Anda di halaman 1dari 2

Bendera, Siap Kepada, Sang Merah Putih, hormat graaaak Dan suasanapun

menjadi hening, lagu Indonesia Raya mengalun cukup keras dan kompak, tangan-tanganpun
lantas terangkat memberi hormat. Akupun menghormat, dan tatapanku mengikuti bendera
yang perlahan naik seirama dengan tarikkan harmonis para pengibar. Namun, tiba tiba
dibarisan kelas XI, ada dua anak tampak terkekeh tertawa tawa, tanpa mengangkat tangan
tanda hormat. Emosiku menggelegak.Aku hampiri mereka dari belakang, dan secepat yang
aku bisa lakukan, kulayangkan tendanganku mengenai kaki kaki mereka. Mereka terhuyung
hampir jatuh, dan berbalik, namun ketika mengetahui siapa yang menendang, mereka segera
berbalik lagi, mulut mereka segera terkunci dan tangan kanan mereka segera terangkat
memberi hormat. Sikapku berlebihan? Mungkin. Namun,
Kalau sedang berkunjung ke makam kakekku di Tuntang, ada sebuah makam yang
selalu menarik perhatianku.Makam itu selalu bersih, dan diantara dua nisannya ada hiasan
dari seng berbentuk bambu runcing berhiaskan bendera merah putih. Kata Bapak, orang yang
terbaring disitu dulunya adalah seorang pejuang. Sebelumnya, aku tidak pernah melihat
seseorang berdoa di situ. Namun, hari itu, aku melihat seorang kakek yang berjongkok di
depan makam sambil mulutnya komat kamit membaca doa. Wajah kakek itu sudah
berkerut, namun dia masih bergerak cukup lincah ketika menaburkan bunga dan menyapu
makam itu. Entah kenapa, wajah kakek itu terekam kuat diingatanku. Dan ketika aku melihat
wajah itu lagi beberapa minggu setelahnya, di bagian bawah Pasar Salatiga, seketika itu juga
aku ingat, bahwa dia adalah kakek di makam pejuang itu. Aku mendekatinya. Dia berhenti
sejenak dari pekerjaannya memasang kancing di sebuah baju seragam SMP dan bertanya.
Ada yang bisa dibantu? Pak, bisa motong ini, agak kepanjangan. Aku keluarkan celana
seragam yang baru aku beli, namun terlalu panjang. Di potong seberapa? Panjangnya
seperti ini kataku sambil mengeluarkan satu contoh celanaku yang pas. Dia mengangguk
pelan. Bisa ditunggu pak? Lagi lagi dia mengangguk pelan tanpa menjawab dan
meneruskan memasang kancing di baju SMP itu. Bapak rumahnya di Tuntang ya? tanyaku.
Tanpa berhenti dari pekerjaannya, dia menggeleng pelan. Saya rumahnya Banyubiru mas.
Kok saya pernah lihat bapak di makam di daerah Tuntang sebelum lebaran kemarin. Kali
ini bapak itu berhenti dari pekerjaannya dan memandang ke arahku sambil tersenyum. Oh
itu, saya ke makam pakdhe saya. Pakdhenya pejuang ya pak?Bapak juga dulunya
pejuang? cecarku. Dia menggeleng. Pakdhe saya yang pejuang, saya bukan. Sorot
matanya kemudian berubah tajam, ketika dengan bersemangat ia menceritakan masa
lalunya.Bapak itu masih mengingat dengan detail, detik detik saat ibunya di ambil paksa
dari rumah oleh tentara Jepang. Ayahnya berusaha menghalangi, namun akhirnya peluru dari
senapan tentara Jepang yang akhirnya menembus dadanya. Sejak itu ia diasuh oleh
pakdhenya, sementara ibunya sampai sekarangpun tidak pernah kembali lagi, dan tidak ada
yang tahu kabar beritanya. Jaman Agresi Militer Belanda,pakdhenya bersama
4temannyadiminta pergi ke Surabaya untuk ikut membantu pejuang disana. Beberapa tahun
kemudian akhirnya pakdhenya pulang hanya dengan 2 temannya, dan satu lengan. Mortir
Belanda membuatnya cacat seumur hidup, dan kehilangan dua sahabatnya yang harus gugur
dalam sebuah penyergapan.Setelah jaman perjuangan, pakdhenya akhirnyamendapat
pekerjaan membantu di Jawatan Kereta Api sampai saat beliau meninggal. Dalam perjalanan
pulang, cerita Bapak itu masih membekas di benakku. Aku sadar cerita itu hanya satu dari
sekian banyak cerita yang mungkin sampai sekarang tidak terceritakan, karena sang empunya
cerita sudah tidak lagi sanggup bercerita. Tidak terbilang sudah berapa nyawa yang harus
melayang, berapa orang yang harus kehilangan anggota tubuhnya, sampai anggota

keluarganya, bahkan nyawanya sendiri, untuk mempertahankan agar negeri ini tetap berdiri,
agar bendera merah putih tetap berkibar, sehingga kita yang hidup di jaman ini, bisa dengan
nyaman menikmati alam kemerdekaan. Di akhir upacara, aku meminta kedua anaktersebut
untuk tinggal. Aku bertanya apa mereka tahu alasanku menendang mereka dan aku
menceritakan sedikit pertemuanku dengan Bapak tadi, dan cerita tentang pakdhenya. Aku
harap mereka, dan yang lain mengerti, mengapa saat upacara, sama sekali bukanlah saat
untuk bercanda. Ada banyak nyawa yang membela agar sang Dwi Warna tetap mengangkasa,
dan
sudah
sepantasnyalah
kita
menaruh
hormat
pada
mereka.

Anda mungkin juga menyukai