Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kolelitiasis atau lebih disebut dengan adanya batu yang terdapat
didalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus koledokus) atau
keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa terdapat pada kantung
empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu intra
hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis,
dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus)
disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra
hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut
hepatolitiasis. Kolesistolitiasis

dan

koledokolitiasis

disebut

dengan

kolelitiasis (Sjamsuhidajat, 2005).


Penatalaksanaan

kolelitiasis

meliputi bedah

dan

non

bedah.

Operasi bedah pada kolelitiasis disebut kolesistektomi. Pembedahan bisa


dilakukan secara terbuka (kolesistektomi terbuka) dan tertutup (kolesitektomi
laparaskopik). Bedah terbuka adalah cara klasik untuk mengangkat kandung
empedu. Prosedur ini dilakukan dengan cara membuka rongga perut atau
disebut

dengan

laparatomi abdomen.

Laparatomi

adalah

insisi

pembedahan pada dinding abdomen. Operasi ini dilakukan untuk memerikasa


organ-organ perut dan membantu mendiagnosa beberapa masalah termasuk
sakit pada perut.
Paska laparatomi dapat mengakibatkan adanya nyeri tekan, perubahan tekanan

darah, nadi dan pernafasan, kelemahan, gangguan integumen dan


jaringan subkutan, konstipasi, mual, muntah dan anoreksia (Maryunani, 2012).
Masalah yang paling banyak terjadi pada pasien paska laparatomi
adalah

nyeri

yang

dirasakan klien pada

luka

bekas

insisi

yang

disebabkan karena adanya stimulasi nyeri pada daerah luka insisi yang
menyebabkan keluarnya
transmisi

mediator

nyeri

yang

dapat

menstimulasi

impuls disepanjang serabut syaraf aferen nosiseptor ke substansi

dan diinterpretasikan sebagai nyeri (Smeltzer & Bare, 2010). Selain dari
stimulasi nyeri yang dirasakan klien, komplikasi yang bisa terjadi pada
pasien paska laparatomi adalah

adanya kelemahan sehingga pasien tidak

toleran terhadap aktifitas sehari-harinya, resiko infeksi karena luka insisi


post

laparatomi

dan pemantauan terhadap nutrisi

dan diit setelah

menjalani operasi (Muttaqin & Sari, 2011).


Penatalaksanaan untuk mencegah komplikasi paska laparatomi adalah
mengoptimalkan oksigenisasi dan ventilasi, mempertahankan keseimbangan
cairan

dan

elektrolit,

mengajarkan

ambulasi

dan

mobilisasi

dini

untuk mencegah tromboplebitis, dan manajemen nyeri (Muttaqin & Sari,


2011). Sedangkan menurut Smeltzer dan Bare (2009) pentalaksanaan pada
pasien kolelitiasis post

laparatomi

memberikan posisi semi

fowler,

monitor cairan secara intra vena dan pemantauan slang drain billier, serta
pemasangan NGT untuk pengurangan distensi abdomen serta manajemen
nyeri.
Nyeri adalah sensasi yang sangat tidak menyenangkan dan sangat
individual yang tidak dapat dibagi dengan orang lain. Sedangkan menurut
The

International for the Study of Pain (IASP) nyeri merupakan pengalaman yang
tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial,
atau menggambarkan kondisi terjadinya suatu kerusakan (Potter

&

Perry,
2010). Nyeri merupakan salah satu pemicu yang dapat meningkatkan
level hormon stress

seperti adrenokortikotropin,

kortisol,

katekolamin

dan interleukin dan secara simultan dapat menurunkan pelepasan insulin dan
fibrinolisis yang akan memperlambat proses penyembuhan luka paska
pembedahan (Williams & Kentor, 2008). Seorang individu dapat berespons
secara biologis dan prilaku akibat nyeri yang dapat menimbulkan respon fisik
dan psikis. Respon fisik meliputi keadaan umum, respon wajah dan perubahan
tanda-tanda vital, sedangkan respon psikis akibat nyeri dapat merangsang
respon stress sehingga mengurangi sistem imun

dalam peradangan dan

menghambat penyembuhan (Potter & Perry, 2010).


Proses asuhan keperawatan pada pasien paska operasi sangat penting
dilakukan sedini mungkin dan secara

komprehensif untuk

mengatasi

terjadinya masalah keperawatan. Peran perawat sangat dituntut disini dalam


mengatasi masalah keperawatan paska operasi seperti keluhan nyeri yang
dirasakan pasien pada area post insisi. Manajemen dalam mengatasi nyeri
haruslah mencakup penanganan secara keseluruhan, tidak hanya pada
pendekatan farmakologi saja, karena nyeri juga dipengaruhi oleh emosi dan
tanggapan individu terhadap dirinya. Teknik non farmakologis merupakan
suatu tindakan mandiri perawat dalam mengurangi nyeri, diantaranya dengan
teknik
Nervous

relaksasi,

distraksi,

biofeedback,

Transcutan

Elektric

Stimulating (TENS), guided imagery, terapi musik, accupressur, aplikasi panas


dan dingin, foot massage dan hipnotis (Demir, 2012).
Terapi non farmakologis

dapat

menurunkan intensitas nyeri

sampai dengan tingkat yang dapat ditoleransi oleh pasien diantaranya dengan
teknik foot massase. Massase efektif dalam memberikan relaksasi fisik dan
mental, mengurangi nyeri dan meningkatkan keefektifan dalam pengobatan.
Massase pada daerah yang diinginkan selama 3-5 menit dapat merelaksasikan
otot dan memberikan istirahat yang tenang dan kenyamanan (Potter & Perry,
2010). Cassileth dan Vickers (2004) melaporkan bahwa terdapat 50%
penurunan nyeri, kelelahan, stress/kecemasan, mual dan muntah pada klien
paska operasi yang secara terus menerus menggunakan terapi massase
(Potter & Perry,
2010).
Penelitian yang telah dilakukan oleh Luan Tsay (2009) diperoleh
pengaruh pemberian foot massage terhadap intensitas nyeri pada paska operasi
abdomen di

Medikal Center Taipei, Taiwan dengan nilai p<0,5. Hal ini

terbukti bahwa foot massage

bermanfaat dalam penurunan intensitas nyeri

akibat luka insisi post operasi abdomen atau laparatomi (Chanif, 2013). Foot
massage juga telah dilakukan oleh Kim (2002), dikutip dari Chanif (2013)
terhadap pasien post abdominal surgery didapatkan penurunan intensitas nyeri
setelah foot massage dilakukan secara teratur. Foot Massage dilakukan 2 kali
sehari pagi dan sore hari mulai hari ke dua post operasi selama 20 menit
setelah
1-3 jam pemberian obat penghilang nyeri (Chanif, 2013). Foot Massage
sangat dianjurkan sebagai salah satu intervensi keperawatan
meningkatkan peran perawat dalam manajemen nyeri,

yang dapat

karena sebagai

metode

penghilang nyeri yang aman, tidak membutuhkan peralatan yang spesial,


mudah dilakukan, dan mempunyai efektifitas yang tinggi (Abdelaziz, 2014).
Foot massage

merupakan gabungan dari empat

teknik

masase

yaitu effleurage (mengusap), petrissage (memijit), friction (menggosok) dan


tapotement (menepuk). Dimana kaki mewakili dari seluruh organ-organ yang
ada didalam tubuh dengan menggunakan titik-titik refleks pada kaki.
Foot massage

merupakan mekanisme modulasi nyeri yang

diaplikasikan

untuk menghambat rasa sakit dan untuk memblokir transmisi impuls nyeri
sehingga menghasilkan analgetik dan nyeri yang dirasakan setelah operasi
diharapkan berkurang (Chanif, 2012).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan mahasiswa pada tanggal
03 Agustus 2015 dengan salah satu petugas diruangan kelas 1 bedah terkait
manajemen nyeri secara non farmakologis yang sering dilakukan diantarnya
teknik relaksasi nafas dalam, imajinasi terbimbing dan distraksi. Sedangkan
terapi foot massage (pijat kaki) belum pernah dilakukan sebagai terapi non
farmakologis dalam manajemen nyeri. Sehingga penulis tertarik untuk
melakukan foot massage

untuk melakukannya diruangan dan melihat

keefektifannya sebagai evidence based practise (EBP) dalam mengatasi nyeri


pada pasien post operasi. EBP merupakan suatu pendekatan yang dapat
digunakan dalam praktik perawatan kesehatan yang berdasarkan evidence atau
fakta.

Foot

massage

(pijat

kaki)

merupakan

salah

satu

terapi

komplementer yang telah banyak dikembangkan diberbagai riset dalam


mengurangi nyeri akut paska operasi (Chanif, 2013).

Perawat merupakan kunci dalam pengembangan mutu melalui


keselamatan pasien untuk mencegah kejadian yang tidak diharapkan.
Termasuk didalamnya adalah mengukur risiko, identifikasi, dan pengelolaan
risiko terhadap pasien, pelaporan, dan analisis insiden, kemampuan untuk
belajar dan menindak lanjuti insiden serta merupakan solusi untuk mencegah,
mengurangi, serta meminimalkan risiko. Kejadian resiko yang mengakibatkan
pasien tidak aman (patient not safety) tersebut sebagian besar masih dapat
dicegah (preventable adverse event) diminimalisasi dengan beberapa cara,
antara lain petugas pelayanan kesehatan selalu meningkatkan kompetensi
melakukan kewaspadaan

dini

melalui

identifikasi

yang

tepat,

serta

komunikasi aktif dengan pasien ( Kemenkes RI, 2011).


Patient safety di rumah sakit merupakan suatu kebutuhan. Patient
safety saat ini telah menjadi isu yang diperbincangkan di berbagai negara. Isu
ini berkembang karena masih banyaknya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
dan Kejadian Nyaris Cedera (KNC) yang masih sering terjadi di rumah sakit.
Data JCI tahun 2012 menunjukkan bahwa sebanyak 13% surgical error dan
68% kesalahan tranfusi darah, hal ini terjadi karena terjadi kesalahan pada
tahapan identifikasi pasien. Salah satu identifikasi yang dapat dilakukan oleh
semua pelayanan kesehatan pasien rawat inap adalah dengan pemasangan
gelang identitas yang berisi nama pasien, No. Rekam medis, serta tanggal
lahir pasien (Kusuma, 2012). Pelaksanaan patient safety menjadi suatu sistem
yang harus ada di semua rumah sakit di dunia begitu juga di Indonesia. Hal ini
merupakan bagian dari standar akreditasi rumah sakit 2012 yang terdiri dari
empat kelompok, yaitu standar pelayanan berfokus pada pasien, standar
manajemen

rumah sakit, sasaran keselamatan pasien di rumah sakit, serta sasaran


Milenium Development Goals. Keselamatan pasien dalam standar akreditasi
rumah sakit terdiri dari standar keselamatan pasien rumah sakit, tujuh langkah
keselamatan pasien rumah sakit, serta sasaran keselamatan pasien rumah sakit.
Ada enam sasaran keselamatan pasien, salah satunya dan yang menjadi
sasaran utama adalah ketepatan identifikasi pasien (Kemenkes, 2011).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh mahasiswa praktik
profesi peminatan keperawatan medikal bedah pada tanggal 10-11 Agustus
2015 diruangan Kelas I Bedah RSUP Dr. M.Djamil Padang terkait dengan
ketepatan identifikasi pasien sebelum melakukan tindakan dengan cara
mengidentifikasi pasien yang sesuai dengan standar keselamatan pasien di
rumah sakit

belum

optimal.

Hal

ini

terlihat

dari

observasi

yang

dilakukan terhadap 6 perawat, didapatkan 1 perawat yang hanya melakukan


identifikasi pasien, tapi masih belum sesuai dengan standar keselamatan
pasien yang ditetapkan di rumah sakit. Petugas hanya memanggil nama
pasien tanpa melihat gelang identitas pasien.
Berdasarkan

fenomena-fenomena

diatas

penulis

tertarik

untuk

memaparkan asuhan keperawatan pada pasien dengan kolelitiasis post


laparatomi dengan penerapan foot massage sebagai salah satu evidence based
practise

serta

pelaksanaan

ketepatan

identifikasi

pasien

manajemen ruangan yang penulis angkat terkait patien safety


Kelas I Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang.

sebagai
di Ruang

B. Tujuan
1.

Tujuan Umum
Tujuan penulisan laporan ilmiah akhir ini adalah untuk
memaparkan pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan
kolelitiasis post laparatomi dengan penerapan teknik foot massage
serta pelaksanaan ketepatan identifikasi pasien di Ruang Kelas I
Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang.

2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan Laporan Ilmiah Akhir ini
sebagai berikut :
a. Manajemen asuhan Keperawatan
1) Memaparkan pengkajian yang komprehensif pada pasien
dengan

kolelitiasis post

laparatomi di

Ruang

Kelas 1

Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang.


2) Memaparkan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
kolelitiasis post laparatomi di Ruang

Kelas I Bedah

RSUP Dr.M.Djamil Padang


3) Memaparkan perencanaan asuhan keperawatan pada pasien
dengan kolelitiasis post laparatomi di Ruang

Kelas I Bedah

RSUP Dr.M.Djamil Padang


4) Memaparkan implementasi asuhan keperawatan pada pasien
dengan kolelitiasis post laparatomi di Ruang
RSUP Dr.M.Djamil Padang

Kelas I Bedah

1
0

5) Memaparkan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan


kolelitiasis post laparatomi di Ruang

Kelas I Bedah

RSUP Dr.M.Djamil Padang


b. Evidenced Based Nursing (EBN)
Memaparkan tindakan keperawatan terapi foot massage
pada pasien kolelitiasis post laparatomi di Ruang Kelas I Bedah
RUP Dr.M.Djamil Padang.
c. Manajemen Layanan Keperawatan
1) Mengidentifikasi masalah ketepatan identifikasi pasien di Ruang
Kelas I Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang.
2)

Membuat perencanaan penerapan ketepatan identifikasi


pasien di Ruang Kelas I Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang.

3) Melaksanakan implementasi penerapan ketepatan identifikasi


pasien di Ruang Kelas I Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang.
4) Melakukan evaluasi penerapan ketepatan identifikasi pasien di
Ruang Kelas I Bedah RSUP Dr.M.Djamil Padang.
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi profesi keperawatan
Laporan Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat menjadi acuan,
tambahan dan wawasan bagi

pelaksanaan asuhan keperawatan pada

pasien dengan kolelitiasis post laparatomi dengan penerapan teknik


foot massage sebagai salah satu intervensi mandiri keperawatan serta
meningkatkan pelaksanaan patien safety khususnya dalam ketepatan
identifikasi pasien.

1
1

2. Bagi Institusi rumah sakit


a)

Laporan Ilmiah Akhir ini dapat

ditelaah untuk dijadikan

Standar Operasional Prosedur sebagai salah satu intervensi


keperawatan dalam mengatasi nyeri pada pasien post operasi.
b) Dapat diberikannya fasilitas atau disediakannya terapis

yang

bersertifikat dalam memberikan intervensi foot massage.


c) Tim monev diharapkan

selalu memonitor evaluasi manajemen

rumah sakit terkait patien safety, terutama tentang ketepatan


identifikasi pasien.
3. Bagi Institusi Pendidikan
a)

Laporan Ilmiah Akhir ini dapat memberikan referensi dan


masukan tentang
kolelitiasis

asuhan

keperawatan

pada

pasien

post laparatomi dengan penerapan terapi foot

massage dan pelaksanaan peningkatan ketepatan identifikasi


pasien.
b) Laporan ilmiah akhir ini dapat dijadikan literatur dan sebagai data
dasar untuk penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai