Anda di halaman 1dari 137

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN

LAYANAN VCT PADA KELOMPOK RISIKO TINGGI


TERTULAR HIV-AIDS DI KOTA MAKASSAR

AN ANALYSIS ON FACTORS AFFECTING THE USE OF


VCT SERVICE FOR HIGH RISK GROUP INFECTED
BY HIV-AIDS IN MAKASSAR CITY

SUCI RAHMADANI

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN


LAYANAN VCT PADA KELOMPOK RISIKO TINGGI

TERTULAR HIV-AIDS DI KOTA MAKASSAR

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Kesehatan Masyarakat

Disusun dan diajukan oleh

SUCI RAHMADANI

kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

: Suci Rahmadani

Nomor Pokok

: P1802212406

Program Studi

: Kesehatan Masyarakat

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tuliskan ini


benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambil
alihan tulisan atau pemikiran orang lain.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa


seagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar,

Juni 2014

Yang menyatakan

SUCI RAHMADANI
iv

PRAKATA

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Taufik-Nya sehingga semua proses belajar mengajar pada Program Studi
Kesehatan Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin
sampai dengan penulisan tesis ini dapat dilalui. Niat yang tulus, kerja
keras, Doa dan Tawakkal kepada Allah SWT memberi kekuatan penuh
untuk melakukannya sehingga hasilnya dapat bernilai Ibadah di sisi-Nya
dan bermanfaat untuk kita semuanya.
Secara khusus dengan hormat ucapan terima kasih penulis kepada
Dr. Darmawansyah, SE, MS selaku Ketua Komisi Penasehat dan Prof.Dr.
dr. H. Muh.Syafar, MS selaku anggota Komisi Penasehat atas bimbingan
dan arahan yang telah diberikan kepada penulis sejak proses awal hingga
akhir penyususnan tesis ini. Demikian pula kepada Prof. Dr. Hj. Asiah
Hamzah, Dra, MA, Prof. Dr. H. Indar, SH, MPH, dan Dr. dr. Hj. Syamsiar
Russeng,

MS

yang

secara

aktif

telah

memberikan

masukan

untuk

perbaikan tesis ini, penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.


Ucapan

syukran

wajazakumullahu

khairan

katsiran

serta

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tuaku tercinta,


Ayahanda Jaelani dan Ibunda tercinta Suarni atas segala pengorbanan,
cinta kasih, serta doa yang tidak putus-putusnya kepada kami. Juga
kepada kedelapan saudaraku Jaswar Jaelani, Jasman Saputra, Dewi
v

Jayanti, Sanji Anugrah, Rezky Cahyadi, Nurul Fadila, Muh.Solihin dan


Sujasmin

Kurniawan

atas

segala

doa,

dukungan,

kesabaran,

dan

pengorbanannya, serta bantuan moril dan materil yang tak terhitung


jumlahnya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan
berkah-Nya.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Rektor Universitas Hasanuddin dan Direktur Program Pascasarjana

Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan kepada


penulis melanjutkan studi.
2. Dekan Fakultas Kesehatan masyarakat Universitas Hasanuddin, Ketua
Program Studi Kesehatan Masyarakat, dan Ketua Konsentrasi S2 AKK
beserta seluruh staf pengelola atas bantuan dan bimbingannya selama
penulis mengikuti pendidikan.
3. Seluruh

Staf

Pengajar

Pascasarjana

Magister

Administrasi

dan

Kebijakan Kesehatan Universitas Hasanuddin Makassar yang telah


memberikan bekal ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.
4. Walikota Makassar, Ketua KPA Kota Makassar dan Ketua Yayasan
Gaya Celebes beserta seluruh petugas dan anggotanya yang telah
memberi izin dan banyak bantuan kepada penulis selama melakukan
penelitian di Kota Makassar.
5. Kanda Balqis, SKM, M.Kes, Msc.PH yang telah banyak membantu
penulis selama penelitian. Terima kasih atas masukan

ilmu dan

dukungannya.
vi

6. Buat sahabat-sahabatku tercinta Ifa, Enho, Riska, Pritzka, Mangin, Anti


terima kasih atas persahabatan dan persaudaraan serta bantuan dan
dukungan yang tiada hentinya buat penulis. Terkhusus buat Ifa dan
Enho yang setia menemani penulis saat turun lapangan.
7. Buat kak Bahry dan dek Abdi yang ikut membantu penulis selama
penelitian. Terima kasih atas waktu dan ilmunya.
8. Buat teman-teman staf AKK kak Ros dan pak Salim, yang banyak
membantu dan menemani penulis selama pendidikan dan kerja.
9. Rekan-rekan seangkatan pada Program Magister AKK kak Harny, kak
Sri, kak Amah, kak Asda, kak Afni, kak Dar, kak Sani, kak Ririn, kak
Suratman, kak Rusman, kak Nawir, kak Budi, kak Anti dan kak
Almawin

atas

segala

kekompakan

dan

segala

kebersamaannya

selama mengikuti pendidikan.


Serta kepada semua pihak yang penulis tidak dapat sebutkan satu
persatu

yang

telah

memberikan

bantuan

dan

dukungannya

kepada

penulis sejak awal studi hingga penyelesaiannya, penulis ucapkan terima


kasih. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembangunan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Juni 2014

Penulis
vii

ABSTRAK

SUCI RAHMADANI. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan


Layanan VCT pada Kelompok Risiko Tinggi Tertular HIV-AIDS di Kota
Makassar (dibimbing oleh Darmawansyah dan Muh. Syafar)
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pemanfaatan layanan VCT pada kelompok risiko tinggi
tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan
kajian potong lintang. Penelitian dilakukan di kota Makassar. Populasi
penelitian sebanyak 3.855 orang dari empat kelompok risiko (Penasun,
WPS, Waria dan LSL) dan sampel sebanyak 133 orang dengan teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel acak bertingkat.
Pengumpulan data menggunakan wawancara dan kuesioner. Analisis
data menggunakan uji chi-square dan regresi logistik berganda.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden berusia
25-31 tahun (51,1%), berjenis kelamin laki-laki (76,7%), status belum
kawin (58,6%), berpendidikan SMA/sederajat (72,9%), dan bekerja
sebagai pegawai swasta (30,8%). Hasil uji chi-square menunjukkan
bahwa ada hubungan antara pengetahuan (p=0,035), perceived threat
(p=0,004), perceived benefits (p=0,000), perceived barriers (p=0,000),
dukungan keluarga (p=0,000), dan dukungan petugas kesehatan
(p=0,000) dengan pemanfaatan VCT. Hasil analisis multivariat
menunjukkan bahwa perceived benefits (p=0,000), perceived barriers
(p=0,000), dukungan keluarga (p=0,013) dan dukungan petugas
kesehatan (p=0,010) berpengaruh terhadap pemanfaatan VCT. Variabel
yang paling berpengaruh terhadap pemanfaatan VCT adalah perceived
benefit (Wald=14,891).

Kata kunci : pemanfaatan VCT, risiko tinggi, HIV-AIDS


viii

ABSTRACT
SUCI RAHMADANI. An Analysis on Factors Affecting the Use of VCT
Service for High Risk Infected by HIV-AIDS in Makassar City. (Supervised
by Darmawansyah and Muh. Syafar)
The research aimed to analyze the factors affecting the use of VCT
service for high risk group infected by HIV-AIDS in Makassar City.
The research was a quantitative study with cross sectional study.
The population consisted of 3.855 people taken from four high risk groups
(Injection drug user, women sex worker, transexual, and homosexual
men). The sample consisted of 133 people selected using stratified
random sampling. The method of obtaining the data was interview using
questionnaire. The data were analyzed using chi-square test and multiple
logistic regression.
The results of the research indicate that most of the respondents
range from 25 to 30 (51.1%) years old, are male sex (76.7%), are
unmarried status (58.6%), are senior high school graduates (72.9%), and
are private employees (30.8%). The output of Chi-square test indicate that
there is a relationship between knowledge (p=0,035), perceived threat
(p=0,004), perceived benefits (p=0,000), perceived barriers (p=0,000),
family support (p=0,000) and health worker support (p=0,000) and VCT
service. Meanwhile, multivariate analysis indicates perceived benefits
(p=0,000), perceived barriers (p=0,000), family support (p=0,013) and
health worker support (p=0,010) effect the use of VCT service. The most
dominant variable affecting the use of VCT is perceived benefit
(Wald=14,891).
Key Words: the use of VCT, high risk, HIV-AIDS
ix

DAFTAR ISI
PRAKATA ..............................................................................................

iv

ABSTRAK ..............................................................................................

vii

ABSTRACT............................................................................................

viii

DAFTAR ISI ...........................................................................................

ix

DAFTAR TABEL ....................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................

xiv

PENDAHULUAN

II

A. Latar Belakang ..........................................................................

B. Rumusan Masalah ....................................................................

11

C. Tujuan Penelitian ......................................................................

12

D. Manfaat Penelitian ....................................................................

13

TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................
A. Tinjauan Umum Tentang HIV-AIDS ..........................................

14

B. Tinjauan Umum Tentang Kelompok Risiko Tinggi


Tertular HIV-AIDS .....................................................................

19

C. Tinjauan Umum Tentang Pemanfaatan Layanan VCT..............

25

D. Tinjauan Umum Tentang Variabel yang Diteliti .........................

33

E. Sintesa Penelitian .....................................................................

45

F. Kerangka Teori.........................................................................

49

G. Kerangka Pikir...........................................................................

54

H. Kerangka Konsep.....................................................................

55
x

I. Hipotesis Penelitian..................................................................

56

J. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif..................................

57

III METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian .........................................................................

61

B. Lokasi Penelitian .......................................................................

61

C. Populasi ....................................................................................

61

D. Sampel ......................................................................................

62

E. Metode Pengambilan Data ......................................................

64

F. Etika Penelitian .........................................................................

65

G. Pengolahan dan Penyajian Data ..............................................

66

H. Analisis Data ............................................................................

67

IV HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil ..........................................................................................

70

B. Pembahasan .............................................................................

92

V KESIMPULAN DAN SARAN


A.Kesimpulan ................................................................................

125

B. Saran .......................................................................................

126

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................

127

LAMPIRAN
xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1

Sintesa Penelitian-Penelitian Sebelumnya

45

Tabel 2

Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

57

Tabel 3

Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur


di Kota Makassar Tahun 2014

71

Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin


di Kota Makassar Tahun 2014

72

Distribusi Responden Menurut Status Perkawinan


di Kota Makassar Tahun 2014

72

Distribusi Responden Menurut Pendidikan Terakhir


di Kota Makassar Tahun 2014

73

Distribusi Responden Menurut Pekerjaan


di Kota Makassar Tahun 2014

74

Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan


di Kota Makassar Tahun 2014

75

Distribusi Responden Berdasarkan Ancaman yang


dirasakan di Kota Makassar Tahun 2014

76

Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9

Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Manfaat yang


dirasakan di Kota Makassar Tahun 2014

77

Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Hambatan yang


dirasakan di Kota Makassar Tahun 2014

78

Tabel 12 Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga


di Kota Makassar Tahun 2014
Tabel 13 Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Petugas
Kesehatan di Kota Makassar Tahun 2014

79
80

Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan Layanan


VCT di Kota Makassar Tahun 2014

80
xii

Tabel 15 Distribusi Pemanfaatan Layanan VCT Berdasarkan


Karakteristik Responden di Kota Makassar Tahun 2014

81

Tabel 16 Hubungan Pengetahuan dengan Pemanfaatan VCT


Kelompok Risiko Tinggi di Kota Makassar Tahun 2014

84

Tabel 17 Hubungan Ancaman yang dirasakan (Perceived Threat)


dengan Pemanfaatan VCT Kelompok Risiko Tinggi
di Kota Makassar Tahun 2014

85

Tabel 18 Hubungan Manfaat yang dirasakan (Perceived Benefits)


dengan Pemanfaatan VCT Kelompok Risiko Tinggi
di Kota Makassar Tahun 2014

86

Tabel 19 Hubungan Hambatan yang dirasakan (Perceived Barriers)


dengan Pemanfaatan VCT Kelompok Risiko Tinggi
di Kota Makassar Tahun 2014

87

Tabel 20 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan VCT


Kelompok Risiko Tinggi di Kota Makassar Tahun 2014

88

Tabel 21 Hubungan Dukungan Petugas Kesehatan dengan


Pemanfaatan VCT Kelompok Risiko Tinggi di Kota
Makassar Tahun 2014

89

Tabel 22 Hubungan Masing-Masing Variabel Health Belief Model


Terhadap Variabel Pemanfaatan VCT Kelompok Risiko
Tinggi di Kota Makassar Tahun 2014

90

Tabel 23 Pengaruh Variabel Health Belief Model secara Simultan


Terhadap Variabel Pemanfaatan VCT Kelompok Risiko
Tinggi di Kota Makassar Tahun 2014

91
xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kearangka Teori

53

Gambar 2

Kerangka Pikir

54

Gambar 3

Kerangka Konsep

55
xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Informed Consent

Lampiran 2

Kuesioner Penelitian

Lampiran 3

Kerangka Operasional Penelitian

Lampiran 4

Master Tabel

Lampiran 5

Hasil Output Analisis Data

Lampiran 6

Surat Izin Penelitian

Lampiran 7

Surat Keterangan Telah Meneliti


1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah

Epidemi HIV dan AIDS telah melanda seluruh dunia dengan cepat
tanpa mengenal batas Negara dan pada semua lapisan penduduk. Ada
35.3 Juta orang hidup dengan HIV di tahun 2012 dan lebih dari 2 juta
remaja antara umur 10 hingga 19 tahun hidup dengan HIV (WHO, 2013).
Menurut

perhitungan

penderita

HIV-AIDS

Organisasi
berpotensi

Kesehatan
menulari

Dunia

sekitar

(WHO),

200

orang

seorang
lainnya

(Dayaningsih, 2009). Permasalahan HIV dan AIDS telah menjadi epidemi


di hampir 190 negara. Afrika Selatan sebagai Negara dengan angka
kejadian HIV-AIDS tertinggi di dunia, sebanyak 5,7 juta orang terinfeksi
virus HIV dan anak-anak menyumbang 11% dari total populasi. Di Asia
India menduduki peringkat pertama, dari 1 milyar orang yang hidup di

India, 2,4 juta dipengaruhi oleh virus HIV, menurut statistik tahun 2011.
Indonesia bersama dengan India dan Pakistan merupakan Negara
di Asia dengan laju epidemi HIV yang cepat.

Dalam lima tahun terakhir

ini, laju epidemi HIV di Indonesia tercepat di ASEAN (Kemenkes, 2011).


Berdasarkan laporan situasi perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia
sampai dengan September 2013, secara kumulatif jumlah kasus HIV ada
118,792 kasus, 45,650 kasus AIDS dan 8,553 kasus kematian akibat HIV2

AIDS. Persentase kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29


tahun (34,5%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (28,7%), 4049 tahun (10,6%), 15-19 tahun (3,2%), dan 50-59 tahun (3,2%). Faktor
risiko

penularan

hubungan

seks

kasus

AIDS

kumulatif

dilaporkan

heteroseksual

(60,9%),

penasun

terbanyak
(17,4%),

melalui
diikuti

penularan melalui perinatal (2,7%), dan homoseksual (2,8%). Kasus AIDS


terbanyak dilaporkan dari Papua (7.795), Jawa Timur (7.714), DKI Jakarta
(6.299),

Jawa

Barat

(4.131),

Bali

(3.798),

Jawa

Tengah

(3.348),

Kalimantan Barat (1.699), Sulawesi Selatan (1.660), Banten (957) dan


Riau (951) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).
Jumlah infeksi HIV dan AIDS yang dilaporkan Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan sampai dengan september 2013 sebanyak
3,563 kasus HIV dan 1.660 kasus AIDS, 1.365 kasus hidup dengan AIDS,
295 kasus meninggal karena AIDS dengan case rate 16,7 per 100.000
penduduk melebihi AIDS Case Rate Nasional 15,4 per 100.000 penduduk
(Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data rekapitulasi kasus
HIV-AIDS

tahun

2005-2013

Kab/Kota

Provinsi

Sulawesi

Selatan,

Makassar menduduki urutan pertama dengan 6,107 kasus HIV-AIDS,


kedua Pare-Pare dengan 399 kasus, ketiga Bulukumba dengan 113 kasus
diikuti Jeneponto 76 kasus, Palopo 73 Kasus, Sidrap 69 kasus, dan

Pinrang 64 Kasus (KPA Sul-Sel, 2014).


Kasus HIV-AIDS di Kota Makassar yang menjadi ibu kota Provinsi
Sulawesi Selatan adalah yang terbanyak dan perkembangan kasusnya
3

berfluktuasi. Data tahun 2010 menunjukkan 660 kasus HIV-AIDS, tahun


2011 sebanyak 986 kasus, tahun 2012 menurun menjadi 742 kasus dan di
tahun 2013 kembali meningkat menjadi 1,146 kasus HIV-AIDS (KPA SulSel, 2014).
Melihat permasalahan kasus HIV dan AIDS yang terus meningkat
dan penyebarannya yang cepat dibutuhkan program jangka panjang yang
mampu menurunkan angka kasus HIV-AIDS. Salah satu program yang
dilaksanakan Pemerintah untuk mencegah penularan HIV-AIDS adalah
Voluntary Counseling and Testing (VCT). VCT perlu dilakukan karena
merupakan pintu masuk untuk menuju ke seluruh layanan HIV-AIDS.
Klinik VCT merupakan layanan kesehatan untuk medeteksi lebih awal
terjadinya
konselor

kasus-kasus
yang

bertugas

HIV-AIDS
di

klinik

dengan
ini

bantuan

(Pujianto

&

dokter

ataupun

Dwidiyanti,

2010).

Konseling dan Deteksi HIV secara sukarela / VCT (Voluntary Counselling


and Testing), saat ini sudah dikenal luas di dunia internasional sebagai
suatu strategi yang efektif dan sangat penting, baik bagi pencegahan
maupun pelayanan HIV-AIDS terutama di kalangan yang berisiko tinggi
terkena HIV-AIDS (Dewi, 2008).
Manfaat VCT telah terbukti menjadi strategi yang efektif untuk
memfasilitasi perubahan perilaku untuk pencegahan HIV dan mengurangi
perilaku

berisiko.

Penelitian

yang

dilakukan

oleh

Family

Health

International di Kenya, Tanzania, dan Trinidad, berkolaborasi dengan


UNAIDS, WHO, dan Pusat Studi Pencegahan AIDS, Universitas California
4

di San Francisco membuktikan bahwa VCT, adalah suatu strategi yang


efektif dan cost-effective, untuk memfasilitasi perubahan perilaku (Pujianto
& Dwidiyanti, 2010).
VCT terbuka untuk siapa saja, yang secara sukarela tanpa paksaan
ingin memeriksakan dirinya terhadap status kesehatannya. Baik untuk
orang yang sehat tanpa gejala HIV (asimtomatik) maupun untuk orang
dengan

tada-tanda

HIV.

Namun,

VCT

terutama

disarankan

untuk

dilakukan oleh orang-orang dengan risiko tinggi terhadap penularan virus


HIV-AIDS (Depkes RI, 2004).
Pemanfaatan layanan VCT sangat penting di kalangan risiko tinggi
karena mereka menjadi kelompok kunci penularan HIV-AIDS. Hubungan
seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual adalah model utama
penularan HIV. Tidak dapat dipungkiri perilaku seksual di kelompok risiko
tinggi komunitas waria memberikan kontribusi penularan HIV-AIDS yang
signifikan. Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan, MSM
(Man that have Sex with Man) dan waria ternyata berisiko 19 kali lebih
besar tertular penyakit HIV ketimbang masyarakat umum. Hasil penelitian
badan AIDS PBB yang menyebutkan 44% dari warga negara yang
terkena AIDS adalah kaum homoseksual dan biseksual (UNAIDS, 2008).
Kelompok Pengguna Napza dengan suntikan (Penasun), yaitu
menyumbangkan sebanyak 46% dari proporsi orang dengan HIV di
Indonesia. Saat ini Penasun tetap dianggap sebagai populasi kunci
5

sasaran program penanggulangan HIV dan AIDS, terutama di kota-kota


besar di Indonesia (KPAN, 2010).
Wanita pekerja seks (WPS) merupakan salah satu kelompok yang
menjadi pintu masuknya penularan HIV-AIDS dari kelompok berisiko ke
masyarakat (Center for Health and Gender Equity, 2003) dalam Fibriana

(2013). Maka seharusnya terdapat kesadaran pada penasun, waria, LSL


dan WPS untuk melakukan Voluntary Conseling and Testing.
Rekapitulasi kasus HIV dan AIDS berdasarkan faktor risiko tahun
2005-2013

di

Kota

Makassar

terbanyak

ditemukan

pada

kelompok

penasun (2587), heteroseksual (1949) dan homoseksual (309). Proporsi


positif HIV per populasi kunci di layanan VCT kota Makassar tahun 2013
menunjukkan WPS

(4%), LSL

(7%), Waria

(16%),

Penasun (30%),

pasangan risti (29%), dan pelanggan PS (10%). Tercatat jumlah kasus


HIV per populasi kunci di layanan VCT 2011-2013 di Kota Makassar untuk
WPS meningkat dari 28 kasus di tahun 2011, 36 kasus di tahun 2012
hingga 76 ditahun 2013. Jumlah kasus HIV pada LSL dan Waria di
layanan VCT masing ditemukan 15 kasus di tahun 2011 dan 2013. Kasus
HIV pada penasun cenderung turun dari 104 kasus di 2011, turun menjadi
74 kasus di 2012, dan kembali turun menjadi 52 kasus di tahun 2013
(Dinkes Kota Makassar, 2013).
Penyebab meningkatnya prevalensi HIV-AIDS karena kurangnya
kesadaran untuk memanfaatkan layanan VCT terutama bagi orang risiko
tinggi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi orang risiko tinggi untuk
6

memanfaatkan VCT. Model perubahan perilaku Health Belief Model


(HBM) yang dikemukakan oleh Rosenstock, menyatakan bahwa perilaku
individu ditentukan oleh motif dan kepercayaan yang meliputi persepsi
kerentanan
keseriusan

terhadap
terhadap

penyakit

(perceived

ancaman

kesehatan

susceptibility),
(perceived

persepsi

seriousness),

persepsi manfaat dan hambatan terhadap perubahan perilaku kesehatan


(perceived benefit and barrier), self efficacy, serta faktor pendorong (cues
to

action).

Dalam

konsep

melakukan

tindakan

bila

dialaminya,

mempunyai

ini

diasumsikan

merasakan
harapan

efek

akan

bahwa
negatif

adanya

seseorang
dari

situasi

perbaikan

dan

akan
yang
ada

keyakinan akan keberhasilan suatu tindakan.


Dalam
Faktor

penelitian

Pemanfaatan

Purwaningsih

VCT

Pada

(2010)

Orang

yang

Risiko

berjudul

Tinggi

Analisis

HIV-AIDS

di

Puskesmas Dupak dengan menggunakan variabel Health Belief Model


ditemukan bahwa Keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness)
orang risiko tinggi terhadap HIV-AIDS kuat, Persepsi terhadap manfaat
VCT yang dirasakan (perceived benefit) kuat, tetapi masih terdapat
beberapa orang risiko tinggi yang memiliki keyakinan yang salah tentang
manfaat VCT, orang risiko tinggi yang memanfaatkan VCT mengalami
hambatan yang cukup, Self efficacy kuat, Faktor pendorong bagi orang
risiko tinggi yang memanfaatkan VCT sudah kuat. Penelitian Moges
(2011) yang berjudul Factors associated with readiness to VCT service
utilization

among

pregnant

women

attending

antenatal

clinics

in
7

Northwestern Ethiopia: A Health Belief Model Approach menemukan


bahwa 60,8% pernah mendengar konseling sukarela dan testing, 55,5%
tidak siap untuk menggunakan. Pemanfaatan VCT secara bermakna
dikaitkan dengan pengetahuan tentang penularan ibu ke anak usia
kehamilan, pekerjaan dan status pendidikan.
Penyebab meningkatnya prevalensi HIV-AIDS karena kurangnya
pemahaman tentang HIV-AIDS dan VCT terutama bagi orang risiko tinggi
(Purwaningsih, 2011). Pengetahuan tentang adanya VCT masih sangat
rendah yaitu 6,2 persen (Riskesdas, 2010). Pengetahuan tentang HIVAIDS di Sul-Sel masih sangat rendah yaitu 9,5% berdasarkan data
Riskesdas 2010 (Kemenkes, 2013). Pengetahuan yang komprehensif
tentang HIV-AIDS tidak begitu luas baik di antara wanita umur 15-49
tahun (11 persen) maupun pria kawin umur 15-54 tahun (12 persen)
(SDKI,

2012).

Hasil

STBP

(2011)

juga

menunjukkan

pengetahuan

komprehensif tentang HIV-AIDS pada seluruh kelompok risiko tinggi


mengalami penurunan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi orang risiko tinggi untuk
memanfaatkan VCT. Kerentanan dan ancaman yang dirasakan terhadap
HIV-AIDS yang rendah menyebabkan keengganan mereka memanfaatkan
VCT, terlihat

dari

tidak

terjadinya

peningkatan

perilaku

penggunaan

kondom secara konsisten pada seks berisiko dan penggunaan napza


suntik pada kelompok sasaran selain penasun cenderung tetap (STBP,
2011).
8

Thompson (2012) menemukan hambatan utama untuk mengakses


layanan untuk infeksi menular seksual di kalangan perempuan pekerja
seks di Laos yaitu waktu menunggu layanan yang lama, lokasi yang tidak
nyaman dari klinik, tidak tahu ke mana harus mendapatkan layanan yang
diperlukan, dan sikap negatif di antara penyedia layanan kesehatan.
Terdapat berbagai hal yang menjadi hambatan untuk mengakses
VCT di antaranya permasalahan jumlah pelayanan VCT yang masih
terbatas di puskesmas dan rumah sakit tertentu memang mengakibatkan
kesulitan bagi populasi kunci untuk mengaksesnya mengingat saat ini
epidemi HIV-AIDS menimbulkan jumlah populasi berisiko yang besar dan
tersebar pada wilayah yang sangat luas. Di Kota Makassar, jumlah
layanan VCT berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan
tahun 2013 di Makassar tercatat hanya ada 12 layanan, yaitu Rumah
Sakit Wahidin Sudirohusodo (RSWS), RS Labuang Baji, RS Pelamonia,
RS Bhayangkara,

RS Umum

Jumpandang

Baru,

Puskesmas

Andalas,

Daya,

Puskesmas
Puskesmas

RS Jiwa

Kassi-kassi,
Jongaya

Dadi,

Puskesmas

Puskesmas

dan

BBKPM.

Makkasau,
Sedangkan

jumlah estimasi populasi berisiko tinggi HIV di kota Makassar yakni 29.740
(KPAN, 2013).

Selain itu dari faktor individu itu sendiri yang takut dengan hasil tes
yang positif, merasa tidak berisiko terhadap HIV-AIDS, serta perasaan
takut distigma. Faktor keluarga ikut menjadi penghalang seperti larangan
suami terhadap istri untuk melakukan VCT. Serta stigma dan diskriminasi
9

masyarakat

yang tinggi dan sensitif

terhadap

masalah HIV-AIDS

(Jurgensen, 2012).
Sikap masyarakat dan dukungan keluarga dapat mempengaruhi
kesediaan orang untuk dites tentang HIV. Pengurangan stigma dan
diskriminasi merupakan faktor penting dalam pencegahan, manajemen
dan pengendalian epidemi HIV. Secara umum, pria kawin umur 15 -54
tahun lebih bersikap menerima bila dibandingkan dengan wanita umur 1549 tahun (11% dibandingkan 9%). Selanjutnya, 75% pria kawin umur 1554 tahun lebih bersedia merawat anggota keluarga yang menderita AIDS
di rumah mereka jika dibandingkan dengan 70% wanita umur 15-49 tahun
(SDKI,2012).
Sejak tahun 1993, pemerintah Indonesia telah menyediakan klinik
VCT

(Voluntary

Counseling

and

Testing)

sebagai

tempat

konseling

sukarela dan memeriksakan status HIV, tetapi pemanfaatannya masih


sangat rendah. Sampai tahun 2013 telah ada 899 klinik yang melayani
konseling

dan

testing

sukarela

yang

tersebar

di

seluruh

Indonesia.

Tercatat hingga September 2013 ada 443.011 jumlah kunjungan dan


400.642 yang mengikuti hingga konseling setelah tes dengan jumlah
positif HIV 20.413 (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).
Sementara itu, di Sulawesi Selatan telah ada 19 klinik layanan
VCT. Dari hasil Estimasi Populasi Rawan tertular HIV tahun 2013,
diperkirakan

ada

255.980

orang

rawan

tertular

HIV

dengan

jumlah

terbesar pada sub-populasi pelanggan pekerja seks yang jumlahnya


10

135.720 (KPAN,2013). Sedangkan jumlah kunjungan layanan VCT hingga


September 2013 sebanyak 16.295 atau 3,68% dari kunjungan klinik VCT
secara nasional (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013), berarti hanya
6,37% yang memanfaatkan layanan VCT di Sulawesi Selatan.
Kota Makassar, dengan 12 pusat layanan VCT. Berdasarkan Data
yang diperoleh dari laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI menunjukkan
sebanyak 10.236 kunjungan layanan VCT hingga September 2013. Bila
dibandingkan dengan jumlah estimasi populasi berisiko tinggi HIV di kota
Makassar yakni 29.740 (KPAN, 2013), berarti hanya 34,4% dari populasi
berisiko yang memanfaatkan layanan VCT di Kota Makassar. Sehingga
dapat disimpulkan pemanfaatan layanan VCT di Kota Makassar masih
rendah.
Menurut data Dinas Kesehatan kota Makassar 2013 pemetaan/data
layanan WPS diperkirakan ada 2036 namun yang tercakup hanya 1820,
Waria 250 pemetaan yang tercakup hanya 91, penasun 400 pemetaan
dan

yang

tercakup

hanya

176

(Dinkes

Kota

Makassar,

2013).

Ini

menunjukkan cakupan atau capaian layanan untuk kelompok risiko tinggi


masih rendah.
Perlu peninjauan lebih dalam melalui studi penelitian mengenai apa
yang

menjadi

faktor

yang

mempengaruhi

pemanfaatan

VCT

pada

kelompok berisiko tinggi sehingga dapat merumuskan kerangka strategis


untuk meningkatkan pelayanan VCT dan pemanfaatan di masyarakat
berisiko.
11

Berdasarkan

latar

belakang

diatas,

peneliti

tertarik

untuk

menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan layanan VCT


pada kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan

latar belakang diatas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:


1. Apakah ada pengaruh pengetahuan terhadap pemanfaatan VCT pada
kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di Kota Makassar?
2. Apakah ada pengaruh ancaman yang dirasakan (perceived threat)
terhadap pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIVAIDS di Kota Makassar?
3. Apakah ada pengaruh manfaat yang dirasakan (perceived benefit)
terhadap pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIVAIDS di Kota Makassar?
4. Apakah ada pengaruh hambatan yang dirasakan (perceived barriers)
terhadap pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIVAIDS di Kota Makassar?
5. Apakah ada pengaruh dukungan keluarga terhadap pemanfaatan VCT
pada kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di Kota Makassar?
6. Apakah ada pengaruh

dukungan

petugas

kesehatan

terhadap

pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di


Kota Makassar?
12

Tujuan Penelitian
1.

Tujuan Umum
Untuk Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan
layanan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di Kota
Makassar.

2.

Tujuan Khusus
a. Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan terhadap pemanfaatan

VCT

pada

kelompok

risiko

tinggi

tertular

HIV-AIDS

di

Kota

Makassar.
b. Untuk menganalisis pengaruh ancaman yang dirasakan (perceived
threat) terhadap pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi
tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.
c. Untuk menganalisis pengaruh manfaat yang dirasakan (perceived
benefit) terhadap pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi
tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.
d. Untuk menganalisis pengaruh hambatan yang dirasakan (perceived
barriers) terhadap pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi
tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.
e. Untuk menganalisis

pengaruh

dukungan

keluarga

terhadap

pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di


Kota Makassar.
13

f. Untuk

menganalisis

pengaruh

dukungan

petugas

kesehatan

terhadap pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular


HIV-AIDS di Kota Makassar.

C. Manfaat Penelitian
1.

Manfaat Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
Pemerintah Kota Makassar dalam menentukan arah kebijakan untuk
mencegah penularan HIV-AIDS di Kota Makassar. Sebagai bahan
masukan

bagi

Dinas

Kesehatan

Kota

Makassar,

Komisi

penanggulangan AIDS dan Lintas Sektor untuk perencanaan Program


Upaya Pencegahan HIV-AIDS di Kota Makassar dan Evaluasi kinerja
dalam pelaksanaan pencegahan HIV-AIDS.
2.

Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan

Diharapkan mampu memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan


menjadi

informasi

atau

referensi

untuk

pengembangan

penelitian

sejenis secara berkelanjutan.


3.

Manfaat Bagi Masyarakat


Dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat umum mengenai
pemanfaatan layanan VCT khususnya di Kota Makassar.
14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
1.

Tinjauan Umum Tentang HIV / AIDS

Definisi HIV-AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang
menyerang kekebalan tubuh manusia. HIV ini menyerang sel-sel
darah putih yang berfungsi untuk melindungi tubuh dari serangan
penyakit. Salah satu unsur yang penting dalam sistem kekebalan
tubuh adalah sel CD4 yang merupakan salah satu jenis sel darah
putih. Namun sel CD4 dibunuh ketika HIV menggandakan diri
dalam darah. Semakin lama individu terinfeksi HIV maka semakin
banyak sel CD4 dibunuh sehingga jumlah sel semakin rendah dan
kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melindungi diri dari
infeksi semakin rendah. Seseorang yang terinfeksi HIV tetapi tanpa
gejala

disebut

HIV

positif

dan

ketika

gejala

seperti

infeksi

oportunistik yang lain muncul maka individu tersebut memasuki


fase AIDS.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan
kumpulan gejala penyakit yang disertai oleh infeksi HIV. Gejala-

gejala

tersebut

tergantung

dari

infeksi

oportunistik

yang

menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi karena menurunnya daya


15

tahan tubuh yang disebabkan rusaknya imun tubuh akibat infeksi


HIV tersebut (Pegangan Konselor HIV-AIDS, 2003).

2. Cara Penularan HIV-AIDS


HIV tidak dapat tersebar dengan sendirinya atau bertahan
lama diluar tubuh manusia. Virus tersebut membutuhkan cairan
tubuh

manusia

untuk

bisa

hidup,

bereproduksi

dan

mampu

menularkan ke orang lain. Virus tersebut ditularkan melalui darah,


air mani, cairan vagina, dan air susu ibu dari pengidap HIV.
Widjajanti (2009) mengatakan ada tiga metode penyebaran virus
HIV tersebut, yakni:
1. Hubungan seks tidak aman
Hubungan seks melalui vagina, anal, dan oral dengan pengidap
HIV atau penderita AIDS merupakan cara yang banyak terjadi
pada penularan HIV dan AIDS.
2. Melalui Darah yang Tercemar HIV
Penyebaran virus HIV juga terjadi ketika orang menggunakan
jarum suntik atau alat injeksi yang tidak steril secara bersama,
biasanya terjadi di kalangan para pengguna narkoba yang di
antara mereka ada yang mengidap HIV. Penyebaran juga terjadi
di beberapa tempat-tempat perawatan kesehatan yang tidak
memenuhi standar atau melalui transfusi darah yang belum
dilakukan screening terhadap HIV. Penggunaan peralatan tato
16

dan alat tindik yang tidak steril dapat juga menyebarkan virus
HIV.
3. Melalui Ibu kepada Anaknya
Seorang wanita yang mengidap HIV dapat menularkan virus
HIV kepada anaknya pada saat kehamilan, kelahiran atau pada
masa menyusui.

3. Gejala HIV-AIDS
Orang yang terinfeksi virus HIV belum tentu AIDS. Perlu
waktu 3-10 tahun untuk menjadi AIDS. HIV positif belum tentu
AIDS, tetapi akhirnya akan menjadi AIDS, dan status HIV positif
tidak pernah berubah menjadi HIV negatif.
Secara ringkas, tahapan perubahan dari HIV ke AIDS yaitu:
1. Fase 1
Pada fase ini individu sudah terpapar dan terinfeksi, tetapi ciri-ciri
infeksi belum terlihat meskipun dilakukan tes darah, namun bisa
juga mengalami gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari dan
sembuh sendiri). Umur infeksi 3 6 bulan.
2. Fase 2
Umur infeksi 3 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase ini
individu sudah positif HIV, tapi belum menampakkan gejala sakit
(atau bisa saja menampakkan gejala ringan, misalnya flu 2 3
17

hari dan sembuh sendiri) dan sudah dapat menularkan kepada


orang lain.
3. Fase 3
Gejala-gejala penyakit mulai muncul, antara lain keringat yang
berlebihan di malam hari, diare terus-menerus, pembengkakan

kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh-sembuh, nafsu


makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan
terus berkurang, dan system kekebalan tubuh mulai berkurang.
Pada fase ini belum disebut sebagai gejala AIDS.
4. Fase 4
Sudah

masuk

pada

fase

AIDS,

dan

timbul

infeksi-infeksi

oportunistik. Ada gejala utama dan gejala minor. Jika seseorang


memiliki minimal dua dari tiga gejala utama dan satu dari lima
gejala minor, maka dapat
disimpulkan menderita AIDS.
Gejala utama yaitu:
- Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan,
- Diare kronis lebih dari satu bulan (berulang maupun terusmenerus),
- Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan.
Gejala minor yaitu:
- Batuk kronis lebih dari satu bulan Infeksi pada mulut dan
tenggorokan yang disebabkan oleh Candida albicans
18

- Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh


tubuh
- Munculnya Herpes Zoster yang berulang
- Adanya bercak-bercak gatal di seluruh tubuh.

4.

Diagnosis HIV-AIDS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan
hasil pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium mulai dari uji penapisan

dengan penentuan adanya antibodi anti-HIV kemudian dilanjutkan


dengan uji pemastian dengan pemeriksaan yang lebih spesifik yaitu
western blot assay. Uji western bolt lebih spesifik karena mampu
mendeteksi

komponen-komponen

yang

terkandung

pada

HIV

antara lain gp120, gp41, p24, p18, p31, p36.


Diagnosis

infeksi

HIV

dan

AIDS

dapat

ditegakkan

berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC. Di Indonesia


diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat bila
menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan 2
gejala mayor dan satu gejala minor.
Terdapat
menentukan

beberapa

adanya

infeksi

pemeriksaan
HIV.

Salah

laboratorium
satu

cara

untuk
penentuan

serologi HIV yang dianjurkan adalah ELISA, mempunyai sensitivitas


93-98% dengan spesifisitas 98-99%. Pemeriksaan serologi HIV
19

sebaiknya dilakukan dengan 3 metode berbeda. Dapat dilanjutkan


dengan pemeriksaan yang lebih spesifik western blot.

B.

Tinjauan Umum Tentang Kelompok Risiko Tinggi HIV-AIDS


Faktor risiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai
berikut:
1. Perilaku berisiko tinggi:

Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi


tanpa menggunakan kondom.

Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian


jarum secara bersama tanpa sterilisasi yang memadai.

Hubungan seksual yang tidak aman: multipartner,


pasangan seks individu yang diketahui terinfeksi HIV,

kontak seks peranal.


2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual .
3. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa tes
penapisan.
4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik atau sirkumsisi dengan alat
yang tidak disterilisasi.
Penularan

penyakit

HIV-AIDS

biasanya

terjadi

pada

masyarakat yang berperilaku beresiko tinggi (high risk) terhadap


penyakit ini. Contohnya pekerja seks komersial, penggunaan napza
yang

bergantian

mengunakan

jarum

suntik,

pembuatan

tatto
20

dengan alat yang tidak steril serta pada Lelaki suka lelaki (LSL)
(Depkes, 2006).
Kelompok berisiko tinggi tersebut adalah (KPAN, 2013):
1. Pengguna napza suntik (injection drug users / IDU)
Secara
narkotika

umum

yang

cara

Napza

suntik

adalah

mengkonsumsinya

penyalahgunaan
adalah

dengan

memasukkan obat-obatan berbahaya ke dalam tubuh melalui alat


bantu jarum suntik. Pengguna Napza suntik yang umumnya disebut
IDU (Injecting Drug User) yang berarti individu yang menggunakan
obat terlarang (narkotika) dengan cara disuntikkan menggunakan
alat suntik ke dalam aliran darah. Penggunaan NAPZA melalui
jarum suntik bergantian adalah salah satu cara paling efisien untuk
menularkan HIV-AIDS di berbagai negara berkembang termasuk
Indonesia, sampai saat ini (Ayuningtyas, 2013).
2. Pasangan Penasun yang bukan penasun (Partners of IDU)
Pasangan penasun adalah pasangan seks penasun baik
pasangan seks tetap (istri/suami/pacar), pasangan seks kasual
(singkat

dan

sewaktu-waktu,

bisa

teman

atau

kenalan)

dan

pasangan seks komersial. Sebagian dari pasangan itu juga memiliki


pasangan seksual lain, termasuk pada pasangan tetap penasun.
penasun cenderung tidak menggunakan kondom jika berhubungan
seks dengan pasangan yang tetap, tinggal serumah, dikenal dalam
jangka waktu lama. Laporan Program Penanggulangan HIV-AIDS
21

pada Pengguna Napza Suntik Tahun 2009 yang diterbitkan Family


Health

International

menyebutkan,

hanya

Program

sekitar

Aksi

20%

Stop

AIDS

penasun

(FHI

menyatakan

ASA)
tidak

memiliki pasangan seksual, selebihnya memiliki variasi pasangan


seks yang beragam seperti memiliki pasangan tetap, pasangan
tidak tetap, pasangan komersial atau kombinasi dari ketiga jenis
pasangan seks tersebut.
3. Wanita Penjaja Seks (WPS) / Female sex Worker (FSW)
Wanita pekerja seks (WPS) adalah merupakan kelompok
resiko tinggi terkena IMS mengingat pada kelompok ini terbiasa
melakukan aktivitas seksualnya dengan pasangan yang tidak tetap,
dengan tingkat mobilitas yang sangat tinggi di kelompok tersebut
(Widodo, 2009).
Hasil Survey Surveilans Perilaku (SSP) di Jawa Timur yaitu
pada

kota

Surabaya

tahun

2004

tentang

pemakaian

kondom

menunjukkan hasil masih banyak WPS yang tidak menggunakan


kondom saat berhubungan terakhir (59,6%) (Ariani, 2012).
WPS terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Wanita Penjaja Seks Langsung (WPSL) adalah wanita yang
beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial.
b. WPS Tidak Langsung (WPSTL) adalah wanita yang beroperasi
secara

terselubung

sebagai

penjaja

seks

komersial,

yang
22

biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu seperti


bar, panti pijat dan sebagainya.
4. Pelanggan WPS (Client of FSW)
Pelanggan

WPS

adalah

kelompok

risiko

tinggi

hal

ini

disebabkan oleh masih terdapat banyak pelanggan yang tidak mau


menggunakan kondom saat berhubungan seks dengan WPS.
Pada

tahun

2011,

menyatakan

tidak

menggunakan

terakhir

mereka

perempuan

dan

pekerja

sepertiga

kira-kira

seks

tidak

perempuan

pekerja

kondom dengan
39

persen

pelanggan

laki-laki

menggunakan

seks

pelanggan

kondom

dalam

hubungan seksual komersial terakhir mereka. (Unicef Indonesia,


2012).
5. Pasangan pelanggan WPS (Partner of FSW Client)
Dalam situasi ini, laki-laki dapat menjadi jembatan penularan
pada pasangan seks yang sesungguhnya tidak berperilaku risiko
tinggi. Bahkan diantara mereka memiliki tiga jenis pasangan seks
yakni pasangan tetap, WPS dan pasangan tidak tetap. Mereka
dapat menularkan HIV ke pasangannya melalui hubungan seks
tanpa penggunaan kondom.
Survai Terpadu Biologis dan Perilaku tahun 2009 di tujuh
kota (Palembang, Yogyakarta, Pontianak, Bitung, Sorong, Timika,
Tangerang) Tercatat terendah adalah pemakaian kondom dengan
pasangan

tetap,

yakni

hanya

7-16%

saja.

Demikian

halnya
23

pemakaian kondom secara konsisten selama satu tahun terakhir,


tercatat paling rendah adalah dengan pasangan tetap, yakni 0-2 %
saja. Dengan WPS antara 10-26%, dan pasangan tidak tetap

antara 13-32% (Kemenkes, 2010).


6. Lelaki Suka Seks dengan Lelaki (LSL) / (Male Sex with Male)
Lelaki

suka

Seks

dengan

Lelaki

(LSL)

adalah

pria

yang mengakui dirinya sebagai orang yang biseksual/homoseksual


(STBP,2011). Aktivitas seks mereka umumnya adalah seks anal
dan oral. Seks anal atau melakukan hubungan seks melalui anus
mempunyai risiko perlukaan pada anus (karena anus tidak elastis),
sehingga dengan adanya luka di daerah anus, jika pasangan seks
terkena IMS dan HIV maka akan lebih mudah ditularkan. Tingkat
penggunaan kondom juga masih rendah, demikian juga halnya
dengan informasi tentang penularan IMS dan HIV-AIDS (Gerakan
Sehat Masyarakat, 2009).
7. Waria (Transvestite)
Wanita-pria (waria) adalah pria yang berjiwa dan bertingkah
laku, serta mempunyai perasaan seperti wanita (STBP,2011). Tidak
dapat dipungkiri

perilaku

seksual

di kelompok

risiko

tinggi

komunitas waria memberikan kontribusi penularan HIV-AIDS yang


signifikan. Yayasan Riset AIDS Amerika, AMFAR menyimpulkan,
MSM (Man that have Sex with Man) dan waria ternyata berisiko 19
kali lebih besar tertular penyakit HIV ketimbang masyarakat umum,
24

AMFAR mengeluarkan kesimpulan ini setelah melakukan penelitian


di 129 negara (Anonim, 2009).
8. Pelanggan Waria (Client of Transvestite)
Pelanggan waria adalah laki-laki, aktivitas seks mereka
umumnya adalah seks anal dan oral. Perilaku seks yang tidak
aman menyebabkan penularan HIV dapat terjadi.
9. Warga binaan permasyarakatan (Prisoner)
Penularan penyakit HIV-AIDS terjadi juga pada penghuni di

Lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara


(Rutan). Hal ini dikarenakan penghuni Rutan/Lapas sebagian besar
adalah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) pengguna narkoba.
Hasil penelitian Ricarson (1997); Darke (1998); dan Dolland
(2003)

dalam

Syafitri

(2012)

juga

menyatakan

bahwa

risiko

penularan HIV-AIDS di tempat penahanan oleh karena penggunaan


Napza suntik. Tahanan mengalami kesulitan memperoleh jarum
suntik steril selama di lapas/rutan sehingga mereka mengunakan
jarum suntik secara bergantian. Hal ini dilakukan para tahanan
karena mereka mengalami kesulitan untuk menyelundupkan jarum
suntik ke dalam
bergantian

rutan/lapas.

memang

Pemakaian

merupakan

salah

jarum suntik yang


satu

faktor

yang

menyebabkan terjadinya penularan HIV-AIDS dengan cepat.


25

C.

Tinjauan Umum Tentang Pemanfaatan Layanan Voluntary


Counseling and Testing (VCT)

1. Definisi VCT
Voluntary Counseling and Testing (VCT) adalah konseling
dan testing HIV dan AIDS secara sukarela yang menjadi salah satu
strategi

kesehatan

kesehatan

HIV

dan

berupa
AIDS

pintu

masuk

ke

seluruh

berkelanjutan. Layanan

layanan

VCT

dapat

dilakukan di sarana kesehatan yang dapat diselenggarakan oleh


pemerintah

dan/atau

masyarakat

yang

berlandaskan

pada

pedoman konseling dan testing HIV dan AIDS sukarela, agar mutu
layanan dapat dipertanggungjawabkan (Depkes,2005).
Konseling

dalam

VCT

adalah

kegiatan

konseling

yang

menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan

HIV-AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan


perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV)
dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIVAIDS yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku
lebih sehat dan lebih aman (Pedoman Pelayanan VCT, 2006).
2. Prinsip Pelayanan VCT
VCT merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat
dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV-AIDS
berkelanjutan yang berdasarkan prinsip:
26

a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.


Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan
klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk
dilakukan tes HIV sepenuhnya diputuskan oleh klien.
b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas.
Layanan VCT harus bersifat professional, menghargai hak dan
martabat semua klien. Hal ini berarti semua informasi yang
disampaikan

klien,

begitu

pula

terhadap

semua

informasi

tertulis, harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas


kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan diluar konteks
kunjungan klien.
c. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif.
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil
testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk
mengurangi prilaku beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga
respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan
tahapan penerimaan hasil testing positif.
d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT.
WHO

dan

Departemen

Kesehatan

RI

telah

memberikan

pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV.


Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling
pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lain yang
disetujui oleh klien (Depkes,2005).
27

3. Model Pelayanan VCT


VCT diimplementasikan dalam berbagai setting dan sangat
bergantung pada kondisi dan situasi daerah setempat, kebutuhan
masyarakat dan profil klien, seperti individual atau pasangan, lakilaki atau perempuan, dewasa atau anak muda. Adapun model
layanan VCT terdiri dari:
a. Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling)
Mobile VCT adalah model layanan dengan penjangkauan dan
keliling

yang

Masyarakat

dapat

(LSM)

mengunjungi

dilaksanakan

atau

sasaran

layanan

kelompok

oleh

Lembaga

Swadaya

kesehatan

yang

langsung

masyarakat

yang

memiliki

perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV-AIDS di wilayah


tertentu. Layanan ini diawali dengan survei atau penelitian atas
kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survei tentang
layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah
setempat.
b. Statis VCT (Klinik VCT tetap)
Statis VCT adalah sifatnya terintegrasi dalam sarana kesehatan
dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi
bagian

dari

kesehatan
kemampuan

layanan

dan

sarana

memenuhi

kesehatan
kesehatan
kebutuhan

yang

telah

lainnya

ada.

harus

masyarakat

akan

Sarana
memiliki
VCT,
28

layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan


terkait dengan HIV-AIDS (Depkes,2005).

4. Tahapan Pelayanan VCT


Tahapan pelayanan VCT secara sukarela meliputi konseling
pra testing, testing HIV dalam VCT, konseling pasca testing dan
pelayanan dukungan berkelanjutan.
a. Pre-test counseling
Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor
yang

bertujuan

untuk

menyiapkan

klien

untuk

testing,

memberikan pengetahuan pada klien tentang HIV-AIDS. Isi


diskusi yang disampaikan adalah klarifikasi pengetahuan klien
tentang

HIV-AIDS,

menyampaikan

prosedur

tes

dan

pengelolaan diri setelah menerima hasil tes, menyiapkan klien


menghadapi hari depan, membantu klien memutuskan akan tes
atau tidak, mempersiapkan informed consent dan konseling
seks yang aman.
b. HIV testing
Pada

umumnya,

tes

HIV

dilakukan

dengan

cara

mendeteksi antibodi dalam darah seseorang. Jika HIV telah


memasuki

tubuh

seseorang,

maka

di

dalam

darah

akan

terbentuk protein khusus yang disebut antibodi. Antibodi adalah


suatu zat yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh manusia
29

sebagai reaksi untuk membendung serangan bibit penyakit yang


masuk.

Pada

umumnya

antibodi

terbentuk

di

dalam

darah

seseorang memerlukan waktu 6 minggu sampai 3 bulan tetapi

ada juga sampai 6 bulan bahkan lebih. Jika seseorang memiliki


antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu
telah terinfeksi HIV.
Tes HIV yang umumnya digunakan adalah Enzyme Linked
Imunosorbent

Assay

(ELISA),

Rapid

Test

dan

Western

Immunblot Test. Setiap tes HIV ini memiliki sensitivitas dan


spesifisitas yang berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes
untuk mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah sedangkan
spesifisitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi antibodi
protein HIV yang sangat spesifik.
c. Post-test counseling
Post-test counseling adalah diskusi antara konselor dengan klien
yang bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien, membantu
klien beradaptasi dengan hasil tes, menyampaikan hasil secara
jelas, menilai pemahaman mental emosional klien, membuat
rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna dalam
kehidupan

klien,

menjawab,

menyusun

rencana

tentang

kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan perilaku


berisiko dan perawatan, dan membuat perencanaan dukungan.
30

5. Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)


Ditinjau dari Health Belief Model (HBM)
Individu dikatakan memanfaatkan layanan VCT jika dia tahu
informasi mengenai layanan VCT dan mau menggunakan layanan
VCT untuk tujuan yang bermanfaat. Dengan demikian pemanfaatan
layanan VCT adalah sejauh mana orang yang pernah melakukan
perilaku

beresiko

menggunakan

tinggi

layanan

tertular
VCT

HIV-AIDS

untuk

merasa

mengatasi

perlu

masalah

kesehatannya,

untuk

mengurangi

perilaku

beresiko

dan

merencanakan perubahan perilaku sehat.


Memeriksakan diri untuk tes HIV merupakan langkah yang
penting dalam kehidupan seseorang terutama mereka yang pernah
melakukan

perilaku

beresiko

tinggi

tertular HIV-AIDS.

Pada

kenyataannya untuk mengetahui apakah individu terinfeksi HIVAIDS atau tidak melalui VCT bukanlah sesuatu yang mudah seperti
pemeriksaan

pada

penyakit

lain.

Adapun

faktor

penyebabnya

karena masyarakat kurang menyadari bahwa HIV-AIDS sebetulnya


mengancam kita semua sehingga mereka tidak ada keinginan
untuk memanfaatkan layanan VCT tersebut. Selain itu, sistem
pelayanan

kesehatan

dapat

mempengaruhi

individu

dalam

memanfaatkan layanan VCT. Baik dari petugas kesehatan, fasilitas


pelayanan, cara pelayanan, maupun obat-obatan yang diberikan.
31

Stigma dan diskriminasi yang ditujukan kepada penderita


HIV-AIDS membuat mereka tidak mau melakukan pemeriksaan
VCT. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abebe dkk
(2006) di Afrika Selatan menunjukkan bahwa ketakutan untuk
menerima stigma dan ketakutan untuk mengetahui status HIV
positif merupakan penghambat utama seseorang melakukan tes
HIV. Kondisi seperti ini membawa konsekuensi negatif terhadap
tindakan

pencegahan

dan pengobatan

HIV-AIDS.

Akibatnya

sebagian masyarakat terutama mereka yang pernah melakukan


perilaku beresiko tinggi tertular HIV-AIDS masih enggan untuk
memeriksakan

dirinya

ke klinik

VCT

karena

merasa

takut

mendapatkan hasil yang positif.


Setiap
mengambil

individu
tindakan

mempunyai
penyembuhan

cara
atau

yang

berbeda

pencegahan

dalam

untuk

mengatasi

gangguan

kesehatan

yang

dirasakan.

Semua

itu

tergantung pada belief masing-masing individu apakah dia mau


mengakses layanan kesehatan yang ada atau tidak. Belief yang
dimaksud berkaitan dengan kognitif seperti pengetahuan tentang
masalah

kesehatan

dan

persepsi

individu

mengenai

simptom

penyakit yang dirasakan (Sarafino, 2006) dalam (Simanjuntak,


2011).
Persepsi individu terhadap suatu penyakit dibahas dalam
health belief model yang melibatkan dua penilaian yaitu perceived
32

threat dan perceived benefit dan barriers. Perceived threat yaitu


ancaman yang dirasakan individu terhadap simptom penyakit yang
dialami.

Semakin

individu

merasa

terancam

dengan

simptom

penyakit yang ia alami maka semakin cepat individu mencari


pertolongan

medis. Perceived

benefits

yaitu

penilaian

individu

mengenai keuntungan yang didapat ketika mengadopsi perilaku


kesehatan yang disarankan dan perceived barriers yaitu penilaian
individu mengenai hambatan yang diperoleh ketika mengadopsi
perilaku kesehatan yang disarankan. (Becker & Rosenstock dalam
Glanz, 2008).
Belief yang dimiliki oleh masing-masing individu terhadap
masalah kesehatan yang dirasakan akan menentukan bagaimana
individu

memanfaatkan

pelayanan

kesehatan

yang

ada.

Jika

dikaitkan dengan kasus HIV-AIDS, pengetahuan individu mengenai


cara-cara

penularan

HIV,

perilaku

beresiko

apa

yang

dapat

menularkan HIV dan persepsi individu mengenai masalah HIVAIDS akan mempengaruhi bagaimana pemanfaatan layanan VCT
yang akan dilakukan. Jika individu merasa dengan melakukan VCT

dapat

mengurangi

tingkat

keparahan

penyakit,

mengurangi

kerentanan tertular HIV, memperoleh manfaat/keuntungan yang


lebih besar daripada hambatan/kerugian maka individu tersebut
akan

memanfatkan

masalah

yang

merencanakan

layanan

dirasakan,

perubahaan

VCT

yang

ada

mengurangi

perilaku

untuk

perilaku

sehat

dan

mengatasi

beresiko,
33

demikian

pula

dengan sebaliknya.

D. Tinjauan Umum Tentang Variabel yang Diteliti


1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi setelah
orang

melakukan

Menurut

pengindraan

Notoatmodjo

(2012)

terhadap

suatu

pengetahuan

objek

diperoleh

tertentu.
dari

pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.


Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting

untuk

terbentuknya

tindakan

seseorang

(Notoatmodjo,

2003). Berdasarkan pengalaman dan penelitian, diperoleh bahwa


perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada
perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Maulana, 2009).
Menurut

Blackwell,

Miniard

dan

Engel

(1995)

dalam

(Sunyoto, 2013) pengetahuan terdiri dari :


a. Pengetahuan Produk, meliputi kumpulan berbagai macam
informasi

mengenai

karakteristik

produk,

manfaat,

dan

kepuasan yang diperoleh dari produk. Dalam hal ini Layanan


VCT.
b. Pengetahuan pembelian, terdiri atas pengetahuan tempat dan
pengetahuan lokasi produk. Tempat dan lokasi mendapatkan

layanan VCT.
34

c. Pengetahuan pemakaian, pengetahuan konsumen mengenai


penggunaan produk dengan baik dan benar. Pengetahuan
mengenai prosedur mendapatkan layanan VCT serta manfaat
yang diperoleh dari layanan VCT.
Pemanfaatan VCT dapat dilihat berdasarkan pengetahuan
responden yang terdiri dari tingkatan (Notoatmodjo, 2012):
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Pada tingkat ini, mengingat kembali
(recall) mengenai sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya.
Untuk mengukur bahwa orang tahu, antara lain mendefinisikan
tentang HIV dan AIDS ataupun VCT.
2) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai kemampuan menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi
materi tersebut secara benar. Dalam hal ini, responden mampu
menjelaskan pentingnya pemanfaatan VCT.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi

yang

telah

dipelajari

pada

situasi

atau

kondisi

sebenarnya. Dalam hal ini, misalnya dapat melaksanakan upaya


pencegahan penularan HIV-AIDS.
35

4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau

objek

kedalam

komponen-komponen

dan

masih

ada

kaitannya satu sama lain.


5) Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan
yang baru.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi

berkaitan

dengan

kemampuan

untuk

melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2. Ancaman yang Dirasakan (Perceived Threats)


Perceived
ancaman

yang

threat

adalah

dirasakan

penilaian

yang

berkaitan

individu
dengan

mengenai
masalah

kesehatan. Kesiapan seseorang untuk melakukan suatu tindakan


ditentukan oleh pandangan orang itu terhadap bahaya penyakit
tertentu dan pandangan mereka terhadap kemungkinan dampak
atau akibat (fisik dan social) bila terkena penyakit tersebut dlam hal
ini HIV-AIDS. Ada dua faktor yang mempengaruhi perceived threat
yaitu:
36

a. Perceived seriousness of the health problem


Individu mempertimbangkan seberapa parah konsekuensi
organik dan sosial yang akan terjadi jika terus membiarkan
masalah

kesehatan

yang

dialami

berkembang

tanpa

diberi

penanganan dari praktisi kesehatan. Semakin individu percaya


bahwa suatu konsekuensi yang terjadi akan semakin memburuk,
maka mereka akan merasakan hal tersebut sebagai ancaman
dan mengambil tindakan preventif.

Pandangan
parahnya

individu

kondisi

merupakan

tentang

penyakit

perasaan

keparahan

seseorang.

yang

serius

penyakit

Persepsi

tertular

atau

keparahan

penyakit

atau

meninggalkannya karena tidak diobati. Sehingga menemukan


kesulitan

dalam

pengobatan.

Seseorang

akan

melakukan

tindakan pengobatan/pencegahan bila diancam oleh penyakit


yang dirasakan lebih parah dibandingkan dengan penyakit yang
dirasakan lebih ringan. Hal ini menjadi stigma bagi penderita.
Merasa bahwa jika terkena penyakit HIV akan berakibat serius
yaitu

bisa

menyebabkan

kematian

karena

menurunnya

kekebalan tubuh sehingga mudah terinfeksi. Selain itu, dampak


sosial yang diakibatkan jika seseorang terkena penyakit HIV
yaitu dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat, mendapat stigma
jelek dan perlakuan diskriminasi.
37

b. Perceived suspectibility to the health problem


Individu akan mengevaluasi kemungkinan masalah-masalah
kesehatan

lain

yang

akan

berkembang.

Semakin

individu

merasakan bahwa penyakit yang dialami beresiko, maka akan


membuat

individu

itu

merasakannya

sebagai

ancaman

dan

melakukan tindakan pengobatan.


Variabel ini mengambarkan kerentanan yang di rasakan.
Merasakan kerentanan merupakan penilaian subjektif seseorang
dari

resiko

tertular

penyakit.

Agar

seseorang

bertindak

mengobati atau mencegah penyakit, ia merasakan bahwa dia


rentan

terhadap

kepercayaan

penyakit

kesehatan

tersebut.
bergantung

Hal
dari

ini

membuat

perasaan

model

individu.

Berkaitan dengan evaluasi terhadap pemanfaatan pelayanan


apakah menerima konsekuen terhadap pelayanan medis dan

klinis serta mengahadapi kondisi sosial.


Mereka yang merasa dapat terkena penyakit HIV-AIDS akan
lebih cepat merasa terancam. Seseorang akan bertindak untuk
mencegah

penyakit

bila

ia

merasa

bahwa

sangat

mungkin

terkena penyakit tersebut. Kerentanan dirasakan setiap individu


tergantung risiko yang dihadapi individu pada suatu keadaan
tertentu. Hal ini terjadi pada kelompok risiko tinggi dengan
melakukan seks yang tidak aman dan berisiko memungkinakan
mereka

tertular

HIV-AIDS.

Merasa

dirinya

rentan

terhadap
38

penyakit HIV berkaitan dengan profesinya sebagai pekerja seks


karena

penyakit

tersebut

dapat

menular

melalui

hubungan

seksual dengan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan


alat pengaman (kondom).

3. Manfaat yang Dirasakan (Perceived Benefits)


Perceived
manfaat

benefits

yang diperoleh

berkaitan
individu

dengan

keuntungan

ketika melakukan

atau

tindakan

preventif tertentu. Dalam perceived benefits, individu menilai bahwa


dia akan memperoleh keuntungan ketika memperoleh layanan
kesehatan tertentu, misalnya semakin sehat dan dapat mengurangi
resiko yang dirasakan.
Variabel

ini

mengungkapkan

tentang

kepercayaan

akan

efektifnya sebuah strategi yang dirancang dalam menanggulangi


ancaman
tergantung

penularan
pada

penyakit.

manfaat

Tindakan

yang

yang

dirasakan

dilakukan

setelah

akan

mengambil

keputusan tersebut.
Individu

akan

mempertimbangkan

apakah

alternatif

ini,

misalnya layanan VCT memang bermanfaat dapat mengurangi


ancaman penyakit atau tidak.
Merasakan bahwa program VCT sangat bermanfaat dalam
pencegahan

dan

penanggulangan

mendeteksi

secara

dini

(dengan

HIV-AIDS

test

HIV),

karena

dapat
39

merupakan

akses

pengobatan dan dukungan bagi penderita HIV-AIDS.

4. Hambatan yang Dirasakan (Perceived Barriers)


Perceived barriers berkaitan dengan hambatan yang diperoleh
individu

ketika

perceived

melakukan

barriers

yaitu

memperoleh

layanan

pertimbangan

biaya,

tindakan
individu

kesehatan

preventif

merasakan
tertentu

konsekuensi

tertentu.

Dalam

hambatan

ketika

misalnya

psikologis

dalam

(misalnya,

hal
takut

dikatakan semakin tua jika melakukan cek-up), pertimbangan fisik


(misalnya,

jarak

rumah

sakit

yang

jauh

sehingga

sulit

untuk

mencapainya.
Variabel ini menjelaskan akan kemungkinan hambatan yang
dirasakan
munculnya

pada

saat

konsekuensi

melakukan
negatif

sebuah
yang

pengobatan,

mungkin

timbul

atau
dari

pengambilan tindakan kesehatan tertentu. Keputusan yang diambil


untuk memanfaatkan pelayanan tersebut akan menemui rintangan.
Misalnya tuntutan fisik, diskriminasi, psikologi dan keuangan.
Merasakan adanya halangan untuk mengikuti program VCT
anatar lain: harus menyediakan waktu. Tempat VCT jauh, rasa
takut dan malu dengan petugas kesehatan, prosedur yang lama
dan rumit (adanya inform consent) dan lain-lainnya.
40

5. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga dan petugas kesehatan masuk dalam
Cues to Action Factor dalam Health Belief Model. Diperlukan
isyarat

beberapa

faktor eksternal

untuk mendapat

tindakan

penerimaan yang benar. Faktor ekstenal tersebut misalnya adanya


pesan-pesan pada media masa, nasihat atau anjuran dari temanteman /dukungan sebaya, anggota keluarga.
Keluarga

merupakan

unit

terkecil

dalam

masyarakat

sekaligus orang yang palin dekat hubungannya dengan anggota


keluarga

lainnya

sehingga

dapat

memberikan

saran,

sugesti,

informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah.


Aspek-aspek tersebut menjadikan keluarga sebagai salah satu
sumber dukungan (support).
Dukungan

merupakan

keadaan

yang bermanfaat

bagi

seseorang yang dapat diperoleh dari orang lain yang dipercaya,


sehingga

seseorang

tersebut

tahu

bahwa

orang

lain

memperhatikan, menghargai dan mencintainya. Dukungan menurut


Friedman terdiri atas empat jenis, yaitu dukungan informasional,
emosional, instrumental dan penilaian (Psychologymania, 2012)
Menurut WHO yang dikutip dalam Notoatmodjo (2012) orang
penting

merupakan

referansi

yang

banyak

berpengaruh

dan

cenderung dipercaya oleh seseorang, keluarga dalam hal ini dapat


dianggap orang yang penting karena dalam keluarga tentunya
41

memiliki orang yang lebih tua dan cenderung untuk dijadikan


panutan. Maka, keluarga juga memiliki fungsi sebagai dukungan
informative

yang

menjadi

sebuah

kolektor

(penyebar) informasi tentang pemanfaatan VCT.

dan

disseminator

Keluarga

yang

memberikan

dukungan

emosional

dalam

pemanfaatan VCT yaitu keluarga memberikan empati, kepedulian


dan perhatian kepada orang tersebut untuk memeriksakan diri di
klinik VCT. Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk
istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap
emosi. Selain itu, keluarga dapat memberikan persetujuan kepada
anggota keluarganya yang ingin memeriksakan diri ke klinik VCT
sebagai dukungan penghargaan yang bersumber dari keluarga.
Keluarga

merupakan

sumber

pertolongan

praktis

dan

konkrit. Dukungan instrumental dari keluarga dalam pemanfaatan


VCT,

merupakan

bantuan

langsung

sesuai

dengan

yang

dibutuhkan seseorang, mencakup bantuan langsung sesuai dengan


yang dibutuhkan seseorang, mencakup penyediaan peralatan atau
sarana guna menunjang kelancaran pemanfatan VCT yang secara
langsung

dapat

meringankan

beban

seseorang,

misalnya

mengantarkannya ke klinik VCT, sehingga seseorang tersebut


memperoleh dukungan keluarganya.
Dukungan penilaian berupa suatu bentuk penghargaan yang
diberikan oleh keluarga berdasarkan kondisi yang sebenarnya.
42

Keluarga dalam memberikan dukungan penilaian dapat menerima


dan menghargai kondisi anggota keluarganya yang memeriksakan
diri di klinik VCT.
Dukungan
kekeluargaan

keluarga

yang

kuat

dianggap
dpaat

penting

menciptakan

karena

ikatan

lingkungan

yang

suportif dalam pemanfaatan layanan VCT, seperti hasil penelitian


Sumarlin (2013) bahwa faktor dukungan keluarga adalah faktor
yang paling berpengaruh dalam pemanfaatan klinik VCT.

6. Dukungan Petugas Kesehatan


Petugas

kesehatan

adalah

semua

orang

yang

bekerja

secara aktif dan professional di bidang kesehatan. Hal tersebut


berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik
Indonesia yaitu PP No.32 Tahun 2006 menyatakan bahwa petugas
kesehatan sebagai pelaksana ketentuan Undang-Undang no.23
Tahun 1992 tentang kesehatan. Para petugas kesehatan tersebut
memiliki pendidikan formal kesehatan ataupun tidak, yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya
kesehatan (Almira, 2012).
Menurut Snehandu Kar dalam Notoatmodjo (2012), perilaku
pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya
informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessability
of information) yang dapat diperoleh masyarakat dari petugas
43

kesehatan. Maka, pemberian informasi tersebut merupakan wujud


dukungan

yang

diberikan

oleh

petugas

kesehatan

kepada

masyarakat.
Dukungan petugas kesehatan dapat dilihat dari lima dimensi
dukungan yang dikutip dari Cutrona dan Orford dalam Chrismawati
(2008) bahwa dukungan materi, emosi, penghargaan, informasi dan
integritas

sosial

merupakan

bentuk

dukungan

yang

dapat

mendorong pemanfaatan VCT.


Adapun dukungan materi oleh petugas kesehatan hanya
dapat

sebatas

tersedianya

klinik

VCT

yang

sesuai

dengan

Pedoman Pleayanan Konseling dan Testng HIV dan AIDS Secara


Sukarela (2005). Dalam pedoman pelayanan tersebut telah diatur
mengenai sarana dan prasarana yang harus disiapkan dalam

pelaksanaan layanan klinik VCT tersebut guna menjaga mutu


pelayanan VCT agar pemanfaatannya terus meningkat.
Dukungan

emosi

oleh petugas

kesehatan

merupakan

ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik


maupun psikologis. Menurut Notoatmodjo (2012), emosi yang
sehat tercermin dari kemampuan seseorang mengekspresikannya
dan

hal

tersebut

dapat

menjadi

motivasi

dan

rasa

nyaman

seseorang bila ingin memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan,


seperti klinik VCT.
44

Penyampaian

informasi

kesehatan

tentang

pemanfaatan

VCT merupakan slaah satu bentuk dukungan informasi yang

dilakukan oleh petugas kesehatan. Petugas kesehatan di lapangan


4.
7
10
No.
1.

8
11
5.
2.

9
3.
6
12

HIV-AIDS
Using
VCTstigmastatistics
Faktor-faktor
Yang
from
reduction
Kenya
oninVCT
Berhubungan
Dengan
understanding
uptake:
An adapted
the
Praktik Wanita
Pekerja
association
systematic
between
Seks
(WPS)review
dalam(Misir,
VCT
Judul/Peneliti/Tahun
gender
2013)
and
HIV
Ulang
di
Lokalisasi
Determinants of Using
Sunan
(Otwombe,
Kuning
Mutisya,
Kota
Voluntary
Counselling
Semarang
Ajema,
&
Wanyungu,
/
Widiyanto
/
and Testing for
2009
2007)
HIV/AIDS in Kenya /
Factors
associated
with
Julie Abimanyi
Namazzi
readiness
VCTdespite
Barriers
/ 2011 totoVCT
service
13
years
utilization
of
communityamong
Determinan
Factors Associated
with
pregnant
based
awareness
women
Keikutsertaan
Utilization
of a Free HIV
attending
campaigns
in aFemale
periPelanggan
Wanita
VCT Clinicantenatal
by
clinics
urban
township
in
Northwestern
in
Pekerja
Seks
(WPS)
Sex Workers in Jinan
Ethiopia:
northern
Limpopo
A Health
Dalam
Program
City, Northern
CinaBelief
/
Model
(Koker,
Approach
Lefvre,
(Moges
Voluntary
Conseling
Wang et.al / 2011 And
Matthys,
Stuyft,
& Delva,
Testing
&
Amberbir,
(VCT)
2011)
/ Fibriana
2010)
/Analisis
2013 Faktor
Intention
to voluntary
HIV
counseling
andPada
Voluntary
Perception
counseling
of VCT
High
Pemanfaatan
and
testing
School
testing
(VCT)
Students
for
among
HIV
towards
Orang Risiko Tinggi
among
health
Voluntary
professionals
high
HIV
HIV/AIDS
/ school in
students
Jimma
Counseling
zone,
in
the
and
Ethiopia:
Testing,
Purwaningsih
/ Tiko
2010
health
The
using
theory
Health
district,
ofBelief
planned
Cameroon
behavior
Model
in (TPB)
Butajira,
(Haddison
et al., 2012)
perspective
SNNPR
(Abebe
(Abamecha,
&
Godesso,
Mitikie,
2009)
& Girma,
2013)

yang

secara

dukungan

Data
90
332
Wanita
responden
Pekerja
yang
dikumpulkan
terdaftar
Seks
(WPS)
di
dari
situs
5 database
di
VCT
lokalisasi
yang
utama
disurvei.
selama
Subjek
Sunan
2000
Kuning,
2011,
Perempuan
Argorejo,
dan
Studi
Kota
usia 415-49
Semarang
yang
tahun,
yang
melibatkan
pernah
sebanyak
273
Melakukan
6,651
peserta.
418
perawatan
orang di Kenya
VCT.
antenatal
86
orang pada
ibu
Peserta
93
pelanggan
970hamil
WPS
berkisar
di di usia
Perempuan
Lokalisasi
15-35
Pekerjatahun
Seksdi
Argorejo
daerah
urban
Kota Jinan,
Semarang
Limpopo
Cina Utara

review operasi
penelitian
Survey,
survey, dengan
evaluatif.
sistematis.
menggunakan
pendekatan
Desain
potong
Metode lintang
Survey
(cross
dengansectional
study)
pendekatan
analitik
cross-sectional,
dilengkapi
Delapan
dengan
diskusi
metode
survey
Metodedengan
Survey
pendekatan
kualitatif
kelompok
dengan
cross
gender
sectional
Pendekatan
campuran
Analisis
(FGD)
Regresi logistik
sederhana dan
berganda.
336
profesional
studi
kuantitatif
Kelompok
Survey
kesehatan
didi
cross-sectional
474
siswa
SMASMA
deskriptif,
Penelitian
risikosiswa
tinggi
descriptivestudi
SMA
12
kota
distrik
Butajira
di
analisis cross
deskriptif
cross
yang
distrik
Jimma,
memanfaatkan sectional
kesehatan
Ethiopia
Tiko
VCT di
Puskesmas

aktif

informasi

dalam
seperti

kegiatan

yang

penjangkauan

Stigma,
Keyakinan,
Jenis
kelamin,
pengetahuan,
Nilai,
status
Dorongan,
HIV,
self
efficacy
pemanfaatan
Motivasi,
dan
Praktik organisasi
VCT
pengujian
HIV
klinik VCT,
Variabel
Lingkungan
Faktor Sosioorganisasi
demografisklinik VCT
sosio-demografis,
pengetahuan tentang
Pengetahuan
tentang
HIV
VCT,
/
pengalaman
AIDS,
MTC
dan
persepsi
kerentanan,
Perspektif Ekologis:
persepsi
VCT
VCT,
motivasi
keparahan
untuk
faktor-faktor
HIV-AIDS,
VCT,
factor
persepsi
yang
intrapersonal,
manfaat
memfasilitasi
VCT,ke
VCT,
interpersonal,
institusi,
persepsi
efek
VCT,hambatan
hambatan
masyarakat
dan
VCT,
dalam
motivasi/
melakukan
isyarat
tingkat kebijakan
melakukan
VCT
VCT, dan
public
praktik
VCT
karakteristik
Health belief sosiomodel:
demografi,
variabel
usia,
Health
jenis
belief
kelamin,
Model:
perceived
sekolah,
kognitif,
persepsi
keyakinan,
aktivitas
dan factor,
sikap,
susceptibility
seksual,
sikap
kerentanan,
dansikap
niat dan
perceived
seriousness
pengetahuan
penggunaan
hambatan,
dan
VCT,
factor, perceived
manfaat
benefit and barrier
factor, self efficacy,
and cues to action
factor

bersifat
dan

kurangnya akan
Keyakinan
pemanfaatan
stigma
VCT
V
motivasi yang
berdasarkan
efficacy
mengiku
gend
pos
dengan
baru,
Stigma
laki-laki
ditemukan
praktikteta
VC
Tidak terdapat
tetapi
untuk
infeksi
tes
HIVHIV
&hup
dorongan
dibandingkan
dengan
pengguna
orang
laki
Penggunaan VCla
organisasi
terhadap
diuji,
dan infeksi
kemaua
klinik u
V
rendah.
Hambat
organisasi
penyebab
kepriha
klinik
terutama karenaV
dalam
kepentingan.
melakukan
pedesaan
yang m
(60,8%)
pernah
m
dan pelatihan ten
pengujian,
(55,5%
Ketakutan
muncu
stigma yang
terka
memanfaatkan
pemanfaatan
VCT
Ko
partisipasi
pelang
Rendahnya pem
dalam melakukan
dikaitkan
berhubungan
dengan
den
studi,
m
orang).
ke
pasangan
anak
Dibuktikan
usia
atau
keh
se
seluruh cina. Ak
berhubungan
pendidikan.
diskriminasi,
adala
den
dengan intrapers
Peserta
mengatak
interpersonal
facto
informasi dan me
kampanye kesada
Komponen
Keseriusan TPB
yangs
varians
dalam
nia
Pengetahuan
97
persen
dari
tent
sis
orang
risiko
tinggi
adalah
komponen
VCT,
82
tinggi
persen
TPB
dan
d
terhadap manfaat
terhadap
dalam
VCT,
kerentanan
model
VCT,akh
ba
benefit)
kuat,
teta
VCT
dalam
dikaitkan
rendah.
niat
dengan
untuk
Pen
risiko tinggi yang
jenis
menjalani
kelamin,
VCT,
sek
siV
terkuat
niat
untuk
tentang
manfaat
pengetahuan
0,39,
tinggi
p
menunjukka
<0,001)
tent
d
memanfaatkan VC
sedangkan,
VCT
Self efficacy tidak
kuat,
signifikan
mempre
tinggi yang mema
Pengalaman mas
statistik yang sign

memberikan

pendampingan

maupun dalam memfasilitasi kegiatan seperti penyuluhan bagi


kelompok

risiko

tinggi

untuk

memanfaatkan

atau

mengakses

berbagai layanan di Klinik VCT. Hal ini sesuai dengan penelitian


Budiastuti (2011) bahwa ada hubungan antara dukungan tenaga
kesehatan dengan pemeriksaan HIV di puskesmas Kassi-Kassi.
45

E. Sintesa Penelitian
Tabel. 1 Sintesa Penelitian-Penelitian Sebelumnya
46
47
48
49

F. Kerangka Teori
Penelitian

ini

menggunakan

model

Health

Belief

Model

(HBM) oleh Rosenstock. HBM dikembangkan oleh psikolog sosial


dalam

pelayanan

kesehatan

publik

AS

untuk

menjelaskan

kegagalan luas orang untuk berpartisipasi dalam program-program


untuk

mencegah

dan

mendeteksi

penyakit

(Hocbaum,

1958;

Rosenstock, 1960, 1974) dalam (Glanz, Rimer, & Viswanath, 2008).


Health belief model (HBM) merupakan salah satu model
yang digunakan untuk menjelaskan perubahan perilaku kesehatan
(Purwaningsih,

Misutarno,

&

SitiNurImamah,

2011).

Model

kepercayaan kesehatan menurut Rosenstock (Glanz et al., 2008)


merupakan model psikologi yang mencoba untuk menjelaskan dan
memprediksikan perilaku kesehatan dengan fokus pada sikap dan
keyakinan

individu.

Dalam

perkembangan

model

ini

lebih

menjelaskan pada kurangnya partisipasi publik dalam melakukan


pemeriksaan dan program pencegahan seperti pemanfaatan VCT
oleh

kelompok

risiko

tinggi.

Model

ini

di

adaptasi

untuk

mengeksplorasikan berbagai perilaku kesehatan jangka panjang


dan

jangka

pendek,

termasuk

perilaku

seksual

beresiko

dan

penularan HIV-AIDS.
Dalam kerangka Health Belief Model terdapat 3 kategori
utama dalam pelayanan kesehatan yakni: kepercayaan individu
50

(individual beliefs), faktor-faktor modifikasi (modifying factor), dan


kemungkinan tindakan (likelihood action).
Faktor-faktor

modifikasi

termasuk

diantaranya

variabel

demografis (umur, kelamin, etnis), variabel sosial dan psikologis


(kepribadian, pendidikan, pengalaman), Variabel struktur (kelas

social, akses ke pel.kes) dan pengetahuan. Pengetahuan atau


kognitif

merupakan

terbentuknya

domain

tindakan

yang

sangat

seseorang

penting

(Notoatmodjo,

untuk
2003).

Berdasarkan pengalaman dan penelitian, diperoleh bahwa perilaku


yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada perilaku
yang tidak didasari pengetahuan (Maulana, 2009).
Model kepercayaan individu (individual beliefs) mencakup
lima unsur penting, sebagai berikut:
a) Unsur pertama yaitu perasaan individu tentang kemungkinan
mereka terkena penyakit ( Perceived susceptibility). Variabel ini
mengambarkan kerentanan yang di rasakan. Perasaan

rentan

merupakan penilaian subjektif seseorang dari resiko tertular


penyakit. Agar seseorang bertindak mengobati atau mencegah
penyakit, ia merasakan bahwa dia rentan terhadap penyakit
tersebut.

Hal

ini

membuat

model

kepercayaan

kesehatan

bergantung dari perasaan individu. Berkaitan dengan evaluasi


terhadap pemanfaatan pelayanan apakah menerima konsekuen
51

terhadap pelayanan medis dan klinis serta mengahadapi kondisi


sosial.
b) Unsur kedua merupakan pandangan individu tentang keparahan
penyakit (Perceived severy) atau parahnya kondisi penyakit
seseorang. Pandangan keparahan merupakan perasaan yang
serius tertular penyakit atau meninggalkannya karena tidak
diobati. Sehingga menemukan kesulitan dalam pengobatan.
Seseorang akan melakukan tindakan pengobatan/pencegahan
bila

diancam oleh

penyakit

yang

dirasakan lebih

parah

dibandingkan dengan penyakit yang dirasakan lebih ringan.


Kombinasi dari perceived susceptibility dan perceived severy

disebut perceived threat (Ancaman yang dirasakan).


c) Unsur ketiga merupakan manfaat yang dirasakan atau perceived
benefits. Persepsi ini mengungkapkan tentang kepercayaan
akan

efektifnya

sebuah

strategi

yang

dirancang

dalam

menanggulangi ancaman penularan penyakit. Tindakan yang


dilakukan

akan

tergantung

pada

manfaat

yang

dirasakan

setelah mengambil keputusan tersebut.


d) Unsur Keempat merupakan hambatan yang dirasakan atau
perceived Barrier. Persepsi ini menjelaskan akan kemungkinan
hambatan

yang

dirasakan

pada

saat

melakukan

sebuah

pengobatan, atau munculnya konsekuensi negatif yang mungkin


timbul dari pengambilan tindakan kesehatan tertentu. Keputusan
52

yang diambil untuk memanfaatkan pelayanan tersebut akan


menemui

rintangan.

Misalnya

tuntutan

fisik,

diskriminasi,

psikologi dan keuangan.


e) Unsur terakhir cues to action bisa sebagai isyarat atau tandatanda dengan melakukan aksi kegiatan sehubungan dengan
mempromosikan pelayanan kesehatan melalui media tertentu
yang benar. Diperlukan isyarat beberapa faktor eksternal untuk
mendapat tindakan penerimaan yang benar. Faktor ekstenal
tersebut misalnya adanya pesan-pesan pada media masa,
nasihat atau anjuran dari teman-teman /dukungan

sebaya,

anggota keluarga. Media yang ada berupa poster, iklan bisa


disampaikan berupa kegiatan penyuluhan tentang gejala fisik
dari

kondisi

kesehatan

atau

melalui

lingkungan

berupa

penjelasan melalui media publikasi yang kesemua acaranya


memotivasi seseorang untuk mengambil tindakan.
53

KERANGKA TEORI
Health Belief Model Components and Linkages

Source: Glanz, Rimer and Viswanath in Health


Behavior and Health Education Theory, Research, and
Practice page 49. (2008)

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian


54

G. Kerangka Pikir
Berdasarkan kerangka teori, maka dapat disusun kerangka pikir
penelitian sebagai berikut :
Pengetahuan

Pengetahuan terkait HIV-AIDS


Pengetahuan terkait Layanan VCT

Sumber: Notoatmodjo, 2012

Ancaman yang dirasakan

Kerentanan terhadap penyakit HIV-AIDS


Keseriusan penyakit HIV-AIDS
Dampak / konsekuensi yang ditimbulkan penyakit
HIV-AIDS
Sumber: Glanz, Rimer and Viswanath in Health
Behavior and Health Education heory, Research, and
Practice

Manfaat yang dirasakan


Manfaat dari layanan VCT
Efektivitas layanan VCT
Sumber: Glanz, Rimer and Viswanath in Health
Behavior and Health Education heory, Research, and
Practice

Pemanfaatan VCT

Hambatan yang dirasakan

Akses ke layanan VCT


Ketakutan akan hasil VCT
Stigma/diskriminasi
Sumber: Glanz, Rimer and Viswanath in Health
Behavior and Health Education heory, Research, and
Practice

Sumber: Pedoman Layanan


VCT, 2005

Dukungan Keluarga
Dukungan informasional
Dukungan Emosional
Dukungan Instrumental
Dukungan Penilaian
Sumber: Friedman (1998) dalam Psychologymania
(2012)

Dukungan Petugas Kesehatan


Dukungan informasi layanan VCT
Dukungan konseling dan testing di klinik VCT
Dukungan materi
Sumber: Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing
HIV-AIDS secara Sukarela, 2005

Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian


55

H. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian dan studi kepustakaan dapat disusun
kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Pengetahuan

Ancaman yang
dirasakan
(Perceived Threat)

Pre Testing
Testing
Post Testing

manfaat yang
dirasakan /
Perceived Benefits

Hambatan yang
dirasakan /
Perceived Barriers

Pemanfaatan
VCT

Dukungan
Keluarga
Keterangan :
Dukungan
Petugas
Kesehatan

: Variabel Independen
: Variabel Dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian


56

I. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan

kerangka

konsep,

maka

dapat

ditarik

hipotesis

penelitian sebagai berikut :


1. Ada pengaruh pengetahuan terhadap pemanfaatan VCT

pada

kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.


2. Ada pengaruh ancaman yang dirasakan (perceived threat) terhadap
pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di
Kota Makassar.
3. Ada pengaruh manfaat yang dirasakan (perceived benefit) terhadap
pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di
Kota Makassar.
4. Ada

pengaruh

hambatan

yang

dirasakan

(perceived

barriers)

terhadap pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIV-

AIDS di Kota Makassar.


5. Ada pengaruh dukungan keluarga terhadap pemanfaatan VCT pada
NO.

1.

2.

Variabel
Penelitian

Pengetahuan

Ancaman yang
dirasakan
(Perceived
Threat)

Defenisi Operasional

Skala Pengukuran

Kriteria O

Segala sesuatu yang


diketahui oleh responden
berkaitan dengan definisi,
cara penularan, dan cara
pencegahan HIV-AIDS
serta tujuan, prinsip, dan
tahapan dalam pelaksanaan
pemanfaatan VCT.
Penilaian individu mengenai
ancaman yang dirasakan
yang berkaitan dengan
kerentanan dan keseriusan
penyakit HIV-AIDS dengan
mempertimbangkan
dampak/konsekuensi medis
dan sosial yang akan terjadi
jika terus membiarkan
masalah kesehatan yang
dialami berkembang tanpa
memanfaatkan VCT untuk
mendapat penanganan dari
praktisi kesehatan.

Diukur dengan total skoring dari


jawaban pertanyaan yang ada pada
instrument dengan bentuk pilihan
ganda (11 Pertanyaan), dengan
total skor 11.
Jawaban Benar = 1
Jawaban Salah = 0

Pengetahuan cuk
responden mempe
nilai mean
Pengetahuan kura
responden mempe
nilai mean

Skala likert, dengan kategori:


Sangat setuju = 4
Setuju = 3
Tidak setuju = 2
Sangat tidak setuju = 1
Jumlah Pertanyaan = 14
Skor tertinggi = 12 x 4 = 48 (100%)
Skor Terendah = 12 x 1= 12 (25%)
Interval Kelas (I) = R/K
Range (R) = Skor tertinggi skor
terendah = 100% - 25% = 75%
Jumlah Kategori (K) = 2
Maka I = 75% / 2 = 37,5%
= 100% - 37,5% = 62,5%

Ancaman kuat: Ji
memperoleh skor
Ancaman lemah:
memperoleh skor

kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.


6. Ada pengaruh dukungan konselor terhadap pemanfaatan VCT pada
kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.
57

J. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif


Tabel. 2 Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

58
59

3.
5.

4.
6.

Perceived
Benefits
Dukungan
(Manfaat yang
Keluarga
dirasakan)

Dorongan dalam bentuk


Mengungkapkan
informasi
tentangtentang
HIV dan
kepercayaan/penilaian
AIDS
serta VCT sebelum
individu akan
mengikuti
pemeriksaan
manfaat dan
efektifnya
VCT,
maupun
layanan
perhatian
VCT dan
dalam menanggulangi
pendampingan
serta
ancamandari
motivasi
penularan
orang tua,
penyakit, perubahan
suami/istri,
anak atau
perilaku berisiko,
saudara
responden untuk
mengetahui atau
berkunjung
dan selama
menjaga
status kesehatan
sedang
memanfaatkan
individu.
pelayanan di klinik VCT.

Perceived
Dukungan
Barriers
(Hambatan
Petugas
yang
Kesehatan
dirasakan)

Menjelaskan akan
kemungkinan hambatan
yang dirasakan
saat
Dorongan
dalampada
bentuk
menggunakan
informasi
tentang
layanan
HIV dan
VCT, atau
AIDS,
jugamunculnya
mengenai VCT
konsekuensi
serta
motivasinegatif
yang yang
mungkin timbul
diberikan
oleh petugas
dari
pengambilan
kesehatan
sebelum
tindakan
kesehatan seperti
responden
memanfaatkan
akses
yang sulit,
maupun
selama
stigmaresponden
/
diskriminasi danklinik
memanfaatkan
ketakutan
VCT.
akan hasil VCT dan
kerahasiaan status individu.

Skala likert, dengan kategori:


Sangat=setuju
Selalu
4
=4
Setuju = 3
Sering
Tidak setuju = 2 = 2
Kadang-kadang
Sangatpernah
Tidak
tidak setuju
=1 =1
Jumlah Pertanyaan = 10
11
Skor tertinggi = 10
11 x 4 = 44
40 (100%)
Skor Terendah = 10
11 x 1= 11
10 (25%)
(25%)
Interval Kelas (I) = R/K
Range (R) = Skor tertinggi skor
terendah = 100% - 25% = 75%
Jumlah Kategori (K) = 2
Maka I = 75% / 2 = 37,5%
= 100% - 37,5% = 62,5%
Skala likert, dengan kategori:
Sangat=setuju
Selalu
4
=4
Setuju = 3
Sering
Tidak setuju = 2 = 2
Kadang-kadang
Sangatpernah
Tidak
tidak setuju
=1 =1
Jumlah Pertanyaan = 9
10
Skor tertinggi = 9
10x x44==36
40(100%)
(100%)
Skor Terendah = 9
10x x1=
1=910
(25%)
(25%)
Interval Kelas (I) = R/K
Range (R) = Skor tertinggi skor
terendah = 100% - 25% = 75%
Jumlah Kategori (K) = 2
Maka I = 75% / 2 = 37,5%
= 100% - 37,5% = 62,5%

Dukungan
Manfaat
dirasa
cukup:
ba
responden mempe
62,5%
Manfaat dirasa
Dukungan
kurang
ku
responden mempe
62,5%

Dukungan tinggi:
Hambatan
cukup:
responden mempe
62,5%
Hambatan rendah
Dukungan
kurang
responden mempe
62,5%

60

Penggunaan klinik VC
7.
Pemanfaatan
VCT

T
oleh responden untuk
mendapatkan layanan
konseling dan testing
HIV
secara sukarela

Memanfaatkan: ji
ka responden
memanfaatkan kli
nik VCT untuk
seluruh kegiatan,
yaitu konseling
pra testing, testing
HIV dan
Nominal
Skala nominal dikotomi konseling pasca testing.
Mengisi
pertanyaan
kuesioner Tidak Memanfaat
kan: jika
pernah mengikuti konseling, test responden tidak
memanfaatkan
HIV, dan pasca testing HIV. klinik VCT atau hanya
memanfaatkan untu
k sebagian
kegiatan, yaitu ko
nseling pra
testing saja atau
konseling pra
testing dan testin
g HIV saja.
61

BAB III
METODE PENELITIAN
A.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif bentuk survey


analitik dengan pendekatan cross sectional study yang menjelaskan
dinamika korelasi antara variabel independen dengan variabel dependen
pada

saat

yang

pengetahuan,
hambatan

bersamaan,

ancaman

yang

yang

bertujuan

yang dirasakan,

dirasakan,

dukungan

mengungkap

manfaat
keluarga,

pengaruh

yang dirasakan,
dukungan

petugas

kesehatan terhadap pemanfaatan layanan VCT pada kelompok berisiko


tinggi tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.

B.
Penelitian

ini

Lokasi Penelitian

dilaksanakan

di

Kota

Makassar

dengan

pertimbangan Kota Makassar mempunyai kasus HIV-AIDS yang tinggi dan


populasi kelompok risiko yang cukup besar (tertinggi di propinsi Sulawesi
Selatan) dan memiliki sarana klinik
VCT.
N.ZP.Q

n=

C.

Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua orang risiko tinggi tertular HIVAIDS dari kelompok Penasun, WPS, LSL dan Waria yang ada di Kota
Makassar. Kelompok ini dianggap memiliki risiko yang sangat tinggi dan
62

mobilitas tinggi terhadap penularan HIV-AIDS, dan berdasarkan laporan


jumlah kumulatif kasus AIDS menurut faktor risiko tertinggi terjadi pada
kelompok-kelompok ini (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan

Laporan Dinas Kesehatan Kota Makassar jumlah estimasi kelompok


berisiko di Makassar 2012 untuk kelompok penasun (951), WPS (738),
waria (232), LSL (1.934). Jadi total populasi penelitian ini adalah 3.855
orang.

D. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari orang risiko tinggi
tertular HIV-AIDS dari kelompok penasun, WPS, LSL dan Waria di Kota
Makassar yang ditemui selama penelitian berlangsung.
Jumlah sampel dalam penelitian dihitung dengan menggunakan
rumus Lameshow dalam (Murti, 2010), berdasarkan rumus besar sampel
untuk populasi kurang dari 10.000.
d2 N1 + Z.P.Q

Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Besar populasi
Z = Tingkat Kemaknaan (1,96)
P = Proporsi populasi (0,1)
Q = 1-P = 1 - 0,1 = 0,9
Penasun =

133 = 32,81 = 33

3855

d = tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan 5% (0,05)


WPS = 3855 133 = 25,46 = 25
Waria =
Berdasarkan

3855

133 = 8,004 = 8

LSL = 3855 133 = 66.72 = 67


jumlah sampel
sebanyak 3.855, maka

sampel sebagai berikut:


=
=
=

3855.1,96. 0,1.0,9
0,052 3855 1 + 1,96. 0,1.0,9
1332,3
(9,635 + 0,345)
1332,3
(9,98)

= 133,49

63

diperoleh

=
Prosedur pengambilan sampel menggunakan metode
random

sampling,

yaitu

mengambil

responden

yang

stratified

mempunyai

karakteristik yang berbeda-beda atau heterogen kemudian menentukan


strata atau lapisan dari jenis karakteristik unit-unit tersebut (Notoatmodjo,
2010). Diperoleh jumlah sampel yaitu 133 orang dengan proporsi jumlah
sampel pada keempat kelompok risiko sebagai berikut:
951

738

232

1934

Adapun kriteria responden yang dapat menjadi sampel penelitian


adalah sebagai berikut:
64

1. Responden bersedia untuk menjadi responden dan siap untuk


diwawancarai dan mampu berkomunikasi dengan baik dan
dapat dimengerti oleh peneliti.
2. Umum responden minimal 17 tahun ke atas

E. Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh dari responden (sampel) langsung
melalui wawancara berpedoman pada kuesioner yang telah disusun
mencakup karaktersitik responden dan variabel penelitian. Sedangkan
data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan,
KPA dan referensi yang berhubungan dengan kelompok risiko HIV-AIDS
dan pemanfaatan VCT.

Untuk mengetahui apakah kuesioner cukup layak untuk digunakan


sehingga mampu menghasilkan data yang akurat maka dilakukan uji
validitas dan reliabilitas. Uji validitas menunjukkan sejauh mana skor atau
ukuran yang diperoleh benar benar menyatakan hasil pengukuran yang
ingin diukur. Uji validitas dilakukan terhadap instrumen penelitian dengan
memakai rumus korelasi produk momen dari pearson.
Suatu pertanyaan dikatakan valid atau bermakna sebagai alat
pengumpul data bila korelasi hasil hitung ( r hitung ) lebih besar dari angka
kritik nilai korelasi. Dengan jumlah sampel 30 pada uji validitas dan
reliabilitas maka Item pertanyaan dalam kuesioner dikatakan valid apabila
65

nilai corrected item total > nilai r tabel (0,361) pada =5%. Setelah
dilakukan uji validitas dilanjutkan dengan uji reliabilitas dengan melihat
nilai cronbach alpha. Item pertanyaan dalam kuesioner dikatakan reliabel
apabila nilai cronbach alpha > 0,6 (Arikunto, 2006).
Pengujian validitas dan reliabilitas kuesioner penelitian ini dilakukan
pada

30

responden kelompok berisiko dan hasil

menunjukkan

nilai

corrected item total > 0,361 dan nilai cronbach alpha > 0,6 sehingga dapat
disimpulkan bahwa seluruh item pernyataan valid dan reliabel.

F. Etika Penelitian
Kegiatan

pengumpulan

data

dilaksanakan

peneliti

dengan

mempertimbangkan etika penelitian. Etika penelitian meliputi:


a. Informed Consent (Informasi untuk responden)
Penelti memberikan penjelasan kepada responden terkait dengan
penelitian. Setelah calon responden memahami atas penjelasan
peneliti, selanjutnya peneliti memberikan lembar informed consent
untuk ditandatangani oleh responden penelitian.
b. Anonimity (Tanpa nama)

Peneliti tidak mencantumkan nama responden dan hanya diberikan


kode atau nomor pada penyajian hasil penelitian.
c. Confidentiality (Kerahasiaan informasi)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti.
66

G. Pengolahan dan Penyajian Data


1. Pengolahan Data
Pengolahan

data dilakukan

dengan

menggunakan

komputer

dengan program SPSS 18, dengan tahap-tahap sebagai berikut :


a. Edit Data
Tahap ini merupakan tahap kegiatan membersihkan data yang
telah

terkumpul,

baik cara

pengisian,

kesalahan

pengisian,

konsistensi dari setiap jawaban yang terdapat pada kuesioner.


b. Coding (Pemberian Kode)
Data yang telah diteliti kelengkapannya diberikan kode secara
manual sebelum di-entry ke dalam komputer.
c. Entry (Pemasukan Data ke dalam Komputer)
Data yang telah diberikan kode diperiksa seluruhnya, dimasukkan
ke dalam komputer untuk diolah.
d. Cleaning Data Entry
Pemeriksaan

kembali

semua

data

yang

telah

di-entry

untuk

menghindari terjadinya kesalahan dalam entry data yang dapat


memberikan hasil akhir yang kurang tepat.
e. Tabulasi
Tabulasi data dengan bantuan computer sesuai dengan variabel
yang diteliti dan kebutuhan analisis untuk memudahkan proses
pengolahan data.

67

2. Penyajian Data
Hasil pengolahan data tersebut disajikan dalam bentuk narasi,
tabel distribusi frekuensi disertai dengan interpretasi.

H. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis data yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran
umum dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan
dalam

penelitian

yaitu

dengan

melihat

gambaran

distribusi

frekuensinya dalam bentuk tabel.


2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk melihat
hubungan dua variabel yaitu antara variabel bebas dan variabel terikat.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Chi Square dan
uji regresi logistic bivariat.
Uji Chi Square adalah uji yang digunakan untuk mengestimasi
atau mengetahui frekuensi hasil observasi dengan frekuensi yang
diharapkan dari sampel apakah terdapat hubungan atau perbedaan
yang signifikan atau tidak. Uji Chi Square melihat hubungan atau
perbedaan antara variabel yang berbentuk kategorik (nominal dan
ordinal).
68

Uji signifikan dilihat dengan menggunakan CI 95% (P value <


0,05). Kesimpulan tingkat kemaknaan dapat dilakukan apabila hasil uji
sebagai berikut:
P-value 0,05 menunjukkan hasil adalah signifikan

P-value > 0,05 menunjukkan hasil adalah tidak signifikan


3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui kecenderungan
variabel bebas mana yang lebih berpengaruh terhadap variabel terikat.
Langkah pertama yang akan dilakukan adalah melakukan seleksi
bivariat masing-masing variable independen dan variabel dependen.
Karena

variabel

dependennya adalah kategorik dikotom yaitu


dimana, = ()
memanfaatkan atau tidak memanfaatkan maka uji yang digunakan
adalah uji regresi logistik berganda.
Adapun langkah yang harus diperhatikan dalam analisis regresi
logistik adalah variabel bebas yang pengaruh signifikan kemudian
dimasukkan

ke dalam

model

regresi

logistik

multivariat

untuk

mengetahui pengaruh secara bersama-sama antara variabel bebas


dengan

variabel

terikat.

Didalam

penentuan

model

yang

cocok

dilakukan dengan melihat nilai dari Wald Statistik dan Exp(B) untuk
masing-masing variabel bebas dengan batas nilai p 0.05 .
69

Model regresi logistik ganda:


g(x) = 0 + 1x1 + 2x2 +..+ pxp
1()

Nilai

kritis

regresi

ditentukan

dengan

tingkat

dalam

pengujian

dengan

kepercayaan

hipotesis

menggunakan
(level

of

tabel

terhadap

koefisien

distribusi

significance)

yang

normal
umum

digunakan adalah 5%.


70

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar kerjasama dengan
Yayasan Gaya Celebes Makassar, pada 14 April 2014 sampai dengan 14
Mei 2014. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah
kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS yang berjumlah 133 responden,
dimana

Penasun

(33

responden),

WPS

(25

responden),

Waria

(8

responden) dan LSL (67 responden). Instrumen penelitian yang digunakan


dalam

penelitian

ini

adalah

kuesioner

untuk

mendapatkan

informasi

mengenai semua variabel independen (pengetahuan, ancaman yang


dirasakan, manfaat yang dirasakan, hambatan yang dirasakan, dukungan
keluarga dan dukungan petugas kesehatan) dan variabel dependen
(pemanfaatan layanan VCT) yang diteliti.
Berdasarkan hasil pengolahan data yang dilakukan, maka hasil
penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut :
1.

Analisis Univariat
a. Karakteristik Responden
Karakteristik responden adalah ciri khas yang melekat pada
diri

responden,

pendidikan

yang

terakhir,

meliputi,
dan

kelompok

pekerjaan.

umur,

Distribusi

jenis

kelamin,

karakteristik

responden adalah sebagai berikut:


71

1) Kelompok Umur
Kelompok umur adalah kelompok umur yang menandai
umur responden,

dengan

interval

10 tahunan.

Distribusi

responden menurut kelompok umur dapat dilihat pada tabel


berikut:

Tabel 3 Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur di


Kota Makassar Tahun 2014
Kelompok Umur
Responden
No.
( Tahun )
n
%
1.
18 24
35
26,3
2.
25 31
68
51,1
3.
32 38
21
15,8
4.
39 45
9
6,8
Total
133
100
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel

menunjukkan

kelompok

umur

responden

terbanyak adalah 2531 tahun sebanyak 68 responden (51,1%),


sedangkan yang terendah adalah 3945 tahun sebanyak 9
responden (6,8%).
2) Jenis Kelamin
Jenis kelamin adalah ciri biologis responden yang terdiri
dari laki-laki dan perempuan. Distribusi responden menurut jenis
kelamin dapat dilihat pada tabel berikut:
72

Tabel 4 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin di


Kota Makassar Tahun 2014
Responden
No.
Jenis Kelamin
n
%
1.
Laki-laki
102
76,7
2.
Perempuan
31
23,3
Jumlah
133
100
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel 4 menunjukkan jenis kelamin responden yang
terbanyak adalah laki-laki sebanyak 102 responden (76,7%),
sedangkan perempuan sebanyak 31 responden (23,3%).
3) Status Perkawinan
Status

perkawinan

adalah

keadaan

atau

kedudukan

perkawinan seseorang, apakah telah kawin, belum kawin atau


berstatus

janda/duda.

Distribusi

responden

menurut

status

perkawinan dapat dilihat pada tabel berikut:


Tabel 5 Distribusi Responden Menurut Status Perkawinan

di Kota Makassar Tahun 2014


No.

Pendidikan

1.
2.
3.

Kawin
Belum Kawin
Duda/Janda
Total
Sumber : Data Primer,2014

Responden
n
%
40
30,1
78
58,6
15
11,3
133
100

Tabel 5 menunjukkan status perkawinan responden yang


terbanyak adalah belum kawin sebanyak 78 responden (58,6%),
sedangkan

kawin

40 responden

(30,1%)

selebihnya

15

responden (11,3%) berstatus duda/janda.


73

4) Pendidikan Terakhir
Pendidikan terakhir adalah jenjang pendidikan formal
terakhir

yang

ditamatkan

responden.

Distribusi

responden

menurut pendidikan terakhir dapat dilihat pada tabel berikut:


Tabel 6

Distribusi
Responden
Menurut
Pendidikan
Terakhir di Kota Makassar Tahun 2014
Responden
No.
Pendidikan
n
%
1.
SD
6
4,5
2.
SMP/sederajat
10
7,5
3.
SMA/sederajat
97
72,9
4.
Diploma
8
6,0
5.
Perguruan Tinggi
12
9,0
Total
133
100
Sumber : Data Primer,2014

Tabel

menunjukkan

pendidikan

terakhir

responden

yang terbanyak adalah SMA/sederajat sebanyak 97 responden


(72,9%), sedangkan yang terendah adalah SD sebanyak 6
responden (4,5%).
5) Pekerjaan
Pekerjaan merupakan merupakan kegiatan formal yang
dilakukan

dalam

kehidupan

sehari-hari

yang

berpengaruh

terhadap orang lain. Distribusi responden menurut pekerjaan

dapat dilihat pada tabel berikut:


74

Tabel 7 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan di Kota


Makassar Tahun 2014
Responden
No.
Pekerjaan
n
%
1.
Tidak bekerja
21
15,8
2.
Mahasiswa/Pelajar
2
1,5
3.
PNS
3
2,3
4.
Pedagang/Wiraswasta
23
17,3
5.
Pegawai Swasta
41
30,8
6.
Ibu Rumah Tangga
7
5,3
7.
Pekerja Seks
10
7,5
8.
Pekerja Salon
6
4,5
9.
Karyawan
17
Kafe/Toko/Karaoke/SPG
10.
3
Lainnya (buruh dan
tukang ojek)
Total
133
100
Sumber Data Primer, 2014
Tabel

:
menunjukkan
pekerjaan
2011Sumber:

responden

yang

terbanyak adalah pegawai swasta sebanyak 41 responden


(30,8%), sedangkan yang terendah adalah mahasiswa/pelajar
sebanyak 2 responden (1,5%).
b. Deskriptif Variabel Penelitian
1) Pengetahuan (Knowledge)
Untuk

menggambarkan

pengetahuan

responden

mengenai HIV-AIDS dan layanan VCT, maka diukur melalui 11


pertanyaan yang terdiri dari pengertian atau definisi HIV-AIDS
dan layanan VCT, cara penularan, cara pencegahan, prinsip,
tujuan dan tahapan pelayanan VCT.
Distribusi pengetahuan responden terhadap HIV-AIDS
dan layanan VCT dapat dilihat pada tabel berikut:
75

Tabel 8

Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan


di Kota Makassar Tahun 2014

12,8
2,3

Responden
n
%
1.
Cukup
92
69,2
2.
Kurang
41
30,8
Total
133
100
Sumber : Data Primer, 2014
No.

Tabel

Pengetahuan

8 menunjukkan

bahwa dari 133 responden

terdapat 92 responden (69,2%) yang memiliki pengetahuan


cukup dan terdapat

41 responden (30,8%) yang memiliki

pengetahuan kurang mengenai HIV-AIDS dan layanan VCT.


2) Ancaman yang dirasakan (Perceived Threat)
Untuk menggambarkan penilaian responden terhadap
ancaman
melalui

yang
12

dirasakan

pertanyaan

(Perceived

yang

terdiri

Threat),
dari

maka

penilaian

diukur
individu

mengenai ancaman yang dirasakan yang berkaitan dengan


kerentanan

dan

mempertimbangkan

keseriusan

penyakit

dampak/konsekuensi

HIV-AIDS
medis

dengan
dan

sosial

yang akan terjadi jika terus membiarkan masalah kesehatan


yang dialami berkembang tanpa memanfaatkan VCT untuk
mendapat penanganan dari praktisi kesehatan..
Distribusi penilaian responden terhadap ancaman yang
dirasakan (Perceived Threat) dapat dilihat pada tabel berikut:
76

Tabel 9

Distribusi Responden Berdasarkan Ancaman yang


dirasakan (Perceived Threat) di Kota Makassar
Tahun 2014
Ancaman yang
Responden
No.
n
dirasakan
1.
Kuat
113
85
2.
Lemah
20
15
Total
133
100
Sumber : Data Primer, 2014

Tabel

9 menunjukkan

bahwa dari 133 responden

terdapat 113 responden (85%) yang menilai ancaman yang


dirasakan kuat dan 20 responden (15%) yang menilai ancaman

yang dirasakan lemah terhadap kerentanan dan keseriusan


serta dampak penyakit HIV-AIDS itu sendiri.
3) Manfaat yang dirasakan (Perceived Benefits)
Untuk menggambarkan penilaian responden terhadap
manfaat yang dirasakan

(Perceived Benefits), maka diukur

melalui 11 pertanyaan yang terdiri dari ungkapkan tentang


kepercayaan/penilaian individu akan manfaat dan efektifnya
layanan

VCT

dalam

menanggulangi

ancaman

penularan

penyakit, perubahan perilaku berisiko, mengetahui dan menjaga


status kesehatan individu.
Distribusi penilaian responden terhadap manfaat yang
dirasakan (Perceived Benefits) dapat dilihat pada tabel berikut:
77

Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan


dirasakan (Perceived Benefits) di
Tahun 2014
Manfaat yang
No.
dirasakan
1.
Baik
103
2.
Kurang
30
Total
133
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel

10

menunjukkan

bahwa

Manfaat yang
Kota Makassar
Responden
n
77,4
22,6
100

dari

133

responden

terdapat 103 responden (77,4%) yang menilai baik dengan


manfaat layanan VCT dan terdapat 30 responden (22,6%)
yang menilai manfaat layanan VCT masih kurang.
4) Hambatan yang dirasakan (Perceived Barriers)
Untuk menggambarkan penilaian responden terhadap
hambatan yang dirasakan (Perceived Barriers), maka diukur
melalui 10 pertanyaan yang terdiri dari kemungkinan hambatan
yang dirasakan pada saat menggunakan layanan VCT, atau
munculnya
pengambilan

konsekuensi

negatif

tindakan

kesehatan

yang

mungkin

seperti

akses

timbul
yang

dari
sulit,

stigma/diskriminasi

dan

ketakutan

akan

hasil

VCT

dan

kerahasiaan status individu.


Distribusi penilaian responden terhadap hambatan yang
dirasakan (Perceived Barriers) dapat dilihat pada tabel berikut:
78

Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Hambatan


yang dirasakan (Perceived Barriers) di Kota
Makassar Tahun 2014
Hambatan
Responden
yang
No.
n
dirasakan
1.
Tinggi
54
40,6
2.
Rendah
79
59,4
Total
133
100
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel

11

menunjukkan

terdapat 79 responden (59,4%)

bahwa

dari

133

responden

yang menilai hambatan yang

dirasakan rendah dan terdapat 54 responden (40,6%) yang


menilai hambatan yang dirasakan masih tinggi.
5) Dukungan Keluarga
Untuk menggambarkan penilaian responden terhadap
dukungan keluarga
melalui

10

dalam pemanfaatan VCT, maka diukur

pertanyaan

mengenai

dorongan

dalam

bentuk

informasi tentang HIV dan AIDS serta VCT sebelum mengikuti


pemeriksaan

VCT,

maupun

perhatian

saat

sakit

dan

pendampingan serta motivasi dari keluarga responden untuk


berkunjung atau selama sedang memanfaatkan pelayanan di
klinik VCT.
Distribusi

penilaian

responden

terhadap

dukungan

keluarga dapat dilihat pada tabel berikut:


79

Tabel

12

Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan


Keluarga di Kota Makassar Tahun 2014
Dukungan
Responden
No.
n
Keluarga
1.
Cukup
53
39,8
2.
Kurang
80
60,2
Total
133
100
Sumber : Data Primer, 2014

Tabel

12

menunjukkan

bahwa

dari

133

responden

terdapat 80 responden (60,2%) yang menilai dukungan keluarga


masih kurang dan terdapat 53 responden (39,8%) yang menilai
dukungan keluarga cukup.
6) Dukungan Petugas Kesehatan
Untuk menggambarkan penilaian responden terhadap
dukungan

petugas

kesehatan,

maka

diukur

melalui

pertanyaan mengenai dorongan dalam bentuk informasi tentang


HIV

dan

diberikan

AIDS,
oleh

juga

mengenai

petugas

VCT

kesehatan

serta

sebelum

motivasi

yang

responden

memanfaatkan maupun selama responden memanfaatkan klinik


VCT.
Distribusi

penilaian

responden

terhadap

dukungan

petugas kesehatan dapat dilihat pada tabel berikut:


80

Tabel

13

Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan


Petugas Kesehatan di Kota Makassar Tahun
2014
Dukungan
Responden
Petugas
No.
n
Kesehatan
1.
Cukup
100
75,2
32,3
2.
Kurang
33
24,8 43
Memanfaatkan
Total
133
100
Sumber : Data Primer, 2014

Tabel

13

menunjukkan

bahwa

dari

133

responden

terdapat 100 responden (75,2%) yang menilai cukup dengan


dukungan petugas kesehatan dan terdapat 33 responden

(24,8%)

yang

menilai

dukungan

petugas

kesehatan

masih

kurang.
7) Pemanfaatan VCT
Untuk

menggambarkan

pemanfaatan

responden

terhadap pelayanan VCT, maka diukur melalui tiga pertanyaan


yang terdiri dari pemanfaatan VCT, pra testing, testing dan post
testing.
Distribusi pemanfaatan pelayanan VCT responden dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Pemanfaatan
Layanan VCT di Kota Makassar Tahun 2014
Responden
No.
Kepuasan
n
%
1.
Memanfaatkan
90
67,7
Tidak
2.
Total
133
Sumber : Data Primer, 2014

Tidak

100
81

Tabel

14

menunjukkan

bahwa

dari

133

responden

terdapat 90 responden (67,7%) yang memanfaatkan layanan


VCT dan terdapat

43 responden

(32,3%)

yang tidak

VCT

berdasarkan

memanfaatkan layanan VCT.


Distribusi

pemanfaatan

layanan

karakteristik responden dapat dilihat pada tabel berikut:


Tabel

15

Distribusi
Pemanfaatan
Layanan
VCT
Berdasarkan Karakteristik Responden di Kota
Makassar Tahun 2014

Variabel
Kelompok Risiko
Penasun
WPS
LSL
Waria
Total
Umur Responden
18 - 24 tahun
25 - 31 tahun

Memanfaatkan
n

Memanfaatkan
n
%

90

33
23
26
8
67,7

100
92
38,8
100
43
32,3
32
un

Total
0
2
41
0

0
8
61,2
0

33
25
67
8

19
5

37,1
77,9

100
39
13
ahun
53

90,5
55,6
Total
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Status Perkawinan
Kawin
Belum Kawin
Duda/Janda
Total
Pendidikan
SD
SMP/sederajat
SMA/sederajat
Diploma
Perguruan Tinggi
Total

90

22
15
2
4
67,7

62,9
22,1
9,5
44,4
43

90

61
29
67,7

59,8
41
40,2
93,5
2
6
43
32,3
133

37
42
11
90

90

35
68
21
9
32,3

92,5
53,8
73,3
67,7

6
10
65
3
6
67,7

100
100
67
37,5
50
43
32,3

133
102
31

3
36
4
43

7,5
46,2
26,7
32,3

40
78
15
133

0
0
32
5
6

0
0
33
62,5
50

6
10
97
8
12

133
82

Pekerjaan
Tidak Bekerja
Mahasiswa/Pelajar
PNS
Pedagang/Wiraswasta
Pegawai Swasta
Ibu Rumah tangga
Pekerja Seks
Pegawai Salon
Karyawan
Kafe/Toko/Karaoke/SPG
Lainnya
Total
90
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel

15 menunjukkan

9
0
2
11
31
7
9
6
14
1
67,7

42,9
0
66,7
47,8
75,6
100
90
100
82,4
33,3
43
32,3

pemanfaatan

12
2
1
12
10
0
1
0
3

57,1
100
33,3
52,2
24,4
0
10
0
17,6

21
2
3
23
41
7
10
6
17

66,7

133

layanan VCT

berdasarkan karakteristik responden sebagai berikut:


1. Pemanfaatan VCT berdasarkan kategori responden
Responden yang memanfaatkan layanan VCT mayoritas
berada

pada

kategori

penasun

yakni

100%

sedangkan

mayoritas responden yang tidak memanfaatkan VCT ada


pada kategori LSL sebanyak 61,2%.
2. Pemanfaatan VCT responden berdasarkan kelompok umur.
Mayoritas

responden

yang

memanfaatkan

layanan

VCT

berada pada kelompok umur 25-31 tahun yakni sebanyak 53


responden (77,9%) dan mayoritas responden yang tidak
memanfaatkan layanan VCT berada pada kelompok umur
18-24 tahun yakni sebanyak 22 responden (62,9%).
3. Pemanfaatan VCT responden berdasarkan jenis kelamin.
Mayoritas

responden

berjenis

kelamin

yang

laki-laki

memanfaatkan
yakni

layanan

sebanyak

61

VCT

responden
83

(59,8%) dan mayoritas responden yang tidak memanfaatkan


juga berjenis kelamin laki-laki yakni sebanyak 41 responden
(40,2%).
4.

Pemanfaatan

VCT

responden

berdasarkan

status

perkawinan.
Mayoritas

responden

berstatus

belum

yang

kawin

memanfaatkan

yakni

sebanyak

layanan
42

VCT

responden

(53,8%) dan mayoritas responden yang tidak memanfaatkan


juga berstatus belum kawin yakni sebanyak 36 responden
(46,2%).
5. Pemanfaatan VCT

responden

berdasarkan

pendidikan

terakhir.
Mayoritas

responden

yang

memanfaatkan

VCT

berpendidikan terakhir SMA/sederajat yakni sebanyak 65


responden

(67%)

memanfaatkan

dan

mayoritas

VCT

juga

responden

yang

berpendidikan

tidak

terakhir

SMA/sederajat yakni sebanyak 32 responden (33%).


6. Pemanfaatan VCT responden berdasarkan pekerjaan.
Mayoritas

responden

sebagai

pegawai

(75,6%)

sedangkan

yang

swasta

memanfaatkan

yakni

mayoritas

sebanyak
responden

VCT
31

bekerja

responden

yang

tidak

memanfaatkan VCT bekerja sebagai pedagang/wiraswasta


sebanyak 12 responden (52,2%).
84

2. Analisis Bivariat
Analisis

bivariat

digunakan

untuk

mengetahui

hubungan

variabel independen dengan variabel dependen maka analisis statistik


menggunakan uji chi-square dengan derajat kepercayaan =0,05.
Adapun

hasil

analisis

bivariat

untuk

melihat

hubungan

dengan

menggunakan chi-square dapat dilihat pada tabel berikut:


a.

Hubungan Pengetahuan dengan Pemanfaatan VCT

Hasil uji statistik

untuk

mengetahui hubungan

antara

pengetahuan dengan pemanfaatan VCT responden dapat dilihat


pada tabel berikut:
Tabel 16 Hubungan Pengetahuan
Kelompok Risiko Tinggi
2014
Pemanfaatan
PengetaMemanfaathuan
kan
N
%
n
Cukup
68
73,9
24
Kurang
22
53,7
19
Jumlah
90
67,7
43
Sumber : Data Primer, 2014

dengan Pemanfaatan VCT


di Kota Makassar Tahun

Jumlah

Tidak Memanfaatkan
%
n
%
26,1
92
100
46,3
41
100
32,3

133

0,035

100

Tabel 16 menunjukkan bahwa dari 92 responden yang


berpengetahuan

cukup

terdapat

VCT

memanfaatkan

VCT dan dari 41 responden

memanfaatkan

kurang
VCT

24

responden

memanfaatkan

pengetahuan

dan

68

terdapat
dan

19

responden

22

responden

responden

(73,9%)

(26,1%)

yang

yang

tidak

yang memiliki
(53,7%)

(46,3%)

yang

yang

memanfaatkan VCT.
85

tidak

Hasil

uji

statistik

dengan

menggunakan

uji

chi-square

diperoleh nilai p = 0,035, karena nilai p < 0,05 maka ada hubungan
antara pengetahuan dengan pemanfaatan VCT.
b. Hubungan

Ancaman

yang

dirasakan

(Perceived

Threat) dengan Pemanfaatan VCT


Hasil uji statistik

untuk

mengetahui hubungan

antara

ancaman yang dirasakan (perceived threat) dengan pemanfaatan


VCT dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel

17

Hubungan Ancaman yang dirasakan (Perceived


Threat) dengan Pemanfaatan VCT Kelompok Risiko
Tinggi di Kota Makassar Tahun 2014
Pemanfaatan

Ancaman
yang
dirasakan

Jumlah

Memanfaat- Tidak
kan
Memanfaatkan
N
71
19

Kuat
Lemah

%
62,8
95

Jumlah
90
67,7
Sumber : Data Primer, 2014

n
42
1

%
37,2
5

n
113
20

%
100
100

43

32,3

133

100

0,004

Tabel 17 menunjukkan bahwa dari 113 responden yang


merasakan tingkat ancaman kuat terdapat 71 responden (62,8%)
yang memanfaatkan VCT dan 42 responden (37,2%) yang tidak
memanfaatkan

VCT.

Sedangkan

dari

20

responden

yang

merasakan ancaman lemah terkait penyakit HIV-AIDS ada 19


responden (95%) yang memanfaatkan VCT dan 1 responden (5%)
yang tidak memanfaatkan VCT.
Hasil

uji

statistik

dengan

menggunakan

uji

chi-square

diperoleh nilai p = 0,004, karena nilai p < 0,05 maka ada hubungan
86

antara

ancaman

yang dirasakan

(perceived

threat)

pemanfaatan VCT kelompok risiko tinggi di kota Makassar.

dengan

c.

Hubungan

Manfaat

yang

dirasakan

(Perceived

Benefits) dengan Pemanfaatan VCT


Hasil uji statistik untuk mengetahui hubungan antara manfaat
yang dirasakan (perceived benefits) dengan pemanfaatan VCT
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel

18 Hubungan Manfaat yang dirasakan (Perceived


Benefits) dengan Pemanfaatan VCT Kelompok
Risiko Tinggi di Kota Makassar Tahun 2014
Pemanfaatan

Manfaat
yang
dirasakan

Baik
Kurang

Jumlah

Memanfaat- Tidak
kan
Memanfaatkan
N
81
9

%
78,6
30,0

Jumlah
90
67,7
Sumber : Data Primer, 2014

n
22
21

%
21,4
70,0

n
103
30

%
100
100

43

32,3

133

100

0,000

Tabel 18 menunjukkan bahwa dari 103 responden yang


merasakan manfaat VCT baik terdapat 81 responden (78,6%) yang
memanfaatkan VCT dan terdapat 22 responden (21,4%) yang tidak
memanfaatkan VCT. Dari 30 responden yang merasakan manfaat
VCT masih kurang terdapat 21 responden (70%) yang tidak
memanfaatkan VCT dan 9 responden (30%) yang memanfaatkan
VCT.
Hasil

uji

statistik

dengan

menggunakan

uji

chi-square

diperoleh nilai p = 0,000, karena nilai p < 0,05 maka ada hubungan
87

antara

manfaat

yang

dirasakan

(perceived

benefits)

dengan

pemanfaatan VCT oleh kelompok risiko tinggi di kota Makassar.


d. Hubungan

Hambatan

yang

dirasakan

(Perceived

Barriers) dengan Pemanfaatan VCT


Hasil uji statistik
hambatan

yang

untuk

dirasakan

mengetahui hubungan
(perceived

barriers)

antara
dengan

pemanfaatan VCT dapat dilihat pada tabel berikut:


Tabel

19 Hubungan Hambatan yang dirasakan (Perceived


Barriers) dengan Pemanfaatan VCT Kelompok Risiko
Tinggi di Kota Makassar Tahun 2014
Pemanfaatan

Hambatan
yang
dirasakan

Jumlah

Memanfaat- Tidak
kan
Memanfaatkan
N
20
70

Tinggi
Rendah

%
37
88,6

Jumlah
90
67,7
Sumber : Data Primer, 2014

n
34
9

%
63
11,4

n
54
79

%
100
100

43

32,3

133

100

0,000

Tabel 19 menunjukkan bahwa dari 54 responden yang


merasakan hambatan dalam memanfaatkan VCT masih tinggi
terdapat 20 responden (37%) yang memanfaatkan VCT dan 34
responden (63%) yang tidak memanfaatkan VCT. Dan dari 79
responden yang merasakan hambatan dalam memanfaatkan VCT
rendah

terdapat

70

responden

(88,6%)

yang

memanfaatkan

layanan VCT dan 9 responden (11,4%) yang tidak memanfaatkan


VCT.
Hasil

uji

statistik

dengan

menggunakan

uji

chi-square

diperoleh nilai p = 0,000, karena nilai p < 0,05 maka ada hubungan
88

antara

hambatan

yang

dirasakan

(perceived

barriers)

dengan

pemanfaatan VCT oleh kelompok risiko tinggi di kota Makassar.


e.

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan


VCT

Hasil uji statistik

untuk

mengetahui hubungan

antara

dukungan keluarga dengan pemanfaatan VCT dapat dilihat pada


tabel berikut :
Tabel 20 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pemanfaatan
VCT Kelompok Risiko Tinggi di Kota Makassar Tahun

2014
Dukungan
Keluarga

MemanfaatPemanfaatan
kan
%
n
90,6
5
52,5
38

N
48
42

Cukup
Kurang

Jumlah
90
67,7
Sumber : Data Primer, 2014

43

Jumlah

Tidak
Memanfaatkan
%
n
%
9,4
53 100
47,5
80 100
32,3

133

0,000

100

Tabel 20 menunjukkan bahwa dari 53 responden yang


merasakan

dukungan

keluarga

cukup

terdapat

48

responden

(90,6%) yang memanfaatkan VCT dan 5 responden (9,4%) yang


tidak memanfaatkan layanan VCT. Sedangkan dari 80 responden
yang merasakan dukungan keluarga dalam memanfaatkan VCT
kurang terdapat 42 responden (52,5%) yang memanfaatkan VCT
dan 38 responden (47,5%) yang tidak memanfaatkan VCT.
Hasil

uji

statistik

dengan

menggunakan

uji

chi-square

diperoleh nilai p = 0,000, karena nilai p < 0,05 maka ada hubungan
89

antara

dukungan

keluarga

dengan

pemanfaatan

VCT

oleh

kelompok risiko tinggi di kota Makassar.


f.

Hubungan Petugas Kesehatan dengan Pemanfaatan


VCT

Hasil uji statistik untuk mengetahui hubungan antara petugas


kesehatan dengan pemanfaatan VCT dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 21 Hubungan Petugas Kesehatan dengan Pemanfaatan
VCT Kelompok Risiko Tinggi di Kota Makassar Tahun
2014
Pemanfaatan
Petugas
Kesehatan
Cukup
Kurang

N
78
12

Memanfaatkan
%
n
78
22
36,4
21

Jumlah
90
67,7
Sumber : Data Primer, 2014

43

Tidak
Memanfaatkan
%
n
%
22
100 100
63,6
33 100
32,3

133

100

Jumlah

0,000

Tabel 21 menunjukkan bahwa dari 100 responden yang


merasakan
responden

dukungan
(78%)

petugas

yang

kesehatan

memanfaatkan

cukup

VCT

terdapat

78

terdapat

22

dan

responden (22%) yang tidak memanfaatkan VCT. Sedangkan dari


33

responden

yang

merasakan

dukungan

petugas

kesehatan

kurang terdapat 12 responden (36,4%) yang memanfaatkan VCT


dan 21 responden (63,6%) yang tidak memanfaatkan VCT.
Hasil

uji

statistik

dengan

menggunakan

uji

chi-square

diperoleh nilai p = 0,000, karena nilai p < 0,05 maka ada hubungan
90

antara dukungan petugas kesehatan dengan pemanfaatan VCT


oleh kelompok risiko tinggi di kota Makassar.
Hubungan

antara

semua

variabel

independen

terhadap

variabel dependen dapat dilihat pada tabel berikut :


Tabel

22

Hubungan Masing-Masing Variabel Health Belief


Model
Terhadap
Variabel
Pemanfaatan
VCT
Kelompok Risiko Tinggi di Kota Makassar Tahun
2014
Variabel
Sig.
Pengetahuan
0,035
Ancaman yang dirasakan
0,004
Manfaat yang dirasakan
0,000
Hambatan yang dirasakan
0,000
Dukungan keluarga
0,000
Dukungan petugas kesehatan
0,000
Sumber : Data Primer, 2014

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan


chi-square

sebelumnya

telah

diketahui

bahwa

semua

variabel

Health Belief Model berhubungan dengan variabel pemanfaatan


VCT. Sehingga memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke analisis
regresi logistic multivariat. Selanjutnya akan dilakukan analisis
multivariat

untuk

mengetahui

terhadap variabel dependen.

pengaruh

variabel

independen

3. Analisis Multivariat
Pengaruh variabel health belief model terhadap pemanfaatan
VCT dapat dilihat melalui analisis dengan menggunakan uji regresi
logistik
diperoleh

multivariat.
pengaruh

Dengan
antara

uji

regresi

variabel

logistik

independen

multivariat
secara

dapat

simultan
91

(bersama-sama) terhadap variabel dependen dan variabel independen


yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel dependen.
Adapun hasil

uji regresi logistik multivariat antara variabel


Variabel
B
S.E
Wald
D
independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 23 Pengaruh Variabel Health Belief Model secara Simultan
Terhadap Variabel Pemanfaatan VCT Kelompok Risiko
Tinggi di Kota Makassar Tahun 2014
Pengetahuan
Ancaman yang dirasakan
Manfaat yang dirasakan
Hambatan yang dirasakan
Dukungan keluarga
Dukungan petugas kesehatan
Constant
Overall Percentage = 88,0
Sumber : Data Primer, 2014
Tabel

23

0,550
-2,194
2,744
-2,158
1,793
1,801
-2,143

menunjukkan

0,668
1,232
0,711
0,596
0,722
0,701
0,763

variabel

Sig.

0,678
3,170
14,891
13,131
6,167
6,595
7,883

f
1
1
1
1
1
1
1

manfaat

yang

Exp(B)

0,410
0,075
0,000
0,000
0,013
0,010
0,005

1,733
0,111
15,546
0,116
6,009
6,057
0,117

dirasakan

(p=0,000), hambatan yang dirasakan (p=0,000), dukungan keluarga


(p=0,013) dan dukungan petugas kesehatan (p=0,010) yang memiliki
nilai p<0,05, yang berarti secara statistik variabel tersebut memiliki
pengaruh
sedangkan

secara
variabel

bersama-sama
pengetahuan

terhadap
(p=0,410)

pemanfaatan
dan

VCT,

ancaman

yang

dirasakan (p=0,075) tidak memiliki pengaruh secara bersama-sama


terhadap pemanfaatan VCT kelompok risiko tinggi di kota Makassar.
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa model akhir
persamaan regresi logistik untuk menentukan variabel Health Belief
Model yang sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan VCT adalah

92

dengan melihat nilai pengaruh (Wald) yang paling tinggi. Ada pada
variabel manfaat yang dirasakan (perceived benefits) sebesar 14,891
kali

terhadap

pemanfaatan

VCT

kelompok

risiko

tinggi

di

kota

Makassar dengan nilai p = 0,000.


Model ini dapat menunjukkan besar pengaruh variabel Health
Belief Model secara bersama-sama yang ada dalam hubungannya
dengan

pemanfaatan

VCT yakni dengan

melihat

nilai Overall

Percentage sebesar 88,0%.

B. Pembahasan
Berdasarkan
menggunakan

uji

hasil

penelitian

statistik,

maka

dan

pengolahan

setiap

variabel

data

akan

dengan
dibahas

dan

diuraikan satu persatu sebagai berikut :


1.

Pemanfaatan Layanan VCT pada Kelompok Risiko Tinggi


Pemanfaatan layanan VCT adalah Penggunaan klinik VCT oleh
responden untuk mendapatkan layanan konseling dan testing HIV
secara

sukarela.

Dikatakan

memanfaatkan

jika

responden

memanfaatkan klinik VCT untuk seluruh kegiatan, yaitu konseling pra


testing, testing HIV dan konseling pasca testing. Tidak memanfaatkan
jika

responden

tidak

memanfaatkan

klinik

VCT

atau

hanya

memanfaatkan untuk sebagian kegiatan, yaitu konseling pra testing


saja atau konseling pra testing dan testing HIV saja.
93

Hasil pada tabel 14 menunjukkan dari 133 responden yang


memanfaatkan layanan VCT sebanyak 90 responden (67,7%) dan
yang

tidak

memanfaatkan

sebanyak

43

responden

(32,3%).

Berdasarkan karakteristik responden pada tabel 15, umur rata-rata


yang memanfaatkan VCT adalah 21-30 tahun, jenis kelamin laki-laki,
status belum kawin, pendidikan SMA/sederajat, pekerjaan sebagai
pegawai swasta. Sedangkan responden yang tidak memanfaatkan
VCT rata-rata juga berumur 21-30 tahun, jenis kelamin laki-laki, satus
belum

kawin,

pendidikan

pedagang/wiraswasta

dan

SMA/sederajat,

dan

tidak

Berdasarkan

bekerja.

pekerjaan

sebagai

kategori

responden mayoritas kelompok penasun sebanyak 33 responden dan


waria sebanyak 8 responden 100% memanfaatkan layanan VCT
sedangkan kelompok LSL mayoritas sebanyak 41 responden (61,2%)
tidak memanfaatkan layanan VCT.
Diantara

43

responden

(32,3%)

yang

tidak

memanfaatkan

layanan VCT, 40 responden (30,1%) menjawab tidak pernah sekalipun


ke

layanan

menyatakan

VCT. Alasan
jarak

layanan

mereka
VCT

beragam,
jauh

dari

responden

tempat

(2,5%)

tinggalnya,

responden (7,5%) menyatakan tidak tahu mengenai konseling dan


testing HIV, 3 responden (7,5%) takut untuk melakukan testing, 5
responden (12,5%) belum bersedia untuk testing, 6 responden (15%)
menyatakan tidak memiliki waktu untuk melakukan konseling dan
testing HIV, 11 responden (27,5%) merasa tidak harus melakukan
94

konseling dan testing HIV dan 11 responden (27,5%) takut akan


stigma negatif. Sedangkan 3 responden (2,2%) dari 43 responden
yang masuk kategori tidak memanfaatkan tidak melakukan konseling
pasca testing karena mereka menyatakan tidak memiliki waktu lama
(terbatas) dan responden harus bekerja kembali.
Data diatas menunjukkan bahwa kelompok risiko tinggi yang
paling banyak tidak memanfaatkan VCT adalah LSL. Hal ini sejalan

dengan penelitan Hao & Chun di China tentang hubungan HIV terkait
perilaku seks kelompok LSL. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa
perlu perhatian khusus terhadap kelompok LSL, dimana kelompok ini
sebagian besar tidak melakukan konseling secara lengkap (tidak
sampai kepada post-tets conseling), dikarenakan masalah pelayanan,
aksesibility dari layanan VCT, kurangnya privacy, petugas yang tidak
professional, stigma dan diskriminasi. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa kelompok LSL memiliki pengetahuan yang kurang tentang HIVAIDS (Hao & Chun, 2011). Hasil penelitian di China sesuai dengan
hasil penelitian ini, yang mana kelompok LSL merupakan kelompok
yang paling kurang dari segi pengetahuan terkait

HIV-AIDS dan

manfaat VCT.
Data
responden

diatas
untuk

juga
tidak

menunjukkan

bahwa

memanfaatkan

VCT

kebanyakan
karena

alasan

stigma

masyarakat yang menyebabkan seseorang menyembunyikan

di

gejala-

gejala penyakit tertentu, seperti HIV-AIDS. Stigma tentang HIV-AIDS


95

membuat orang takut untuk mendapatkan diagnosis

tersebut dan

segan mendapatkan pengobatan dari pelayanan kesehatan (Herek et


al,

2002)

dalam (Kurniawati,

Kumalasari,

&

Wulandari,

2014).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa stigma berpengaruh


terhadap layanan VCT. Penelitian Leta, 2012 memperlihatkan bahwa
pemanfaatan VCT di kalangan pria Ethopia rendah dan terpengaruh
oleh stigma HIV (Leta, Sandy, & Fylkesnes, 2012). Penelitian di
Kenya

juga

menunjukkan

bahwa

hambatan

utama

wanita

usia

reproduktif untuk mengunjugi layanan VCT adalah masalah stigma


(Mugo dkk., 2010).
Stigma dan diskriminasi memiliki dampak yang serius terhadap
orang-orang yang hidup dengan HIV-AIDS. Stigma terhadap ODHA

merupakan rintangan utama dalam melakukan VCT begitupula dalam


pelayanan

pencegahan

lainnya

(Becky

dkk.,

2009).

Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa masalah stigma merupakan masalah


paling menonjol dalam kelompok LSL dan IDU (Herek,1990; Nyblade,
2006)

dalam

menunjukkan

(Becky
bahwa

dkk.,

2009).

masyarakat

Beberapa

yang

penelitian

tidak pernah

juga

sama

sekali

mendengar tentang HIV-AIDS dan juga memiliki pengetahuan yang


kurang

terhadap HIV-AIDS

cenderung

melakukan

hal-hal

yang

diskriminatif dan stigma yang negatif terhadap ODHA. (Becky dkk.,


2009).

Untuk

itu,

perlu

Komunikasi,

informasi

dan

edukasi

dimasyarakat terkait HIV-AIDS.Pendekatan kepada tokoh masyarakat


96

dan

tokoh

agama

penting

untung

mengubah

persepsi

dalam

masyarakat.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tempat responden untuk
melakukan testing beragam, ada yang Mobile VCT (penjangkauan dan
keliling) ada pula yang Statis VCT (klinik VCT tetap) seperti di rumah
sakit, puskesmas dan lapas. Dari 93 responden yang menyatakan
pernah mengikuti layanan VCT, 12 responden (12,9%) melakukan
mobile VCT / dikunjungi oleh petugas kesehatan untuk konseling dan
testing HIV dan 81 responden (87,1%) yang melakukan VCT statis
(tetap).
Alasan responden yang melakukan VCT mobile maupun statis
bermacam-macam. Dari 12,9% yang melakukan mobile VCT, ada
61,5%

responden

melakukan

VCT

beralasan

tidak

di puskesmas/rumah

memiliki

waktu

sakit.

53,9%

luang

untuk

responden

menyatakan rumah sakit/puskesmas sulit dijangkau sehingga lebih


nyaman dikunjungi oleh petugas kesehatan untuk melakukan VCT dan

92,3% responden menyatakan didukung dan diizinkan atasannya


untuk melakukan Mobile VCT. Selain itu 100% responden setuju jika
sikap

petugas

kesehatan

menunjukkan

perhatian

yang

baik

dan

melakukan tes sesuai prosedur dalam memberikan layanan VCT


secara mobile.
Responden yang melakukan statis VCT, 61 responden (65,6%)
di Puskesmas, 14 responden (15,1%) di Rumah Sakit, 6 responden
97

(6,5%) di tempat lain, yakni 4 responden diantaranya melakukan VCT


di lapas, 1 responden di LSM dan 1 responden lainnya di PMI. Dari 81
responden yang melakukan statis VCT 87,6% responden menyatakan
tidak lama mengantri dan menunggu untuk mendapatkan layanan
VCT, 98,8% responden menyatakan petugas layanan VCT ramah
dalam melakukan layanan VCT, 98,8% responden menyatakan urutan
untuk layanan VCT tidak terlalu rumit dan tidak membuat bingung dan
90,1% responden menyatakan ruangan konsultasi klinik VCT nyaman
dan mendukung kerahasiaan pasien.
2.

Pengaruh Pengetahuan terhadap Pemanfaatan VCT


Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan

penginderaan

terhadap

suatu objek tertentu.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan


telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting

untuk

(Notoatmodjo,
adalah

terbentuknya
2003).

pengetahuan

tindakan

Variabel
responden

penularan, dan cara pencegahan

seseorang

(overt

pengetahuan

dalam

berkaitan

dengan

behavior)

penelitian
definisi,

ini
cara

HIV-AIDS serta tujuan, prinsip, dan

tahapan dalam pelaksanaan pemanfaatan VCT.


Hasil

penelitian

menunjukkan

bahwa

dari

133

responden

sebagian besar responden memiliki pengetahuan cukup yakni 92

responden (69,2%) dan pengetahuan kurang sebanyak 41 responden


(30,8%). Sebanyak 87,2% menjawab benar definisi HIV dan hanya
98

54,1% yang menjawab dengan benar definisi AIDS. Sebanyak 97%


dan 99,2% menjawab benar cara penularan dan pencegahan HIVAIDS. Rata-rata 85% sampai 97% mengetahui dengan baik tentang
definisi, prinsip, dan tahapan VCT yang benar. Dari 133 responden
hanya

79,7%

yang

mengetahui

tujuan

VCT

dengan

benar.

Jika

dibandingkan dengan tingkat pendidikan responden yang rata-rata


menamatkan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 72,9%
tidak heran sebagian besar berpengetahuan baik (69,2%). Selain itu
media informasi yang semakin berkembang memungkinkan responden
memiliki pengetahuan yang baik mengenai HIV-AIDS dan VCT.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata yang kurang
pengetahuannya adalah Kelompok LSL dimana kelompok ini yang
paling kurang memanfaatkan VCT. Kebalikan dengan kelompok WPS,
pengetahuan kelompok ini akan HIV-AIDS dan layanan VCT sangat
baik, sehingga kelompok ini 100% memanfaatkan layanan VCT.
Menurut

Sari

S.

(2006)ada

keeratan

hubungan

antara

pengetahuan dalam upaya memperbaiki perilaku. Dengan demikian


meningkatkan pengetahuan akan memberikan hasil yang cukup berarti
untuk memperbaiki perilaku.
Individu yang berpendidikan memiliki kesadaran yang lebih
tinggi

terhadap

manfaat

dari

pemanfaatan

pelayanan

kesehatan.

Individu terdidik cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik dan


memiliki informasi tentang pengobatan medis modern serta memiliki
99

kapasitas

yang

Pendidikan
merespon

lebih

juga

besar

dalam

memungkinkan

pelayanan

VCT.

mengenali

penderita

Pendidikan

penyakit

HIV
yang

AIDS

tertentu.

lebih

kurang

cepat

menjadi

penghambat dalam merespon pentingnya pengetahuan HIV serta


pemanfaatan

pencegahannya

(Paul

and

Aggleton,

1999)

dalam

(Syafitri, 2012).
Hasil uji chi square didapatkan nilai p= 0,035 yang berarti <0,05
sehingga memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke analisis regersi logistik
berganda

(mutivariat).

Hasil

analisis

regresi

logistik

multivariat

menunjukkan tidak ada pengaruh pengetahuan terhadap pemanfaatan


layanan VCT kelompok risiko tinggi (p=0,410; Wald=0,678).
Hasil ini berbeda dengan pernyataan Rogers dalam Sari S.
(2006)

yang

menyatakan

bahwa

pengetahuan/kognitif

merupakan

domain yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku, dan perilaku


yang didasari pengetahuan akan bertahan lebih langgeng dari pada
perilaku yang tidak didasari pengetahuan.
Hal ini disebabkan adanya pengaruh variabel-variabel lain yang
lebih

dominan

penelitian

dibandingkan

Khairurrahmi

(2009)

pengetahuan.

Seperti

yang menemukan

halnya

hasil

tidak adanya

pengaruh pengetahuan secara multivariat terhadap pemanfaatan VCT


pada ODHA di kota Medan. Pengetahuan HIV-AIDS selama ini banyak
diperoleh dari media massa atau komunitas pemerhati HIV-AIDS,
sehingga orang berisiko dapat mengakses informasi tentang HIV-AIDS
100

dan VCT. Namun, pengetahuan yang baik tidak langsung dapat


meningkatkan kepedulian mereka untuk memanfaatkan pelayanan
VCT.

Dibutuhkan

kesadaran

tinggi

agar

lebih

memerhatikan

perkembangan kesehatan mereka dan mau memanfaatkan VCT.


Sarwono (2004) menyatakan dalam menggunakan pelayanan

kesehatan, seseorang dipengaruhi oleh perilakunya yang terbentuk


dari pengetahuannya. Selain itu, seseorang cenderung untuk bersikap
tidak menggunakan jasa pelayanan kesehatan disebabkan karena
adanya kepercayaan dan keyakinan bahwa jasa pelayanan kesehatan
tidak dapat menyembuhkan penyakitnya, demikian juga sebaliknya.
hasil analisis uji bivariat pada tabel 16 antara pengetahuan
dengan pemanfaatan VCT dapat diketahui bahwa dari 92 responden
yang memiliki pengetahuan baik 68 responden (73,9%) memanfaatkan
VCT dan 24 responden (26,1%) tidak memanfaatkan VCT. Beberapa
responden yang memiliki pengetahuan baik tidak menjamin untuk mau
memanfaatkan layanan VCT, hal ini terjadi karena kesediaan mereka
untuk memanfaatkan VCT mungkin dipengaruhi oleh faktor lain seperti
stigma/diskriminasi yang berkembang di masyarakat, merasa tidak
perlu melakukan tes HIV, tidak memiliki waktu cukup untuk testing dan
takut untuk testing, sehingga walaupun berpengetahuan baik mereka
akan tetap tidak memanfaatkan VCT.
Tabel 16 juga menunjukkan bahwa dari 41 responden yang
memiliki pengetahuan kurang mayoritas responden yakni sebanyak 22
101

responden (53,7%) memanfaatkan VCT dan 19 responden (46,3%)


tidak memanfaatkan VCT. Hal ini bisa saja terkait dengan dukungan
petugas VCT yang baik. Hasil penelitian menunjukan bahwa dukungan
petugas

kesehatan

memanfaatkan
kurang

sangat

layanan

namun

petugas

membantu

VCT.

kelompok

Meskipun

kesehatan

resiko

pengetahuan

yang

untuk

responden

membimbing

dan

mengarahkan mereka untuk memanfaatkan VCT.


3.

Pengaruh Ancaman yang dirasakan (Perceived Threat) terhadap


Pemanfaatan VCT

Ancaman yang dirasakan (Perceived threat) adalah penilaian


individu mengenai ancaman yang dirasakan yang berkaitan dengan
masalah kesehatan. Kesiapan seseorang untuk melakukan suatu
tindakan

ditentukan

penyakit

tertentu

oleh

dan

pandangan

pandangan

orang

mereka

itu

terhadap

terhadap

bahaya

kemungkinan

dampak atau akibat (fisik dan social) bila terkena penyakit tersebut
dlam hal ini HIV-AIDS. Kombinasi dari perceived susceptibility dan
perceived severy disebut perceived threat (Ancaman yang dirasakan).
Ancaman yang dirasakan (Perceived Threat) dimaksud dalam
penelitian

ini

adalah

penilaian

individu

mengenai

ancaman

yang

dirasakan yang berkaitan dengan kerentanan dan keseriusan penyakit


HIV-AIDS

dengan

mempertimbangkan

dampak/konsekuensi

medis

dan sosial yang akan terjadi jika terus membiarkan masalah kesehatan
102

yang dialami berkembang tanpa memanfaatkan VCT untuk mendapat


penanganan dari praktisi kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan dari 133 responden yang dijadikan
responden
dirasakan

sebagian
kuat

yakni

besar

responden

menilai

113

responden

(85%)

ancaman
dan

menilai

yang
kurang

sebanyak 20 responden (15%). Sebanyak 62,4% responden setuju jika


AIDS menimbulkan rasa malu dan mematikan, 73,6% responden
setuju mengikuti anjuran VCT dikarenakan HIV-AIDS sulit diobati,
81,2% responden khawatir jika tidak mengikuti layanan VCT, 60,2%
respoden setuju jika mereka tidak dapat melindungi diri dari HIV-AIDS
tanpa melakukan VCT, 73,7% responden merasa perlu melakukan test
secara rutin karena sangat berisiko, 54%-61% respoden setuju jika
HIV-AIDS dapat membuat penderitanya dikucilkan/dijauhi keluarga,
teman dan masyarakat. Dapat dilihat dari hasil frekuensi tersebut
kelompok berisiko menilai penyakit HIV-AIDS sebagai ancaman yang

tinggi dan menimbulkan kekhawatiran jika tidak memanfaatkan VCT.


Selain itu, masih ada stigma negatif yang dirasakan responden dari
keluarga, teman dan masyarakat terkait penyakit HIV-AIDS.
Abebe (2006), menyatakan bahwa responden yang memiliki
persepsi kerentanan tinggi dan keparahan tinggi terhadap HIV-AIDS
menyatakan niatnya untuk melakukan VCT daripada mereka yang
memiliki persepsi yang rendah (Purwaningsih et al., 2011).
103

Hasil uji statistik chi-square pada tabel 17 diperoleh nilai p =


0,004,

karena

nilai

p<0,05

yang

berarti

variabel

ancaman

yang

dirasakan memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam analisis regresi


logistik multivariat. Adapun hasil analisis regresi logistik multivariat
diperoleh nilai p=0,075 (p>0,05) berarti tidak ada pengaruh variabel
ancaman yang dirasakan (perceived threat) terhadap pemanfaatan
VCT kelompok risiko tinggi di kota Makassar.
Hasil penelitian ini berbeda dengan teori Health Belief Model
(Rosenstock, 1982) dalam (Fibriana, 2013). Dalam teori ini dijelaskan
bahwa dalam melakukan tindakan dalam mencegah terjadinya suatu
penyakit maupun mencari pengobatan dipengaruhi oleh perceived
threat yaitu persepsi keparahan yang mungkin dirasakan bila menderita suatu penyakit. Persepsi ini merupakan pandangan individu
tentang beratnya penyakit yang diderita. Pandangan ini mendorong
seseorang untuk mencari pengobatan atas penyakit yang dideritanya.
Keseriusan ini ditambah dengan akibat dari suatu penyakit misalnya
kematian,

pengurangan

fungsi

fisik

dan

mental,

kecacatan

dan

dampaknya terhadap kehidupan sosial. Kerentanan dirasakan setiap


individu berbeda tergantung persepsi tentang risiko yang dihadapi
individu pada suatu keadaan tertentu (Frances, 2005).

Hal ini disebabkan adanya pengaruh variabel-variabel lain yang


lebih

dominan

threat).

dibandingkan

Seperti

halnya

ancaman

hasil

yang

penelitian

dirasakan

(perceived

Khairurrahmi

(2009)
104

berdasarkan hasil uji chi-square ada hubungan perceived threat tapi


berdasarkan hasil uji regresi logistik multivariat

perceived threat tidak

berpengaruh

Hasil

terhadap

pemanfaatan

VCT.

penelitian

ini

menunjukkan pengaruh variabel ancaman yang dirasakan tidak begitu


bermakna dibandingkan dengan variabel health belief model lainnya
sama halnya variabel pengetahuan. Secara umum ancaman yang
dirasakan sudah baik, disebabkan akses informasi dan sosialisasi
tentang HIV-AIDS saat ini banyak tersedia dan mudah diakses oleh
siapa saja. Namun karena masih adanya faktor lain yang lebih kuat
seperti stigma negatif, kesediaan waktu membuat mereka tidak mau
memanfaatkan layanan VCT.
Tabel 17 menunjukkan bahwa dari 20 responden yang merasa
ancaman kurang terdapat 95% responden yang memanfaatkan VCT.
Beberapa

responden

mempersepsikan

pemanfaatan

VCT

perlu

meskipun ancaman dirasakan kurang, hal ini dikarenakan beberapa


responden

telah

lama

dan

rutin

melakukan

pemanfaatan

VCT

sehingga mereka tidak begitu khawatir dengan ancaman penyakit HIVAIDS. Apalagi dukungan petugas dan konselor yang rutin memanggil
atau menghubungi mereka untuk melakukan cek kesehatan 3 bulan
sekali.

Sebanyak

62,4%

responden

menyatakan

petugas

selalu

memanggil responden untuk memeriksakan kondisinya 3 bulan sekali.


105

4. Pengaruh Manfaat yang dirasakan (perceived benefit) terhadap

Pemanfaatan VCT
Manfaat yang dirasakan (Perceived benefits) berkaitan dengan
keuntungan atau manfaat yang diperoleh individu ketika melakukan
tindakan preventif tertentu. Dalam perceived benefits, individu menilai
bahwa dia akan memperoleh keuntungan ketika memperoleh layanan
kesehatan tertentu, misalnya semakin sehat dan dapat mengurangi
resiko

yang

dirasakan.

Variabel

ini

mengungkapkan

tentang

kepercayaan akan efektifnya sebuah strategi yang dirancang dalam


menanggulangi ancaman penularan penyakit.
Manfaat yang dirasakan (Perceived benefits) dimaksud dalam
penelitian ini adalah mengungkapkan tentang kepercayaan/penilaian
individu

akan

menanggulangi

manfaat

dan

efektifnya

ancaman

penularan

layanan

penyakit,

VCT

perubahan

dalam
perilaku

berisiko, mengetahui dan menjaga status kesehatan individu.


Hasil penelitian menunjukkan dari 133 responden yang dijadikan
responden sebagian besar responden menilai manfaat yang dirasakan
(Perceived benefits) pada layanan VCT baik yakni 103 responden
(77,4%) dan menilai kurang sebanyak 30 responden (22,6%). 84,2%
responden menilai VCT bermanfaat melindungi diri agar tidak tertular
HIV-AIDS, 79,7% responden menilai mengikuti program layanan VCT
membuat mereka merasa tenang, 87,2% responden yakin bahwa VCT
106

bermanfaat bagi orang yang berisiko tinggi HIV, dan 85% responden
menyatakan akan terus melanjutkan memanfaatkan layanan VCT.
Berdasarakan hasil analisis uji bivariat pada Tabel 18 diketahui
bahwa dari 103 responden yang menilai manfaat yang dirasakan baik
terdapat

78,6%

yang

memanfaatkan

layanan

VCT

dan

dari

responden yang menilai manfaat yang dirasakan kurang terdapat 70%

30

yang tidak memanfaatkan layanan VCT. Hasil ini menunjukkan bahwa


manfaat yang dirasakan responden (Perceived benefits) berhubungan
dengan pemanfaatan layanan VCT. Hal ini terbukti dari hasil uji chisquare pada Tabel 18 diperoleh nilai p = 0,000, karena nilai p < 0,05
maka

ada

hubungan

antara

manfaat

yang

dirasakan

responden

(Perceived benefits) dengan pemanfaatan VCT kelompok risiko tinggi


di kota Makassar. responden yang merasakan adanya manfaat dalam
melakukan VCT akan menyatakan kesediaannya untuk VCT daripada
mereka dengan persepsi yang rendah (Purwaningsih et al., 2011).
Hasil analisis regresi logistik multivariat diperoleh nilai p=0,000
(p>0,05)

berarti

ada

pengaruh

variabel

manfaat

yang

dirasakan

(perceived benefit) terhadap pemanfaatan VCT kelompok risiko tinggi


di

kota

Makassar. Pengaruh

(Perceived

benefits)

terhadap

manfaat

yang

pemanfaatan

dirasakan
VCT

responden

juga

dibuktikan

melalui uji bivariat pada Tabel 18, terlihat pada kelompok responden
yang memanfaatkan VCT, mayoritas responden yang memberikan
penilaian

terhadap

manfaat

yang

dirasakan

baik

yakni

78,6%.
107

Sebaliknya, kelompok responden yang tidak memanfaatkan VCT,


mayoritas responden memberikan penilaian terhadap manfaat yang
dirasakan kurang yakni 70,0%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Health Belief Model
(Rosenstock, 1982) dalam (Fibriana, 2013) yang menyatakan dalam
melakukan suatu tindakan pencegahan maupun pengobatan penyakit
akan dipengaruhi oleh perceived benefit (persepsi tentang manfaat bila
melakukan tindakan).
Hasil

ini sejalan

dengan

penelitian

Manik

(2012)

yang

menyatakan Perceived benefits mempengaruhi pemanfaatan layanan


VCT. Di antara konstruksi HBM manfaat adalah salah satu prediktor

penting kesiapan perempuan untuk konseling dan tes sukarela di


Northwestern Ethiopia (Moges & Amberbir, 2011). Menurut Rosenstock
(2005), suatu tindakan akan dipengaruhi oleh

keyakinan tentang

efektivitas relatif dari alternatif yang tersedia yang dikenal dapat


mengurangi ancaman penyakit yang dirasakan individu (Purwaningsih,
2011). Pemanfaatan VCT tergantung pada bagaimana orang risiko
tinggi berpikir tentang manfaat yang akan ia peroleh untuk mengatasi
masalah kesehatannya, terutama masalah yang berkaitan dengan HIVAIDS. Keyakinan kelompok risiko tinggi tentang manfaat melakukan
VCT termasuk
mempercayai

dalam kategori

bahwa

kesehatan

baik.

Orang

dirinya

risiko

mungkin

tinggi

terancam

telah
dalam

beberapa tahun mendatang jika tidak melakukan VCT. Mereka juga


108

telah mempercayai keseriusan kondisi yang terjadi bila terinfeksi HIVAIDS. Orang risiko tinggi yang memiliki keyakinan yang kuat tentang
manfaat VCT akan terdorong untuk melakukan VCT sedangkan orang
risiko

tinggi

yang

tidak

percaya

tentang

manfaat

VCT

mungkin

cenderung untuk tidak melakukan VCT.


Hasil penelitian lain juga menunjukan bahwa terdapat hubungan
yang

signifikan

antara

persepsi

keyakinan

manfaat

PITC

yang

dirasakan oleh WBP dikaitkan dengan pemanfaatan Pelayanan PITC


di Poli klinik (Syafitri, 2012). Hasil ini juga konsisten dengan hasil
penelitian (Budi, 2011) bahwa keyakinan seseorang akan manfaat
sebuah

pelayanan

klinik

VCT

keliling

memiliki

hubungan

yang

signifikan dengan pemanfaatan.


Hasil

uji

regresi

logistik

multivariat

menunjukkan

variabel

manfaat yang dirasakan responden (Perceived benefits) (p=0,000)


memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap pemanfaatan VCT

kelompok risiko tinggi di kota Makassar dengan nilai Wald= 14,891.


Berarti responden dengan keyakinan yang baik mengenai manfaat
VCT mempunyai peluang 15,546 kali untuk memanfaatkan layanan
VCT di Kota Makassar. Seperti halnya penelitian Widiyanto (2009)
Sebesar 28,9 % WPS mempunyai keyakinan kurang baik tentang VCT
dan sebesar 71,1% WPS mempunyai keyakinan baik tentang VCT.
Terdapat hubungan yang signifikan antara keyakinan individu tentang
VCT dengan praktik dalam melakukan VCT ulang (p=0,000). WPS
109

dengan keyakinan kurang mengenai VCT mempunyai peluang 16,5


kali untuk tidak melakukan VCT ulang dalam 3 bulan terakhir dibanding
WPS dengan keyakinan baik tentang VCT.
5. Pengaruh Hambatan yang dirasakan (perceived barriers) terhadap
Pemanfaatan VCT
Hambatan

yang

dirasakan

(Perceived

barriers)

berkaitan

dengan hambatan yang diperoleh individu ketika melakukan tindakan


preventif tertentu. Dalam perceived barriers yaitu individu merasakan
hambatan ketika memperoleh layanan kesehatan tertentu misalnya
dalam hal pertimbangan biaya, konsekuensi psikologis (misalnya, takut
dikatakan semakin tua jika melakukan cek-up), pertimbangan fisik
(misalnya,

jarak rumah

sakit yang jauh sehingga

sulit untuk

mencapainya.
Hambatan yang dirasakan (Perceived barriers) dimaksud dalam
penelitian ini adalah menjelaskan akan kemungkinan hambatan yang
dirasakan pada saat menggunakan layanan VCT, atau munculnya
konsekuensi negatif yang mungkin timbul dari pengambilan tindakan
kesehatan seperti akses yang sulit, stigma / diskriminasi dan ketakutan
akan hasil VCT dan kerahasiaan status individu.
Hasil penelitian menunjukkan dari 133 responden yang dijadikan

responden

sebagian

besar

responden

menilai

hambatan

yang

dirasakan (Perceived barriers) kurang yakni 79 responden (59,4%) dan


yang menilai tinggi sebanyak 54 responden (40,6%). 77,5% responden
110

menyatakan
melakukan

jarak
VCT,

bukan

menjadi

penghambat

65,4%

responden

baginya

menyatakan

untuk

tidak

sulit

menyediakan waktu untuk melakukan VCT, 57,9% responden takut


ketahuan penyakit yang dideritanya, 54,1% responden merasa akan
dikucilkan oleh masyarakat jika posistif HIV dan 50,4% responden
merasa

jika

sering

ke

klinik

VCT

maka

akan

dicurigai

sebagai

penderita HIV-AIDS. Dari hasil tersebut terlihat masalah stigma dan


ketakutan responden mengetahui penyakitnya menjadi hambatan yang
berarti

bagi

kelompok

risiko

tinggi

di

kota

Makassar

untuk

memanfaatkan layanan VCT.


Hambatan utama untuk menggunakan layanan VCT WPS di
laos

diantaranya

nyaman,

tidak

waktu

menunggu

tahu ke

mana

yang

harus

lama,

klinik

mendapatkan

yang

tidak

layanan

yang

diperlukan, dan sikap negatif di antara penyedia layanan kesehatan


(Phrasisombath,

Thomsen, Sychareun,

& Faxelid,

2012).

Hasil

penelitian di Hongkok tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan


pemanaatan VCT LSL menunjukkan bahwa hambatan utama dalam
penggunaan VCT adalah masalah diskriminasi, stigma dan ketakutan
akan hasil test. Dikarenakan hambatan ini, hanya sekitar 12,7% dari
mereka yang tidak mau melakukan VCT akan melakukan VCT 6 bulan
kedepan

(Joseph

dkk.,

2013).

Hal

yang

sama

terjadi

di

Korea,

penelitian Shin, SuRin, dkk menunjukkan bahwa rata-rata orang


Korea

menghindari

untuk

melakukan

layanan

VCT

dikarenakan
111

masalah

kerahasiaan

dan

ketakutan

terhadap

diskriminasi

oleh

keluarga dan masyarakat (Shin dkk., 2007). Penelitian di Uganda


menunjukkan hal yang sedikit berbeda bahwa meskipun pengetahuan
mereka tinggi tentang HIV-AIDS akan tetapi pemanfaatan VCT masih
rendah.

Penyebab

utama

dari

mereka

tidak

memanfaatkan

VCT

adalah adanya hambatan karena ketakutan akan hasil test, mereka


percaya bahwa layanan VCT tidak penting, dan masalah waktu.
Hasil analisis bivariat pada Tabel 19 antara hambatan yang
dirasakan

(Perceived

barriers)

dengan

pemanfaatan

VCT

dapat

diketahui bahwa dari 54 responden yang menilai hambatan yang


dirasakan (Perceived barriers) tinggi terdapat 63,0% responden yang
tidak

memanfaatkan

VCT

dan

dari

79

responden

yang

menilai

hambatan yang dirasakan (Perceived barriers) kurang terdapat 88,6%


responden yang memanfaatkan VCT. Hal ini menunjukkan bahwa
beberapa

responden

mempersepsikan

hambatan

yang

dirasakan

memberikan pengaruh terhadap pemanfaatan VCT.


Tabel 19 juga menunjukkan hasil uji chi-square diperoleh nilai p
= 0,000, karena nilai p < 0,05 maka ada hubungan antara hambatan
yang

dirasakan

(Perceived

barriers)

dengan pemanfaatan

VCT

kelompok risiko tinggi di kota Makassar. Maka dilanjutkan dengan uji


hipotesis

dengan

menggunakan

uji

regresi

logistik

diperoleh

hambatan yang dirasakan (Perceived barriers) = 0,000 dan pengaruh


sebesar Wald= 13,131. Karena nilai p hambatan yang dirasakan
112

0,05, maka hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh secara signifikan
antara

variabel

hambatan

yang dirasakan

(Perceived

barriers)

terhadap variabel pemanfaatan VCT kelompok risiko tinggi di kota


Makassar.

Hasil penelitian ini sesuai denga teori Health Belief Model (Ying
Wang, 2011; Aho J, 2011) yang menyatakan bahwa dalam melakukan
tindakan pencegahan maupun pengobatan HIV-AIDS dipengaruhi oleh
perceived cost yaitu merupakan persepsi terhadap biaya/ aspek negatif
yang

menghalangi

termasuk

dalam

individu
melakukan

untuk

melakukan

VCT,

misalnya

tindakan
mahal,

kesehatan
bahaya,

pengalaman tidak menyenangkan, rasa sakit, harus menyediakan


waktu, tempat VCT jauh, rasa takut dan malu dengan petugas kesehatan, prosedur yang lama dan rumit (adanya inform consent).
Hasil ini sejalan dengan penelitian Fibriana (2013) hasil uji chi
square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
persepsi

tentang hambatan

VCT

dengan

praktik VCT

(p=0,022).

Responden yang merasakan hambatan melakukan VCT tinggi memiliki


proporsi lebih besar untuk tidak melakukan VCT dibandingkan dengan
responden

yang

merasakan

hambatannya

rendah.

Sebaliknya

responden yang merasakan tentang hambatan VCT rendah memiliki


proporsi lebih besar untuk melakukan VCT dibandingkan dengan
responden yang merasakan hambatan tinggi. Begitupula penelitian
oleh Genberg L. Becky, dkk, 2009 tentang perbandingan HIV-AIDS di
113

empat negara terkait masalah stigma. Hasil penelitian menunjukkan


bahwa

perceived

discrimination

yang

dirasakan

oleh

ODHA

mengakibatkan rendahnya penggunaan VCT dan ARV (Becky dkk.,


2009). Hasil penelitian di Ethopia dan Canada menunjukkan hal yang
serupa ada hubungan positif yang kuat antara stigma terhadap ODHA
dengan

penggunaan

VCT

baik

di

daerah

terpencil

maupun

perkotaan, serta dikalangan hetrosexuals (Tesfaye dkk., 2011).


Pengaruh hambatan yang dirasakan terhadap pemanfaatan
VCT juga dibuktikan melalui uji bivariat pada Tabel 19, terlihat pada

di

kelompok responden yang memanfaatkan VCT, mayoritas menilai


hambatan yang dirasakan (Perceived barriers) kurang. Sebaliknya,
kelompok

responden

yang

tidak

memanfaatkan

VCT,

mayoritas

responden memberikan penilaian terhadap hambatan yang dirasakan


(Perceived barriers) tinggi.
6. Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Pemanfaatan VCT
Dukungan

merupakan

keadaan

yang

bermanfaat

bagi

seseorang yang dapat diperoleh dari orang lain yang dipercaya,


sehingga seseorang tersebut tahu bahwa orang lain memperhatikan,
menghargai dan mencintainya. Dukungan menurut Friedman terdiri
atas

empat

jenis,

yaitu

dukungan

informasional,

emosional,

instrumental dan penilaian (Psychologymania, 2012)


Dukungan keluarga

dalam penelitian ini adalah dukungan

dalam bentuk saran, sugesti, informasi tentang HIV dan AIDS serta
114

VCT, dorongan untuk mengikuti pemeriksaan VCT, maupun perhatian


dan pendampingan serta motivasi dari orang tua, suami/istri, anak atau
saudara

responden

untuk

berkunjung

atau

selama

sedang

memanfaatkan pelayanan di klinik VCT.


Hasil penelitian menunjukkan dari 133 responden sebagian
besar

responden

menilai

dukungan

keluarga kurang

yakni

80

responden (60,2%) dan menilai baik sebanyak 53 responden (39,8%).


56,4% responden menyatakan keluarganya tidak mendukung untuk
mengikuti layanan VCT, 77,4%-79,7% responden menyatakan tidak
diberikan informasi mengenai HIV-AIDS dan VCT oleh keluarganya,
69,9%

responden

menyatakan

tidak

disarankan

untuk

VCT

oleh

keluarganya, 78,2% responden menyatakan keluarga tidak menemani


jika berkunjung ke layanan VCT dan 59,4% responden menyatakan

keluarga tidak akan mendukung dan mendampingi jika hasil tes


menunjukkan positif HIV.
Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor penting yang
memotivasi seseorang untuk mau melakukan VCT. Penelitian di China
menunjukkan

bahwa

dukungan

keluarga,

dukungan

pimpinan

di

tempat kerja dan kelompok inti, seperti teman merupakan hal yang
penting bagi pekerja seks wanita di China untuk mau melakukan VCT.
Hasil uji statistik memperlihat bahwa proporsi responden (73,6%) yang
telah melakukan VCT memiliki motivasi lebih tinggi untuk mengunjungi
layanan VCT jika mereka ditemani oleh keluarga atau kelompok inti
115

mereka

dibandingkan

dengan

mereka

yang

tidak

ditemani

oleh

keluarga atau kelompok inti cenderung memiliki motivasi yang rendah


untuk mengunjungi layanan VCT (26,4%) (Wang dkk., 2010). Berbeda
dengan

hasil penelitian

Widiyanto

(2009)

beberapa

responden

merasakan kurangnya dorongan dari keluarga dalam melakukan VCT.


Terdapat dorongan dari pengurus resos yang berkesan memaksa
WPS untuk melakukan VCT ulang secara berkelompok.
Berdasarakan hasil analisis uji bivariat pada Tabel 20 antara
dukungan keluarga dengan pemanfaatan VCT dapat diketahui bahwa
dari 53 responden yang menilai dukungan keluarga baik terdapat
90,6%

responden

yang

memanfaatkan

layanan

VCT.

Hal

ini

menunjukkan bahwa beberapa responden menilai dukungan keluarga


memberikan

pengaruh

terhadap

kesediaan

responden

untuk

memanfaatkan VCT. Hasil uji chi-square diperoleh nilai p = 0,000,


karena nilai p < 0,05 maka dilanjutkan dengan uji hipotesis dengan
menggunakan uji regresi logistik diperoleh p dukungan keluarga =
0,013. Karena nilai p dukungan keluarga 0,05 dan pengaruh sebesar
Wald= 6,167, maka hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh secara

signifikan

antara

variabel

dukungan

keluarga

terhadap

variabel

pemanfaatan VCT kelompok risiko tinggi di kota Makassar.


Hasil ini sesuai teori Health Belief Model (Rosenstock, 1982)
dalam (Fibriana, 2013), bahwa dalam melakukan tindakan kesehatan
terdapat faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak
116

alternatif tindakan tersebut. Isyarat ini dapat bersifat internal maupun


eksternal. Isyarat internal, yaitu isyarat untuk bertindak yang berasal
dari dalam diri individu. Isyarat eksternal, yaitu isyarat untuk bertindak
yang berasal dari interaksi interpersonal, misal media massa, pesan,
nasehat, dukungan keluarga, anjuran atau konsultasi dengan petugas
kesehatan.
Pengaruh dukungan keluarga terhadap pemanfaatan VCT juga
dibuktikan melalui uji bivariat pada Tabel 20, terlihat pada kelompok
responden

yang

merasa

dukungan

keluarga

baik,

mayoritas

responden memanfaatkan VCT (90,6%). Tabel 20 juga menunjukkan


bahwa dari 80 responden yang menilai dukungan keluarga kurang
terdapat

52,5%

yang

memanfaatkan

VCT.

Beberapa

responden

mempersepsikan dukungan keluarga yang baik tidak memberikan


jaminan kepada mereka untuk memanfaatkan VCT, hal ini terjadi
karena kemauan mereka mungkin dipengaruhi oleh faktor lain seperti
manfaat dari VCT itu sendiri maupun dukungan petugas kesehatan.
Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Khairurrahmi
(2009) berdasarkan hasil uji regresi logistik diketahui bahwa dukungan
keluarga berpengaruh secara signifikan terhadap pemanfaatan VCT.
sama

halnya

Suryoputro
berpengaruh

dengan hasil

(2012)

penelitian

menemukan

terhadap

perilaku

faktor
ibu

Legiati,
yang

hamil

Shaluhiyah,
paling

untuk

tes

and

dominan
HIV

adalah

dukungan suami.
117

7. Pengaruh Dukungan Petugas Kesehatan terhadap Pemanfaatan


VCT
Menurut Snehandu Kar dalam Notoatmodjo (2012), perilaku
pemanfaatan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya
informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessability of
information) yang dapat diperoleh masyarakat dari petugas kesehatan.
Maka, pemberian informasi tersebut merupakan wujud dukungan yang
diberikan oleh petugas kesehatan kepada masyarakat.
Dukungan petugas kesehatan dapat dilihat dari lima dimensi
dukungan yang dikutip dari Cutrona dan Orford dalam Chrismawati
(2008) bahwa dukungan materi, emosi, penghargaan, informasi dan
integritas sosial merupakan bentuk dukungan yang dapat mendorong
pemanfaatan VCT.
Dukungan petugas kesehatan dimaksud dalam penelitian ini
adalah dorongan dalam bentuk informasi tentang HIV dan AIDS, juga
mengenai VCT serta motivasi yang diberikan oleh petugas kesehatan
sebelum

responden

memanfaatkan

maupun

selama

responden

memanfaatkan klinik VCT.


Hasil penelitian menunjukkan dari 133 responden yang dijadikan
responden

sebagian

besar

responden

menilai

dukungan

petugas

kesehatan baik yakni 100 responden (75,2%) dan menilai kurang


sebanyak 33 responden (24,8%). 70,7% responden menilai dukungan
petugas kesehatan menjadi pendorong untuk melakukan VCT, 62,4%
118

responden menyatakan petugas kesehatan setiap 3 bulan sekali


memanggil responden untuk memeriksakan kondisi kesehatannya dan

75,9% responden menyatakan petugas kesehatan melayani dengan


professional dan kompeten serta 77,4% responden menilai petugas
kesehatan menjaga hubungan baik dengan responden.
Secara umum penilaian responden terhadap petugas kesehatan
pelayanan

VCT cukup baik. Mereka

professional

dalam

memberikan

dianggap

layanan

VCT.

kompeten

dan

Sebagaian

besar

responden menilai yang menjadi pendorong mereka untuk melakukan


VCT adalah karena dukungan petugas kesehatan yang baik. Dalam
hal

ini

kemampuan

konselor

berkomunikasi

dan

membangun

hubungan yang baik terhadap kelompok risiko menjadi faktor yang


mempengaruhi mereka untuk memanfaatkan VCT. berdasarkan data
hasil wawancara dengan beberapa konselor VCT di kota Makassar,
ditemukan bahwa sebagian besar mereka telah mengikuti pelatihan
sebagai

konselor

dan

memiliki

sertifikat

sebagai

konselor

yang

diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Pendidikan mereka dari


tingkat SMA, Diploma, Sarjana hingga Magister. Lama kerja sebagai
konselor ada yang setahun, 4 tahun, 8 tahun, 14 tahun bahkan 15
tahun. Dengan pengalaman kerja sebagai petugas lapangan, perawat,
dokter

menunjang

kemampuan

mereka

untuk

bisa

memberikan

layanan VCT yang baik.


119

Hasil analisis uji bivariat pada Tabel 21 antara dukungan


petugas kesehatan dengan pemanfaatan klinik VCT dapat diketahui
bahwa dari 100 responden yang menilai dukungan petugas baik
terdapat 78% yang memanfaatkan VCT dan dari 33 responden yang
menilai dukungan petugas kurang terdapat 63,6% responden yang
tidak memanfaatkan VCT. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan
petugas

kesehatan

memberikan

pengaruh

yang

besar

terhadap

pemanfaatan VCT. Responden menilai dukungan petugas yang baik


membuat

mereka

mau

memanfaatkan

VCT. Hasil

uji

chi-square

diperoleh nilai p = 0,000, karena nilai p < 0,05 maka ada hubungan
antara dukungan petugas kesehatan

dengan pemanfaatan VCT

kelompok risiko tinggi di kota Makassar. Hasil uji hipotesis dengan


menggunakan

uji

regresi

logistik

diperoleh

dukungan

petugas

kesehatan = 0,010 dan pengaruh sebesar Wald= 6,595. Karena nilai p


dukungan petugas kesehatan

0,05, maka hal ini menunjukkan

bahwa ada pengaruh secara signifikan antara variabel dukungan


petugas kesehatan terhadap variabel pemanfaatan VCT kelompok
risiko tinggi di kota Makassar.
Hasil ini sesuai teori Health Belief Model (Rosenstock, 1982)
dalam (Fibriana, 2013), bahwa dalam melakukan tindakan kesehatan
terdapat faktor pencetus untuk memutuskan menerima atau menolak
alternatif tindakan tersebut. Isyarat ini dapat bersifat internal maupun
eksternal. Isyarat internal, yaitu isyarat untuk bertindak yang berasal
120

dari dalam diri individu. Isyarat eksternal, yaitu isyarat untuk bertindak
yang berasal dari interaksi interpersonal, misal media massa, pesan,
nasehat, dukungan keluarga, anjuran atau konsultasi dengan petugas
kesehatan.
Hal

ini

sesuai

dengan

hasil

penelitian

Putri

(2007)

yang

menyimpulkan bahwa persepsi ODHA terhadap tenaga kesehatan


berhubungan
pelayanan

langsung
VCT.

Hasil

dengan
sama

keputusan
juga

untuk

dikemukakan

memanfaatkan
Muhartini,

Darmawansyah, and Asdar (2013) dimana hasil uji diperoleh nilai


p=0,001 (p<0,05) sehingga ho ditolak berarti secara signifikan ada
pengaruh perilaku konselor dengan pemanfaatan pelayanan VCT pada
orang dengan HIV AIDS di Kabupaten bulukumba. Begitu pula hasil

penelitian Legiati et al. (2012) yang menyatakan bahwa variabel yang


berpengaruh terhadap perilaku ibu hamil untuk tes HIV diantaranya
adalah variabel dukungan bidan dan dukungan kader.
Pengaruh dukungan petugas kesehatan terhadap pemanfaatan
VCT juga dibuktikan melalui uji bivariat pada Tabel 21, terlihat pada
kelompok responden yang pemanfaatan VCT, mayoritas responden
memberikan penilaian terhadap dukungan petugas kesehatan baik.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Khairurrahmi

(2009)

bahwa

persepsi

ODHA

tentang

petugas

kesehatan sebagai salah satu elemen pelayanan kesehatan sangat


memengaruhi ODHA untuk menggunakan pelayanan VCT atau tidak.
121

Untuk itu perlu kiranya peningkatan kualitas petugas kesehatan dalam


memberikan layanan VCT.
Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Paribungin, A.
(2012) yang

meneliti

tentang

pemanfaatan

klinik

VCT (Voluntary

Conselling And Testing) di Wilayah Kerja Puskesmas Wisata Bandar


Baru Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang diperoleh hasil
bahwa dengan uji regresi logistik ditemukan yang sangat berpengaruh
adalah dukungan petugas kesehatan (Exp B = 3,819) dalam Muhartini
et al. (2013).
8.

Pengaruh Variabel Health Belief Model secara Simultan (bersamasama) terhadap Pemanfaatan VCT
Berdasarkan

hasil

analisis

multivariat

dari

semua

variabel

dengan menggunakan uji statistik regresi logistik, maka diketahui


bahwa variabel-variabel health belief model yang secara signifikan
berpengaruh

secara

bersama-sama

terhadap

pemanfaatan

VCT

kelompok risiko tinggi di kota Makassar yakni variabel manfaat yang

dirasakan (p=0,000), hambatan yang dirasakan (p=0,000), dukungan


keluarga

(p=0,013) dan dukungan petugas kesehatan

(p=0,010).

Sedangkan variabel yang tidak berpengaruh signifikan yakni variabel


pengetahuan (p=0,410) dan ancaman yang dirasakan (p=0,075).
Pengaruh variabel pengetahuan dan ancaman yang dirasakan
tidak bermakna karena pengaruhnya ditutupi oleh pengaruh variabelvariabel

health

belief

model

yang

lain.

Untuk

pengaruh

secara
122

bersama-sama responden lebih menfokuskan penilaiannya terhadap


variabel manfaat yang dirasakan (perceived benefits), hambatan yang
dirasakan (perceived barriers), dukungan keluarga dan dukungan
petugas kesehatan.
Urutan dari variabel yang pengaruhnya paling kecil sampai ke
variabel yang pengaruhnya paling besar adalah :
1. Manfaat yang dirasakan (perceived benefits) dengan nilai Wald=
14,891
manfaat

dan

nilai

yang

mengakibatkan

sig=

dirasakan
kelompok

0,000.

Penilaian

(perceived
risiko

responden

benefits)

memanfaatkan

baik

terhadap
akan

layanan

VCT

14,891 kali lebih besar daripada bila penilaian responden terhadap


manfaat yang dirasakan (perceived benefits) kurang baik.
2. Hambatan yang dirasakan (perceived barriers) dengan nilai Wald=
13,131 dan nilai sig= 0,000. Penilaian kelompok risiko terhadap
hambatan yang dirasakan (perceived barriers) yang tinggi akan
mengakibatkan

kelompok

risiko

memanfaatkan

layanan

VCT

13,131 kali lebih besar daripada bila penilaian kelompok risiko


terhadap hambatan yang dirasakan (perceived barriers) yang
kurang.
3. Dukungan petugas kesehatan dengan nilai Wald= 6,595 dan nilai
sig= 0,010. Penilaian kelompok risiko terhadap dukungan petugas

kesehatan

yang

baik

akan

mengakibatkan

kelompok

risiko

memanfaatkan layanan VCT 6,595 kali lebih besar daripada bila


123

penilaian kelompok risiko terhadap dukungan petugas kesehatan


yang kurang baik.
4. Dukungan keluarga

dengan nilai Wald= 6,167 dan nilai sig=

0,013. Penilaian kelompok risiko terhadap dukungan keluarga


yang baik akan mengakibatkan kelompok risiko memanfaatkan
layanan

VCT

6,167

kali

lebih

besar

daripada

bila

penilaian

kelompok risiko terhadap dukungan keluarga yang kurang baik.


Hasil analisis menunjukkan bahwa manfaat yang dirasakan
(perceived benefits) merupakan variabel health belief model yang
memberikan pengaruh paling besar terhadap pemanfaatan layanan
VCT kelompok risiko tinggi di Kota Makassar. Penilaian responden
terhadap manfaat yang dirasakan (perceived benefits) baik akan
mengakibatkan responden menjadi mau memanfaatkan layanan VCT
14,891 kali lebih besar daripada bila penilaian responden terhadap
manfaat yang dirasakan (perceived benefits) kurang baik.
Manfaat yang dirasakan (perceived benefits) menjadi salah
satu unsur health belief model yang mendasar, karena individu akan
mempertimbangkan apakah alternatif itu memang bermanfaat dapat
mengurangi

ancaman

penyakit,

persepsi

ini

juga

berhubungan

dengan ketersediaan sumberdaya sehingga tindakan ini mungkin


dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari
kelompoknya.

Ini

sesuai

dengan

teori

Health

Belief

Model

(Rosenstock, 1982) yang menyatakan dalam melakukan suatu tin124

dakan pencegahan maupun pengobatan penyakit akan dipengaruhi


oleh perceived benefit (persepsi tentang manfaat bila melakukan
tindakan) Fati Kirakoya, 2013 dalam (Fibriana, 2013).
Persepsi manfaat yang rendah dapat disebabkan kurangnya
sosialisasi tentang tes HIV termasuk manfaat melakukan tes HIV
dengan

jelas,

sehingga

membuat

mereka

khawatir

terhadap

diskriminasi yang akan diterimanya jika hasil tes HIV positif. Dalam
penelitian ini didapatkan bahwa responden dengan persepsi manfaat
tinggi, proporsi yang melakukan tes HIV lebih besar daripada persepsi
manfaat rendah. Informasi tentang tes HIV yang kurang jelas dapat
menyebabkan persepsi yang salah tentang manfaat tes HIV yang
akhirnya dapat menyebabkan halangan untuk melakukan tes HIV.
Sesuai dengan penelitian Aini (2005) yang mengatakan bahwa
alasan ibu hamil melakukan tes adalah adanya manfaat VCT, mereka
merasa dengan VCT dapat melindungi ibu dan bayi, mendapatkan
pengobatan dan perubahan perilaku. Hal ini sesuai dengan teori
Health Belief Model yang mengatakan bahwa manfaat yang dirasakan
menunjukkan keyakinan individu untuk berperilaku (Sarwono, 2007)
dalam (Legiati et al., 2012).
125

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Tidak ada pengaruh pengetahuan

terhadap pemanfaatan VCT pada

kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.

2. Tidak ada pengaruh ancaman yang dirasakan (perceived threat)


terhadap pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIVAIDS di Kota Makassar.
3. Ada pengaruh manfaat yang dirasakan (perceived benefit) terhadap
pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di
Kota Makassar.
4. Ada pengaruh hambatan yang dirasakan (perceived barriers) terhadap
pemanfaatan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di
Kota Makassar.
5. Ada pengaruh dukungan keluarga terhadap pemanfaatan VCT pada
kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.
6. Ada pengaruh dukungan konselor terhadap pemanfaatan VCT pada
kelompok risiko tinggi tertular HIV-AIDS di Kota Makassar.
126

B. Saran
1.

Perlu perhatian khusus terhadap kelompok LSL, yang mana kelompok


ini merupakan kelompok yang paling banyak tidak memanfaatkan
VCT.

Perhatian

tersebut

dapat

berupa

penjangkauan

melalui

kelompok sebaya atau kelompok yang menjadi acuan LSL terutama


masalah persepsi akan ketakutan terhadap stigma yang negatif Juga
peningkatan

KIE

(Komunikasi,

Informasi

dan

Edukasi)

terhadap

kelompok tersebut.
2.

Peningkatan pengetahuan terutama pengetahuan tentang HIV-AIDS


dan

tujuan

kelompok

serta
LSL,

manfaat

VCT

perlu

dikarenakan kelompok

dilakukan,
ini

yang

terutama
paling

pada

kurang

mengetahui tentang hal tersebut.


3.

Perlunya diberikan pendidikan berupa pengetahuan tentang HIV-AIDS


dan informasi terkait layanan VCT bagi kelurga, teman dan pimpinan

dikantor, dimana hal ini merupakan salah satu faktor dalam penelitian
ini yang perlu mendapat perhatian. Rata-rata responden mengatakan
bahwa dukungan kelurga terhadap mereka kurang.
4.

Lebih mengaktifkan peran media, seperti TV, surat kabar maupun


internet

terkait

informasi

tentang

HIV-AIDS

kepada

masyarakat,

sehingga stigma tentang kelompok resiko HIV-AIDS dan ODHA dapat


diminimalisir.
127

DAFTAR PUSTAKA
Abamecha, F., Godesso, A., & Girma, E. (2013). Intention to voluntary HIV
counseling and testing (VCT) among health professionals in Jimma zone,
Ethiopia: The theory of planned behavior (TPB) perspective. BMC Public
Health Journal, 13(40), 1-7.
Abebe, A., & Mitikie, G. (2009). Perception of High School Students towards
Voluntary HIV Counseling and Testing, using Health Belief Model in
Butajira, SNNPR. Ethiop. J. Health Dev, 23(2), 148-153.
Fibriana, A. I. (2013). Determinan keikutsertaan pelanggan wanita pekerja seks
(WPS) dalam program Voluntary Conseling and Testing (VCT). Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 08(02), 146-151.
Glanz, K., Rimer, B. K., & Viswanath, K. (2008). Health behavior and health
education theory, research, and practice. San Francisco: Jossey-Bass.
Haddison, E. C., Nguefack-Tsagu, G., Noubom, M., Mbatcham, W., Ndumbe, P.
M., & Mbopi-Kou, F.-X. (2012). Voluntary counseling and testing for
HIV among high school students in the Tiko health district, Cameroon.
Pan African Medical Journal, 13(18), 1-7.
Khairurrahmi. (2009). Pengaruh Faktor Predisposisi, Dukungan Keluarga dan
Level Penyakit Orang Dengan HIV-AIDS Terhadap Pemanfaatan VCT di
Kota Medan. (Magister), Universitas Sumatera Utara, Medan.
Koker, P. D., Lefvre, P., Matthys, F., Stuyft, P. v. d., & Delva, W. (2010).
Barriers to VCT despite 13 years of community-based awareness
campaigns in a peri-urban township in northern Limpopo. SAMJ, 100(06),
364-365.
Kurniawati, L., Kumalasari, M. L. F., & Wulandari, R. (2014). Analisis Hambatan
Pemanfaatan Voluntary Counseling and Testing (VCT) pada Pekerja Seks
Komersial di Surakarta dalam Rangka Mewujudkan MDGs 2015. Jurnal
KesMaDaSka, 35-41.
Legiati, T., Shaluhiyah, Z., & Suryoputro, A. (2012). Perilaku Ibu Hamil untuk
Tes HIV di Kelurahan Bandarharjo dan Tanjung Mas Kota Semarang.
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, Vol. 7(2), 153-164.
Leta, T. H., Sandy, I. F., & Fylkesnes, K. (2012). Factors affecting voluntary
HIV counselling and testing among men in Ethiopia: a cross-sectional
survey. BMC Public Health Journal, Vol. 12(438), 1-12.
Misir, P. (2013). HIV-AIDS stigma-reduction on VCT uptake: An adapted
systematic review. Eastern Journal of Medicine, 18, 150-164.
Moges, Z., & Amberbir, A. (2011). Factors associated with readiness to VCT
service utilization among pregnant women attending antenatal clinics in
Northwestern Ethiopia: A Health Belief Model Approach. Ethiop J Health
Sci., 21(Special Issue), 107-115.

Muhartini, A., Darmawansyah, & Asdar, M. (2013). Pengaruh Faktor


Predisposing, Enabling, dan Reinforcing Orang Dengan HIV AIDS
Terhadap Pemanfaatan VCT di Kabupaten Bulukumba e_Journal
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 1-14.
128

Murti, B. (2010). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif dan
kualitatif di bidang kesehatan. Yogyakarta: Gadjamada University Press.
Otwombe, K., Mutisya, N., Ajema, C., & Wanyungu, J. (2007). Using VCT
statistics from Kenya in understanding the association between gender and
HIV. Journal of Social Aspects of HIV-AIDS, 04(03), 706-710.
Phrasisombath, K., Thomsen, S., Sychareun, V., & Faxelid, E. (2012). Care
seeking behaviour and barriers to accessing services for sexually
transmitted infections among female sex workers in Laos: a cross-sectional
study. Phrasisombath et al. BMC Health Services Research, Vol. 12(37),
1-9.
Purwaningsih, Misutarno, & SitiNurImamah. (2011). Analisis Faktor
Pemanfaatan VCT pada Orang Risiko Tinggi HIV-AIDS JurnalNers, 6(1),
58-67.
Sunyoto, D. (2013). Perilaku konsumen: Panduan riset sederhana untuk
mengenali konsumen. Yogyakarta: CAPS.
Syafitri, L. (2012). Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan PITC bagi tahanan dan Warga Binaan Permasyarakatan
(WBP) berisiko tinggi HIV-AIDS di Poliklinik Rutan Klas 1 Cipinang
Tahun 2012. (Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat), Universitas
Indonesia, Jakarta.
Sarah Castle. (2003). Doubting the Existence of AIDS: A Barrier to
Voluntary HIV Testing and Counselling in Urban Mali. HEALTH
POLICY AND PLANNING; Oxford University Press 2003, Vol. 18(2)
: 146155.
Sinha G, Ashok D, Manisha K, dkk. (2008). Low Utilization of HIV Testing
During Pregnancy What Are the Barriers to HIV Testing for Women
in Rural India?. J Acquir Immune Defic Syndr 2008, Vol. 47 (2) :
248-252.
Sasaki Y, Ali M, Vong S, Koum K, Kazuhiro K. (2010). Prevalence and
Barriers to HIV Testing Among Mothers at A Tertiary Care Hospital
in Phnom Penh, Cambodia. Barriers to HIV Testing in Phnom Penh,
Cambodia. Sasaki et al. BMC Public Health 2010, Vol. 10 (494) : 17.
Sumarlin. (2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku
pada Pasien HIV-AIDS di klinik VCT Bunga Harapan RSUD
Banyumas. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Thu Anh Nguyen, Pauline Oosterhoff, Yen Pham Ngoc, Pamela Wright
and Anita Hardon. (2008). Barriers to Access Prevention of Motherto-Child Transmission for HIV Positive Women in a Well-Resourced
Setting in Vietnam. AIDS Research and Therapy 2008, Vol. 5(7) : 112.
Ying Wang, Bing Li, Jingbin Pan, Sohini Sengupta, Catherine Boland
Emrick, Myron S. Cohen, and Gail E. Henderson. (2011). Factors
Associated with Utilization of a Free HIV VCT Clinic by Female Sex
Workers in Jinan City, Northern China. NIH-PA (National Institutes
129

of Health Public Access) Author Manuscript. AIDS Behav., May


2011 ; Vol. 15(4) : 702710.
Zinash Moges, Alemayehu Amberbir. (2011). Factors Associated With
Readiness To VCT Service Utilization Among Pregnant Women
Attending Antenatal Clinics In Northwestern Ethiopia: A Health
Belief Model Approach. Ethiop J Health Sci., Special Issue August
2011; Vol. 21 : 107-115.

LAMPIRAN 1

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN


ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN LAYANAN VCT
PADA KELOMPOK RISIKO TINGGI TERTULAR HIV-AIDS DI KOTA MAKASSAR

OLEH:
SUCI RAHMADANI

Saya adalah mahasiswa Program Pascasarjana (S-2) UNHAS Konsentrasi


Administrasi

dan

Kebijakan

Kesehatan

Fakultas

Kesehatan

Masyarakat

yang

sedang melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui dan menganalisis faktor


yang mempengaruhi pemanfaatan layanan VCT pada kelompok risiko tinggi tertular
HIV-AIDS di Kota Makassar.
Saya mengharapkan kesediaan bapak/ibu, saudara(i) untuk berpartisipasi
dalam

penelitian

ini.

Kami

akan

menjamin

kerahasiaan

identitas

bapak/ibu,

saudara(i). Informasi yang bapak/ibu, saudara(i) berikan hanya akan digunakan


untuk penelitian ini dan tidak akan digunakan untuk kepentingan lain.
Partisipasi

bapak/ibu,

saudara(i)

dalam

penelitian

ini

bersifat

sukarela,

sehingga bapak/ibu, saudara(i) bebas untuk ikut menjadi responden penelitian atau
menolak tanpa sanksi apapun.
Jika bapak/ibu, saudara(i) bersedia menjadi peserta penelitian ini, maka
silahkan menandatangani formulir persetujuan ini dan saya mohon kesediaan
Bapak/Ibu, saudara(i) untuk mengisi lembar kuesioner dengan jujur dan apa adanya.
Kerahasiaan informasi dan identitas saudara dijamin oleh peneliti dan tidak
akan disebarluaskan.
Makassar,
Tanda Tangan Responden

April 2014

Tanda Tangan Pewawancara

LAMPIRAN 2
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
KONSENTRASI ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
Sekretariat : Jalan Perintis Kemerdekaan KM.10 Makassar 90245 Telp.
(0411) 585 658, Fax (0411) 586 013 Website :www.fkmunhas.com
KUESIONER PENELITIAN
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN LAYANAN VCT
PADA KELOMPOK RISIKO TINGGI TERTULAR HIV-AIDS
DI KOTA MAKASSAR

1.
2.

3.
4.

PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER


Jawablah pertanyaan yang diajukan dengan benar sehingga hasil yang kami
peroleh sesuai dengan kenyataan yang anda terima.
Pada poin pertanyaan di bawah ini berilah tanda ( X ) pada pilihan yang
dianggap benar dan tanda ( ) pada kolom jawaban yang anda anggap sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.
Kerahasiaan identitas dan jawaban anda sepenuhnya terjamin.
Atas kerja sama yang baik, kami ucapkan banyak terima kasih.

KARAKTERISTIK INDIVIDU
1. Nomor Responden

: .......... (diisi oleh peneliti)

2. Kategori

: (Penasun / WPS / LSL / Waria) *Lingkari

3. Umur

: ........... Tahun

4. Jenis kelamin

: (1) Laki laki


(2) Perempuan

3. Status Perkawinan

: (1) Kawin
(2) Belum kawin

(3) Duda / Janda


4. Tingkat pendidikan

5. Pekerjaan

: (1) Tidak Tamat SD

(2) SD

(3) SLTP

(4) SLTA

(5) Diploma

(6) Sarjana

: (1) Tidak Bekerja

(2) TNI/POLRI

(3) PNS
(5) Pegawai Swasta
Pelayanan
HIV-AIDS
Dimana Anda
Pandangan
dapat
VCTmelakukan
terdiri
membuat
yang
ataskonseling
penderitanya
PENGETAHUAN
&
testing
dikucilkan/
HIVKESEHATAN
?
1) Puskesmas
DUKUNGAN
PETUGAS
dijauhi
(jika
jawaban
keluarga.
mengucilkan
antara
1,
pen
2
dan
3
lanjut
ke
G5
2)
a.
Konseling
sebelum
tes,
tes
HIV
dan
konseling
sesudah
tes
NO.
SR sakit
KKjawaban
TP yan
Jawablah
pertanyaan di PERTANYAAN
bawah ini dengan memberi tanda ( SL
X )Rumah
pada
pilihan
Jika
jawaban
4
lanjut
ke
G6)
3)
Klinik
VCT
swasta
b.
Konseling
sebelum
tes
dan
konseling
sesudah
tes
HIV-AIDS
Saya
khawatir
dapat
untuk
membuat
melakukan
penderitanya
pemeriksaan
dikucilkan/
HIV
Dukungan
konselor
dan
petugas
kesehatan
menjadi
B13
gD6
F1 karena
4) Dikunjungi oleh petugas
c. Tidak
Tahuuntuk penyakit
dijauhi
teman.
takutsaya
ketahuan
yang
saya derita.
pendorong
melakukan
VCT
dianggap
benar!
kesehatan keadaan Anda
HIV-AIDS
dapat
membuat
penderitanya
HIV
positif,
dikucilkan/
saya
A1 Apabila
Berilah
tanda
( hasil
) pemeriksaan
pada
kolom mengikuti
penilaian
yang
telah
disediakan berdasarkan
HIV
merupakan
singkatan
dari saya
.
F2
Petugas
mengajak
untuk
program
VCT
B14
5) Tempat lain, sebutkan!
D7 sebenarnya
dijauhi
mungkin
akan
dikucilkan
oleh
anggota
keluarga
a. masyarakat.
Human
Immuno
Viruss
yang
sesuai
pilihan
jawaban
berikut:
setelah
penyuluhan
HIV-AIDS
dilaksanakan
b. Human
STS
Sangat
Tidak Immunodeficiency
Setuju
C.
YANG DIRASAKAN ................................
F3 =saya.
Petugas
kesehatan
atau MANFAAT
konselor Viruss
menyediakan
G5 waktu
PERTANYAAN
STS
TS
SS
hasil tahu
pemeriksaan
saya positif,konsultasi
saya
c. khusus
Tidak
TS
Tidak
Setuju
apabila
sayaHIV
membutuhkan
NO.
PERTANYAAN
STS
TS
SS
SS
D8 =Apabila
Saya
lama
mengantri
dan
menunggu
untuk sayadiri
akan
dikucilkan
oleh
teman-teman
A2 mungkin
SC1
=
Setuju
AIDS
merupakan
singkatan
dari
.
mengenai
layanan
Mengunjungi
klinik
VCT
bermanfaat
melindungi
mendapatkan
pelayanan
VCT.
Apabila
hasil
pemeriksaan
HIV
saya
positif,
SS
=
Sangat
Setuju
a.
Aquired
Immune
Deficiency
Syndrome
tidakkesehatan
tertular penyakit
HIV-AIDS
F4 agar
Petugas
memberikan
kesempatansaya
D9
Petugas
layanan
VCT
tidak
ramah
dalam
melakukan
akan
dikucilkan
oleh
Masyarakat.
b. tidak
Aquired
Immune
Deficiency
System
kepada
saya
jika
ada yang
saya
ingin
tanyakan
B. mungkin
ANCAMAN
YANG
DIRASAKAN
C2
Saya
akan
memperoleh
informasi
mengenai
penyuluhan
dan
pemeriksaan.
Apabila
c.
Tidak
saya
tahu
sering
datang
ke
klinik
VCT
maka
seputar
AIDS
IMS) dan
HIV-AIDS
jika saya
tidak
NO. penyakit
PERTANYAAN
STS
TS keadaan
S
SS
Berilah
tanda ( VCT
padaHIV/
kolom
penilaian
yang
telah disediakan
berdasarkan
Anda
Menurut
saya,
urutan
pemeriksaan
untuk
VCT
D10
A3 orang-orang
akan
mencurigai
saya
sebagai
HIV
adalah
..
mengikuti
VCT.
F5
Petugas
mampu
menjawab
semua
pertanyaan
saya
Penyakit AIDS
merupakan
penyakitberikut:
yang
yang
sesuai
pilihan jawaban
B1 sebenarnya
terlalu
rumit
dan
membuat
bingung.
penderita
HIV-AIDS.
a.
Virus
yang
menyerang
kekebalan
tubuh manusia
dengan
rinci
dan
jelas
C3
Status
HIV
pada
diri
saya
hanya
dapat
diketahui
menimbulkan
rasa
malu
dan
mematikan.
SL = Selalu
Ruangan
konsultasi
yang
ada di
klinik
VCT
kurang
b. Penyakit
yang
menyerang
kekebalan
tubuh
F6 = dengan
Petugas
cara
menjawab
melakukan
pertanyaan
testing.
dengan
ramah
dan manusia
HIV-AIDS
merupakan
penyakit
yang
membuat
tubuh
SR
Sering
nyaman
dan
kurang
mendukung
kerahasiaan
pasien
c.
Tidak
Tahu
bersahabat
C4
program
layanan
VCTsehingga
membuat saya
rentan
terkena
penyakit
lainnya
KK
= Mengikuti
Kadang-kadang
B2
A4
G6
PERTANYAAN
STS
TS
S
SS
AIDS
adalah
..
F7
merasa
Petugas
tenang
kesehatan
setiap
3
bulan
sekali memanggil
yang
TP = membutuhkan
Tidak Pernah pelayanan dan penanganan
Rumah
sakit/Puskesmas
dengan
pelayanan
VCT
a.
Kumpulan
gejala
penyakit
yang
disertai
oleh
infeksi
virus
saya untuk
memeriksakan
kondisi
kesehatan
saya
serius
dan intensif.
C5
berkeyakinan
bahwa konseling
dan testing
HIV
E. Saya
DUKUNGAN
KELUARGA
sulit
dijangkau
sehingga
saya
lebih
nyaman
b.
Kumpulan
gejala
penyakit
yang
disertai
oleh
HIV
F8 bermanfaat
Petugas
kesehatan
bagianjuran
orang
menjaga
yang
hubungan
HIV.
baik dengan infeksi
Saya
mengikuti
untukberisiko
mendapatkan
NO.
PERTANYAAN
SL
SR
KK
TP
dikunjungi
oleh
petugas
kesehatan
untuk
VCT
c.
Tidak
Tahu
B3
saya
pelayanan
VCTmendukung
dikarenakan
penyakit
HIV-AIDS
C6
Dengan
datang
ke
Pelayanan
VCT
akan
mampusulit
Keluarga
saya
saya
untuk
mengikuti
A5 diobati.
E1
Saya
memiliki
waktu
luang
untuk melakukan
Virus tidak
HIV
terdapat
dalam..
mengurangi
risiko penyakit
HIV-AIDS.
F9
Dalam
memberikan
pelayanan
petugas
kesehatan
pelayanan
VCT
VCT
di
Puskesmas/Rumah
sakit
a.
Darah,
cairan
vagina,
air
mani
melayani
dengan
professional
dan
kompeten.
Saya
merasa
membutuhkan
atau
harus
C7 VCT
memberikan
dukungan
psikologis,
cara
Keluarga
memberikan
informasi
tentang HIVsaya
dan
b. Darah
E2
Atasan
saya
mendukung
dan
mengizinkan
memeriksakan
mencegah
penularan
diri
ke
HIV
pelayanan
dan
merubah
VCT
agar
perilaku
saya
G.
RIWAYAT
KONSELING
DAN TESTING HIV
B4
AIDS
c. Tidak
tahu sehat
melakukan
VCT
mengetahui
kearah
yang
kondisi
lebih
kesehatan
dan
aman.
saya
khususnya
NO
PERTANYAAN
KATEGORI
E3
memberikan
informasi
tentang
pelayanan
A6 Keluarga
HIV dan
AIDS
dapat
ditularkan
melalui
Sikap
petugas
kesehatan
menunjukkan
perhatian
penyakit
HIV-AIDS.
C8
Mengikuti
layanan
VCT
akan
memberi
kemudahan
G1 mengenai
Pernahkah
Anda
melakukan
konseling
dan
testing
1)
Pernah
(Lanjut ke G3)
VCT
a. baik
Hubungan
seksual
yang
tidak
aman
dan penggunaan jarum suntik bersama
yang
dalam
memberikan
pelayanan
VCT.
Kegiatan
untuk
mengecek
saya
berisiko
kondisi
tertular
penyakit
virus
saya.
HIV-AIDS
HIV ?
2) Tidak pernah
E4 Keluarga
menyarankan
saya
untuk
melakukan
VCT
b. akan
Transfusi
darah,
makan/minum
sepiring/segelas
bersama, ibu ke bayi selama
Petugas
kesehatan
melakukan
tesjika
sesuai
prosedur.
B5
sehingga
membuat
saya
khawatir
tidak
C9
Saya
terus
melanjutkan
memanfaatkan
G2
Jika
jawaban
tidak
pernah,
alasan
mengapa
tidak
1) Tidak tahu tentang konseling
E5 Keluarga
/ dibacakan)
pasangan saya akan mengantar dan
hamil
(prosedur
mengikuti
pelayanan
VCT
ini
setelah
mengetahui
melakukanlayanan
konseling
dan testing
? manfaatnya.
dan testing HIV
menemani
saya
jikaVCT
berkunjung
diHIV
layanan
VCT
c.
Tidak
Tahu
G7
Apakah
Anda
melakukan
konseling
pra
testing
1) Yamerasa harus (lanjut ke G
Saya
akan
terkena
AIDS
dalam
beberapa
C10
menyampaikan
manfaat
pelayanan
VCT
(STOP)
2)
Tidak
E6
Keluarga
saya
akandengan
menanyakan
keadaan saya
A7
HIV
dapat
dicegah
..
(konseling
sebelum
tes
HIV)
?
9)
B6
tahun
mendatang
jika tidak
melakukan
ini
kepada
temankesehatan
yang
lain VCT
dalam membantu
melakukan
konseling dan
kepada
petugas
a.
Tidak
melakukan
hubungan
seks
dengan
berganti-ganti
pasangan dan
G8 konseling
Jika jawaban
tidak,
mengapa
Sebutkan
dan HIV-AIDSnya.
testingalasan
HIV secara
rutin.tidak
pengendalian
testing
HIV
E7 Anggota
keluarga
sayaPra
akan
selalu
mendukung dan
menggunakan
kondom
saat
berhubungan
seks ....................................................
melakukan
konseling
testing
HIV!
Saya
tidak
dapat
melindungi
diri
dari
HIV
C11
Banyak
teman-teman
yang
telah
merubah/
3) Tidak yakin/percaya dengan
B7
mendampingi
meskipun
hasil
tes
menunjukkan
b.
Tidak
menggunakan
jarum
suntik
bersama
dan ....................................................
tidak makan bersama
(STOP)melakukan
tanpa
konseling
dan
testing
HIV.
mengurangi
perilaku
berisiko
HIV
setelah
mengikuti
layanan koseling dan testing
positif
HIV
/
AIDS
c. perlu
Tidak
Tahu
....................................................
Saya
melakukan
test
HIV
secara
rutin
program
VCT
HIV
E8
keluargaCounselling
akan mendampingi
sayaadalah
selama
A8 Anggota
VCT (Voluntary
andInfeksi
Testing)
4)
....................................................
B8
karena
sangat
berisiko
terkena
Menular
Jarak layanan VCT yang jauh
D. melakukan/memanfaatkan
HAMBATAN
YANG DIRASAKAN
layanan
VCT
a. (IMS)
Tes
HIV
dan
AIDSTesting
secara HIV
sukarela
yang didahului
dengan
konselingVCT
G9 Sekual
Apakah
Anda
melakukan
?
1)
Ya layanan
(lanjut
ke G11
dan
HIV-AIDS.
5)
Petugas
tidak
NO.
PERTANYAAN
STS
TS
S
SS
E9 Keluarga
saya
mempedulikan/memperhatikan
sayadidahului
b.
Tes
HIV
dan
AIDS
secara
sukarela
tanpa
dengan
konseling
)
Perilaku
seks tinggal
saya menyebabkan
ramah
Jarak
tempat
saya dengan layanan VCT
ketika
sakit
c.
Tidak
Tahu
G10
Jika
jawaban
tidak,
alasan
mengapa
tidak
Sebutkan
saya
berisiko
mengidap
HIV
sehingga
6) Urutan pemeriksaan untuk
D1
menjadi
penghambat
bagi
saya
untuk
melakukan
B9
E10
saya
memiliki
waktu
dan
biaya
untuk ..
A9 Keluarga
Pemeriksaan
VCT
dapat
dilakukan
atas dasar
melakukan
Testing
HIV!konseling
....................................................
saya
harus
melakukan
dan
VCT terlalu rumit dan
VCT
memperhatikan
kondisi
saya ketika sakit
a.
Paksaan
dan
tekanan
(STOP)
....................................................
testing
HIV.
(Khusus
LSL
dan
Waria)
membuat bingung.
Tidak
ada
sarana sendiri/sukarela
transportasi umum yang memadai
b.berhubungan
Keinginan
....................................................
Saya
seks
dengan
seseorang
D2 menuju layanan VCT sehingga sulit dijangkau oleh 7) Takut akan stigma
c.berisiko
Tidak
G11 yang
Apakah
Anda Tahu
melakukanHIV
konseling
pasca testing
1) Ya sebutkan! (STOP)
mengidap
sehingga
8) Lainnya,
B10
A10 saya
VCT
bertujuan
untuk
..
(konseling
sesudah
teskonseling
HIV) ? dan
2) Tidak
saya
perlu
melakukan
...............................................
sulit
menyediakan
waktu
untuk melakukan
D3 Saya
a.
Mengetahui
status
kesehatan
terkait
HIV
dan
AIDS
sehingga dapat menekan
G12
Jika
jawaban
tidak,
alasan
mengapa
tidak
Sebutkan
testing
HIV. (Khusus WPS)
...............................................
VCT penularan
HIV
dan
AIDS
tersebut
melakukan
konseling
pasca Testing
HIV!secara
....................................................
Saya
selalu
menggunakan
suntik
...............................................
Meskipun
menurut
petugas jarum
hasil pemeriksaannya
b.
Memberi
pengetahuan/edukasi
tentang
cara
penularan
dan pencegahan HIV(STOP)
....................................................
bersama-sama
sayatetap
perlukhawatir
melakukan
...............................................
bersifatAIDS
rahasia sehingga
namun saya
akan
B11
D4
....................................................
dankapan
testingmengetahui
HIV. (Khusus
Penasun)
G3 konseling
Jika Pernah,
terakhir
kali hasilnya
Anda
melakukan
banyak
orang
yang
c.
Tidak
Tahu
....................................................
...............................................
konseling dan testing HIV

A11
G4
F.
A.
B12
D5

(4) Pedagang/Wiraswasta (6) Ibu Rumah Tangga


(7) Lainnya .............................................................
3
4
5
6
7
8

TERIMA KASIH

Lampiran 3
KERANGKA OPERASIONAL PENELITIAN

Sampel
Masalah

Populasi
Unit

Variabel

Metode

Instrumen

Teknik

Interpretasi
Data

nalisis Data

nalisis

1. Rendahnya
pemanfaatan V

semua
hanya 34,4% d orang
ari
risiko
populasi berisi tinggi
ko yg
tertular
memanfaatkan HIV-AIDS
layanan VCT d
di Kota
i
Kota Makassar Makassar

Variabel

CT

(Kemenkes,RI
dan
KPAN, 2013)
2. Pengetahuan
Tentang VCT d
an
HIV-AIDS
masih
rendah hanya
9,5%
(Riskesdas,201
0)
3. Jumlah Layan
an
VCT di Makas
sar
sedikit hanya 1
2
unit jika di
bandingkan ju
mlah
kelompok risik
o
29.740 (Keme
nkes
dan KPAN, 20
13)
4. Stigma dan
dukungan kelu
arga

Kelompok
Penasun,
WPS, LSL
dan Waria
di Kota
Makassar

Penasusn: Independen :
33, WPS: Pengetahua
25, Waria: n
Kuesioner
8, LSL: 67 Ancaman Wawancara
uantitatif
Cara
yang
pengambil dirasakan
an sampel Manfaat yan
stratified g
dirasakan
random
sampling Hambatan
yang
dirasakan
Dukungan
Keluarga
Dukungan
Petugas
Kesehatan

Variabel
Dependen :
Pemanfaatan
VCT

Analisis
Univariat
Analisis
K Bivariat
Analisis
Multivariat

pengaruh
Pengetahu
an,
Ancaman
yang
dirasakan,
Manfaat
yang
dirasakan,
Hambatan
yang
dirasakan,
Dukungan
Keluarga,
Dukungan
Petugas
Kesehatan
terhadap
Pemanfaata
n VCT di
Kota
Makassar

T
E
S
I
S

masih rendah
hanya 11% dan 9%
yang menerima
mereka
(SDKI,2012)

MASTER TABEL
MASTER TABEL

Tingkat Pendidikan
Frequency
Percent
Valid Percent
Valid
Valid

Valid

SD
SLTP
Penasun
SLTA
WPS
Diploma
LSL
Sarjana
Waria
Total
Total

Percent
Cumulative
HASIL6 OUTPUT
UNIVARIAT
4.5 ANALISIS 4.5
4.5
Percent
Frequency
Percent
Valid Percent
10
7.5
7.5
12.0
Kategori
Responden
33
24.8
24.8
24.8
97
72.9
72.9
85.0
25
18.8
18.8
43.6
8
6.0
6.0
91.0
67
50.4
50.4 Cumulative 94.0
12
9.0
9.0
100.0
Percent
8
6.0
6.0
100.0
133
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
133
100.0
100.0

<20

10

21-30

88

31-40

30

41-50

5
3.8
Umur
Responden

Total

Valid
Valid

Valid

Cumulative

7.5

133

7.5

7.5

66.2Pekerjaan

66.2

73.7

22.6

22.6

96.2

3.8

100.0

100.0

Frequency
Percent
Frequency
Percent
baik
92
69.2
Kawin
40
kurang
41
30.8
Belum Kawin
78
Total
133
100.0
Frequency
Percent
Duda/Janda
15
kuat
Total
lemah
Total

113

100.0
Cumulative
Cumulative
Percent
Valid Percent
Percent
Valid Percent
69.2
69.2
30.1
30.1
30.1
30.8
100.0
58.6
58.6Cumulative
88.7
100.0
Valid Percent 11.3 Percent
11.3
100.0

133 85.0 100.0

85.0 100.0

20

15.0

15.0

133

100.0

100.0

85.0
100.0

Jenis Kelamin

Valid

Laki-Laki
Perempuan
Total

Frequency
Percent
Valid Percent
kategori pengetahuan
102
76.7
76.7
Status Perkawinan
31
23.3
23.3
133

100.0

Cumulative
Percent
76.7
100.0

100.0

kategori ancaman
Frequency
Percent
Valid Percent

Cumulative
Percent
Valid

Tidak Bekerja

21

15.8

15.8

15.8

Mahasiswa/Pelajar

1.5

1.5

17.3

PNS

2.3

2.3

19.5

23

17.3

Pedagang/Wiraswasta

Valid

Pegawai Swasta
Frequency
Ibu Rumah Tangga
hambatan tinggi
hambatan rendah
Total

Valid

54

30.8
Valid Percent
7
5.3
40.6
40.6

79

59.4

59.4

100.0

100.0
Valid Percent

133
Percent

Frequency

39.8

39.8

39.8

dukungan kurang

80

60.2

60.2

100.0

133

100.0

100.0

10

Pegawai Salon
Karyawan

Frequency

Kafe/toko/karaoke/SPG
memanfaatkan
tidaklainnya
memanfaatkan
TotalTotal

6
17
7.7
Percent

90

67.7

43

3
32.3

133

133
100.0

7.5

7.5

4.5
12.8
Valid Percent

4.5
Cumulative
12.8
Percent

2.3

100.0 100.0

100.0

100.0

kategori pemanfaatan

Cumulative
Percent

Frequency
Valid

manfaat baik
manfaat kurang
Total

Percent

85.0
9

67.7

32.3

kategori manfaat

72.9

80.5

67.7
2.3

67.7

Percent

53

Pekerja Seks

36.8

100.0
Cumulative

dukungan baik

Total

Valid

41

Percent

17.3
Cumulative
30.8
Percent
5.3
40.6

Valid Percent

103

77.4

77.4

77.4

30

22.6

22.6

100.0

133

100.0

100.0

100.0

kategori pemanfaatan
tidak
memanfaatkan

memanfaatkan
kategori pengetahuan

baik

Count

kategori dukungan petugas


kesehatan
% within
kategori

Cumulative

pengetahuan
kategori hambatan
Frequency
Percent
Valid Percent
kurang
Count

5.278

Valid

N of Valid Cases
dukungan baik
dukungan kurang
Total
kategori ancaman

33

24.8

24.8

133
kuat

100.0
Count

100.0

73.9%

26.1%

100.0%

22

19

41

46.3%
Exact Sig. (1-

sided)

sided)

100.0%

90

43

133

67.7%

32.3%

100.0%

.027

75.2

.019

% within kategori ancaman

HASIL ANALISISCount
BIVARIAT (Chi Square)
% within kategori ancaman

tidak

100.0
Total memanfaatkan

Count

Crosstab

92

53.7%
Exact Sig. (2-

% within kategori ancaman

Total

24

.022

133 kategori pemanfaatan


100
75.2
75.2

lemah

68
Percent

% within kategori
Asymp. Sig. (2pengetahuan
sided)
Value
df
Total
Count
a
Pearson Chi-Square
1
.021
5.318
% within kategori
b
4.433
1
.035
Continuity Correction
pengetahuan
Likelihood Ratio
5.176
1
.023
kategori dukungan keluarga
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association

Total

memanfaatkan

71

42

113

62.8%

37.2%

100.0%

19

20

95.0%

5.0%

100.0%

90

43

133

67.7%

32.3%

100.0%

Chi-Square Tests
df

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

8.037
b

6.634

Likelihood Ratio

Crosstab

10.338

Asymp. Sig. (2-

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

.005

.010

.001

Fisher's Exact Test

.004

Linear-by-Linear Association

7.977

N of Valid Cases

.002

.005
kategori pemanfaatan

133

tidak
memanfaatkan

memanfaatkan
kategori manfaat

manfaat baik

Count
% within kategori manfaat

manfaat kurang

Total

81

22

103

78.6%

21.4%

100.0%

21

30

Count

% within kategori manfaat Asymp. Sig. (2- 30.0%


100.0%
Exact Sig. (2- 70.0%
Exact Sig.
(1Total

df Count

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

90 sided)

sided)

a
% within
1
25.125kategori manfaat
Chi-Square
Tests
22.951
1

.00067.7%

43 sided) 133
32.3%

100.0%

.000

a. Likelihood
0 cells (.0%)
have expected count less
than 5. The minimum
expected.000
count is 13.26.
Ratio
23.905
1
b. Fisher's
Computed
onlyTest
for a 2x2 table
Exact
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases

.000
24.936

.000

133

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.47.
b. Computed only for a 2x2 table

.000

kategori pemanfaatan
tidak
memanfaatkan

Total memanfaatkan
kategori hambatan

hambatan tinggi

Count
% within kategori

20

34

54

37.0%

63.0%

100.0%

70

79

hambatan
hambatan
rendah
Value

Total
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association

Count

% within kategori
Asymp. Sig. (2hambatan
sided)
df
Count
a
1
.000
38.991
%
within
kategori
36.670
1
.000
hambatan
40.182
1
.000
Crosstab
38.698

N of Valid Cases

.000

88.6%
Exact Sig. (2sided)
90

sided)
43

67.7%

.000

baik

100.0%

.000

kategori pemanfaatan

133

dukungan

133

32.3%

tidak
memanfaatkan

kategori dukungan keluarga

11.4%
100.0%
Exact Sig. (1-

Count
% within kategori

memanfaatkan

Total

48

53

90.6%

9.4%

100.0%

42

38

80

52.5%

47.5%

100.0%

43

133

32.3%

100.0%

dukungan keluarga
dukungan
kurang

Count
% within kategori
dukungan keluarga

Total

Count
90
Chi-Square Tests
% within kategori
67.7%
Crosstab
dukungan keluarga
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.70.
b. Computed only for a 2x2 table

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

df

Crosstab

Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

.000

19.410

.000

23.579

.000

21.115
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test


Linear-by-Linear Association

.000
20.956

N of Valid Cases

.000

.000
kategori pemanfaatan

133

tidak

kategori dukungan petugas

dukungan

kesehatan

memanfaatkan

memanfaatkan

78

22

100

78.0%

22.0%

100.0%

12

21

33

Count

baik

% within kategori dukun

Total

gan
petugas kesehatan
Chi-Square
Tests
dukungan
Count

Asymp. Sig. (2kurang


% within kategori dukungan
sided)
Value
df
Total
Count
a
Pearson Chi-Square
1
.000
19.661
%
within
kategori
dukungan
b
17.804
1
.000
Continuity Correction
petugas
kesehatan
Likelihood Ratio
18.761
1
.000

36.4%
Exact Sig. (2sided)
90

Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases

32.3%

.000
19.513

.000

133

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.46.
b. Computed only for a 2x2 table

sided)
43

67.7%

Fisher's Exact Test

63.6%
100.0%
Exact Sig. (1133
100.0%

.000

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.14.
b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests

Crosstab

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.67.
b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests

HASIL ANALISIS MULTIVARIAT (Regresi Logistik Berganda)


95% C.I.for EXP(B)
B
a

Step 1

A_kategori(1)

.550

S.E.
Wald
df
Sig.
Variables in the Equation
.668
.678
1
.410

Exp(B)

Lower

Upper

1.733

.468

6.416

B_kategori(1)

-2.194

1.232

3.170

.075

.111

.010

1.248

C_kategori(1)

2.744

.711

14.891

.000

15.546

3.858

62.638

D_Kategori(1)

-2.158

.596

13.131

.000

.116

.036

.371

E_kategori(1)

1.793

.722

6.167

.013

6.009

1.459

24.744

F_kategori(1)

1.801

.701

6.595

.010

6.057

1.532

23.952

-2.143

.763

7.883

.005

.117

Constant

a. Variable(s) entered on step 1: A_kategori, B_kategori, C_kategori, D_Kategori, E_kategori, F_kategori.

Anda mungkin juga menyukai