Anda di halaman 1dari 6

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam nabati,
salah satunya adalah sayuran. Sayuran merupakan sebutan umum bagi bahan
pangan asal tumbuhan yang biasanya mengandung kadar air tinggi dan
dikonsumsi dalam keadaan segar atau setelah diolah secara minimal. Sayuran
merupakan komoditas penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional.
Produksi sayuran Indonesia meningkat setiap tahun dan konsumsinya tercatat 44
kg/kapita/tahun (Adiyoga, 1999). Sayuran, terutama yang berdaun hijau,
merupakan salah satu bahan pangan yang baik karena mengandung vitamin dan
mineral, antara lain vitamin C, provitamin A, zat besi, dan kalsium. Sayuran
termasuk bahan pangan yang banyak mengandung zat gizi dan bermanfat bagi
manusia. Selain itu, sayuran merupakan penyumbang serat terbesar bagi tubuh.
Serat makanan tersebut berguna untuk kelancaran fungsi pencernan dan
metabolisme dalam tubuh (Hambali et al., 2005).
Sayuran memiliki sifat cepat layu dan busuk akibat kurang cermatnya
penanganan lepas panen. Sayuran adalah substrat yang sangat disukai oleh
mikrobia, baik yeast, fungi maupun bakteri. Tetapi, mikrobia yang
pertumbuhannya di sayuran paling cepat adalah bakteri asam laktat (BAL).
Fermentasi asam laktat pada sayuran melibatkan sejumlah spesies BAL. Sayuran
ini diolah dengan cara menggunakan garam sebagi zat pengawetnya. Oleh
sebab itu untuk mengawetkan sekaligus meningkatkan nilai tambah, seringkali
dibuat dengan fermentasi. Proses fermentasi dalam pengolahan pangan
mempunyai beberapa keuntungan-keuntungan antara lain : proses fermentasi
dapat dilakukan pada kondi si pH dan suhu normal sehingga tetap
mempertahankan (atau sering bahkan meningkatkan) nilai gizi dan organoleptik
produk pangan, karakteristik flavor dan aroma produk yang dihasilkan bersifat
khas tidak dapat diproduksi dengan teknik / metoda pengolahan lainnya,
memerlukan konsumsi energi yang relatif rendah karena dilakukan pada kisaran
suhu normal, modal dan biaya operasi untuk proses fermentasi umumnya
rendah, dan teknologi fermentasi umumnya telah dikuasi secara turun temurun
dengan baik.
Sauerkraut merupakan salah satu metode pengolahan sayuran dengan
cara fermentasi/ peragian dan menggunakan garam sebagi zat pengawetnya.
Proses pembuatan sauerkraut sebenarnya tidak begitu jauh berbeda dengan
sayur asin, hanya saja sayurannya setelah layu diiris tipis-tipis. Terjadi proses
fermentasi spontan dalam pengolahan sauerkraut ini, dan banyak faktor yang
dapat mempengaruhi gagal atau berhasilnya pembuatan sauerkraut. Oleh sebab
itu, praktikum ini dilaksanakan untuk mengetahui cara pembuatan sauerkraut
yang baik dan benar serta mengetahui pengaruh beberapa konsentrasi
penambahan garam pada sauerkraut.
B.

Tujuan

1.

Mengetahui cara pembuatan sauerkraut

2.
Mempelajari pengaruh konsentrasi garam terhadap mutu sensori
sauerkraut

TINJAUAN PUSTAKA

Sauerkraut
Sauerkraut adalah hasil fermentasi kubis yang diambil larutan atau
ekstraknya (Buckle et al., I987). Sauerkraut (kubis/kol asam) merupakan
makanan khas Jerman dari kubis yang diiris halus dan difermentasi oleh berbagai
bakteri asam laktat, seperti Leuconostoc, Lactobacillus dan Pediococcus. Sayuran
ini diolah dengan cara peragian dan menggunakan garam sebagi zat
pengawetnya. Sama dengan produk sayur asin lainnya, sauerkraut merupakan
sayuran yang telah diberi asam, akan tetapi asamnya diperoleh dari proses
fermentasi sakarida (gula) yang terdapat dalam bahan baku oleh bakteri asam
laktat. Asam yang dihasilkan berkisar pada rentang 1,5 2,0 % pada akhir
fermentasi dan di identifikasi berupa asam laktat. Pembuatan sauerkraut yaitu
dengan cara memotong-motong limbah pasar sayur kemudian ditambahkan
garam. Pelunakan pada sauerkraut berawal dari kerusakan flavour karena
penyebab kerusakan yaitu khamir dan kapang masuk ke dalam seluruh bagian
sauerkraut sehingga menjadi lunak. Di Jerman, sauerkraut dengan rasanya yang
asam-asam segar disajikan dengan hidangan utama berupa sosis bratwurst atau
roti. Berikut ini adalah beberapa sayuran yang bisa diolah menjadi sauerkraut,
diantaranya adalah :
A.

Kubis

Kubis termasuk spesies Brassica olaracea, famili Cruciferae (Pracaya,


1987) (Utama, 2009). Tanaman kubis berasal dari Eropa dan Asia kecil, terutama
tumbuh di daerah Great Britain dan Mediteranean. Asal usul tanaman kubis
dibudidaya berawal dari kubis Iiar yang tumbuh di sepanjang pantai laut tengah,
Inggris, Denmark dan sebelah utara Perancis barat serta pantai Glamorgan
(Rukmana, 1994). Kubis termasuk tanaman sayuran semusim yang dipanen
sekaligus, yaitu tanaman sumber vitamin, garam mineral dan lain-lain yang
dikonsumsi dari bagian tamanan yang berupa daun yang berumur kurang dari 1
tahun dan pemanenannya dilakukan sekali kemudian dibongkar untuk diganti
dengan tanaman baru (BPS, 2000).
Kubis dapat tumbuh pada semua jenis tanah, sangat toleran pada tanah
lempung berat dan tanggap baik terhadap kapur (Williams et al., 1993) Kubis
mengandung vitamin dan mineral yang tinggi. Kandungan dan komposisi gizi
kubis tiap 100 g bahan segar sebagai berikut: kalori 25 kal; protein 1,7 g; lemak
0,2 g; karbohidrat 5,3 g; kalsium 64 mg; phospor 26 mg1' Fe 0,7 mg; Na 8 g
niacin 0,3 mg; serat 0,9 g; abu 0,7 g; vitamin A 75 Sl; vitamin Bl 0,1 mg; Vitamin

C 62 mg dan av 9l-93% (Direktorat GiziDepkes RI, 1981). Oleh karena


kandungannya yang banyak bermanfaat di tubuh manusia, kubis banyak di olah
dan salah satu nya sebagai sayuran fermentasi sauerkraut.
B.

Wortel

Wortel merupakan sayuran bergizi dan dikenal luas untuk berbagai obat
(Sharma, 2006). Wortel juga adalah tumbuhan jenis sayuran umbi yang biasanya
berwarna jingga atau putih dengan tekstur serupa kayu. Bagian yang dapat
dimakan dari wortel adalah bagian umbi atau akarnya. Wortel adalah tumbuhan
biennial (siklus hidup 12 - 24 bulan) yang menyimpan karbohidrat dalam jumlah
besar untuk tumbuhan tersebut berbunga pada tahun kedua. Batang bunga
tumbuh setinggi sekitar 1 m, dengan bunga berwarna putih. Wortel (Daucus
carota L) mempunyai kandungan gizi yang diperlukan tubuh terutama sebagai
sumber pro-vitamin A atau beta karoten. Kandungan pro-vitamin A yang terdapat
pada wortel adalah 12.00 SI atau 7125 g (1 SI = 0,6 g beta karoten). Provitamin A merupakan senyawa kimia pembentuk vitamin A yang sangat
diperlukan untuk penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan serta
mempertahankan jaringan epitel dalam keadan sehat. (Ali et al., 203). Namun,
wortel memiliki laju respirasi yang cukup cepat, sehingga mudah rusak.
Sehingga harus ada penanganan untuk memperpanjang umur simpannya salah
satu nya dengan pengolahan.
C.

Sawi

Sawi merupakan sayuran daun yang cukup penting di Indonesia dan


tercatat sebagai komoditas penting dalam ekspor-impor sayuran. Sawi atau
caisin (Brassica sinensis L.) termasuk famili Brassicaceae, daunnya panjang,
halus, tidak berbulu, dan tidak berkrop. Selain itu sawi juga merupakan tanaman
sayuran yang banyak di tanam pada dataran rendah maupun dataran tinggi di
Indonesia. Di dataran rendah Kalimantan Selatan, petani menanam sawi atas
pertimbangan antara lain karena biaya produksi lebih rendah jika dibandingkan
dengan tanaman kubis, berumur pendek sehingga nilai pengambilan cepat dan
resiko kegagalan produksi lebih kecil, banyak dikonsumsi masyarakat serta nilai
jualnya cukup menguntungkan (Ilhamiyah et al., 2008).
Tanaman sawi terdiri dari dua jenis yaitu sawi putih dan sawi hijau . Sawi
hijau merupakan salah satu sayuran yang kaya vitamin, mulai dari vitamin K,
vitamin A, vitamin C dan vitamin E ada dalam sawi hijau (Edi dan Yusri,2010).
Gula yang terkandung dalam sayur sawi terdiri dari 85% glukosa dan15%
fruktosa. Komposisi zat gizi termasuk gula dalam sawi / kol bervariasi tergantung
pada varietas dan kondisi lokasi penanaman (Frazier dan Westhoff. 1988).
D.

Lobak

Lobak (Raphanus sativus) telah diakui sebagai salah satu obat tradisional
yang mempunyai berbagai khasiat, karena kandungannya terdapat raphanin.
Adanya raphanin dalam bentuk protease murni, merupakan kandungan utama
lobak diketahui mempunyai efek sebagai antibakteri dan antioksidan (Glasby,

1992; Fahey dan Talalay, 1999). Selain itu, umbi lobak mengandung 0,82% asam
askorbik, 1-18,6% abu, 0,86% kalsium, 3,6-75,7% karbohidrat, 18,7% lemak,
0,5-17,6% serat, 25,6% asam glutamat, 0,56% asam linolenik, 3,9% nitrogen,
0,009% asam osalik, 0,6% posfor, 0,14% fitosterol, 8,6% potasium, 18,2%
protein, 0,6% sulfur dan 92,6-94,5% air (Dalimunte, 1999; Nakamura et al,
2001).

PENUTUP
A.

Kesimpulan

Dari praktikum yang telah kami laksanakan di Laboratorium Teknologi


Pertanian Unsoed, kami dapat mengetahui cara pembuatan sauerkraut. Tidak
hanya berbahan dasar kubis pada umumnya, tetapi bisa juga menggunakan jenis
sayuran lain seperti wortel, sawi dan lobak. Cara pembuatan sauerkraut sendiri
prinsipnya adalah terjadi fermentasi pada sayuran yang sudah diiris dengan
penambahan garam sehingga munculnya bakteri asam laktat, seperti
Leuconostoc, Lactobacillus dan Pediococcus sehingga menghasilkan sayuran
yang asam dan lebih tahan lama.
Konsentrasi garam pada praktikum acara sauerkraut ini adalah 1,5%, 2%,
dan 3%. Dan mutu sensori yang dilakukan oleh 15 panelis mencakup parameter
tekstur, warna, rasa, flavor, dan kesukaan. Dari konsentrasi garam yang
berbeda-beda ternyata ada pengaruh terhadap mutu sauerkraut. Dari data
pengamatan kami untuk parameter tekstur, rasa, dan warna terbaik ada pada
sauerkraut dengan konsentrasi garam 3%, tetapi untuk flavor dan kesukaan
terbaik ada pada sauerkraut dengan konsentrasi garam 2%.
B.

Saran

Hal yang perlu diperhatikan dalam fermentasi sauerkraut adalah


kebersihan sayur yang digunakan, jumlah garam yang ditambahkan, jenis garam
yang harusnya tidak beryodium karena bisa merubah warna sayur, kondisi kedap
udara, dan penyimpanannya setelah selesai difermentasikan. Sayur yang tidak
bersih akan menyebabkan pembusukan. Sayur harus selalu tercelup air dan
dicegah dari kontak dengan udara. Jika tidak akan tumbuh kapang dan khamir
Setelah diperam atau difermentasi, maka sauerkraut harus disimpan dalam suhu
rendah atau di dalam kulkas, agar masa simpannya dapat berlangsung lama.

DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W. 1999. Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Sayuran di


Indonesia. Jurnal Hortikultura 9(2): 258-265
Ali, Nur Berlian Venus, Estu rahayu dan Hendro Sunarjono. 2003. Wortel Lobak.
Jakarta : Penebar Swadaya.
Badan Pusat Statistik. 2000. Survei Pertanian. Produksi Tanaman Sayuran dan
Buahbuahan. Badan Pusat Statistik, Jakarta
Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan.
Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta (Diterjemahkan oleh H, Purnomo dan
Adiono).
Dalimunte, S. 1999. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker, Penebar
Swadaya, Jakarta
Direktorat Gizi Departernen Kesehatan R. I. 1981. Daftar Komposisi Bahan
Makanan. Bhratara Karya Aksara, Jakarta
Edi dan Yusri. 2010. Budidaya Sawi Hijau. Jurnal Agrisistem. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jambi. Jambi.
Fahey, J.W dan Talalay, P. 1999. Purification and Charactirization of Raphanin. A
nuetral Protease from Raphanus sativus leaves, food and Chemical
Toxicology. India
Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. McGraw.Hill, Inc,New
York.
Glasby, J.S. 1992. Encyclopedia of Antibiotic, 3rd.Ed. The John Willey & Son Ltd.
New York, USA
Hambali, E., Ani, S,. Wahyu, P,. 1995. Membuat Keripik Sayur. Penebar Swadaya.
Jakarta.

Ilhamiyah, Ari, dan Ana Z. 2008. Studi stabilitas agroekosistem pertanaman sawi
yang diberi kompos. Jurnal Alulum 37(3):1.
Nakamura, Y; Iwahashi, T.A; Tanak, J; Kautani, T; Matsuo, OS; Sato, K and Ohstuki.
2001. A Principle Antimutagen in Daikon (Raphanus sativus), Japanese
White Radish. J. Agric. Food Chem 49 (12) 5755-5760.
Pracaya. 1987. Kol Alias Kubis. Penebar Swadaya, Jakarta
Sharma, H. K, et al. 2006. Optimization Of Pretreatment Conditions Of Carrots To
Maximize Juice Recovery By Response Surface Methodology. Journal of
Engineering Science and Technology. School of Engineering, Taylors
University College. Vol. 1, No. 2 158- 165
Utama, CS. A. Mulyanto. 2009. Potensi Limbah Pasar Saytir Menjadi Starter
Fermentasi. Jurnal Kesehatan. Universitas Diponegoro Semarang. Vol.2, No. I

Williams, C. N., J. O.Uzo dan W. T. H. Peregrine. 1993. Produksi Sayuran di Daerah


Tropika. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai