Anda di halaman 1dari 11

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

STUDI FASIES FORMASI WUNGKAL-GAMPING


JALUR GUNUNG GAJAH, DESA GUNUNG GAJAH,
KECAMATAN BAYAT, KABUPATEN KLATEN,
PROVINSI JAWA TENGAH
Yasinta Dewi Setiawati1, Moch. Indra Novian2, Didit Hadi Barianto3
1

Mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, email: sintabalikpapan@gmail.com


2
Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, Jln. Grafika No.2 Yogyakarta
3

Dosen Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, UGM, Jln. Grafika No.2 Yogyakarta

SARI
Formasi Wungkal Gamping merupakan formasi batuan sedimen tertua yang tersingkap di
Pegunungan Selatan tepatnya di daerah Bayat. Informasi geologi mengenai formasi ini tidak terlalu
banyak karena penyebaran singkapannya yang terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
fasies batuan yang dihasilkan dari pengukuran stratigrafi pada jalur penelitian terutama pada
singkapan baru sebagai hasil penggalian lahan di Dusun Gunung Gajah. Pada penelitian ini
dilakukan pengukuran stratigrafi dengan metode tongkat jacob untuk merekam karakteristik fasies
meliputi geometri, litologi, struktur sedimen dan fosil di daerah penelitian. Hasilnya digambarkan
dalam kolom litologi dengan skala 1:10 berdasarkan pembagian fasies batuan, sampel batuan
petrografi dan paleontologi untuk menentukan lingkungan, umur, mekanisme dan dinamika
sedimentasi daerah penelitian. Lokasi penelitian berada pada 3 jalur pengukuran di Desa Gunung
Gajah tepatnya pada koordinat 9141627 mU dan 0464029 mT (bagian utara) hingga koordinat
9141546 mU dan 0463988 mT (bagian selatan), Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa
Tengah. Pada jalur penelitian tersebut, terdapat 9 fasies, diantaranya fasies A, B, C, D, E, F, G, H,
dan I. Berdasarkan 9 fasies kemudian dikelompokkan menjadi 5 asosiasi fasies, yaitu asosiasi fasies 1
pada lingkungan pengendapan proksimal slope-type fan delta, asosiasi fasies 2, 3, 4, dan 5 pada
lingkungan pengendapan tidal flat. Umur pengendapan dimulai pada Eosen Awal (P8) hingga Eosen
Tengah (P13). Batuan berumur Eosen Tengah (P10) menumpang di atas batuan Eosen Awal (P8)
secara tidak selaras. Mekanisme sedimentasi pada bagian bawah Formasi Wungkal-Gamping yaitu
debris flow dilanjutkan arus suspensi, lalu arus traksi yang dipengaruhi pasang surut dan gelombang
air laut. Secara umum dinamika sedimentasinya dipengaruhi oleh ruang akomodasi yang bertambah
besar karena naiknya muka air laut relatif diikuti dengan penambahan suplai sedimen. Pada bagian
bawah Formasi Wungkal-Gamping terjadi proses pendangkalan lalu sempat mendalam pada akhir
P10. Selanjutnya, mendangkal kembali mulai dari P11 hingga P13.
Kata kunci : Formasi Wungkal-Gamping, umur, lingkungan pengendapan, mekanisme sedimentasi,
dinamika sedimentasi

ABSTRACT
Wungkal-Gamping formation is the oldest sedimentary rock which exposes in the Southern
Mountains precisely in the area of Bayat. There is only geological information about this formation
because the limited outcrop deployment. This study aims to determine facies rocks based on the
stratigraphy measurements on this latest line as result of the excavation on Gunung Gajah village. In
this research, stratigraphy measurements is done by jacob stick method to record the facies
characteristic include geometry, lithology, sedimentary structures, and fossils in study area. The
71

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

results are described in measured stratigraphy coloumn with 1:10 scale, the dividing of facies rocks,
petrography and paleontology samples to determine the environment, age, mechanism and dynamics
of sedimentation area of research. Research area is located at the 3 line in Gunung Gajah village
precisely at coordinates 9141627 mU and 0464029 mT (North part) to 9141546 mU and 0463988 mT
(South part). There are 9 facies in the section of research which are A, B, C, D, E, F, G, H, and I.
These 9 facies are divided into 5 different facies associations, which are facies association 1 in
proximal of slope-type fan delta, facies associations 2, 3, 4 and 5 in tidal flat. The age deposition
begins in Early Eocene (P8) to Middle Eocene (P13). There is an erosional unconformity boundary
between Early Eocene (P8) to Middle Eocene (P10). Mechanism of sedimentation on the lower part of
Wungkal-Gamping formation is debris flow continued with suspension currents, and traction currents
influenced by tides and waves of sea water. In general, the dynamics of sedimentation is influenced by
an addition of accommodation space because of the sea level rise and the addition of sediment supply.
At the lower part of Wungkal-Gamping Formation occur the shallowing process then deepening at the
end of P10. Furthermore, shallowing process starts again from P11 to P13.
Keywords : Wungkal-Gamping Formation, Age, depositional environtment, sedimentation
mechanism, dynamics sedimentation.

PENDAHULUAN
Bayat merupakan suatu kecamatan yang letaknya berada di Provinsi Jawa Tengah.
Daerah ini merupakan laboratorium geologi yang menggambarkan litologi secara lengkap di
Pulau Jawa. Mulai dari batuan tertua hingga muda tersingkap baik di daerah ini, sehingga
banyak penelitian yang dilakukan di daerah ini untuk mengetahui informasi geologi baik
sejarah stratigrafi maupun tektonik dari Pulau Jawa. Formasi Wungkal-Gamping adalah
batuan sedimen tertua penyusun zona Pegunungan Selatan bagian barat yang tersingkap di
daerah Bayat (Bothe, 1929). Pada Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten,
Provinsi Jawa Tengah, terdapat singkapan baru sebagai hasil penggalian lahan tepatnya pada
pada koordinat 9141627 mU dan 0464029 mT (bagian utara) hingga koordinat 9141546 mU
dan 0463988 mT (bagian selatan) yang termasuk dalam Formasi Wungkal-Gamping (Gambar
1). Diskusi dari sejarah sedimentasi pada singkapan di daerah ini diharapkan dapat
menambah informasi geologi mengenai Formasi Wungkal-Gamping yang memiliki
penyebaran secara terbatas.

METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan untuk mengetahui secara rinci informasi geologi berupa
susunan batuan dan posisi stratigrafi Formasi Wungkal-Gamping dengan tujuan mengetahui
umur, lingkungan pengendapan, mekanisme dan dinamika sedimentasi yang terjadi. Metode
penelitian yang digunakan adalah pembuatan penampang stratigrafi terukur dengan tongkat
Jacob berskala 1:10 dan analisis petrografi maupun analisis paleontologi.
FORMASI WUNGKAL-GAMPING

Formasi Wungkal-Gamping diendapkan sebagai unit sedimen tertua terbentuk di atas


batuan malihan secara tidak selaras. Bothe (1929) mengelompokkan batuan yang berumur
Eocene di Perbukitan Jiwo menjadi dua kelompok. Batuan tersebut terdiri dari batugamping
dan napal. Di bagian barat Perbukitan Jiwo, yaitu lereng Gunung Cakaran tersingkap
batupasir kuarsa dan konglomerat kuarsa yang dianggap sebagai bagian bawah dari lapisan
berumur Eocene. Selanjutnya, dua kelompok batuan berumur Eocene itu dinamakan Gunung
Wungkal dan Gunung Gamping. Kelompok Gunung Wungkal dicirikan oleh yellowish
sandstone serta batuan karbonat yaitu batugamping dan napal yang mengadung foraminifera
besar berupa Assilina spira, Nummulites javanus, Orthophragmina sowerbyi, dan
72

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

Nummulites bagelensis. Kelompok lapisan Wungkal merupakan bagian awal hingga tengah
dari Middle Eocene menurut Bothe (1933) dalam Sumarso dan Ismoyowati (1975). Pada
bagian atasnya kelompok Gunung Gamping melapisi kelompok Gunung Wungkal yang
dicirikan oleh napal kebiru biruan dan batugamping yang tersingkap hanya di sisi tenggara
dan utara Dowo. Kelompok ini mengandung foraminifera besar berupa Orthophragmina
javana, O. dispansa, O. omphalus, Nummulites bagelensis, dan N. pengaronensis sehingga
dinyatakan memiliki umur akhir Middle Eocene hingga Late Eocene. Selain itu juga terdapat
batupasir, napal pasiran, batulempung, dan lensa batugamping pada formasi ini. Karakteristik
batuan yang banyak mengandung foraminifera besar menunjukkan lingkungan pengendapan
berupa laut dangkal.
Sumarso dan Ismoyowati (1975) menyebutkan formasi ini memiliki ketebalan 120 m
yang tersingkap di sekitar Dusun Padasan. Sekuen batuan pada formasi ini memiliki pola
bergradasi ke atas dengan kehadiran foraminifera plangtonik yang semakin melimpah di
bagian atas. Berdasarkan hal ini maka disimpulkan bahwa formasi Eocene ini memiliki
kondisi transgresi.

Gambar 1. Peta RBI daerah penelitian berada pada lembar Cawas (Bakosurtanal, 2000)
dengan modifikasi. Garis biru adalah jalur penelitian.

ASOSIASI FASIES DAN BIOZONASI


Pengukuran stratigrafi pada daerah penelitian dilakukan di jalur Gunung Gajah, Desa
Gunung Gajah dengan 3 jalur. Hasil dari pengambilan data lapangan didapatkan data urutan
fasies secara vertikal pada daerah penelitian. Daerah penelitian terbagi menjadi 9 fasies
batuan, yaitu fasies A (breksi polimik), B (batulanau karbonatan lentikuler), C (perselingan
batupasir karbonatan berbentuk lensa dengan batulanau karbonatan), D (perselingan batupasir
karbonatan laminasi dengan batulanau karbonatan), E (perselingan batupasir karbonatan
laminasi dengan batulanau karbonatan), F (batupasir karbonatan flaser), G (batulanau
karbonatan laminasi), H (perulangan gradasi batupasir karbonatan, batulanau karbonatan, dan
batulempung karbonatan), dan I (perulangan gradasi batupasir dan batulempung) (Gambar 2).
Pembagian fasies-fasies tersebut dilakukan berdasarkan parameter fasies dari Selley (1985)
yaitu geometri, litologi, struktur sedimen, dan fosil. Ke-9 fasies tersebut kemudian
dikelompokkan menjadi 5 asosiasi fasies yang secara genetik berhubungan dan mencirikan
suatu lingkungan pengendapan yang sama.
73

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

Asosiasi fasies 1 terdiri dari Fasies A dengan ketebalan 1,6 meter. Asosiasi ini
merupakan breksi polimik yang tersusun atas fragmen sekis mika, batugamping, dan
foraminifera besar. Pada asosiasi fasies ini diambil contoh batuan untuk analisa paleontologi
pada matriks breksi di jalur 1 dengan nomor GB 38 dan pada fragmen batugamping dengan
nomor GB 56 di jalur 2. Berdasarkan fosil foraminifera plangtonik contoh GB 56 diketahui
umurnya adalah Eosen Awal (P8) (Blow, 1969) dengan lingkungan yang ditunjukkan
kehadiran foraminifera bentonik pada neritik tengah-neritik luar (20-200 m). Lingkungan
pengendapan dari asosiasi fasies 1 adalah lingkungan proximal slope-type fan delta (Basset,
2004).
Asosiasi fasies 2 terdiri dari Fasies B dan G dengan tebal keseluruhan adalah 2,5 meter.
Struktur sedimen lentikuler mengindikasikan arus suspensi yang terjadi dipengaruhi oleh
pasang surut air laut dan gelombang. Struktur laminasi pada batulanau karbonatan terbentuk
akibat arus traksi. Berdasarkan tekstur sedimen, struktur sedimen, data paleontologi, serta
mekanisme sedimentasi yang ada diinterpretasikan lingkungan pengendapan dari asosiasi
fasies 1 ini adalah pada lingkungan upper tidal flat (after Klein, 1997 dalam Boggs, 2006).
Asosiasi fasies 3 terdiri dari Fasies C, Fasies D, Fasies E, dan Fasies H dengan tebal
keseluruhan adalah 22,6 meter. Asosiasi fasies 3 didominasi oleh sedimen berukuran butir
pasir dengan selingan sedimen berukuran butir lanau hingga lempung. Secara umum struktur
sedimen keempat fasies pada asosiasi ini antara lain laminasi, lentikuler, flaser, gradasi
normal, load cast, ripple mark, silang siur planar. Hal ini mengindikasikan bahwa proses
sedimentasi yang bekerja pada asosiasi fasies ini yaitu arus traksi dengan periode
pengendapan cepat terutama pada Fasies C. Arus traksi ini dipengaruhi oleh pasang surut dan
gelombang air laut. Asosiasi fasies ini terbentuk pada lingkungan pengendapan middle tidal
flat (after Klein, 1997 dalam Boggs, 2006).
Asosiasi fasies 4 terdiri dari Fasies F dengan tebal keseluruhan adalah 6,7 meter.
Asosiasi fasies ini tersusun atas material sedimen berukuran pasir halus secara dominan.
Struktur sedimen yang tampak pada fasies ini antara lain berlapis, laminasi, flaser, silang siur
planar. Struktur berlapis dan laminasi pada batupasir karbonatan terbentuk akibat arus traksi
dengan energi pengendapan tinggi berdasarkan kandungan foraminifera besar seperti Assilina
dan Nummulites. Asosiasi fasies ini terbentuk pada lingkungan pengendapan lower tidal flat
(after Klein, 1997 dalam Boggs, 2006).
Asosiasi fasies 5 terdiri dari Fasies I dengan tebal keseluruhan adalah 9,7 meter.
Asosiasi fasies 5 didominasi oleh sedimen berukuran butir pasir sangat halus dengan selingan
lempung. Secara umum struktur sedimen pada asosiasi fasies ini antara lain laminasi,
lentikuler, flaser, gradasi normal, load cast, ripple mark, silang siur planar. Hal ini
mengindikasikan bahwa proses sedimentasi yang bekerja pada asosiasi fasies ini yaitu arus
traksi dengan periode pengendapan cepat dan dipengaruhi pasang surut dan gelombang air
laut. Asosiasi fasies ini terbentuk pada lingkungan pengendapan middle tidal flat (after Klein,
1997 dalam Boggs, 2006).
Umur pengendapan batuan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan keterdapatan
foraminifera kecil yang disusun dalam biozonasi di 3 jalur pengukuran stratigrafi. Dari ketiga
jalur tersebut diperoleh pembagian zonasi foraminifera kecil sebagai berikut:
1. Jalur 1 (tebing barat bagian utara)
Jalur ini terbagi menjadi 4 biozonasi (Tabel 1) meliputi zona kisaran Turborotalia
pseudomayeri Globigerinatheka subconglobata subconglobata, zona selang
Globigerinatheka subconglobata subconglobata Truncorotaloides cerroazulensis
pomeroli, zona selang Truncorotaloides cerroazulensis pomeroli Truncorotaloides
cerroazulensis cerroazulensis, dan zona kisaran Truncorotaloides cerroazulensis
cerroazulensis. Dari pembagian zona yang disebandingkan dengan biozonasi yang disusun
74

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

oleh Blow menghasilkan kisaran umur antara P10 (zona Subbotina frontosa frontosa /
Globorotalia (Turborotalia) pseudomayeri) hingga P13 (zona Globigerapsis beckmanni).
2. Jalur 2 (tebing barat bagian selatan)
Jalur ini terbagi menjadi 4 biozonasi (Tabel 2) meliputi zona kisaran Morozovella formosa
formosa, Zona kisaran Globigerinatheka subconglobata subconglobata Turborotalia
cerroazulensis pomeroli, Zona selang Turborotalia cerroazulensis pomeroli
Turborotalia cerroazulensis cerroazulensis, dan Zona kisaran Turborotalia cerroazulensis
cerroazulensis. Dari pembagian zona yang disebandingkan dengan biozonasi yang disusun
oleh Blow menghasilkan kisaran umur antara P8 (zona Globorotalia (Morozovella)
aragonensis/ Globorotalia (Morozovella) formosa) hingga P13 (zona Globigerapsis
beckmanni). Fosil-fosil yang terdapat pada jalur pengukuran ini tidak ada yang mencirikan
zona P9 dan P10 sehingga terdapat perloncatan umur dari P8 hingga P11 (nonconformity).
3. Jalur 3 (tebing timur)
Keterdapatan foraminifera kecil hanya melimpah di batuan bagian bawah (tua) pada jalur
ini sehingga hanya terdapat 1 biozonasi (Tabel 3) yaitu zona kisaran Turborotalia
cerroazulensis cerroazulensis. Zona ini dapat disebandingkan dengan dengan biozonasi
yang disusun oleh Blow pada kisaran umur P13 (zona Globigerapsis beckmanni).
Biozonasi pada masing-masing jalur pengukuran stratigrafi mencirikan kisaran umur
pengendapan tertentu. Berdasarkan kisaran umur pengendapan maka log litologi yang didapat
dari setiap jalur pengukuran stratigrafi dapat dikorelasikan (Gambar 2). Hal ini bertujuan
untuk mengetahui perkembangan fasies secara lateral pada kisaran umur yang sama. Hasil
korelasi yang didapat di daerah penelitian berdasarkan kesamaan umur batuan dapat
dimanfaatkan untuk mengetahui penyebaran fasies secara lateral. Penyebaran fasies tersebut
kemudian dapat dipetakan sesuai lintasan jalur pengukuran stratigrafi dan titik pengamatan
tambahan di lapangan seperti pada gambar 4.

Gambar 2. Korelasi jalur pengukuran stratigrafi 1, 2, dan 3

75

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

DISKUSI
Sejarah geologi daerah penelitian dimulai dari terjadinya proses tektonik yang
menyebabkan basement di daerah penelitian terangkat sebelum Eosen Awal kemudian
mengalami erosi. Ekspresi struktur geologi akibat tektonik ini tidak ditemukan di daerah
penelitian. Hasil erosi berupa breksi yang mengandung fragmen batuan metamorf dibawa
oleh aliran sungai dan diendapkan di lingkungan transisi. Pada kala Eosen Awal (sebelum P8)
terjadi fase rifting diikuti dengan pembentukan batugamping di lingkungan laut dangkal
(Gambar 3a). Breksi dan batugamping tersebut tidak tersingkap di daerah penelitian. Pada P8
muka air laut relatif turun menyebabkan breksi dan batugamping tersebut tererosi. Hasil
erosinya membentuk endapan slope-type fan delta dimana daerah penelitian berada pada
bagian proksimal (Gambar 3b). Batuan yang terendapkan pertama kali di daerah penelitian
yaitu breksi polimik (FA) termasuk asosiasi fasies 1 (AF 1). Breksi polimik tersebut
mengandung fragmen sekis mika, batugamping, foraminifera besar berupa Nummulites, dan
matriks berupa batulanau karbonatan yang menumpang tidak selaras di atas basement.
Mekanisme pembentukan breksi polimik yaitu debris flow dengan batimetri berada pada
neritik tengah.
Pada kala Eosen Tengah (P9) asosiasi fasies 1 terangkat akibat penurunan muka air laut
relatif di daerah penelitian sehingga breksi polimik tersingkap ke permukaan dan tererosi.
Pada kala Eosen Tengah (P10) muka air laut relatif naik menciptakan ruang akomodasi
kembali sehingga terendapkan AF 2 lalu AF 3 (Gambar 3c). Perubahan eustasi menyebabkan
adanya bidang erosional menyudut (angular unconformity) antara AF 1 dengan AF 2. AF 2
yang terbentuk pada kala ini dimulai dengan pengendapan batulanau lentikuler (FB) pada
sublingkungan lower tidal flat. Suplai sedimen pada saat pembentukan FB kurang melimpah
dalam kondisi ruang akomodasi yang cukup besar. Mekanisme sedimentasi yang terjadi yaitu
arus suspensi dan mendapat pengaruh dari pasang surut dan gelombang air laut. Sumber
material fasies ini berasal dari campuran sedimen asal darat hasil erosi pada batuan metamorf
dan batuan beku plutonik yang telah tertransport jauh dari sumbernya berdasarkan ukuran
butirnya serta komponen karbonat insitu. Pada pertengahan P10 ruang akomodasi yang tetap
mengalami pertambahan suplai sedimen sehingga terbentuk AF 3 pada lingkungan
pengendapan middle tidal flat dimulai dengan pengendapan perselingan batupasir karbonatan
berbentuk lensa dengan batulanau karbonatan (FC). Pada awalnya suplai sedimen mengalami
pertambahan terus menerus sehingga terbentuk pola mengkasar ke atas (coarsening upward),
namun menjelang akhir P10 terjadi pengurangan menghasilkan pola menghalus ke atas
(fining upward). Mekanisme sedimentasi pada saat itu berupa arus traksi dengan energi
pengendapan yang tinggi. Sumber material pada asosiasi fasies ini yaitu campuran antara
hasil erosi pada batuan metamorf, batuan beku plutonik dengan material karbonatan insitu
pada cekungan ini.

76

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

Gambar 3. Sejarah sedimentasi daerah penelitian. Kotak merah adalah daerah penelitian.
Pada kala Eosen Tengah (P11) jumlah suplai sedimen kembali melimpah diikuti dengan
penambahan ruang akomodasi akibat naiknya muka air laut relatif. Hal ini menyebabkan
pembentukan perselingan batupasir karbonatan laminasi dengan batulanau karbonatan (FD)
dengan lingkungan pengendapan yang sama yaitu middle tidal flat (Gambar 3d). FD
terendapkan di bagian utara daerah penelitian sedangkan pada bagian selatan terendapkan FC.
Berdasarkan tekstur batuan pada kedua fasies tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian utara
merupakan bagian ke arah laut sedangkan bagian selatan ke arah darat. Suplai sedimen terus
menerus mengalami pertambahan jumlah menghasilkan suksesi fasies coarsening upward.
Mekanisme sedimentasi yang bekerja berupa arus traksi dipengaruhi oleh pasang surut dan
gelombang air laut. Sumber material pada Fasies C dan D tidak berbeda dengan fasies
sebelumnya. Pada akhir P11 terendapkan berupa perselingan batupasir karbonatan laminasi
dengan batulanau karbonatan lentikuler (FE) dengan komposisi yang sedikit berbeda dengan
fasies sebelumnya di bagian utara daerah penelitian. FE memiliki kandungan kuarsa vulkanik
sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber material silisiklastik pembentuk FE tidak hanya
hasil erosi pada batuan metamorf dan batuan beku plutonik melainkan terdapat batuan
vulkanik. Hal ini mengindikasikan adanya pembentukan batuan vulkanik sebelum akhir P11.
Ruang akomodasi semakin besar akibat kenaikan muka air laut relatif diikuti dengan
jumlah suplai sedimen yang bertambah (Gambar 3e) sehingga pada kala Eosen Tengah (P12)
terendapkan AF 4 pada lingkungan upper tidal flat di bagian utara daerah penelitian. Fasies
yang terbentuk pada kondisi ini yaitu batupasir karbonatan flaser (FF). Mekanisme
sedimentasi pada fasies ini berupa arus traksi dengan energi pengendapan yang tinggi
berdasarkan kandungan genus foraminifera besarnya yaitu Assilina, Nummulites,
Discocyclina, dan Pellatispira. Komposisi pada FF lebih didominasi oleh material karbonatan
insitu daripada komponen silisiklastik. Material silisiklastik pada fasies ini berasal dari
77

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

rombakan batuan metamorf, batuan beku plutonik yang mengandung plagioklas dan batuan
vulkanik yang mengandung kuarsa vulkanik. Kelimpahan kuarsa plutonik lebih dominan
daripada kuarsa vulkanik. Pada bagian selatan daerah penelitian semakin dekat dengan darat
sehingga terbentuk AF 2 pada lingkungan upper tidal flat. Fasies yang terbentuk yaitu
batulanau karbonatan laminasi (FG). Material silisiklastik pada Fasies G lebih dominan
daripada material karbonatannya. Lingkungannya yang dipengaruhi arus pasang surut tinggi
menghasilkan butiran sedimen berukuran lanau-lempung. Selanjutnya penambahan ruang
akomodasi dan jumlah suplai sedimen pada akhir P12 menghasilkan perulangan gradasi
batupasir karbonatan, batulanau karbonatan, dan batulempung karbonatan (FH) pada
lingkungan middle tidal flat. Mekanisme sedimentasi Fasies H dibentuk oleh arus traksi
dengan pengaruh pasang surut dan gelombang air laut serta energi pengendapan yang tinggi
menyebabkan fasies ini tersusun atas butiran-butiran clean sand.
Pada kala P13 jumlah suplai sedimen meningkat pada ruang akomodasi bertambah
besar akibat kenaikan muka air laut relatif (Gambar 3f). Hal ini menyebabkan pembentukan
FG di lingkungan lower tidal flat pada bagian utara dan FD di lingkungan middle tidal flat
pada bagian selatan. Lalu, muka air laut relatif mengalami puncak dengan suplai sedimen
yang melimpah menghasilkan FF pada lingkungan upper tidal flat di bagian selatan. Sumber
material pada fasies-fasies ini memiliki provenance yang sama dengan fasies sebelumnya,
namun kelimpahan kuarsa vulkanik lebih banyak daripada kuarsa plutonik pada fasies
sebelumnya. Berdasarkan tekstur fasies yang terbentuk diketahui bahwa pada kala ini daerah
penelitian bagian utara lebih dekat dengan darat sedangkan daerah penelitian bagian selatan
lebih dekat dengan laut.
Pada pertengahan P13 ruang akomodasi menjadi lebih kecil akibat penurunan muka air
laut relatif (Gambar 3g). Hal ini diikuti dengan penurunan jumlah suplai sedimen sehingga
terbentuk FH kembali di bagian barat daerah penelitian. Selanjutnya terjadi perubahan
sumber material sedimen menghasilkan pengendapan perulangan gradasi batupasir dan
batulempung (FI) pada lingkungan pengendapan middle tidal flat di atas FH (Gambar 3h). FI
diduga menumpang di atas fasies-fasies sebelumnya secara tidak selaras. Hal ini dapat
disimpulkan berdasarkan sumber material penyusun FI seluruhnya berasal dari rombakan
batuan asal darat yang sangat melimpah yaitu batuan metamorf, batuan beku plutonik, dan
batuan vulkanik yang sangat berbeda dengan fasies sebelumnya. Komposisi kuarsa vulkanik
semakin melimpah pada FI bagian atas. Mekanisme yang terbentuk pada fasies ini berupa
arus traksi dengan energi tinggi serta dipengaruhi oleh pasang surut dan gelombang air laut.
Berdasarkan fasies-fasies yang terbentuk di daerah penelitian dapat disimpulkan bahwa garis
pantai di sekitar daerah penelitian memanjang barat-timur dan melengkung ke arah utara di
bagian timur sehingga material sedimen di bagian timur lebih didominasi oleh material
silisiklastik.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis keseluruhan data pada daerah penelitian didapatkan beberapa
kesimpulan diantaranya yaitu:
1. Daerah penelitian terbagi menjadi 9 fasies yang dapat dikelompokkan menjadi 5 asosiasi
fasies, yaitu asosiasi fasies 1 (FA) pada lingkungan proximal slope-type fan delta, asosiasi
fasies 2 (FB dan FG) dengan lingkungan pengendapan lower tidal flat, asosiasi fasies 3
(FC, FD, FE, FG, FH) pada lingkungan middle tidal flat, asosiasi fasies 4 (FF) pada
lingkungan upper tidal flat, dan asosiasi fasies 5 (FI) pada lingkungan middle tidal flat.
2. Fasies yang terbentuk di daerah penelitian termasuk dalam Formasi Wungkal-Gamping
dengan kisaran umur Eosen Awal (P8) hingga Eosen Tengah (P13).
78

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

3. Secara umum batuan yang terbentuk di daerah peneltian berada pada lingkungan
pengendapan transisi atau tidal flat dengan pengaruh pasang surut dan gelombang air laut.
Batuan tertuanya terendapkan pada lingkungan fan delta.
4. Mekanisme sedimentasi pembentuk fasies di daerah penelitian pada bagian tertua
terbentuk oleh debris flow kemudian dilanjutkan dengan arus suspensi lalu semakin muda
berubah menjadi arus traksi yang dipengaruhi oleh pasang surut dan gelombang air laut.
5. Dinamika sedimentasi daerah penelitian diawali dengan proses pendangkalan ketika ruang
akomodasi bertambah besar sebagai akibat naiknya muka air laut relatif diikuti dengan
jumlah suplai sedimen yang semakin melimpah pada kala P8. Proses pendangkalan terjadi
kembali mulai dari P10 hingga P13. Proses pendalaman hanya terjadi 1 fase pada akhir
P10 disebabkan jumlah suplai sedimen yang berkurang ketika ruang akomodasi bertambah
besar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Jurusan Teknik Geologi UGM atas bantuan
yang diberikan. Apresiasi tertinggi diberikan kepada Dr, Didit Hadi Barianto, S.T., M.Si. dan
Moch. Indra Novian, M.Eng. yang telah memberikan masukan dalam penyusunan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Bakosurtanal, 2000, Peta Rupa Bumi Digital Indonesia Lembar Cawas, Skala 1:25.000,
Bogor
Bassett, K.N., Orlowski, R., 2004, New Zealand Journal of Geology & Geophysics, Pahau
Terrane Type Locality: Fan delta in an accretionary prism trench-slope basin, Vol. 47,
University of Canterbury Private Bag, New Zealand, p. 603623
Bolli, H.M., Saunders, J. B., Perch-Nielsen, K., 1985, Plankton Stratigraphy, Cambridge
University Press, Cambridge, 596 p.
Bothe, A, Ch, D., 1929, Djiwo Hills and Southern Range, 4th Pacific Science Congress,
Bandung, 14p.
Boggs, Sam, Jr., 2006, Principles of Sedimentology and Stratigrafi, 4th Ed., Merill Publishing
Company, Colombus, 662 p.
Brasier, M. D., 1980, Microfossils, George Allen & Unwin Ltd, London, 168 p.
Folk, 1968, Petrology of Sedimentary Rocks, Hempills Drawer M. University Station, Austin,
Texas, 170 p.
Klein, G. deV, 1980, Sandstones depositional Models For Exploration For Fossil Fuels,
CEPCO Division Burgess Publishing Company, New York,149 p.
Nichols, Gary, 2009, Sedimentology and Stratigraphy, Wiley-BlackWell, United Kingdom,
397 p.
Pettijohn, F. J., 1975, Sedimentary Rocks, Harper&Row Publishers, New York, 718p.
Postuma, J. A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera, Elsevier Publishing Company,
Amsterdam, London, New York, 420 p.
Pringgoprawiro, H., Kapid, R., 2000, Seri Mikrofosil; Foraminifera, ITB press, Bandung, 98
p.
Selley, R. C., 1985, Ancient Sedimentary Environtment, Cornell University Press, New York,
317 p.
Sumarso, dan Ismoyowati, T., 1975, Contribution to The Stratigraphy of The Jiwo Hills and
Their Southern Surroundings (Central Java), Proceedings IPA 4th Annual Convention,
Jakarta, pp. 19 26
79

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

Sumosusastro, S., 1956, A Contribution to the Geology of the Eastern Djiwo Hills and The
Southern Range in Central Java, Majalah Pengetahuan Alam Indonesia, Bandung, pp.
115 133
Toha, B., Purtyasti, R., Sriyono, Soetoto, Rahardjo, W., Subagyo, P., 1994, Geologi Daerah
Pegunungan Selatan, Suatu Kontribusi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, pp.
19 37
Tucker, M. E., 1991, Sedimentary Petrology An Introduction to The Origin of Sedimentary
Rocks, 2nd ed., Blackwell Scientific Publication, Oxford, 260 p.
Walker, R. G., James, N. P., 1992, Facies Model Response to Sea Level Change, Geological
Association of Canada 454 p.

80

BPS07

Prosiding Seminar Nasional Kebumian Ke-6


Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada , 11-12 Desember 2013

Gambar 4. Peta Fasies daerah penelitian berdasarkan pengukuran stratigrafi pada 3 jalur.

81

Anda mungkin juga menyukai