Anda di halaman 1dari 2

Sensitivitas Kuman Terhadap Antibiotik

I.

Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Untuk mengetahui potensi suatu antibiotik untuk membunuh mikroba
2. Untuk mengetahui cara-cara pengukuran dalam penentuan potensi antibiotik

II.

Dasar Teori
Antibiotika atau antimikroba ialah zat-zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama

golongan fungi (jamur), yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Suatu obat
antibiotika yang ideal menunjukkan toksisitas yang selektif. Istilah ini berarti bahwa obat tersebut
haruslah bersifat sangat toksis untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksis (dalam konsentrasi yang
dapat ditoleransi) terhadap hospes (Setiabudi, 1995). Banyak antibiotika saat ini dibuat secara
semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam prakteknya antibiotika sintetik tidak diturunkan dari
produk mikroba (misalnya kuinolon). Antibiotika yang akan digunakan untuk membunuh mikroba,
penyebab infeksi pada manusia, harus memiliki sifat toksisitas selektif yang tinggi. Berdasarkan
sifat toksisitas selektif, ada antibiotika yang menghambat pertumbuhan mikroba dikenal sebagai
aktivitas bakteriostatik, dan ada yang bersifat membunuh mikroba dikenal sebagai aktivitas
bakterisid. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau
membunuhnya masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh
minimal (KBM). Antibiotika tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi
bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Setiabudi, 1995). Berdasarkan
perbedaan sifatnya antibiotika dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu berspektrum sempit dan
berspektrum luas. Antibiotika spektrum luas cenderung menimbulkan resistensi. Dilain pihak pada
septikemia yang penyebabnya belum diketahui diperlukan antibiotika yang berspektrum luas
sementara menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik (Setiabudi, 1995). Berdasarkan mekanisme
kerjanya antibiotika dibagi dalam 4 kelompok :
a. Kerja

antibiotika

melalui

penghambatan

sintesis

dinding

sel,

seperti

Basitrasin,

Sefalosporin,Sikloserin, Penisilin, Vankomisin.


b. Kerja antibiotika melalui pengambatan fungsi membrane sel, seperti: Amfoterisin B, Kolistin,
Imidazol, Nistatin, Polimiksin.
c. Kerja antibiotika melalui penghambatan sintesis asam nukleat, seperti: Novobiosin,
Pirimetamin, Sulfonamid, Trimetropin (Setiabudi, 1995).
Berdasarkan sasaran kerja dikelompokkan kepada:
a. Antibiotika yang bekerja terhadap bakteri basil Gram positif, yaitu:
1. Penisilin semi sintetik yang resisten terhadap penisilinase, bekerja dengan menghambat
sintesis peptidoglikan.
2. Makrolida basitrasin, bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri

b. Antibiotika yang efektif terhadap basil aerob Gram negatif, yaitu:


1. Aminoglikosida, bekerja dengan menghambat sintesis protein dari bakteri.
2. Polymiksin.

c. Antibiotika yang relatif memiliki spektrum kerja yang luas (terhadap basil Gram negatif dan
positif), yaitu:
1. Ampisilin
2. Sefalosporin, bekerja dengan menghambat sintesis peptidoglikan serta mengaktifkan
enzim autolisis pada dinding sel bakteri (Setiabudi, 1995).
3. Rifampisin merupakan senyawa antimikroba yang sampai saat ini masih menjadi
pilihan sebagai obat anti TB (Tuberculosis). Dalam sediaan, rifampisin sering
dikombinasikan dengan INH dan etambutol untuk mencapai efek farmakologi yang
lebih baik. Bentuk sediaan yang banyak ditemukan diperdagangan umumnya tablet,
kapsul atau kaplet, baik tunggal maupun kombinasi. Efek farmakologi rifampisin
sebagai anti tuberkulotik berlangsung melalui mekanisme kerja penghambatan
polimerase RNA yang bergantung pada DNA bakteri. Spektrum kerjanya luas,
disamping terhadap mikobakteri, juga efektif terhadap sejumlah bakteri gram positif
dan negatif (Mutschler, 1996). Suhu lebur rifampisin adalah 183-188 oC (dengan metode
pipa kapiler). Analisis termal menggunakan DSC dengan kecepatan pemanasan 10 oC
per menit, teramati adanya puncak kurva endotermik pada suhu 193 oC. Suhu tersebut
adalah suhu lebur rifampisin, yang segera diikuti dengan kurva eksotermik akibat
rekristalisasi leburan, kemudian dekomposisi eksotermik pada suhu sekitar 240oC
(Henwood, 2000). Dalam larutan basa rifampisin mudah teroksidasi dengan adanya
oksigen atmosfer. Reaksi ini dapat dicegah dengan penambahan natrium askorbat
sebagai anti oksidan. Disimpan dalam wadah tidak tembus cahaya, tertutup rapat
terlindung dari panas berlebihan (Florey, 1976). Suatu antibiotika perlu ditentukan
potensinya

karena

efek

penggunaan

antimikroba

yang

meningkat,

sehingga

meningkatkan pula efek resistensi berbagai mikroba patogen. Efektivitas daya hambat
atau daya bunuh antimikroba sangat tergantung pada jumlah dan kekuatan zat aktifnya
(singgih, 2007).

Anda mungkin juga menyukai