Anda di halaman 1dari 13

Journal Reading

Oleh :
Novandi Lisyam Prasetya

G99142080

Pembimbing :
Fitri Hapsari Dewi dr., Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET / RSUD
Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

Ketamin dalam Manajemen Nyeri


Pengantar
Ketamin masih merupakan pendatang baru di bidang nyeri. Obat generasi
lama yang merupakan dasar bahan atau armamentarium sebagai penghilang nyeri
nosiseptif. Pertama, kita memiliki inhibitor siklooksigenase, yaitu kelompok
parasetamol, obat non steroid anti-inflamasi (NSAID) dan inhibitor selektif
Siklooksigenase-2 (COX-2) yang lebih baru. Obat-obatan tersebut telah ada
selama berabad-abad dalam bentuk salisilat. Kedua, kita memiliki opioid yang
telah diakui memiliki sifat analgesik. Dengan daftar obat tersebut, daftar obat antinosiseptif konvensional hampir selesai dibentuk. Ketamin, yang berusia hanya
setengah abad, adalah anak baru di bidang ini, dengan dasar mekanisme yang
berbeda. Penggunaan ketamin tidak hanya untuk nosiseptif, tetapi juga untuk
nyeri neuropatik. Ketamin pertama kali diperkenalkan dalam literatur pada tahun
1965 dan telah disetujui untuk penggunaan klinis pada tahun 1970. Meskipun
ketamin memiliki potensi analgesik yang tidak terbantahkan, rincian potensi
ketamin masih belum sepenuhnya jelas. Pendahulu ketamin, Phencyclidine (PCP),
di bawah nama merek Sernyl, tercatat memiliki sifat analgesik yang sangat
berbeda dari yang obat penenang. Sehingga, ketamin diharapkan menunjukkan
sifat analgesia juga. Pada awalnya fokus utamanya adalah manfaat anestesi dari
ketamin, namun analgesia dianggap sebagai salah satu dari manfaat tersebut.
Sejak itu, potensi analgesik ketamin dosis rendah telah dieksplorasi dalam
penggunaan klinis. Analgesia dari ketamin kini telah dilaporkan pada sejumlah
keadaan nyeri. Namun, dalam banyak situasi, gambaran yang diperoleh jauh dari
kejelasan, dan pertimbangan antara resiko dan keuntungan yang didapat lebih
tidak pasti. Ketamin yang merupakan obat unik, telah dicoba dalam sejumlah
aplikasi yang berbeda. Mekanisme aksi secara bertahap telah ditemukan, sehingga
pemberian terapi ini telah menemukan dukungan teoritis, dan indikasi untuk terapi
analgesik ketamin telah diperluas. Karena ada banyak pertanyaan yang belum
terjawab mengenai mekanisme dasar, namun, banyak terapi eksperimental
dilakukan, dengan kurangnya bukti ilmiah.

Sejumlah tinjauan sistematis yang sangat baik mengenai analgesia ketamin


dalam kondisi sakit yang berbeda, telah diterbitkan dalam beberapa tahun terakhir.

Mekanisme analgesik
NMDA Reseptor Antagonis
Ketamin awalnya dianggap terutama sebagai obat bius, dan kualitas
analgesik secara murni tampaknya menjadi bagian tak terpisahkan dari
kegunaannya dalam konteks itu. Karakterisasi keadaan anestesi yang disebabkan
oleh ketamin memiliki relevansi sebagai pertimbangan potensi ketamin sebagai
analgesik. Keadaan anestesi yang disebabkan oleh ketamin unik. Transisi ke
keadaan anestesi dianggap sebagai langkah kualitatif secara tiba-tiba dari karakter
"semua atau tidak sama sekali". Implikasi dari fakta ini adalah selama pasien
terjaga, kita kurang lebih akan berhadapan dengan analgesia tanpa campuran obat
penenang.
Meskipun sifat analgesik ketamin telah diakui, kemungkinan penggunaan
ketamin hanya sebagai analgesik pada awalnya tidak terpikirkan. Ide-ide tentang
kegunaannya malah berpusat pada penggunaannya sebagai satu-satunya obat bius
atau agen induksi. Eksplorasi sistematis dari sifat analgesiknya pada dosis rendah
belum dilakukan sampai Sadove et al. pertama kali melakukannya. Mereka
menekankan efek analgesik ketamin pada dosis rendah dan menyarankan
kemungkinan menggunakan ketamin dalam dosis sub-dissosiatif sebagai
analgesik. Meskipun efek analgesik sedang dieksplorasi, mekanisme aksi
analgesik belum diketahui selama bertahun-tahun. Namun terdapat indikasi
ketamin

memiliki

warisan

dari

Phencyclidine.

Phencyclidine

diketahui

berinteraksi dengan sistem neurotransmitter, saluran ion yang tergantung


tegangan, dll. Ada juga indikasi bahwa anestesi disosiatif berinteraksi dengan
reseptor glutamat. Penemuan reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA) merupakan
tonggak penting dalam mengungkapkan mekanisme. Pada tahun 1982, Lodge dan
rekan-rekannya menunjukkan bahwa PCP dan ketamin merupakan reseptor
antagonis selektif NMDA. Hasil ini dikonfirmasi lagi dengan menggunakan kedua
enansiomer

pada

tahun

1991.

Penggunaan

enansiomer

ketamin

juga

mengungkapkan efek stereo-selektif yang menunjukkan mekanisme farmakologi


termediasi reseptor. Setelah 40 tahun sejak hasil studi Lodge dan rekan-rekannya,
mekanisme aksi ketamin telah terbukti sangat kompleks, dan mendapat istilah
"Mimpi buruk bagi farmakolog".
Reseptor agonis opioid
Para peneliti terdahulu yakin bahwa "situs PCP ", yaitu reseptor NMDA,
bukan satu-satunya mediator dari efek analgesik. Fink dan Ngai merupakan yang
pertama untuk mengeksplorasi mekanisme opioid menggunakan sistem tes
pengikat in vitro dan penggantian opioid oleh ketamin secara in vivo, mereka
menunjukkan kemungkinan mekanisme dari analgesik opioid. Interaksi ini juga
telah terbukti stereoselektif. Pada tahun 1987, Smith et al., menggunakan efek
berlawanan dari nalokson pada hewan percobaan, dan efeknya pada ileum
hamster, menyelidiki interaksi lebih lanjut antara ketamin dan situs pengikat opiat.
Pada model tikus, komponen dari analgesia ketamin terbukti berinteraksi dengan
reseptor opiat, umumnya , sebagai lawan dari subtipe . Toleransi silang antara
ketamin dan morfin kemudian ditunjukkan pada tikus oleh Finck et al.
Keterlibatan reseptor opioid dipelajari pada tahun 1995 oleh Hustveit et al. dalam
model pengikat menggunakan ileum hamster. Para penulis menyimpulkan bahwa
ketamin sebagai analgesia paling mungkin dimediasi oleh reseptor PCP meskipun
efek reseptor opioid- tidak dapat dikecualikan. Maurset et al. juga mempelajari
efek ketamin dan petidin pada pasien sakit pasca operasi, serta nyeri iskemik pada
sukarelawan sehat. Tidak ditemukan efek antagonis nalokson pada ketamin
sebagai analgesia dalam kedua kasus. Para penulis berspekulasi bahwa perbedaan
dalam hasil mungkin karena perbedaan dalam dosis, efek opioid hanya
bermanifestasi dalam penggunaan dosis yang lebih tinggi dalam percobaan
hewan. Hasil bertentangan diperoleh kelompok lain. Stella dan rekannya
memberikan nalokson atau plasebo dalam dosis klinis yang relevan untuk pasien
yang menerima induksi anestesi ketamin. Titrasi dosis induksi menyebabkan
kehilangan kesadaran di 50% pasien. Nalokson mengurangi persentase ini hampir
menjadi setengah. Amoit et al. melaporkan bahwa mereka tidak mampu

mereplikasi temuan ini. Alasan untuk hasil yang berbeda tidak jelas, tapi
menggaris bawahi kurangnya pemahaman kita tentang mekanisme aksi penting
ini. Selain itu, efek mediasi analgesia mungkin berbeda dari mediasi anestesi.
Bukti dari hewan percobaan telah menunjukkan efek analgesik sinergis ketika
menggabungkan opioid dan ketamin. Bahkan ada opini bahwa mungkin ada dosis
ketamin ketiga, selain dari anestesi dosis tinggi dan analgesia dosis rendah, yang
dalam rentang dosis tersebut, ketamin akan tidak memberikan efek analgesik, tapi
akan bekerja secara sinergis dengan opioid seperti yang sering terjadi, namun
belum terkonfirmasi dengan studi klinis. Pada tahun 1993, review Cochrane
melihat ketamin sebagai adjuvant untuk opioid pada nyeri terkait kanker. Bukti
klinis dianggap cukup untuk menilai manfaat atau bahaya pada konteks itu.
Penulis yang sama pada tahun 2012 melakukan studi lain dan mendapat
kesimpulan yang sama. Namun studi terbaru lain tidak menemukan manfaat saat
menambahkan ketamin untuk opioid pada nyeri terkait kanker. Singkatnya, peran
mekanisme opioid di analgesia ketamin pada manusia masih belum jelas.
Aksi anestesi lokal
Pada pertengahan tahun tujuh puluhan, banyak ide-ide lain mengenai
mekanisme aksi ketamin diuji. Mengingat terdapat peningkatan progresif pada
ambang dan penurunan kecepatan konduksi pada hewan coba, stabilisasi
membran dihipotesiskan sebagai salah satu mekanisme. Efek anestesi lokal dapat
menjelaskan hal tersebut. Efek ketamin sebagai anestesi lokal ditemukan pada
konduksi saraf di saraf sciatic dari kodok, serta pada manusia. Subyek kemudian
diuji dengan ad hoc, hal ini dilakukan sebelum adanya pernyataan Consolidated
Standards of Reporting Trials (CONSORT). Ketamin kemudian terbukti menjadi
agen anestesi lokal yang efektif untuk anestesi regional intravena, memberikan
blokade simpatik, sensorik, dan motorik. Masalahnya adalah tingginya insidensi
pengalaman psikotomimetik pada pasien ketika tourniquet dilepas. Seperti yang
diduga, mekanisme yang mendasari efek anestesi lokal ternyata membuat depresi
fungsi dari saluran natrium. Konsentrasi yang dibutuhkan dalam penelitian
tersebut sekitar 10-50 kali lebih besar dari konsentrasi yang relevan digunakan

untuk anestesi umum, namun kompatibel sebagai anestesi regional intravena. Efek
anestesi lokal ketamin mungkin tidak memiliki relevansi untuk efek analgesik
sistemik.
Interaksi Reseptor Sigma
Pada awalnya reseptor sigma dianggap sebagai jenis reseptor opioid, dan
beberapa efek ketamin diduga dimediasi oleh reseptor sigma. Saat ini diketahui
bahwa reseptor sigma berbeda dari opioid serta semua reseptor neurotransmitter
lain yang dikenal. Peran fisiologis dan farmakologisnya cukup pasti, dan sigma
dapat memodulasi reseptor lain seperti reseptor NMDA. Sebelum diketahuinya
peran reseptor sigma, mereka dapat dihapus dari daftar mekanisme potensial
untuk analgesia ketamin. Menariknya, sebuah fakta penting untuk efek samping
diferensial dari enansiomer yaitu R-ketamin memiliki afinitas yang lebih besar
untuk reseptor sigma dari S-ketamin.
Efek kolinergik
Asetilkolin dianggap memainkan peran penting dalam penghambatan nyeri
di tulang belakang. Baik ketamin dan metabolitnya, norketamin, telah terbukti
memberi efek pada sistem asetilkolin nikotinik. Ketamin juga telah terbukti dapat
menghambat fungsi muskarinik. Meskipun sistem muskarinik pada SSP belum
sepenuhnya dijelaskan, efeknya mungkin akan antalgesic, tidak analgesik.
Sehingga kontribusi efek kolinergik untuk analgesia ketamin tidak jelas. Mungkin
terdapat efek analgesik, nikotinat serta antalgesic, efek muskarinik.
Efek monoamine
Mekanisme lain dalam sistem nyeri di mana efek ketamin dieksplorasi
adalah serapan serotonin. Ketamin dilaporkan menghambat penyerapan ini.
Monoamina serotonin dan norepinefrin yang dianggap sebagai mediator utama
endogen penghambatan nyeri menurun. Pada saat ini, tidak jelas sejauh mana
inhibitor reuptake monoamine kontribusi untuk analgesia ketamin pada manusia.

Mekanisme supraspinal
Meskipun mekanisme pada tulang belakang memainkan peran pasti dalam
analgesia ketamin, banyak pendapat mengatakan pengurangan nyeri ini berkaitan
dengan supraspinal. Evolusi yang cepat dari teknologi pencitraan otak telah
membuat eksplorasi mekanisme yang terlibat mungkin dilakukan. Awal studi
tomografi emisi positron (TEP) menggunakan ketamin (S)-(N-methyl-IIC)
menyelidiki adanya pengikatan tertentu, menunjukkan konsentrasi otak yang
tinggi di daerah dengan kepadatan reseptor NMDA besar. Konsentrasi otak yang
diperiksa berasal dari sukarelawan manusia dengan nyeri iskemik. Ketamin juga
telah terbukti menurunkan aktivasi rasa nyeri di korteks sekunder somatosensori,
insula, dan korteks anterior cingulate. Pertengahan korteks cingulate telah terlibat
dalam dimensi afektif nyeri. Sebuah studi analgesik dari tindakan anestesi ketamin
telah dilaporkan oleh Rogers et al. Efek analgesik dapat secara terpisah diukur
dalam aksi ketamin yang lebih global pada otak. Secara khusus, korteks insular
dan thalamus yaitu daerah yang diaktifkan oleh rangsangan berbahaya,
menunjukkan respon menurun.
Niesters et al. baru-baru ini menggunakan pencitraan resonansi magnetik
fungsional (MRIf) dalam keadaan istirahat, teknik baru untuk mempelajari
perubahan konektivitas otak yang terinduksi ketamin. Perubahan yang diamati
yaitu di daerah yang terlibat dalam rasa sakit dan zat endogen modulasi nyeri.
Efek beragam
Menjadi "Mimpi buruk bagi farmakolog," seperti dinyatakan di atas,
banyak mekanisme tentatif lainnya yang berkaitan dengan efek ketamin yang
berbeda telah dieksplorasi. Banyak dari mereka memiliki sedikit atau tidak ada
relevansi sebagai efek analgesik.
Ketamin menekan miokardium dan otot polos pembuluh darah pada
konsentrasi yang relevan secara klinis, mungkin dengan menghambat saluran
kalsium terkait tegangan serta pelepasan kalsium dari penyimpanan intraseluler.
Mekanisme ini mungkin tidak terlibat dalam transmisi nyeri.

Ketamin telah terbukti memiliki efek agonistik dopamin. Efek ini mungkin
memiliki efek pada perilaku tetapi tampaknya tidak mempengaruhi analgesia dari
ketamin.
Efek antiinflamasi ketamin telah secara konsisten dilaporkan dalam
beberapa tahun terakhir. Ketamin telah diketahui melepaskan adenosine pada
perifer yang menyebabkan penghambatan sekresi sitokin proinflamasi. Ketamin
juga mengurangi biosintesis tumor necrosis factor alpha (TNF-) dan Interleukin
(IL-6) melalui penekanan aktivasi reseptor toll-like 4 (TLR-4). Meskipun efek
antiinflamasi mungkin memainkan peran dalam kondisi sakit lama, mereka
mungkin tidak dapat memberikan kontribusi pada efek analgesik jangka pendek.
Ketamin telah digunakan secara topikal, meskipun sering tidak jelas
apakah efek diselidiki terutama pada struktur kulit atau efek sistemik dari
pemberian transdermal. Finch et al. menemukan adanya konsentrasi pada plasma
di bawah ambang batas determinasi setelah pemberian topikal. Efek penghilang
rasa sakit perifer ketamin juga telah ditunjukkan dalam model nyeri inflamasi
manusia. Beberapa langkah dari rasa sakit dan hiperalgesia tidak terpengaruh, dan
penulis tidak percaya adanya efek perifer yang relevan secara klinis. Mode
pengobatan topikal / perifer perlu eksplorasi lebih lanjut untuk menilai potensi
klinis.
Analgesia atau Antihyperalgesia?
Suatu hal yang penting mengenai ketamin sebagai analgesik adalah apakah
efek analgesik terutama akibat dari antihyperalgesia atau ada analgesia tertentu.
Perbedaannya mungkin tampak akademis, tetapi juga memiliki implikasi klinis
dan penelitian. Beberapa peneliti telah mempresentasikan hasil yang menunjukkan
bahwa analgesia yang buruk jika efek antagonis NMDA tidak berperan. Sejauh
mana mekanisme non-NMDA secara signifikan berkontribusi dalam klinis
analgesia masih dalam tahap pencarian.
Jika efek analgesik yang diamati di klinik terutama disebabkan oleh
antihyperalgesia, kita harus hati-hati mengeksplorasi karakteristik respon dosis
dari efek tersebut. Jika murni efek analgesik akan memiliki karakteristik respon

dosis yang berbeda. Dalam rangka mengoptimalkan terapi, harus beradaptasi


dengan kasus mana yang terjadi. Lihat Tabel 1 untuk ringkasan "Mekanisme aksi
analgesik disepakati dan diduga untuk analgesia ketamin."

Nyeri perioperatif
Ketamin awalnya digunakan sebagai obat bius, tetapi efek analgesik pasca
operasi diamati secara alami dalam studi klinis awal. Reaksi munculnya efek
samping psikotomimetik sering mendominasi diskusi dalam laporan awal. Sifat
analgesik ketamin untuk menghilangkan rasa sakit pasca operasi dieksplorasi pada
pertengahan tahun tujuh puluhan. Ketamin juga semakin banyak disebutkan dalam
review analgesia pasca operasi. Dalam review penting pada penggunaan terapi
ketamin, penggunaan khusus ketamin sebagai analgesik disebutkan, tapi tidak
diuraikan. Sebuah tinjauan terbaru, ditemukan 37 uji coba ketamin perioperatif
yang memenuhi kriteria inklusi. Dari jumlah tersebut, 27 menyatakan bahwa
syarat pemberian analgesik, intensitas nyeri atau keduanya, berkurang dengan
ketamin. Sepuluh yang lain tidak ada pengaruh yang signifikan, dan tiga dianggap
tidak sensitif. Para penulis menyimpulkan bahwa "ketamin efektif dalam
mengurangi pemberian morfin dalam 24 jam pertama setelah operasi." Sebuah
kesimpulan sementara bahwa peningkatan dosis di atas sekitar 30 mg sehari-hari
tidak akan meningkatkan efek morphine-sparing. Catatan hati-hati ditambahkan

karena penelitian yang heterogen, tidak mendukung setiap rejimen tertentu.


Beberapa studi mempelajari bolus pre-insisi, beberapa lain bolus saat penutupan
luka, dan beberapa mengenai infus perioperatif dengan bolus. Pemberian ketamin
pre-insisi telah dianggap bermanfaat dalam ulasan sebelumnya.
Beberapa studi review oleh Bell et al. dilakukan dengan ketamin epidural,
praktek yang penulis percayai harus ditinggalkan dalam pandangan indikasi relatif
kuat dari patologi sumsum tulang belakang. Selain itu, keuntungan klinis
kemungkinan marginal membuat pertimbangan antara risiko dan manfaat tidak
mendukung penggunaan epidural. Namun pada sistematis terbaru lain dengan
studi acak dan analisis subkelompok, ketamin untuk analgesia pasca operasi
dibatasi inklusi untuk ketamin intravena tanpa anestesi regional. Manfaat klinis
ketamin ditemukan pada prosedur yang melibatkan rasa sakit yang lebih parah
seperti perut bagian atas, dada, dan bedah ortopedi mayor. Temuan ini sejalan
dengan hasil review yang sebelumnya.
Selama bertahun-tahun diketahui bahwa fakta-fakta mengenai analgesia
pasca operasi yang sulit dipahami. Alasannya kompleks karena situasi pasca
operasi memilik banyak bagian atau multifaset, dan ketamin seperti yang kita
ketahui di atas merupakan mimpi buruk bagi farmakologis. Ketamin pada toolbox
pasca operasi saat ini masih dalam tahap pengumpulan bukti klinis dan beberapa
praktik cukup didukung oleh bukti. Infus dosis rendah ketamin, sekitar 18 g /
kg / jam, selama operasi adalah sparing opioid dalam beberapa situasi, meskipun
mungkin tidak jika blok saraf pusat atau perifer digunakan. Menambahkan
ketamin dengan morfin dalam rejimen pasien dikontrol analgesia (patient
controlled analgesia/ PCA) tampaknya tidak meningkatkan analgesia pada
umumnya. Gambaran di sini bervariasi meskipun mungkin ada beberapa manfaat
pada bedah dada, tetapi tidak dalam bedah ortopedi atau perut.
Efek analgesik terutama pada fase pasca operasi segera atau lebih jangka
panjang. Ketamin memiliki kepentingan tertentu dalam konteks yang terakhir,
tetapi pada bagian apa masih belum jelas.
Mungkin ada manfaat perioperatif ketamin dalam operasi berhubungan
dengan nyeri yang lebih parah. Bahkan untuk indikasi ini, dosis dan waktu

pemberian ketamin optimal tetap ditentukan. Untuk indikasi lain, bukti masih sulit
didapatkan.

Nyeri akut
Laporan awal mengenai efek analgesik kuat berbeda dari efek anestesi
menyebabkan eksplorasi pada kegunaan ketamin dalam kondisi nyeri akut. Telah
dilaporkan bahwa pemberiannya setara dengan analgesia menggunakan opioid
pada luka akibat perang, serta pada entrapment setelah kecelakaan. Perawatan
luka bakar dimana pasien sering mengeluh sakit yang parah merupakan indikasi
tentatif untuk pemberian ketamin.
Banyak laporan tentang analgesia pada nyeri akut, jika dosis yang
diberikan cukup besar menyebabkan penurunan kesadaran sementara. Nilai klinis
dari efek murni analgesik akan lebih sulit untuk dievaluasi dalam situasi tersebut.
Dosis ketamin untuk nyeri akut pada kisaran sub-dissosiatif belum ditetapkan,
sehingga hanya mengandalkan laporan anekdotal dan studi terisolasi. Dosis bolus
sebesar 0,1-0,2 mg / kg intravena dianjurkan. Dosis yang lebih besar, 0,2-0,5 mg /
kg intravena juga diperbolehkan. Dalam sebuah studi eksperimental, hampir
setengah dari subyek kehilangan kesadaran pada dosis 0,25 mg / kg, sehingga
menggambarkan jendela terapeutik yang sempit untuk ketamin sub-dissosiatif.
Mentitrasi dosis mulai dari 0,1 mg / kg intravena dengan batas 0,5 mg / kg
intravena merupakan pendekatan bijaksana yang direkomendasikan.

Nyeri kronis
Nyeri neuropatik kronis adalah salah satu indikasi yang pertama kali
dilaporkan untuk mengobati nyeri kronis dengan ketamin. Secara umum, laporan
tentang penggunaan spesifik ketamin dalam kondisi nyeri kronis sangat jarang
sebelum akhir tahun sembilan puluhan. Sebuah tinjauan pada tahun 2003 untuk
nyeri non kanker kronis menemukan 11 studi uji coba terkontrol serta beberapa
studi uji coba yang tidak terkontrol dan laporan anekdotal. Kondisi yang diteliti
terutama di bidang nyeri neuropatik; neuralgia postherpetic, nyeri post amputasi,
dan central pain. Ada juga beberapa studi tentang gangguan nyeri regional

kompleks (complex regional pain disorders/CRPS), nyeri iskemik, dan


fibromyalgia. Tidak ada tindak lanjut jangka panjang dalam studi uji coba
terkontrol. Karena kualitas uji coba dan data heterogenitas, penulis menyimpulkan
bahwa "bukti keampuhan ketamin untuk pengobatan nyeri kronis sedang sampai
lemah". Ulasan pertama ini kemudian diulas kembali 6 tahun kemudian pada
subjek nyeri non kanker kronis. Dalam jangka waktu tersebut terdapat 18
percobaan terkontrol lain diterbitkan. Percobaan ini juga sebagian besar
menyelidiki

nyeri

neuropatik,

nyeri

terkait

whiplash,

arthralgia

sendi

temporomandibular, odontalgia atipikal, nyeri breakthrough, dan profilaksis


migrain. Penulis menyimpulkan bahwa "Literatur memberikan bukti untuk
menghilangkan secara akut nyeri non kanker kronis, informasi yang mendukung
efikasi dan tolerabilitas ketamin dalam pengobatan jangka panjang sakit kronis
sangat terbatas.

Nyeri pada Kanker dan Perawatan Paliatif


Nyeri yang sangat sulit diatasi sering dijumpai pada kanker dan
manajemen nyeri paliatif. Akibatnya, ketamin telah pasti digunakan sejak awal
dalam upaya untuk mengontrol rasa sakit dalam situasi ini. Namun demikian,
laporan dalam literatur jarang terjadi sebelum awal 1990-an. Studi yang ada
terutama membahas kombinasi opioid dan ketamin. Bukti kuat kegunaan ketamin
belum ditemukan dalam studi ini. Mungkin terdapat mekanisme nyeri yang khas
pada nyeri terkait kanker, terutama pada keterlibatan tulang. Mekanisme
dihipotesiskan bahwa nyeri tersebut sensitif terhadap ketamin. Meskipun
demikian, mayoritas nyeri terkait kanker mungkin dimediasi oleh mekanisme
yang diuraikan di atas. Penelitian yang luas mengenai bidang ini, baik mekanisme
analgesik dan efektivitas klinis diperlukan.

50 Tahun Mendatang

Pertama, mengingat fakta bahwa kita memiliki pengetahuan dasar tentang


aspek-aspek penting dari ketamin, meski telah diteliti sifat-sifatnya selama 50
tahun, ketajaman dari penelitian sampai sekarang masih dipertanyakan. Dalam
pikiran penulis, masalah mekanisme aksi ketamin harus menjadi pusat perhatian.
Jika ada mekanisme aksi yang berbeda dalam rentang dosis yang berbeda, dengan
berbagai efektivitas dalam kondisi sakit yang berbeda, kita tidak akan
mendapatkan gambaran yang tidak diketahui dari efek klinis obat tersebut.
Pemberian ketamin dengan bermacam-macam cara juga memperumit masalah.
Konsentrasi plasma atau efek pada situs dari waktu ke waktu memungkinkan kita
untuk membandingkan berbagai mode administrasi.
Menggali

lebih

dalam

perbedaan

antara

enansiomer

berpotensi

menunjukkan terapi mana yang lebih canggih meskipun terdapat bukti perbedaan
yang signifikan dan mungkin relevan secara klinis. Perhatian utama di masa depan
adalah toksisitas, khususnya neuroapotosis, penggunaan pada anak-anak dan
sistitis, dan penggunaan jangka panjang. Dalam praktek klinis, berbagai intervensi
inovatif terus-menerus dicoba. Contohnya adalah infus intermiten dan pemberian
secara burst". Pentingnya penelitian masa depan adalah meningkatkan
penggunaan obat ajuvan untuk mitigasi efek samping dan pengembangan
teknologi untuk pemberian obat.
Akhirnya, terdapat beberapa perkembangan yang relatif baru yang
memiliki potensi secara signifikan meningkatkan pemahaman kita tentang
ketamin sebagai alat klinis. Dalam 50 tahun ke depan, penulis percaya
pengetahuan tentang subtipe NMDA akan memungkinkan terapi lebih beragam
dan lebih canggih. Alat-alat pencitraan baru dan konektivitas fungsional dapat
diharapkan merevolusi pemahaman kita tentang efek klinis ketamin.

Anda mungkin juga menyukai