Anda di halaman 1dari 7

Emansipasi Wanita: Menjadikan Wanita

Manusia, Bukan Makhluk Wah!


Wanita adalah mutiara dunia
Wanita adalah tonggak moral bangsa
Wanita adalah makhluk anggun yang harus diperlakukan dengan baik
Kalau ada yang menganggap wanita merupakan bla bla bla (dalam taraf wanita adalah
makhluk Wah! dan harus di-Wah!kan), maka kemungkinan besar kalimat tersebut berasal
dari seorang pria. Untuk spesifikasi prianya, saya akan menduga bahwa kalimat tersebut
berasal dari ucapan seorang patriarkis, atau setidaknya memiliki pandangan bahwa wanita
dan pria itu berbeda sehingga memiliki fungsi masing-masing yang berbeda satu sama lain
seperti wanita memasak dan pria membetulkan atap (yang sebenarnya non-kodrati).
Dugaan saya ini, berasal dari asumsi sederhana mengenai pengamatan yang saya
lakukan di beberapa forum dan di dunia nyata. Dengan mendeskripsikan bahwa wanita
adalah makhluk yang Wah! dan harus di-Wah!kan, seseorang scara ringkas telah
menuliskan daftar beban moral yang harus ditanggung seorang wanita dan secara tidak
langsung, seorang pria juga. Satu hal yang harus digaris-bawahi mengapa perlakuan yang
berbeda ini hanya menghasilkan emansipasi wanita dan tidak ada emansipasi pria (diluar
masalah pendidikan dan pekerjaan) adalah bahwa sistem pembedaan tersebut lebih cenderung
berkata kepada wanita bahwa mereka adalah Wah! sementara pria dipandang lebih apa
adanya. Dosa adalah contoh umum. Dosa wanita akan cenderung dilihat lebih berat karena
berasal dari makhluk Tuhan yang Wah!.
Nah, disini saya ingin sekali mengatakan bahwa emansipasi wanita sama sekali tidak
perlu dimaksudkan untuk mengatakan bahwa wanita adalah begini dan begitu. Wanita itu
banyak. Satu orang akan berbeda dengan yang lain sehingga tidak perlu dipukul rata. Sebuah
generalisasi menyebalkan yang sering sekali saya lihat di berbagai kesempatan adalah bahwa
para penentang emansipasi wanita cenderung memasukkan wanita dan pria dalam kotak yang
terpisah ribuan kilometer jauhnya. Model kotak stereotip ini benar-benar memasukkan

stereotip umum bahwa wanita adalah feminim dan laki-laki adalah maskulin. In fact, ini salah
total, buktinya ada lumayan banyak laki-laki genit di luar sana :D
Selain itu, terdapat anggapan umum mengenai dua kata yang lalu lalang dalam lahanlahan emansipasi ini : Sama dan Setara. Apakah wanita dan pria sama, merupakan
pertanyaan biologis. Keduanya sama (sama-sama manusia) tetapi berbeda (kelaminnya). Hal
ini akan menuntun kita pada peran kodrati keduanya, wanita bisa hamil, pria tidak. Wanita
menstruasi, pria tidak, dst dst. Sementara setara? Apakah wanita dan pria setara? Apakah
perbedaan wanita dan pria(kelaminnya) akan membuat keduanya tidak setara? Mari melihat
ketidaksetaraan dalam masyarakat patriarkis dalam beberapa pertanyaan : Apakah wanita
harus selalu dipimpin pria, harus rela dan tabah dalam hal pembagian warisan karena dia bisa
melahirkan, bisa menstruasi, dan bisa menyusui? Apakah wanita dan pria berbeda sehingga
wanita harus mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak dan menyapu? Hmm,
memangnya yang memasak dan menyapu kelaminnya atau tangan dan lidahnya? :p
Hal lucu yang diulang-ulang dan sekali lagi menyebalkan (bagi saya) adalah adanya
argument penguji isu kesetaraan yang intinya seperti ini :
Kalau wanita dan pria itu setara, mau ga wanita disuruh benerin genteng?
Benar-benar jawaban patriarkis sejati bukan? :p (Lagi, saya suka ini :D ) Memangnya
yang benerin genteng kelamin anda atau tangan anda?
Dan seperti yang saya bilang, jawaban ini memisahkan wanita dan pria dalam kotak
stereotip yang jauhnya mencapai ribuan kilometer. Sebagai tambahan jawaban pertanyaan di
atas, saya akan mengembalikannya pada anda yang bertanya demikian untuk membayangkan
teori evolusi terutama pada bab seleksi seksual. Lagipula, ketika rumah saya bocor, saudara
laki-laki saya tidak pernah sama sekali berinisiatif membetulkannya sendirian, sementara di
sisi lain, ibu saya juga tidak pernah menyuruhnya. Bukan karena emansipasi, lebih pada fakta
bahwa memang bukan itu keahliannya.
Emansipasi wanita adalah perjuangan wanita menuntut hak-nya agar bisa
sederajat dengan laki-laki seperti hak untuk bekerja seperti laki-laki, hak
berpendapat seperti laki-laki, hak menjabat posisi seperti laki-laki bahkan
sampai dengan posisi presiden. Namun apakah benar emansipasi wanita
diperluakan saat ini dan hak apa yang diperjuangkan untuk disamakan
derajatnya?

Cobalah kita kembali pada fitrah kita sebagai mahluk Tuhan. Pria dan wanita
sampai hari kiamatpun tidak akan bisa sama karena memang tidak sama. Dan
perlu diketahui bahwa keduanya bukanlah pesaing yang saling mengalahkan dan
dikalahkan. Terlalu naif bagi pria apabila ia bersaing dan ingin mengalahkan
wanita dan terlalu jumawa apabila wanita minta disamakan dan bahkan ingin
mengalahkan pria dengan gerakan emansipsi wanita yang kebablasan. Kedua
mahluk itu secara prinsip memang berbeda baik secara fisik maupun non fisik.
Pria dengan segala kekuatannya, kemampuannya dan ketegasannya sangat
mengedepankan logika, sedangkan wanita dengan kelembutannya dan kasih
sayangnya mengandalkan perasaannya. Dengan demikian, pria adalah pasangan
wanita dan wanita adalah pasangan pria, demikianlah takdir Tuhan menciptakan
keduanya yang saling membutuhkan satu sama lain.

Emansipasi wanita adalah prospek pelepasan diri wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang
rendah, serta pengekangan hukum yang membatasai kemungkinan untuk berkembang dan
maju. Dalam bahasa Arab istilah ini dikenal dengan tahrir al marah.
Tuntutan persamaan hak (emansipasi) tidak pernah ada dalam Islam. Islam tidak pernah
mempertentangkan hak pria dan wanita. Istilah-istilah tersebut hanya ada dari luar Islam,
terutama dari Barat (Eropa- Amerika).
Islam sangat memuliakan wanita, Al Quran dan sunnah sangat memperhatikan dan
memberikan kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik ia sebagai anak, istri, ibu,
saudara maupun peran lainnya. Begitu pentingnya hal ini, Allah SWT mewahyukan sebuah
surat dalam Al Qur,an kepada nabi Muhammad SAW yaitu surat An Nisa yang sebagian besar
dari ayat ini membicarakan persoalan yang berhubungan dengan kedudukan, peranan, dan
perlindungan hukum terhadap wanita
Dalam sebuah hadits misalnya, Rasulullah bersabda:
Salah satu ciri laki-laki terhormat adalah yang paling dan bersikap lemah lembut terhadap
istrinya. ( HR Ibnu Ahmad bin Hambal)
Masih banyak hadits lain yang membahas tentang keutamaan wanita. Selain itu dalam Al
Quran misalnya, dari segi pengabdian tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan yang dijadikan ukuran untuk meninggikan dan merendahkan hanyalah nilai
pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah SWT ( QS. Al Hujurat:13).
Bagi Islam sendiri, wanita yang baik adalah wanita yang menjalankan kehidupannya
seoptimal mungkin berdasarkan Al Quran dan hadits, mampu menjalankan fungsi, hak dan
kewajibannya. Baik sebagai hamba Allah, sebagai istri, ibu, dan juru dakwah.
Dari segi penciptaannya, Al Quran menerangkan bahwa wanita dan pria sama-sama ciptaan
Allah dan berada dalam derajat yang sama. Tidak ada isyarat bahwa laki-laki derajatnya lebih
tinggi dari wanita.

Islam mempunyai falsafah khusus mengenai hubungan hak-hak pria dan wanita dalam
keluarga. Wanita mempunyai hak yang sama dan setara dengan pria. Namun pengertian sama
dan setara dalam Islam berbeda dengan yang dituntut oleh wanita-wanita Barat yang
menuntut persamaan dan keidentikan antara pria dan wanita dalam segala hal. Titik tolak
yang digunakan mereka dalam hal ini ialah hak-hak mereka harus sama, identik dan
sebanding. Tidak ada hak pengistimewaan dan pengutamaan bagi salah satu dari keduanya.
Persamaan berbeda dengan keidentikan. Persamaan berarti kesederajatan dan kesebandingan,
sedang keidentikan berarti keduanya harus persis sama. Wanita itu mampu berbuat seperti
pria dalam berusaha dan berkarya, realitas ini bisa ditemukan pada masa nabi SAW, sahabat
dan tabiin. Para wanita tampil diberbagai bidang, seperti Khadijah adalah seorang saudagar
yang kaya dan sukses, dan Asy Syifa yang diserahi oleh Umar bin Khattab untuk menangani
pasar kota Madinah. Menurut Marwah Daud Ibrahim, emansipasi wanita kini tidak lagi
perjuangan untuk mencapai persamaan hak, tetapi telah sampai pada upaya untuk
meningkatkan sumber daya wanita itu sendiri. Emansipasi yang dibenarkan dalam Islam
adalah tidak lagi melihat laki-laki sebagai seteru atau lawan, tetapi sebagai partner dan kawan
seperjalanan.
Dalam ajaran Islam, wanita juga mempunyai hak dan kesempatan untuk berkarir, dengan
tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai wanita. Islam juga memberikan dorongan
yang kuat agar para muslimah mampu berkarir disegala bidang. Islam membebaskan wanita
dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan perbudakan.
Namun demikian, pada kenyataannya diberbagai bidang kehidupan masih banyak terjadi
pertentangan pendapat tentang jabatan yang digeluti. Dalam konteks kekinian hal ini masih
menjadi problema yang masih terus dibicarakan.

BERBICARA tentang wanita tidak akan pernah ada habisnya, bagaikan sebuah oase yang
tidak membosankan, semakin dibicarakan akan semakin terbuai olehnya. Napoleon
Bonaparte pernah mengatakan bahwa kemajuan wanita adalah sebagai ukuran kemajuan
negeri kaum ibu yang dapat menggoyangkan buaya dengan tangan kirinya, dapat pula
menggoyangkan dunia dengan tangan kanannya.
Berkait dengan itu, timbul satu pertanyaan dalam menyikapi kondisi keterpurukan bangsa
Indonesia saat ini. Yakni, apakah ada yang salah dari perilaku kaum wanita di Indonesia, bila
kita kaitkan dengan kondisi bangsa ini?
Di zaman ini, ada kecenderungan yang sangat kuat di kalangan wanita, dari lapisan apapun,
untuk bekerja. Begitu seorang wanita menyelesaikan pendidikannya, maka yang terbayang
dalam benaknya adalah dunia kerja. Bekerja untuk mendapatkan upah atau gaji. Intinya
bekerja di luar rumah (Suharsono, 2002:23).

Menyikapi kecenderungan itu (baca: wanita yang menghilangkan kodrat sebagai ibu), patut
kita renungkan apa yang dipertanyakan Said Hawa, bahwa bukankah lebih terhormat bagi
wanita, jika segala keperluan dan pembiayaan hidupnya dijamin oleh suaminya, daripada
mesti bekerja di luar rumah dan mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan
karakternya? Apakah pertumbuhan anak lebih baik di dalam asuhan ibunya, atau di dalam
asuhan tempat penitipan?
Menyikapi fenomena tersebut, ada tiga tekad yang dilahirkan kaum wanita pada kongres
pertamanya di Yogyakarta 22 Desember 1928, yakni menggalang persatuan, tampil seiring
dengan kaum pria dalam merebut kemerdekaan, serta meneruskan cita-cita untuk
memperoleh hak hidup dalam kodratnya sebagai wanita. Ternyata masih relevan dengan
makna perjalanan pembangunan dalam mengisi kemerdekaan saat ini.
Menurut H.M. Hembing Wijayakusuma (1995: 426), tiga tekad wanita Indonesia terus
diperjuangkan, terutama menyangkut hak hidup sesuai kodratnya. Tapi satu hal yang pantang
diremehkan, yakni peran kaum ibu sebagai ibu rumah tangga. Kaum bapak sungguhpun ada
kekecualian, tapi pengabdiannya di kantor, atau di tempatnya menggantungkan hidup
bersama keluarga untuk mencari nafkah, akan banyak dipengaruhi oleh peran istri dalam
rumah tangga. Agama Islam mengajarkan bahwa surga itu berada ditelapak kaki ibu.
Dapatkah kaum ibu menghayati makna ajaran ini sehingga senantiasa menjadi anutan sang
anak dan curahan kasih sayang suami? Itulah pedoman paling berharga untuk bisa tampil
sebagai madu pemanis rumah tangga dan pengharum bangsa dengan gelar ibu.
Dalam bahasa lain, Suharsono (2002: 25-26) mengungkapkan bahwa tampaknya kita perlu
merenungi sebuah pernyataan yang disabdakan Nabi Saw, Surga di bawah telapak kaki
ibu. Bila kita simak baik-baik pernyataan ini kita patut bertanya, Apakah setiap (tipologi)
ibu dapat mensurgakan anaknya? Apakah tipologi ibu dalam perspektif budaya patriarkhi,
yang hanya bergerak dari dapur sampai tempat tidur dapat mensurgakan anak-anaknya? Atau
sebaliknya, ibu-ibu dalam perspektif feminisme dewasa ini, yang mampu mensurgakan anakanaknya.
Lebih jauh diungkapkan, jika Islam sangat menghargai harkat wanita, seperti dinyatakan
Alquran surat Luqman: 14 dan Ahqaf: 15, bukanlah bertujuan agar perempuan itu menjadi
laki-laki, dengan cara persamaan hak kerja, profesi dan sebagainya, tetapi untuk menjadi ibu.
Islam tidak mengatur masalah kerja profesional bagi perempuan, apalagi jika kerja itu
dilakukan di luar rumah, karena memang tidak ada kewajiban perempuan untuk mencari
nafkah. Tetapi sebaliknya, Islam mengatur secara rinci bagaimana mestinya perempuan
menjadi ibu.
Menurut Sukarti H. Manan (1999), yang menjadi kenyataan sekarang ini adalah muncul
istilah emansipasi wanita yang sering disalah artikan. Penulis teringat pada Kartini yang
dengan gigihnya memperjuangkan derajat wanita agar sejajar dengan kaum pria. Ketika
wanita memperoleh kesempatan berkiprah di dunia luar selain rumah tangganya, ada
kalanya mereka secara tidak sadar melupakan kodrat kewanitaan-nya, rumah tangga,
termasuk anak dan suami. Bekerja melebihi waktu, sehingga anak justru terdidik oleh
orang lain (pembantu) dan memunculkan perasaan bersih pada diri suami.
Untuk itu, pemaknaan emansipasi wanita ini harus segera kita luruskan agar tidak membuat
keterpurukan bangsa ini menjadi berlarut-larut. Dalam nada pertanyaan, Elvira W & Eva R
(1997), mengungkapkan bahwa satu fenomena (gejala) yang tidak bisa kita pungkiri lagi

bahwa semakin banyak perempuan yang menghiasi percaturan perpolitikan tidak menutup
suatu kemungkinan menunjukkan bahwa semakin banyak wanita yang terlibat dalam dunia
kejahatan. Jadi apakah semua merupakan suatu keberhasilan dari peran ganda wanita atau
hanya fatamorgana belaka??..
Dalam hal ini, Maurice Bardeche, pakar dari negara Prancis yang dinilai sebagai pelopor
yang mengumandangkan semboyan kebebasan dan persamaan, dalam bukunya Hestoire
des Femmers memperingatkan janganlah hendaknya kaum ibu meniru kaum bapak, karena
jika demikian akan lahir bahkan telah lahir jenis manusia ketiga sebagaimana dikutip oleh
Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati. Dikatakannya bahwa baik dan terpuji
apabila seorang ibu atau istri melayani suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat
tinggalnya, tetapi itu bukan merupakan kewajibannya. (Widaningsih, 2000).
Sementara itu, diungkapkan Dadang Kusnandar, jika wanita secara tulus melakukan tugastugas rumah tangganya, boleh jadi konsep rumah tangga Islam: Baiti Jannati, dengan
sendirinya akan lebih mudah terbina. Sebab pendidikan yang paling mulia bagi anak tidak
lain bermula dari ibu. Maka anak-anak langsung memperoleh pendidikan dan kasih sayang
seorang ibu, lebih terjamin akhlaknya. Anak-anak akhirnya lebih terkendali dan bersosialisasi
di tengah pergaulan masyarakat. Mereka tidak mudah terjerat pada sekian penyimpangan dari
perilaku chaos serta tawaran-tawaran nilai baru untuk melakukan pengingkaran normanorma sosial, terutama moral serta etika agama.
Sebaliknya, wanita yang menyerahkan pendidikan anaknya kepada orang lain tanpa
keterlibatan langsung dan penuh dari ibunya ketika ia remaja tampak lebih lentur dalam
menerima paradigma di kalangan remaja, terutama di kota-kota. Katakanlah ia menjadi
terasing dari lingkungannya, malah dengan keluarga sendiri kerap menjadi amat individualis.
Dan sulit dihindari kenyataan menujukkan adanya sejumlah dekonstruksi moral dan etika
sosial, sering bermula dari ketidak harmonisan hubungan keluarga.
Di sinilah pentingnya sebuah kesadaran untuk menjadi seorang ibu. Kesadaran ini, tentu
berkenaan dengan masalah-masalah reproduksi perempuan sebagaimana yang menjadi
wacana feminisme. Tetapi, dalam pandangan Suharsono (2002), persoalannya tidaklah cukup
dengan melahirkan lalu menjadi ibu dan selesai. Menjadi ibu melibatkan pengertian dan
kesadaran baru yang harus dimiliki bagi setiap perempuan.
Di samping resiko beratnya melahirkan, menjadi ibu berarti memiliki kesadaran penuh untuk
membekali diri dalam rangka mendidik anak-anaknya. Tugas untuk menjadi ibu dalam
pengertian seperti ini, membutuhkan bobot spiritual dan intelektualitas yang memadai. Para
ibu adalah guru pertama anak-anaknya sendiri. Orang pertama yang akan menjadi sandaran
bagi anak-anaknya, tempat bertanya, mengadukan halnya dan juga perlindungannya.
Jawaban-jawaban yang diberikan serta kepedulian seorang ibu bagi anak-anaknya, sangat
menentukan bagi masa depan anak-anaknya.

Dampak emansipasi wanita


Ternyata emansipasi wanita mempunyai dampak negatif ,antara lain yang suka kita temui
dampak negatif dari emansipasi wanita adalah :

1. Bagi yang sudah mempunyai putra/putri bisa dikatakan menelantarkan


putra/putrinya,karena mereka kurang mendapatkan kasih sayang perawatan dan
pendidikan langsung dari sang Ibu , waktu yang diberikan adalah waktu sisa dari sang
ibu
2. Terkadang wanita dengan profesi yang dimiliknya membuat mereka lupa sehingga
bagi wanita yang bekerja melampaui batas tidak sedikit berakibat terjadi goncangan
rumah tangganya
3. Karena merasa mampu untuk berdiri sendiri , seringkali menimbulkan egoisme yang
tinggi bagi wanita , dan masih banyak dampaknegatif lainnya
Namun tidak sedikit wanita yang bekerja karena tuntutan ekonomi , mereka bekerja ikhlas
membantu perekonomian keluarga , mereka bekerja bahkan bisa melampaui kemampuan
suami tapi tidak pernah lupa akan kodratnya sebagai wanita, Selain dampak negatif yang di
sebutkan juga banyak dampak positif dari emansipasi wanita ini , antara lain
1. Terjadinya peningkatan pendidikan di kalangan kaum wanita secara spektakuler
2. Peluang wanita untuk tampil diranah publik terbuka lebar , karena tetap ada hal-hal
yang lebih baik jika di urus oleh seorang wanita
3. Pendapatan ekonomi keluarga /rumah tangga meningkat tajam, karena wanita/Ibu
mempunyai penghasilan yang bahkan melebihi penghasilan pria/Bapak.
4. program-program pembangunan Pemerintah lebih cepat tercapai karena kaum wanita
juga berpartisipasi aktif mencurahkan tenaga, pikiran, dan mungkin juga uang. dan
masih banyak lagi dampak positif yang lain
Semoga perempuan-perempuan indonesia , berprestasi dengan tidak meninggalkan tugas dan
kewajiban seorang wanita
Diawali dengan hadirnya buku dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang yang
merupakan kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini kepada sahabatnya
Abendanon, nasib perempuan berubah secara perlahan atas perjuangan beliau.
Perjuangan Kartini di antaranya adalah membebaskan perempuan dari
diskriminasi yang membatasi gerak perempuan pada masa itu. Selain itu,
Kartini juga berjuang membebaskan kaum perempuan dari perbudakkan. Atas
dasar perjuangan Kartini inilah sehingga kita sekarang mengenal istilah
emansipasi perempuan.

Anda mungkin juga menyukai