061 - Retno Kusumayanti 5207220001 Pelaksanaan Outsourcing Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Pekerja PDF
061 - Retno Kusumayanti 5207220001 Pelaksanaan Outsourcing Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Pekerja PDF
outsourcing. Karena status pekerja outsourcing adalah pekerja pada PT.A, tapi harus
bekerja pada PT.B dengan waktu kerja: 6 bulan, 1 tahun atau 2 tahun.
Sementara itu, Undang undang Ketenagakerjaan belum menyebutkan secara
tegas mengenai istilah dari outsourcing. Tetapi pengertian dari outsourcing ini sendiri
dapat dilihat dalam ketentuan pasal 64 UUK ini, yang isinya menyatakan bahwa
outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan
tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
yang dibuat secara tertulis.
Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan
perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu
perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi
pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang
lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada
pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti
sumber. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi
operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara
perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa,
dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja
yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang dan
upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B.
Outsourcing adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan sendiri. Tetapi
outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh melebihi itu.
Maurice F. Greaver II memberikan definisi outsourcing sebagai berikut :
Outsourcing is the act of transferring some of a companys recurring
internal activities and decision rights to outside provider, as set forth in a contract.
Because the activities are recurring and a contract is used, outsourcing goes beyond
the use of consultants. As a matter of practise, not only are the activities transferred,
but the factor of production and decision rights often are, too. Factors of production
are the resources that make the activities occur and include people, facilities,
equipment, technology, and the other asset. Decision rights are the responsibility for
making decisions over certain elements of the activities transferred.
Menurut Shreeveport Management Consultancy, outsourcing adalah The
transfer to a third party of the continuous management responsibility for the
provision of a service governed by a service level agreement .
Patut juga dikutip pendapat Rohi Senangun, bahwa pola perjanjian kerja
dalam bentuk outsourcing secara umum adalah ada beberapa pekerjaan kemudian
diserahkan ke perusahaan lain yang telah berbadan hukum, dimana perusahaan yang
satu tidak berhubungan secara langsung dengan pekerja tetapi hanya kepada
perusahaan penyalur atau pengerah tenaga kerja. Pendapat lain menyebutkan bahwa
outsourcing adalah pemberian pekerjaan dari satu pihak kepada pihak lainnya dalam
2 (dua) bentuk,yaitu :
1.
Mengerahkan dalam bentuk pekerjaan.
Misalnya : PT. Pusri sebagai pemberi kerja, menyerahkan pekerjaanya kepada
PT. HAR untuk melaksanakan pekerjaan pengantongan pupuk.
2.
Pemberian pekerjaan oleh pihak I dalam bentuk jasa tenaga kerja.
Misalnya : PT. Jimmigo yang menyediakan jasa tenaga kerja yang ahli untuk
dapat bekerja di PT. Conocophilips.
Model outsourcing dapat dibandingkan dengan bentuk perjanjian
pemborongan bangunan walaupun sesungguhnya tidak sama. Perjanjian
pemborongan bangunan dapat disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan
outsourcing sendiri bukanlah suatu kontrak. Pekerja/buruh dalam perjanjian
pemborongan bangunan dapat disamakan dengan pekerja harian lepas seperti yang
diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR : PER . 06 / MEN / 1985 tentang
Perlindungan Pekerja Harian Lepas PHL). PHL adalah pekerja yang bekerja pada
pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-ubah dalam
hal waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan atas
kehadiran pekerja secara harian. Sebagai contoh adalah kuli panggul yang
mengangkat barang di pelabuhan Tanjung Priok.
Perjanjian pemborongan bangunan akan berakhir antara pengusaha dengan
pekerja apabila obyek perjanjian telah selesai dikerjakan. Misalnya pembangunan
jembatan, dalam hal jembatan telah selesai maka masa bekerjanya pun menjadi
berakhir kecuali jembatan tersebut belum selesai dikerjakan. Sedangkan dalam
outsourcing masa bekerja akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati
antara pengusaha dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.
Ditinjau dari segi pengusaha adanya pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa
tenaga kerja, menguntungkan karena pengusaha dapat mengkonsentrasikan
pemikirannya untuk menangani core bisnisnya sedangkan pekerjaan-pekerjaan
penunjang dapat diserahkan kepada pemborong. Dengan demikian pengusaha tidak
perlu memiliki organisasi yang besar dengan jumlah tenaga kerja yang banyak.
Demikian juga permasalahan ketenagakerjaan dapat dieliminir dengan adanya
perusahaan lain yang menangani pekerjaan penunjang, dimana hubungan kerja
pekerja langsung ditangani pemborong atau penyedia jasa tenaga kerja.
Ditinjau dari segi kepentingan pekerja, adanya pekerjaan pemborongan atau
penyedia jasa tenaga kerja perlu adanya ketegasan hubungan kerja yang jelas
sehingga pemenuhan hak-hak pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan jelas penanggungjawabnya. Untuk itu pekerja harus diikat dengan
perjanjian kerja dengan perusahaan yang memperkerjakannya.
Hal ini penting karena dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan
outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja (labor
cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh dibawah dari yang
seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja.
Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja
dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya
outsourcing seperti apa yang disebutkan diatas menjadi tidak tercapai, oleh karena
terganggunya proses produksi barang dan jasa.
Oleh karena itu, baik perusahaan maupun pekerja agar senantiasa dapat hidup
bersama tanpa terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat ataupun
pemikiran yang berbeda-beda, diperlukan pelaksanaan outsourcing yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pedoman untuk
berperilaku secara formal.
Pedoman tersebut yang dikenal sebagai kaidah hukum bertujuan untuk agar
tercapai kedamaian didalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti
keserasian antara ketertiban dan ketentraman, atau keserasian antara keterikatan dan
kebebasan. Itulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak
lain daripada mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan
kesebandingan hukum.
Pelaksanaan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan
penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat
diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Dengan
mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre menyatakan, bahwa pada
hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).
Atas dasar tersebut diatas, bahwa gangguan pelaksanaan outsourcing yang
melindungi hak pekerja mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai,
kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila ketidakserasian antara
nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma didalam kaidah-kaidah bersimpang siur,
dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu pelaksanaan tersebut diatas.
Oleh karena itu, apakah pelaksanaan outsourcing melindungi hak pekerja bukan
semata-mata pelaksanaan perundang-undangan (law enforcement), namun juga ada
faktor-faktor lain yang mempengaruhi, antara lain:
a.
Faktor hukumnya sendiri;
b.
Faktor pelaksana atau yang menerapkan hukum; yaitu perusahaan dan pekerja
c.
Faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Ketiga faktor di atas perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan
outsourcing. Hal ini dimaksudkan agar pekerja benar benar mendapatkan
perlindungan yang layak sesuai dengan hak yang mereka miliki. Disamping itu
perlindungan bagi pekerja merupakan faktor yang sangat penting di dalam rangka
menciptakan keseimbangan dalam hubungan kerja, sehingga terwujudlah keadilan
sosial yang merata di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan landasan pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945.
Salah satu bentuk perlindungan dan kepastian hukum terutama bagi pekerja
tersebut adalah melalui pelaksanaan dan penerapan perjanjian kerja. Perjanjian Kerja
adalah perjanjian yang dibuat antara pengusaha dan pekerja yang memuat hak dan
kewajiban pengusaha dan pekerja, termasuk syarat-syarat kerja, pengupahan, dan cara
pembayaran. Dengan adanya perjanjian kerja diharapkan para pihak yang sepakat
melakukan hubungan kerja lebih mengetahui hak dan kewajiban masing-masing pihak
dan mengetahui sendiri apakah ia sudah melaksanakan perjanjian tersebut dengan
baik atau ia melanggar perjanjian tersebut.
Perjanjian dibuat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu mengenai syarat
sahnya perjanjian, yaitu:
1. sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
suatu hal tertentu;
4.
suatu sebab yang halal.
Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja selain tetap
berpedoman pada ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, ternyata masih ada unsur-unsur
lain yang harus mereka penuhi, menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negri
Belanda, yaitu Prof, Mr. M.G. Rood, beliau menyebutkan bahwa suatu perjanjian
kerja baru ada, manakala di dalam perjanjian kerja tersebut memenuhi 4 (empat)
2.
Kerangka Berpikir
Outsourcing merupakan perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja / buruh karena semua kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan maupun
tenaga kerja yang seharusnya menjadi urusan dan ditangani langsung oleh perusahaan
pengguna dialihkan kepada perusahaan penyedia jasa untuk kemudian ditangani dan
menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa, maka itu perjanjian outsourcing
sebagai perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja / buruh.
Perjanjian outsourcing dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak, yaitu perusahaan
pengguna dan perusahaan penyedia jasa. Perusahaan pengguna sepakat bahwa akan
melakukan pengalihan tenaga kerja dan / atau pekerjaan kepada perusahaan penyedia
jasa. Setelah ada kesepakatan antara kedua belah pihak, baru outsourcing tersebut
dapat dilakukan. Perjanjian outsourcing diawali dengan adanya kesepakatan antara
perusahaan pengguna dengan perusahaan penyedia jasa, kesepakatan tersebut dibuat
dalam bentuk perjanjian kerjasama pemborongan penyediaan tenaga kerja. Setelah itu
perusahaan penyedia jasa melakukan perjanjian dengan pekerja.
Pekerja adalah bagian dari rakyat Indonesia yang perlu dilindungi. Prinsip
perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia menurut Philipus, adalah prinsip
pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber
pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila.
Perlindungan hukum bagi pekerja didasarkan pada ketentuan Pasal 27 (1) dan
ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), dan ayat (2), Undang Undang Dasar 1945. Pasal 27
(1) UUD45, yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Pasal 27 ayat (2) UUD45, yaitu tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Selain itu jaminan perlindungan atas pekerjaan, dituangkan pula dalam
ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD45, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum. Pasal 28 D ayat (2) UUD45, yaitu setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja. Ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa di Indonesia hak untuk bekerja telah
memperoleh tempat yang penting dan dilindungi oleh UUD 1945. Dibidang
ketenagakerjaan, perlindungan hukum bagi pekerja didasarkan pada UU No. 13
Tahun 2003, UU No. 2 Tahun 2004 dan UU No. 21 Tahun 2000, beserta peraturan
pelaksanaannya.
Pengaturan perlindungan hukum bagi pekerja di dalam UU No. 13 Tahun
2003 diatur dalam Pasal 67 101. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 dalam UU No. 13
Tahun 2003, pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan
dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan merupakan salah
satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan.
Perlindungan hukum bagi pekerja pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu
perlindungan hukum preventif dan represif. Pada perlindungan hukum prefentif,
tujuannya adalah menghindari sengketa. Salah satu wujudnya adalah dengan peran
serta masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang belum disahkan atau
melalui dengar pendapat untuk mencegah terjadinya sengketa.
Dalam perlindungan hukum yang bersifat preventif, sangat penting peran dari
pegawai pengawas perburuhan / ketenagakerjaan. Pengawasan perburuhan diatur
lebih lanjut dalam Pasal 176 Pasal 181 UU No. 13 Tahun 2003. Pengaturannya
masih bersifat umum dan akan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perUndangUndangan. Selama belum ada peraturan perUndang-Undangan maka ketentuan UU
No. 23 Tahun 1948 menjadi alternatif pemecahannya.
Bentuk perlindungan hukum hak pekerja lainnya adalah perlindungan hukum
yang represif. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan sengketa. Berangkat dari
konsep hukum pada rumusan norma hukum yang terdapat dalam Pasal-Pasal UU No.
13 Tahun 2003, dapat dimungkinkan timbulnya sengketa sehingga melahirkan claim.
Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak pekerja berasal dari pengakuan
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Inti yang terkandung di dalam hak,
yaitu adanya suatu tuntutan (claim). Claim dapat terjadi apabila terdapat hak yang
tidak dilaksanakan. Merupakan suatu upaya hukum apabila ada pelanggaran hak.
Antara hak dan kewajiban haruslah mengandung kesetaraan atau keseimbangan.
Analisa Perlindungan Hak Pekerja menurut Undang undang No. 13 Tahun
2003
tentang Ketenagakerjaan
Perlindungan hukum bagi pekerja pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu
perlindungan hukum preventif dan represif. Pada perlindungan hukum prefentif,
tujuannya adalah menghindari sengketa. Salah satu wujudnya adalah dengan peran
serta masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang belum disahkan.
Sayangnya hal ini belum berjalan di Indonesia, bahkan seringkali terjadi suatu
Undang-Undang yang telah disahkan tidak pernah mempunyai naskah akademis. Kita
kurang menganggap penting penerapan teori hukum dan filsafat hukum dalam suatu
peraturan perundang-undangan. Peraturan sering hanya untuk memenuhi kebutuhan
pragmatis dan hanya dianggap sebagai suatu proyek yang patut untuk diperebutkan
dananya.
Pada UU No. 13 Tahun 2003, mengenai konsep hukum hubungan kerja
apabila ditinjau dari teori hukum mengandung banyak kesalahan. Pengertian
hubungan kerja, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Lebih lanjut
berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003, hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Hubungan kerja
adalah hubungan hukum. Pasal 1 angka 15 jo Pasal 50 - Pasal 66 UU No. 13 Tahun
2003 menjadi dasar hukumnya hubungan kerja. Dengan adanya dasar hukum itu
maka timbullah peristiwa hukum.
tidak berada di bawah perintah majikan, tapi justru berkedudukan hukum sama dan
sederajat dengan kedudukan hukum majikan sebagai layaknya pihak-pihak yang
mengikat diri pada suatu perjanjian timbal balik. Subyek hukum dalam perjanjian
kerja pada hakekatnya adalah subyek hukum dalam hubungan kerja. Yang menjadi
obyek dalam perjanjian kerja adalah tenaga yang melekat pada diri pekerja. Atas
dasar tenaga telah dikeluarkan oleh pekerja / buruh maka ia akan mendapatkan upah.
Hubungan kerja dilakukan oleh pekerja / buruh dalam rangka untuk mendapatkan
upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 Upah
adalah :
hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang
undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Tidak semua hakim MK, sependapat dengan putusan itu, terdapat dissenting
opinion (pendapat berbeda) dari hakim konstitusi Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar,
S.H., M.S. dan Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.
Kebijakan outsourcing yang tercantum dalam Pasal 64 66 UU
Ketenagakerjaan telah mengganggu ketenangan kerja bagi buruh/pekerja yang
sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mendowngrading-kan mereka sekedar sebagai sebuah komoditas, sehingga berwatak
kurang protektif terhadap buruh/pekerja. Artinya, UU Ketenagakerjaan tidak
sesuai dengan paradigma proteksi kemanusiaan yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perjanjian kerja merupakan dasar
terjadinya hubungan kerja. Perjanjian kerja yang dialakukan oleh pekerja dengan
pengusaha / pemberi kerja harus memenuhi ketentuan asas-asas hukum kontrak dan
syarat-syarat perjanjian kerja baik yang materiil maupun yang formil. Perjanjian kerja
harus memenuhi ketentuan asas- asas hukum kontrak, yang meliputi asas
konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikatnya
perjanjian. Pada asas kebebasan berkontrak, terdapat kebebasan kehendak yang
mengimplikasikan adanya kesetaraan minimal. Di sini antara pekerja dengan
pemberi kerja harus mempunyai kedudukan yang sama tidak dalam kedudukan subordinasi (di bawah perintah) harus sebagai mitra kerja. Pada asas kekuatan
mengikatnya kontrak, ditentukan oleh isi kontrak itu sendiri, kepatutan atau iktikad
baik, kebiasaan dan peraturan perundang-undangan.
Saran
Saran
penulis
dalam
meningkatkan
perlindungan
bagi
pekerja
outsourcing, yaitu :
1. Penulis berharap agar peraturan mengenai ketenagakerjaan dapat diperbaharui
guna melindungi kepentingan pekerja maupun pengusaha.
2. Bilamana pelaksanaan outsourcing harus dilakukan, maka penulis menyarankan
agar bentuk outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh
pemborong dapat dipertimbangkan, namun bukanlah outsourcing mengenai
penyediaan jasa pekerja.
3. Penulis juga berharap agar Pengawas Perburuhan dari Departemen Tenaga
Kerja lebih aktif dan independen dalam mengawasi perusahaan dan pelaksanaan
outsourcing.