Anda di halaman 1dari 4

Sang Pemimpi

Senin pagi, setengah jam sebelum jam masuk, Pak Mustar mengunci pintu pagar sekolah.
Banyak siswa yang terlambat termasuk aku, Arai, dan Jimbron. Saat itu Arai menirukan gaya Pak
Mustar berpidato. Pak Mustar marah, dia mengajak dua penjaga sekolah untuk mengejar kami.
Ketika itu, aku dan Jimbron sedang duduk santai di depan hadapan sekelompok siswa
perempuan. Aku langsung meminyaki rambutku dengan minyak rambut dan menyisir rapi agar
para siswa perempuan terkesan.
Ketika aku mendekati mereka, mereka justru berteriak ketakutan. Ternyata Pak Mustar
yang geram berdiri tepat di belakangku. Ia menarik kerah bajuku dan menyentaknya sampai
kancing bajuku lepas. Pak Mustar berusaha menamparku tetapi aku merunduk. Aku langsung
mengambil ancang-ancang untuk melesat pergi.
Aku melesat lari, segerombolan siswa, Arai, dan Jimbron berlarian ke berbagai arah.
Sialnya, hanya aku yang dikejar Pak Mustar. Aku berlari menyusuri pagar sekolah. Banyak
murid-murid menyemangatiku karena juga benci dengan Pak Mustar. Aku berlari semakin
kencang menuju pasar pagi. Aku bertemu Arai dan Jimbron yang kelelahan. Aku dan Arai
menopang Jimbron yang tak sanggup berlari menuju gudang peti es. Arai menyuruhku masuk ke
dalam peti es berisi ikan. Aku ditindih Jimbron dan Arai.
Nyonya Ho Pho, pemilik gudang peti es itu menyuruh pembantunya mengangkat peti
kami ke stanplat. Ketika kami diangkat, Arai justru tersenyum padaku. Mungkin ia merasa
kejadian ini adalah kejadian yang fantastik. Aku melihat dari pandangan Arai yang melihat pasar
yang kumuh menjadi seakan taman indah. Beginikah seorang pemimpi melihat dunia? Ketika
kami diletakkan dan Nyonya Pho menghampiri kami kami melonjak keluar. Nyonya Pho terkejut
dan akhirnya jatuh tak berdaya. Ia mengira kami adalah ikan duyung.
Sebenarnya Arai masih bertalian darah denganku. Neneknya adalah adik kakekku dari
pihak Ibu. Ketika menginjak kelas 1 SD,Ibunya meninggal ketika melahirkan adiknya yang juga
meninggal. Baru kelas 3 SD, dia sudah ditinggal Ayahnya yang juga meninggal. Kemudian ia
dipungut keluarga kami.
Aku teringat saat aku dan Ayahku menumpang truk kopra menjemput Arai. Dia sudah
lama menunggu kami, kami bertiga meninggalkan rumah Arai. Aku sedih melihat keadaannya
yang sudah sebatang kara. Tapi ia berusaha menghiburku dengan mainan yang ia buat sendiri.

Orang Melayu menyebut orang terakhir dalam silsilah keluarga disebut Simpai Keramat. Ia
merasa bahagia karena siap memulai hidup baru.
Aku merasa dilindungi oleh Arai. Ia adalah saudara, sahabat, dan pelindung bagiku.
Ketika ia menunjukkan gaya rambut paling baru, aku langsung mencobanya dan memperlihatkan
kepada

abang-abangku.

Mereka

mengejekku,

tapi

Arai

menyemangatiku.

Gayanya

bagaikan Lone Ranger.


Sore itu aku dan Arai sedang bermain di pekarangan. Mak Cik Maryamah datang dengan
anak-anaknya meminjam beras. Beras itu rencananya akan ditukar oleh biola Nurmi, anaknya.
Tetapi ibuku membiarkan biola itu disimpan Nurmi. Arai merencanakan sesuatu tetapai aku tidak
tahu.
Aku mengikutinya ke kamar. Ia memecahkan celengan tanah liatnya. Tanpa pikir panjang
aku pun ikut memecahkan celenganku. Ia menyuruhku mengantungi uang itu dengan karung
gandum. Ia menyuruhku mengikutinya. Dengan dua sepeda kami pergi. Kupikir kami akan
menyerahkan uang itu kepada Mak Cik Maryamah. Tetapi Arai justru berbelok menuju pasar.
Aku tak tahu apa yang Arai pikirkan. Tiba-tiba ia berhenti di toko A Siong. Ia
menumpahkan uang itu dari karung gandum. Ia meminta terigu, gandum, dan gula. Karena aku
tak tau apa yang sebenarnya yang direncanakannya dan aku tak mau uangku dihamburkannya,
maka aku menghentikan tindakan Arai. Sempat terjadi keributan di toko tersebut.
Lalu aku mengikutinya dengan membawa karung yang berisi terigu, gandum, dan gula.
Kami menuju rumah Mak Cik Maryamah. Arai mengulungkan tangannya memberikan karungkarung itu. Rupanya ia berencana memberi Mak Cik Maryamah sebuah pekerjaan membuat roti
dan kami yang menjualnya. Aku terharu dan merasa malu atas perbuatan Arai.
Para penggawa masjid yaitu Taikong Hamim, Haji Satar, dan Haji Hazani adalah mesinmesin budi pekerti. Mereka sangat kejam. Kalau tamat SD belum hafal Juz Amma, siap-siap
dimasukkan bedug yang dipukul sekeras-kerasnya, sampai berjalan zig-zag. Aku dan Arai sering
dihukum Taikong Hamim. Maka dari itu Arai berencana menjailinya.
Setiap Taikong Hamim menjadi imam shalat jamaah dan saat akhir bacaan

Al-

Fatihah Arai menyahut dengan kata Amin yang panjang dan berliuk-liuk. Menurut Arai ini
adalah kejahilan yang aman, karena Taikong Hamim tidak tahu siapa pelakunya, karena ada
ratusan anak-anak. Taikong Hamim tidak tahu, tapi Tuhan tahu dan akan membalas suatu saat
nanti.

Pak Balia, kepala sekolah kami mengajar sastra. Ia menyuruh kami sekelas untuk
menemukan kata-kata indah. Dari seluruh penjuru dunia para murid mencetuskan kata-kata dari
para pemimpin dunia. Aku yang tak punya kata-kata indah, hanya menyebutkan lirik lagu Haji
Rhoma Irama. Masa muda, masa yang berapi-api.
Beberapa tahun lalu, sebuah keluarga Melayu miskin berkebun di sebuah pulau tak jauh
dari muara. Dalam perjalanan pulang, perahu mereka terbalik. Dalam keluarga itu hanya ada satu
anak yang masih hidup. Namanya Laksmi. Ia seakan tidak punya harapan lagi, dia sangat jarang
tersenyum. Sebenarnya Jimbron menaruh hati padanya. Tiap hari Minggu Jimbron membantu
Laksmi. Tetapi Laksmi membiarkanya, tak acuh. Jimbron hanya ingin membuatnya tersenyum
lagi.
UNSUR INTRINSIK
Tema
Tema yang tersirat dalam novel Sang Pemimpi ini tak lain
adalah persahabatan dan perjuangan dalam mengarungi
kehidupan serta kepercayaan terhadap kekuatan sebuah mimpi
atau pengharapan. Hal itu dapat dibuktikan dari penceritaan
per kalimatnya dimana penulis berusaha menggambarkan
begitu besarnya kekuatan mimpi sehingga dapat membawa
seseorang menerjang kerasnya kehidupan dan batas
kemustahilan.
Latar
Dalam novel ini disebutkan latarmya yaitu di Pulau Magai
Balitong, los pasar dan dermaga pelabuhan, di gedung bioskop,
di sekolah SMA Negeri Bukan Main, terminal Bogor, dan Pulau
Kalimantan. Waktu yang digunakan pagi, siang, sore, dan
malam. Latar nuansanya lebih berbau melayu dan gejolak
remaja yang diselimuti impian-impian.
Alur
Dalam novel ini menggunakan alur gabungan (alur maju dan
mundur). Alur maju ketika pengarang menceritakan dari mulai

kecil sampai dewasa dan alur mundur ketika menceritakan


peristiwa waktu kecil pada saat sekarang/dewasa.
Gaya Penulisan
Gaya penceritaan novel ini sangat sempurna. Yaitu kecerdasan
kata-kata dan kelembutan bahasa puitis berpadu tanpa ada
unsur repetitif yang membosankan. Setiap katanya
mengandung kekayaan bahasa sekaligus makna apik dibalik
tiap-tiap katanya. Selain itu, Novel ini ditulis dengan gaya realis
bertabur metafora, penyampaian cerita yang cerdas dan
menyentuh, penuh inspirasi dan imajinasi. Komikal dan banyak
mengandung letupan intelegensi yang kuat sehingga pembaca
tanpa disadari masuk dalam kisah dan karakter-karakter yang
ada dalam novel Sang Pemimpi.
Sudut Pandang
Sudut pandang novel ini yaitu orang pertama (akuan). Dimana
penulis memposisikan dirinya sebagai tokoh Ikal dalam cerita.

Anda mungkin juga menyukai