Anda di halaman 1dari 32

TUBERKULOSIS PARU

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

NAMA : Made Aditya Dian Nugraha


NIM:15710378
PEMBIMBING : dr.Widiati Rahayu Sp.P.

BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) paru merupakan satu penyakit menular yang dapat
menyebabkan kematian. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis
yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Walaupun
obat obatan anti tuberkulosis yang poten telah ditemukan sekian lama, tetapi
hingga saat ini penyakit TB paru masih merupakan masalah kesehatan
utama di seluruh dunia. Munculnya pandemic HIV/AIDS di dunia menambah
permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian
TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB
terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi
masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan ini
membuat terjadinya epidemik TB yang sulit ditangani (Depkes RI, 2008).
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan
tidak adekuat, (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat,
(4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri (self
treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang
kurang memadai (Kartasasmita, 2009).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang
menular dan disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang ditandai
dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Penyakit
tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir
seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi
awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan. Individu kemudian
dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan
respon imun. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama
selama beberapa tahun. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman
aerob yang dapat hidup terutama di paru/berbagai organ tubuh lainnya
yang bertekanan parsial tinggi. Kuman Tuberkulosis berbentuk batang,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan Zeihl
neelsen. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA),
kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan
hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab ( Alsagaff dkk, 2008).
2.2. Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis adalah kuman berbentuk batang,
berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar
komponen M.Tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman
mampu tahan terhadap asam serta tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik.
Mikroorganisme ini bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak
oksigen. Oleh karena itu M.Tuberculosis senang tinggal di daerah apeks
paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi
tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Somantri, 2008).
3

2.3 Epidemiologi
Penanggulangan tuberkulosis di Indonesia mengalami kemajuan yang
sangat bermakna, ditandai dengan pencapaian target penemuan penderita
TB dan turunnya peringkat TB Indonesia. World Health Organization (WHO)
melaporkan bahwa pada tahun 2013, mencatat peringkat Indonesia menurun
dari posisi tiga ke posisi empat dengan jumlah penderita TBC sebesar
321.000 orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada
tahun 2013 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Indonesia dan Pakistan (WHO,
2013).
Target ke-6 Millennium Development Goals (MDGs) 2015 mempunyai
tujuan mengendalikan dan menurunkan penyakit HIV/AIDS, malaria dan
penyakit menular lainnya termasuk penyakit TB paru. Berdasarkan laporan
dari Kemenkes RI bahwa pada tahun 2011, target MDGs ke-6 dalam kegiatan
pengendalian penyakit TB paru sebagian besar sudah tercapai, diantaranya
angka penemuan kasus TB paru (case detection rate/CDR : 83,48%, target
70%) dan angka keberhasilan pengobatan TB paru (success rate/SR:
90,29%, target 85%) serta angka prevalensi TB paru sudah mendekati target
(289/100.000 penduduk) dari target 221/100.000 penduduk (Kemenkes,
2012)
2.4 Patogenesis Tuberkulosis
Menurut PDPI 2014 patogenesis tuberkulosis sebagai berikut:
A.

Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin
timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limdangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh

pembesaran kelenjar getah bening di hilus. Afek primer bersama-sama


dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks
primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitutio ad
integrum) 66%.
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus).
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuiatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh
adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan,
dengan akibat atelektasis. Kuman tb akan menjalar sepanjang bronkus
yang tersumbat ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
tepituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya atau tertelan.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, tetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, Typhobacillosis landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, genitalia, dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan :

- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan


terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma) atau kematian.
B. Tuberkulosis Post Primer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian
setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun.
Tuberkulosis postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu
tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun,
dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi
masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya
terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini
ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini
akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:
1. Diresorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran
dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat
menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan
kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar.
Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
- meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di
atas

- memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut


tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
- bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 1.

Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer


dan perjalanan penyembuhannya (PDPI, 2006).

2.4. Cara Penularan


Cara penularan
- Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
- Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentukpercikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000percikan dahak.
- Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalamwaktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selamabeberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
- Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkandari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
- Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
(Depkes RI, 2006).
2.5. Risiko Penularan
Risiko penularan
- Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB parudengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
- Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi
TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara
1000 penduduk terinfeksisetiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 13%.

- Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi


positif (Depkes RI, 2006).
2.6. Klasifikasi Tuberkulosis
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura.
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah :
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-) :
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M. Tuberculosis
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi
gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis
maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan:
-

Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)


TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberkulosis
c. Kasus drop out
Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak

mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa


pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
f. Kasus bekas TB
- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung

10

- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah


mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada
perubahan gambaran radiologi (PDPI, 2014).
B. Tuberkulosis Ekstra Paru
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi
anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan
pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten
dengan TB ekstraparu aktif (PDPI, 2014).
2.7. Gejala klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, napsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut dapat juga
dijumpai pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasi, bronkitis kronis,
asma, kanker paru, dan lain-lain. Prevalensi TB paru di Indonesia saat ini
masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit Pelayanan
Kesehatan) dengan gejala tersebut, dianggap sebagai tersangka (suspek)
pasien TB paru dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskospis
langsung (Depkes, 2008).

11

Gambar 2. Skema klasifikasi Tuberkulosis (PDPI, 2014).


Gambaran klinis Tuberkulosis mungkin belum muncul pada
infeksi awal dan mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi
infeksi aktif. 11 Bila timbul infeksi aktif klien biasanya memperlihatkan
gejala :batuk purulen produktif disertai nyeri dada, demam (biasanya
pagi hari), malaise, keringat malam, gejala flu, batuk darah, kelelahan,
hilang nafsu makan dan penurunan berat badan (Corwin, 2009).

Menurut Mansjoer dkk, (2000). Gejala klinik Tuberkulosis dapat


dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
12

a. Gejala respiratorik
1) Batuk 3 minggu
2) Batuk darah
3) Sesak napas
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Rasa kurang enak badan (malaise),
3) keringat malam, nafsu makan menurun (anoreksia),
4) Berat badan menurun.
2.8. Diagnosis tuberkulosis paru
Diagnosis pasti TB paru pada orang dewasa ditegakkan bila
ditemukan kuman tuberkulosis (BTA) dalam dahak atau jaringan paru
penderita. Suspek tb diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosa utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
seusai indikasinya. Tidak dibenarkan meniagnosis TB hanya
berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga terjadi over
diagnosis (Kemenkes RI, 2014).

Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain
atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran

13

bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi (gambar 3)


yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
- Bayangan bercak milier.
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambar 3. Foto Rontgen TB Paru (www.tuberkulosis.org) diakses tanggal 17


Juli 2016.

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB inaktif:


-

Fibrotik pada segmen apikaldan atau posterior lobus atas


Kalsifikasi atau fibrotik
Fibrotoraks dan atau penebalan paru (PDPI, 2014).

14

Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis
secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang
lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih
cepat.
1. Pemeriksaan Bactec
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara
cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji
kepekaan.
Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria
Growth Indicator Tube (MGIT).
2. Polymerase chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi
DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam
pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara
pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan
tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar
internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain
tidak ada yang menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut
tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen

15

pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai dengan


organ yang terlibat.
3. Pemeriksaan serologi
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi
respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa
masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi
menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah
uji serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji
ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik
yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya
antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4
garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen
diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum
yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru,
kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum
mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan
berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji
dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan
minimal satu dari empat garis antigen pada membran.

c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia.
Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan
pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian
16

dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut


terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai
dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir
dan dapat dideteksi dengan mudah.
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi
yang terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang
diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang
mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara
mendeteksi antibodi IgG dengan antigen spesifik untuk Mycobacterium
tuberculosis.Uji IgG berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan
seperti 38 kDa dan 16 kDa dan kombinasi lainnya akan menberikan
tingkat sensitiviti dan spesifisiti yang dapat diterima untuk diagnosis. Di
luar negeri, metode imunodiagnosis ini lebih sering digunakan untuk
mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk diagnosis TB
pada anak.
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan
untuk diagnosis (PDPI, 2014).

17

Pemeriksaan Penunjang lain


1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan
histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau
otopsi, yaitu : Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah
bening (KGB). Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum
abram, Cope dan Veen Silverman). Biopsi jaringan paru (trans
bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal
needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka). Pada pemeriksaan
biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke
dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk
dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan
histologi.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan
kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED
sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin
sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang

18

19

Gambar 4. Skema alur diagnosis TB paru (Kemenkes RI, 2014)

2.10 Pengobatan Tuberkulosis


Pengobatan TB menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT)
harus adekuat dan minimal 6 bulan. Setiap Negara harus mempunyai
pedoman dalam pengobatan TB yang disebut National Tuberculosis
Programme (Program Pemberantasan TB). Prinsip pengobatan TB
adalah menggunakan multidrugs regimen. Hal ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya resistensi basil TB terhadap obat. OAT dibagi
dalam dua golongan besar, yaitu obat lini pertama dan obat lini kedua
(PDPI, 2006). Obat lini pertama (utama) adalah isonoazid (H),
etambutol (E), pirazinamid (Z), rifampisin (R), sedangkan yang
termasuk obat lini kedua adalah etionamide, sikloserin, amikasin,
kanamisin kapreomisin, klofazimin dan lain-lain yang hanya dipakai
pada pasien HIV yang terinfeksi dan mengalami multidrug resistant
(MDR) (PDPI, 2014).
Tabel 1. Jenis dan dosis OAT (PDPI, 2014)

Ob
at

Dosis
(Mg/K

Dosis yg dianjurkan

DosisMa
ks (mg)

Dosis (mg) /
berat badan (kg)

20

g
BB/Ha
ri)
R
H

8-12
4-6

Harian (
mg/
kgBB / h
ari)
10
5

Intermitten (mg/Kg/B
B/kali)

20-30

25

35

750

15-20

15

30

750

15-18

15

15

10
10

Efek samping

< 40

4060

>60

300
150

450
300
100
0
100
0

600
450
150
0
150
0
100
0

600
300

1000

Sesu
ai BB

750

Kemungkina
n Penyebab

Minor

Tatalaksana
OAT diteruskan

Tidak nafsu makan, mual, sakit perut

Rifampisin

Nyeri sendi

Pyrazinamid

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki

INH

Warna kemerahan pada air seni

Rifampisin

Mayor
Gatal dan kemerahan pada
kulit

Semua jenis OAT

Tuli

Streptomisin

Gangguan keseimbangan
(vertigo dan nistagmus)
Ikterik / Hepatitis Imbas Obat
(penyebab lain disingkirkan)

Streptomisin
Sebagian besar OAT

Obat diminum
malam sebelum
tidur
Beri aspirin
/allopurinol
Beri vitamin B6
(piridoksin) 1 x
100 mg perhari
Beri penjelasan,
tidak perlu diberi
apa-apa
Hentikan obat
Beri antihistamin
dan dievaluasi
ketat
Streptomisin
dihentikan
Streptomisin
dihentikan
Hentikan semua
OAT sampai
ikterik
menghilang dan
boleh diberikan
hepatoprotektor

21

Muntah dan confusion


(suspected drug-induced preicteric hepatitis)
Gangguan penglihatan

Sebagian besar OAT

Hentikan semua
OAT dan lakukan
uji fungsi hati
Hentikan
etambutol
Fase lanjutanHentikan
rifampisin
4 bulan

Etambutol

Kelainan sistemik, termasuk Fase


Rifampisin
intensif
syok dan purpura
2 bulan
BB

Harian

Harian

3x/minggu

Harian

3x/minggu

RHZE
150/75/400/275

RHZ
150/75/400

RHZ
150/150/500

RH
150/75

RH
150/150

2
3
4
5

2
3
4
5

2
3
4
5

2
3
4
5

2
3
4
5

30- 33
38-54
55-70
>71

Tabel 2. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya (PDPI, 2014)

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:


1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan
yang benar dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi.

Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap (PDPI,


2014)

22

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan


rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif
atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus
yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru
ataupun fasiliti yang mampu menanganinya. Paduan obat anti TB menurut
program pemberantasan TB paru yang dipergunakan di Indonesia sesuai
dengan rekomendasi WHO ada tiga:
Kategori 1

: 2(HRZE)/4(HR)3

Kategori 2

: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Kategori Anak

: 2HRZ/4HR atau 2HRZA(S)/4-10HR

2.9. Evaluasi Pengobatan Tuberkulosis Paru


Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat (PDPI, 2014).
Evaluasi klinik
-

Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan

selanjutnya setiap 1 bulan.


Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat

serta ada tidaknya komplikasi penyakit.


Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisis.

23

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan &
evaluasi pemeriksaan mikroskopik harus selalu dilakukan yaitu:
-

Sebelum pengobatan dimulai


Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan: dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
-

Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan

kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)


Pada akhir pengobatan

Evaluasi efek samping secara klinik


-

Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal

dan darah lengkap


Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan
gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek

samping pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji

keseimbangan dan audiometri


Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat

24

efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk


memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
Evalusi keteraturan berobat
-

Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan


minum obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan
atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga

dan lingkungannya.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.

Evaluasi penderita yang telah sembuh


Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam
2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan.
Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik
BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto
toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
2.11. Resisten Ganda (Multi Drug Resistance/ MDR)
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya . Secara umum resistensi
terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi:
-

Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah

mendapat pengobatan TB
Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya

sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak


Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya.

25

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,


yaitu:
-

Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis


Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis
obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan
etambutol pada awal pengobatan, maupun karena di lingkungan
tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah

dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi


Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah
dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu

stop lagi, demikian seterusnya


Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat
ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil.
Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan
yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya

akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten


Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan

secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat


Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu
daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan (PDPI,
2014).

Tabel 4. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB (PDPI, 2014).

26

Dosis
harian

Aktiviti antibakteri

Rasio kadar puncak serum


terhadap MIC

Tingkatan

Obat

Aminoglikosid
a. Streptomisin
b. Kanamisin atau
amikasin
c. Kapreomisin

15 mg/kg

Thiomides
(Etionamid
protionamid)

10-20
mg/kg

Bakterisid

Pirazinamid

20-30
mg/kg

Bakterisid pada pH
asam

7.5-10

Ofloksasin

7.5-15
mg/kg

Bakterisid mingguan

2.5-5

Etambutol

15-20
mg/kg

Bakteriostatik

2-3

Sikloserin

10-20
mg/kg

Bakteriostatik

2-4

PAS asam

10-12 g

Bakteriostatik

100

Bakterisid
menghambat
organisme yang
multiplikasi aktif

20-30
5-7.5
10-15

4-8

2.10 Pengobatan Tuberkulosis pada Keadaan Khusus


A. TB MILIER
Rawat inap
27

Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH


Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis,
radiologi dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan
dapat diperpanjang
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
-

Tanda / gejala meningitis

Sesak napas

Tanda / gejala toksik

Demam tinggi

B. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)


Paduan obat : 2RHZE/4RH
-

Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan

pasien dan dapat diberikan kortikosteroid.


Hati-hati pemberian kortikosteorid pada TB dengan lesi luas dan DM
Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan.

C. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)


-

Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan regulasi baik/ gula darah

terkontrol
Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan : 2 RHZ(E-S)/ 7

RH
Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping
etambutol pada mata; sedangkan pasien DM sering mengalami

komplikasi kelainan pada mata.


Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi
efektiviti obat oral antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu

ditingkatkan.
Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk
mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan.

D. TB PARU DENGAN HIV / AIDS

28

- Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2


RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak

- Menurut WHO paduan obat dan lama pengobatan sama dengan TB


-

paru tanpa HIV / AIDS.


Jangan berikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang

hebat pada kulit.


Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin
Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV / AIDS (mis

INH, rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati


INH diberikan terus menerus seumur hidup.
Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi

E. TB PARU PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI


-

Obat antituberkulosis harus tetap diberikan kecuali streptomisin,

karena efek samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin


Pada pasien TB yang menyusui, OAT dan ASI tetap dapat diberikan,
walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetetapi

konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi


Pada perempuan usia produktif yang mendapat pengobatan TB
dengan rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi
hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan

efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.


Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan

F. TB PARU PADA GAGAL GINJAL


-

Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan kapreomisin


Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya
memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat

diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin


Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, ureum,

kreatinin)
Rujuk ke ahli Paru

G. TB PARU DENGAN KELAINAN HATI

29

Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati

sebelum pengobatan
Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH

atau 2 SHE/10 HE
Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik , sebaiknya OAT
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada
keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan

sampai hepatitis menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH


Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru

H. HEPATITIS IMBAS OBAT


-

Adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik


(drug induced hepatitis)
Penatalaksanaan :
Bila klinis (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) : OAT Stop
Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali : OAT stop
Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2 OAT Stop
SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali teruskan pengobatan, dengan
pengawasan

Paduan OAT yang dianjurkan :


-

Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)


Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan
laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT, SGPT), maka
tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300
mg). Selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat INH
dosis penuh , bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan
rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat

badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES


Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi.

I. TUBERKULOSIS PADA ORGAN LAIN


30

Paduan OAT untuk pengobatan tuberkulosis di berbagai organ tubuh


sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB
tulang, TB sendi dan TB kelenjar lama pengobatan OAT dapat
diberikan 9 12 bulan. Paduan OAT yang diberikan adalah : 2RHZE /

7-10 RH.
Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk menurunkan
kebutuhan intervensi operasi dan menurunkan kematian, pada
meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologis. Dosis yang
dianjurkan ialah 0,5 mg/kgBB/ hari selama 3-6 minggu (PDPI, 2014).

2.12. Komplikasi
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik
sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai
pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah (PDPI, 2014) :
-

Batuk darah

Pneumotoraks

Luluh paru

Gagal napas

Gagal jantung

Efusi pleura

DAFTAR PUSTAKA

31

Alsagaff Hood, Mukty Abdul. Bab 2 Infeksi: Tuberkulosis Paru. Dasardasar


Ilmu Penyakit Paru.Surabaya: Airlangga University Press, 2008. hal.73-109.
Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica
Aesculpalus, FKUI, Jakarta.
Corwin, EJ 2009, Buku saku patofisiologi, 3 edn, EGC, Jakarta.
Depkes RI., 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta
: Gerdunas TB. Edisi 2 hal. 5
Depkes RI., 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta
: Gerdunas TB. Edisi 2 hal. 4-6
Kartasasmita., Cissy B. Epidemiologi Tuberculosis. Bandung: UNPAD;2009
Kemenkes RI.2012. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kemenkes; 2012, hal. 1
Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kemenkes; 2014, hal. 15-16
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2014. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Indonesia.
Somantri, Irman. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta. Salemba Medika
World Healty Organization. Global tuberculosis report 2013: WHO.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/91355/1/9789241564656_eng.pdf.
diakses tanggal 15 Juli 2016

32

Anda mungkin juga menyukai