Anda di halaman 1dari 7

TINJAUAN KONDISI KEMISKINAN DAN KESADARAN

BUDAYA MISKIN DI MASYARAKAT


Kondisi dan fenomena kemiskinan yang mengungkung sebagian besar
masyarakat kita hingga kini masih menyimpan banyak perdebatan. Perdebatan
tersebut terutama seputar teori, konsep maupun metode-metode yang menyangkut
tentang kondisi kemiskinan di sekitar kita. Perdebatan dimulai dengan penyusunan
konsep, indikator, dan langkahlangkah termasuk kebijaksanaan yang harus diambil
berhubungan

dengan

cara

mengatasinya,

atau

dengan

bahasa

praktisnya

penanggulangan kemiskinan. Hal ini menjadi makin menjadi kontras, tatkala pihakpihak yang mengalami atau berada dalam kondisi miskin terus bertambah jumlah
maupun tingkat kemiskinannya. Fenomena kemiskinan sendiri berkaitan erat
dengan konsep dan permasalahan ketidak adilan dan disintegrasi kelompok,
menunjuk pada sebuah jalinan konsep yang memberi sebuah pengertian yang
saling berkait satu sama lain. Masing-masing konsep bisa dilihat secara tunggal
dengan pengertian tersendiri atau analisis saling keterkaitan atau keterhubungan
satu dengan lainnya dalam konteks kausalitas. Kemiskinan bisa terjadi karena
adanya ketidak adilan di masyarakat yang dapat mengganggu rasa kebersamaan,
atau

karena

perlakuan

yang

tidak

adil

dalam

perlakuan/pemerataan,

ada

masyarakat yang merasa miskin dalam berbagai hal yang berakibat pada
pertentangan dan perpecahan. Pola kekuasaan yang ada memungkinkan sebagian
kecil atau sekelompok individu merasa dapat perlakuan yang tidak adil dan
kesempatan

yang sama memperoleh asset dan akses untuk

berkembang,

berpotensi pada terbentuknya kelompok minoritas yang merasa miskin karena


proses pemiskinan yang berlangsung. Kelompok seperti ini akan menjadi akar di
masyarakat yang berperilaku menyimpang sehingga terjadilah penentangan dan
konflik dengan dampak yang lebih luas, yaitu disintegrasi masyarakat. Sebaliknya
gejala terjadinya disintegrasi di masyarakat dengan memudarnya kebersamaan dan
rasa persatuan diantara sesama warga masyarakat memberi ciri pada melemahnya
pola interaksi sosial, menghilangnya rasa kebersamaan diantara sesama warga
hilangnya rasa kohesi sosial dan berdampak pada tindak ketidak adilan dan
berlangsungnya proses pemiskinan dikalangan warga masyarakat.
2. RAGAM PEMIKIRAN TENTANG KEMISKINAN

Kemiskinan seperti diungkapkan oleh Suparlan (1994), dinyatakan sebagai


suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang
atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka
seseorang

atau

sekelompok

kebutuhankebutuhan

orang

hidupnya

itu

merasa

sebagaimana

kurang

layaknya.

mampu

membiayai

Kekurang

mampuan

tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacaraupacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
sosial (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada
tingkat

pemenuhan

berpakaian,

kebutuhan-kebutuhan

bertempat

tinggal

atau

yang

rumah,

mendasar

kesehatan

(makanminum,

dan

sebagainya).

Kemiskinan, masih menurut Suparlan (1994), dengan demikian terserap ke dalam


dan

mempengaruhi

hamper

keseluruhan

aspek-aspek

kehidupan

manusia.

Kemiskinan yang diderita oleh sekelompok orang bahkan sebuah masyarakat,


menghasilkan suatu keadaan dimana warga masyarakat yang bersangkutan merasa
tidak miskin bila berada dan hidup diantara sesamanya. Karena berbagai kegiatan
yang dilakukan dalam kehidupan para warga kelompok tersebut dirasakan sebagai
suatu hal yang biasa (sebagai fenomena biasa dalam kehidupan keseharian
mereka). Pada kondisi seperti itu tidak ada yang diacu untuk pamer, sehingga
diantara mereka tidak ada perasaan saling berbeda, yang dapat menimbulkan
perasaan malu. Dalam keadaan demikian, maka kemiskinan terwujud dalam
berbagai cara-cara mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka untuk dapat
hidup. Di kalangan masyarakat/kelompok yang berada dalam kondisi miskin seperti
itu, berkembang suatu pedoman bagi kehidupan mereka yang diyakini kebenaran
dan kegunaannya yang dilandasi oleh kemiskinan yang mereka derita bersama.
Pedoman atau kiatkiat untuk menghadapi fenomena miskin seperti itu kemudian
melahirkan model-model adaptasi mereka menghadapi kemiskinan.
Pada era gencarnya prmbangunan di tahun 1970-1980, sebuah seminar
ilmiah yang diadakan oleh Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu
Sosial (HIPIS), diadakan di Malang tanggal 13-17 November 1979, dengan tema dan
hasil yang monumental sampai saat ini, yaitu Kemiskinan Struktural (Soemardjan,
1980), dimana dalam pendapatnya dinyatakan bahwa kemiskinan struktural tidak
menunjuk

pada

individual

yang

miskin

karena

malas

bekerja

atau

tidak

mendapatkan penghasilan, tetapi lebih banyak karena struktur sosial masyarakat

yang ada telah membatasi hak-hak mereka untuk mendapatkan/menggunakan


sumber-sumber pendapatan yang tersedia untuk mereka. Pada kondisi seperti itu
kelompok masyarakat yang berada pada kondisi seperti itu pada umumnya memiliki
kesadaran akan

nasibnya yang berbeda dengan kelompok/ golongan lainnya.

Dalam kelompok miskin secara struktur ini, masih menurut Soemardjan, ada para
petani yang tidak bertanah atau mempunyai garapan yang sangat kecil, sehingga
tidak mencukupi untuk pemenuhan hidupnya. Juga golongan mereka yang tidak
terdidik dan terlatih yang disebut unskilled labores yang terhambat untuk
memasuki pasar kerja, golongan miskin itu juga meliputi para pengusaha tanpa
modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah, atau golongan ekonomi lemah.
Pembicaraan tentang kemiskinan penduduk perkotaan, diungkap oleh Gavin Jones
(dalam Dorodjatun, 1986), yang menyatakan bahwa sebagai akibat dari migrasi
penduduk pedesaan ke kota (khususnya kota-kota di Jawa), telah menambah jumlah
penduduk miskin yang ada karena dua hal yaitu : karena penambahan secara
alamiah (lebih banyak kelahiran dari pada kematian); dan karena adanya migrasi
orang desa ke kota yang terus bertambah (untuk mencari pekerjaan). Gavin Jones
bahkan

berteori

bahwa

bagaimanapun

orang-orang

desa

yang

bermigrasi

membandingkan bahwa ada peluang atau kesempatan kerja yang lebih besar dan
lebih panjang dikota, walau harus tinggal diperkampungan.
Apa yang dinyatakan Gavin Jones, sebenarnya ditunjang oleh temuan dua
peneliti lainnya. Peneliti pertama, Graeme Hugo (1986) yang memfokuskan migrasi
sirkuler penduduk sekitaran Jakarta antara lain penduduk kabupaten yang
berdekatan

dengan

Jakarta,

seperti

Tangerang,

Bogor,

Depok

dan

Bekasi.

Perkembangan industri dan pembangunan kota di Jakarta sangat menarik minat


para penduduk di desa-desa kabupaten tadi untuk pindah dan menetap di Jakarta.
Dan secara umum para migrant dalam teori yang dikemukakan oleh Graeme Hugo,
besarnya angka/jumlah migrant sangat tergantung pada jarak daerah asal dan kota
tujuan, sarana transportasi yang tersedia, dan kondisi perkembangan kota tujuan.
Sehingga ia kemudian mengklasifikasi model migrasi ke kota yang ada yaitu :
pindah, merantau, dan pulang balik.
Temuan kedua merupakan penguatan teori Graeme Hugo yang dilakukan Lea
Jellinek (1986), dalam tulisannya sistem pondok dan migrasi sirkuler, khususnya
pada migrant penduduk desa ke kota Jakarta. Jellinek menganalogikan pondok

sebagai sebuah rumah sederhana tempat menginap di pedesaan. Di Jakarta para


migrant mengartikan dan memfungsikan pondok bukan saja sebagai tempat
menginap, tetapi juga menjadi tempat usaha dan kegiatan kehidupan lainnya.
Karena itu dalam temuan penelitiannya, ratusan pondokpondok yang tersebar di
seluruh kota menjadi berbagai pangkalan, tempat usaha kecil berjalan, dan ada
ribuan pengusaha dengan modal kecil hidup (umumnya para migrant sirkuler)
dalam sistem pondok dengan sistem tauke yang terstruktur dan kuat. Pondok
juga menampung pendatang baru dari desa-desa yang sama, dan menyediakan
lapangan kerja sehingga selalu menarik minat bagi berlangsungnya proses migran
sirkuler. Sebenarnya temuan-temuan penelitian dari Gavin Jones, Graeme Hugo
maupun Lea Jellinek, lebih banyak barbicara dan berteori tentang migarasi dan
aspek-aspeknya, tetapi dampak dari temuan mereka serta teori mereka sangat
berperan dalam berkembangnya jumlah penduduk kelompok miskin diperkotaan
(khususnya Jakarta), atau model-model yang mereka temukan telah menjadi
model yang juga melanda kota-kota lain yang berkembang di Indonesia.
Kemiskinan perkotaan telah menjadi model dari perkembangan kota, dan juga
merupakan masalah bagi pemerintahan dan manajemen perkotaan. Karena dari
cara hidup para migran di perkotaan inilah telah lahir pola adaptasi, nilai-nilai yang
diyakini, respons dalam tindakan/sikap, dan pola-pola kelakuan yang khas
penduduk miskin kota yang oleh para ahlinya disebut dengan kebudayaan
kemiskinan.
3. MAKNA KEBUDAYAAN KEMISKINAN
Istilah kebudayaan kemiskinan untuk pertama kalinya dikemukakan oleh
seorang antropolog Amerika, Oscar Lewis dalam Suparlan (1984). Kebudayaan
dalam pengertian Oscar Lewis mencakup apa yang diyakini (nilainilai), respons
dalam tindakan (sikap), dan abstraksi-abstraksi dari kelakuan (pola-pola kelakuan).
Tiga kategori inii sebenarnya tidak dapat digolongakan sebagai/dalam sebuah
kategori budaya. Karena masing-masing kategori tersebut dengan unsure-unsurnya
terkategorisasi secara bertimgkat-tingkat menurut ciri-cirinya. Karena itu kemudian
karya-karya Oscar Lewis dalam mengkaji kebudayaan kemiskinan lebih bersifat
deskriptif dan kasuistik, yang tidak dapat menghasilkan formula yang dapat
digunakan untuk memecahkan masalah-masalah kemiskinan. Namun, dengan
kelemahan

metodologis

yang

dimilikinya

Oscar

Lewis

masih

dapat/mampu

mengidentifikasi bahwa kebudayaan kemiskinan itu tidak pernah ada dalam sebuah
masyarakat yang menganut system kekerabatan yang patrilineal atau matrilineal.
(Suparlan, 2008 : 369). Selanjutnya menurut Oscar Lewis, dalam Suparlan (1984),
mengidentifikasi bahwa dalam kebudayaan kemiskinan (terutama di perkotaan),
adalah sebagai konskwensi dari masyarakat dengan kepadatan tinggi, terbatasnya
akses-akses terhadap barang-barang konsumsi, layanan kesehatan dan sarana
pendidikan. Kebudayaan kemiskinan juga bisa terwujud dalam situasi ekonomi yang
terdeferensiasi, berkembamngnya system ekonomi uang, buruh upahan, dan
system

produksi

untuk

keuntungan.Demikian

juga

pada

masyarakat

yang

mempunyai institusi social yang lemah untuk mengontrol dan memecahkan


masalah sosial dan kependudukan, yang berdampak pada pertumbuhan tinggi dan
pengangguran juga tinggi. Kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau
penyesuaian dan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam
massyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis berciri kapitalisme.
Sehingga yang mempunyai kemungkinan besar untuk memiliki kebudayaan
kemiskinan

adalah

kelompok

masyarakat

yang

berstratarendah,

mengalami

perubahan social yang drastic yang ditunjukkan oleh ciri-ciri :


1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin kedalam lembagalembaga utama masarakat, yang berakibat munculnya rasa ketakutan, kecurigan
tinggi, apatis dan perpecahan;
2. Pada tingkat komunitas local secara fisik ditemui rumah-rumah dan pemukiman
kumuh, penuh sesak, bergerombol, dan rendahnya tingkat organisasi diluar
keluarga inti dan keluarga luas;
3. Pada tingkat keluarga ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang
pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, atau perkawinan usia dini, tingginya
angka perpisahan keluarga, dan kecenderungan terbentuknya keluarga matrilineal
dan dominannya peran sanak keluarga ibu pada anak-anaaknya;
4. Pada tingkat individu dengan ciri yang menonjol adalah kuatnya perasaan tidak
berharga, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi dan rasa rendah diri;
5.

Tingginya

(rasa)

tingkat

kesengsaraan,

karena

beratnya

penderitaan

ibu,lemahnya struktur pribadi, kurangnya kendali diri dan dorongan nafsu, kuatnya

orientasi masa kini, dan kekurang sabaran dalam hal menunda keinginan dan
rencana masa depan, perasaan pasrah/tidak berguna, tingginya anggapan terhadap
keunggulan lelaki, dan berbagai jenis penyakit kejiwaan lainnya;
6.

Kebudayaan

kemiskinan

juga

membentuk

orientasi

yang

sempit

dari

kelompoknya, mereka hanya mengetahui kesulitankesulitan, kondisi setempat,


lingkungan tetangga dan cara hidup mereka sendiri saja, tidak adanya kesadaran
kelas walau mereka sangat sensitif terhadap perbedaanperbedaan status; Dengan
enam ciri tersebut sebenarnya sudah dapat diidentifikasi kelompok masyarakat
mana yang termasuk dalam kategori masyarakat dengan kebudayaan kemiskinan.
Mungkin ciriciri yang dikemukakan oleh Oscar Lewis tersebut memang lebih banyak
dapat dilihat pada cirri masyarakat miskin perkotaan. Tokoh-tokoh lain yang juga
berbicara tentang kemiskinan antara lain Chris manning dan tadjuddin Noer Effendi
(1983) yng berbicara tentang kemiskinan di perkotaan dengan penekanan pada
masalah urbanisasi, pengangguran dansektor informal perkotan, membawa analisa
mereka pada budaya kemiskinan yang dilihat dari berbagai dimensi : ekonomi,
politik dan social budaya.
Dan hasil seminar HIPIIS di Malang 13-17 Nopember 1079 adalah hasil
monumental tentang Kemiskinan Struktural yang mana pemikiran para ahli ilmu
sosial tentang kemiskinan dihimpun oleh Alfian, Mely G. Tan dan Selo Soemardjan
(1980). Mereka menunjukkan perhatian tentang kemiskinan dari berbagai aspek.
Dorodjatun

Kuntjoro

Jakti

yang

menghimpun

sejumlah

hasil

penelitian

kependudukan dan masalah kemiskinan dalam Kemiskinan di Indonesia (1986),


melihat masalah kemiskianan muncul sebagai dampak dari kebijakan pembangunan
khususnya pembangunan desa-kota yang tidak seimbang, sehingga berdampak
pada berkembangnya fenomena kemiskinan (khususnya di perkotaan). Pembicaraan
secara khusus tentang cirri kemiskinan yang lain adalah munculnya fenomena
sektor informal perkotaan seperti yang dibicarakan Prof. Dr. Rusli Ramli,MS dalam
buku Sektor Informal Perkotaan : Pedagang Kaki Lima (1992). Dikemukakan bahwa
dimulai dari kebijaksanaaan ekonomi, kesempatan kerja yang terbatas, dan sifat
para birokrat kota kepada para pedagang kaki lima, dan terbentuknya jaringan
sosial antara pedagang kaki lima dengan berbagai sektor lainnya, yang kemudian
memberi wajah dominan pada sebuah kota. Rusli Ramli juga membicarakan tentang
bagaimana latar belakang social para pedagang antara lain : pola orientasinya,

organisasi, status perkawinan dan jumlah tanggungan, yang menggambarkan


tentang adanya kemiskinan.

Anda mungkin juga menyukai