Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
I.
PENDAHULUAN
prinsip-prinsip
pemberantasan
yang
sama
pada
zaman
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan ratarata 4 kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan
berusia 20 tahun atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada
tahun 1990 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung
dalam Uni Soviet dan Mongolia. Faktor risiko yang mendasari terjadinya infeksi
difteri dikalangan orang dewasa adalah menurunnya imunitas yang didapat karena
imunisasi pada waktu bayi, tidak lengkapnya jadwal imunisasi oleh karena
kontraindikasi yang tidak jelas, adanya gerakan yang menentang imunisasi serta
III.
ETIOLOGI
PATOMEKANISME
Toksigenitas
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kemampuan Corynebacterium
derepresi, molekul represor menjadi inaktif dan transkripsi tox gene berjalan. Fe
dianggap sebagai korepresor karena dibutuhkan da-lam proses represi dari tox gene.
Peranan -faga
Hanya strain Coryne-bacterium diphtheriae yang telah mengalami siklus lisogenik
dengan -faga spesifik yang dapat meng-hasilkan toksin difteri. Faga me-ngandung
gen struktural untuk membentuk molekul toksin.
Keberadaan tox gene pada kromosom -faga dapat dibukti-kan melalui suatu
proses lisogenik Corynebacterium diphtheriae oleh -faga yang telah mengalami berbagai macam mutasi. Dari proses lisogenik ini akan dihasilkan mate-rial nontoksik
tetapi masih bersifat antigenik, disebut cross-reacting material (CRM). Dengan
diketahui-nya CRM maka dapat disimpulkan bahwa tox gene berada pada kromosom
faga dan bukan pada kromosom bakteri.
Patogenesis Difteri
mitokondria,
mereduksi
respirasi,
mereduksi
fosforilasi
dan
Setelah toksin terikat pada permukaan sel, sel hospes akan melakukan endositosis
sehingga toksin berada di dalam vesikel endositik. Proses endositosis meru-pakan
langkah penting yang mempengaruhi aksi toksin karena terjadi penurunan pH segera
setelah vesikel endositik terbentuk yang memungkinkan terjadinya proses translokasi.
Pada pH 7 toksin difteri terutama berbentuk globuler. Di dalam vesikel endosi-tik,
dimana pH menurun sampai 5, asam-asam amino mengalami protonasi sehingga
menjadi ku-rang hidrofilik. Perubahan ini meningkatkan distribusi rantai polipeptida
dan memungkinkan terbentuknya rantai A dan B yang terbuka sebagian sehingga
meng-ekspos area hidrofobik yang dalam keadaan normal ditemukan pada bagian
dalam dari bentuk globuler. Area hidrofobik ini bersama dengan residu asam amino
terpro-tonasi menyebabkan regio rantai A dan B dapat menginsersi ke dalam membran
vesikel. Model rantai A dan B yang terbuka sebagian ini akan menempatkan bagian
dari masing-masing rantai ke dalam membran dan mengekspos rantai A pada sisi
sitoplasma. Reduksi ikatan disulfida akan membebas-kan rantai A dan melepaskannya
ke dalam sitoplasma. Setelah men-capai sitoplasma, rantai A kembali berbentuk
globuler
Regulasi toksin difteri ber-gantung pada dua hal yaitu adanya -faga dan kadar Fe
ekstraseluler. Bila C. diphtheriae tidak mengalami siklus lisogenik dengan -faga
maka C. diphtheriae tidak dapat menghasilkan toksin. Kadar Fe ekstraseluler yang
tinggi berperan penting dalam hal regulasi dengan cara mengaktifkan gen dtxR,
sehingga DtxR mampu mengikat DNA toksin pada area promotor sehingga
menghambat proses transkripsi rantai toksin 5
V.
KLASIFIKASI
Pembagian berdasarkan berat ringannya:
1. Infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala
hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring
dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif
3. Infeksi Berat
Disertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat, yang hanya dapat diatasi
dengan trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis, paralisis ataupun
nefritis dapat menyertainya.
VI.
MANIFESTASI KLINIK
Difteri Saluran Pernapasan.
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari kalifornia yang dipublikasi pada tahun 1954, fokus
infeksi primer adalah tonsil atau fsring pada 94 % dengan hidung dan laring dua tempat berikutnya
yang paling lazim. Sesudah sekitar mas inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala radang
lokal. Demam jarang lebih tinggi dari 39 C. Infeksi nares anterior(lebih sering pada bayi)
menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosaanguinis dengan pembentukan membran. Ulserasi
dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok
merupakan gejala awal yang umum, tetapi hanya setengah penderita menderita demam, dan lebih
sedikit yang menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Injeksi faring ringan disertai dengan
pembentukan membran tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas secara berbeda-beda mnegenai
uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glotis. Edema jaringan lunak
dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat menyebabkan gambaran bull neck. Tingkat perluasan
lokal berkolerasi secara langsung dengan kelemahan yang berat, gambaran bull neck, dan kematian
karena gangguan jalan napas atau komplikasi yang diperantarai toksin.
Membrana pelekat seperti kulit, meluas ke belakang daerah tenggorok, relatif tidak panas,
dan disfagia membantu membedakan difteri dari faringitis eksudat karena streptococcus
pyogenes dan virus Epstein-Barr,
jugularis, dan mukositis pada penderita yang mengalami kemoterapi kanker biasanya
dibedakan oleh gejala klinisnya. Infeksi laring, trakea dan bronkus dapat merupakan
perluasan primer atau sekunder dari infeksi faring. Parau, stridor, dispnea, dan batuk, dan
trakeitis stafilokokkus sebagian berhubungan relatif kecil dengan tanda-tanda dan gejalagejala pada penderita dengan difteri dan terutama pada visualiasasi perlekatan
pseudomembran pada saat laringoskopi dan intubasi.
Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak
dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan pemotongan pseudomembran
menyelamatkan jiwa, tetapi sering ada komplikasi toksik sistemik tidak dapat dihindarkan.
Difteri kulit klasik adalah infeksi non progresif lamban yang ditandai dengan ulkus
yang tidak menyembuh, superfisial, ektimik dengan membran coklat keabu-abuan. Infeksi
difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impentigo streptokokkus atau stafilokokkus, dan
mereka biasanya bersama. Pada kebanyakan kasus,dermatosis yang mendasari, luka goresan,
luka bakar atau impentigo telah terkontaminasi sekunder. Tungkai lebih sering terkena
daripada badan atau kepala. Nyeri, sakit, eritema dan eksudat khas. Hiperestesi lokal atau
hipestesia tidak lazim. Kolonisasi saluran napas atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik
terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit. Pada orang dewasa Seattle yang
terinfeksi, 3% dengan infeksi kulit dengan infeksi kulit dan 21% dengan infeksi nasofaring
bergejala, dengan atau tanpa keterlibatan kulit, menderita miokarditis toksik, neuropati, atau
komplikasi saluran pernapasanobstruktif. Semuanya telah mendapat sekurang-kurangnya
20.000 unit anti toksin kuda pada saat rawat inap.
VII.
DIAGNOSIS
IX.
PROGNOSIS
komplikasi miokarditis menyebabkan kematian yang paling besar. Kasus angka korban jiwa
hampir 10 persen untuk saluran pernafasan difteri telah tidak berubah dalam 50 tahun; rate 8
% dalam vietnam seri dijelaskan pada 2004.1
DAFTAR PUSTAKA
1. E. Stephen Buescher. Diphteria. In : Behrman, Kleigman, eds. Nelson Textbook of
Pediatrics. 19th ed. Philadelphia : 2011 Elsevier. Chapter 180
2. Arif, Mansjoer,dkk.,(2000), Kapita selekta kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculapius,
3.
FKUI, Jakarta
Roespandi Hanny. dr. Difteri. buku saku pelayanan kesehatan anakdi rumah sakit.
Jakarta:2009.
4. Dinas Kesehatan,PENYAKIT DIFTERI & SITUASI DI JATIM . 2013. Available
from : dinkes.jatimprov.go.id
5.
Rusman, Djaja .Mekanisme Toksigenitas Molekuler dan Potensi Medik Toksin From
: Difteri.2013.Available http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-
kedokteran/article/view/78
6. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Unit Kerja Kordinasi Infeksi dan
Penyakit Tropis. 2013. Availablefrom : http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.as
p?q=201111411912