Anda di halaman 1dari 23

TOKOH-TOKOH HERMENEUTIK AL-QURAN

DI ERA KONTEMPORER

Oleh:
Ahmad Kamal Abdul Jabbar
F02716153
Pengampu:
Dr. Abd. Syaku, M.Ag

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA

BAB I
PENDAHULUAN

Telah dibahas dalam presentasi sebelumnya mengenai diskursus hermeneutika


sebagai alternatif penafsiran al-Quran. Sekedar untuk menyegarkan ingatan, pada
kesempatan kali ini penulis akan sedikit mengulas kembali tentang apa itu hermeneutika
dan bagaimana perkembangan hermeneutika dalam agama Islam. Kemudian
pembahasan akan difokuskan kedalam tokoh-tokoh hermeneutika al-Quran di era
kontemporer.
Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat
tentang interpretasi makna.1 Upaya ini memperhitungkan konteks kata-kata dan bahkan
seluruh konteks budaya pemikiran. Kata hermeneutika itu sendiri berasal dari kata kerja
bahasa Yunani, hermeneuin, dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan hermeneutic,
yang berarti menafsirkan, menterjemahkan, dan menginterpretasikan.2 Dalam kajian
Islam, kata sinonimnya adalah tafsir, takwil, syarh, dan bayan. Ali Harb memberi kata
padanan untuk hermeneutika dengan takwil.3 Kata bendanya hermeneia. Akar kata itu
dekat dengan nama dewa Yunani yakni Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai
tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes berperan mengubah apa
yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang dimengerti manusia. Peranan
semacam itulah yang kurang lebih mau dilakukan oleh para ahli tafsir Kitab Suci.4 Dari
tradisi Yunani, Hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bible, yang di
kemudian hari di kembangakan oleh para teolog dan filusuf barat sebagai metode tafsir
secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humanniora.5 Secara lebih luas, hermeneutika
didefinisikan oleh Zygmunt Bauman sebagai upaya menjelaskan dan menjelajahi pesan

Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London : Routledge and Kegan Paul, 1980), hlm. 12
Ibid, hlm. 12.
3
Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Pent. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta : LKiS, 2003), cet. I, hlm. 2.
4
E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hlm. 23.
5 Adian Husaini & Abdurrahman Albaghdadi, Hermeneutika Dan Tafsir Al Quran, (Jakarta: Gema
Insani, 2007) hlm. 7-8.
2

dan pengertian dasar suatu ucapan atau tulisan yang tidak jelas, rigid dan bertentangan
yang menimbulkan kebingungan pendengar atau pembaca.6
Hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk
menaafsirkan simbol yang berupa teks untuk dicari maksud dan maknanya. Metode ini
mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lalu yang tidak dialami,
kemudian dibawa ke masa sekarang. Dalam perkembangannya, metode ini mengalami
perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi, dan model penerapannya muncul
dari keragaman pemahaman terhadap hermeneutik itu sendiri. Penerapan metode
hermeneutik dalam disiplin ilmu lain adalah sebagai metode memahami kitab suci,
sebagai teori filologi (kemanusiaan), sebagai pemahaman linguistik dan hermeneutik
sebagai metode tafsir.7
Pada mulanya, hermeneutika dipergunakan sebagai metode utuk menafsirkan
naskah-naskah sejarah kuno dan kitab suci. Diantara disiplin ilmu yang paling banyak
menggunakan pendekatan hermeneutik dalah ilmu tafsir itab suci, seperti Zabur, Taurat
dan Injil. Selanjutnya, metode ini banyak digunakan dalam tradisi pemikiran teologi
Yahudi dan Kristiani pada sekitar abad 4-5 Masehi. Selanjutnya, pada abad ke 17 dan
18 Masehi pendekatan ini diketahui berkembang secara luas dalam berbagai disiplin
ilmu pengetahuan, khususnya oleh orang-orang barat. Beberapa tokoh-tokohnya yang
paling diingat adalah Friedrich Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (18331911), dan Rudolf Karl Bultman (1884-1976). Perkembangan hermeneutika di abad 20
mengalami lompatan yang cukup besar karena perdebatannya lebih mengarah kepada
wilayah ontologi dan epistemologi, lompatan besar ini tidak lepas dari sumbangan para
ilmuwan seperti Martin Heidegger (1889-1976), Paul Ricoerur (1913-2005) dan Hans
George Gadamer (1900-2002). Lantas bagaimana perkembangan hermeneutika dalam
Islam, penulis akan coba sajikan dalam pembahasan lebih lanjut pada bab selanjutnya.

6 Ibrahim & Achmad Yaman, Penyelewengan Tafsir Alquran: Kritikan Terhadap Buku Fiqih Lintas
Agama, (Bangi : Fakulti Pengajian Islam,Universti Kebangsaan Malaysia, 2010) 40.
7
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qurani : Antara Teks, Konteks dan Kontekstual, (Yogyakarta: Qalam,
2002) hlm. 22

BAB II
PEMBAHASAN

Hasan Hanafi dikenal sebagai orang pertama mengenalkan hermeneutika


dalam dunia Islam dengan karyanya yang berkaitan dengan metode penafsiran yang
bercorak baru. Pengenalan ini pada awalnya hanya merupakan penggunaan metodologis
bersifat uji coba yang terbebas dari pengaruh positivisme dan kekhasan hukum Islam
serta yurisprudensinya yang ortodoks dan tradisionalis. Ia memandang bahwa
hermeneutika bukan hanya sekadar teori penafsiran dan pemahaman, akan tetapi
merupakan ilmu yang menerangkan penerimaan wahyu sejak perkataan sampai pada
tingkat kenyataan, serta menggambarkan pemikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.8
Proses pemahaman teks ini menurut Hasan Hanafi dilakukan setelah melakukan kritik
kesejarahan. Kritik kesejarahan dilakukan untuk menjamin keaslian sebuah teks atau
kitab suci dalam sejarah sebab belum tentu semua teks asli atau tidak mengalami
distorsi kepentingan ideologis maupun politis. Keaslian ini akan mempermudah
pemahaman yang tepat.
Tokoh lain adalah Nashr Hamid Abu Zaid yang telah banyak mengkaji
hermeneutik dalam tafsir klasik, sebagaimana yang dilakukan oleh 'Abid al-Jabiri. Abu
Zaid banyak memberikan pijakan dasar dalam memahami hermeneutika khususnya
berkaitan dengan al-Qur'an. Bahkan beberapa tulisannya dianggap sebagai horizon baru
dalam hermeneutika al-Qur'an kontemporer. Ia seorang yang akrab dengan pemikiran
para tokoh hermeneutika Barat, seperti Heidegger dengan teori hermeneutikanya, Hans
George Gadamer dengan hermeneutika filosofisnya, Schleiermacher dengan lingkaran
hermeneutikanya, dan lainnya. Akan tetapi ia tidak meninggalkan kekayaan tradisi
Islam yang dapat memelopori pembaharuan dan pemikiran kritisnya.9
Ali Harb merupakan tokoh yang ikut meramaikan diskusi panjang tentang
kritik teks, meskipun ia tidak sepenuhnya memperhatikan sastra ataupun seni tetapi
8

Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika AlQur'an Madzhab Yogya, (Yogyakarta : Islamika, 2003), Cet. I, hlm. 60
9
Mohammad Nur Khalis, "Nashr Abu Zaid; Beberapa Pembacan terhadap Turats Arab" , dalam Nashr
Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan
atas Diskursus Keagamaan, Pent. Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, (Jakarta : ICIP, 2004),
cet. I, hlm. xv

lebih menekankan kepada ihwal pemikiran.10 Sekalipun di dalam melakukan kritik teks
dan pemikirannya banyak menggunakan teori sastra terutama berkenaan dengan teori
teks, di samping filsafat. Permikirannya lebih cenderung kepada permasalahan
keterpurukan umat Islam, khususnya pemikiran di dunia Arab dalam menyikapi
kemajuan. Ia banyak menyoroti pola pemikiran dunia Arab kontemporer yang masih
berkutat dalam kerangka kultural, nasional, ataupun keagamaan.
Tokoh Islam yang memiliki kemiripan dengan Ali Harb ialah Muhammad
Syahrur dalam hal memandang kemunduran dan ketertinggalan dunia Arab-Islam
dengan Barat karena sistem pemikiran yang digunakan tidak mampu mengeluarkannya
dari kejumudan dan taklid. Hal serupa disampaikan oleh Khaled M. Abou el-Fadl yang
menyoroti para penafsir periode terdahulu telah melahirkan mateode penafsiran yang
cenderung berkonsentrasi pada upaya pengembangan berbagai kaidah untuk
memecahkan makna teks berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Pelaksanaan ini
berkutat pada asumsi bahwa setiap runtutan huruf, kata, dan kalimat merupakan sesuatu
yang telah matang dan benar, tidak mungkin Tuhan salah di dalam peletakaknnya,
sehingga pemahamannya harus berangkat dari susunan kalimat tersebut. Di sinilah letak
kekakuan dalam memberi interpretasi suatu ayat, lebih-lebih berkaitan dengan hukum.
Sehingga hukum yang dihasilkan hanya meliputi maksud asal teks untuk melayani teks,
bukan dalam rangka memberi jawaban persoalan kehidupan dengan berdasarkan teks.
Jika demikian maka keberadaan al-Qur'an belum mampu memberikan hidayahnya
kepada umat manusia yang membutuhkan penerangan hukum.

A. Hasan Hanafi
1. Biografi Singkat
Hasan Hanafi dilahirkan di Mesir, pada tanggal 13 Pebruari 1935.
Beliau dikenal sebagai seorang pemikir hukum Islam dan Professor filsafat
terkemuka di Universitas Kairo Mesir. Hasan Hanafi juga dikenal sebagai
ilmuan yang menghabiskan sebagian besar umurnya hanya untuk belajar dan
berkarya. Beliau menyumbangkan ide-ide brilian untuk revolusi umat Islam.
Dari sekolah dasar sampai sarjana dia habiskan di Mesir. Barulah dia
10

Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Terj. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta : LKiS, 2003), cet. I, h. 3-15

melanjutkan pendidikannya ke Perancis sampai mendapatkan gelar Doktor di


Sorbone. Dia tinggal dan belajar di Perancis selama sepuluh tahun.11 Tetapi
semangatnya untuk menyumbangkan pemikiran untuk Islam tidak pernah
redup.
Hasan Hanafi mulai belajar Al-Quran sejak usia lima tahun. Sebelum
akhirnya ia masuk ke Universitas Kairo di Mesir dan memutuskan untuk hijrah
ke

Perancis

untuk

melampiaskan

kehausannya

akan

ilmu,

Hanafi

menghabiskan masa pendidikan menengahnya di empat madrasah, dan


disanalah ia akhirnya berkenalan dengan Ikhwanul Muslimin dan tokohtokohnya.
Ketika belajar di Prancis, Hanafi banyak bersentuhan dengan berbagai
pemikiran dan pendirian metodologis. Karena sentuhan berbagai pemikiran ini,
akhirnya Hanafi berusaha untuk mereformulasikan Islam sebagai metode yang
universal dan komprehensif dalam kehidupan individual maupun masyarakat.
Di sinilah awal mula kesadaran filosofis Hanafi. Sepuluh tahun berjalan (19561966), Hanafi mendapatkan gelar Doktor dari Universitas Sorbone Prancis,
dalam meraih gelar Doktoral ini, Hanafi menulis disertasi setebal Sembilan
ratus halaman Essai sur la method dExegese, tentang Ushul Fiqh. Setelah
meraih gelar Doktoralnya, Hanafi kembali ke Tanah Airnya. Kemudian
menjadi dosen Filsafat Kristen di almamaternya Dia menjadi staf pengajar pada
fakultas sastra Universitas Kairo Mesir sampai tahun 1971.12
2. Cuplikan Pemikiran Hasan Hanafi
Awal mula Hanafi mengemukakan pendapatnya tentang al-Quran
adalah ketika dia tidak merasa puas dengan teori klasik yang telah dibangun
oleh ulama tafsir. Ia beranggapan bahwa teori yang dipakai prinsip-prinsipnya
yang teruji dan terseleksi tidak solid. Karena penafsiran model klasik ini tidak
menginjak pada level syarah (komentar), tafsil (detailisasi) dan tikrar
(pengulangan) serta penjelas tentang apa point-point yang harus di tekankan
11

B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Metodologi Tafsir al-Quran menurut Hasan Hanafi,


(Bandung: Teraju, 2002), hlm. 69
12
Ibid, hlm 70.

ketika menafsirkan ayat/surah tertentu. Disisi lain ia mengabaikan kehidupan,


problem, kebutuhan manusia yanag mengakibatkan teks tersebut hanya
berkutat pada dirinya sendiri.
Teori tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan
realita (antara dunia dan akhirat dan manusia dengan tuhan) Menurut Hasan
Hanafi problematika penafsiran al-Quran klasik ada 2 hal yang berpengaruh
besar. Pertama tentang krisis Orientasi dan yang kedua adalah krisis
Epistimologi.13
Krisis orientasi ialah keinginan Hanafi terhadap penafsiran al-Quran
menjadi sumber rujukan utama dalam bidang keilmuan lainnya seperti filsafat,
fiqih, tasawuf ushul fiqih dan lain-lain. Penafsiran klasik tidak pernah tuntas
dan tafsir ini hanya terjebak pada orientasi metodologis dari disiplin ilmu
klasik Islam. Dalam penafsiran ini al-Quran lebih banyak digunakan sebagai
justifikasi atas posisi keilmuan lain daripada memahaminya secara sunggungsungguh. Sedangkan dalam krisis epistemologi, Menurut Hanafi, khazanah
pemikiran klasik tidak pernah memiliki suatu teori penafsiran yang otoritatif
dengan prinsip-prinsip ilmiah yang mengarah pada kepentingan tertentu.
Sebaliknya, mayoritas tafsir-tafsir klasik menurut Hanafi, hanya menjelaskan
masalah-masalah yang sama sekali bertentangan dengan kepentingan
masyarakat. Adapun ciri-cirinya adalah mengulang-ngulang pendapat klasik
dalam mempormulasikan berbagai argument.14
B. Fazlur Rahman
1. Biografi Singkat
Perkembangan pembaharuan dunia Islam, paling tidak dapat dipetakan
menjadi 4 gerakan. Gerakan Revivalisme, Pramodernis, Neorevivalisme dan
gerakan Neomodernisme yang salah satu motor penggeraknya ialah Fazlur
Rahman (selanjutnya akan disebut Rahman). Gerakan ini tidak menjaga jarak

13

Devi Muharrom Sholahuddin, Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Quran Hasan Hanafi, 2010,
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Metodologi Tafsir al-Quran menurut Hasan Hanafi,
(Bandung: Teraju, 2002), hlm. 140-141.
14

dengan Barat, tetapi mengembangkan sikap kritis terhadap Barat maupun


warisan-warisan kesejarahannya sendiri secara obyektif.15
Rahman dilahirkan pada tahun 1919, dibesarkan dalam sebuah
keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi, sebuah mazhab sunni yang bercorak
rasionalistik dibandingkan dengan tiga mazhab lainnya. Meskipun dibesarkan
di kalangan tradisionalis bermazhab Hanafi, sejak umur belasan tahun Rahman
telah melepaskan diri dari lingkup pemikiran yang sempit di dalam batas-batas
mazhab sunni dan mengembangkan pemikirannya secara bebas. Ia memeulai
pendidikannya secara formal di Madrasah, dan menerima pelajaran keagamaan
dari ayahnya sendiri yang merupakan kyai dari Doubun (madrasah tradisional
paling bergengsi di wilayah itu). Setelah menyelesaikan pendidikan
menengahnya, Rahman meneruskan studinya di Departemen Ketimuran
Universitas Punjab pada tahun 1942. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan
akademiknya di lembaga tersebut hingga mendapat gelar Master (MA) dalam
bidang Sastra Arab. Kemudian ia melanjutkan studinya dalam program Ph.D.
di Lahore. Akan tetapi, karena kekecewaannya atas mutu pendidikan Islam di
India tersebut, ia memutuskan untuk melanjutkan studi doktoralnya di Inggris
yakni Oxford University. Di universitas tersebut, selain mengikuti kuliahkuliah formal, ia giat mempelajari bahasa-bahasa Barat (Inggris, Perancis, dan
Jerman). Dengan keluasan pengetahuan bahasa yang dikuasainya, ia dapat
memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya, khususnya dalam studistudi Islam yang ditulis oleh para Orientalis dengan penuh kritis.16
Setelah kepulangan Rahman ke Pakistan, ia mendapati situasi yang
tidak kondusif akibat semaraknya kontroversi kalangan Modernis dan
Tradisionalis-Fundamentalis. Rahman yang mencoba memberikan kontribusi
dan respon terhadap berbagai kontroversi tersebut tidak mendapat respon yang
positif. Akhirnya ia memutuskan untuk hijrah ke Chicago.17 Disanalah ia bisa

15

Taufik Adnan Amal (penyunting), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman,
Mizan, Bandung:, 1993, hlm. 17-20.
16
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung, 1994, hlm.79-81.
17
Ibid, hlm. 82-104.

mengaktualisasikan segala kemampuan intelektualnya baik diatas kajian


normatif maupun historis.
2. Sekilas Pemikiran Fazlur Rahman
Secara historis, arus pemikiran keislaman dikuasai oleh dua
kecenderungan, yaitu pertama, kecenderungan mensakralkan teks serta tradisi,
dan kedua, kecenderungan untuk mendekontruksi pensakralan tersebut.18
Pensakralan teks dan tradisi tersebut menyebabkan meredupnya cahaya dan
dinamika wacana Islam, yang pada akhirnya semakin mengeras ketika terjadi
intervensi ideologis dari penguasa yang memihak secara ekstrem pada suatu
paham tertentu. Ditambah lagi dengan datangnya paradigma baru pemikiran
Barat yang mengkritik secara habishabisan terhadap seluruh sendi ajaran Islam.
Realitas di atas mengusik kesadaran Rahman untuk memposisikan diri pada
kecenderungan yang kedua. Rahman mulai mencoba mengkritik tradisi dan
merespons tantangan modernitas tanpa larut pada pemikiran Barat.
Rahman juga mengkritisi pemikiran kaum Fundamentalis yang
menampilkan Islam terikat secara literal pada akar spiritualnya. Dengan
metode yang dikembangkannya, ia melihat bahwa kaum Fundamentalis gagal
membedakan antara doktrin dengan tradisi yang islami yang murni historis.
Bahkan tradisi diterimanya sebagai otoritas masa lampau yang tertutup dan tak
bisa dipertanyakan. Oleh karenanya, menurut Rahman, harus dibedakan antara
yang Islam Normatif dan Islam Historis. Pembedaan ini akan mampu memberi
kontribusi bagi tradisi dalam menjawab tantangan modernitas.
Satu pikiran Rahman yang membuat heboh di Pakistan selama setahun
adalah pikirannya yang menyatakan bahwa al-Quran secara keseluruhan
adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya merupakan
perkataan Muhammad. Rahman merujukkan sumber asal rujukannya ini dalam
pemikiran Syakh Wali Allah dan Iqbal. Menurut Syah Wali Allah bahkan
beranggapan bahwa kata-kata, ungkapan, dan gaya bahasa al-Quran telah ada
dalam pikiran Nabi sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Sementara Iqbal
18

Komaruddin Hidayat, Arkoun dan Tradisi Hermeneutik dalam Tradisi, Kemodernan, dan
Metamodernisme (JH Mouleman:Penyunting), LkiS, Yogyakarta, 1996, hlm. 33

mengemukakan bahwa kata-kata muncul dengan ide-ide tanpa terkontrol secara


sadar oleh Nabi sebagai penerima wahyu. 19
Disamping kontribusi pemikiran yang fenomenal tersebut, Rahman
melihat bahwa kaum muslimin (khususnya kaum Ortodoks), belum pernah
membicarakan secara adil masalah-masalah mendasar mengenai metode dan
cara penafsiran al-Quran. Terdapat kesalahan umum dalam memahami pokokpokok keterpaduan al-Quran dan kesalahan ini berpasangan dengan ketegaran
praktis untuk berpegang pada ayat-ayat al-Quran secara terpisah-pisah.
Menurutnya, untuk memahami pesan konprehensif al-Quran, konteks
kesejarahannya mesti diperhatikan. Rahman menggunakan beberapa teori
untuk dijadikan dasar formulasi metodologi tafsir al-Quran barunya, secara
sistematis tersusun sebagai berikut:
a.

Menemukan makna teks al-Quran dengan menggunakan pendekatan


historis secara serius dan jujur. Secara sosio-historis, al-Quran harus
dipelajari dalam tatanan kronologisnya. Diawali dengan pemeriksaan
terhadap bagian-bagian wahyu yang paling awal. Kajian ini akan
memberikan suatu persepsi yang cukup akurat tentang gerakan dasar
dari gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari ketetapan-ketetapan
dan pranatapranata yang dibangun belakangan. Dengan begitu,
seorang penafsir telah mengikuti bentangan karier dan perjuangan
Muhammad. Oleh karena itu, metode ini tidak hanya menyelamatkan
kita dari ekstravagansa dan artificial penafsiran kalangan modernis,
tetapi juga dapat menunjukkan secara jelas makna keseluruhan dari
pesan al-Quran.

b.

Membedakan antara ketetapan legal spesifik al-Quran dengan ideal


moral al-Quran. Rahman mengharapkan hukum-hukum yang akan
dibentuk dapat mengabdi kepadanya, tidak pada legal spesifiknya.
Rahman menyadari bahwa hal ini dihadapkan pada subyektifitas,
tetapi menurutnya ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan
menggunakan al-Quran itu sendiri. Satu hal yang terlalu sering

19

Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Kitab Bhavan: New Delhi, 1981), hlm. 20.

diabaikan oleh kalangan non muslim maupun kalangan muslim


sendiri,

bahwa

al-Quran

biasanya

memberikan

alasan

bagi

pernyataan legal spesifiknya.


c.

Memahami sasaran (tujuan) atau ideal moral al-Quran dengan tetap


memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar sosiologisnya, yakni
lingkungan di saat al-Quran diturunkan.
Secara aplikatif, proses penafsiran yang ditawarkan oleh Rahman

dalam rumusan definitive metodologi tafsirnya tersebut diaplikasikan dengan


menggunakan dua gerakan yang dikenal dengan Double Movement-nya
(gerakan ganda). Gerakan yang pertama, dimulai dengan menafsirkan ayat-ayat
yang spesifik dalam al-Quran, kemudian, menggali dan mensistematisir
prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya. Gerakan yang
kedua, memformulasikan dan merealisasikan pandangan (prinsip-prinsip)
umum tersebut ke dalam pandangan spesifik di masa sekarang.20
C. Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun,
kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber
yang hidup dari hasil pertanian, ternak dan berdagang kerajinan tangan. Berber
sendiri merupakan sebutan untuk penduduk yang tersebar di Afrika bagian
utara. Semula, sebelum ter-arabkan mereka berbahasa dengan bahasa non Arab
(ajamiyah).21 Arkoun menguasai tiga bahasa (Kabilia, Arab, dan Perancis),
dan oleh karenanya ia pun tersadar bahwa bahasa bukan merupakan sarana
utama untuk mengekspresikan diri, karena tiap bahasa memiliki karakteristik
masing-masing sesuai dengan latar belakang kebudayaannya. Sehingga
terkadang satu bahasa, ada kata yang tidak bisa diterjemahkan kedalam bahasa
lain.22

20

Fazlur Rahman, Islamic Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, The University of


Chicago, Chicago, hlm. 5-7.
21
Waryono Abdul Ghafur, Al-Qur'an Dan Tafsirannya dalam Perspektif Arkoun, dalam Studi Al-Qur'an
Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002, hlm: 168
22
Suadi Putro, Muhammed Arkoun Tentang Islam & Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 13

10

Arkoun merampungkan pendidikan sekolah dasar di Kabilia, dan


sekolah menengah di kota pelabuhan Oran. Setamat SMA, ia menamatkan
belajar di Universitas Aljir dengan spesialisasi bahasa dan sastra arab. Sejak
selesai dari universitas tersebut (1954), Arkoun melanjutkan studi di Paris
dengan masih konsen pada bidangnya. Dan sejak itulah ia menetap di Paris.
Pendidikan formalnya diselesaikan pada tahun 1969 dengan meraih bidang
doktor bidang sastra dari universitas Sorbone Paris, tempat ia mengajar
kemudian dengan disertasi mengenai humanisme dalam pemikiran etis
Miskawih.23
Pada 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen pada Universitas Sorbonne
di Paris yang dijalani hingga tahun 1969. Selanjutnya, dari 1970 hingga 1972,
Arkoun mengajar di Universitas Lyon, kemudian kembali ke Paris sebagai
guru besar sejarah pemikiran Islam. Berkaitan dengan posisinya ini, Arkoun
sering diundang untuk memberikan ceramah di luar Perancis.
Arkoun berpandangan bahwa banyak hal yang terdapat dalam Islam
yang unthinkable (tak dapat difikirkan) kerana kekuatan dan pemaksaan
penguasa resmi. Sebagai contohnya adalah mushaf Utsmani yang dianggap
sebagai sesuatu yang tidak boleh diterima akal. Arkoun menganjurkan free
thinking (berfikir liberal) untuk mengubah unthinkable menjadi thinkable. Ia
beralasan bahawa free thinking merupakan respon terhadap dua perkara utama.
Pertama, umat Islam perlu memikirkan masalah-masalah yang tak difikirkan
sebelumnya dan kedua, umat Islam perlu membuka wawasan baru melalui
pendekatan sistematis lintas budaya terhadap masalah-masalah asas. Dalam
konteks al-Quran, Arkoun melihat bahawa penolakan umat Islam terhadap
biblical criticism kerana alasan politik dan psikologi. Alasan politik kerana
mekanisme demokrasi belum berlaku dan psikologi kerana pandangan khalq
al-Qurn Mutazilah tertolak. Arkoun juga membahagi wahyu menjadi dua
peringkat:

23

Waryono Abdul Ghafur, Al-Qur'an Dan Tafsirannya dalam Perspektif Arkoun, dalam Studi Al-Qur'an
kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002), hlm: 169

11

1. Umm al-kitab, Wahyu jenis ini berada di lauh al-mahfzh, bersifat abadi,
tak terikat waktu dan mengandung kebenaran tertinggi.
2. Apa yang disebut Arkoun sebagai wahyu edisi dunia (terrestres edition).
Termasuk dalam wahyu ini adalah al-Quran dan Bibel. Menurutnya wahyu
edisi dunia ini telah mengalami modifikasi.
Selain itu, Arkoun juga membahagi sejarah al-Quran dalam tiga
zaman:
1. Masa Prophetic Discourse (610-632 M). Al-Quran zaman ini lebih suci
dibanding zaman lain. Sebabnya al-Quran zaman ini berbentuk lisan yang
terbuka untuk semua maksud yang mungkin.
2. Masa Official Closed Corpus (12-324 H/632-936 M). Arkoun berpendapat
bahawa al-Quran di masa ini telah tereduksi dari al-kitb al-mh menjadi
tak lebih dari buku biasa. Kerana itu mushaf menurutnya tidak patut untuk
disucikan.
3. Masa ortodoks (324 H/936 M).

D. Nashr Hamid Abu Zayd


Nashr Hamid Abu Zaid, seorang Profesor bahasa Arab dan Studi alQuran di Universitas Kairo Mesir. Ia juga menjadi dosen tamu di Universitas
Leiden Belanda, sejak tahun 1995 sampai sekarang. Intelektual asal Mesir ini
berupaya menerapkan metode analisis teks bahasa-sastra (nahj tahlil annushush al-lughawiayyah al-adabiyyah) ketika mengkaji al-Qur'an. Ia
berpendapat metode tersebut satu-satunya yang dinilai manusiawi dan berarti
untuk mengkaji Islam.24 Menurutnya Peradaban Islam dapat dikatakan sebagai
peradaban teks karena terfokus pada teks (al-Quran) inilah peradaban Islam
bergulir. Dengan demikian perlu adanya dialektika yang kontinu antara teks
(al-Quran) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara
pesat.

24

Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash; Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, (Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al'Arabi, 1994), hlm. 27.

12

Paparan Abu Zaid di atas diperkuat oleh ungkapan Muhammad


Arkoun, yang menyatakan bahwa sebuah tradisi termasuk Islam yang di
dalamnya berlandaskan nilai al-Quran akan kering, mati, dan mandeg jika
tidak dihidupkan secara kontinu melalui pengkajian ulang sejalan dengan
dinamika sosial.25 Untuk itulah pemahaman terhadap al-Quran dengan
berbagai metode sesuai sosial-budaya yang melingkupinya perlu terus
dilakukan sebagai inspirasi pemikiran, pergerakan dan perilaku keagamaan. Ia
menilai para ulama berlebihan di dalam menyikapi teks, sehingga pada
hasilnya membawa pemahaman yang dikotomis antara teks dan realitas.
Penilaian yang sakral terhadap teks berdampak pada penafsiran dan
pemahamannya, sementara realitas yang ada seringkali dilupakan. Ini
melahirkan suatu klaim kebenaran oleh individu, kelompok, atau madzhab
tertentu ketika memahami teks.
Di dalam pemahaman teks, ia menggunakan dua pendekatan, yakni
semiotika dan hermeneutika. Dua metode pendekatan inilah yang kemudian
menghasilkan kesimpulan bahwa al-Quran merupakan produk budaya
(cultural product, al-muntaz ats-tsaqafi).26 Inilah yang membuat ia dinilai
sebagai tokoh kontroversial sehingga masyarakat Mesir pada awalnya menolak
dan sempat hendak mengusirnya, atau bahkan menilai kafir. Sebelum
memunculkan kesimpulan tersebut, ia memiliki pandangan tentang dua fase
teks al-Quran yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial
budayanya. Fase tesebut ialah (a) fase keterbentukan (marhalah at-Tasyakkul),
pada fase ini teks masih mengkonstruksi dirinya secara struktural dalam sistem
budaya yang ada; (b) fase pembentukan (marhalah at-tasykil) Pada fase ini
terk al-Quran membentuk dan mengkonstruk ulang budaya dengan sistem
bahasa khusus yang berbeda dengan

bahasa induknya yang kemudian

mempengaruhi sistem kebudayaan.27

25

Ahmad Fuad Fanani, Islam Madzhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, ( Jakarta: Kompas,
2004), hlm. 92.
26
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qurn; Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005),
hlm. 99.
27
Ibid, hlm. 100.

13

Ia mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika belajar di


Universitas Pennsylvania, Philadephia antara tahun 1978-1980. Ia mengakui
hermeneutika telah membuka cakrawala pemikirannya, di mana ia bersentuhan
langsung dengan karya filsafat dan hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks
yang ada. Setelah lama berkecimpung dengan literature hermeneutika Barat, Ia
lalu membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar
dalam kajian hermeneutika.28
Al-Qur'an, menurut Abu Zaid adalah Kalam Allah dalam wujud
bahasa manusia, ini sebagai tujuan Allah agar maksud dan harapannya dapat
dimengerti oleh manusia. Menurutnya, Kalam Allah itu perlu mengadaptasi
dengan bahasa manusia, jika tidak maka manusia tidak akan mampu
mengetahui maksud Sang Pemberi Kalam itu. Dan sebenarnya al-Qur'an
merupakan hasil riwayat Nabi Muhammad saw. Teks al-Qur'an ketika
diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Merupakan teks Ilahi menjadi
sebuah konsep atau teks manusiawi, karena ia berubah dari tanzil menjadi
takwil. Jadi teks al-Qur'an adalah pemahaman Rasulullah saw. Atas apa yang
diterimanya dari pewahyuan tersebut.29 Dengan bahasa lain, bahwa al-Qur'an
merupakan produk budaya, budaya Arab kala itu yang dipahami oleh Nabi
Muhammad saw. Dari sini dapat dipahami bagaimana Abu Zaid cukup
terpengaruh dengan apa yang ditemukannya dalam diri Hermes yang berperan
mengubah apa yang di luar pengertian manusia ke dalam bentuk yang
dimengerti manusia. Dan inilah yang dikhawatirkan oleh kalangan Muslim lain
yang menolak hermeneutika sebagai metode pemahaman al-Qur'an.
Dengan demikian teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang sama
dengan teks-teks lain di dalam budaya, sekalipun asalnya dari Allah. Oleh
sebab itu untuk memahaminya tidak diharuskan menggunakan metode khusus
dan tertentu yang pada akhirnya akan melahirkan

pengkultusan terhadap

penafsiran. Inilah yang disebutkan oleh Khaled M. Abou el Fadl sebagai

28

Nashr Hamid Abu Zaid, Isykaliyat al-Qira'ah wa Aliyat at-Ta'wil, (Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al'Arabi, 1994), h. 13-14.
29
Sunarwoto, Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-studi al-Qur'an, dalam Sahiron Syamsuddin
dkk, Hermeneutika Al-Qur'an Madzhab Yogya, (Yogyakarta : Islamika, 2003), Cet. I, h. 104.

14

bentuk kelaliman, karena itu akan mengunci teks dalam sebuah makna tertentu.
Anggapan inilah yang merubah paradigma pemahaman al-Qur'an klasik yang
dikritik oleh Abu Zaid dengan istilah teologis-spekulatif yang disebut sebagai
"dialektika turun", yaitu memahami teks berdasarkan sudut pandang penutur
teks, sebagai kebalikan dari paradigma baru sebagai bentuk "dialektika naik",
yaitu mendekati teks dari realitas empirik serta kulturalnya sehingga lebih
obyektif ilmiah.
Abu Zaid mendirikan bangunan metode pemahaman teks sebagaimana yang dipaparkan oleh Sunarwoto dengan mengkritik pola
penafsiran yang dilakukan oleh Mu'tazilah dengan pendekatan majaz, dan
kelompok sufi dengan takwilnya.30 Pembacaan teks melalui kedua pola
tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial-politik dan budaya penafsir.
Pemahaman semacam ini tetap akan dipengaruhi oleh orang yang
menfsirkannya, baik latar belakang keilmuan maupun tradisi yang berlaku pada
dirinya. Abu Zaid mengalami kegelisahan akademik ketika menyaksikan
wacana keagamaan kontemporer - khususnya di Mesir - dalam menyakapi
warisan intelektual keislaman di satu sisi, dan menghadapi gencarnya
pembaruan.

E. Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur adalah seorang Profesor di jurusan Tehnik Sipil
Universitas Damaskus dengan latar belakang ilmu mekanika tanah dan teknik
pondasi. Ia menunjukkan komitmen dan konsistensinya ketika beralih
menekuni studi al-Qur'an. Syahrur sebagaimana Abu Zaid mengkritik
kelemahan yang dilakukan para penafsir sebelumnya. Ia menilai para penafsir
terdahulu tidak ada pijakan metode ilmiah obyektif. Ia berguru kepada seorang
ahli linguistik sebagai modal dalam pengkajian al-Qur'an. Pada tahun 1980 ia
bertemu dengan dosen linguistic bernama Ja'far Dak al-Bab dalam sebuah
organisasi etnis di Uni Soviet. Pertemuan itu membawa ketertarikannya pada
studi linguistik, filsafat. Dan studi al-Qur'an. Hasilnya ia mengenal ahli
30

Ibid, hlm. 104.

15

linguistik di lingkungan pemikir Arab seperti al-Farra, Abu Ali al-Farisi, dan
muridnya Ibnu Jinni serta Abdul Qahir al-Jurjani.
Untuk menguak pemikiran yang diambil oleh Syahrur dari linguis
Arab, Ja'far Dak al-Bab telah memberikan pengantar dalam penerbitan tulisan
perdana Syahrur yakni al-Kitab wa al-Qur'an. Ja'far menggabungkan teori Ibnu
Jinni dan al-Jurjani, meski tetap dalam jalur linguistik Abu Ali al-Farisi.
Pemikiran utama dari pemikiran tersebut adalah; (1) Penggabungan antara
studi diakronik al-Jurjani dan sinkronik Ibnu Jinni; (2) Teori Ibnu Jinni yang
menyatakan bahwa bahasa tidak terbentuk seketika dan teori al-Jurjani tentang
hubungan antara bahasa dan pertumuhan pemikiran merupakan hal yang saling
terkait. Dengan demikian bahasa dengan segala aturannya tumbuh dan
berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia. Sedangkan ciri
linguistik Abu Ali al-Farisi dapat disimpulkan; (a) bahasa pada dasarnya adalah
sebuah system, (b) bahasa merupakan fenomena social dan strukturalnya
terkait dengan fungsi transmisi yang melekat pada bahasa tersebut (konteks di
mana bahasa itu disampaikan), dan (c) adanya kesesuaian antara bahasa dan
pemikiran.31
Beberapa pandangan di atas menunjukkan telah terjadi modernisasi
dalam pemikiran linguistik di Arab, dan keluar dari pemikiran ortodoks yang
menyatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa khusus karena ia adalah bahasa
suci, bahasa yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan wahyunya, sehingga
bahasa tidak terkait dengan pemikiran dan struktus social masyarakatnya.
Sekalipun aliran-aliran di atas cukup terkait dengan strukturalisme namun ia
telah menunjukkan sikap kritisnya sehingga unsur-unsur historis diterima
dalam linguistic tanpa menafikan adanya struktur.
Modernisasi dalam linguistik tersebut membuka peluang bagi Syahrur
untuk merumuskan prinsip-prinsip dalam studi al-Qur'an, yakni:

31

Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah Mu'ashirah al-ahali, (Damaskus: al-Ahali,


1990), hlm. 21-22

16

1. Memaksimalkan seluruh potensi karakter linguistik Arab dengan


berpijak pada tiga teori pendaulunya, yaitu metode linguistik Abu
Ali al-Farisi, perspektif linguistik Ibnu Jinni dan Abdul Qahir alJurjani dan syair Arab jahiliyyah.
2. Berdasar pada produk akhir ilmu linguistic modern yang
menyatakan bahwa bahasa manapun tidak memiliki karakter
sinonim. Sebuah kata dalam koridor historisnya, mengalami dua
alterntif proses yaitu akan mengalami kehancuran atau membawa
makna baru selain makna asalnya.
3. Jika Islam bersifat relevan pada setiap ruang dan waktu, maka
harus dipahami bahwa al-Kitab juga diturunkan kepada kita yang
hidup pada abad dua puluh ini. Kitab-kitab tafsir dan fiqh yang
dihasilkan generasi terdahulu harus dipandang sebagai interaksi
mereka dengan al-Kitab dalam sejarah mereka. Artinya kita perlu
merumuskan kembali kajian tafsir dan pemahaman tekstual
keagamaan guna menghasilkan fiqh ala modern meskipun tanpa
harus melupakan hasil kajian ulama terdahulu.
4. Allah tidak perlu memberi petunjuk berupa al-Kitab untuk diriNya sendiri. Maka Dia menurunkannya sebagai petunjuk bagi
menusia. Oleh karena itu seluruh kandungan al-Kitab pasti dapat
dipahami sesuai dengan kemamuan akal. Al-Kitab diturunkan
dalam sebentuk media yang sesuai dengan kapasitas pemahaman
manusia. Media tersebut berupa bahasa (linguistic) Arab murni (allisan al-Arab al-Mubin). Tidak ada kontradiksi antara bahasa dan
pemikiran, maka tidak ada ayat yang tidak bisa dipahami dan
pemahaman terhadap al-Kitab selalu bersifat relatif, histories, dan
temporal. Jika terdapat ayat yang tidak mampu ditembus oleh
pemahaman manusia, maka fungsi al-Kitab sebagai petunjuk belum
dapat dirasakan.
5. Tidak ada pertentangan akal dan wahyu, dan tidak ada pertentangan
wahyu dan realitas yang berupa kebenaran informasi dan
rasionalitas penetapan hukum.

17

6. Lebih menghormati akal pembaca daripada kepentingan tertentu.32


Tawaran Syahrur di atas mengakibatkan al-Quran harus dipahami
berdasarkan metodologi ilmiah. Termasuk di dalamnya adalah pendekatan
filsafat dengan berbagai cabangnya, dan pendekatan kebahasaan. Syahrur
membedakan antara konsep al-Quran dengan al-Kitab, menurutnya al-Kitab
bukan hasil teks budaya manusia, tetapi merupakan wujud teks al-Kitab.
Karena al-Kitab merupakan Kalam Allah, dan Allah bersifat absolut, dan
memiliki sifat kesempurnaan, maka Kalam tersebut yang terwujud dalam alKitab memiliki nilai absolut. Ini semua berwujud pada teks berbahasa Arab
yang merupakan hasil budaya manusia yang tidak lepas dari struktur nalar dan
kondisi sosial. Dengan demikian al-Kitab menngandunng unsur absolut ilahiah,
sedangkan pemahaman terhadap teks bersifat relatif. Relatifitas dalam
pandangan Syahrur ialah kerangka hubungan antara pembaca dengan teks alKitab yang berbahasa Arab, dan bukan al-Kitab itu secara hakiki.
F. Ali Harb (Taroh setelah Syahrur saja)
Ali Harb, penulis, pemikir dan filosof kelahiran Lebanon 1941,
menyelesaikan pendidikan akademisnya di Universitas Lebanon dan meraih
gelar Master dalam bidang filsafat pada tahun 1978. Sejak tahun 1976 hingga
1993, dia mengajar filsafat Arab dan Yunani pada tahun akademis 1995-1996,
dia mendapatkan kesempatan menempuh gelar Agreation dari Universitas
Paris, Prancis.33 Sejak tahun 1979, dia telah aktif menulis artikel dan
diterbitkan dalam berbagai surat kabar Lebanon serta jurnal-jurnal kebudayaan
Arab. Dia juga aktif menyampaikan kuliah dalam berbagai simposium dan
seminar. Tentang budaya dan pemikiran di negara-negara Arab di luar
Lebanon, seperti Tunisia, Maghribi, Bahrain, Suriah, Arab Saudi, Mesir, dan
Kuwait. Kini dia mengajar di Universitas Beirut Lebanon.
Pemikiran Ali Harb ini sesungguhnya mempersoalkan kecenderungan
di kalangan para pemikir dan intelektual Arab dalam menyikapi problematika
32

Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah Mu'ashirah al-ahali, (Damaskus : al-Ahali,


1990), hlm. 44-45
33
Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur'an, terj. M. Faisol Fatawi, LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm. 456

18

pembaharuan (at-tajdd). Isu-isu pembaharuan pemikiran Islam di Arab,


terutama paska kekalahan politik atas Israel pada juli 1967, diliputi persoalan
at tajdd wa at-turts. Pendirian Ali Harb berujung pada persoalan ketertutupan
dan keterbukaan pemikiran dan juga nalar. Baginya, pemikiran yang tertutup
adalah pemikiran yang memandang pemikiran lain melalui identitas kultural,
rasial, bahasa, madzhab, dan agamanya. Jika sesuai maka dia akan
menerimanya, dan begitu sebaliknya, jika tidak sesuai atau tidak identik
denganya maka ditolak. Sedangkan pemikiran terbuka adalah pemikiran yang
tidak

mempersoalkan

identitas-identitas

tersebut

untuk

diterimanya.

Keterbukannya inilah yang dicoba dilakukan Ali Harb melalui kritik teksnya.
Satu teks memiliki berbagai tradisi, beragam aspek, aneka pertentangan,
kekaburan, celah dan lubang bahkan juga memiliki realitas maya dan ruang
kosong.34 Karenanya, sebuah teks dibaca dengan linguistik atau membaca
kemungkinan-kemungkinan semantisnya, atau mengungkap struktur maknanya
atau ekspansi bidang garapannya.
Berdasarkan pertimbangan di atas sebuah teks mungkin untuk diteliti
dan dibaca atau dianggap sebagai wacana yang bergerak tanpa titik akhir atau
paparan yang tidak untuk dihentikan, pembacaan sebagai bentuk perlakuan
terhadap teks dapat dianggap sebagai ruang yang terbuka, dimana di dalamnya
dapat diselidiki kemungkinan-kemungkinan rasionalnya atau kekayaan
strukturalnya, sehingga penelitian terhadap kekuatan interpretasinya sebagai
kekuatan yang mencerahkan menjadi keniscayaan.35

G. Penentang Metode Hermeneutika


Terdapat di kalangan ilmuan yang menolak idea-idea yang disusun
Muhammad Syahrur di dalam bukunya (Qiraah Mu`ashirah, di antaranya:
Prof. Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan al-Buti dalam majalah Nahj Islam,
bertajuk al-Khalfiyat al-Yahudiyyah li Siar Qiraah Mu`ashirah, (Desember
1990), Dr. Syauqi Abu Khalil dalam tulisannya bertajuk Taqatu`at Khatirah fi
34

Ali Harb, Relativitas Kebenaran Agama, Kritik dan Dialog, terj. Umar Bukhory, (Yogyakarta, 20001),
hlm. 16
35
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualis Al-Qur'an, terj. Khoirun N., (Yogyakarta, LKiS, 2003), hlm. 12

19

Darb al-Qiraah al-Mu`ashirah, dalam majalah Nahj Islam (maret 1991).


Seluruh umat Islam sepakat bahawa lafaz al-Quran adalah dari Allah SWT.
Alasan penolakannya pun berdasarkan asumsi dan larangan yang
logis, pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya
merupakan karya manusia. Tanggapan ini lahir dari kekecewaan mereka
terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu diragukan keasliannya.
Campur tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru
(Gospels) didapati jauh lebih banyak menyeleweng apa yang sebenarnya
diwahyukan Allah kepada Nabi Musa a.s dan Nabi Isa a.s. Bila diterapkan pada
al-Quran, hermeneutika akan menolak status al-Quran sebagai Kalamullah, dan
menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani.36
Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai hasil sejarah
hal itu mungkin tepatjika kaitannya dengan kitab Bible, mengingat sejarahnya
yang amat bermasalah. Hal ini tidak berlaku kepada al-Quran, yang
kebenarannya melintasi setiap ruang dan waktu (trans-historical) dan pesanpesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudan li-n naas).
Ketiga, penganut faham hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis,
selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap
dalam apa yang disebut sebagai lingkaran hermeneutik, dimana maknanya
sentiasa berubah.
Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk mengikut
relativisme epistemologi. Yaitu tidak ada tafsir yang mutlak, semuanya relatif.
Benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran
terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain
mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan
mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar).

36

Syamsuddin Arif. 2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran-Bab Hermenutika dan Tafsir Al-Quran.
Jakarta : Gema Insani Press.

20

BAB III
PENUTUP

Sebagai ungkapan penutup, penulis berhadap dengan adanya makalah ini, bisa
memperkaya khzanah keilmuan bagi pembaca. Penulis juga berpesan agar tidak terjadi
adanya kesalah pahaman atau kurang lengkapnya ilmu yang didapat, alangkah baiknya
bila pembaca sekalian mengkaji pemikiran para tokoh secara lebih jauh dalam referensireferensi yang digunakan dalam makalah ini. Karena didalam referensi tersebut
sebenarnya sudah jauh lebih lengkap tentang biografi, alur pemikiran, serta
asumsi/pemikiran dari para tokoh Hermeneutika al-Quran/dalam Islam.
Tidak lupa, penulis menyadari bahwa materi dalam makalah ini belum
sepenuhnya lengkap dan masih banyak celah untuk bisa didiskusikan. Sehingga, penulis
selalu menerima adanya saran dan kritik yang bersifat membangun atas tersusunnya
makalah ini.

21

DAFTAR PUSTAKA

Fanani, Ahmad Fuad. 2004. Islam Madzhab Kritis; Menggagas Keberagamaan


Liberatif. Jakarta: Kompas.
Harb, Ali. 2003. Hermeneutika Kebenaran. Terj. Sunarwoto Dema. Yogyakarta: LkiS.
Harb, Ali. 2001. Relativitas Kebenaran Agama, Kritik dan Dialog. terj. Umar Bukhory.
Yogyakarta
Husaini, Adian & Albaghdadi, Abdurrahman. 2007. Hermeneutika Dan Tafsir Al
Quran. Jakarta: Gema Insani.
Saenong. 2002. Hermeneutika Pembebasan, Metodologi Tafsir al-Quran menurut
Hasan Hanafi. Bandung: Teraju.
Sumaryono. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika Qurani : Antara Teks, Konteks dan Kontekstual.
Yogyakarta: Qalam
Rahman, Fazlur. Islamic Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition.
Chicago: The University of Chicago.
Iqbal. 1981. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab
Bhavan
Abu Zaid, Nasr Hamid. 2003. Tekstualis Al-Qur'an. terj. Khoirun N. Yogyakarta: LKiS
Putro, Suadi. 1998. Muhammed Arkoun Tentang Islam & Modernitas. Jakarta:
Paramadina
Amal, Taufik Adnan. 1994. Islam dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan.
Arif, Syamsuddin. 2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran-Bab Hermenutika dan
Tafsir Al-Quran. Jakarta: Gema Insani Press.

22

Anda mungkin juga menyukai