Tokoh Hermenutika Al-Quran
Tokoh Hermenutika Al-Quran
DI ERA KONTEMPORER
Oleh:
Ahmad Kamal Abdul Jabbar
F02716153
Pengampu:
Dr. Abd. Syaku, M.Ag
BAB I
PENDAHULUAN
Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, (London : Routledge and Kegan Paul, 1980), hlm. 12
Ibid, hlm. 12.
3
Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Pent. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta : LKiS, 2003), cet. I, hlm. 2.
4
E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hlm. 23.
5 Adian Husaini & Abdurrahman Albaghdadi, Hermeneutika Dan Tafsir Al Quran, (Jakarta: Gema
Insani, 2007) hlm. 7-8.
2
dan pengertian dasar suatu ucapan atau tulisan yang tidak jelas, rigid dan bertentangan
yang menimbulkan kebingungan pendengar atau pembaca.6
Hermeneutika pada dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk
menaafsirkan simbol yang berupa teks untuk dicari maksud dan maknanya. Metode ini
mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lalu yang tidak dialami,
kemudian dibawa ke masa sekarang. Dalam perkembangannya, metode ini mengalami
perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi, dan model penerapannya muncul
dari keragaman pemahaman terhadap hermeneutik itu sendiri. Penerapan metode
hermeneutik dalam disiplin ilmu lain adalah sebagai metode memahami kitab suci,
sebagai teori filologi (kemanusiaan), sebagai pemahaman linguistik dan hermeneutik
sebagai metode tafsir.7
Pada mulanya, hermeneutika dipergunakan sebagai metode utuk menafsirkan
naskah-naskah sejarah kuno dan kitab suci. Diantara disiplin ilmu yang paling banyak
menggunakan pendekatan hermeneutik dalah ilmu tafsir itab suci, seperti Zabur, Taurat
dan Injil. Selanjutnya, metode ini banyak digunakan dalam tradisi pemikiran teologi
Yahudi dan Kristiani pada sekitar abad 4-5 Masehi. Selanjutnya, pada abad ke 17 dan
18 Masehi pendekatan ini diketahui berkembang secara luas dalam berbagai disiplin
ilmu pengetahuan, khususnya oleh orang-orang barat. Beberapa tokoh-tokohnya yang
paling diingat adalah Friedrich Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (18331911), dan Rudolf Karl Bultman (1884-1976). Perkembangan hermeneutika di abad 20
mengalami lompatan yang cukup besar karena perdebatannya lebih mengarah kepada
wilayah ontologi dan epistemologi, lompatan besar ini tidak lepas dari sumbangan para
ilmuwan seperti Martin Heidegger (1889-1976), Paul Ricoerur (1913-2005) dan Hans
George Gadamer (1900-2002). Lantas bagaimana perkembangan hermeneutika dalam
Islam, penulis akan coba sajikan dalam pembahasan lebih lanjut pada bab selanjutnya.
6 Ibrahim & Achmad Yaman, Penyelewengan Tafsir Alquran: Kritikan Terhadap Buku Fiqih Lintas
Agama, (Bangi : Fakulti Pengajian Islam,Universti Kebangsaan Malaysia, 2010) 40.
7
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qurani : Antara Teks, Konteks dan Kontekstual, (Yogyakarta: Qalam,
2002) hlm. 22
BAB II
PEMBAHASAN
Muzairi, Hermeneutika Dalam Pemikiran Islam, dalam Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika AlQur'an Madzhab Yogya, (Yogyakarta : Islamika, 2003), Cet. I, hlm. 60
9
Mohammad Nur Khalis, "Nashr Abu Zaid; Beberapa Pembacan terhadap Turats Arab" , dalam Nashr
Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan
atas Diskursus Keagamaan, Pent. Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin, (Jakarta : ICIP, 2004),
cet. I, hlm. xv
lebih menekankan kepada ihwal pemikiran.10 Sekalipun di dalam melakukan kritik teks
dan pemikirannya banyak menggunakan teori sastra terutama berkenaan dengan teori
teks, di samping filsafat. Permikirannya lebih cenderung kepada permasalahan
keterpurukan umat Islam, khususnya pemikiran di dunia Arab dalam menyikapi
kemajuan. Ia banyak menyoroti pola pemikiran dunia Arab kontemporer yang masih
berkutat dalam kerangka kultural, nasional, ataupun keagamaan.
Tokoh Islam yang memiliki kemiripan dengan Ali Harb ialah Muhammad
Syahrur dalam hal memandang kemunduran dan ketertinggalan dunia Arab-Islam
dengan Barat karena sistem pemikiran yang digunakan tidak mampu mengeluarkannya
dari kejumudan dan taklid. Hal serupa disampaikan oleh Khaled M. Abou el-Fadl yang
menyoroti para penafsir periode terdahulu telah melahirkan mateode penafsiran yang
cenderung berkonsentrasi pada upaya pengembangan berbagai kaidah untuk
memecahkan makna teks berdasarkan waktu dan tempat turunnya. Pelaksanaan ini
berkutat pada asumsi bahwa setiap runtutan huruf, kata, dan kalimat merupakan sesuatu
yang telah matang dan benar, tidak mungkin Tuhan salah di dalam peletakaknnya,
sehingga pemahamannya harus berangkat dari susunan kalimat tersebut. Di sinilah letak
kekakuan dalam memberi interpretasi suatu ayat, lebih-lebih berkaitan dengan hukum.
Sehingga hukum yang dihasilkan hanya meliputi maksud asal teks untuk melayani teks,
bukan dalam rangka memberi jawaban persoalan kehidupan dengan berdasarkan teks.
Jika demikian maka keberadaan al-Qur'an belum mampu memberikan hidayahnya
kepada umat manusia yang membutuhkan penerangan hukum.
A. Hasan Hanafi
1. Biografi Singkat
Hasan Hanafi dilahirkan di Mesir, pada tanggal 13 Pebruari 1935.
Beliau dikenal sebagai seorang pemikir hukum Islam dan Professor filsafat
terkemuka di Universitas Kairo Mesir. Hasan Hanafi juga dikenal sebagai
ilmuan yang menghabiskan sebagian besar umurnya hanya untuk belajar dan
berkarya. Beliau menyumbangkan ide-ide brilian untuk revolusi umat Islam.
Dari sekolah dasar sampai sarjana dia habiskan di Mesir. Barulah dia
10
Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, Terj. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta : LKiS, 2003), cet. I, h. 3-15
Perancis
untuk
melampiaskan
kehausannya
akan
ilmu,
Hanafi
13
Devi Muharrom Sholahuddin, Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Quran Hasan Hanafi, 2010,
B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan. Metodologi Tafsir al-Quran menurut Hasan Hanafi,
(Bandung: Teraju, 2002), hlm. 140-141.
14
15
Taufik Adnan Amal (penyunting), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman,
Mizan, Bandung:, 1993, hlm. 17-20.
16
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung, 1994, hlm.79-81.
17
Ibid, hlm. 82-104.
Komaruddin Hidayat, Arkoun dan Tradisi Hermeneutik dalam Tradisi, Kemodernan, dan
Metamodernisme (JH Mouleman:Penyunting), LkiS, Yogyakarta, 1996, hlm. 33
b.
19
Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Kitab Bhavan: New Delhi, 1981), hlm. 20.
bahwa
al-Quran
biasanya
memberikan
alasan
bagi
20
10
23
Waryono Abdul Ghafur, Al-Qur'an Dan Tafsirannya dalam Perspektif Arkoun, dalam Studi Al-Qur'an
kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002), hlm: 169
11
1. Umm al-kitab, Wahyu jenis ini berada di lauh al-mahfzh, bersifat abadi,
tak terikat waktu dan mengandung kebenaran tertinggi.
2. Apa yang disebut Arkoun sebagai wahyu edisi dunia (terrestres edition).
Termasuk dalam wahyu ini adalah al-Quran dan Bibel. Menurutnya wahyu
edisi dunia ini telah mengalami modifikasi.
Selain itu, Arkoun juga membahagi sejarah al-Quran dalam tiga
zaman:
1. Masa Prophetic Discourse (610-632 M). Al-Quran zaman ini lebih suci
dibanding zaman lain. Sebabnya al-Quran zaman ini berbentuk lisan yang
terbuka untuk semua maksud yang mungkin.
2. Masa Official Closed Corpus (12-324 H/632-936 M). Arkoun berpendapat
bahawa al-Quran di masa ini telah tereduksi dari al-kitb al-mh menjadi
tak lebih dari buku biasa. Kerana itu mushaf menurutnya tidak patut untuk
disucikan.
3. Masa ortodoks (324 H/936 M).
24
Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash; Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, (Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al'Arabi, 1994), hlm. 27.
12
25
Ahmad Fuad Fanani, Islam Madzhab Kritis; Menggagas Keberagamaan Liberatif, ( Jakarta: Kompas,
2004), hlm. 92.
26
Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qurn; Tema-tema Kontroversial, (Yogyakarta: eLSAQ, 2005),
hlm. 99.
27
Ibid, hlm. 100.
13
pengkultusan terhadap
28
Nashr Hamid Abu Zaid, Isykaliyat al-Qira'ah wa Aliyat at-Ta'wil, (Beirut : Markaz ats-Tsaqafi al'Arabi, 1994), h. 13-14.
29
Sunarwoto, Nasr Hamid Abu Zaid dan Rekonstruksi Studi-studi al-Qur'an, dalam Sahiron Syamsuddin
dkk, Hermeneutika Al-Qur'an Madzhab Yogya, (Yogyakarta : Islamika, 2003), Cet. I, h. 104.
14
bentuk kelaliman, karena itu akan mengunci teks dalam sebuah makna tertentu.
Anggapan inilah yang merubah paradigma pemahaman al-Qur'an klasik yang
dikritik oleh Abu Zaid dengan istilah teologis-spekulatif yang disebut sebagai
"dialektika turun", yaitu memahami teks berdasarkan sudut pandang penutur
teks, sebagai kebalikan dari paradigma baru sebagai bentuk "dialektika naik",
yaitu mendekati teks dari realitas empirik serta kulturalnya sehingga lebih
obyektif ilmiah.
Abu Zaid mendirikan bangunan metode pemahaman teks sebagaimana yang dipaparkan oleh Sunarwoto dengan mengkritik pola
penafsiran yang dilakukan oleh Mu'tazilah dengan pendekatan majaz, dan
kelompok sufi dengan takwilnya.30 Pembacaan teks melalui kedua pola
tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial-politik dan budaya penafsir.
Pemahaman semacam ini tetap akan dipengaruhi oleh orang yang
menfsirkannya, baik latar belakang keilmuan maupun tradisi yang berlaku pada
dirinya. Abu Zaid mengalami kegelisahan akademik ketika menyaksikan
wacana keagamaan kontemporer - khususnya di Mesir - dalam menyakapi
warisan intelektual keislaman di satu sisi, dan menghadapi gencarnya
pembaruan.
E. Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur adalah seorang Profesor di jurusan Tehnik Sipil
Universitas Damaskus dengan latar belakang ilmu mekanika tanah dan teknik
pondasi. Ia menunjukkan komitmen dan konsistensinya ketika beralih
menekuni studi al-Qur'an. Syahrur sebagaimana Abu Zaid mengkritik
kelemahan yang dilakukan para penafsir sebelumnya. Ia menilai para penafsir
terdahulu tidak ada pijakan metode ilmiah obyektif. Ia berguru kepada seorang
ahli linguistik sebagai modal dalam pengkajian al-Qur'an. Pada tahun 1980 ia
bertemu dengan dosen linguistic bernama Ja'far Dak al-Bab dalam sebuah
organisasi etnis di Uni Soviet. Pertemuan itu membawa ketertarikannya pada
studi linguistik, filsafat. Dan studi al-Qur'an. Hasilnya ia mengenal ahli
30
15
linguistik di lingkungan pemikir Arab seperti al-Farra, Abu Ali al-Farisi, dan
muridnya Ibnu Jinni serta Abdul Qahir al-Jurjani.
Untuk menguak pemikiran yang diambil oleh Syahrur dari linguis
Arab, Ja'far Dak al-Bab telah memberikan pengantar dalam penerbitan tulisan
perdana Syahrur yakni al-Kitab wa al-Qur'an. Ja'far menggabungkan teori Ibnu
Jinni dan al-Jurjani, meski tetap dalam jalur linguistik Abu Ali al-Farisi.
Pemikiran utama dari pemikiran tersebut adalah; (1) Penggabungan antara
studi diakronik al-Jurjani dan sinkronik Ibnu Jinni; (2) Teori Ibnu Jinni yang
menyatakan bahwa bahasa tidak terbentuk seketika dan teori al-Jurjani tentang
hubungan antara bahasa dan pertumuhan pemikiran merupakan hal yang saling
terkait. Dengan demikian bahasa dengan segala aturannya tumbuh dan
berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia. Sedangkan ciri
linguistik Abu Ali al-Farisi dapat disimpulkan; (a) bahasa pada dasarnya adalah
sebuah system, (b) bahasa merupakan fenomena social dan strukturalnya
terkait dengan fungsi transmisi yang melekat pada bahasa tersebut (konteks di
mana bahasa itu disampaikan), dan (c) adanya kesesuaian antara bahasa dan
pemikiran.31
Beberapa pandangan di atas menunjukkan telah terjadi modernisasi
dalam pemikiran linguistik di Arab, dan keluar dari pemikiran ortodoks yang
menyatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa khusus karena ia adalah bahasa
suci, bahasa yang digunakan Tuhan untuk menyampaikan wahyunya, sehingga
bahasa tidak terkait dengan pemikiran dan struktus social masyarakatnya.
Sekalipun aliran-aliran di atas cukup terkait dengan strukturalisme namun ia
telah menunjukkan sikap kritisnya sehingga unsur-unsur historis diterima
dalam linguistic tanpa menafikan adanya struktur.
Modernisasi dalam linguistik tersebut membuka peluang bagi Syahrur
untuk merumuskan prinsip-prinsip dalam studi al-Qur'an, yakni:
31
16
17
18
mempersoalkan
identitas-identitas
tersebut
untuk
diterimanya.
Keterbukannya inilah yang dicoba dilakukan Ali Harb melalui kritik teksnya.
Satu teks memiliki berbagai tradisi, beragam aspek, aneka pertentangan,
kekaburan, celah dan lubang bahkan juga memiliki realitas maya dan ruang
kosong.34 Karenanya, sebuah teks dibaca dengan linguistik atau membaca
kemungkinan-kemungkinan semantisnya, atau mengungkap struktur maknanya
atau ekspansi bidang garapannya.
Berdasarkan pertimbangan di atas sebuah teks mungkin untuk diteliti
dan dibaca atau dianggap sebagai wacana yang bergerak tanpa titik akhir atau
paparan yang tidak untuk dihentikan, pembacaan sebagai bentuk perlakuan
terhadap teks dapat dianggap sebagai ruang yang terbuka, dimana di dalamnya
dapat diselidiki kemungkinan-kemungkinan rasionalnya atau kekayaan
strukturalnya, sehingga penelitian terhadap kekuatan interpretasinya sebagai
kekuatan yang mencerahkan menjadi keniscayaan.35
Ali Harb, Relativitas Kebenaran Agama, Kritik dan Dialog, terj. Umar Bukhory, (Yogyakarta, 20001),
hlm. 16
35
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualis Al-Qur'an, terj. Khoirun N., (Yogyakarta, LKiS, 2003), hlm. 12
19
36
Syamsuddin Arif. 2008. Orientalis & Diabolisme Pemikiran-Bab Hermenutika dan Tafsir Al-Quran.
Jakarta : Gema Insani Press.
20
BAB III
PENUTUP
Sebagai ungkapan penutup, penulis berhadap dengan adanya makalah ini, bisa
memperkaya khzanah keilmuan bagi pembaca. Penulis juga berpesan agar tidak terjadi
adanya kesalah pahaman atau kurang lengkapnya ilmu yang didapat, alangkah baiknya
bila pembaca sekalian mengkaji pemikiran para tokoh secara lebih jauh dalam referensireferensi yang digunakan dalam makalah ini. Karena didalam referensi tersebut
sebenarnya sudah jauh lebih lengkap tentang biografi, alur pemikiran, serta
asumsi/pemikiran dari para tokoh Hermeneutika al-Quran/dalam Islam.
Tidak lupa, penulis menyadari bahwa materi dalam makalah ini belum
sepenuhnya lengkap dan masih banyak celah untuk bisa didiskusikan. Sehingga, penulis
selalu menerima adanya saran dan kritik yang bersifat membangun atas tersusunnya
makalah ini.
21
DAFTAR PUSTAKA
22