Anda di halaman 1dari 25

KELOMPOK 4

MANAJEMEN PERPAJAKAN
BAB 2
Overview Pajak Penghasilan

OLEH:
1. MADE MOLIK ARIDITA
(1506325003 )
2. I GEDE ADITYA MAHENDRA
(1506325006 )

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2016

Subjek pajak Penghasilan dan Pengecualiannya


1. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang
menjadi subjek pajak adalah :
a. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak;
b. Badan; dan
c. Bentuk usaha tetap. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang
perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek
pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri adalah:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan;
2. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara;
dan
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak.

Subjek pajak luar negeri adalah :


a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
dan
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.

2. Pengecualian subjek pajak penghasilan, menurut Pasal 3 ayat (1) UndangUndang Pajak Penghasilan adalah :
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat
lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka
yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima
atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut
serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat: Indonesia menjadi
anggota organisasi tersebut; dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan
lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan
pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota;
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
dengan keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara

Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Objek Pajak Penghasilan dan Pengecualiannya


1. Ojek pajak Penghasilan
Berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang


tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
h.
i.
j.
k.

usaha koperasi;
royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah

l.
m.
n.
o.

tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;


keuntungan selisih kurs mata uang asing;
selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
premi asuransi;
iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang

terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.
Penghasilan yang dapat dikenakan pajak bersifat final adalah :
a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi
dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. penghasilan berupa hadiah undian;
c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau

pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima


oleh perusahaan modal ventura;
d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan/atau bangunan; dan
e. penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
2. Penghasilan yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak Penghasilan
Pengecualian objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, yaitu :
a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
b. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
c. warisan;
d. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib

Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak
yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
f. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
g. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,
atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan
yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor;
h. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai;
i. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidangbidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
j. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif;
k. dihapus;
l. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut: merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah,
atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
m. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

n. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan; dan
o. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Beban-beban yang Boleh dijadikan Sebagai Pengurang Penghasilan
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan, Besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk :
1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
a. biaya pembelian bahan;
b. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
c.
d.
e.
f.
g.

bentuk uang;
bunga, sewa, dan royalti;
biaya perjalanan;
biaya pengolahan limbah;
premi asuransi;
biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;


h. biaya administrasi; dan
i. pajak kecuali Pajak Penghasilan;
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;

3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
5.
6.
7.
8.

memelihara penghasilan;
kerugian selisih kurs mata uang asing;
biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
c. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
d. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;


9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah. (PP No. 93 Tahun 2010)
Beban yang Tidak Boleh Dijadikan sebagai Pengurang Penghasilan

Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk


menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial
c.
d.
e.
f.

yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;


Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan
Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;


4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
6. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

7. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf
m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan
yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah;
8. Pajak Penghasilan;
9. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
10. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
11. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.

Rekonsiliasi Fiskal
A. Rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal
Rekonsiliasi fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersial yang
berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto/laba yang
sesuai dengan ketentuan pajak. Rekonsilisasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak
karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi
(komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan
komersial ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari
sektor swasta, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk
menghitung pajak. Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan
keuangan fiskal adalah karena terdapat perbedaan prinsip akuntansi, perbedaan
metode dan prosedur akuntansi, perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya,
serta perbedaan perlakuan penghasilan dan biaya.

Jika suatu entitas (Wajib Pajak) harus menyusun dua laporan keuangan
yang berbeda, maka disamping terdapat pemborosan waktu, tenaga, dan uang juga
akan terjadi tidak tercapainya tujuan menghindari manipulasi pajak. Menurut
Bambang Kesit (2001), untuk mengatasi masalah tersebut digunakan beberapa
pendekatan dalam penyusunan laporan keuangan fiskal, yaitu:
1. Laporan keuangan fiskal disusun secara beriringan dengan laporan
keuangan komersial.
2. Laporan keuangan fiskal ekstrakomtabel dengan laporan keuangan bisnis.
3. Laporan keuangan fiskal disusun dengan menyisipkan ketentuan-ketentuan
pajak dalam laporang keuangan bisnis.

Untuk menjembatani adanya perbedaan tujuan kepentingan laporan


keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal serta tercapainya tujuan
efisiensi maka lebih dimungkinkan untuk menetapkan pendekatan yang kedua.
Perusahaan hanya menyelenggarakan pembukuan menurut akuntansi komersial,
tetapi apabila akan menyusun laporan keuangan fiskal barulah menyusun
rokonsiliasi terhadap laporan keuangan komersial tersebut.
B. Beda Permanen dan Temporer
Perbedaan penghasilan dan biaya/pengeluaran menurut akuntansi dan
menurut fiskal dapat dikelompokkan menjadi beda tetap/ permanent (permanent
differences) dan beda waktu/sementara (timing differences).
1. Beda Tetap/ Permanen
Adalah perbedaan pengakuan pendapatan dan beban berdasarkan
ketentuan perpajakan yang berlaku dengan Standar Akuntansi Keuangan yang
bersifat permanen. Artinya penghasilan atau biaya yang demikian tidak akan
diakui untuk selamanya dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak.
Contoh: pemberian kenikmatan/ natura kepada karyawan, sumbangan, biaya
jamuan makan,pendapatan bunga, pembayaran dividen.

Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan


biaya menurut akuntansi dengan menurut pajak, yaitu adanya penghasilan dan
biaya yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak diakui menurut
fiskal, atau sebaliknya. Beda tetap dengan laba kena pajak menurut fiskal (taxable
income).
Beda tetap biasanya timbul karena peraturan perpajakan mengharuskan
hal-hal berikut dikeluarkan dari perhitungan Penghasilan Kena Pajak:
1. Penghasilan yang telah dikenakan PPh final (pasal 4 ayat 2 UU PPh)
2. Penghasilan yang bukan Objek pajak (pasal 4 ayat 3 UU PPh)
3. Pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha,
yaitu mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta
pengeluaran yang sifat pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya
melebihi kewajaran (pasal 9 ayat 1 UU PPh).

Beda Tetap (Permanen) terdiri dari:


a. Beda Tetap Penghasilan
1. Penerimaan menurut PSAK merupakan penghasilan tetapi undang
undang Pajak Penghasilan (PPh) bukan penghasilan. Contoh: Dividen atau
bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan
Usaha Milik Daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1) Dividen berasal dari cadangan laba ditahan
2) bagian perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Usaha
Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah
modal disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan
saham tersebut.
2. Penerimaan yang menurut SAK bukan merupakan penghasilan tetapi
menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) merupakan penghasilan. Contohnya:
penerimaan hibah atau bantuan dari pihak-pihak yang ada hubungan
istimewa.

3. Penghasilan yang dikenakan pemungutan pajak bersifat final.


b. Beda Tetap Biaya
Pengeluaran yang menurut PSAK merupakan beban tetapi menurut UU
PPh tidak boleh dikurangi penghasilan bruto.
1. Biaya yang tidak ada hubungan langsung untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan,
2. Biaya untuk mendapat, menagih dan memelihara penghasilan yang
dikenakan PPh Final
3. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
4. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang undangan
dibidang perpajakan.
5. Kerugian karena penjualan/pengalihan aktiva dan/atau hak yang dimiliki
yang tidak dipergunakan dalam kegiatan usaha dan dalam rangka
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
6. PPh Pasal 21 dan 26 yang ditanggung oleh pemberi penghasilan kecuali
dalam menghitungnya menggunakan metodegroos up.
c. Beda Tetap yang disebabkan tidak dipenuhi syarat-syarat khusus:
Yaitu suatu penghasilan atau biaya baru akan diakui berbeda sepanjang
tidak memenuhi syarat syarat pengakuannya dalam ketentuan perpajakan.
namun jika memenuhi ketentuan perpajakan maka perbedaan yang timbul dalam
pengakuan menurut fiskal akan menjadi hilang dan pengakuannya akan sama
dengan pengakuan menurut prinsip akuntansi. contoh:
1. Biaya perjalanan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
biaya perjalanan pegawai peusahaan untuk kepentingan perusahaan yang
dilengkapi dengan bukti bukti yang sah, misal: surat tugas, tiket,
kwitansi hotel, atau pembayaran ke biro perjalanan. Uang saku dalam
perjalanan dinas merupakan objek PPh Pasal 21 dan dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto.

2. Biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah


biaya promosi yang didukung bukti pemuatan iklan, pembuatan barang
barang promosi harus dibedakan dengan sumbangan.
3. Biaya Entertaiment yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
biaya entertainment yang benar dikeluarkan ada hubungannya dengan
kegiatan usaha Wajib Pajak dan dibuatkan daftar normative (dilampirkan
di SPT Tahunan PPh). Isi daftar normatif meliputi: Nomor urut, Tanggal,
Nama Tempat, Alamat, Jenis dan Jumlah Entaiment yang diberikan, serta
Nama, Posisi, Nama Perusahaan dan Jenis Usaha Relasi yang dijamu.
4. Biaya penelitian dan pengembangan yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah usaha yang dilakuakan di Indonesia.
5. Kerugian piutang usaha kecuali Bank dan Sewa Guna Usaha (SGU),
piutang yang dapat dihapuskan adalah piutang yang nyata nyata tidak
dapat ditagih dan dibuatkan daftar normative (dilampirkan di SPT Tahunan
PPh).
6. Beda Tetap yang disebabkan praktek praktek akuntansi yang tidak sehat:
a. Keperluan pribadi pemilik atau pemegang saham dan keluargannya
yang dibayar perusahaan dan dibukukan sebagai beban usaha.
b. Keperluan pribadi pegawai perusahaan yang dibayar perusahaan
dan dibukukan sebagai beban usaha.
2. Beda Waktu / Sementara
Adalah perbedaan pengakuan pendapatan dan beban tertentu menurut
Standar Akuntansi Keuangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Perbedaan ini menyebabkan pergeseran pengakuan pendapatan atau beban antara
satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya. Contoh : penyusutan aktiva tetap,
pengakuan terhadap piutang dan persediaan.
Beda waktu biasanya timbul karena perbedaan yang dipakai antara pajak
dengan akuntansi dalam hal:
1.
2.
3.
4.

Akrual dan realisasi


Penyusutan dan amortisasi
Penilaian persediaan
Kompensasi kerugian fiscal

Contoh Beda Waktu/Sementara:


1.
2.
3.
4.
5.

penyusutan/amortisasi
penilaian persediaan
Rugi laba selisih Kurs
Rugi laba atas penyertaan saham
Kerugian piutang kecuali bank, sewa guna usaha dengan hak opsi,

cadangan utnuk usaha asuransi, cadangan reklamasi usaha pertambangan.


6. Tagihan atau hutang dalam valuta asing
7. Harta berwujud dan tidak berwujud
8. Biaya pendirian dan perluasan usaha
9. Biaya sebelum produksi komersial
10. Biaya dibayar dimuka jangka panjang
11. Pencadangan kewajiban bersyarat atau cadangan lain
12. Pengakuan pengahasilan dan biaya atas proyek jangka panjang
13. Hak penambangan dan hak pengusaha hutan.

Koreksi Positif dan Negatif


Dengan adanya beda waktu dan beda tetap laporan keuangan komersial
harus dikoreksi terlebih dahulu untuk menghitung penghasilan kena pajaknya.
Koreksi ini disebut koreksi fiskal yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu :
1) Koreksi positif yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penghasilan kena pajak
secara fiskal bertambah, yang selanjutnya berdampak memperbesar nilai pajak
penghasilan yang terutang.
Koreksi Positif terjadi apabila pendapatan menurut fiskal bertambah. Koreksi
positif biasannya dilakukan akibat adanya:
1. Beban yang tidak diakui oleh pajak (non-deductible expense)
2. Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiscal
3. Amortisasi komersial lebih besar dari amortisasi fiscal
4. Penyesuaian fiskal positif lainnya
2) Koreksi negatif yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penghasilan kena
pajak secara fiskal menjadi berkurang yang selanjutnya berdampak
memperkecil penghasilan kena pajak. Koreksi negatif biasanya dilakukan
akibat adanya:
1. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak
2. Penghasilan yang dikenakan PPh final
3. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya
4. Penyesuaian fiskal negaif

C. Perhitungan Pajak Terutang


Untuk Tahun Pajak 2009 ada beberapa tarif untuk menghitung Pajak
Terhutang, yaitu:
Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%. Contoh
penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan
bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 1.250.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp 1.250.000.000,00 = Rp 350.000.000,00
Tarif PPh Pasal 17 ayat (2b)
Tarif ini diterapkan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk
perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah
keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya. Wajib Pajak tersebut dapat memperoleh
tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud
pada Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU No. 36 Tahun 2008 yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Contoh:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dalam tahun pajak 2009 Rp 1.250.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
(28% - 5%) x Rp1.250.000.000,00 = Rp 287.500.000,00
Tarif PPh Pasal 31E
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa

pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Penghitungan PPh
terutang berdasarkan Pasal 31E dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Jika peredaran bruto kurang dari Rp 4.800.000.000, maka penghitungan PPh
terutang yaitu sebagai berikut:
PPh terutang = (50% x 28%) x seluruh Penghasilan Kena Pajak
2) Jika peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 sampai dengan Rp
50.000.000.000, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut:
PPh Terutang = (50% x 28%) x Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang memperoleh fasilitas + 28% x Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang

memperoleh fasilitas yaitu:


(Rp 4.800.000.000 / Peredaran bruto) x Penghasilan Kena Pajak
Penghitungan PKP dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh
fasilitas yaitu:
Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang memperoleh fasilitas

Contoh 1):
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp
4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena
Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Penghitungan pajak
yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto
tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku
karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp 500.000.000,00 = Rp 70.000.000,00
Contoh 2):

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp


30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak
sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas:
(Rp 4.800.000.000,00/Rp 30.000.000.000,00) x Rp 3.000.000.000,00 = Rp
480.000.000,00
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas:
Rp 3.000.000.000,00 Rp 480.000.000,00 = Rp 2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x Rp 28%) x Rp 480.000.000,00

= Rp 67.200.000,00

28% x Rp 2.520.000.000,00

= Rp 705.600.000,00 +

Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang

= Rp 772.800.000,00

D. Kredit Pajak
Untuk mendapatkan pajak yang masih harus dibayar pada suatu tahun
pajak maka atas pajak yang terhutang perlu dikurangi dengan kredit pajak. Kredit
Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilaiadalah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang
dikurangkan dari pajak yang terutang. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang
dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha
untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja.
Kredit pajak yang dapat dikurangkan terhadap pajak yang terutang pada
akhir tahun adalah Pajak Penghasilan yang Telah dilunasi dalam tahun berjalan
oleh WP Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap baik yang dibayar sendiri oleh
WP dan BUT tersebut maupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain,
berupa:

1.
2.
3.
4.
5.

PPh yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21)


PPh yang dipungut pihak lain (Pasal 22)
PPh yang dipotong pihak lain (Pasal 23)
Kredit PPh luar negeri (Pasal 24)
Pembayaran yang dilakukan sendiri oleh WP (Pasal 25)
Langkah-langkah menghitung Pajak Penghasilan Terutang pada akhir

tahun untuk Wajib Pajak Badan:


1. Memperoleh laporan keuangan komersial (laporan laba rugi) beserta
rincian-rinciannya yang dihasilkan oleh sistem pembukuan. Meneliti akunakun dalam laporan keuangan (komersial) untuk melakukan rekonsiliasi
fiskal.
2. Menyesuaikan penyajian laporan laba rugi komersial kedalam bentuk
penyajian yang sesuai dengan ketentuan perpajakan.
3. Melakukan rekonsiliasi fiskal dan mengklasifikasikan pendapatan dan
beban yang terdapat dalam laporan keuangan fiskal menjadi penghasilan
dan pengurangan sesuai ketentuan perpajakan.
4. Menghitung dan mengklasifikasi jumlah penghasilan neto menurut
sifatnya yaitu penghasilan yang pengenaan pajaknya tidak final,
penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final, dan penghasilan yang
5.
6.
7.
8.

bukan Objek Pajak.


Menghitung Penghasilan Kena Pajak .
Menghitung kredit pajak yang dibolehkan.
Menghitung pajak yang masih harus dibayar (lebih bayar).
Menentukan penghasilan yang dikenakan PPh final serta jumlah yang

telah dipotong/dipungut .
9. Menentukan penghasilan yang bukan objek Pajak Penghasilan.
Kredit pajak penghasilan adalah pajak pajak yang telah dibayar sendiri
atau telah dipotong oleh pihak lain yang berkaitan dengan transaksi antara Wajib
Pajak dengan pihak lain. Yang perlu diperhatikan atas pajak pajak yang dapat
dikreditkan antara lain seperti berikut:
1. PPh yang dapat dikreditkan tersebut berhubungan dengan kegiatan usaha
Wajib Pajak dalam rangka mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan.

2. Masa bulan perolehan PPh yang dikreditkan berada pada masa tahun PPh
yang terhutang.
Kredit pajak penghasilan dapat dibedakan menjadi seperti berikut ini:
1. Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain
2. Pajak yang dibayar sendiri
3. Surat Tagihan Pajak

Kredit Pajak Yang Dibayar Sendiri


Pajak yang dibayar sendiri oleh WP yang dapat dikreditkan adalah PPh
pasal 25 dan Fiskal Luar Negeri. PPh pasal 25 adalah uang muka PPh yang akan
diperhitungkan atas PPh yang terutang diakhir tahun. Besarnya PPh pasal 25
dihitung dengan cara sebagai berikut:
1. Setelah SPT Tahunan dilaporkan
2. Sebelum SPT dilaporkan
3. Setelah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak
E. Pajak Akhir Tahun
Pada akhir tahun pajak, Wajib Pajak Dalam Negeri, Bentuk Usaha Tetap
diwajibkan untuk melakukan perhitungan pajak yang terutang atas seluruh
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan,
kecuali atas penghasilan yang telah dipotong pajak bersifat final. Pajak yang
terutang pada akhir tahun dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun yang
bersangkutan. Hasil pengurangan Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir
tahun dengan kredit pajak untuk tahun yang bersangkutan akan berakibat pajak
penghasilan yang terutang lebih besar atau lebih kecil dari kredit pajak ataupun
nihil. Mengacu pada Pasal 28, Pasal 28A, dan Pasal 29 Undang-undang Pajak
Penghasilan.
PPh Pasal 28
Bagi WP Dalam Negeri dan BUT, pajak yang terutang dikurangi dengan
kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan, berupa:

a. Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan


sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
b. Pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau
kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
c. Pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalty, sewa,
hadiah, dan penghargaan, dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam
pasal 23
d. Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24
e. Pembayaran yang dilakukan oleh WP sendiri sebagaimana dimaksud
dalam pasal 25
f. Pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26
ayat (5)

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil
dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka
setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah
diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi sanksinya.
PPh Pasal 29
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar
daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan
pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
Tambahan data mengenai perubahan tarif Undang Undang PPh:
Tarif Pemotongan / Pemungutan
Tarif Non-NPWP
Jenis Pot/Put

dibandingkan

Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23

Tarif NPWP
20% lebih tinggi
100% lebih tinggi
100% lebih tinggi

PPH Pasal 22
UU No. 17 Tahun 2000:
Menteri Keuangan dapat menetapkan:
1. bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan
dengan pembayaran atas penyerahan barang;
2. badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain;
dan
3. diusulkan tambahan:
Wajib Pajak tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah. Besarnya batasan barang tergolong
sangat mewah dan tarif PPh Pasal 22 sedang dalam proses pembahasan.

Perubahan PPh Pasal 23


Perubahan pada PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c:
Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang dibayarkan, atau disediakan untuk dibayarkan, atau jatuh tempo
pembayaran oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar
negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong
pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 2 % (dua persen) dari jumlah
bruto atas:
1. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,kecuali
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang
telah dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
2. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi,
jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

PPh Pasal 25 ayat (7) huruf c WP OP Tertentu


Keputusan Perubahan:
Diangkat menjadi Batang Tubuh UU PPh Pasal 25 ayat (7)
Tarif paling tinggi 0,75% dari jumlah peredaran bruto berdasarkan
pembukuan atau pencatatan setiap bulan.
FISKAL LUAR NEGERI PPh Pasal 25 ayat (8)
Keputusan Perubahan:
a. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki NPWP tidak membayar
Fiskal Luar Negeri.
b. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki NPWP dan telah
berusia 21 tahun yang bertolak ke LN, wajib membayar Fiskal Luar
Negeri sebagai pembayaran pajak dimuka yang ketentuannya diatur
dengan PP.

Referensi :
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan.
Resmi, Siti. 2007. Perpajakan Teori dan Kasus, Edisi Ketiga. Yogyakarta:
Penerbit Salemba Empat.
www.pajak.go.id ( diakses tanggal 23 September 2016)
http://zetzu.blogspot.co.id/2012/06/rekonsiliasi-fiskal.html (diakses tanggal 23
September 2016)

Anda mungkin juga menyukai