Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

TUJUAN

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi II dengan menjelaskan mengenai malaria.
Untuk lebih memahami mengenai mekanisme dan pemeriksaan malaria dan dapat
mengaplikasikan cara pemeriksaannya pada praktek kerja sehari hari.
1.2.

LATAR BELAKANG

Malaria masih merupakan masalah penyakit endemik di wilayah Indonesia Timur khususnya
Nusa Tenggara Barat. Salah satu masalah yang dihadapi adalah kesulitan mendiagnosis secara
cepat dan tepat. Berdasarkan hasil evaluasi Program Pemantapan Mutu Eksternal Laboratorium
Kesehatan pada pemeriksaan mikroskopis malaria, yang dilakukan oleh Balai Laboratorium
Kesehatan Mataram, dari 19 laboratorium di NTB yang mengevaluasi menggunakan preparat
positif malaria, hanya 79% peteknik laboratorium yang dapat membaca preparat dengan benar.
Kepentingan untuk mendapatkan diagnosis yang cepat pada penderita yang diduga menderita
malaria merupakan tantangan untuk mendapatkan uji/metode laboratorik yang tepat, cepat,
sensitif, mudah dilakukan, serta ekonomis. Peranan keendemikan (endemisitas) malaria, migrasi
penduduk yang cepat, serta berpindah-pindah (traveling) dari daerah endemis, secara tidak
langsung mempengaruhi masalah diagnostik laboratorikmaupun terapi malaria. Perubahan
gambaran morfologi parasit malaria, serta variasi galur (strain), yang kemungkinan disebabkan
oleh pemakaian obat antimalaria secara tidak tepat (irasional), membuat masalah semakin sulit
terpecahkan bila hanya mengandalkan teknik diagnosis mikroskopis. Ditambah lagi rendahnya
mutu mikroskop dan pereaksi (reagen) serta kurang terlatihnya tenaga pemeriksa, menimbulkan
kendala dalam memeriksa parasit malaria secara mikroskopis yang selama ini merupakan standar
emas (gold standard) pemeriksaan laboratoris malaria.
BAB II
ISI
A. Pengertian
Malaria merupakan penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria
memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali. penyakit menular ini
sangat dominan di daerah tropis dan sub-tropis atau kawasan tropika yang biasa namun apabila
diabaikan dapat menjadi penyakit yang serius. Parasit penyebab malaria seperti malaria jenis
Plasmodium falciparum merupakan malaria tropika yang sering menyebabkan kematian. Ia
adalah suatu protozoa yang dipindahkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina terutama pada waktu terbit dan terbenam matahari. Setidaknya 270 juta penduduk dunia
menderita malaria dan lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki risiko terkena
malaria. WHO mencatat setiap tahunnya tidak kurang dari 1 hingga 2 juta penduduk meninggal
karena penyakit yang disebarluaskan nyamuk Anopheles. Penyakit malaria juga dapat
diakibatkan karena perubahan lingkungan sekitar seperti adanya Pemanasan global yang terjadi
saat ini mengakibatkan penyebaran penyakit parasitik yang ditularkan melalui nyamuk dan

serangga lainnya semakin mengganas. Perubahan temperatur, kelembaban nisbi, dan curah hujan
yang ekstrim mengakibatkan nyamuk lebih sering bertelur sehingga vector sebagai penular
penyakit pun bertambah dan sebagai dampak muncul berbagai penyakit, diantaranya demam
berdarah dan malaria.
B. Penyebab Penyakit Malaria
Penyakit malaria disebabkan oleh bibit penyakit yang hidup di dalam darah manusia. Bibit
penyakit tersebut termasuk binatang bersel satu, tergolong amuba yang disebut Plasmodium.
Kerja plasmodium adalah merusak sel-sel darah merah. Dengan perantara nyamuk anopheles,
plasodium masuk ke dalam darah manusian dan berkembang biak dengan membelah diri. Ada
empat macam plasmodium yang menyebabkan malaria:
Falciparum, penyebab penyakit malaria tropika. Jenis malaria ini bisa menimbulkan kematian.
Vivax, penyebab malaria tersiana. Penyakit ini sukar disembuhkan dan sulit kambuh.
Malaria, penyebab malaria quartana. Di Indonesia penyakit ini tidak banyak ditemukan.
Ovale, penyebab penyakit malaria Ovale. Tidak terdapat di Indonesia.
Penyebab lain terjadinya penyakit malaria, yaitu
a) Parasit
Untuk kelangsungan hidupnya, parasit malaria memerlukan dua macam siklus kehidupan yaitu
siklus dalam tubuh manusia dan siklus dalam tubuh nyamuk.
a. Siklus aseksual dalam tubuh manusia
Sikus dalam tubuh manusia juga disebut siklus aseksual, dan siklus ini terdiri dari :
Gambar 1 : siklus hidup parasit malaria
Siklus di luar sel darah merah
Siklus di luar sel darah merah berlangsung dalam hati. Pada Plasmodium vivax dan Plasmodium
ovale ada yang ditemukan dalam bentuk laten di dalam sel hati yang disebut hipnosoit. Hipnosoit
merupakan suatu fase dari siklus hidup parasit yang nantinya dapat menyebabkan kumat /
kambuh atau rekurensi (long term relapse). Plasmodium vivax dapat kambuh berkali-kali bahkan
sampai jangka waktu 3 4 tahun. Sedangkan untuk Plasmodium ovale dapat kambuh sampai
bertahun-tahun apabila pengobatannya tidak dilakukan dengan baik. Setelah sel hati pecah akan
keluar merozoit yang masuk ke eritrosit (fase eritrositer)
Fase dalam sel darah merah
Fase hidup dalam sel darah merah / eritrositer terbagi dalam :
a) Fase sisogoni yang menimbulkan demam
b) Fase gametogoni yang menyebabkan seseorang menjadi sumber penularan penyakit bagi
nyamuk vektor malaria. Kambuh pada Plasmodium falciparum disebut rekrudensi (short term
relapse), karena siklus didalam sel darah merah masih berlangsung sebagai akibat pengobatan
yang tidak teratur. Merozoit sebagian besar masuk ke eritrosit dan sebagian kecil siap untuk
diisap oleh nyamuk vektor malaria. Setelah masuk tubuh nyamuk vektor malaria, mengalami
siklus sporogoni karena menghasilkan sporozoit yaitu bentuk parasit yang sudah siap untuk
ditularkan kepada manusia.
Gambar 2 : eritrosit yang terinfeksi parasit malaria

b. Fase seksual dalam tubuh nyamuk


Fase seksual ini biasa juga disebut fase sporogoni karena menghasilkan sporozoit, yaitu bentuk
parasit yang sudah siap untuk ditularkan oleh nyamuk kepada manusia. Lama dan masa
berlangsungnya fase ini disebut masa inkubasi ekstrinsik, yang sangat dipengaruhi oleh suhu dan
kelembaban udara. Prinsip pengendalian malaria, antara lain didasarkan pada fase ini yaitu
dengan mengusahakan umur nyamuk agar lebih pendek dari masa inkubasi ekstrinsik, sehingga
fase sporogoni tidak dapat berlangsung. Dengan demikian rantai penularan akan terputus
b)

Nyamuk Anopheles

Gambar 3 : Nyamuk Anopheles


Penyakit malaria pada manusia ditularkan oleh nyamuk Anopheles vektor betina. Di seluruh
dunia terdapat sekitar 2000 spesies nyamuk Anopheles, 60 spesies diantaranya diketahui sebagai
vektor malaria. Di Indonesia terdapat sekitar 80 jenis nyamuk Anopheles, 22 spesies diantaranya
telah terkonfirmasi sebagai vektor malaria. Sifat masing-masing spesies berbeda-beda tergantung
berbagai faktor seperti penyebaran geografis, iklim dan tempat perkembangbiakannya. Semua
nyamuk vektor malaria hidup sesuai dengan kondisi ekologi setempat, contohnya nyamuk vektor
malaria yang hidup di air payau (Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus), di sawah
(Anopheles aconitus) atau di mata air (Anopheles balabacensis dan Anopheles maculatus).
Nyamuk Anopheles hidup di daerah iklim tropis dan subtropis, tetapi juga bias hidup di daerah
yang beriklim sedang. Nyamuk ini jarang ditemukan pada daerah dengan ketinggian lebih dari
2500 meter dari permukaan laut. Tempat perkembangbiakannya bervariasi (tergantung
spesiesnya) dan dapat dibagi menjadi tiga ekosistem yaitu pantai, hutan dan pegunungan.
Biasanya nyamuk Anopheles betina vektor menggigit manusia pada malam hari atau sejak senja
hingga subuh. Jarak terbang (flight range) antara 0,5 3 km dari tempat perkembangbiakannya.
Jika ada angin yang bertiup kencang, dapat terbawa sejauh 20 30 km. Nyamuk Anopheles juga
dapat terbawa pesawat terbang, kapal laut atau angkutan lainnya dan menyebarkan malaria ke
daerah yang semula tidak terdapat kasus malaria. Umur nyamuk Anopheles dewasa dialam bebas
belum banyak diketahui, tetapi di laboratorium dapat mencapai 3 -5 minggu. Nyamuk Anopheles
mengalami metamorfosis sempurna. Telur yang diletakkan nyamuk betina diatas permukaan air
akan menetas menjadi larva, melakukan pergantian kulit (sebanyak 4 kali) kemudian tumbuh
menjadi pupa dan menjadi nyamuk dewasa. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan (sejak
telur menjadi dewasa) bervariasi antara 2 5 minggu tergantung spesies, makanan yang tersedia,
suhu dan kelembaban udara.
c) Manusia yang rentan terhadap infeksi malaria
Secara alami penduduk di suatu daerah endemis malaria ada yang mudah dan ada yang tidak
mudah terinfeksi malaria, meskipun gejala klinisnya ringan. Perpindahan penduduk dari dan ke
daerah endemis malaria hingga kini masih menimbulkan masalah. Sejak dulu, telah diketahui
bahwa wabah penyakit ini sering terjadi di daerah-daerah pemukiman baru, seperti di daerah
perkebunan dan transmigrasi. Hal ini terjadi karena pekerja yang datang dari daerah lain belum
mempunyai kekebalan sehingga rentan terinfeksi.
d) Lingkungan
Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap keberadaan penyakit malaria di suatu daerah. Adanya
danau, air payau, genangan air di hutan, persawahan, tambak ikan, pembukaan hutan dan
pertambangan di suatu daerah akan meningkatkan kemungkinan timbulnya penyakit malaria
karena tempat-tempat tersebut merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk vektor malaria.

e) Iklim
Suhu dan curah hujan di suatu daerah berperan penting dalam penularan penyakit malaria.
Biasanya penularan malaria lebih tinggi pada musim kemarau dengan sedikit hujan dibandingkan
pada musim hujan. Pada saat musim kemarau dengan sedikit hujan, genangan air yang terbentuk
merupakan tempat yang ideal sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk vektor malaria.
Dengan bertambahnya tempat perkembangbiakan nyamuk, populasi nyamuk vektor malaria juga
bertambah sehingga kemungkinan terjadinya transmisi meningkat.
C. Penularan dan Penyebaran
Penularan penyakit malaria dari orang yang sakit kepada orang sehat, sebagian besar melalui
gigitan nyamuk. Bibit penyakit malaria dalam darah manusia dapat terhisap oleh nyamuk,
berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, dan ditularkan kembali kepada orang sehat yang
digigit nyamuk tersebut. Jenis-jenis vektor (perantara) malaria yaitu:
Anopheles Sundaicus, nyamuk perantara malaria di daerah pantai.
Anopheles Aconitus, nyamuk perantara malaria daerah persawahan.
Anopheles Maculatus, nyamuk perantara malaria daerah perkebunan, kehutanan dan
pegunungan.
Penularan yang lain adalah melalu transfusi darah. Namun kemungkinannya sangat kecil.
Cara penularan penyakit malaria dapat di bedakan menjadi dua macam yaitu :
1. Penularan secara alamiah (natural infection)
Malaria ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Nyamuk ini jumlahnya kurang lebih ada 80 jenis
dan dari 80 jenis itu, hanya kurang lebih 16 jenis yang menjadi vector penyebar malaria di
Indonesia. Penularan secara alamiah terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang telah
terinfeksi oleh Plasmodium. Sebagian besar spesies menggigit pada senja dan menjelang malam
hari. Beberapa vector mempunyai waktu puncak menggigit pada tengah malam dan menjelang
pajar. Setelah nyamuk Anopheles betina mengisap darah yang mengandung parasit pada stadium
seksual (gametosit), gamet jantan dan betina bersatu membentuk ookinet di perut nyamuk yang
kemudian menembus di dinding perut nyamuk dan membentuk kista pada lapisan luar dimana
ribuan sporozoit dibentuk. Sporozoit-sporozoit tersebut siap untuk ditularkan. Pada saat
menggigit manusia, parasit malaria yang ada dalam tubuh nyamuk masuk ke dalam darah
manusia sehingga manusia tersebut terinfeksi lalu menjadi sakit.
2. Penularan tidak alamiah (not natural infection)
a. Malaria bawaan
Terjadi pada bayi yang baru lahir karena ibunya menderita malaria. Penularannya terjadi melalui
tali pusat atau plasenta (transplasental)
b. Secara mekanik
Penularan terjadi melalui transfusi darah melalui jarum suntik.
c. Secara oral
Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung (P.gallinasium), burung dara (P.relection)
dan monyet (P.knowlesi).
D. Tanda-tanda Terjadinya Penyakit Malaria
Tanda-tanda yang terjadi pada penyakit malaria dimulai dengan dingin dan sering sakit kepala.
Penderita menggigil atau gemetar selama 15 menit sampai satu jam. Dingin diikuti demam
dengan suhu 40 derajat atau lebih. Penderita lemah, kulitnya kemerahan dan menggigau. Demam

berakhir serelah beberapa jam. Penderita mulai berkeringat dan suhunya menurun. Setelah
serangan itu berakhir, penderita merasa lemah tetapi keadaannya tidak mengkhawatirkan
E. Gejala Klinis dan Masa Inkubasi Malaria
Keluhan dan tanda klinis, merupakan petunjuk yang penting dalam diagnosa malaria. Gejala
klinis ini dipengaruhi oleh jenis/ strain Plasmodium imunitas tubuh dan jumlah parasit yang
menginfeksi. Waktu mulai terjadinya infeksi sampai timbulnya gejala klinis dikenal sebagai
waktu inkubasi, sedangkan waktu antara terjadinya infeksi sampai ditemukannya parasit dalam
darah disebut periode prepaten.9
1. Gejala klinis
Gejala klasik malaria yang umum terdiri dari tiga stadium (trias malaria), yaitu:
a. Periode dingin. Mulai dari menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering membungkus
diri dengan selimut dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi saling
terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung 15 menit
sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
b. Periode panas. Penderita berwajah merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas badan
tetap tinggi dapat mencapai 400C atau lebih, respirasi meningkat, nyeri kepala, terkadang
muntah-muntah, dan syok. Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai dua jam atau
lebih diikuti dengan keadaan berkeringat.
c. Periode berkeringat. Mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah, temperatur
turun, lelah, dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat
melaksanakan pekerjaan seperti biasa. Di daerah dengan tingkat endemisitas malaria tinggi,
sering kali orang dewasa tidak menunjukkan gejala klinis meskipun darahnya mengandung
parasit malaria. Hal ini merupakan imunitas yang terjadi akibat infeksi yang berulang-ulang.
Limpa penderita biasanya membesar pada serangan pertama yang berat/ setelah beberapa kali
serangan dalam waktu yang lama. Bila dilakukan pengobatan secara baik maka limpa akan
berangsur-berangsur mengecil. Keluhan pertama malaria adalah demam, menggigil, dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal. Untuk penderita
tersangka malaria berat, dapat disertai satu atau lebih gejala berikut: gangguan kesadaran dalam
berbagai derajat, kejang-kejang, panas sangat tinggi, mata atau tubuh kuning, perdarahan di
hidung, gusi atau saluran pencernaan, nafas cepat, muntah terus-menerus, tidak dapat makan
minum, warna air seni seperti the tua sampai kehitaman serta jumlah air seni kurang sampai tidak
ada.
2. Masa inkubasi
Masa inkubasi dapat terjadi pada :
a. Masa inkubasi pada manusia (intrinsik)
Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing Plasmodium. Masa inkubasi pada inokulasi darah
lebih pendek dari infeksi sporozoid. Secara umum masa inkubasi Plasmodium falsiparum adalah
9 sampai 14 hari, Plasmodium vivax adalah 12 sampai 17 hari, Plasmodium ovale adalah 16
sampai 18 hari, sedangkan Plasmodium malariae bisa 18 sampai 40 hari. Infeksi melalui
transfusi darah, masa inkubasinya tergantung pada jumlah parasit yang masuk dan biasanya bisa
sampai kira-kira 2 bulan.
b. Masa inkubasi pada nyamuk (ekstrinsik)
Setelah darah masuk kedalam usus nyamuk maka protein eritrosit akan dicerna oeleh enzim
tripsin kemudian oleh enzim aminopeptidase dan selanjutnya karboksipeptidase, sedangkan
komponen karbohidrat akan dicerna oleh glikosidase. Gametosit yang matang dalam darah akan

segera keluar dari eritrosit selanjutnya akan mengalami proses pematangan dalam usus nyamuk
untuk menjadi gamet (melalui fase gametogenesis). Adapun masa inkubasi atau lamanya stadium
sporogoni pada nyamuk adalah Plasmodium vivax 8-10 hari, Plasmodium palsifarum 9-10 hari,
Plasmodium ovale 12-14 hari dan Plasmodium malariae 14-16 hari.
F. Diagnosa Malaria
Sebagaimana penyakit pada umumnya, diagnosis malaria didasarkan pada manifestasi klinis
(termasuk anamnesis), uji imunoserologis dan ditemukannya parasit (Plasmodium) di dalam
darah penderita. Manifestasi klinis demam seringkali tidak khas dan menyerupai penyakit infeksi
lain (demam dengue, demam tifoid) sehingga menyulitkan para klinisi untuk mendiagnosis
malaria dengan mengandalkan pengamatan manifestasi klinis saja, untuk itu diperlukan
pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang diagnosis sedini mungkin. Secara garis besar
pemeriksaan laboratorium malaria digolongkan menjadi dua kelompok yaitu pemeriksaan
mikroskopis dan uji imunoserologis untuk mendeteksi adanya antigen spesifik atau antibody
spesifik terhadap Plasmodium. Namun yang dijadikan standar emas (gold standard) pemeriksaan
laboratorium malaria adalah metode mikroskopis untuk menemukan parasit Plasmodium di
dalam darah tepi. Uji imunoserologis dianjurkan sebagai pelengkap pemeriksaan mikroskopis
dalam menunjang diagnosis malaria atau ditujukan untuk survey epidemiologi dimana
pemeriksaan mikroskopis tidak dapat dilakukan. Sebagai diagnosa banding penyakit malaria ini
adalah demam tifoid, demam dengue, ISPA. Demam tinggi, atau infeksi virus akut lainnya.
G. Bahaya Penyakit Malaria
1. Rasa sakit yang ditimbulkan sangat menyiksa si penderita
2. Tubuh yang sangat lemah, sehingga tidak dapat bekerja seperti biasa
3. Dapat menimbulkan kematian pada anak-anak dan bayi
4. Perkembangan otak bisa terganggu pada anak-anak dan bayi, sehingga menyebabkan
kebodohan.
H.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya


Pewarnaan mikroskopik dengan pewarnaan giemsa sampai saat ini masih merupakan baku emas
pemeriksaan malaria. Walaupun demikian hasil pembacaannya hannya dapat dipercaya jika
dilakukan oleh seorang yang berpengalaman. Selain untuk menegakan diagnosis, pemeriksaan
mikroskopik dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan hal ini tidak dapat
diterapkan dengan uji cepat malaria maupun teknik PCR. Kekurangannya adalah subjektivitas
pemeriksa, terutama dalam hal mendiagnosis infeksi campuran atau infeksi dalam jumlah parasit
yang rendah. Selain itu pada infeksi P.falciparum yang stadium lanjutnya berada di kapiler alat
dalam (sekuestrasi), parasit tersebut sulit ditemukan dalam darah tepi hingga memerlukan
pemeriksaan serial darah ( 3 kali dalam 48 jam ) untuk memastikan ada tidaknya parasit.
Konsentrasi parasit malaria dalam darah cukup merata sehingga pengambilan darah rutin dapat
dilakukan pada ujung jari atau tumit kaki (pada bayi). Morfologi parasit yang optimal dapat
dilihat dengan membuat sediaan darah yang diwarnai giemsa yang diambil dari ujung jari segera.
Akhir akhir ini darah vena dengan antikoagulan lebih sering digunakan sebagai bahan
pemeriksaan. Hal yang harus diperhatikan adalah jumlah darah yang diambil harus sesuai dengan
volume antikoagulannya. Jika digunakan tabung komersial yang berisis antikoagulan maka

tabung tersebut harus diisi penuh dengan darah penderita (sesuai dengan batasnya ). Hal tersebut
untuk menghindari ketidaktepatan rasio darah dan antikoagulan yang dapat mempengaruhi
morfologi parasit malaria.
Jika pembuatan sediaan darah yang mengandung antikoagulan dilakukan 24 jam setelah
pengambilan darah maka jumlah parasit dapat berkurang sampai 50% dan morfologi parasit
sudah berubah. Oleh karena itu, sangat penting untuk segera (< 1jam) membuat sediaan darah
tipis dan tebal dari darah dengan antikoagulan tersebut. Bahkan jika dilakukan setelah 6 jam
pengambilan darah jumlah parasit mulai berkurang.
Morfologi malaria terlihat optimal pada sediaan darah tipis yang diwarnaai giemsa, tetapi
sensitifitasnya rendah. Dengan menggunakan sediaan darah tebalsensitivitas sediaan darah
mikroskopik akan meningkat sampai 10 kali disbanding sediaan darah tipis. Hal ini yang perlu
diperhatikan adalah lamanya pewarnaan yang optimal, yaitu 30 menit dengan giemsa 3 %.
Pewarnaan cepat dengan giemsa yang lebih tinggi tidak dianjurkan, karena jika jumlah parasit
rendah dalam darah, sering kali parasit yang ada tidak terwarnai.
Prinsip : mewarnai apusan darah menggunakan pewarna giemsa agar sel eritrosit yang terinfeksi
parasit mlaria dapat terlihat kelainan morfologinya.
Cara kerja :
Gambaran mikroskopik :
Gambar 4 : gambar mikroskopik parasit malaria
Interpretasi hasil :
+ : 1-10 parasit stadium aseksual per 100 lapang pandang mikroskop
++ : 11-100 parasit stadium aseksual per 100 lapang pandang mikroskop
+++ : 1-10 parasit stadium aseksual per 1 lapang pandang mikroskop
++++ : 11-100 parasit stadium aseksual per 1 lapang pandang mikroskop
Sedangkan perhitungan secara kuantitatif dapat dilakukan baik pada sediaan darah tebal maupun
sediaan darah tipis. Jumlah parasit stadium aseksual (cincin, trofozoit, dan skizont) dan aseksual
(gametosit) biasanya dihitung secara terpisah.
Pada sediaan darah tebal parasit dihitung berdasarkan jumlah leukosit per mikro liter darah; jika
tidak diketahui biasanya diasumsikan leukosit penderita berjumlah berjumlah 8000/Ul, dengan
rumus berikut.
Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah leukosit /Ul
200
Sedangkan perhitungan parasit dalam sediaan darah tipis perlu diketahui jumlah eritrosit per Ul
darah. Jika nilai ini tidak diketahui, diasumsikan penderita mengandung eritrosit 5.000.000/Ul
(laki-laki) atau 4.500.000 / Ul (wanita). Jumlah parasit kemudian dihitung paling sedikit dalam
25 lapangan pandang mikroskopik atau total parasit/Ul dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Jumlah parasit stadium aseksual x
jumlah eritrosir/Ul
Total eritrosit dalam 25 lapang pandang
Pada sediaan darah tipis dapat juga dihitung proporsi atau presentase eritrosit yang terinfeksi

dengan rumus sebagai berikut.


Jumlah parasit stadium aseksual dalam 25 lapang pandang x 100%
Total eritrosit dalam 25 lapang pandang mikroskopik
Pemeriksaan dengan mikroskopik flouresensi
Sensitivitas diagnosis malaria pada sediaan darah dapat ditingkatkan dengan menggunakan zat
flouresensi yang dapat berikatan dengan parasit. Asam nukleat dalam inti akan berikatan dengan
zat tersebut dan akan berflouresensi jika disinari dengan sinar UV yang mempunyai panjang
gelombang tertentu. Mula-mula digunakan acridine orange (AO) dan benzothio carboxypurine
(BCP). Keduanya dieksitasi panjang gelombang 490 nm dan akan berfloursensi dengan warna
kehijauan atau kekuningan.
Acridine orange dapat digunakan langsung pada sediaan darah di kaca objek atau dengan
menggunakan capillary tubes yang bagian dalamnya dilapisi oleh zat wrana acridine orange.
Pada waktu sentrifugasi, capillary tubes yang berisi darah pasien dan terdiri dari berbagai sel,
yaitu leukosir, trombosit dan eritrosit akan terpisah. Parasit malaria akan terkonsentrasi dibawah
berbagai lapisan sel, terutama dibagian atas lapisan eritrosit dan kadang kadang ditemukan
dalam lapisan trombosit dan leukosit. Parasit dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop
flouresensi.
Tekhnik kawamoto menggunakan filter yang dapat mengeksitasi panjang gelombang 470-490
nm sehingga pada waktu cahaya melewati sediaan darah yang diwarnai acridine orange, parasit
akan terlihat berflouresensi. Dalam hal ini digunakan sinar matahari yang kuat atau lampu
halogen sebagai sumber cahaya.
Walaupun acridine orange merupakan zat yang berfluoresensi kuat, tetapi zat ini akan berikatan
dengan asam nukleatsemua jenis sel hingga flouresesnsinya menjadi tidak spesifik. Jika metode
ini digunakan untuk mendiagnosis malaria, si pembaca harus dapat membedakan dengan
flouresesnsi yang disebabkan oleh inti sel lain.
Zat flouresensi lain yaitu benzothiocarboxypurine (BCP) untuk mewarnai asam nukleat parasit
dapat digunakan langsung pada sediaan darah tebal atau suspense darah yang sudah dilisiskan zat
warna ini tida cepat pudar seperti acridine orange.
Diagnosis malaria dengan menggunakan zat berflouresensi merupakan suatu cara yang harus
dipelajari dan memerlukan pengalaman sehingga hingga aplikasi ini dapat diaplikasikan dengan
cepat dan tepat. Kekurangan cara ini adalah tidak dapat membedakan berbagai macam spesies
plasmodium karena tanda spesifik yang terdapat dalam sitoplasma darah merah tidak akan
terwarnai. Morfologi sel darah merah yang terinfeksi dan tanda spesifik yang timbul pada infeksi
berbagai plasmodium tetap diperlukan untuk menegakan diagnosis.
Pemeriksaan dengan rapid test.
Secara umum terdapat 3 macam antigen yang digunakan dalam malaria rapid test, yaitu histidine
rich protein-2 ( HRP-2 ), lactate dehydrogenase (LDH), dan aldolase. HRP-2 merupakan protein
yang larut air dan disekresikan oleh berbagai stadium aseksual dan gametosit muda P.falciparum.
protein ini tidak ditemukan pada spesies plasmodium lain hingga sangat spesifik untuk
menegakan diagnosis P.falciparum. sedangkan enzim (pLDH dan aldolase) merupakan antigen
yang ditemukan dalam glikolitik pathway parasit malaria, namun sudah terdapat kit dengan LDH
yang spesifik untuk P.vivax yaitu pvLDH.
Prinsip :imunokromatografi cairannya akan naik sepanjang kertas nitroselulosa. Pada beberapa
titik dikertas selulosa diletakan antibody monoclonal terhadap antigen malaria yang spesifik
sehingga pada penderita positif akan terjadi reaksi antigen antibody yang tervisualisasi dalam

bentuk garis.
Cara kerja:
Gambar 5 : Rapid test kit
Cara kerja :
1. Kit disimpan pada suhu ruang selama 30 menit.
2. 10 sampai 15 l darah EDTA diambil menggunakan mikropipet dan diletakkan dalam lubang
sampel.
3. Hasil akan dibaca setelah 10-15 menit (terbentuk garis merah muda)
Interpretasi hasil

Garis yang paling atas (garis pertama) merupakan garis kendali (kontrol).

Garis dibawahnya (garis kedua) merupakan garis uji untuk Plasmodium vivax.

Garis yang terbawah (garis ketiga) adalah garis uji untuk Plasmodium falciparum.

Bila hasil uji negative, maka hanya pada garis kendali ( control) saja yang terbentuk garis
merah muda.

Bila hasil uji untuk Plasmodium falciparum positif, maka garis kendali (kontrol) dan garis uji
terbawah akan berwarna merah muda, sedangkan garis tengah tidak terlihat.

Bila untuk Plasmodium vivax positif, maka garis kendali (kontrol) dan garis uji kedua saja
yang terlihat .
Metode Dip-Stick
Teknik dip-stick mendeteksi secara imuno-enzimatik suatu protein kaya histidine II yang spesifik
parasit (immuno enzymatic detection of the parasite spesific histidine rich protein II). Tes
spesifik untuk plasmodium falciparum telah dicoba pada beberapa negara, antara lain di
Indonesia. Tes ini sederhana dan cepat karena dapat dilakukand alam waktu 10 menit dan dapat
dilakukan secara massal. Selain itu, tes ini dapat dilakukan oleh petugas yang tidak terampil dan
memerlukan sedikti latihan. Alatnya sederhana, kecil dan tidak memerlukanaliran listrik.
Kelemahan tes dip-stick ini adalah :

Hanya spesifik untuk plasmodium falciparum (untuk plasmodium vivax masih dalam tahap
pengembangan)

Tidak dapat mengukur densitas parasit (secara kuantitatif)

Antigen yang masih beredar beberapa hari setelah parasit hilang masih memberikan reaksi
positif.

Gametosit muda (immature) bukan yang matang (mature), mungkin masih dapat dideteksi.

Biaya tes ini cukup mahal.


Walaupun demikian tes yang sederhana dan stabil dapat digunakan untuk pemeriksaan
epidemiologi dan operasional. Hasil positif palsu (false positive) yang disebabkan oleh antigen
residual yang beredar dan oleh gametosit muda dalam darah biasanya ditemukan pada penderita
tanpa gejala (asimptomatik). Jadi seharusnya tidak mengakibatkan over treatment sebab tes ini
digunakan untuk menunjang diagnosis klinis pada penderita dengan gejala.
Prinsip pemeriksaan : imunokromatografi cairannya akan naik sepanjang kertas nitroselulosa.
Pada beberapa titik dikertas selulosa diletakan antibody monoclonal terhadap antigen malaria
yang spesifik sehingga pada penderita positif akan terjadi reaksi antigen antibody yang

tervisualisasi dalam bentuk garis.


Prosedur :
1. Serum diletakan di tabung ependorff kurang lebih 200 Ul.
2. Dip-stick dimasukan ke tabung ependorff.
3. Reaksi ditunggu hingga kira-kira 10 menit.
4. Hasil bias dibaca.
Gambar 6 : dip-stick kit
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR)
Diagnosis parasit berdasarkan asam nukleat menggunakan molekul DNA reporter untuk
mendeteksi rangkaian DNA atau RNA spesifik yang dimiliki parasit tertentu. tes ini sangat
spesifik dan sensitif, dapat mendeteksi hingga minimal 2 parasit, bahkan 1 parasit / L darah.
Prinsip : menggunakan siklus termal yaitu menaikan dan menurunkan suhu secara teratur hingga
didapat sekuens DNA / RNA yang diinginkan dengan menggunakan 2 primer oligonukleotida
yang berbeda. Kelemahan tes ini adalah :
Penyediaan DNA dan RNA sangat rumit
Alat yang diperlukan untuk hibridisasi rumit
Alat untuk amplifikasi PCR dan deteksi hasil amplifikasi sangat canggih dan mahal
Metode ini membutuhkan waktu lebih lama (>24 jam)
Tidak dapat membedakan stadium aseksual dan seksual
Tidak dapat dilakukan pemeriksaan secara kuantitatif
Sementara keuntungan utama pada teknik PCR adalah dapat mendeteksi dan mengidentifikasi
infeksi ringan dengan sangat tepat dan dapat dipercaya. Hal ini penting untuk studi epidemiolgi
dan eksperimental, tetapi tidak penting untuk meningkatkan penanganan malaria tanpa
komplikasi.
I. Pengobatan dan Pencegahan Penyakit Malaria
Memutus rantai penularan dengan memilih mata rantai yang paling lemah. Mata rantai tersebut
adalah penderita dan nyamuk malaria. Seluruh penderita yang memiliki tanda-tanda malaria
diberi pengobatan pendahuluan dengan tujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan mencegah
penularan selama 10 hari. Bagi penderita yang dinyatakan positif menderita malaria setelah diuji
di laboratorium, akan diberi pengobatan secara sempurna. Bagi orang-orang yang akan masuk ke
daerah endemis malaria seperti para calon transmigran, perlu diberi obat pencegahan.
Obat obat antimalaria,diantaranya :
1. Klorokuin
Klorokuin adalah bentuk sintetik 4-aminokuinolin, diproduksi dalam bentuk garam fosfat untuk
pemberian secara oral. Ekskresi klorokuin melalui urin dengan mas paruh 3-5 hari, namun waktu
paruh eliminasi terminal mencapai 1-2 bulan. Klorokuin bersifat skizontosida darah yang sangat
efektif untuk semua jenis plasmodium pafa manusia dan gametosida terhadap P.vivax, P.ovale
dan P.malariae. Mekanisme kerja klorokuin adalah menghambat polimerisasi produk sisa
hemoglobin (heme) menjadi hemozoin di dalam vakuol pencernaan parasit sehingga
menghilangkan toksisitas parasit karena pembentukan heme bebas.
2. Kina dan Kuinidin
Kina mulai dipakai sebagai OAM sejak tahun 1632. Obat ini merupakan alkaloid kinkona yang

dibuat dari ekstrak pohon kinkona di Amerika Selatan. Kuinidin adalah dekstrorotatori
stereoisomer dari kina.
Mekanisme kerja kina sebagai OAM belum sepenuhnya dipahami, diduga menghambat
detoksifikasi heme parasit dalam vakuola makanan.
3. Proguanil
Proguanil adalah suatu biguanid yang dimetabolisme dalam tubuh (melalui enzim CYP2C19)
menjadi bentuk aktif sikloguanil. Sikloguanil menghambat pembentukan asam folat dan asam
nukleat, bersifat skizontosida darah yang bekera lambat, skizontosida jaringan terhadap
P.falcifarum, P.vivax, P.ovale, dan sporontosida.
4. Tetrasiklin
Tetrasiklin bersifat skizontosida darah untuk semua spesies plasmodium yang bekerja lambat,
skizontosida jaringan untuk P.falcifarum.
5. Klindamisin
Obat ini menghambat fase awal sintesis protein. Klindamisin bersifat skizontosida darah yang
bekerjalambat terhadap P.falciparum dan harus diberikan dalam kombinasi dengan OAM lain
seperti kina atau klorokuin.
F. Tindakan-tindakan Pencegahan:
1. Usahakan tidur dengan kelambu, memberi kawat kasa, memakai obat nyamuk bakar,
menyemprot ruang tidur, dan tindakan lain untuk mencegah nyamuk berkembang di rumah.
2. Usaha pengobatan pencegahan secara berkala, terutama di daerah endemis malaria.
3. Menjaga kebersihan lingkungan dengan membersihkan ruang tidur, semak-semak sekitar
rumah, genangan air, dan kandang-kandang ternak.
4. Memperbanyak jumlah ternak seperti sapi, kerbau, kambing, kelinci dengan menempatkan
mereka di luar rumah di dekat tempat nyamuk bertelur.
5. Memelihara ikan pada air yang tergenang, seperti kolam, sawah dan parit. Atau dengan
memberi sedikit minyak pada air yang tergenang.
6. Menanam padi secara serempak atau diselingi dengan tanaman kering atau pengeringan
sawah secara berkala
7. Menyemprot rumah dengan DDT.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Malaria merupakan penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah. Infeksi malaria
memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali. Terdapat beberapa
parasit yang dapat menyebabkan penyakit malaria, yaitu plasmodium falciparum, vivax, malaria
dan ovale. Parasit ini menggunakan nyamuk sebagai hospes definitifnya, yaitu nyamuk
Anopheles. Gejala klinis penyakit ini terdiri dari 3 tahap, yaitu periode dingin, periode panas dan
periode berkeringat.
Penularan penyakit ini bias secara alami, yaitu melalui gigitan langsung nyamuk anopheles dan
secara tidak alami yaitu secara bawaan dan secra mekanik. Diagnosanya dapat dilihat dari

manifestasi klinis yaitu terjadinya demam, imunnoserologi yaitu ditemukannya antigen HRP-2,
pLDH dan aldolase dan lewat pemeriksaan mikroskopik yaitu melihat morfologi sel darah merah
yang terinfeksi dan melihat asam nukleat pada parasit. Malaria ini dapat menyebabkan rasa sakit,
gangguan otak hingga menyebabkan kematian.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan lima metode, yaitu yang pertama menggunakan
mikroskopik cahaya dengan melihat morfologi eritrosit yang terinfeksi, yang kedua
menggunakan mikroskop flouresensi dengan melihat asam nukleat yang terdapat diparasit, yang
ketiga dengan menggunakan metode rapid test yaitu identifikasi antigen yang terdapat pada
serum sampel, yang keempat menggunakan dip-stick yaitu identifikasi antigen parasit malaria
yang terdapat dalam serum sampel, yang kelima dengan menggunakan PCR yaitu dengan
menggandakan sekuens DNA/RNA yang spesifik dengan menggunakan primer oligonukleotida
yang spesifik pula lalu dibaca menggunakan elektroforesis.
DAFTAR PUSTAKA

http://malariana.blogspot.com/2008/11/malaria-diagnosis.html (Diakses pada tanggal 08


April 2012

http://www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/malaria.htm (Dikses pada tanggal 08 april


2012

Depkes RI, Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor, Direktorat Jenderal PPM-PL,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta 2001.

Day 1998. Nyamuk Penular Malaria, Dalam Jurnal Data dan Informasi Kesehatan, Pusdatin,
Depkes RI, Jakarta 2003.

Nugroho, Agung. 2010. Malaria Dari Molekuler ke Klinis.Jakarta : EGC

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Malaria
2.1.1 Pengertian
Malaria adalah penyakit yang bersifat akut maupun kronik disebabkan oleh protozoa
genus plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali
(Mansjoer dkk., 2001).
Malaria adalah sejenis penyakit menular yang dalam manusia sekitar 350-500 juta
orang terinfeksi dan lebih dari 1 juta kematian setiap tahun, terutama di daerah
tropis dan di Afrika di bawah gurun Sahara (Wikipedia, 2002).
2.1.2 Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium. Pada manusia
plasmodium terdiri dari empat spesies, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium
vivax, plasmodium malariae, dan plasmodium ovale. Plasmodium falciparum
merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat
spesies plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu plasmodium falciparum yang
meyebabkan malaria tropika, plasmodium vivax yang menyebabkan malaria
tertiana, plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan

plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale (Soedarmo, dkk., 2008).


Malaria biasanya didapat dari gigitan nyamuk anopheles betina yang sebelumnya
terinfeksi. Pada keadaan lain, malaria berkembang pasca-penularan transplasenta
atau sesudah transfusi darah yang terinfeksi. Masa inkubasi (antara gigitan nyamuk
yang terinfeksi dan adanya parasit dalam darah) bervariasi sesuai dengan spesies;
pada P. falciparum masa inkubasinya 10 13; pada P.vivaks dan P. ovale, 12 16
hari; dan pada P. malariae 27 37 hari, tergantung pada ukuran inokulum. Malaria
yang ditularkan melalui tranfusi darah yang terinfeksi nampak nyata pada waktu
yang lebih pendek (Nelson, 2000).
Dalam daur hidupnya plasmodium mempunyai hospes yaitu vertebrata dan
nyamuk. Siklus aseksual di dalam hospes vertebrata dikenal sebagai skizogoni,
sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai
sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui
ludah nyamuk kemudian menempati jaringan parenkim hati dan tumbuh sebagai
skizon (stadium ekso-eritrositer atau stadium pra-eritrositer). Sebagian sporozoit
tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut hipnozoit (Soedarmo, dkk.,
2008).
Plasmodium falciparum hanya terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan
spesies lain mempunyai hipnozoit bertahun-tahun sehingga pada suatu saat dapat
aktif dan terjadilah relaps. Sel hati yang berisi parasit akan pecah dan terjadilah
merozoit. Merozoit akan masuk ke dalam eritrosit (stadium eritrositer), tampak
sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk
cincin, disebut tropozoit. Tropozoit membentuk skizon muda dan setelah matang,
membelah menjadi merozoit. Setelah proses pembelahan eritrosit akan hancur;
merozoit, pigmen dan sel sisa akan keluar dan berada di dalam plasma. Parasit
akan difagositosis oleh RES. Plasmodium yang dapat meghindar akan masuk
kembali ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa
merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni yaitu
membentuk mikro dan makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut disebut
masa tunas intrinsik (Soedarmo, dkk., 2008).
Dalam tubuh nyamuk, parasit berkembang secara seksual (sporogoni). Sporogoni
memerlukan waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit
berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang
disebut ookinet, yang selanjutnya menembus dinding lambung nyamuk membentuk
ookista yang membentuk banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan dilepaskan
dan masuk ke dalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut disebut masa tunas
ektrinsik. Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria
(Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.3 Transmisi
Soedarmo, dkk. (2008) memaparkan, malaria dapat ditularkan melalui dua cara
yaitu cara alamiah dan bukan alamiah.
1. Penularan secara alamiah (natural infection), melalui gigitan nyamuk Anopheles
2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu :
a. Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta
sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya.
Selain plasenta penularan dari ibu kepada bayi melalui tali pusat.
b. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik.

Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang
menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi hanya
menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui sporozoit yang memerlukan
siklus hati sehingga dapat diobati dengan mudah.
c. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (plasmodium gallinasium),
burung dara (plasmodium relection) dan monyet (plasmodium knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang
sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
2.1.4 Klasifikasi malaria
Menurut Harijanto (2000) klasifikasi malaria berdasarkan jenis plasmodiumnya
antara lain sebagai berikut :
1. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum).
Malaria tropika/ falciparum merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan
panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering
terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua
bentuk eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa
Ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan
satu-satunya spesies yang memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin).
Malaria falciparum dikelompokkan atas dua kelompok yaitu Malaria falciparum
tanpa komplikasi yang digolongkan sebagai malaria ringan adalah penyakit malaria
yang disebabkan Plasmodium falciparum dengan tanda klinis ringan terutama sakit
kepala, demam, menggigil, dan mual tanpa disertai kelainan fungsi organ.
Sedangkan malaria falciparum dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai
malaria berat yang menurut WHO di definisikan sebagai infeksi Plasmodium
falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi.
Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika:
Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah seumur hidup. Infeksi
Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan sel darah merah yang
mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan
endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi
ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi
(Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).
2. Malaria Kwartana (Plasmodium Malariae)
Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim vivax,
lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai
granula coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai
membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang
tersusun seperti kelopak bunga/ rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan
Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.
Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala
dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang
jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap
ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria,
hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.
3. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)
Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae,
skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah.

Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang
terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale
merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh
Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walaupun periode laten sampai 4
tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walaupun
tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.
4. Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)
Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang
diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium
Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi
amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit
berbentuk oval hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen
kuning. Gejala malaria jenis ini secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias
malaria dan mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam
setiap 72 jam.
2.1.5 Patogenesis dan Patologi
Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping
parasit, seperti membran dan isi-isi sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi
menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang
intensif. Makrofag dalam sistem retikuloendotelitial dan dalam sirkulasi menangkap
pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan
organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga
bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah
(Soedarmo, dkk., 2008).
Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan
eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan
parasitemia, menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung
parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi
eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah parasit.
Faktor lain yang menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi
terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black
water fever, yaitu bentuk anemia hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat
nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi (Soedarmo, dkk., 2008).
Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan
pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam
makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang
tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai
peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa didaerah tropis atau
penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan
peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi malaria ini mungkin menimbulkan
respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.6 Patofisiologi
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala
yang palig mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen,
yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin
disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa

disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit,


teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang
terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah
trombosit dan leukosit neutrofil. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan
resiko terjadinya ruptur limpa (Soedarmo, dkk., 2008).
Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan
maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan terutama
penting untuk melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif
resisten terhadap masuk dan berkembang-biaknya parasit malaria. Masuknya
parasit tergantung pada interaksi antara organel spesifik pada merozoit dan
struktur khusus pada permukaan eritrosit (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.7 Manifestasi Klinis
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas
beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselilingi
oleh suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya
merasa lemas, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien
dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis plasmodium tetapi infeksi
berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus-menerus (tanpa
interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinis minimal.
Tanda dan gejala yang di temukan pada klien dngan malaria secara umum menurut
Mansjoer dkk. (2001) antara lain sebagai berikut :
1. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporolasi).
Pada Malaria Tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka
periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan Malaria Kuartana (P. Malariae)
pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan
di tandai dengan beberapa serangan demam periodik.
Gejala umum (gejala klasik) yaitu terjadinya Trias Malaria (malaria proxysm)
secara berurutan :
a. Periode dingin.
Mulai menggigil, kulit kering dan dingin, penderita sering membungkus diri dengan
selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan
gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini
berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
b. Periode panas.
Muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tetap tinggi sampai 40C
atau lebih, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah,
dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang
(anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti
dengan keadaan berkeringat.
c. Periode berkeringat.
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah,
temperatur turun, penderita merasa capai dan sering tertidur. Bila penderita
bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
2. Splenomegali
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria

kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan
pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah.
3. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah
anemia karena falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang
berlebihan, eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time), dan
gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang.
4. Ikterus
Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit dan sklera mata akibat kelebihan
billirubin dalam darah. Billirubin adalah produk penguraian sel darah merah.
Terdapat tiga jenis ikterus antara lain :
a. Ikterus hemolitik, disebabkan oleh lisisnya (penguraian) sel darah merah yang
berlebihan. Ikterus ini dapat terjadi pada destruksi sel darah merah yang berlebihan
dan hati dapat mengkonjugasikan semua billirubin yang di hasilkan.
b. Ikterus hepatoseluler, penurunan penyerapan dan konjugasi billirubin oleh hati
terjadi pada disfungsi hepatosit dan di sebut dengan hepatoseluler.
c. Ikterus Obstruktif, sumbatan terhadap aliran darah ke empedu keluar hati atau
melalui duktus biliaris di sebut dengan ikterus obstuktif.
Malaria laten adalah masa pasien diluar masa serangan demam. Periode ini terjadi
bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium eksoeritrosit
masih bertahan dalam jaringan hati.
Relaps adalah timbulnya gejala infeksi setelah serangan pertama. Relaps dapat
bersifat :
a. Relaps jangka pendek (rekrudesensi), dapat timbul 8 minggu setelah serangan
pertama hilang karena parasit dalam eritrosit yang berkembang biak.
b. Relaps jangka panjang (rekurens), dapat muncul 24 minggu atau lebih setelah
setelah serangan pertama hilang karena parasit eksoeritrosit hati masuk ke darah
dan berkembang biak.
2.1.8 Komplikasi
Harijanto (2006), mengemukakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari
malaria yaitu :
1. Malaria serebral
2. Anemia berat
3. Gagal Ginjal Akut (urin <400>3mg%)
4. Edema paru atau ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)
5. Hipoglikemia, kadar gula darah <40mg%
6. Gagal sirkulasi atau syok
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, traktus digestivus, dan atau disertai
kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2x dalam 24 jam setelah pendinginan pada
hipertermia.
9. Makroskopik hemoglobinuria oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat
anti malaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase (G6PD)
2.1.9 Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus
ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes

diagnostik cepat (Depkes RI, 2006).


Pada daerah endemis diagnosis malaria tidak sulit, biasanya diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala serta tanda klinis. Tetapi walaupun di daerah bukan endemis
malaria, diagnosis banding malaria harus dipikirkan pada riwayat demam tinggi
berulang, apalagi disertai gejala trias yaitu demam, splenomegali, dan anemia.
Perlu diingat bahwa diagnosis malaria merupakan hasil pertimbangan klinis dan
tidak selalu disertai hasil laboratorium oleh karena beberapa kendala pada
pemeriksaan laboratorium. Ditemukannya beberapa parasit dalam sediaan seorang
anak penduduk asli yang semi-imun menunjukkan adanya infeksi, tetapi anak
tersebut tidak selalu harus sakit; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja
pada saat anak berobat untuk penyakit lain (Soedarmo, dkk., 2008).
Pemeriksaan hapusan darah tepi tipis dengan pewarnaan Giemsa dan tetes tebal
merupakan metode yang baik untuk diagnosis malaria. Pada pemeriksaan hapusan
darah tepi dapat dijumpai trombositopenia dan leukositosis. Peningkatan kadar
ureum, kreatinin, bilirubin dan enzim seperti aminotransferase dan 5-nukleotidase.
Pada penderita malaria berat yang mengalami asidosis, dijumpai pH darah dan
kadar bikarbonat rendah. Kekurangan cairan dan gangguan elektrolit (natrium,
kalium, klorida, kalsium dan fosfat) sering pula dijumpai. Kadar asam laktat dalam
darah dan likuor serebrospinal juga meningkat (Soedarmo, dkk., 2008).
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect
fluorescent antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme
linked immunosorbent assay). Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut
sangat terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria
ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik
untuk studi epidemiologi (Soedarmo, dkk., 2008).
Teknik diagnostik lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan
menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa di
bawah mikroskopis fluoresens. Teknik mutakhir lain yang dikembangkan saat ini
menggunakan pelacak DNA probe untuk mendeteksi antigen (Soedarmo, dkk.,
2008).
Karena adanya berbagai variasi gejala malaria pada anak maka perlu dibedakan
dengan demam oleh sebab penyakit lain seperti demam tifoid, meningitis,
apendisitis, gastroenteritis, atau hepatitis. Malaria dengan klinis yang lebih ringan,
harus dibedakan dengan atau penyakit virus lainnya (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.10 Pengobatan
Dalam pengobatan malaria, faktor pilihan dan penggunaan obat-obat antimalaria
yang efektif disesuaikan dengan jenis kasus malaria yang dihadapi merupakan hal
yang sangat penting. Di samping itu, tidak kalah penting adalah pengobatan
penunjang, yang diperlukan untuk memperbaiki gangguan patofisiologi penderita
sebagai komplikasi malaria yang berat, misalnya perbaikan keseimbangan cairan
dan elektrolit, keseimbangan asam-basa, mengatasi anemia, kejang, hiperpireksia,
hipoglikemi, muntah, dan kegagalan fungsi ginjal (Usman, 2009).
Mansjoer dkk. (2001) mengemukakan berdasarkan suseptibilitas berbagai macam
stadium parasit malaria terhadap obat antimalaria, maka obat antimalaria dapat
juga dibagi dalam 5 golongan yaitu:
1. Skizontisida jaringan primer yang dapat membasmi parasit stadium praeritrosit
dalam hati sehingga mencegah parasit masuk dalam eritrosit, jadi digunakan

sebagai obat profilaksis kausal, yaitu pirimetamin.


2. Skizontisida jaringan sekunder yang dapat membunuh parasit siklus eksoeritrosit
P. vivax dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti
relaps, yaitu primakuin.
3. Skizontisida darah yang membunuh parasit stadium eritrosit, yang berhubungan
dengan penyakit akut disertai gejala klinik.
Obat ini digunakan untuk pengobatan supresif bagi keempat spesies Plasmodium
dan juga dapat membunuh stadium gametosit P. vivax, P. malariae dan P. ovale,
tetapi tidak efektif untuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah kuinin, klorokuin
atau amodiakuin; atau proguanil dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.
4. Gametositosida yang menghancurkan semua bentuk seksual termasuk gametosit
P. falcifarum. Obatnya adalah primakuin sebagai gametositosida untuk keempat
spesies dan kuinin, klorokuin atau amodiakuin sebagai gametositosida untuk P.
vivax, P. malariae dan P. ovale.
5. Sporontosida yang dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah
untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Obat obat
yang termasuk golongan ini adalah primakuin dan proguanil.
Obat yang dipakai untuk pengobatan malaria di Indonesia adalah klorokuin,
primakuin, kina, pirimetamin, dan sulfadoksin (Soedarmo, dkk., 2008). Harijanto
(2000) mengemukakan, obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain
klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivat artemisin.
1. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk profilaksis, pengobatan
malaria klinis dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program
pemberantasan malaria.
2. Sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita malaria
falciparum tanpa komplikasi.
3. Kina merupakan obat antimalaria pilihan untuk pengobatan radikal malaria
falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan untuk pengobatan
malaria berat atau malaria dengan komplikasi.
4. Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis,
pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat.
5. Artemisin digunakan untuk pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi
yang resisten multidrug.
Soedarmo, dkk. (2008) menjelaskan pengobatan malaria dibagi atas malaria ringan
dan malaria berat (disertai komplikasi).
A. Malaria ringan tanpa komplikasi
Malaria ringan tanpa komplikasi dapat dilakukan pengobatan secara rawat jalan
atau rawat inap sebagai berikut :
1. Klorokuin basa diberikan total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian
sebagai berikut : hari pertama 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa), 6 jam
kemudian dilanjutkan 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa) dan 5 mg/kgBB pada 24
jam (maksimal 300 mg basa). Atau hari I dan II masing-masing 10 mg/kgBB dan hari
III 5 mg/kgBB. Pada malaria tropika ditambahkan primakuin 0,75 mg/kgBB, 1 hari.
Pada malaria tersiana ditambahkan primakuin 0,25 mg/kgBB/hari, 14 hari.
2. Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari IV masih demam atau hari VIII
masih dijumpai parasit dalam darah maka diberikan:
a. Kina sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, selama 7 hari atau

b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1-1,5 mg/kgBB atau sulfadoksin
20-30 mg/kgBB single dose (usia diatas 6 bulan). Obat ini tidak digunakan pada
malaria tersiana.
3. Bila dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau pada hari VIII
masih dijumpai parasit maka diberikan :
a. Tetrasiklin HCl 50 mg/kgBB/kali, sehari 4 kali selama 7 hari + fansidar/suldox bila
sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2a, atau:
b. Tetrasiklin HCl + kina sulfat bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir
2b. Dosis kina dan fansidar/suldox sesuai butir 2a dan 2b (Tetrasiklin hanya
diberikan pada umur 8 tahu atau lebih)
Obat Anti Malaria yang Masih Sangat Terbatas di Indonesia
1. Meflokuin
Tablet 274 mg meflokuin hidroklorida mengandung 250 mg meflokuin basa. Dosis
untuk anak 15 mg meflokuin basa/kgBB, dosis tunggal, sebaiknya sesudah makan.
2. Halofantrin
Tablet 250 mg halofantrin hidroklorida mengandung 233 mg basa, sedangkan sirup
tiap ml mengandung 100 mg halofantrin hidroklorida setara 93,2 mg basa. Dosis 24
mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, yaitu 8 mg/kgBB tiap 8 jam dan diulang dengan
dosis yang sama 1 minggu kemudian. Absorpsinya baik bila dimakan bersama
makanan berlemak.
3. Artemisinin
Tablet/kapsul 250 mg. Dosis 10 mg/kgBB, sekali sehari selama 5 hari, untuk hari
pertama diberikan dua dosis.
Pada saat ini sudah lebih dari 25 % provinsi di Indonesia telah terjadi multiresistensi
terhadap obat standard yang cukup tinggi. Oleh karena itu Komisi Ahli Malaria
(KOMLI) menganjurkan strategi baru pengobatan malaria pada daerah-daerah
tersebut dan sesuai dengan rekomendasi WHO untuk secara global menggunakan
obat artemisinin yang dikombinasi dengan obat lain. Pengobatan tersebut dikenal
sebagai Artemisinin based Combination Therapy (ACT) (Soedarmo, dkk., 2008).
Derivat artemisinin:
1. Artesunat:
a. Tablet/kapsul 50 mg/200 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk
hari pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan IM/IV; ampul 60 mg/ampul. Dosis 1,2 mg/kgBB sekali sehari selama 5
hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
2. Artemether:
a. Tablet/kapsul 40 mg/50mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari; untuk
hari pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan: ampul 80 mg/ampul. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali selama 6 hari; untuk
hari pertama diberi 2 dosis.
3. Dehidroartemisinin:
Tablet/kapsul 20 mg/60 mg/ 80 mg. dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 4 hari;
untuk hari pertama diberi 2 dosis.
4. Arheether:
Suntikan 150 mg/ampul, dalam bentuk -artheether (artenotil). Dosis pertama 4,8
mg/kgBB, 6 jam kemudian 1,6 mg/kgBB, selanjutnya 1,6 mg/kgBB tiap hari- selama
4 hari.

Obat malaria kombinasi (ACT) yang tidak tetap saat ini misalnya :
1. Artesunat + Meflokuin
2. Artesunat + Amodiakuin
3. Artesunat + Klorokuin
4. Artesunat + Sulfadoksin-Pirimetamin
5. Artesunat + Pironoridin
6. Artesunat + Klorguanil-Dapson (CDA/Lapdap plus)
7. Dehidroartemisinin+ Piperakuin + Trimetoprim (Artecom)
8. Artecom + Primakuin (CVB)
9. Dehidroartemisinin + Naphtrokuin
Dari kombinasi tersebut diatas, yang tersedia di Indonesia saat ini adalah kombinasi
artesunat + amodiakuin dengan nama dagang artesdiaquin atau artesumoon. Obat
ini tersedia untuk program dan telah diedarkan di 10 provinsi yang terdapat
resistensi tinggi (>25%) terhadap obat klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Dosis
artesdiaquin merupakan gabungan artesunat 2 mg/kgBB sekali sehari selama 3
hari, untuk hari pertama diberi 2 dosis dan amodiakuin hari I dan II 10 mg/kgBB dan
hari III 5 mg/kgBB.
Untuk pemakaian obat golongan artemisinin harus dibuktikan malaria positif,
sedangkan bila hanya klinis malaria digunakan obat non-ACT.
Pemantauan Respon Pengobatan
Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk mendeteksi pengobatan
malaria secara dini berdasarkan respon klinis dan pemeriksaan patologis. Dikatakan
gagal pengobatan bila dijumpai salah satu criteria berikut :
1. Kegagalan pengobatan dini, bila :
a. Parasitemia dengan komplikasi malaria berat pada hari 1,2,3.
b. Parasitemia hari ke 2 > hari 0.
c. Parasitemia hari ke 3 (>25 % dari hari 0)
d. Parasitemia hari ke 3 dengan suhu aksila > 37,5 C
2. Kegagalan pengobatan kasep, bila antara hari ke 4-28 dijumpai 1 atau lebih
keadaan berikut :
a. Secara klinis dan parasitologi :
a) Adanya malaria berat setelah hari ke 3 dan parasitemia, atau
b) Parasitemia dan suhu aksila > 37,5 C pada hari ke 4-28 tanpa ada kriteria gagal
pengobatan dini.
b. Secara parasitologi :
a) Adanya parasitemia pada hari ke 7, 14, 21, dan 28.
b) Suhu aksila < 37,5 C tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini.
3. Respon klinis dan parasitologi memadai, apabila pasien sebelumnya tidak
berkembang menjadi kegagalan butir no.1 atau 2 dan tidak ada parasitemia.
B. Malaria Berat
Penatalaksanaan malaria berat harus dapat dilakukan diagnosis dan tindakan
secara cepat dan tepat sebagai berikut:
1. Tindakan umum/perawatan
2. Pemberian obat antimalaria/transfuse tukar
3. Pemberian cairan/nutrisi
4. Penanganan terhadap gangguan fungsi organ

Tindakan perawatan umum pada malaria berat di ruang intensif :


1. Pertahankan fungsi vital:sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi
2. Hindari trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
3. Monitoring: suhu tubuh, nadi, tensi tiap jam. Awasi ikterus dan perdarahan
4. Posisi tidur sesuai kebutuhan
5. Perhatikan warna dan suhu kulit
6. Cegah hiperpireksi
7. Pemberian cairan: oral, sonde, infus
8. Diet porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam
9. Perhatikan kebersihan rambut
10. Perhatikan dieresis dan defekasi, aseptic kateterisasi
2.1.11 Pencegahan
Dalam upaya pemberantasan penyakit malaria, Usman (2009) memaparkan berapa
langkah dalam pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yang
berakibat infeksi dan sebelum berlanjut ke pengobatan, antara lain:
1. Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup pestisida
: pemethrin atau deltamethrin)
2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk
3. Mencegah berada di alam bebas di mana nyamuk dapat mengigit atau harus
memakai proteksi (baju dengan lengan panjang, kaus/stoking). Nyamuk akan
menggigit diantara jam 18.00-06.00.
4. Memproteksi tempat tinggal/kamar tidur dari nyamuk dengan kawat/kelambu anti
nyamuk.
5. Penyuluhan kesehatan hendaknya diselenggarakan terus-menerus di tingkat desa
untuk membimbing masyarakat mengenal malaria, mendorong segera mencari
pengobatan bila terserang malaria dan menyadarkan penduduk bahwa penyakit
malaria dapat dicegah dan diberantas (Mahyuliansyah, 2009).
6. Peranan dan tanggung jawab masyarakat dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit malaria perlu ditingkatkan antara lain dalam hal
pelaksanaan upaya yang bersifat sederhana misalnya menggalakkan perilaku hidup
bersih dan sehat, melaporkan kejadian penyakit malaria secepatnya
(Mahyuliansyah, 2009).
Soedarmo, dkk. ( 2008), memaparkan pencegahan malaria sebagai berikut:
1. Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemik malaria,
maka 2 minggu sebelumnya sampai 4 minggu setelah keluar dari daerah endemic
malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.
a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam), maksimal 300 basa sekali seminggu
atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/kgBB atau
sulfadoksin 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan atau lebih).
2. Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah
penyakit ini, tetapi adanya bermacam-stadium pada perjalan penyakit malaria
menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria
ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu:
a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: a. Sporozoit yang berkembang dalam

nyamuk dan menginfeksi manusia, b. Merozoit yang menyerang eritrosit, dan c.


Gametosit yang menginfeksi nyamuk;
b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan
pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit
Plasmodium Falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila
telah berhasil, dapat mengurangi mobiditas dan mortalitas malaria tropika terutama
pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan
rekayasa genetika.

sumber :
1. Hidayat, Alimul Aziz. A. 2008. Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
2. Nelson, Waldo E. 2000. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 vol. 2. Jakarta: EGC
3. Soedarmo, dkk. 2009. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi kedua.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Diposkan oleh Bidan Indrawati Umasangaji di 08.04
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

aBout Me

Bidan Indrawati Umasangaji


Lihat profil lengkapku

Arsip Blog

2010 (11)
o

Maret (11)

Ketuban Pecah Dini

MUAL DAN MUNTAH

Langganan
Pos
Komentar

Pengikut

KELEBIHAN GAS (FLATULENS)

KONSTIPASI

NYERI TEKAN PAYUDARA

NYERI PUNGGUNG PADA MASA KEHAMILAN

ASFIKSIA NEONATORUM

TETANUS NEONATORUM

LAMA DI RUANGAN BER-AC TERNYATA BISA TINGKATKAN KA...

PREEKLAMPSIA RINGAN

Landasan Teori Malaria Pada anak

Anda mungkin juga menyukai