Anda di halaman 1dari 5

B.

Perspekif Kasus Korupsi Rudi Rubiandini Menurut Agama


Korupsi yang di lakukan oleh Rudi Rubiandini adalah suap menyuap.
Praktik suap-menyuap atau yang sering diistilahkan dengan uang pelicin atau
uang sogok sudah jelas keharamannya, namun tetap saja gencar dilakukan oleh
sebagian orang, seperti yang dilakukan oleh Rudi Rubiandini, demi mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang bersifat duniawi. Rudi Rubiandini melakukan suap
demi mendapatkan pekerjaan yang berpenghasilan lebih besar dari penghasilan ia
sebenarnya. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih
menyedihkan lagi, mereka yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku
beragama Islam, padahal jelas-jelas imam dan panutan kaum muslimin,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengutuk dengan keras para pelaku
suap-menyuap itu.
Praktik suap menyuap di dalam agama Islam hukumnya haram berdasarkan
dalil-dalil syari berupa Al-Quran, Al-Hadits, dan ijma para ulama. Pelakunya
dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya.
Terdapat banyak dalil syari yang menjelaskan keharaman suap menyuap, di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dalil dari Al-Quran Al-Karim, firman Allah Taala:


Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka (QS. Al-Maidah:
42).
Di dalam menafsirkan ayat ini, Umar bin Khaththab, Abdullah bin
Masud radliyallahuanhuma dan selainnya mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan as-suhtu (sesuatu yang haram) adalah risywah (suapmenyuap). (Lihat Al-Jami Li Ahkam Al-Quran karya imam AlQurthubi VI/119).
Berkenaan dengan ayat di atas, Hasan dan Said bin Jubair
rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud
adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: Jika seorang Qodhi (hakim)
menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran. (Lihat AlMughni, karya Ibnu Qudamah XI/437).

Penafsiran ini semakna dengan firman Allah Taala di dalam surat AlBaqarah ayat 188 yang menjelaskan haramnya memakan harta orang lain
dengan cara yang bathil.
Allah Taala berfirman:


(188)
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 188).
Imam Al-Qurthubi mengatakan, Makna ayat ini adalah janganlah
sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang
tidak benar. Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta
orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya
ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan
dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan
kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang
haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim. (Lihat AlJami Li Ahkam Al-Quran II/711).
Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Haitsami rahimahullah
mengatakan, Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian,
yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan
mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian
mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian. (Lihat Az-Zawajir An Iqtirof
Al-Kaba-ir, karya Haitsami I/131).

2. Dalil dari Hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam, diantaranya:


. - -

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap
dalam masalah hukum. (HR. Ahmad II/387 no.9019, At-Tirmidzi III/622

no.1387, Ibnu Hibban XI/467 no.5076. Dan dinyatakan Shohih oleh


syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261
no.2212).
. - -


Dan diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang
memberi suap dan yang menerima suap. (HR. Abu Daud II/324 no.3580,
At-Tirmidzi III/623 no.1337, Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan
Ahmad II/164 no.6532, II/190 no.6778. Dan dinyatakan Shohih oleh
syaikh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib II/261
no.2211).



:

Dan diriwayatkan dari Tsauban radhiyallahu anhu, ia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat pemberi suap, penerima
suap, dan perantaranya. (HR. Ahmad V/279 no.22452. namun sanad
hadits ini dinyatakan Dhoif (lemah) oleh syaikh Al-Albani di dalam
Dhoif At-Targhib wa At-Tarhib II/41 no.1344).
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa suap-menyuap termasuk dosa
besar, karena pelakunya diancam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
dengan Laknat dari Allah. Dan arti laknat ialah terusir dan terjauhkan dari
rahmat Allah. Al-Haitami rahimahullah memasukkan suap ke dalam dosa
besar yang ke-32.

3. Dalil Ijma
Para ulama telah sepakat secara ijma akan haramnya suap menyuap
secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, dan
Ash-Shanani, semoga Allah merahmati mereka semua. (Lihat Al-Mughni
XI/437, An-Nihayah II/226, dan Subulussalam I/216).
Imam Al-Qurthubi rahimahullah di dalam kitab Tafsirnya mengatakan
bahwa para ulama telah sepakat akan keharamannya. (Lihat Al-Jami Li
Ahkam Al-Quran VI/119).

Imam Ash-Shanani mengatakan, Dan suap-menyuap itu haram


berdasarkan Ijma, baik bagi seorang qodhi (hakim), bagi para pekerja yang
menangani shadaqah atau selainnya. Sebagaimana firman Allah Taala,
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 188). (Lihat Subulus Salam II/24).
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan, Suap
menyuap termasuk dosa besar karena Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap,
sedangkan laknat tidaklah terjadi kecuali pada dosa-dosa besar. (Lihat
Taudhihul Ahkam VII/119).
C. Perspekif Kasus Korupsi Rudi Rubiandini Menurut Hukum

Seorang yang melakukan korupsi itu melawan Hukum, memperkaya diri


sendiri atau orang lain, dapat merugikan keuangan negara atau suatu
perekonomian negara, bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
Jabatan atau kedudukannya.
Sebagaimana yang telah ditetapkan undang-undang di Indonesia yang
mengatur mengenai tindak pidana korupsi adalah UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Orang yang membantu pelaku tindak pidana korupsi dikenakan ancaman
pidana yang sama dengan yang dikenakan kepada pelaku korupsi (lihat Pasal 15
UU Tipikor). Ketentuan ini juga berlaku untuk setiap orang yang berada di luar
wilayah Indonesia yang membantu pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 16 UU
Tipikor).
Kemudian, mengenai ancaman pidana untuk orang yang turut serta
melakukan tindak pidana korupsi, kita perlu perlu merujuk pada ketentuan umum
hukum pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Berdasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP, orang yang turut serta
melakukan perbuatan pidana, dipidana sebagai pelaku tindak pidana. Jadi,
berdasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP orang yang turut serta melakukan tindak

pidana korupsi juga dipidana dengan ancaman pidana yang sama dengan pelaku
tindak pidana korupsi.
Begitu pun yang dilakukan oleh Rudi Rubiandini, kasus korupsi yang
melibatkan Rudi Rubiandini menurut Sudut pandang hukum jelas dipandang
sebagai Extraordinary Crime. Kasus suap yang melibatkan Kepala SKK Migas
non aktif, Rudi Rubiandini dinilai merupakan pelanggaran konstitusi. Sebab, Pasal
33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Di dalam Undang-undang pemberantasan korupsi,
penerima dan pemberi suap dinyatakan bersalah.
Rudi juga melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU jo
Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Dalam pasal ini disebutkan orang yang mengalihkan
uang hasil tindak pidana korupsi dengan tujuan menyamarkan asal-usul harta
kekayaan dikenai tindak pidana pencucian uang. Dengan itu, Rudi terancam
pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar.

Anda mungkin juga menyukai