Suhu
Laut tropik memiliki massa air permukaan hangat yang disebabkan oleh adanya
pemanasan yang terjadi secara terus-menerus sepanjang tahun. Pemanasan
tersebut mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di dalam kolom perairan yang
disebabkan oleh adanya gradien suhu. Berdasarkan gradien suhu secara vertikal
di dalam kolom perairan, Wyrtki (1961) membagi perairan menjadi 3 (tiga)
lapisan, yaitu: a) lapisan homogen pada permukaan perairan atau disebut juga
lapisan permukaan tercampur; b) lapisan diskontinuitas atau biasa disebut
lapisan termoklin; c) lapisan di bawah termoklin dengan kondisi yang hampir
homogen, dimana suhu berkurang secara perlahan-lahan ke arah dasar perairan.
Menurut Lukas and Lindstrom (1991), kedalaman setiap lapisan di dalam kolom
perairan dapat diketahui dengan melihat perubahan gradien suhu dari
permukaan sampai lapisan dalam. Lapisan permukaan tercampur merupakan
lapisan dengan gradien suhu tidak lebih dari 0,03 oC/m (Wyrtki, 1961),
sedangkan kedalaman lapisan termoklin dalam suatu perairan didefinisikan
sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu lebih dari 0,1 oC/m
(Ross, 1970).
Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi,
evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika
yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi terjadi di laut melalui curah
hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat
meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke
lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden and Hayes (1991), evaporasi
dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1 oC pada lapisan permukaan
hingga kedalaman 10 m dan hanya kira-kira 0,12 oC pada kedalaman 10 75 m.
Disamping itu Lukas and Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu
permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan
tercampur. Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan
entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur
serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991), adveksi
vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan
bahang dan suhu pada lapisan permukaan. Kedua faktor tersebut bila
dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat
mengakibatkan terjadinya upwelling. Upwelling menyebabkan suhu lapisan
permukaan tercampur menjadi lebih rendah. Pada umumnya pergerakan massa
air disebabkan oleh angin. Angin yang berhembus dengan kencang dapat
mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas yang
mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen.
Salinitas
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi
air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah
hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah
sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya
tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di suatu
perairan.
Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya
kedalaman. Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan penyebaran
salinitas secara vertikal. Pengadukan di dalam lapisan permukaan
memungkinkan salinitas menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang
mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga mengakibatkan
meningkatnya salinitas permukaan perairan.
Sistem angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh
terhadap sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara
horisontal. Secara horisontal berhubungan dengan arus yang membawa massa
air, sedangkan sebaran secara vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin
yang mengakibatkan terjadinya gerakan air secara vertikal. Menurut Wyrtki
(1961), sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas
yang akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan.
Perubahan musim tersebut selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan
sirkulasi massa air yang bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah.
Interaksi antara sistem angin muson dengan faktor-faktor yang lain, seperti runoff dari sungai, hujan, evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan
distribusi salinitas menjadi sangat bervariasi. Pengaruh sistem angin muson
terhadap sebaran salinitas pada beberapa bagian dari perairan Indonesia telah
dikemukakan oleh Wyrtki (1961). Pada Musim Timur terjadi penaikan massa air
lapisan dalam (upwelling) yang bersalinitas tinggi ke permukaan di Laut Banda
bagian timur dan menpengaruhi sebaran salinitas perairan. Selain itu juga di
pengaruhi oleh arus yang membawa massa air yang bersalinitas tinggi dari
Lautan Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Torres. Di Laut
Flores, salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai akibat dari pengaruh
masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur, tingginya salinitas
dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores mengakibatkan meningkatnya
salinitas Laut Flores. Laut Jawa memiliki massa air dengan salinitas rendah yang
diakibatkan oleh adanya run-off dari sungai-sungai besar di P. Sumatra, P.
Kalimantan, dan P. Jawa.
run off dari daratan serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu
permukaan.
Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan
pengangkatan massa air. Penyebab utama dari proses tersebut adalah tiupan
angin yang kuat. Lukas and Lindstrom (1991), mengatakan bahwa pada tingkat
kepercayaan 95 % terlihat adanya hubungan yang positif antara densitas dan
suhu dengan kecepatan angin, dimana ada kecenderungan meningkatnya
kedalaman lapisan tercampur akibat tiupan angin yang sangat kuat. Secara
umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau
kedalaman, dan menurunnya suhu.
Cahaya
Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di
laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak
cahaya matahari untuk proses fotosintesa. Sedangkan di lapisan yang lebih
dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada
sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian
bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan
lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah
lapisan termoklin. Hal ini juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997)
berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh
bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan
tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari
lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan
termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan
termoklin.
Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis pigmen
tambahan seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara lengkap
menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak. Pada panjang gelombang
400 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi
dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm, terutama
diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600
nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton,
1982).
Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka
jumlah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda pula.
Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesa. Fujita (1970)
dalam Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi
fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a dan b untuk alga hijau dan
euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom, dinoflagelata, dan alga
coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau biru.
Nutrien
Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh tumbuhantumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat)
dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang
dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon,
magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element
dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dam vanadium
(Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen
nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K,
dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan
elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya
disebut mikronutrien atau trace element.
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi
nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan
meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya. Hal mana juga
dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan
berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan
bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada
kedalaman antara 500 1500 m.
Suhu
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk
mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat
menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak
langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat
mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).
Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya
suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik
suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu
berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
tinggi.
3. Thermodhine antara 100-1500 m. kedalamannya yang temperatunya
berasal dari pengurangan dari berbagai macam-macam bentuk dari nilai
permukaan tinggi sampai nilai kedalaman rendah.
Thermodine mengindikasikan pemindahan vertical dari permukaan air ke
dalam kedalaman air maupun perpindahan jalur air horizontal. Meskipun
beberapa dari perpindahan ini terjadi dengan difusi molekul, banyak
dilahirkan diselesaikan dengan aliran pusat air kecil yang membawa air
vertical (Pencampuran salinitas maupun temperature dari garam Cua +
dan Cl) terbebas dari lainnya dan membawa hubungan dengan molekul
air. Jika electron positif dan negative terkandung oleh air, ion sodium
positifdan ion klorida negative akan menarik muatan elektroda yang
berlawanan. Selama ion terus bergerak disekitar molekul air menuju
elektroda mereka menghasilkan gerakan elektrik air laut dapat digunakan
untuk menentukan salinitas.
E. Densitas Air Laut
Distribusi densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi
densitas secara vertikal di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara
horisontal yang disebabkan oleh arus. Distribusi densitas berhubungan
dengan karakter arus dan daya tenggelam suatu massa air yang
berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke kedalaman tertentu.
Densitas air laut tergantung pada suhu dan salinitas serta semua proses
yang mengakibatkan berubahnya suhu dan salinitas. Densitas permukaan
laut berkurang karena ada pemanasan, presipitasi, run off dari daratan
serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu permukaan.
Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan
pengangkatan massa air. Penyebab utama dari proses tersebut adalah
tiupan angin yang kuat. Lukas and Lindstrom (1991), mengatakan bahwa
pada tingkat kepercayaan 95 % terlihat adanya hubungan yang positif
antara densitas dan suhu dengan kecepatan angin, dimana ada
kecenderungan meningkatnya kedalaman lapisan tercampur akibat tiupan
angin yang sangat kuat. Secara umum densitas meningkat dengan
meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalaman, dan menurunnya suhu.
F. Warna Air Laut
Warna air laut ditentukan oleh kekeruhan air laut itu sendiri dari
kandungan sedimen yang dibawa oleh aliran sungai. Pada laut yang keruh,
radiasi sinar matahari yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis
tumbuhan laut akan kurang dibandingkan dengan air laut jernih. Pada
perairan laut yang dalam dan jernih, fotosintesis tumbuhan itu mencapai
200 meter, sedangkan jika keruh hanya mencapai 15 40 meter. Laut
yang jernih merupakan lingkungan yang baik untuk tumbuhnya terumbu
karang dari cangkang binatang koral.
Air laut juga menampakan warna yang berbeda-beda tergantung pada zatzat organik maupun anorganik yang ada.
Ada beberapa warna-warna air laut karena beberapa sebab:
a. Pada umumnya lautan berwarna biru, hal ini disebabkan oleh sinar
matahari yang bergelombang pendek (sinar biru) dipantulkan lebih banyak
dari pada sinar lain.
b. Warna kuning, karena di dasarnya terdapat lumpur kuning, misalnya
Literatur
Brown, J., A. Colling, D. Park, J. Phillips, D. Rothery, J. Wright, 1989. Ocean
Chemistry and Deep Sea Sediments. Open University.
Levinton, J. S., 1982. Marine Ecology. Printice Hall inc.
Lukas R., and E. Lindstrom, 1991. The Mixed Layer of the Western Equatorial
Pacific Ocean. J. Geophys. Res., 96: 3343 3357.
Matsuura, M., T. Sugimoto, M. Nakai, and S. Tsuji, 1997. Oceanographic
Conditions near the Spawning Ground of Southern Bluefin Tuna: Northeastern
Indian Ocean. J. Oceanogr., 53: 421 433
Parsons, T. R., M. Takashi, and B. Hargrave, 1984. Biological Oceanography
Process. Third Edition. Pergamon Press, New York.
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, and M. K. Moosa, 1997 a. The Ecology of the
Indonesian Seas. Part One. The Ecology of Indonesian Series. Vol. VII. Periplus
Editions (HK) Ltd.
Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asean Waters, NAGA
Rep. 2. Scripps Inst. of Oceanography La jolla, Calif.
http://sudomo-gis.com/Tulisan/Hidrografi_SifatFisikAirLaut.pdf