil saat melakukan pemasangan infus. Ketika seorang perawat
diberi tugas untuk memberikan terapi infus, kemampuan yang diperlukan perawat
adalah melakukan pemasangan infus dengan benar dan terampil. Perawat juga
harus memiliki komitmen untuk memberikan terapi infus yang aman, efektif
dalam pembiayaan, serta melakukan perawatan infus yang berkualitas sehingga
dapat mencegah terjadinya plebitis (Alexander,etal, 2010).
Salah satu cara untuk mencegah dan mengatasi plebitis yaitu dengan mendeteksi
dan menilai terjadinya plebitis selama pemasangan infus. Menurut RCN (2010),
adapun cara yang dapat digunakan adalah dengan menerapkan VIP score. Dinas
Kesehatan di Inggris tahun 2010, dan INS di Inggris tahun 2011 dan RCN di
Amerika Serikat tahun 2010 merekomendasikan VIP score sebagai alat atau
indikator yang valid, reliabilitas dan secara klinis layak digunakan untuk
menentukan indikasi dini plebitis dan menentukan skor yang tepat untuk plebitis.
VIP score sudah diterima sebagai standar internasional, sudah digunakan di
banyak negara dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.
VIP score memiliki kelebihan yaitu terdapat pengelompokan skor yang jelas
mengenai pembagian plebitis mulai dari skor nol sampai skor empat, sehingga
perawat akan dapat nenentukan kriteria dan skor phlebitis dengan tepat.
VIP score sudah dikembangkan oleh Andrew Jackson, konsultan perawat terapi
intravena dan perawatan Rumah Sakit Umum Rotherharm, NHS Trust di Inggris.
31
Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk deteksi dini kejadian
plebitis dan penetapan skor yang tepat sehingga plebitis dapat dinilai dan dapat
dicegah sedini mungkin melalui pengamatan visual yang dilakukan oleh perawat.
Dengan penerapan VIP score akan memberdayakan perawat dalam mendeteksi
dini terjadinya plebitis dan penentuan yang tepat untuk skor plebitis, sehingga
intravena kateter dapat dicabut dan dipindahkan ketempat penusukan yang lain
pada indikasi resiko terjadinya plebitis. (INS,2011).
Menurut Ermira Tartari Bonnici (2012) VIP Score dapat digunakan sebagai
standar untuk mendeksi dini kejadian plebitis. Hal ini sudah dibuktikan dengan
penelitian mengenai VIP Score yang dilakukan oleh Ermira Tartari Bonnici tahun
2012 pada Infection Control Unit di Rumah Sakit Dei Mater Imsida Malta, dari
hasil penelitiannya tingkat plebitis turun dari 22,7% pada pre intervensi menjadi
6,5% pada post intervensi penerapan VIP Score.
VIP Score dapat digunakan untuk mendeteksi dini terjadinya plebitis dan
penentuan yang tepat untuk skor plebitis, melalui pengamatan visual yang
dilakukan oleh perawat. Ada beberapa jenis VIP Score yang digunakan untuk
mendeteksi dini dan menentukan skor plebitis dengan tepat yaitu:
a.Andrew Jackson telah mengembangkan skor visual untuk kejadian plebitis,
yaitu :
32
Tabel 2.2 Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score Oleh Andrew Jackson
VISUAL INFUSION PHLEBITIS (VIP) SCORE
OBSERVASI
SKOR
PENANGANAN
Plebitis
* Pindahkan dan ganti kanula ke area
penusukan yang lain
* Kemerahan
* Pembengkakan
* Pireksia (suhu tubuh >37,8 )
* Keluar cairan/pus
Semua tanda-tanda berikut jelas:
* Nyeri di sepanjang kanula
* Kemerahan
* Pembengkakan
*Pireksia (su tubuh>37,8 )
*Keluar cairan/pus
33
b. Skala Plebitis Menurut Dougherty, dkk (2010), skala plebitis dibagi menjadi enam
Visual Infusion Phlebitis score
Sumber : Dougherty, dkk(2010) )
Tabel 2.3 Visual Infusion Phlebitis ( VIP) Score
OBSERVASI
Tempat suntikan tampak sehat
Salah satu dari berikut jelas:
SKOR
STADIM PLEBITIS
PENANGANAN
observasi kanul
observasi kanul
Pikirkan terapi
34
Skala
Kriteria Klinis
2.4.2
Pada lembar pengumpulan data INOS memiliki kelemahan yaitu: tidak tercantum
skor plebitis sehingga dalam menentukan dan melaporkan plebitis perawat masih
mengalami kesulitan.
35
suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien selama dia dirawat di rumah
sakit dan menunjukan gejala infeksi baru setelah 72 jam pasien berada dirumah
sakit serta infeksi itu tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien masuk ke
rumah sakit (Darmadi,2008).
infeksi
nosokomial.
Infeksi
ini
dapat
disebabkan
oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan
oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal,
yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau
bahan-bahan yang tidak steril.
36
Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh
mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak
atau jarang menyebabkan penyakit pada orang normal. Ada tiga jenis
mikroorganisme yang bisa menyebabkan infeksi nosokomial yaitu: bakteri dapat
ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat. Keberadaan
bakteri disini sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri
patogen.
Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut
mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme, contoh bakteri
Anaerobik Gram-positif, Clostridium, Bakteri gram-positif : Staphylococcus
aureus yang menjadi parasit di kulit dan hidung dapat menyebabkan terjadinya
gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi pembuluh darah serta seringkali
telah resisten terhadap antibiotika. Bakteri gram 36 negative: Enterobacteriacae,
contohnya Escherichia coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter. Pseudomonas
sering sekali ditemukan di air dan penampungan air yang menyebabkan infeksi di
saluran pencernaan dan pasien yang dirawat., Serratia marcescens, dapat
menyebabkan
infeksi
serius
pada
luka
bekas
jahitan,
paru,
dan
37