Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan
antara Negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai. Yang terkurung oleh daratan dan
atau organisasi maupun subjek hukum internasional lainnya. Yang mengatur tentang kedaulatan
Negara di laut. Yuridiksinya Negara dan hak hak Negara atas perairan tersebut. Hukum laut
internasional menpelajari tentang aspek apek hukum di laut dan peristiwa hukum yang terjadi
di laut.
Hukum laut internasional mengalami perkembangan secara terus menerus dan
mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu untuk kepentingan umat manusia melalui aturan
aturan yg berlaku tiap tiap Negara.
Pada zaman Romawi , penguasaan laut belum menimbulkan persoalan perlintasan laut,
karena kekuatan Romawi sebagai kekuasaan kekaisaran (imperium) masih menguasai Laut
Tengah dan belum ada kerajaan-kerajaan yang mengimbangi kekuatan kekaisaran Romawi pada
waktu itu. Pada masa abad pertengahan imperium Romawi runtuh, maka bermunculanlah negaranegara yang menuntut sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya, antara lain Venetia
mengklaim Laut Adriatik, Genoa mengklaim laut Liguria dan Pisa mengklaim laut Thyrrhenia.
Klaim negara-negara ini menimbulkan keadaan yang menyebabkan laut tidak lagi menjadi milik
bersama, sehingga diperlukan peraturan untuk menjelaskan kedudukan hak-hak atas laut menurut
hukum. Perjalanan hukum laut cukup panjang hingga sampailah pada Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut I tahun 1958 (UNCLOS I), Konferensi Hukum Laut
UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun 1982.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (Bahasa Inggris: United
Nations Convention on the Law of the Sea) disingkat (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum
Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III ) yang
berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini
mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta
menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut.
Konvensi kesimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian internasional mengenai laut
tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke
60 untuk menandatangani perjanjian Untuk saat ini telah 158 negara dan Masyarakat Eropa telah
bergabung dalam Konvensi.
Ini lah salah satu yang melatar belakangi kami mengambil judul makalah ini "HUKUM
LAUT INTERNASIONAL" karna kekomplek tivitasanya dari sejarah pembentukan sejak
[
1]

zaman dahulu kala hingga sekarang ini dan ilmu yang akan didapatkan dari isi makalah ini
nantinya.

[
2]

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun masalah yang muncul adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah pembentukan hukum laut?
2. Berapa kali tahapan tahapan hukum laut internasional ?
3. Bagaimana proses lahirnya laut lepas ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan


Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum laut yang pertama kali berlaku sehingga
bisa berkembang hingga saat sekarang ini.
2. memberikan gambaran tentang laut territorial Indonesia baik berdasarkan peraturan
nasional maupun peraturan internasional.
3. Melalui makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat luas
pada umumnya dan pada penulis khususnya mengenai laut teritorial sehingga
masyarakat dapat ikut secara bersama sama menjaga kedaulatan indonesia.
Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis, yaitu melihat perkembangan sejarah dan perkembangan hukum yangdi
terapkan di laut dengan menggunakan hukum laut internasional.
2. Manfaat Praktis, yaitu sebagai bahan tambahan pengetahuan mahasiswa mengenai
batasan batasan hukum lautinternasional dengan hukum laut nasional.
D. Metode dan Teknik Penulisan
Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah
metode studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang
bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar atau pedoman untuk
melihat adanya ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan sebagai penyebab dari
permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini. Sumber sumber yang dijadikan sebagai
rujukan untuk studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan. Baik itu buku maupun
situs situs yang ada di internet.

BAB II
SEJARAH HUKUM LAUT
A. Sejarah Lahirnya Hukum Laut Internasional
Sejak dahulu kala telah terdapat dua konsepsi mengenai laut, yaitu: res nullius dan res
commanis.
1. Res nullius, berpendapat bahwa laut sebagai ranah tak bertuan, atau kawasa yang tidak ada
pemiliknya. Karena tidak ada pemiliknya, maka laut dapat diambil atau dimiliki oleh masingmasing Negara.
2. Res communis, berpendapat bahwa laut adalah milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat
diambil dan dimiliki secara individual oleh Negara-negara. Sebagai milik bersama, maka laut
harus dipergunakan untuk kepentingan semua Negara, dan pemanfaatannya terbuka bagi
semua Negara. Ini sesuai dengan pendapat Ulpian yang menyatakan bahwa the sea is open to
everybody by nature, dan Celcius yang menyatakan the sea like the air, is common to all
mankind.
Dalam pelaksanaannya, kedua teori tersebut tak dapt diterapkan secara kaku. Keduanya
saling melengkapi, yakni dalam batas-batas tertentu dapat dimiliki, tetapi dibatasi sampai jarak
tertentu ini dapat dilihat dalam praktik yang dianut Negara-negara sejak dahulu sampai sekarang.
1. Zaman sebelum Romawi
Punisia kuno, sebuah kerajaan sebelum zaman Romawi menganggap laut yang mereka
kuasai sebagai milik Negara mereka. Paham ini juga dianut oleh bangsa Persia, Yunani dan
Rhodia. Di zaman Rhodia, hokum laut telah mulai berkembang, yang kemudian menjadi dasar
bagi Hukum Romawi tentang laut.
2. Zaman Romawi
Setelah perang Punis III Romawi telah menjadi penguasa tunggal di Laut Tengah. Laut
Tengah kemudian dianggap oleh orang-orang Romawi sebagai danau mereka. Dalam
melaksanakan kekuasaannya di laut tersebut banyak tanda yang menunjukkan bahwa dalam
pandangan orang Romawi laut bias dimiliki. Orang Romawi memandang laut sebagai public
property yakni sebagai milik Kerajaan Romawi.
3. Setelah Zaman Romawi
Setelah zaman Romawi terdapat banyak Negara di sekitar Laut Tengah yang merupakan
pecahan dari Kerajaan Romawi. Negara-negara ini menuntut laut yang berdekatan dengan pantai
mereka sebagai wilayah mereka. Karena itu masa ini dipandang sebagai awal dari
berkembangnya konsep laut wilayah.
Tuntutan atas kepemilikan laut ini misalnya dilakukan oleh: (a) Venesia yang menuntut
sebagian besar Laut Adriatik. Tuntutan ini diakui oleh Alexander III pada Tahun 1117. Di

kawasan ini Venesia memungut kepada setiap kapal yang melewati kawasan laut Adriatik, (b)
Genoa menuntut Laut Liguarian dan sekitarnya, dan (c) Pysa menuntut dan melaksanakan
kedaulatannya atas laut Tyraania.

Tuntutan-tuntutan itu cenderung menimbulkan penyalahgunaan hak oleh Negara-negara


tersebut (misalnya memungut biaya pelayaran). Untuk mengatasi hal ini, para penulis pada
waktu itu membatasi tuntutan tersebut sampai batas tertentu saja. Misalnya, Bartolus, Solorzan
dan Cosaregis membatasi laut Negara pantai itu sampai 100 mil Italia (pada waktu itu = 1480 m).
Baldus, Bodin dan Targa membatasinya sampai 60 mil, Loccanius membatasinya sampai batas
yang diinginkan oleh Negara pantai tanpa merugikan negara tetangganya.
4. Zaman Portugal dan Spanyol
Jatuhnya Constantinopel ke tangan Turki pada tahun 1443, menyebabkan bangsa Portugis
mencari jalan laut lain ke timur menuju Indonesia melalui Samudera Hindia. Selain itu, Portugal
juga menuntut Laut Atlantik sebelah selatan Maroko sebagai wilayah mereka. Bersamaan dengan
ini, Spanyol sudah samapi di Maluku melalui Samudera Pasifik, dan menuntut Samudera ini
bersama dengan bagian Barat Samudera Atlantik dan Teluk Mexico sebagai kepunyaan mereka.
Tuntutan kedua Negara ini diakui oleh Paus Alexander VI, yang membagi dua lautan di
dunia menjadi dua bagian dengan batas garis meridian 100 leagues (lk. 400 mil laut) sebelah
Barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (Samudera Atlantik Barat, Teluk Mexico dan
Samudera Pasifik) menjadi miliki Spanyol, dan sebelah Timur (Atlantik sebelah Selatan Maroko,
dan Samudera Hindia) menjadi milik Portugal. Pembagian ini kemudian diperkuat dengan
perjanjian Tordissilias antara Spanyol dan Portugis (1494) dengan memindahkan garis
perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah Barat Pulau0pulau Cape Verde di pantai Barat
Afrika.
Sementara itu, Swedia dan Denmark menuntut kedaulatan atas Laut Baltik, dan Inggris
atas Narrow Seas, dan Samudera Atlantik dari Cape Utara sampai ke Cape Finnistere,3 atau laut
di sekitar kepulauan Ingrris (Mare Anglicanum).4 dan untuk melaksanakan kedaulatannya atas
laut-laut tersebut, pada abad ke-17 Inggris memaksa orang-orang asing untuk mendapat lisensi
Inggris untuk melakukan penangkapan ikan di Laut Utara, dan ketika dalam 1636 Belanda
mencoba menangkap ikan, mereka diserang dan dipaksa mebayar 30.000 found sebagai harga
kegemaran (the price of indulgence).
5. Belanda
Tuntutan kedaulatan atas Samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia oleh Portugal dan
Spanyol serta kedaulatan atas Mare Anglicanum oleh Inggris dirasa sangat merugikan Belanda di
bidang pelayaran dan perikanan. Di bidang pelayaran Belanda sudah sampai di Indonesia melalui
Samudera Hindia pada tahun 1596, dan mendirikan Verenigde Oost Indische Compgnie (VOC)
pada tahun 1602. Penerobosan melalui Samudera Hindia ini langsung berbenturan dengan
kepentingan dan tuntutan Portugal. Di bidang perikanan orang-orang Belanda selama berabadabad telah menangkap ikan di sekitar perairan Mare Anglicanum, dan kegiatan ini telah dijamin
oleh berbagai perjanjian antara kedua Negara.
Untuk memperkuat dalil penentangannya atas kepemilikan laut, Belanda berusaha
mencari dasar-dasar hokum yang menyatakan laut adalah bebas untuk semua bangsa. Untuk

kepentingan ini Belanda menyewa Hugo de Groot, seorang ahli hokum untuk menulis sebuah
buku yang membenarkan pendirian Belanda, shingga orang-orang Belanda dapat bebas berlayar
ke Indonesia. Hasilnya, Grotius menyusun sebuah buku dengan judul Mare Liberum. Buku ini
menguraikan teori kebebasan lautan dalam arti bahwa laut bebas bagi setiap orang, dan tak dapat
dimiliki oleh siapa pun.

Teori Gratius mendapat tentangan dari banyak penulis seangkatannya. Gentilis misalny,
membela tuntutan Spanyol dan Inggris dalam bukunya Advocatio Hispanica yang diterbitkan
setelah ia meninggal, tahun 1613. Pada tahun yang sama William Wellwood membela tuntutan
Inggris dalam bukunya de Dominio Maris.njohn Seldon menulis Mare Clausum sive de
Domino Marsnya pada tahun 1618 dan terbit pada tahun 1635. Paolo Sarpi menerbitkan Del
Dominio del mare Adriatico 1676 untuk membela tuntutan Venesia atas laut lautan Adriatik.
Yang terpenting dari buku-buku yang membela kepentingan kepemilikan atas laut adalaah Mare
Clausum Shelden. Karya ini diperintahkan untuk diterbitkan pada tahun 1635 pada masa raja
Charles I, yang meminta agar penulis Mare Liberium dihukum.
6. Inggris
Pada mulanya, sebelum tahun 604 Inggris menganut faham kebebasan lautan. Faham ini
dianut terutama untuk menghadapi tuntutan Denmark atas kebebasan di laut Utara.. namun
dalam tahun 1604 Charles I memproklamirkan King Chamber Area yang meliputi 26 wilyayah
di sepanjang dan sekitar lautan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai wilayah kedaulatan Inggris.
Di daerah-daerah ini, diantaranya ada yang melebihi 100 mil, Charles I melarang kapal-kapal
nelayan asing menangkap ikan di kawasan tersebut. Tuntutan ini ditentang oleh Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, umum diterima bahwa Negara-negara dapat
memiliki jalur-jalur laut yang terletak di sekitar atau di sepanjang pantainya, dan di luar jalurjalur tersebut dianggap bebas bagi semua umat manusia. Beberapa jalur laut yang dapat dimiliki
tidak sama untuk semua Negara, dan ini tergantung pada jenis dan fungsi jalur-jalur tersebut.
Lebar laut untuk kepentingan perikanan misalnya, tidak sama dengan untuk kepentingan
1
netralitas, pengawasan pabean dan kepentingan yurisdiksi perdata, pidana dan lain-lain.

B. Tahapan-tahapan Pelaksanaan Konferensi Hukum Laut


1. Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1930
Salah satu masalah Hukum Internasional yang dibicarakan dalam konferensi ini adalah
perairan teritorial (territorial water). Walaupun di dalam konferensi ini belum diperoleh
kesepakatan mengenai lebar laut territorial (laut wilayah), Namun demikian, sudah ada rekaman
hukum atau kejadian di dalam praktek bernegara mengenai batasan wilayah laut,.
Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah
codificationconference (13 Maret 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga
Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat
tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada
zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara),
dan4 mil.
Konferensi ini menetapkan :

1. wilayah negara yang meliputi jalur laut disebut Laut Teritorial. Wilayah negara pantai meliputi
ruang udara di atas laut territorial, dasar laut dan tanah dibawahnya yang dikenal dengan
istilah tiga demensi laut teritorial. Khusus batasan ruang udara, dikenal teori grafitasi,
1

(Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia sejarah hukum laut internasional)

yaitu benda yang masih jatuh ke bawah, masih masuk ke dalam wilayah ruang udara/angkasa
negara tersebut.
2. Hak Lintas Damai, pada prinsipnya kapal asing boleh masuk, melintas wilayah laut asal tidak
membuang jangkar, mencemarkan lingkungan, menyelundup, dan lain-lain yang dapat
menimbulkan keadaan tidak damai (the right of innoucense)
3. Yurisdiksi criminal dan sipil atas kapal-kapal asing
4. Pengejaran seketika (hot porsuit) bila melanggar Sesudah Perang Dunia Kedua (tahun 1945).
Sesudah perang dunia kedua, ada 2 (dua ) hal yang dipermasalahkan, yaitu
1. Proklamasi Presiden Amerika Serikat tahun 1945 (Truman), menyatakan
Continental self (landas continental) menjadi bagian wilayah laut negara yang
bersangkutan. Tujuannya untuk mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut (seabed) dan
tanah di bawahnya (subsoil) yang berbatasan dengan dan gas bumi) Kontinental self dapat
dianggap sebagai kelanjutan alamiah daratan, sehingga kekuasaan untuk mengaturnya ada pada
negara pantai yang berbatasan dengan daratan kontenen yang bersangkutan. Penggunaan wilayah
ini tidak untuk mengganggu pelayaran bebas melalui perairan di atasnya yang tetap sebagai
status laut lepas.
Dengan adanya Proklamasi Presiden Amerika Serikat, Truman ini , walaupun dianggap
tindakan sepihak Amerika Serikat, tetapi membawa akibat yang besar atas perkembangan hukum
laut internasional, karena banyak diikuti oleh negara-negara lain. Proklamasi Truman ini
mendorong untuk diadakannya konferensi hukum laut di Jenewa tahun 1958 guna menentukan
batas-batas dan isi yang pasti dari continental shelf .
2. Perikanan
Walaupun Perikanan tidak sepenting dengan continental self, tetapi dari sudut adanya
kebebasan menagkap ikan di laut lepas merupakan contoh pemanfaatan hak suatu negara
menyangkut Perikanan di luar batas laut teritorialnya. Suatu monument sejarah yang terjadi pada
tahun 1951, yaitu sengketa antara Inggeris dan Norwegia tentang pemilikan dan pemanfaatan
laut. Norwegia menetapkan batas wilayah laut dengan cara straight baselines (garis pangkal
lurus).
Inggeris menggugat pada Mahkamah Internasional mengenai keabsahan penetapan batas
Perikanan exclusif yang ditetapkan sepihak oleh Norwegia tahun 1935 sebagai hukum
internasional. Gugatan Inggeris bukan lebar laut yang ditetapkan Norwegia sepanjang 4 mil,
tetapi cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada pantai
Norwegia (straight baselines). Keputusan Mahkamah Internasional ini menolak gugatan Inggeris
dan menyatakan bahwa cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia dapat dibenarkan
sebagai penetapan dari suatu kaidah Hukum Internasional yang berlaku umum pada suatu

keadaan khusus. Keputusan Mahkamah Internasional ini menjadi salah satu sumber hukum
internasional (yurisprodensi).

2. Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 tentang Hukum Laut


Sebagaimana halnya Amerika Serikat, yang membuat hukum laut secara sepihak melalui
proklamasi Presiden Truman tentang continental self (Gambar 1) dan Norwegia yang
menetapkan straight baselines (Gambar 2), Indonesia setelah Perang Dunia ke dua, yaitu tahun
1957 juga tidak ketinggalan membuat Deklarasi yang dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda
13 Desember 1957 tentang Hukum Laut. Hal ini dilakukan karena ketentuan peninggalan
Belanda Kringen Ordonansi 1939 mengenai perairan Indonesia, dianggap bisa berbahaya sebagai
negara kepulauan, karena masing-masing pulau mempunyai laut sendiri yang disebut perairan
Nusantara, sehingga perairan antara pulau adalah laut lepas
Dengan demikian, pertimbangan deklarasi Djuanda adalah :
1. Bila diantara pulau-pulau terdapat laut bebas, maka Indonesia tidak dapat melakukan
kedaulatannya secara penuh di perairan Indonesia.
2. Dapat membahayakan integritas negara kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi Djuanda,
merupakan strategi Indonesia dan mengandung 4 (empat) hal, yaitu :
1. Seluruh kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan dan laut antara pulau-pulau
Indonesia dianggap perairan pedalaman.
2. Lalulintas damai bagi Kapal asing dimungkinkan diperairan pedalaman (hak lintas damai
= right of innocence passage),asal tidak berhenti, membuang jangkar, membuang limbah,
mondar-mandir
3. Lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mil laut
4. Penentuan lebar laut wilayah diukur dari garis yang menghubungkan titik pulau-pulau
terluar.
- Laut wilayah laut yang terletak sebelah luar pulau.
- laut perairan pedalaman adalah laut yang terletak sebelah dalam pulau-pulau.

3. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut I tahun 1958


(UNCLOS I)
Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata kesepakatan diantara negaranegara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga
Bangsa-Bangsa mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konfrensi
hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1
danUNCLOS 2.
Dalam konfrensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari
konvensi Unclos pertama ini adalah:
1. Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and
contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II
2. Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas)
a. Kebebasan pelayaran,

b. Kebebasan menangkap ikan,


c. Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa,
d. Kebebasan terbang di atas laut lepas

3. Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas


(convention onfishing and conservation of the living resources of the high sea)
4. Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf). Konvensi ini telah
disetujui. Pada tanggal 17 Maret 26 April 1960 kembali dilaksanakn konferensi hukum
laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona
tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan,
sehingga perlu diadakan konferensi lagi.

4. Konferensi Hukum Laut UNCLOS II tahun 1960 dan UNCLOS III tahun 1982
Pada pertemuan konfrensi hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan
kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan
kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau Unclos III yang dihadiri 119 negara. Dalam
pertemuan ini,disepakati 2 konvensi yaitu:
Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut,
yangdisetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982), ditandatangani oleh 119 negara.
Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New
Zealand,Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina,
Portugal, danRepublik Malagasi.
Tidak kurang dari 12 kali siding konferensi, UNCLOS, sejak tahun 1973 sampai 1982,
dalam mencapai hasil yang diharapkan, yang dimulai dengan suatu sidang pertama
keorganisasian pada tahun 1973 dan berakhir pada pengesahan naskah akhir konvensi dan
penanda tanganannya di Montego Bay tanggal 10 desember 1982, oleh 118 negara. Catatan
resmi mengenai prosedur pengesahan, dan keputusan-keputusan yang tercapai pada tiap tahapan,
2
dimuat-ulang dalam Final Act UNCLOS yang juga ditanda tanggani pada tanggal yang sama.
Hasil pertemuan UNCLOS III Secara garis besar Konvensi memuat beberapa hal penting, yaitu:
1. Negara-negara pantai memiliki kedaulatan teritorial sampai 12 mil, tetapi kapal-kapal
asing diizinkan melakukan lintas damai melalui perairan tersebut;
2. Kapal dan pesawat udara dari semua negara diizinkan melakukan lintas transit melalui
selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional, negara-negara yang terletak di
sepanjang selat bias mengatur navigasi dan segi-segi lintas lainnya;
3. Negara-negara kepulauan adalah negara yang terdiri dari satu kelompok atau kelompokkelompok pulau yang saling berhubungan memiliki kedaulatan atas laut wilayah yang
tertutup oleh garis selat dari kepulauan tersebut; negara lain berhak melakukan lintas di
garis yang ditetapkan.
4. Negara-negara pantai memiliki hak berdaulat atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil
laut dalam hubungannya dengan sumber-sumber alam dan kegiatan-kegiatan ekonomi
tertentu, dan juga memiliki yurisdiksi atas riset ilmiah kepulauan dan perlindungan
lingkungan. Negara-negara lain memiliki kebebasan penerbangan di atas kawasan
tersebut serta kebebasan meletakkan kabel bawah laut dan jaringan pipa. Negara-negara
yang hanya dikelilingi daratan dan letak geografisnya tidak menguntungkan memiliki
kesempatan turut mengeksploitasi bagian penangkapan ikan berdasarkan prinsip sederajat

J.G Setarke (pengantar hukum internasional) hal 134

bila negara pantai tidak dapat melakukannya sendiri. Spesie ikan yang tingkat
perpindahannya tinggi dan binatang-binatang laut menyusui akan dilindungi secara
khusus.
5. Negara-negara pantai memiliki hak berdaulat atas eksploitasi dan eksplorasi landas
kontinen. Landas kontinen ini sekurangnya 200 mil dari garis pangkal, dan dalam
keadaan tertentu dapat lebih jauh. Negara-negara pantai berbagi dengan masyarakat
internasional dari bagian yang mereka peroleh dari pengelolaan sumber kekayaan
alam yang berasal dari dasar laut dalam yang berada di luar batas 200 mil. Komisi
mengenai batas-batas Landas Kontinen akan memberikan rekomendasi kepada
negara-negara mengenai batas di luar zona ekonomi eksklusif (ZEE).
6. Semua negara menikmati kebebasan pelayaran tradisional, lintas penerbangan,
penelitian ilmiah dan penagkapan ikan di laut bebas, dan wajib bekerjasama dengan
negara-negara lain untuk mengelola dan melestarikan sumber-sumber hayati.
7. Laut wilayah, ZEE dan landas kontinen dari kepulauan akan ditentukan sesuai dengan
ketentuan yang bias diterapkan atas wilayah daratan, tetapi karang tak dapat
menampung habitat manusia atau kehidupan ekonomi mereka sendiri, tidak memiliki
ZEE dan landaus kontinen;
8. Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup
diharapkan bekerjasama dalam pengelolaan sumber-sumber daya hayati dan dalam
kebijakan dan kegiatan lingkungan dan penelitian;
9. Negara-negara yang dikelilingi hanya oleh daratan memiliki hak akses ked an dari
laut, dan bebas melakukan transit melalui negara-negara transit;
10. Semua kegiatan eksploitasi dan eksplorasi di wilayah dasar laut internasional berada
di bawah kekuasaan Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed
Authority) yang akan dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini. Otorita ini
akan diberi wewenang untuk melaksanakan operasi pengembangaannya sendiri
melalui badan operasionya, Enterprise, dan juga melaksanakan kontrak dengan
perusahaan-perusahaan swasta dan negara-negara untuk memberikan kepada mereka
hak penambangan di wilayah tersebut sehingga mereka dapat beroperasi sejalan
dengan Otorita tersebut. generasi penambang dasar laut pertama, pioneer investor,
akan memiliki jaminan produksi jika wewenang itu sudah diberikan.
11. Negara-negara terikat untuk mencegah dan mengendallikan pencemaran laut dan
dapat dituntut atas kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran kewajiban-kewajiban
mereka untuk memerangi pencemaran seperti itu.
12. Semua penelitian ilmiah ZEE dan landas kontinen harus disetujui oleh negara-negara
pantai, tetapi dalam banyak hal kegiatan seperti itu akan memperoleh persetujuan jika
penelitian ini dilakukan untuk tujuan damai dan memenuhi criteria tertentu;
13. Negara-negara terikat untuk menggalakkan pembangunan dan alih teknologi laut
berdasarkan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang adil dan masuk akal
dengan memperhatikan secara seksama semua kepentingan yang sah;
14. Negara-negara berkewajiban menyelesaikan sengketa mereka secara damai sejauh
menyangkut penafsiran atau penerapan Konvensi; sengketa dapat diajukan kepada
Pengadilan International untuk Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the
Sea) yang akan dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini, kepada Mahkamah
Internasional, atau kepada badan arbitrasi. Juga dapat dilakukan melalui konsiliasi,
dan dalam keadaan tertentu kepatuhan kepada konsiliasi merupakan keharusan.

15. Namun, sekalipun memberikan keseimbangan jaminan kepentingan antar negaranegara maju dengan negara-negara berkembang, KHL 1982 dianggap oleh sebagian
pakar sebagai terlalu ambisius dan tidak akan tercapai. Sikap apatis ini kelihatannya
hamper menjadi kenyataan mengingat sampai 10 tahun setelah dibukanya
penandatanganan Konvensi, Konvensi belum juga dapat diberlakukan. Menurut data
di Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai dengan 31 Maret 1992 Konvensi ini baru
diratifikasi oleh 51 negara.4
16. Keraguan ini ditolak TTB Koch dengan mengemukakan alas an-alasan sebagai
berikut:5
17. Konvensi akan mendorong pemeliharaan perdamaian dan keamanan sebab Konvensi
akan menggantikan banyak sekali tuntutan yang saling bersaing oleh negara-negara
pantai yang secara universal menyetujui batas-batas laut wilayah, zona ekonomi
eksklusif dan landas kontinen.
18. Kepentingan masyarakat dunia dalam kebebasan pelayaran akan dipermudah oleh
kompromi-kompromi penting atas zona ekonomi eksklusif, oleh rezim lintas damai
melalui laut wilayah, dan rejim lintas transit melalui selat yang dipergunakan untuk
pelayaran internasional dan oleh rezim lintas alur kepulauan.
19. Kepentingan masyarakat dunia dalam pelestarian dan penggunaan optimum sumbersumber daya hayati laut dengan penerapan secara sadar ketentuan-ketentuan dalam
Konvensi yang berkaitan dengan zona ekonomi eksklusif.
20. Konvensi memuat aturan-aturan baru yang penting bagi pelestarian dan perlindungan
lingkungan laut dari pencemaran.
21. Konvensi memuat aturan-aturan mengenai penelitian ilmiah yang memberikan
keseimbangan antara negara-negara yang melakukan penelitian dan kepentingan
negara- negara pantai di zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen tempat
dilakukan penelitian tersebut.
22. Kepentingan masyarakat dunia dengan penyelesaian secara damai dan diajukan
pencegahan penggunaan kekerasan di antara negara-negara dengan system
penyelesaian sengketa yang bersifat wajib dalam Konvensi.
23. Konvensi berhasil menerjemahkan asa bahwa sumber daya alam dasar laut dalam
merupakan warisan bersama umat manusia ke dalam institusi yang adil(fair) dan
dapat dilaksanakan (workable).
24. Walaupun belum ideal, namun kita dapat menemukan unsure-unsur keadilan (equity)
internasional dalam Konvensi seperti pembagian hasil atas landas kontinen di luar
200 mil, pemberian akses kepada negara-negara yang tertutup daratan dan negaranegara yang secara geografis tidak menguntungkan atas sumber daya hayati ZEE dan
negara- negara tetangga mereka, hubungan nelayan pantai (coastal fisheries) dan
nelayan perairan yang jauh dari pantai (distant water fisheries), dan pembagian
keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi sumber laut dalam.
25. Penolakan Koch tersebut menjadi kenyataan, yakni dengan penyimpanan (depository)
instrument ratifikasi ke-60 KHL 1982 pada Sekretaris Jendral Perserikatan BangsaBangsa 16 Nopember 1993. Dan, sesuai dengan ketentuan pasal 308 (1), maka 1
tahun kemudian, 16 Nopember 1994 KHL III 1982 yang terdiri dari 320 pasal dan 9
lampiran tersebut berlaku bagi masyarakt internasional.

[10
]

BAB III
ZONA LAUT INTERNASIONAL
A. Laut Teritorian
Konsep laut teritorial muncul karena kebutuhan untuk menumpas pembajakan dan untuk
mempromosikan pelayaran dan perdagangan antar negara. Prinsip ini mengijinkan negara untuk
memperluas yurisdiksinya melebihi batas wilayah pantainya untuk alasan keamanan. Secara
konseptual, laut teritorial merupakan perluasan dari wilayah teritorial darat. Sejak Konferensi
Den Haag 1930 kemudian Konferensi Hukum Laut 1958, negara-negara pantai mendukung
rencana untuk konsep laut teritorial ditetapkan dalam doktrin hukum laut. Kemudian ketentuan
laut teritorial dikodifikasikan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (LOCS). LOCS mengijikan
negara pantai untuk menikmati yurisdiksi eksklusif atas tanah dan lapisan tanah dibawahnya
sejauh 12 mil laut diukur dari garis dasar sepanjang pantai yang mengelilingi negara
tersebut.penertian laut territorial menurut hukum laut internasional maupun nasional adalah
sebagai berikut :
1. menurut UNCLOS
Garis-garis dasar (garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis
dasar Laut territorial didefinisikan sebgai laut wilayah yang terletak disisi luar dari garis pangkal.
Yang dimaksud dengan garis dasar disini adalah garis yang ditarik pada pantai pada
waktu air laut surut . Negara pantai mempunyai kedaulatan atas Laut Teritorial, ruang udara di
atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
dimana dalam pelaksanaannya kedaulatan atas laut territorial ini tunduk pada ketentuan hokum
internasional.menurut uu no.6 tahun 1996
laut territorial adalah jalur laut selebar 12(dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal
kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud pasal 5.
1. Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing
2. penentuan laut territorial suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12
mil dari garis pangkal terluar yang merupakan ttitik pasang surut terendah seperti yang
diatur dalam pasal 5 unclos dan uu no.6 tahun 1996 pasal 5
3. secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam:
1. UU No 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
2. Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air
Asing.
3. UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of the Law
of the Sea 1982.
4. UU No 6 Tahun 1996 tentang Pelayaran
[1
1]

5. Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal


Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia
6. PP no.19 tahun 1999 tentang pengendalian dan atau perusakan laut

[1
2]

7. pengaturan hukum laut internasional mengenai laut territorial dalam unclos 1982
mengenai laut territorial diatur dalam bab 1,2 dan3 yaitu mulai pasal 1 sampai
dengan pasal 32

Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing.
Kapal asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di Laut Teritorial tidak boleh melakukan
ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan
politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian, mengganggu
sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada
hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus
dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang
jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau kerena keadaan
memaksa atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal
atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.
Terkait dengan pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal asing tersebut, Negara pantai
berhak membuat peraturan yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas

laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut,
konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan,
pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran,

penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran peraturan bea
cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.
Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorialnya,
kecuali dengan ketentuan Konvensi atau perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan
ketentuan Konvensi. Negara pantai juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing
yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu
Negara pantai tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap
kapal Negara manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya
mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.
Selanjutnya Pasal 25 LOCS, mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya,
Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak
damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan
untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal
ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi formil atau
diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah
tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan
senjata.
penentuan laut territorial suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12
mil dari garis pangkal terluar yang merupakan ttitik pasang surut terendah seperti yang diatur
dalam pasal 5 unclos dan uu no.6 tahun 1996 pasal 5.namun unclos dan uu no.6 tahun1996
memberikan pengecualian terhadap wilayah laut yang memiliki pantai yang saling berhadapan
antar Negara pantai.

B. Laut Lepas
Laut lepas adalah merupakan res nullius, dan kecuali apabila terdapat aturan-aturan dan
batasan-batasan yang diterapkan untuk kepentingan negara-negara, laut lepas tidak merupakan
wilayah negara manapun. Doktrin laut bebas (Freedom of the seas) berarti bahwa kegiatankegiatan di laut dapat dilakukan dengan bebas dengan mengindahkan penggunaan laut untuk
keperluan lainnya.
Istilah laut lepas (high seas) pada mulanya berarti seluruh bagian laut yang tidak
termasuk
perairan
pedalaman
dan
laut
teritorial
dari
suatu
negara
Pada konperensi Kodifikasi Den Haag 1930 atas prakarsa Liga Bangsa-Bangsa walaupun
disetujui mempertimbangkan laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara pantai, dan
perairan di luarnya adalah laut lepas, tetapi konperensi tersebut mengalami kegagalan dalam
3
menentukan lebar laut teritorial.

Kemudian konsepsi laut bebas ini lebih jelas terlihat di dalam pasal 2 dari Konvensi
Genewa 1958 tentang laut lepas, yang menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua
bangsa, tidak ada suatu negarapun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari laut lepas
ke daerah kedaulatannya. Laut lepas dimaksudkan untuk kepentingan perdamaian dan tidak suatu
negarapun yang dapat melakukan klaim kedaulatannya atas bagian laut lepas.
3

Mochtar Kusumaatmadja. 1986. (Hukum Laut Internasional. Binacipta. Bandung) hal.


75

Kebebasan di laut lepas dilaksanakan di bawah syarat-syarat yang ditentukan oleh pasal-pasal ini
(dari konvensi) dan oleh aturan-aturan hukum internasional.
Sesuai dengan Konvensi Genewa tahun 1958, Pasal 1 UU No. 19 tahun 1961 bagian
konvensi tentang Laut Lepas, definisi atau Istilah "laut lepas" berarti semua bagian laut yang
tidak termasuk dalam laut teritorial atau perairan pedalaman sesuatu negara. Pada definisi ini,
Negara dan Bangsa Indonesia hanya memiliki kedaulatan penuh pada wilayah laut sampai 12 mil
saja (laut teritorial) dan selebihnya adalah laut bebas serta belum dikenal tentang wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE).
Perihal ini dilengkapi dengan Konvensi Jamaica 1982 yang disahkan dalam UU RI No.
17 tahun 1985 dan menyatakan bahwa Laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, laut
teritorial perairan pedalaman dan perairan kepulauan (Artikel 86 UNCLOS Jamaica 1982
disahkan).
Untuk setiap zona maritim Konvensi (UNCLOS) 1982 memuat berbagai ketentuan yang
mengatur tentang penetapan batas-batas terluarnya (outer limit) dengan batas-batas maksimum
yang ditetapkan sebagai berikut:
1.

Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara:12 mil-laut;

2.

Zona tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus: 24 mil-laut;

3.

Zona ekonomi eksklusif:200 mil-laut;

4.

Landas kontinen: antara 200350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil-laut dari isobath
(kedalaman) 2.500 meter.

Di samping itu Konvensi 1982 juga menetapkan bahwa suatu negara kepulauan juga
berhak untuk menetapkan:
5.

Perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya;

6.

Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya; (Sunyowati, D dan Narwaty E,. 2004).

Laut bebas/lepas berada di wilayah laut selain perairan pedalaman, perairan kepulauan,
perairan teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. Oleh karena itu aturan dan
hukum yang mengatur tentang laut bebas/lepas berada pada suatu badan otorita Perserikatan
4
Bangsa-Bangsa (PBB).
Salah satu badan hukum yang mengatur tentang laut lepas yaitu United Nations
Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum laut dan telah di tandatangani oleh 118 negara termasuk Indonesia di Montego
Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982. Konvensi ini merupakan kelanjutan dari
Konvensi Jenewa tahun 1958 yang telah menghasilkan 3 konvensi yaitu : (1) Konvensi mengenai
4

http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/03/pengertianlaut-lepas.html

[14]

Pengambilan Ikan serta Hasil Laut dan Pembinaan Sumber-sumber Hajati Laut Bebas; (2)
Konvensi mengenai Dataran Kontinental; (3) Konvensi mengenai Laut Bebas.
Karena berada dalam kewilayahan laut bebas, maka persoalan sosial ekonomi memang
tidak terlalu banyak menjadi pembahasan seperti pada bagian perairan lainnya yaitu hanya
0,31% yang termuat dalam Artikel 88 yang menyatakan bahwa ketetapan-ketetapan aturan pada
laut bebas/lepas adalah bertujuan untuk perdamaian.
Perihal yang paling banyak dibahas khususnya di laut lepas/bebas yaitu kebijakan
(4,37%), hukum dan perundang-undangan (4,06%) termasuk sanksi serta biofisik (1,87%) dari
total artikel (pasal) sebanyak 320.
Biofisik menyangkut manajemen dan konservasi lingkungan di laut bebas/lepas
dimana setiap Negara memiliki tugas dan kewajiban untuk bekerja sama di dalam menjaga
lingkungan perairan di laut bebas/lepas dari pencemaran bahan radioaktif, limbah industri dan
bahan-bahan pencemar lainnya.
Hukum dan perundang-undangan termasuk sanksi mengatur bahwa setiap kapal
wajib mengibarkan bendera negaranya ketika melintas di jalur laut bebas serta di larang keras
setiap kapal melakukan tindakan-tindakan illegal seperti pengangkutan tenaga kerja illegal,
perampokan dan pembajakan. Kebijakan menyatakan bahwa aturan high seas tidak berlaku pada
perairan lainnya (ZEE, territorial, perairan kepulauan dan pedalaman) dan semua Negara tanpa
terkecuali baik Negara yang memiliki pantai maupun tidak berada pada pengawasan atau di
bawah control aturan international. Tetapi dilain pihak setiap Negara juga memiliki kebebasankebebasan yang dapat dilakukan di laut bebas/lepas

C. Landasan Kontinen
Landas kontinen merupakan istilah geologi yang kemudian menjadi bagian dalam istilah
hukum. Secara sederhana landas kontinen dapat diartikan sebagai daerah pantai yang tanahnya
menurun keadalam laut sampai akhirnya disuatu tempat tanah tersebut jatuh curam di kedalaman
laut dan pada umumnya tidak terlalu dalam, agar sumber-sumber alam dari landas kontinen dapat
dimanfaatkan dengan teknologi yang ada.

Pasal 76 (4) UNCLOS 1982 menjelaskan bahwa for teh purposes of this Convention, the
coastal State shall esthablish the outer edge of the continental margin wherever the margin
extends beyond 200 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territorial
5

Mochtar Kusumaatmadja. 1986. (Hukum Laut Internasional. Binacipta.


Bandung) hal. 87

[15

sea is measured.... hal tersebut menegaskan bahwa dimungkinkan untuk mengajukan klaim atas
landas kontinen yang melebihi 200 mil laut atau disebut dengan Landas Kontinen Ekstensi.

Mochtar Kusumaatmadja. 1986. (Hukum Laut Internasional. Binacipta.


Bandung) hal. 87

[15

Karena banyak kasus dimana kondisi geologi dan geomorfologis suatu negara pantai yang
mengharuskan menarik batas landas kontinen melebihi 200 mil atau pada umumnya
dimungkinkan sepanjang 350 mil laut.
Konsep landas kontinen ini, pertama kali diajukan oleh Amerika Serikat pada Konvensi
Hukum Laut Internasional tahun 1958 yaitu Presiden Amerika Serikat (AS), Harry S. Truman,
yang pertama kali memproklamirkan. Tepatnya pasca-Perang Dunia II, pada tanggal 28
September 1945. Whereas the Goverment of the United States of America, aware of the long
range world wide need for new sources of petroleum and other minerals, holds the view the
efforts to discover and make available new supplies of these resources should be encouraged,
demikian Presiden Truman mengawali proklamasinya.
Tindakan Presiden Truman memproklamirkan konsep landas kontinen adalah bertujuan
untuk mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan
dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerikan Serikat, terutama
kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. Namun konsep ini tidak bertujuan untuk
mengurangi hak kebebasan berlayar atas atau melalui perairan yang terdapat di atas landas
kontinen karena statusnya tetap sebagai laut lepas.
Konsep landas kontinen dalam hukum laut tidak berhubungan dengan kekayaan mineral
dalam dasar laut tetapi berkaitan dengan kekayaan hayati atau perikanan. Pengertian landas
kontinen pertama kali diperkenalkan oleh Odon de Buen seorang Spanyol dalam Konferensi
Perikanan di Madrid di tahun 1926. Konsepsi landas kontinen dikemukakan dengan perikanan
berdasarkan anggapan bahwa perairan diatas dataran kontinen merupakan perairan yang baik
sekali untuk kehidupan ikan.
Apabila dianalisis tindakan dari pemerintah Amerika Serikat menganai konsep landas
kontinen dapat digolongkan menjadi 4 bentuk yaitu :
1. Tindakan perluasan yurisdiksi yang ditujukan kepada penguasaan kekayaan alam yang
terkandung dalam dasar laut dan tanah dibawah laut yang berbatasan dengan pantai.
2. Perluasan yurisdiksi atau dalam beberapa hal kedaulatan atas dasar laut dan tanah dibawahnya.
3.Perluasan kedaulatan atas lautan (dengan atau tanpa menyebut landas kontinen) hingga
suatu
6
ukuran jarak tertentu misalnya 200 mil.
Pada 30 April 1987 di New York diadakan Konvensi Hukum Laut PBB Ke-III. Pada
konferensi ini telah disepakati pengaturan rejim-rejim hukum laut dan bagi Indonesia pengakuan
bentuk negara kepulauan yang diatur hak dan kewajibannya merupakan keputusan terpenting.
Pengakuan dunia internasional ini, ditindaklanjuti dengan diterbitkannya UU No. 17
tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
[16
]

1985. Sejak diberlakukannya undang-undang ini pada 31 Desember 1985, Indonesia terikat
dalam Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, dan harus menjadi pedoman dalam pembuatan
Hukum Laut Internasional selanjutnya. Hal yang mengatur tentang landas kontinen di atur di
dalam Pasal 76 UNCLOS 1982 yang kemudian dituangkan dalam Undang Undang No. 1 tahun
1973 oleh pemerintah Indonesia.
6

J .G Setarke (pengantar hukum internasional) hal 136

[16
]

Berdasarkan posisi geografis dan kondisi geologis, Indonesia kemungkinan memiliki


wilayah yang dapat diajukan sesuai dengan ketentuan penarikan batas landas kontinen di luar
200 mil laut. Kenyataan ini menjadi tantangan para pemangku kepentingan dan profesi bidang
terkait untuk menelaah secara seksama kemungkinan-kemungkinan wilayah perairan landas
7
kontinen di luar 200 mil laut ini.

D. Zona Ekonomi Eksklusif


zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah
negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan
kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman
kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar
sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk
memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan
8
untuk UNCLOS III.
Maksudnya adalah ZEE adalah jalur diluar dan dengan laut wilayah, yang tunduk kepada
rezim hukum khusus sebagaimana yang ditetapkan pada bagian ini yang meliputi hak-hak dan
yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan dari pada Negara-negara lain
yang ditentukan sesuai dengan konvensi ini.
Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang
mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di
dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di
atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari
kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang
berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya,
sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.
Konsep dari ZEE telah jauh diletakkan di depan untuk pertama kalinya oleh Kenya pada
Asian-African Legal Constitutive Committee pada Januari 1971, dan pada Sea Bed Committee
PBB pada tahun berikutnya. Proposal Kenya menerima dukungan aktif dari banyak Negara Asia
dan Afrika. Dan sekitar waktu yang sama banyak Negara Amerika Latin mulai membangun
sebuah konsep serupa atas laut patrimonial. Dua hal tersebut telah muncul secara efektif pada
saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang disebut ZEE telah dimulai.
Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE terdapat
dalam bagian ke-5 konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari ZEE diterima dengan antusias
oleh sebagian besar anggota UNCLOS, mereka telah secara universal mengakui adanya ZEE
tanpa perlu menunggu UNCLOS untuk mengakhiri atau memaksakan konvensi. Penetapan
universal wilayah ZEE seluas 200 mil akan memberikan setidaknya 36% dari seluruh total area
[1
7]

(Heru Prijanto.2007. Hukum Laut Internasional. Bayumedia Publishing.Malang


I Made Andi Arsana. 2008. Batas Maritim Antarnegara, Sebuah Tinjauan Teknis dan
Yuridis. Yogyakarta Mochtar Kusumaatmadja. 1986. Hukum Laut Internasional.
Binacipta. Bandung
P. Joko Subagyo. 2005. Hukum Laut Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta)
8
http://blogpajak.com/pengertian-zona-ekonomi-eklusif-zee

[1
8]

laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam area 200 mil yang diberikan menampilkan
sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan komersial, 87% dari simpanan minyak dunia, dan 10%
simpanan mangan.
Lebih jauhnya, sebuah porsi besar dari penelitian scientific kelautan mengambil tempat di
jarak 200 mil dari pantai, dan hampir seluruh dari rute utama perkapalan di dunia melalui ZEE
negara pantai lain untuk mencapai tujuannya. Melihat begitu banyaknya aktivitas di zona ZEE,
keberadaan rezim legal dari ZEE dalam Konvensi Hukum Laut sangat penting adanya.
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luas tidak boleh
melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai teritorial telah ditentukan. Katakata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil adalah batas maksimum dari ZEE,
sehingga jika ada suatu negara pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu,
negara itu dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak akan
memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil, karena kehadiran wilayah ZEE
negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil menjadi pilihan maksimum
untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan sejarah dan politik: 200 mil tidak memiliki geografis
umum, ekologis, dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak diklaim oleh
negara pantai adalah 200 mil, diklaim negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Lalu untuk
mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak
mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200 mil dipilih sebagai batas luar jadi
pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figur 200 mil dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai
oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku termotivasi pada keinginan untuk melindungi
operasi paus lepas pantainya. Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil, tapi
disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan. Dan contoh yang paling menjanjikan muncul dalam
perlindungan zona diadopsi dari Deklarasi Panama 1939. Zona ini telah disalahpahami secara
luas bahwa luasnya adalah 200 mil, padahal faktanya luasnya beraneka ragam dan tidak lebih
dari 300 mil.
Batasan
Dalam banyak wilayah negara banyak yang tidak bisa mengklaim 200 mil penuh, karena
kehadiran negara tetangga, dan itu menjadikan perlu menetapkan batasan ZEE dari negaranegara tetangga, pembatasan ini diatur dalam hukum laut internasional.
Pulau-pulau
Pada dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE. Namun, ada 3 kualifikasi yang
harus dibuat untuk pernyataan ini. Pertama, walau pulau-pulau normalnya bisa menjadi ZEE,
artikel 121(3) dari Konvensi Hukum Laut mengatakan bahwa, " batu-batu yang tidak dapat

membawa keuntungan dalam kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi mereka, tidak boleh
menjadi ZEE."
Wilayah yang tidak berdiri sendiri
Kualifikasi kedua berkaitan dengan wilayah yang tidak meraih baik kemerdekaan sendiri
atau pemerintahan mandiri lain yang statusnya dikenal PBB, dan pada wilayah yang berada
dalam dominasi kolonial. Resolusi III, diadopsi oleh UNCLOS III pada saat yang sama pada teks
Konvensi, menyatakan bahwa dalam kasus tersebut ketentuan yang berkaitan dengan hak dan

kewajiban berdasarkan Konvensi harus diimplementasikan untuk keuntungan masyarakat


wilayah tersebut, dengan pandangan untuk mempromosikan keamanan dan perkembangan
mereka.
Antartika
Akhirnya, ini harus dicatat bahwa efek dari artikel IV dari Traktat Antartika 1959
nampaknya menunjukkan ZEE tidak dapat diklaim oleh wilayah yang berada di dalam area
9
tempat traktat tersebut dibuat, yang dinamakan sebagai area selatan dari selatan 60 derajat.

E. Laut Wilayah
Dalam Unclos 1982, penentuan laut wilayah ditetapkan tidak melebihi 12 mil dari garis
dasar (baseline). Bagi negara kepulauan dapat menarik garis dasar berdasarkan straight baseline
yang menghubungkan titik terluar pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dan perairan
kepulauan berupa laut dan selat yang terletak di sebelah dalam garis pangkal merupakan wilayah
negara kepulauan. Sedang negara yang bukan negara kepulauan seperti Malaysia, Australia,
Thailand, Vietnam adalah negara kontinental, berarti lebar laut teritorialnya tidak lebih 12 mil
dari normal baseline yaitu garis pantai saat air terendah.
Negara yang berbatasan dengan laut dapat menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
selebar 200 mil dari garis dasar dan menentukan landas kontinen (continental shelf) yang
merupakan kelanjutan daratan. Wilayahnya sampai jarak 200 mil dari garis pangkal bahkan
dalam hal tertentu dapat sampai 350 mil tergantung kelanjutan daratannya, sampai jarak tepian
kontinennya (continental margin).
Berdasarkan Unclos 1982, negara pantai yang berdekatan dengan Indonesia seperti India,
Australia, Thailand, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Republik Palau juga mengukur lebar laut
teritorial, ZEE dan landas kontinen dari garis pangkal masing-masing dan pasti mengklaim laut
dan dasar laut di bawah penguasaan dan kontrol masing-masing negara. Tentu saja terjadi
overlapping yang harus diselesaikan melalui perjanjian-perjanjian antarnegara baik secara
bilateral maupun multilateral. Sehingga hubungan suatu negara dengan negara lain tidak
10
terganggu karena masalah perbatasan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Zona_Ekonomi_Eksklusif
www.suaramerdeka.com/Sengketa-Dengan-Negara-Lain.html

10

Kebebasan berlayar atau hak-hak-lain bagi kapal-kapal dagang dalam UNCLOS 1982 yaitu:
a) Di perairan pedalaman (internal waters) yaitu di teluk, sungai, kanal, muara dan pelabuhan,
kapal-kapal dagang memiliki hak untuk masuk dan kedaulatan penuh dimiliki oleh Negara
pantai yang bersangkutan. Dalam prakteknya, hak untuk masuk dan keluar pelabuhan dapat
dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral antara Negara pantai dan Negara bendera yang
bersangkutan atau menurut Konvensi tentang Pelabuhan tahun 1923.
b) Di laut teritorial (sampai maksimum 12 mil laut ke arah laut) berupa hak lintas damai
(innocent passage) sepanjang kegiatan lintas tersebut tidak mengganggu perdamaian,
ketertiban dan keamanan Negara pantai yang bersangkutan dan harus mematuhi hukum
internasional.
c) Di selat (yaitu sebuah lintas sempit antara satu bagian laut bebas atau ZEE dan satu bagian
laut bebas dengan laut bebas lainnya) berupa hak lintas transit (transit passage). Hak ini
lebih besar dari hak lintas damai dan memberikan kebabasan berlayar secara kontinyu
sepanjang selat.
d) Di perairan Negara kepulauan (bisa berupa perairan pedalaman atau laut territorial, namun
melewati perairan antara, melewati pulau-pulau dan sejenisnya) berupa hak lintas damai
ditambah dengan hak lintas melalui alur laut kepulauan (archipelagic sea lanes) yang
ditetapkan oleh Negara kepulauan yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan IMO.
e) Di zona tambahan (yaitu zona di luar laut teritorial sampai sejauh 24 mil laut dari baselines)
berupa kebebasan berlayar namun dibatasi oleh peraturanperaturan tertentu.

[20
]

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum laut internasional adalah seperangkat norma hukum yang mengatur hubungan
antara Negara pantai atau yang berhubungan dengan pantai. Yang terkurung oleh daratan dan
atau organisasi maupun subjek hukum internasional lainnya. Yang mengatur tentang kedaulatan
Negara di laut. Yuridiksinya Negara dan hak hak Negara atas perairan tersebut. Hukum laut
internasional menpelajari tentang aspek apek hukum di laut dan peristiwa hukum yang terjadi
di laut.
1. Negara-negara pantai memiliki kedaulatan teritorial sampai 12 mil, tetapi kapal-kapal
asing diizinkan melakukan lintas damai melalui perairan tersebut.
2. Negara-negara pantai memiliki hak berdaulat atas eksploitasi dan eksplorasi landas
kontinen. Landas kontinen ini sekurangnya 200 mil dari garis pangkal, dan dalam
keadaan tertentu dapat lebih jauh. Negara-negara pantai berbagi dengan masyarakat
internasional dari bagian yang mereka peroleh dari pengelolaan sumber kekayaan alam
yang berasal dari dasar laut dalam yang berada di luar batas 200 mil. Komisi mengenai
batas-batas Landas Kontinen akan memberikan rekomendasi kepada negara-negara
mengenai batas di luar zona ekonomi eksklusif (ZEE).
3. Semua negara menikmati kebebasan pelayaran tradisional, lintas penerbangan, penelitian
ilmiah dan penagkapan ikan di laut bebas, dan wajib bekerjasama dengan negara-negara
lain untuk mengelola dan melestarikan sumber-sumber hayati.
4. Laut wilayah, ZEE dan landas kontinen dari kepulauan akan ditentukan sesuai dengan
ketentuan yang bias diterapkan atas wilayah daratan, tetapi karang tak dapat menampung
habitat manusia atau kehidupan ekonomi mereka sendiri, tidak memiliki ZEE dan landaus
kontinen.
5. Semua kegiatan eksploitasi dan eksplorasi di wilayah dasar laut internasional berada di
bawah kekuasaan Otorita Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority) yang
akan dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini. Otorita ini akan diberi wewenang
untuk melaksanakan operasi pengembangaannya sendiri melalui badan operasionya,
Enterprise, dan juga melaksanakan kontrak dengan perusahaan-perusahaan swasta dan
negara-negara untuk memberikan kepada mereka hak penambangan di wilayah tersebut
sehingga mereka dapat beroperasi sejalan dengan Otorita tersebut. generasi penambang
dasar laut pertama, pioneer investor, akan memiliki jaminan produksi jika wewenang itu
sudah diberikan.
Tidak kurang dari 12 kali siding konferensi, UNCLOS, sejak tahun 1973 sampai 1982, dalam
mencapai hasil yang diharapkan, yang dimulai dengan suatu sidang pertama keorganisasian
pada tahun 1973 dan berakhir pada pengesahan naskah akhir konvensi dan penanda tanganannya
di Montego Bay tanggal 10 desember 1982, oleh 118 negara. Catatan resmi mengenai prosedur
pengesahan, dan keputusan-keputusan yang tercapai pada tiap tahapan, dimuat-ulang dalam
11
Final Act UNCLOS yang juga ditanda tanggani pada tanggal yang sama.
[2
4]

11

J.G Setarke (pengantar hukum internasional) hal 134

[2
5]

B. Saran
Semoga dengan membaca makalah ini pembaca bisa dengan mudah mempelajari
bagaimana sejarah lahirnya hukum laut internasional. Kemudian diharapkan para pembaca dapat
mengambil manfaat tentang pentingnya hukum laut intenasional. Sehingga para pembacapun
bisa mengerti bagian-bagian dari hukum laut internasional.
Bagi generasi muda hendaklah diharapkan tetaplah mempelajari sejarah perkembangan
hukum itu .
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masiih banyak kesalahan dan kekurangan,
untuk itu kami sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari para pembaca,
agar nantinya dapat menjadi masukan bagi kami untuk menjadi yang lebih baik di waktu yang
akan datang, Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

www.suaramerdeka.com/Sengketa-Dengan-Negara-Lain.html
Prijanto Heru. 2007. Hukum Laut Internasional. Bayumedia Publishing.Malang
Arsana Andi I Made. 2008. Batas Maritim Antarnegara, Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis. Yogyakarta
Kusumaatmadja Mochtar. 1986. Hukum Laut Internasional. Binacipta. Bandung
http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/03/pengertian-laut-lepas.html
Subagyo P. Joko. 2005. Hukum Laut Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
G.J Starke,Q.C. 2008. Pengantar hukum internasional. Sinar Gerafika. Jakarta
http://blogpajak.com/pengertian-zona-ekonomi-eklusif-zee

Anda mungkin juga menyukai