Anda di halaman 1dari 28

Survey Biodiversitas Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae,

Aphodiidae & Trogidae) dan Primata pada Agroekosistem Karet


Nurhariyanto, Juni 2008
Abstrak
Kumbang tinja dikenal sebagai indikator yang baik pada perubahan habitat dan lahan.
Bersama dengan primata, hewan ini membantu persebaran benih tanaman selain sebagai
pemakan tinja. Agroekosistem karet membentuk degradasi habitat yang kompleks mulai
dari kebun yang mengalami suksesi menjadi hutan, hingga kebun yang cenderung
monokultur. Pemilikan dan pengelolaan oleh masyarakat setempat menjadikan lahan
bervariasi dalam tutupan lahan. Survey satwa dilakukan pada desember 2007 di Muara
Bungo-Jambi dan pada 19 maret s/d 11 april 2008 di DAS Batang Toru-Sumatra Utara
untuk melakukan pendugaan biodiversitas satwa sehubungan dengan perbedaan tipe
tutupan lahan. pengambilan data survey dilakukan di kebun karet muda yang cenderung
monokultur, kebun karet tua (biasa diebut kebun campur), kebun terlantar dan hutan.
Selama survey diperoleh 2.712 individu kumbang tinja dari 120 perangkap tinja, masing
masing 630 individu di Muara Bungo dan 2.082 dari Batang Toru. Jenis primata yang
teramati ada 4 jenis dengan simpai (Presbytis melalophos) ditemukan dalam jumlah besar
di kebun campur. Kumbang ukuran kecil (>13) dan tipe tunellers mendominasi di hampir
setiap tutupan lahan, kecuali pada habitat yang lebih terbuka. Kebun campur dapat
memiliki nilai diversitas lebih tinggi dari hutan akibat kepadatan kumbang tinja yang
menurun dan adanya jenis kumbang yang lebih adaptif dikebun campur. Kebun muda
memiliki jumlah jenis rendah dengan jumlah individu yang rendah, membuat nilai
diversitasnya menjadi tinggi.

Pendahuluan
Agroekosistem karet campur, memiliki potensi yang baik sebagai penyangga
ekosistem hutan yang ada didekatnya. Vegetasi yang cukup lebat dan banyak
diantaranya adalah jenis pohon hutan membuat banyak jenis hewan mencari makan
dan beberapa diantaranya membuat sarang di agroekosistem ini. Berbeda di habitat
agroekosistem karet muda yang cenderung monokultur, dominasi satu jenis pohon
tertentu membuat ekspansi besar hewan tertentu yang berpotensi merusak dan
menjadi hama. Proses konversi lahan hutan yang dilakukan manusia menjadi lahan
perkebunan atau lahan pertanian membuat
hutan tropik yang merupakan hot spot
biodiversitas didunia mengalami gangguan.
Hal tersebut berdampak pada penurunan
biodiversitas satwa dan tumbuhan juga
kualitas lingkungan (penyakit, pencemaran
& pemanasan global), hasil dari
menurunnya kemampuan lahan dalam
menampung,
menyediakan
dan
menanggulangi potensi lingkungan yang
diterimanya. Degradasi unik dari habitat
hutan, agroekosistem karet campur yang
menyerupai hutan sekunder hingga
agroekosistem karet muda yang cenderung
monokultur
membuat potensi fauna yang
Gambar. 1. Morfologi kumbang tinja secara
umum (Australian Museum, 2003)
berperan pada fungsi ekologis didalamnya
juga berbeda.

-1-

Kumbang tinja (Coleoptera; Scarabaeidae) dan primata (kec. manusia) adalah


beberapa jenis satwa yang baik digunakan sebagai indikator pada degradasi habitat.
Kumbang jenis Sisyphus misalnya, menunjukkan peningkatan yang signifikan pada
daerah yang mengalami gangguan berat (Davis, 2000 & Nurhariyanto, 2005), sedang
untuk jenis primata tingkat gangguan dapat dilihat dari ada tidaknya jenis yang
sensitif seperti siamang (Hylobates syndactylus) atau peningkatan jenis yang sangat
toleran dan dapat berpotensi sebagai hama seperti simpai (Presbytis melalophos).
Keberadaan satwa ini juga penting melihat fungsinya dalam ekologi. Primata pada
ekosistem biologi memiliki peranan sebagai penyebar biji. Aktivitas memakan buah
yang dilakukan primata seringkali meninggalkan biji yang tidak tercerna atau sengaja
dibuang oleh primata tersebut jauh dari tempat tumbuhnya. Vulinec et.al (2006)
mengelompokkan primata sebagai penyebar benih primer dan kumbang tinja sebagai
penyebar biji sekunder di hutan AmazonBrazil. Aktivitas pembuatan bola tinja yang
kemudian diletakkan didalam tanah diketahui berperan dalam membantu proses
pertumbuhan benih tanaman yang disebarkan oleh primata, benih yang tidak ditanam
oleh kumbang tinja sering kali dirusak oleh tikus ataupun tupai setelah tinja primata
tersapu oleh hujan (Vulinec, 2000).
Aktivitas inventaris maupun penelitian diversitas kumbang tinja dan primata ini
diharapkan dapat membantu dalam mengetahui diversitas satwa di agroekosistem
karet, disamping itu untuk menilai kualitas habitat berdasarkan pada hutan yang
digunakan sebagai habitat standar dengan tingkat gangguan minimal. Jadi diharapkan
dari indikator yang ada dapat diberikan nilai tolak ukur untuk mengetahui baik
tidaknya habitat terdegradasi tersebut.
Hipotesis
1. Nilai Biodiversitas kumbang tinja meningkat di hutan dan kebun monokultur,
tapi menurun di kebun karet tua.
2. Kelimpahan kumbang tinja menurun dengan seiring dengan peningkatan
degradasi habitat.
3. Peningkatan biodiversitas dan populasi primata sejalan dengan biodiversitas
dan kelimpahan kumbang tinja.
4. Parameter fisik habitat barpengaruh terhadap biodiversitas, kelimpahan dan
distribusi kumbang tinja dan juga primata

Metodologi
Waktu dan lokasi survey
Kegiatan survey dilakukan pada desember 2007 di Muara Bungo-Jambi, dengan
menggunakan desa Lubuk Beringin, Tebing Tinggi dan Danau sebagai lokasi survey
primata dan sampling kumbang tinja. Lokasi ini dipilih karena memiliki variasi kebun
karet tradisional atau yang biasa disebut kebun karet tua dan kebun campur (untuk
selanjutnya disebut kebun campur / RAF) dengan tingkat gangguan berbeda,
meskipun struktur vegetasinya tidak nampak jauh berbeda. Tiap desa di kategorikan
dalam graden berdasarkan tipe penutupan lahannya (Tabel 2).
Kegiatan survey juga dilakukan di daerah DAS Batang Toru, Tapanuli UtaraSumatra Utara, dilaksanakan pada 19 maret s/d 11 april 2008. Lokasi pengambilan
data dilakukan di Desa Sibulan-Bulan (Hutajulu dan Bombongan) yang dipilih karena
memiliki kebun campur yang cukup baik juga kebun terlantar yang telah mengalami
suksesi hingga menyerupai hutan. Lokasi desa yang berada dekat dengan aliran sungai

-2-

Batang Toru membuat keberadaan desa bergantung pada hutan yang masih tersisa,
akibatnya mendorong masyarakat desa untuk menjaganya, terlihat dari kecenderungan
pada kebun campur dari pada sistem monokultur. Deskripsi tipe penutupan lahan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Deskripsi tipe habitat tempat pengambilan sampel.
Tipe Penutupan lahan
Hutan (H1 & H2)

Deskripsi
Habitat yang belum dimanfaatkan secara komersil kecuali dalam skala
kecil seperti gaharu (Aquilaria malaccensis) atau petai (Parkia speciosa)
dan belum pernah dibalak (Logging). Memiliki variasi yang kaya pada
jenis pohon dengan kanopi yang rapat

Kebun
terlantar
/Perlanduhan (KT1 &
KT2)

Kebun
Campur
/
kebun karet tua (KC1,
KC2, KKT, KKT1,
KKT2, KKT3)

Kebun karet
(KKM)

Merupakan kebun yang sebelumnya ditanami kemenyan (Styrax benzoin)


tetapi sudah lama ditinggalkan, sebagian kemenyan bahkan sudah
ditebang. Kebun sudah mengalami suksesi hingga menyerupai hutan
sekunder
Kebun yang didominasi oleh karet dengan tingkatan umur lebih dari 30 th.
Memiliki vegetasi 1:1 antara karet dengan non karet, banyak memiliki
semak dan pohon buah.
KC (1 & 2)
Berupa kebun karet dengan sistem tradisional yang memadukan
pohon karet produktif dengan tanaman hutan lain yang beberapa
diantaranya dimanfaatkan berupa buah-buahan. Lokasi kebun berada
di daerah DAS Batang Toru, Tapanuli Utara
KKT (1-3)
Juga berupa kebun karet campur, hanya saja lebih dikenal sebagai
kebun karet tua oleh masyarakat sekitar akibat usia karet yang
umumnya tua (lebih dari 30 s/d 90 th). Lokasi kebun ada di Muara
Bungo, Jambi.

muda
Kebun yang sebagian besar pohonnya adalah pohon karet produktif dengan
usia kurang dari 30 th. Memiliki vegetasi yang cenderung monokultur
dengan kanopi yang renggang.

Kebun Buah (KB)


Kebun yang ditanami tanaman buah ekonomis seperti durian (Durio
zibethinus), nangka (Artocarpus spp.), coklat maupun petai (Parkia
speciosa), bahkan sebagian diselingi dengan karet (Hevea brasiliensis).
Memiliki lantai yang bersih dari semak maupun tumbuhan pengganggu
lainnya kecuali rumput karena selalu dibersihkan, terutama saat musim
buah tiba
Tabel 2. Deskripsi tipe habitat tempat pengambilan sampel
a

Gradien I
(RAF + Forest)

Lokasi desa dengan komposisi kebun campur yang lebih dominan dan
masih memiliki hutan desa, lokasi sampling berupa kebun karet tua /
campur di desa Lubuk Beringin (KKT3)

Gradien II
(RAF + RAF)

Lokasi desa yang hanya didominasi oleh kebun campur dan tidak memiliki
hutan atau jarak desa relatif jauh dengan hutan disekitarnya, sampling
dilakukan di desa Tebing Tinggi, pada areal kebun karet tua / campur
yang belum dibuka (KKT1) dan yang sudah dibuka sebagian lahannya
(KKT2)

Gradien III
(Monokultur
RAF)

Lokasi desa dengan kebun karet muda yang cenderung monokultur dan
kebun karet tua / campur tanpa ada hutan didekatnya, berada di dusun
Danau dan sampling dilakukan di kebun karet muda (KKM) juga karet tua
/ campur (KKT)

-3-

Kumbang Tinja
Pengambilan sampel Kumbang tinja (Dung beetles) dilakukan dengan umpan
(bait) yang membuat kumbang tinja mendatanginya dan terperangkap. Umpan dengan
tinja manusia digunakan, sebab terbukti paling banyak mengundang jenis kumbang
tinja (Davis et.al, 2001; Pineda et.al, 2005 dan Shahabuddin et.al, 2005) dibandingkan
dengan tinja herbivore seperti kerbau atau sapi (Cambefort, 1991). Umpan tinja
dipasang pada sumuran (pit fall) yang sudah diberi larutan pembunuh dari larutan
detergen dan garam, kemudian diletakkan pada lokasi yang mewakili tipe habitat atau
tutupan lahan (Tabel 1) dengan jumlah umpan 10 untuk tiap plot habitat. Perangkap
tinja (dung trap) dipasang berdasarkan transek sejauh 1km dengan jarak tiap
perangkap maksimum 100 meter (ini berdasarkan kapasitas maksimum dung beetle
untuk membaui umpan) dan lama pemasangan 24 jam (Gambar 1). Perangkap
dipasang di lokasi yang cukup aman dari gangguan hewan ataupun hujan. Jika cukup
banyak hujan, maka dapat digunakan penutup dari logam/plastik berjarak 20-30 cm
dari perangkap (Gambar 2). Umpan sumuran dapat dibuat dengan kaleng plastik
(Plastic can) ataupun dengan mangkok, pada penelitian ini digunakan mangkok
kuning ukuran 750 ml.
Cara kerja
Menentukan lokasi pengambilan spesimen, ditentukan berdasarkan kriteria tipe
habitat atau tipe penutupan lahan berupa transek sepanjang 1 km dan menentukan
lokasi perangkap tinja (Dung trap). Alat yang dibutuhkan dalam kegiatan ini
adalah GPS (Global Positioning Satelite), plastik penanda (tagging) dan kompas.
Mempersiapkan umpan tinja. Umpan sekitar 10gr diletakkan pada kain kasa yang
kemudian diikatkan pada tali rafia dan dibuat sebanyak yang dibutuhkan (untuk 1
km dibutuhkan 10 umpan), sebaiknya umpan didiamkan agar terfermentasi 1-2
hari sebelum dipasang (Jika tidak memungkinkan dapat umpan dapat diganti
dengan tinja sapi ataupun kerbau, tapi untuk pendugaan biodiversitas lebih efektif
menggunakan tinja manusia). Alat yang dibutuhkan adalah umpan, kain kasa,
gunting, tali rafia, plastik pembungkus, sarung tangan dan tongkat.

Gambar 1. Transek pada penelitian kumbang tinja, primata mamalia kecil kelelawar dan vegetasi
transek 2km dapat dilakukan jika kondisi lokasi dan waktu memungkinkan (Tumbuhan)

Memasang perangkap tinja pada tempat yang telah ditentukan. Dalam kegiatan ini
waktu pemasangan, kondisi lingkungan (cerah, hujan, berangin) perlu dicatat dan
lebih lengkap lagi jika dilakukan pengukuran parameter fisik tempat pemasangan
perangkap seperti suhu udara dan suhu tanah, pH tanah, ketinggian, curah hujan
(jika ada) dan kelembapan. Untuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh 2 orang (1
peneliti serangga & 1 asisten), tapi jika melakukan pengukuran parameter fisik
lingkungan diperlukan setidaknya 3 orang (1 orang khusus melakukan pengukuran

-4-

parameter fisik). Alat yang dibutuhkan: larutan pembunuh (deterjen cair dan
garam), mangkok kuning 750 ml atau kaleng kecil diameter 13cm dan tinggi
20cm, golok dan bila perlu sekop tanah dan cangkul kecil.
Membiarkan perangkap selama 24 jam, selama pemasangan dan pengambilan
perangkap di perhatikan keberadaan satwa lain yang ditemui dilokasi khususnya
mamalia.
Mengambil perangkap sesuai dengan waktu pemasangannya. Alat yang
dibutuhkan plastik transparan kg, tali pengikat dan kantong plastik.
Melakukan pengawetan spesimen di lokasi kamp. Dilakukan untuk membersihkan
spesimen dari pengotor yang mungkin masuk dari tanah ataupun daun dan dari
serangga yang tidak diinginkan (bukan kumbang tinja). Jika sulit untuk dilakukan
identifikasi spesimen dapat langsung diawetkan dalam alkohol 70-96% tanpa
dipilah dulu serangganya (beberapa serangga cepat membusuk hanya dalam 1
hari). Semua spesimen dari 1 perangkap tinja diawetkan dalam satu botol atau
lebih dan diberi label berdasarkan lokasi, dan jika memungkinkan dicantumkan
tanggal, ketinggian dan metode sampling. Alat dan bahan yang dibutuhkan botol
spesimen (botol plastik 90cc), label, lakban, botol semprot, saringan teh besar,
pinset, petridish (cawan petri) dan alkohol 70-96%.
Jika seluruh kegiatan pengambilan sampel selesei untuk seluruh tipe habitat atau
penutupan lahan semua spesimen dapat langsung dipreparasi dan di identifikasi.
kegiatan ini umumnya hanya dapat dilakukan di laboratorium. Untuk
penyimpanan spesimen basah (dalam alkohol 70%) tidak perlu dipreparasi lebih
lanjut, kecuali jika ingin di buat spesimen kering. Penyimpanan sebaiknya
dilakukan diruangan yang terjaga suhunya dan terhindar dari pengganggu.
b
a

Gambar 2 & 3. Perangkap tinja dan cara penutupannya dengan plastic transparan (kiri) atau
dengan logam / plastic bekas (kanan), ket: a. lempengan logam/plastic; b. kayu penyangga;
c. wadah penampung; d. umpan.

Identifikasi jenis
Untuk melakukan identifikasi serangga lain dan kumbang tinja dapat digunakan
panduan dari Borror et.al,1992; White, 1983 dan Lawrence & Britton, 1994, tapi
untuk identifikasi lebih lanjut dapat digunakan Ochi et.al, 1996; Ochi et.al, 1998 dan
Ochi & Kon, 1996. jika identifikasi jenis sukar dilakukan karena terbatasnya panduan
dapat dilakukan dengan morfospesies (menentukan jenis yg sama atau tidak dari
morfologinya)
Diurnal primata
Pemilihan jenis diurnal primata berdasarkan kemudahannya untuk ditemukan.
Jenis dan populasi primata dihitung dengan survei pada areal transek 1 km di tiap tipe
-5-

penutupan lahan (Gambar 1). Jumlah jenis dan populasi dihitung menggunakan
binokuler dan hand counter. Populasi jenis per transect dihitung secara total yang
ditemukan per satu kali ulangan/observasi. Untuk 1 transect setidaknya dilakukan 3
kali pengulangan (makin banyak lebih baik). Pengamatan dilakukan selama 3-4 hari
per transect. Identifikasi jenis dibantu dengan buku panduan primata (Supriatna, ).
Untuk 1 tim, dibutuhkan 1 ahli primata dan 1 asisten yang mengerti kondisi lapangan,
tapi akan lebih baik jika dilakukan oleh 2 tim pada 1 lokasi transect. Hujan terkadang
menjadi kendala dalam pengamatan, primata cenderung berlindung pada saat hujan
sehingga sukar untuk terlihat. Penemuan sarang juga didokumentasikan jika
ditemukan, misalnya untuk pengamatan orang utan (Pongo abelli.).
Cara kerja
Menentukan lokasi survey berdasarkan kriteria tipe habitat atau tipe penutupan
lahan, dan sebaiknya mencari lokasi yang memudahkan untuk pengamatan
primata seperti di punggungan bukit, tanah yang relatif datar atau yang banyak
ditemukan pohon buahnya. Alat yang dibutuhkan dalam kegiatan ini adalah GPS
(Global Positioning Satelite), plastik penanda (tagging) dan kompas.
Melakukan survey dengan berjalan lambat sepanjang transek dari mulai pagi
hingga petang, lebih baik jika dimulai pukul 06:00 hingga 18:00 jika kondisi
memungkinkan. Jika dilakukan oleh 2 tim, maka tim pertama berangkat dan
diikuti tim selanjutnya 1 s/d 2 jam berikutnya. Hal yang perlu dicatat: jenis
primata, populasi primata, komposisi primata (jantan, betina, dewasa, remaja &
bayi; jika memungkinkan) waktu keberangkatan survey, waktu saat melihat
primata dan setelah survey selesei, kondisi lingkungan (hujan, cerah, kabut dll)
dan jika mungkin keberadaan pohon buah juga kondisi fisik lingkungan. Alat yang
dibutuhkan; binokuler, handcounter & buku panduan
Mengulangi kegiatan survey hingga 3-4 hari atau lebih jika cuaca buruk
Melakukan rekap data jika dilakukan oleh 2 tim untuk dilakukan perhitungan
Dari data dilihat jenis primata dan kepadatannya pada tipe habitat atau tutupan
lahan, untuk kepadatan dihitung berdasarkan jumlah primata dan lamanya waktu
pengamatan (karena untuk tiap habitat disurvey pada jarak transect yang sama dan
kegiatan survey untuk mengetahui primata berdasarkan perbedaan habitat atau
tutupan lahan)
Identifikasi jenis
Dapat digunakan panduan dari CI atau terbitan lain yang cukup mendukung untuk
kegiatan lapangan.
Analisa data
Kumbang tinja
Kumbang tinja yang diperoleh dihitung menggunakan indeks pendugaan
keragaman (Richnes) seperti Shannon (H) dan Simpson ( ). Indeks Shannon mudah
digunakan dan menjadi indeks yang paling banyak digunakan pada penelitian ekologi.
Indeks dominansi Simpson ( ), keseragaman Shannon (Shannon Evenness, E) dan
analisis multivarian menggunakan analisis pengelompokan (Cluster Analysis) yang
digunakan untuk menjelaskan tingkat kedekatan jenis kumbang tinja dan
pengelompokannya terhadap tipe penutupan lahan dan distribusi. Program statistik
Minitab-14 digunakan pada perhitungan multivarian ini.

-6-

Primata
Jumlah jenis dan populasi primata diukur dengan perhitungan biasa pada
pengukuran kepadatan. Data primata yang diperoleh digunakan untuk menduga
distribusi kumbang tinja.

Hasil
Jumlah individu dan jenis kumbang tinja
Selama kegiatan survey diperoleh 2.712 individu kumbang tinja yang diperoleh
dari total 120 perangkap tinja, diantaranya 630 individu diperoleh dari Muara Bungo
(50 dung trap) dengan 30 jenis (morphospecies) yang terbagi atas 3 sub famili dan 9
marga (genera/genus), dengan jenis Sisyphus sp.1(27,5%) dan Onthophagus sp.7
(20,5%) memiliki jumlah individu terbesar. Lokasi survey Batang Toru memiliki
jumlah individu kumbang tinja yang lebih besar (2.082 dari 70 dung trap), terbagi atas
4 sub famili dan 11 marga dengan jumlah jenis 34. Jenis Aphodius sp.1(20,8%) dan
Paragymnopleurus sp.1 (10,9%) menjadi kumbang tinja paling mendominasi dilokasi
sampling Batang Toru di desa Sibulan-Bulan (Gambar 4).

Gambar 4. Jenis kumbang tinja yang mendominasi di lokasi survey Batang Toru,
A. Paragymnopleurus sp.1(23-25mm); B. Aphodius sp.1 (1,5mm). & lokasi
survey Muara Bungo, C. Onthophagus sp.7 (9mm); D. Sisyphus sp.1 (5-7mm)
(Photo by Nur).

Lokasi kebun campur Tebing Tinggi 1 (KKT1) memiliki jumlah individu


kumbang tinja terbesar (19 jenis; 209 individu) dilokasi survey Muara Bungo, tetapi
dengan jumlah jenis yang sama dengan kebun campur Lubuk Beringin (KKT3: 177
individu). Jumlah jenis dan spesimen koleksi terendah berada di kebun campur dusun
Danau (KKT: 11 jenis; 36 individu), lebih rendah dari koleksi yang diperoleh di
kebun karet muda (KKM: 15 jenis; 38 individu) walaupun memiliki kekayaan jenis
tumbuhan lebih rendah dengan kanopi yang renggang. Berbeda dengan jumlah jenis
primata yang menunjukkan bahwa kebun campur dusun Danau (3 jenis; n/t: 0,052)
lebih banyak dari kebun karet muda (1 jenis; n/t: 0,023). Intensitas pertemuan dengan
primata tertinggi terjadi di kebun campur Tebing Tinggi 1 (KKT1: 2 jenis; n/t: 0,084)
(Tabel 3).
Keberadaan kumbang tinja tergantung pada ketersediaan tinja hewan besar dan
variasi jenis dan ukuran kumbang tergantung pada variasi hewan besar maupun kecil
yang menyediakan nutrisi bagi kumbang tinja (Hanski & Cambefort, 1991). Jadi
lokasi KKT1 memiliki jumlah populasi hewan yang paling besar, walaupun dari sisi
-7-

jenis tidak berbeda jauh dari KKT3. Jumlah primata yang besar dari jenis Presbytis
melalophos diduga menyebabkan peningkatan kumbang tinja disamping jenis
Hylobates agilis yang sering beraktivitas makan dan bermain dilokasi kebun ini.
Pohon karet (Hevea basiliensis) sering dimakan buah dan daunnya oleh simpai
(Presbytis melalophos) akibatnya menjadi hama di kebun monokultur, sedangkan
adanya pohon besar dan buah memugkinkan bagi ungko (Hyobates agilis) untuk dapat
hidup di kebun campur.
Disamping keberadaan hewan besar, kondisi fisik lingkungan seperti ekologi
tanah dan air diduga turut berperan pada kumbang tinja. Ini karena serangga ini
bersarang dan berkembang biak didalam tanah, kecuali kumbang tinja dwellers dan
beberapa jenis Sisyphus. Aktivitas pendulangan emas oleh masyarakat dilokasi kebun
KKT diduga meyebabkan menurunkan jumlah jenis dan populasi kumbang tinja
walaupun dari jumlah dan jenis primata tidak jauh berbeda dengan KKT3. Faktor
penyebab yang lain kemungkinan berasal dari lokasi kebun yang diantaranya adalah
rawa.
Tabel 3. Parameter diversitas pada lokasi survey Muara Bungo
KKM
KKT
Kumbang tinja
Jumlah jenis (s)
15
11
Total spesimen koleksi (n)
38
36
Indeks diversitas
Indeks Shannon (H)
2,272
2,072
Evennes / keseragaman (E)
0,839
0,864
Indeks Dominansi
Dominansi Simpson ( )
0,137
0,144
Primata
Jumlah jenis (s)
1
3
Individu /waktu pengamatan (n/t)
0.023
0.052

KKT1

KKT2

KKT3

19
209

14
170

19
177

1,905
0,647

1,797
0,681

2,061
0,700

0,242

0,258

0,195

2
0.084

1
0.055

2
0.055

Kebun campur di lokasi survey Batang Toru secara keseluruhan memiliki jumlah
jenis kumbang tinja lebih besar dari tipe penutupan lahan lain, bahkan lebih besar dari
hutan. Dengan jumlah mencapai 31 jenis, menjadikan kebun campur 2 (KC2)
memiliki jumlah jenis terbesar, diikuti oleh kebun campur 1 (KC1: 26 jenis) dan
terakhir kebun buah (KB: 15 jenis; 75 individu) yang juga memiliki jumlah individu
koleksi terkecil. Tipe penutupan lahan hutan berbeda dari kebun karena memiliki
jumlah individu yang besar, tetapi dengan jumlah primata teramati yang kecil, hanya
jenis Hylobates agilis ditemukan di hutan walaupun ditemukan lebih banyak sarang
mawas (Pongo abelli) (Tabel 4).
Peningkatan pemanfaatan lahan menurunkan kepadatan kumbang tinja
(Shahabuddin et.al, 2005 & Nurhariyanto, 2007), tetapi pada lokasi survey Batang
Toru menunjukkan kebun terlantar yang memiliki ciri tutupan lahan seperti hutan
memiliki kepadatan kumbang tinja lebih rendah dari kebun campur. Kondisi ini
kemungkinan dapat disebabkan oleh lokasi yang masih relatif dekat dan saling
terhubung satu dengan lainnya. Berbeda dengan lokasi survey Muara Bungo dimana
hutan lebih dekat pada kebun muda dibanding kebun tua atau campur. Pohon karet
(Hevea brasiliensis) yang ditanami oleh warga, berbagai macam pohon buah dan
pohon hutan yang ada di kebun karet campur membuat kebun menjadi lebih kaya dari
kebun terlantar dan hutan. Kondisi tersebut memungkinkan bagi satwa seperti
simpai/cak-cak (Presbytis melalophos), kera (Macaca fascicularis), beruk (Macaca
nemestrina), ungko (Hylobates agilis) bahkan mawas (Pongo abelli) untuk tinggal di

-8-

kebun campur. Bahkan dari semua jenis primata yang ditemui semuanya lebih banyak
ditemukan di kebun campur dibandingkan dengan tipe penutupan lahan lain, kecuali
mawas (Pongo abelli) yang dari jejak sarang lebih banyak ditemukan di hutan. Jadi
ketersediaan sumber pakan di kebun campur mengundang satwa untuk pergi menuju
kebun campur bahkan tinggal dan berkembang biak, beberapa diantaranya adalah
mammalia besar seperti mawas (Pongo abelli) dan jenis primata lainnya.
Tabel 4. Parameter diversitas pada lokasi survey Batang Toru
KB
KC1
KC2
Kumbang tinja
Jumlah jenis (s)
15
26
31
Total spesimen koleksi (n)
75
304
310
Indeks diversitas
Indeks Shannon (H)
2.196 2.431 2.995
Evennes / keseragaman (E)
0.811 0.746 0.872
Indeks Dominansi
Dominansi Simpson ( )
0.146 0.164 0.059
Primata
Jumlah jenis (s)
2
4
4
Individu /waktu pengamatan (n/t)
0.307 0.083 0.045
Sarang mawas (Pongo abelli)
0
1
1

KT1

KT2

H1

H2

24
165

23
162

21
463

25
603

2.706
0.851

2.648
0.845

2.535
0.833

2.557
0.794

0.085

0.094

0.111

0.125

4
0.005
1

1
0.006
0

1
0.004
6

1
0.004
5

Berdasarkan jumlah individu kumbang tinja tipe penutupan lahan hutan lebih
tinggi dari kebun, menunjukkan hutan dihuni oleh lebih banyak populasi hewan
walaupun tidak diikuti oleh penambahan jumlah jenisnya. Berbeda dengan kebun
campur dan kebun terlantar yang diisi oleh hewan dengan variasi jenis lebih kaya
walaupun dengan jumlah yang sedikit, termasuk didalamnya hewan peliharaan
masyarakat seperti kambing, ayam (Galus galus), anjing (Canis sp.), kucing (Felix
sp.) dan lain-lain. Kebun buah memiliki jumlah individu kumbang terendah karena
tipe vegetasi yang cenderung terbuka dengan kanopi yang renggang. Pohon kecil dan
semak dibersihkan masyarakat agar tidak mengganggu pertumbuhan pohon buah.
Vegetasi yang renggang dan tidak adanya semak diduga membuat hewan cenderung
menyingkir, karena kurang mendapat perlindungan dari semak yang membantu dalam
penyamaran dan dalam pembuatan sarang. Akivitas masyarakat yang lebih intensif
dan jarak yang lebih dekat dengan desa juga adanya hewan seperti anjing yang
menjaga kebun diduga membuat hewan besar menyingkir, akibatnya jumlah individu
kumbang tinja yang diperoleh kecil. Berbeda dengan kebun terlantar yang jarang
ditemukan pohon buah, akibatnya hewan cenderung mencari makan di kebun campur,
walaupun beberapa diantaranya membuat sarang di kebun terlantar.
Alpha dan beta diversity
Karet muda dusun Danau (KKM: H=2,272; E=0,839) memiliki tingkat diversitas
tertinggi di kebun Muara Bungo, diikuti oleh kebun campur dusun Danau (KKT:
H=2,072; E=0,864) dan terakhir kebun campur Tebing Tinggi 2 (KKT2: H=1,797;
E=0,681). Akibat dari nilai dominansi yang besar menjadikan kebun campur di lokasi
Tebing Tinggi memiliki keragaman dan diversitas rendah (KKT2: =0,258 dan
KKT1: =0,242). Keseragaman (Evenness) selalu bertolak belakang dengan
dominansi dan seiring dengan keragaman (Richness) dan nilai diversitas ditentukan
oleh tinggi rendahnya nilai keseragaman (Evenness) dan keragaman (Richness)
(Magurran, 1988 & Vardermeer, 1981) (Grafik 1).

-9-

Jumlah jenis (S), banyak individu diperoleh (N) dan adanya dominasi individu
sangat menentukan besar tidaknya biodiversitas satwa. Hal ini dapat ditunjukkan dari
nilai keragaman (Richness) dan keseragaman (Evenness). Beberapa penulis
menyebutkan nilai diversitas dapat ditunjukkan dengan menggunakan satu indeks saja
yaitu dengan menggunakan heterogenity indeks. Indeks Shannon-Weiner dan indeks
Simpson termasuk dalam kategori heterogenity indeks (Krebs, 1999). Vardermeer
(1981) menunjukkan pada tingkat keseragaman berbeda indeks Shannon
menunjukkan nilai yang juga berbeda, walaupun dengan jumla individu dan jenis
yang sama.
Lokasi kebun karet muda memiliki diversitas tertinggi akibat dari jumlah individu
yang sedikit dan jumlah jenis yang melebihi lokasi KKT2. kecilnya nilai dominansi
menjadikan nilai diversitasnya makin tinggi melebihi kebun Lubuk Beringin(KKT3)
yang masih dekat dengan hutan. Begitupula dengan kebun campur Danau (KKT),
walaupun dengan jumlah jenis terkecil tapi dengan sedikitnya jumlah individu dan
nilai keseragaman (Evenness) yang besar, membuat nilai diversitasnya tinggi. Kebun
karet campur memiliki jumlah jenis jauh lebih besar, tapi penambahan jenisnya tidak
signifikan (maksimal hanya 4 jenis) sehingga indeks keragaman (Richness) dan
keseragamannya (Evenness) lebih rendah yang berakibat pada nilai diversitasnya pula.
Jadi besarnya nilai diversitas tidak menurun seiring dengan peningkatan pemanfaatan
di lokasi survey Muara Bungo (Tabel 3).
KKT3
Shannon (H')

KKT2

Simpson ( )

KKT1

Shannon
eveness (E)

KKT

KKM

0,000

0,500

1,000

1,500

2,000

2,500

Grafik 1. Nilai biodiversitas lokasi survey Muara Bungo, kebun muda


(KKM) memiliki diversitas tertinggi diandingkan kebun campur
(dilihat dari indeks keragaman dan keseragaman Shannon).

Pada lokasi survey Batang Toru, jumlah jenis yang tinggi melebihi kebun lain
dan bahkan hutan pada tipe penutupan lahan kebun campur 2 (KC2) membuatnya
memiliki diversitas tertinggi (H=2,995; E=0,872) diikuti oleh kebun terlantar 1 (KT1:
H=2,706; E=0,851), sedangkan kebun buah (KB: H=2,196; E=0,811) tercatat
sebagai lokasi dengan diversitas terrendah. Berbeda dengan lokasi Muara Bungo,
penambahan jumlah individu diikuti dengan penambahan jenis, akibatnya nilai
diversitas kebun buah (KB) paling rendah, walaupun memiliki jumlah individu kecil.
Lokasi tipe penutupan hutan dengan jumlah individu lebih besar tapi dengan jenis
yang lebih rendah dari kebun campur membuat diversitasnya lebih rendah (H1:
H=2,535; E=0,833 & H2: H=2,557; E=0,794). Dominansi terbesar ada di kebun
campur 1 (KC1: =0,164) dan kebun buah (KB: =0,146), hal ini membuat diversitas
KC1 lebih rendah dari hutan meskipun dengan jumlah jenis yang lebih tinggi dan
jumlah individu yang lebih rendah. Sebaliknya kebun terlantar memiliki diversitas
- 10 -

lebih tinggi karena dominansinya yang kecil, walaupun jumlah jenisnya lebih rendah
(Grafik 2, data lengkap pada Tabel 4)
Jadi kebun campur dapat lebih tinggi tingkat diversitas dan jumlah jenisnya tapi
tidak dalam jumlah individu. Keberadaan pohon buah diduga berpengaruh penting
pada peningkatan diversitas kumbang tinja di kebun campur, karena mengundang
satwa untuk datang, contohnya dari jenis primata yang lebih banyak dan sering
ditemui di kebun campur. Tetapi adanya gangguan lain seperti penduduk dan
pembersihan kebun diduga juga membuat diversitas kebun buah menadi rendah,
disamping faktor vegetasi yang cenderung terbuka dengan lantai yang bersih dari
semak dan pohon kecil.
H2
H1
KT2

Shannon
eveness (E)

KT1

Simpson ( )

KC2
Shannon (H')

KC1
KB
0,000

1,000

2,000

3,000

4,000

Grafik 2. Nilai biodiversitas lokasi survey Batang Toru, diversitas


ditunjukkan dari nilai keragaman (Shannon) dan keseragaman (Evenness),
kebun campur 2 (KC2) memiliki nilai diversitas tertinggi dan terendah di
kebun buah (KB).

Ukuran kumbang tinja


Ukuran kumbang tinja menentukan besar kecilnya tinja yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisinya. Kumbang tinja ukuran besar membutuhkan tinja
juga dalam ukuran besar untuk hidup dan berkembang biak, karenanya kumbang ini
ditemukan jika terdapat hewan besar. Sebagai contoh jenis Catharsius sp.1 (Gambar
6) dan Paragymnopleurus sp.1 (Gambar 4A) yang memiliki ukuran lebih dari 20mm,
mudah ditemukan jika terdapat kerbau atau sapi. Demikian pula pada kumbang tinja
ukuran kecil, walaupun dapat memungkinkan pada tinja ukuran besar cenderung
menurun jika banyak terdapat kumbang besar. Kumbang tinja kecil, khususnya tipe
dwellers (membuat sarang pada tinja) meningkat pada lokasi yang terdapat hewan
besar dalam kondisi hujan, jika hujan menurun jenis ini akan tersaingi oleh kumbang
besar dan jumlahnya menurun (Hanski & Cambefort, 1991 dan Nurhariyanto, 2007).
Berdasarkan ukuran kumbang tinja diperoleh bahwa kumbang tinja ukuran besar
(>20) dan sedang (13 s/d 20mm) banyak diperoleh di KKT3 dan KKM. Kumbang
tinja ukuran kecil (<13mm) meningkat di KKT1 dan KKT2 dan kembali turun di
KKT3. Dominasi kumbang besar dan sedang dikebun muda menunjukkan hewan
besar masih dapat bertahan disana, diduga dari jenis babi (Sus sp.) yang terlihat jelas
dari jejaknya ataupun hewan ternak warga seperti sapi, kambing ataupun kerbau yang
dibiarkan bebas, tetapi dalam jumlah yang kecil. Jenis primata seperti simpai
(Prebytis melalophos) juga terlihat di lokasi, disamping kera (Macaca fascicularis)

- 11 -

dan beruk (Macaca nemestrina) yang kadang melintasi lokasi kebun muda. Kondisi
lokasi yang terbuka dan cenderung bebas dari semak memudahkan kumbang besar
untuk cepat menemukan tinja, akibatnya jumlah kumbang kecil rendah (Grafik 3).
Berbeda pada kebun campur, disetiap lokasi sampling jenis kumbang tinja kecil
mendominasi. Adanya semak dan pohon kecil membantu menghalangi dominansi
kumbang besar untuk memperoleh tinja, sementara itu karena ukurannya kumbang
tinja kecil mudah untuk menyelinap diantara semak dan memperoleh tinja. Banyak
tidaknya semak diduga berpengaruh pada kehadiran mammalia kecil dan burung
tertentu, dan kumbang tinja kecil siring kali cukup toleran pada jenis tinja tersebut,
contohnya jenis Sisyhus yang sangat toleran pada jenis tinja hingga pada tinja kucing
besar dan reptil yang tidak disukai sebagian besar kumbang tinja (Cambefort, 1991).

KKT 3

KKT 1
Small
KKT 2

Medium

KKT

Large

KKM
0

50

100

150

200

Grafik 3. Ukuran kumbang tinja, kecil (small) <13mm; sedang


(medium) 13 s/d 20mm; besar (large) >20mm. Kumbang tinja
kecil mendominasi di kebun campur (KKT-KKT3) tapi tidak di
kebun muda (KKM).

H2
H1

KT 2

Small

KT 1

Medium

KC2

Large

KC1
KB
0

50

100

150

200

250

300

350

Grafik 4. Ukuran kumbang tinja dilokasi survey Batang Toru, menunjukkan


dominasi kumbang ukuran kecil di setiap lokasi dan meurun saat kumbang
ukuran besar meningkat.

- 12 -

Pada lokasi survey Batang Toru ukuran kumbang tinja kecil (<13mm) dan sedang
(13 s/d 20mm) meningkat pesat di kebun campur (KC1 & KC2) juga hutan.
Sedangkan kumbang tinja ukuran besar (>20) menunjukkan peningkatan di kebun
terlantar hingga hutan. Jumlah terkecil dari seluruh ukuran kumbang tinja terdapat di
kebun buah (KB). Kumbang tinja ukuran kecil mendominasi jumlah diseluruh tipe
penutupan lahan, sekalipun di kebun buah yang cenderung monokultur seperti pada
kebun karet muda di Muara Bungo (Grafik 4). Kebun buah pada lokasi Batang Toru
memiliki vegetasi yang terdiri dari tanaman buah seperti durian, jambu air, nangka,
kemiri dan coklat yang ditanam bersamaan dengan karet. Untuk kebun coklat ditanam
pada kebun tertentu yang seringkali dijaga oleh anjing atau bahkan oleh manusia. Hal
ini dilakukan karena buah coklat sering dirusak oleh primata yaitu simpai (Prebytis
melalophos), kera (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) yang kadang
datang dalam kelompok besar, masyarakat sekitar juga memasang perangkap untuk
primata ini di sekitar kebun coklat.

Gambar 6. Jenis Catharsius sp.1, mendominasi di kebun karet


muda (KKM), memiliki ukuran yang besar; dari kiri jantan dan
kanan betina

Gambar 7. Jenis Onthophagus sp.3 (G) berukuran kecil (8mm)


ditemukan meningkat di kebun buah saat kumbang kecil lain
banyak tidak ditemukan, hanya 1 individu ditemukan di hutan
sementara dikebun terlantar tidak ada

Berbeda dari kebun karet muda (KKM) kebun buah relatif lebih dekat dengan
kebun campur dan juga kebun terlantar. Karena itu kumbang tinja kecil masih dapat
mendominasi di kebun buah. Kumbang tinja jenis Onthophagus sp.3 (Gambar 7)
ditemukan dalam jumlah banyak disamping kumbang besar Catharsius sp.1 (Gambar
6), mungkin karena kumbang ini tidak mampu berkompetisi dengan kumbang yang
ada di hutan maupun kebun terlantar dan hanya ditemukan di kebun campur dan
paling besar di kebun buah. Pada lokasi kebun campur memiliki nilai diversitas yang
dekat dengan hutan bahkan lebih tinggi (KC2), jumlah kumbang ukuran besar yang
kecil memberikan ruang bagi kumbang ukuran kecil maupun sedang untuk hidup.
Vegetasi kebun campur yang kaya akan semak rendah dan pohon kecil di lantai
bawah kebun membuat kumbang kecil lebih adaptif, dan umumnya komunitas
kumbang tinja ini terdiri atas banyak jenis. Berbeda jika komunitas kumbang tinja
disusun oleh kumbang ukuran besar, cenderung lebih miskin jenis dan diversitasnya
rendah (Hanski, 1991).
Tipe penutupan lahan kebun campur dan hutan memperlihatkan peningkatan
jumlah kumbang tinja besar, akibatnya kumbang tinja kecil menurun. Kumbang tinja

- 13 -

ukuran sedang lebih adaptif di kedua tipe tutupan lahan, ukurannya yang kurang dari
20mm masih memungkinkan baginya untuk bersaing dengan kumbang kecil di kebun
campur dan dengan kumbang besar di kebun terlantar dan hutan. Peningkatan jumlah
kumbang kecil di hutan dapat mengindikasikan adanya hewan besar dalam jumlah
banyak, mengingat jumlah kumbang kecil terbesar dari kedua hutan adalah dari jenis
Aphodius sp.1, yaitu kumbang tinja tipe dwellers yang membuat sarang didalam tinja
(Gambar 4B).
Tipe kumbang tinja
Kelompok kumbang tinja dibagi atas tiga tipe berdasarkan perilaku pembuatan
sarangnya yaitu, tunellers, rollers dan dwellers. Kumbang tipe tunellers (Gambar 4C,
6 & 7) adalah pembuat sarang yang menyimpan tinja didalam tanah dibawah
tumpukan tinja tempat kumbang mengambilnya. Kadang kumbang tinja ini sedikit
mendorong tinja menjauh dari tempat tinja dijatuhkan, umumnya kumbang ini
melakukan karena tanah yang terlalu keras akibat pengerasan oleh manusia dari
semen ataupun beton. Kumbang tipe rollers (Gambar 4A & 4D) adalah kumbang
yang membuat bola tinja dan membawa tinja menjauhi tempat jatuhnya, jenis ini
umum ditemukan di padang rumput yang lebih terbuka dan banyak terdapat hewan
besar. Untuk kumbang dwellers (Gambar 4B) adalah kumbang kecil yang membuat
sarang didalam tumpukan tinja. Jenis kumbang ini meningkat di lokasi yang banyak
hewan besar dan cenderung menurun saat banyak ditemukan kumbang besar (Hanski
& Cambefort, 1991 dan Nurhariyanto, 2007).

KKT 3

KKT 1
Dwellers
KKT 2
T unellers
KKT

Rollers

KKM

50

100

150

Grafik 5. Persebaran kumbang tinja pada lokasi Muara Bungo


berdasarkan tipe pembuatan sarangnya, dari grafik kumbang tipe
tunellers sangat dominan disetiap lokasi kebun kecuali kebun
campur Danau (KKT)

Hutan di wilayah tropis seperti Sumatra kaya akan vegetasi, mulai dari lapisan
lantai hutan hingga lapisan atas kanopi yang dapat mencapai seratus meter. Akibatnya
hampir disetiap lapisan hutan dipenuhi oleh tumbuhan baik herba, epifit, liana ataupun
pohon. Sehingga hutan tropis kaya akan mikro habitat bagi banyak jenis serangga
seperti kumbang tinja. Berbeda dengan jenis di padang rumput afrika yang didominasi
oleh tipe rollers dan eropa yang dipadati tipe dwellers, wilayah hutan tropis
didominasi oleh jenis tunellers, terutama dari marga Onthophagus. Salah satu
penyebabnya adalah karena akar pohon memudahkan jenis ini untuk membuat sarang
di dalam tanah. Karena itu diseluruh lokasi survey kumbang tipe tunellers selalu lebih
- 14 -

besar dari kumbang tipe lain, walaupun dari jumlah populasi individu tiap jenis lebih
rendah dari jenis rollers dan dwellers.
Sebagaimana dengan ukuran kumbang tinja, pada tiap tipe kumbang tinja terjadi
kompetisi, ini karena pada dasarnya kumbang tinja memiliki sumber makanan yang
sama yaitu tinja hewan lain. Pada lokasi Muara Bungo kebun campur memiliki pola
yang serupa kecuali pada kebun campur Tebing Tinggi 2 (KKT2). Kurangnya hewan
besar dan keberadaan kumbang rollers dan tunellers dalam jumlah besar menekan
jumlah kumbang dwellers. Berbeda pada kebun KKT2, dimana kebun campur sudah
mulai dibuka dan di beberapa tempat ditanam kebun dengan sistem tebas bersih,
kumbang tipe tunellers lebih adaptif karena jenisnya lebih bervariasi dari ukuran
maupun jenisnya. Saat ini kumbang tinja rollers baru ditemukan 4 jenis dari 4 marga
yang diperoleh di Muara Bungo-Jambi dan Batang Toru-Sumatra Utara yaitu
Paragymnopleurus sp., Sisyphus sp. Phacosoma sp. dan Panelus sp. Tipe dwellers
hanya ditemukan 2 jenis, masing-masing satu dari marga Aphodius dan Coccobius,
sedangkan lebih dari 28 jenis kumbang tunellers hanya dari marga Onthophagus.
Kebun muda berbeda dengan kebun lain karena tidak ditemukannya dwellers dan
juga tipe rollers yang sangat sedikit. Walaupun vegetasi yang lebih terbuka cukup
menguntungkan bagi kumbang rollers keberadaan tinja nampaknya lebih berpengaruh
pada kumbang ini dan jenis tunellers lebih toleran pada perubahan kondisi tipe
penutupan lahan.
H2

H1

Dwellers

KT 2

KT 1

T unellers

KC2
Rollers
KC1

KB
0

100

200

300

400

Grafik 6. Persebaran tipe kumbang tinja di lokasi Batang Toru,


memperlihatkan dominansi tunellers di seluruh tutupan lahan.

Lokasi survey Batang Toru sedikit berbeda dengan Muara Bungo, yaitu karena
kehadiran jenis dwellers dalam jumlah besar walaupun dari satu jenis Aphodius sp.
Kebun campur 2 (KC2) bersama dengan kebun terlantar memiliki jumlah tipe
dwellers yang rendah, begitu pula dengan rollers menandakan keberadaan jumlah
hewan besar yang walaupun mungkin bervariasi (lihat indeks diversitas). Sedangkan
kebun campur 1 (KC1) dilihat dari kumbang tipe dwellers memiliki jumlah hewan
besar lebih banyak tapi tidak bervariasi mengingat jumlah nilai diversitasnya lebih
rendah dari kelompok kebun campur 2 (KC2) dan kebun terlantar. Kebun buah
berdasarkan komposisi tipe kumbang berbeda dari kebun lain dan cenderung lebih
menyerupai kebun muda dusun Danau (lihat dendogram pada Gambar )

- 15 -

Analisis pengelompokan (Cluster analisis)


Lokasi Survey Muara Bungo
Kumbang tinja menunjukkan struktur komuntas dan distribusi berbeda pada
habitat yang berbeda (Davis & Sutton, 1998). Karena itu digunakan analisis
pengelompokan (Cluster analisis) untuk mengetahui tingkat kedekatan habitat yang
memiliki perbedaan tutupan lahan dan juga tingkat pemanfaatannya.

Distance
0,92
Cluster 3

Cluster 2

0,61

Cluster 1
0,31

0,00
KKM

KKT3

KKT

KKT1

KKT2

Gambar 8. Dendogram ketidaksamaan tipe tutupan lahan di Muara Bungo


berdasarkan jenis kumbang tinja menggunakan Complete linkage dan
jarak Euclidean

Dendogram pada gambar 8 memperlihatkan bahwa lokasi survey Muara Bungo


terbagi atas 3 kelompok (cluster), cluster pertama terdiri atas kebun campur yang
belum mengalami pembukaan lahan dan selalu ditemukan jenis primata dalam jumlah
jenis dan individu lebih banyak, terdiri atas kebun campur dusun Danau (KKT),
Tebing Tinggi 1 (KKT1) dan Lubuk Beringin (KKC3). Kebun campur dusun Danau
memiliki distribusi dan komposisi kumbang tinja menyerupai kebun campur Tebing
Tinggi 1, walaupun dari jumlah jenis dan individu koleksi sangat berbeda. Keduanya
berasosiasi pada jarak 0.161 atau tingkat kesamaan 91,95%, kemudian keduanya
berasosiasi dengan kebun campur Lubuk Beringin pada jarak 0,359 dan tingkat
kesamaan 82,07%. Jadi aktifitas manusia dan kondisi fisik habitat diduga berperan
dalam penurunan jumlah individu kumbang tinja di kebun campur dusun Danau, tapi
walaupun demikian komposisi dan distribusinya masih menunjukkan ciri kebun
campur (lihat tipe kumbang).
Cluster kedua adalah kebun campur Tebing Tinggi 2 (KKT2), berasosiasi dengan
cluster pertama pada jarak 0,889 dan tingkat kesamaan 55,57%. Kebun ini memiliki
tingkat dominasi paling tinggi ( =0,258) mendekati KKT1 ( =0,242), tapi dengan
jumlah jenis yang jauh lebih sedikit. Perbedaan yang menonjol adalah dari komposisi
kumbang tinja, yaitu jenis Onthophagus sp.7 (Gambar 4C) lebih mendominasi di
KKT2, sedangkan kebun campur lain didominasi oleh jenis Sisyphus sp.1 (Gambar
4D). Cluster ketiga dan yang terakhir adalah kebun karet muda (KKM) di lokasi
dusun Danau, berasosiasi dengan cluster lainnya pada jarak 0,92 atau tingkat
kesamaan 53,98%. Jenis Catharsius sp.1(Gambar 6) menjadi jenis yang terbanyak,
sedangkan Sisyphus sp.1 hanya ditemukan 1 individu saja.

- 16 -

Lokasi Survey Batang Toru


Tipe penutupan lahan di Batang Toru yang terdiri atas 3 tipe dengan masingmasing 2 transek untuk tipe penutupan lahan kebun campur (KC1 & KC2), kebun
terlantar (KT1 & KT2) dan hutan (H1 & H2). Sebagai pembanding digunakan plot
kebun buah yang diambil dari 2 titik plot tanpa menggunakan transek 1km. Dari
dendogram analisis cluster yang terdiri atas 6 cluster dapat dikelompokkan hingga
menjadi 3 cluster (Gambar 9).
Cluster pertama dimulai dari kebun terlantar (KT1 & KT2) yang berasosiasi pada
jarak 0,056 dan tingkat kesamaan 97,19%, untuk selanjutnya berasosiasi dengan
kebun campur 2 (KC2) pada jarak 0,581 dan tingkat kesamaan 70,95%. Tipe
penutupan lahan yang sama pada kebun terlantar membuat KT1 dan KT2 memiliki
distribusi dan komposisi kumbang tinja yang sama, walaupun jenis primata yang
teramati berbeda tapi dengan kepadatan yang sama (KT1: 4 jenis; KT2: 1 jenis)
(Tabel 4). Kebun campur 2 memiliki jumlah dan jenis individu primata lebih banyak
dari kebun terlantar, akibatnya kebun ini memiliki jumlah jenis dan individu kumbang
tinja yang lebih besar. Jumlah pohon buah yang lebih banyak diduga menjadi
penyebab lebih banyak hewan yang ada atau berkunjung ke kebun campur 2,
mengingat ketiga tipe penutupan lahan masih berhubungan langsung dengan hutan.
Pengelompokan kebun campur 2 dalam kelompok kebun terlantar terjadi karena
ketiganya memiliki jumlah individu dari jenis Paragymnopleurus sp.1 dan Sisyphus
sp.1 dalam jumlah relatif besar dan mendominasi, kecuali kebun campur 2 yang
didominasi oleh jenis Onthophagus spp (lihat juga tipe kumbang).

Distance
1,04
Cluster 3

0,69

Cluster 2

Cluster 1

0,35

0,00
KB

KC2

KT1

KT 2

KC1

H1

H2

Gambar 9. Dendogram ketidaksamaan tipe tutupan lahan di Batang Toru


berdasarkan jenis kumbang tinja menggunakan Complete linkage dan
jarak Euclidean

Cluster kedua terdiri atas hutan (H1 & H2) dan kebun campur 1 (KC1). Kedua
transek penutupan hutan berasosiasi pada jarak 0,099 atau tingkat kesamaan 95,4%,
kemudian berasosiasi dengan kebun campur 1 pada jarak 0,252 atau tingkat kesamaan
87,39%. Banyaknya jenis pohon hutan dan sedikitnya pohon buah di kebun campur 1
menjadikannya lebih dekat pada tipe hutan, walaupun lebih banyak primata yang
terlihat. Sedikitnya jumlah jenis dan individu primata hutan yang teramati tidak
berarti primata hutan sedikit, dilihat dari banyaknya sarang mawas (Pongo abelli)

- 17 -

menunjukkan jumlah primata yang lebih banyak, hanya saja sukar untuk dapat
melihat langsung pada kanopi yang rapat. Jenis Aphodius sp.1 (Gambar 4B) menjadi
jenis yang paling dominan di hutan maupun kebun campur 1. Cluster 2 berasosiasi
dengan cluster 1 pada jarak 0,282 dan tingkat kesamaan 58,61%.
Cluster ketiga dari tipe penutupan lahan batang toru adalah kebun buah (KB),
memiliki distribusi kumbang tinja yang berbeda dari tipe penutupan lain. Berasosiasi
dengan cluster 1 dan 2 pada jarak 1,037 atau pada tingkat kesamaan 48,16%.
Perbedaan vegetasi yang lebih terbuka dan cenderung dibersihkan lantai kebunnya
membuat jenis hewan dan populasi hewan yang datang sedikit, terlebih lagi adanya
anjing penjaga ataupun manusia yang menghalau hewan seperti jenis primata
(Macaca fascicularis, Macaca nemestrina & Presbytis melalophos) atau babi yang
akan merusak kebun. Akibatnya hanya sedikit jenis dan individu kumbang tinja yang
diperoleh.
Kebun campur (RAF)
Kebun campur (RAF) berada dilokasi survey Muara Bungo dan Batang toru,
untuk mengetahui tingkat kesamaannya digunakan analisis cluster pada kedua lokasi
yang ditunjukkan pada gambar 10. Dari dendogram didapat bahwa kebun buah (KB)
berasosiasi dengan cluster kebun karet muda (KKM) dan kebun campur 2 (KKT2)
dari wilayah survey Muara Bungo. Kebun buah memiliki tingkat kesamaan lebih
tinggi pada kebun karet muda mencapai 85,56%, asosiasi dengan kebun campur 2
(KKT2) pada kesamaan 54,61%. Kelompok hutan dan kebun campur 1 (KC1) dari
wilayah survey Batang Toru lebih dekat kesamaannya pada kelompok kebun campur
2 (KKT2) dan kebun buah (KB) pada tingkat kesamaan 47,72%.
Kebun terlantar (KT1 & KT2) yang berasosiasi dengan kebun campur 1 (KC2)
lebih dekat hubungannya dengan kelompok kebun campur (KKT, KKT1 & KKT3).
Kedua kelompok berasosiasi diawali oleh karet kebun campur MuaraBungo yang
berasosiasi dengan kebun terlantar pada kesamaan 71,34%, kemudian diikuti oleh
kebun campur 2 (KC2) yang berasosiasi pada tingkat kesamaan 61,65%. Kelompok
ini kedian berasosiasi pada kesamaan 40,49% dengan kelompok karet muda yang
berasosiasi dengan hutan.

Distance
1,19

Bungo
0,79
Bungo

0,40

Toru

Toru
Toru

0,00
KK

B
K

2
KT

1
KC

H1

H2

KT
K

T
KK

1
KT

1
KT

KT

2
KC

Gambar 10. Dendogram ketidaksamaan tipe tutupan lahan di Muara


Bungo dan Batang Toru berdasarkan jenis kumbang tinja

- 18 -

Tingkat kesamaan habitat atau penutupan lahan ini didasarkan pada jenis
kumbang tinja, jadi semakin besar tingkat kesamaannya mencerminkan besarnya
kesamaan distribusi kumbang tinja dilihat dari jumlah jenis yang diperoleh dan jumlah
individunya. Hal ini menunjukkan bahwa kebun campur dapat memiliki tingkat
diversity lebih tinggi dari hutan karena ada introduksi manusia, pemanfaatan lahan
pada taraf tertentu dapat meningkatkan kekayaan lahan dan pengubahan lahan secara
intensif dapat meningkatkan biodiversitas kumbang tinja dengan hilangnya sebagian
besar individunya dan jenis. Selama masih terdapat mamalia besar di lokasi, kumbang
tinja akan tetap ditemukan walaupun dalam jumlah yang sedikit. Kebun campur 1
(KC1) memiliki sedikit pohon buah dan lebih banyak pohon kayu keras yang
beberapa diantara banyak ditemukan dihutan, sedangkan kebun campur 2 (KC2) lebih
banyak pohon buah dan sedikit pohon keras.
Pengelompokan kumbang tinja
Beberapa kumbang tinja memiliki kecenderungan berbeda dalam memilih habitat
untuk hidup dan bekembang biak, berikut ini beberapa pengelompokan kumbang tinja
di lokasi survey Muara Bungo dan Batang Toru.
Sisyphus sp.1 (C)
Mendominasi di habitat Muara Bungo, terutama di kebun karet tua yang masih
baik (KKT1 & KKT3), sedikit gangguan dari kebun meningkatkan populasinya
dan saat semakin meningkat dengan pembukaan lahan jumlahnya menurun
(KKT2), hingga hampir 0 di kebun muda (hanya 1 individu).
Onthophagus sp.7 (P)
Juga mendominasi di wilayah Muara Bungo, hanya saja meningkat pesat di kebun
karet tua yang sedang di buka (KKT2)
Paragymnopleurus sp.1 (B)
Dapat ditemukan diseluruh habitat, kecuali kebun buah dengan kecenderungan
semakin meningkat jika pemanfaatan lahan menurun, jadi jumlah terbesar ada di
habitat hutan. Pada penelitian sebelumnya jenis ini banyak ditemukan di dusun,
akibat dari binatang ternak karena kecenderungan jenis ini yang berukuran besar
untuk mengambil ukuran tinja yang lebih besar bersama dengan jenis Catharsius
dan jenis dwellers Coccobius.
Copris sp.1(U), Onthophagus sp.21(AL) & Copris sp.5(Qi)
Cenderung lebih banyak dihutan, bahkan untuk jenis Onthophagus sp.21(AL) &
Copris sp.5(Qi) tidak ditemukan di lokasi survey Muara Bungo (kec. hutan, pada
2005). Jenis Copris (U) juga hanya ditemukan di kebun yang masih mendekati
hutan (KKT3) berada di Lubuk Beringin. Ditemukan di kebun campur dan kebun
terlantar dalam jumlah kurang dari 10 individu kecuali Copris 5(Qi) di kebun
campur 1 yang akibatnya kebun tersebut lebih dekat dalam kelompok hutan dari
pada kebun campur 2 sendiri.
Yvescambefortius sp.1(Z), Onthophagus sp.11(AE) & Onthophagus sp.18(Pi)
Cenderung lebih dekat dengan hutan 2 (mungkin karena jumlah kumbang besar
menurun di habitat ini), kadang ditemukan di kebun campur, kebun terlantar
bahkan kebun buah untuk jenis Yvescambefortius sp.1(Z) dan Onthophagus
sp.11(AE) tapi dalam jumlah <5. Diduga persaingan dengan kumbang besar
menjadikan jenis ini lebih adaptif di hutan 2 atau akibat dari perbedaan populasi
dan jenis hewan besar seperti mamalia yang ada di kedua lokasi hutan
Onthophagus sp.8(X), O.sp.10(S), O.sp.12(Wi), O.sp17(Yi) & O.sp.24(Ai)
Merupakan jenis yang ditemukan dalam jumlah sedikit pada tiap habitat, bahkan
O.sp.8(X) tidak ditemukan di Batang Toru. Anggota kelompok ini selain O.sp.(X)
- 19 -

hampir tidak ditemukan dihutan kecuali dua jenis terakhir yang justru tidak
ditemukan di kebun buah, kebun campur 1 dan kebun terlantar 1 (mungkin ini
menjadi salah satu penyebab kebun campur 2 lebih dekat dengan kebun terlantar).
Berdasarkan data 2005 jenis O.sp.24(Ai) ditemukan di Muara Bungo tapi hanya
terdapat di hutan atau setidaknya hutan lindung. Kondisi ini mungkin berkaitan
dengan persaingan dengan jenis kumbang tinja besar ataupun dominan yang lain
dan adanya pemangsa.
Onthophagus sp.5(Ni), O.sp.26(AE2), O.sp.22(AE1) & O.sp.25(M)
Merupakan jenis kumbang yang lebih adaptif di kebun campur, walaupun
beberapa juga ditemukan di tipe habitat lain tapi dalam jumlah yang tidak
terlampau besar. Semua jenis kumbang kelompok ini paling besar ada di kebun
campur 2. tidak ditemukan di lokasi Muara Bungo kecuali jenis O.sp.Ni yg hanya
1 individu di kebun muda dan O.sp.25(M), pada data 2005 di kebun campur dan
hutan.
Onthophagus sp.3(G) & O.sp.14(W2)
Jenis ini sangat sedikit ditemukan di Batang Toru, bahkan jenis terakhir hanya ada
di Muara Bungo dan hanya ada di kebun campur terganggu (KKT & KKT2).
Tidak ditemukan di kebun terlantar hingga hutan (H2 ada 1 individu) di Bt. Toru
dan hanya ada di kebun campur dan mendominasi di kebun buah. Di Muara
Bungo tertinggi ada di kebun campur (KKT1), mungkin berkaitan dengan adanya
kompetitor dimana di Batang Toru jenis ini tidak mempu bersaing di kebun
campur hingga hutan seperti jenis O.sp.H & O.sp.Y yang meningkat di kebun Bt.
Toru.
Onthophagus sp.2(F)
Jenis ini banyak ditemukan di kebun campur Lubuk Beringin, sedangkan menurun
di kebun campur lain di Muara Bungo. Di lokasi Batang Toru jenis ini lebih
menonjol ada di hutan dan di kebun campur dan menurun di kebun terlantar.
Tidak ditemukan di kebun buah, mungkin karena termasuk kumbang tinja diurnal
dengan warna yang agak mencolok (Kuning-hitam) jadi sukar beradaptasi di
kebun buah yang banyak terdapat ayam (ditemukan sedang memakan kumbang
tinja di lubuk beringin-2005)
Catharsius sp.1(A) & Copris sp.2(E)
Jenis ini memiliki jumlah dominan di hutan, tetapi lokasi kebun muda maupun
kebun campur cenderung memiliki populasi jenis ini lebih besar dari pada kebun
campur maupun kebun terlantar, kecuali pada kebun campur 1 yang jenis Copris E
lebih banyak dari pada kebun buah (mungkin ini menjadi salah satu sebab kebun
campur 1 lebih dekat pada kebun buah dan karet muda pada penggabungan cluster
Onthophagus sp.4(H), O.sp.19(Y) & Copris sp.4(Q)
Jenis (H) dan (Y) adalah jenis kumbang yang serupa bentuk, ukuran dan tipenya,
satu hal yg membedakan hanya warnanya saja. Keduanya sangat adaptif, dapat
ditemukan di mana saja tapi dengan jumlah dominan di hutan dan kebun campur,
diikuti oleh kebun terlantar dan kebun muda dan buah. Di lokasi kebun campur
yang terganggu tidak ditemukan sama sekali (hampir tidak ada). Jenis Copris Q
tidak ditemukan di Muara Bungo (mungkin kondisi iklim, jenis ini ditemukan
pada 2005 di lokasi kebun campur hingga hutan). Meningkat di hutan dan kebun
campur 1, tidak ditemukan di kebun buah dan menurun di kebun campur 2 dan
kebun terlantar (mungkin karena adanya kompetitor)
Onthophagus sp.6(I)
Jenis ini unik karena berbeda dari jenis lainnya dalam hal habitat, banyak
ditemukan di hutan 2 dan kebun campur 2. dari semua habitat jenis ini ditemukan
- 20 -

tapi dalam jumlah tidak terlalu besar, walaupun di habitat yang serupa dalam
vegetasinya tapi menunjukkan persebaran populasi yangberbeda
Aphodius sp.1(T)
Berbeda dengan Sisyphus di lokasi Batang Toru didominasi oleh jenis ini. Ada di
seluruh habitat Batang Toru dengan jumlah besar di hutan dan kebun campur 2.
kebun buah dan kebun terlantar memiliki jenis ini dalam jumlah yang sedikit,
begitu pala di lokasi Muara Bungo. Pada 2005 jenis dwellers yang dominan adalah
Coccobius, ditemukan dalam jumlah besar dilokasi yang dekat binatang ternak
(dekat desa), saat pengambilan data bulan desember 2007 di muara bungo dan
berikutnya jenis Coccobius sangat sedikit, mungkin akibat dari hujan yang terlalu
besar tanpa diselingi musim panas membuat jenis ini kurang bisa beradaptasi
dengan baik. Cenderung detemukan bersama dengan jenis kumbang besar.
Distance
240,47

160,31

80,16

0,00
Sy-C

Ot-P

Py-B

Cp-U
Ot -M
Cp-Q
Ap-T
Ot-AL
Ot -AE
Ot-X
Ot-Wi
Ot-Ai
Ot-AE2
Ot-W2
Ct-A
Ot-Y
Cp-Qi
Ot -I
Yv-Z
Ot-Pi
Ot-S
Ot-Yi
Ot-Ni
Ot-G
Ot -F
Cp-E
Ot-H
Ot -AE1

Gambar 11. Dendogram pengelompokan kumbang tinja berdasrkan


pada tipe penutupan lahan dari kedua lokasi survey (Muara bungo dan
Batang Toru)

Pembahasan
Berdasarkan hasil survey diperoleh bahwa diversitas kumbang tinja meningkat di
kebun karet muda (KKM) tapi tidak dihutan, melainkan di kebun campur (KC2).
Peningkatan di kebun muda terjadi terlebih karena jumlah individu kumbang tinja
yang sedikit, menunjukkan aktivitas hewan besar yang sedikit di kebun karet muda.
Jumlah jenis yang relatif banyak dibandingkan jumlah individu koleksi mencerminkan
kumbang tinja yang beradaptasi baik pada habitat mikro, jadi walaupun tidak
memungkinkan kumbang tinja jenis tertentu untuk dapat hidup dalam populasi yang
besar masih dapat memungkinkan untuk populasi yang kecil. Peningkatan di kebun
campur terjadi di lokasi Batang Toru, menunjukkan lebih banyak jenis mamalia
beraktivitas di lokasi kebun campur, terlihat dari jenis dan populasi primata yang lebih
banyak terlihat di kebun campur hingga mencapai lebih dari 20 individu dalam satu
kelompok pada jenis Macaca fascicularis.
Habitat hutan dibandingkan kebun memiliki jumlah individu terbesar,
menandakan populasi yang lebih besar dari hewan seperti mamalia, walaupun dari
sisi jenis lebih miskin. Sedikitnya jumlah jenis primata yang terlihat tidak berarti
primata hutan sedikit, ini karena kanopi yang rapat menyulitkan pengamatan dan
- 21 -

menyediakan tempat bersembunyi yang baik bagi primata, terlebih lagi pada cuaca
yang selalu hujan. Disamping itu primata adalah hewan dengan daya jangkau yang
luas, karena tidak ditemukan buah di lokasi survey dapat membuat hewan ini pindah
ke lokasi hutan lain yang menyediakan buah.
Manusia seringkali membawa hewan dan tanaman tertentu saat menetap hingga
meningkatkan kekayaan hewan maupun tumbuhan di dekat manusia tinggal.
Akibatnya lokasi kebun campur dapat memiliki diversitas yang lebih tinggi dari
hutan. Berbeda dari data koleksi kumbang tinja pada 2005 di kebun campur Muara
Bungo (Nurhariyanto, 2007), yang menunjukkan habitat hutan tetap memiliki
diversitas dan jumlah jenis tertinggi dari agroekosistem karet. Faktor iklim dan waktu
pohon buah diduga menjadi penyebab utama, karena kondisi hujan yang terus
menerus tidak menguntungkan bagi kumbang tinja, tanah yang selalu basah dan
tergenang mengganggu perkembangbiakan serangga ini. Jadi dalam hal ini kumbang
tinja lebih menunjukkan penurunan jumlah individu dibandingkan diversitasnya pada
peningkatan pemanfaatan lahan intensif hingga hutan.
Kumbang tinja tidak hanya bergantung dari ketersediaan tinja sebagai sumber
makanannya. Kondisi tanah dan lingkungan seperti tipe tanah, temperatur, vegetasi
penutup, iklim lokal juga turut berperan dalam pertumbuhan dan perilaku pemilihan
tempat bersarang bagi kumbang tinja (Vessby & Wiktelius, 2003 dan Lumaret &
Kirk, 1991). Penurunan jumlah jenis dan individu dikebun campur yang terjadi di
dusun Danau (KKT) dimungkinkan karena faktor kondisi tanah. Aktivitas masyarakat
yang aktif melakukan pendulangan emas disungai sekitar kebun dengan menggunakan
zat kimia dan mesin motor diduga turut mengganggu biologi tanah sebagai tempat
bersarang kumbang tinja dan juga hewan mamalia besar.
Kesimpulan
Kumbang tinja dapat menjadi indikator yang baik karena selain menjadi inang
dari tinja hewan besar yang mencerminkan keberadaan hewan besar tersebut, juga
sensitif pada perubahan fisik lingkungan, terutama yang berkaitan langsung dengan
tanah. Kumbang tinja yang didapat seagian besar adalah tipe tunellers dan umumnya
ukuran kecil lebih banyak dijumpai, menunjukkan ciri hutan tropis. Tingkat
pencemaran tanah berpengaruh pada populasi dan keberadaan kunmbang tinja,
mengingat mereka bersarang dan bertelur di tanah. Faktor lain lingkungan dalam hal
ini iklim juga berperan besar dalam menentukan populasi kumbang tinja.
Sebagian kumbang tinja sensitif dan cenderung memilih jenis tinja dan sebagian
lain lebih toleran, akibatnya untuk indikator lebih baik jika melihat struktur komunitas
dari kumbang tinja dibandingkan individu kumbang tinja sendiri, tetapi untuk wilayah
hutan tropis Sumatra terdapat beberapa individu yang punya korelasi kuat dengan
hutan, misalnya kelompok kumbang tinja dari jenis Copris sp.1(U), Onthophagus
sp.21(AL) & Copris sp.5(Qi) sehingga dapat digunakan sebagai indikator. Keberadaan
primata turut berperan dalam meningkatkan jenis dan populasi kumbang tinja, selama
tidak terdapat faktor lingkungan lain yang turut mempengaruhi seperti kondisi tanah.
Referensi
Australian Museum. 2003. Dung Beetles. Retrieved at http://www.amonline.net.au.
On July, 21, 2005.
Borror, D.J., Triplehorn, C.A. & Johnson, N.F. 1992. Pengenalan Pelajaran
Serangga. Terj. Dari Introduce to Entomology Edisi ke-6 oleh Soetiyono
Partosoedjono. UGM-press, Yogyakarta: 1083 hlm.

- 22 -

Cambefort, Y. 1991. Dung Beetles in Tropical Savannas. Dalam Hanski, I. &


Cambefort, Y.(eds.) Dung Beetle Ecology. Princeton University Press,
Princeton-New Jersey: 156-177.
Davis, A.J. & Sutton, S.L. 1998. The effect of rainforest canopy loss on arboreal dung
beetles in Borneo: implications for measurement of biodiversity in derived
tropical ecosystems. Diversity and Distributions. 4:167-173.
Davis, A.J. 2000. Does Reduced-Impact Logging Help Preserve Biodiversity in
Tropical Rainforests? A Case Study from Borneo using Dung Beetles
(Coleoptera: Scarabaeoidea) as Indicators. Enveronmental Entomology. Vol.29,
No.3:467-475.
Davis, A.J., Holloway, J.D., Huijbregts, H., Krikken, J., Kirk-Spriggs, A.H. & Sutton,
S.L. 2001. Dung Beetles as indicators of change in the forests of northern
Borneo. J. Apl. Ecol. 38: 593-616.
Hanski, I. 1991. The Dung Insect Community. Dalam Hanski, I. & Cambefort,
Y.(eds.) Dung Beetle Ecology. Princeton University Press, Princeton-New
Jersey: 5-21.
Hanski, I. & Cambefort, Y. 1991. Species Richness. Dalam Hanski, I. & Cambefort,
Y.(eds.) Dung Beetle Ecology. Princeton University Press, Princeton-New
Jersey: 350-365.
Krebs, Charles, J. 1999. Ecological Methodology. 2nd editions. Addison-Welsey
Educations Publishers, inc. USA.
Lawrence, J.F. & Britton, E.B. 1994. Coleoptera (beetles) The Insect of Australia, A
textbook for students and research workers. Edisi ke-2. Melbourne University
Press, Melbourne: 543-683.
Lumaret, JP. & Kirk, AA. 1991. South Temperate Dung Beetles. Dalam Hanski, I. &
Cambefort, Y.(eds.) Dung Beetle Ecology. Princeton University Press,
Princeton-New Jersey: 96-115.
Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton
University Press, Princeton-New Jersey: 179 hlm.
Nurhariyanto. 2007. Keanekaragaman Jenis Kumbang Tinja (Coleoptera;
Scarabaeoidea) Pada Berbagai Tipe Habitat di Sekitar Kawasan Taman nasional
Kerinci Seblat (TNKS).Bucelor thesis. FMIPA Universitas Negeri Jakarta. Un
published data.
Ochi, T., Kon, M. & Kikuta, T. 1996. Studies on the family Scarabaeidae
(Coleoptera) from Borneo, I Identification keys to subfamilies, Tribe and
Genera. G. it. Ent., 8:37-54. 75
Ochi, T. & Kon, M. 1996. Studies on the Coprophagous Scarab Beetles from East
Asia. V (Coleoptera, Scarabaeidae). G.it.Ent., 8:29-35.
Ochi, T., Kon, M. & Araya, K. 1998. Notes on the Coprophagous Scarab-Beetles
(Coleoptera, Scarabaeidae) from South-East Asia (1), A New Genus and
Spesies of the Tribe Canthonini from Sumatra. Ent.Rev.Japan. 52(2): 111-115.
Pineda, E., Moreno, C., Escobar, F. & Halffter, G. 2005. Frog, Bat and Dung Beetle
Diversity in The Cloud Forest and Coffee Agroecosystems of Veracruz, Mexico.
Conservation Biology. Vol. 19(2): 400-410.
Shahabuddin., Schulze, C.H. & Tscharntke, T. 2005. Change of dung beetle
communities from rainforests towards agroforestry system and annual culture in
Sulawesi (Indonesia). Biodiversity and Conservation. 14:863-877.
Vandermeer, John. 1981. Elementary Mathematical Ecology. John Wiley & Sons Inc,
USA:

- 23 -

Vessby, K. & Wiktelius, S. 2003. The influence of slope aspect and soil type on
immigration and emergence of some northern temperate dung beetles.
Pedobiologia. 47: 39-51.
Vulinec, Kevina. 2000. Dung Beetles (Coleoptera: Scarabaeidae) Monkeys, and
Conservation in Amazonia. Florida Entomologist. 83(3): 229-241.
Vulinec, K., Lambert, JE., & Mellow, DJ. 2006. Primate and Dung Beetle
Communities in Secondary Growth Rain Forests: Implications for Conservation
of Seed Dispersal Systems. International Journal of Primatology. 27(3): 855879.
White, Richard, E. 1983. A Field Guide to the Beetles of North America (The
Peterson Field Guide series). Houghton Mifflin Company, Boston: 368 hlm.

Note:
PCA tidak jadi saya gunakan, karena terlalu panjang lagi pula sedah dapat dijelaskan lewat tipe
kumbang tinja dan juga berdasarkan ukuran. Analisiscluster juga hanya satu untuk distribusi jenis,
sebenarnya ada 2 lagi untuk tiap lokasi survey, tapi sepertinya sudah cukup, nanti khawatir ada banyak
pengulangan penjelasan
Dalam penjelasan PCA, ternyata membutuhkan lebih dari 2 aksis atau faktor (lokas Muara Bungo ada 5
faktorial, lokasi Batang Toru 7 faktorial) jadi kalo dimasukkan nantinya ada minimal 4 grafik faktor
analisis, memang lebih meyakinkan kalo dimasukkan, tapi nanti malah panjang karena harus
diterangkan dulu mengenai PCAnya sendiri dan cara bacanya , mungkin lebih nyaman kalo yang in di
edit dulu, baru kalo perlu ditambah tinggal di balikin & kasih pesennya...................

- 24 -

Apendiks 1. Data koleksi kumbang tinja


Tabel 5. Data koleksi kumbang tinja Muara Bungo-Jambi
Location
No
1
2
3

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Family
Scarabaeidae

Sub-family
Scarabaeinae

Coprinae

Type
Rollers

Morphospecies
Paragymnopleurus sp.1
Sisyphus sp.1
Panelus sp.1

Total
Tipe kumbang tiap lokasi (%)
Tunellers Catharsius sp.1
Copris sp.1
Copris sp.2
Copris sp.3
Yvescambefortius.sp.1
Onthophagus sp.1
Onthophagus sp.2
Onthophagus sp.3
Onthophagus sp.4
Onthophagus sp.5
Onthophagus sp.6
Onthophagus sp.7
Onthophagus sp.8
Onthophagus sp.9
Onthophagus sp.10
Onthophagus sp.11
Onthophagus sp.12
Onthophagus sp.13
Onthophagus sp.14
Onthophagus sp.15
Onthophagus sp.16
Onthophagus sp.17

Code
Pgy-B
Ssy-C
Pnl-AB

Cth-A
Cpr-U
Cpr-E
Cpr-V
Yvs-Z
Ont-D
Ont-F
Ont-G
Ont-H
Ont-Ni
Ont-I
Ont-P
Ont-X
Ont-L
Ont-S
Ont-AE
Ont-Wi
Ont-Y
Ont-Wii
Ont-K
Ont-Gi
Ont-Yi

KKM
2
1
0
3
7,89
13
0
0
0
1
0
1
4
3
0
0
2
2
0
1
1
0
4
0
1
1
1

KKT
4
12
1
17
47,22
3
0
0
0
0
0
0
4
0
0
1
2
0
0
0
0
3
1
1
0
0
0

KKT1
4
89
1
94
44,98
3
0
0
1
0
0
4
28
2
0
10
42
7
2
1
0
0
2
0
3
0
0

KKT2
6
16
0
22
12,94
5
0
0
0
0
0
1
15
0
0
1
78
0
2
0
0
4
0
30
0
0
0

KKT3
18
55
0
73
41,24
8
4
2
0
0
2
51
11
2
1
1
5
5
4
0
2
1
2
0
0
0
0

Total

Persen (%)

34
173
2
209

5,40
27,46
0,32
33,17

32
4
2
1
1
2
57
62
7
1
13
129
14
8
2
3
8
9
31
4
1
1

5,08
0,63
0,32
0,16
0,16
0,32
9,05
9,84
1,11
0,16
2,06
20,48
2,22
1,27
0,32
0,48
1,27
1,43
4,92
0,63
0,16
0,16

25

Lanjutan tabel 5
Location
No
26
27
28

29
30

Family

Aphodiidae

Sub-family

Type

Morphospecies
Onthophagus sp.18
Onthophagus sp.19
Onthophagus sp.20

Total
Tipe kumbang tiap lokasi (%)
Dwellers Coccobius sp.1
Aphodiinae
Aphodius sp.1
Total
Tipe kumbang tiap lokasi (%)
Total kumbang tinja pada tiap lokasi

Code
Ont-Pi
Ont-Si
Ont-Ii

Coc-J
Aph-T

KKM
0
0
0
35

KKT
0
0
0
15

KKT1
2
1
0
108

KKT2
5
0
1
142

KKT3
0
0
0
101

92,11
0
0
0
0,00
38

41,67
0
4
4
11,11
36

51,67
3
4
7
3,35
209

83,53
2
4
6
3,53
170

57,06
1
2
3
1,69
177

Total

Persen (%)

7
1
1
401

1,11
0,16
0,16
63,65

6
14
20

0,95
2,22
3,17

630

100,00

26

Tabel 6. Data koleksi kumbang tinja DAS Batang Toru-Sumatra Utara


Location
No

Family

Sub-family

Type

Morphospecies

1
2
3

Scarabaeidae

Scarabaeinae

Rollers

Paragymnopleurus sp.1
Sisyphus sp.1
Phacosoma sp.1

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Coprinae

Total
Tipe kumbang tiap lokasi (%)
Tunellers Catharsius sp.1
Copris sp.1
Copris sp.4
Copris sp.5
Copris sp.2
Oniticellus sp.1
Yvescambefortius.sp.1
Onthophagus sp.1
Onthophagus sp.2
Onthophagus sp.3
Onthophagus sp.4
Onthophagus sp.5
Onthophagus sp.6
Onthophagus sp.7
Onthophagus sp.10
Onthophagus sp.11
Onthophagus sp.12
Onthophagus sp.13
Onthophagus sp.17
Onthophagus sp.18
Onthophagus sp.21
Onthophagus sp.22

Code
Pgy-B
Ssy-C
Phc-AB

Cth-A
Cpr-U
Cpr-Q
Cpr-Qi
Cpr-E
Oni-O
Yvs-Z
Ont-D
Ont-F
Ont-G
Ont-H
Ont-Ni
Ont-I
Ont-P
Ont-S
Ont-AE
Ont-Wi
Ont-Y
Ont-Yi
Ont-Pi
Ont-AL
Ont-AEi

KB
0
0
1
1
1,33
17
0
0
0
8
1
0
3
0
21
3
1
1
3
0
0
2
4
0
0
0
0

KC1
3
24
3
30
9,87
9
1
21
12
11
0
1
1
7
2
12
8
3
20
5
1
1
16
0
0
2
6

KC2
23
27
2
52
16,77
4
4
4
4
5
1
4
2
21
11
16
20
19
1
6
4
1
14
3
0
2
31

KT1
31
24
0
55
33,33
9
2
14
7
4
0
1
0
2
0
10
3
10
12
1
0
2
10
1
0
7
3

KT2
34
26
0
60
37,04
12
7
8
5
2
0
3
0
4
0
6
8
9
12
0
2
1
10
2
0
1
1

H1
71
20
0
91
19,65
54
15
23
14
45
0
4
0
13
0
15
7
8
18
0
6
0
13
2
6
16
3

H2
66
5
0
71
11,77
46
11
35
16
20
0
19
0
20
1
18
4
44
22
0
24
1
18
2
14
21
11

Total

Persen (%)

228
126
6
360

10,95
6,05
0,29
17,29

151
40
105
58
95
2
32
6
67
35
80
51
94
88
12
37
8
85
10
20
49
55

7,25
1,92
5,04
2,79
4,56
0,10
1,54
0,29
3,22
1,68
3,84
2,45
4,51
4,23
0,58
1,78
0,38
4,08
0,48
0,96
2,35
2,64

27

Lanjutan tabel 6
Location
No
26
27
28
29
30
31
32

33
34

Family

Sub-family

Type

Morphospecies
Onthophagus sp.23
Onthophagus sp.24
Onthophagus sp.25
Onthophagus sp.26
Onthophagus sp.27
Onthophagus sp.28
Trox sp.1

Trogidae

Troginae

Aphodiidae

Total
Tipe kumbang tiap lokasi (%)
Dwellers Coccobius sp.2
Aphodiinae
Aphodius sp.1
Total
Tipe kumbang tiap lokasi (%)
Total kumbang tinja pada tiap lokasi

Code
Ont-W3
Ont-AI
Ont-M
Ont-AE2
Ont-N
Ont-AC
Trx-AG

Coc-Ji
Aph-T

KB
0
0
4
0
0
0
5
73
97,33
0
1
1
1,33
75

KC1
0
0
17
3
0
0
2
161
52,96
0
113
113
37,17
304

KC2
0
3
28
22
1
4
0
235
75,81
2
21
23
7,42
310

KT1
0
0
3
0
0
1
1
103
62,42
1
6
7
4,24
165

KT2
0
2
1
1
0
0
0
97
59,88
0
5
5
3,09
162

H1
0
3
0
0
0
0
0
265
57,24
0
107
107
23,11
463

H2
1
3
1
0
0
0
0
352
58,37
0
180
180
29,85
603

Persen
(%)
0,05
0,53
2,59
1,25
0,05
0,24
0,38

Total
1
11
54
26
1
5
8
1286

61,77
3
433
436
2082

0,14
20,80
20,94
100,00

28

Anda mungkin juga menyukai