Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ekstrak adalah sediaan pekat diperoleh dengan cara ekstraksi senyawa
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan pelarut yang sesuai
(Anonim, 1995). Salah satu kriteria ekstrak yang baik yakni terdapat senyawa
aktif, baik secara kuantitas dan kualitas sehingga memiliki aktivitas biologis
tinggi. Pemilihan pelarut dalam proses penyarian adalah salah satu faktor yang
berpengaruh dalam menghasilkan ekstrak yang baik. Cairan pelarut dalam proses
pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk ekstraksi senyawa aktif,
sehingga senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa
kandungan lainnya, serta ekstrak yang dihasilkan terkandung sebagian besar
senyawa kandungan yang diinginkan (Anonim, 2000b).
Pelarut yang optimal dapat menyari senyawa aktif dengan baik dan
selektif (Anonim, 1986), sehingga ekstrak hasil penyarian memiliki aktivitas yang
paling tinggi. Untuk didapatkan komposisi pelarut yang optimal perlu dilakukan
suatu proses optimasi. Simplex Lattice Design (SLD) adalah salah satu metode
yang umum digunakan dalam proses optimasi di berbagai bidang, beberapa di
antaranya adalah dalam bidang, formulasi kimia, serta obat farmasi (Bondari,
2005).

Komposisi pelarut menentukan efektivitas pelarut dalam melakukan


ekstraksi. Jika ekstrak memiliki aktivitas yang tinggi maka ini menunjukkan
bahwa pelarut sudah melakukan penyarian secara optimal. Rendemen ekstrak
dihitung dengan cara membandingkan jumlah ekstrak yang diperoleh dengan
simplisia awal yang digunakan. Rendemen ekstrak dapat digunakan sebagai
parameter standar mutu ekstrak maupun parameter efisiensi ekstraksi. Dalam
metode SLD terdapat rumusan perhitungan yang dapat menentukan komposisi
pelarut optimal untuk ekstraksi, sehingga dihasilkan ekstrak dengan aktivitas
paling tinggi dan rendemen yang tinggi. Dengan metode SLD ini, pelarut optimal
dapat ditentukan secara teoritis dengan perhitungan matematis, sehingga tidak
perlu dilakukan trial and error yang menyita waktu (Bondari, 2005). Optimalnya
suatu pelarut dalam menyari ekstrak dapat dilihat dengan melakukan pengujian
terhadap aktivitas biologisnya.
Nyamuk merupakan vektor atau penular utama dari penyakit-penyakit
arbovirus (demam berdarah, chikungunya, demam kuning, encephalitis, dan lainlain), serta penyakit-penyakit nematoda (filariasis), riketsia, dan protozoa
(malaria). Aedes aegypti merupakan vektor terpenting bagi virus demam kuning,
dengue, dan chikungunya. Banyak cara yang dikembangkan untuk menekan
populasi. Pengendalian vector dilakukan dengan pemberantasan sarang nyamuk
yaitu dengan 3M (menguras, menutup, dan membuang), namun usaha pemutusan
mata rantai perkembangbiakan nyamuk dengan cara ini belum efektif (Kusriastuti,
2005). Pemakaian zat kimiawi secara terus menerus dan tidak terkendali baik
untuk keperluan kesehatan maupun pertanian terbukti menimbulkan dampak

negatif berupa terjadinya resistensi pada vector dan pencemaran lingkungan.


(Gandahusada, 1998).
Saat ini perlu dikembangkan bahan alami yang mempunyai efek larvisida
yang ramah lingkungan. Ekstrak metanol dari daun Carica papaya telah teruji
memiliki aktivitas larvasida terhadap larva Aedes aegypti pada konsentrasi 74,07
ppm (Kalimuthu, 2012). Berdasarkan dari penelitian tersebut daun pepaya
memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai larvasida yang baik, dikarenakan
aktivitasnya sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.
Analisis fitokimia yang dilakukan oleh (Ayoola, 2010) kandungan daun
pepaya

mengandung

saponin,

glikosida

jantung

dan

alkaloid.

Metode

kromatografi lapis tipis sering digunakan untuk mengetahui kandungan senyawa


dari tanaman, sehingga metode tersebut dapat digunakan

untuk identifikasi

komponen senyawa yang kemungkinan berperan dalam aktivitas larvasida.


Kandungan zat-zat yang terdapat dalam tanaman sebagai larvisida alami relatif
lebih aman dan efek samping yang timbul jauh lebih kecil bagi manusia. Tanaman
papaya merupakan tanaman tropis yang tumbuh subur di Indonesia sehingga
mudah didapatkan dan harganya lebih ekonomis.
Dalam penelitian ini akan melakukan optimasi pelarut etanol air yang
menyebabkan kematian larva Aedes aegypti paling tinggi dan dihasilkan
rendemen ekstrak yang tinggi dengan menggunakan metode SLD dan analisis
golongan senyawa yang kemungkinan bertanggung jawab terhadap aktivitas
larvasida.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah profil SLD hasil komposisi pelarut etanol-air pada ekstraksi


daun papaya berdasarkan respon larvasida terhadap Aedes aegypti

dan

rendemen yang dihasilkan?


2. Apakah perbedaan komposisi pelarut etanol dan air pada ekstraksi daun
papaya akan menyari senyawa kimia yang berbeda pada ekstrak sehingga
berpengaruh pada respon larvasida dan hasil rendemen?
3. Pada perbandingan berapa komposisi pelarut etanol air yang digunakan untuk
didapatkan respon larvasida tertinggi dan rendemen terbanyak?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui profil SLD dari komposisi pelarut etanol-air pada ekstraksi daun
papaya berdasarkan respon larvasida terhadap Aedes aegypti dan rendemen
yang dihasilkan.
2. Mengetahui profil metabolit sekunder yang tersari dengan pelarut yang
berbeda komposisinya sehingga berpengaruh respon larvasida dan rendemen
ekstrak yang didapatkan.
3. Untuk mengetahui perbandingan komposisi pelarut etanol air yang digunakan
untuk didapatkan respon larvasida tertinggi dan rendemen terbanyak.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan diperoleh suatu metode ekstraksi dengan


pelarut yang optimal untuk daun pepaya. Ekstrak daun papaya dari pelarut yang
optimal mampu menghasilkan aktivitas larvasida nyamuk Aedes aegypti terbaik
dan rendemen yang tinggi dengan mempertimbangkan faktor keekonomian
sehingga dapat diaplikasikan untuk membuat ekstrak daun pepaya yang efektif
sebagai larvasida alami.

E. Tinjauan Pustaka
1. Pepaya
Kedudukan tanaman Carica papaya L. atau lebih dikenal di Indonesia
dengan sebutan pohon pepaya (Steenis, 1992) dalam sistematika tumbuhan
sebagai berikut:
Divisi

: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Anak divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledonae

Bangsa

: Cistales

Suku

: Caricaceae

Marga

: Carica

Jenis

: Carica papaya L.

a. Deskripsi:
Tanaman pepaya (Carica papaya) merupakan tumbuhan yang memiliki
bentuk batang yang lurus tegak, bulat silindris. Tanaman pepaya umumnya tidak
bercabang, tanaman ini dapat tumbuh hingga setinggi 2.5-10 m dengan daundaunan yang membentuk serupa spiral pada batang pohon bagian atas. Pada
permukaan batang pepaya terlihat bekas perlekatan daun.
Tangkai daunnya bulat silindris dengan panjang 25-100 cm, bentuk daun
bulat atau bulat telur, bertulang daun menjari, tepi bercangap manjari berbagi
menjari, ujung runcing berdiametar 25-75 cm dengan pangkal daun berbentuk
jantung, sebelah atas berwarna hijau tua, sebelah bawah hijau muda, memiliki
permukaan daun yang licin. Bunga hampir selalu berkelamin satu atau berumah
dua, tetapi kebanyakan dengan beberapa bunga berkelamin dua pada karangan
bunga yang jantan. Bunga jantan pada tandan yang serupa malai dan bertangkai
panjang, berkelopak sangat kecil. Mahkota berbentuk terompet berwarna putih
kekuningan, dengan tepi yang bertaju lima, dan tabung yang panjang, langsing,
taju berputar dalam kuncup, kepala sari bertangkai pendek, dan duduk bunga
betina kebanyakan berdiri sendiri, daun mahkota lepas atau hampir lepas, putih
kekuningan, bakal buah beruang satu, kepala putik lima duduk. Buah berbentuk
bulat telur memanjang, biji banyak, dibungkus oleh selaput yang berisi cairan,
didalamnya berduri temple berjerawat (Steenis, 2008).

b. Nama Lokal
Pepaya (Indonesia), gedang (Bali), betik, kates, telo gantung (Jawa) peute,
betik, ralempaya, punti kayu (Sumatera); pisang malaka, bandas, manjan
(Kalimantan); kalujawa, padu (Nusa Tenggara); kapalay, kaliki, unti jawa
(Sulawesi); dan betik (Melayu).

c. Kandungan Kimia
Daun

papaya

mengandung

glikosida

tiosianat,

alkaloid

karpin,

pseudokarpain dan saponin sedangkan pada biji terdapat minyak lemak


(Hegnauer,1964). Bagian buah terkandung b-karoten, pectin, d-galaktosa, dan
papain. Bijinya mengandung alkaloid, fenol, saponin, tannin, dan terpenoid.
(Ocloo, 2012). Dalam daun pepaya banyak terkandung mineral seperti Ca, Mg,
Na, K, Fe, dan Mn. Dari analisis fitokimia menunjukkan kandungan daun pepaya
mengandung saponin, glikosida jantung dan alkaloid (Ayoola, 2010). Penelitian
yang dilakukan oleh (Ngozi, 2010) papaya mengandung alkaloid, flavonoid,
tannin, glikosida jantung antrakuinon, phlobatin, saponin dan antosianosida.

d. Manfaat Tanaman
Manfaat tanaman papaya yakni sebagai antibakteri, diuretic, digestive, dan
antihelminthic (Evans, 2002). Tanaman pepaya dapat digunakan sebagai obat
seperti diabetes mellitus, obat sakit gigi, infeksi amoeba, dan juga dijadikan
kosmetik dengan khasiat meningkatkan elastisitas kulit. Biji dari papaya
umumnya dipakai sebagai komponen untuk kosmetik (Lewis, 1976).

Daun

papaya memiliki khasiat untuk penambah nafsu makan dan obat malaria bagian
akar dan biji digunakan untuk obat cacing sedangkan getah buahnya

dapat

memperbaiki pencernaan (Anonim, 2000a ).


Getah pepaya telah diketahui sebagai pelunak daging. Masyarakat
menggunakan daun pepaya dengan meremas agar getahnya keluar, kemudian
daun tersebut digunakan untuk membungkus daging (Kalie, 1988). Daun pepaya
yang masih muda dapat digunakan sebagai penambah nafsu makan, berbagai
macam masakan, dan jamu anti masuk angin. Selain itu daun pepaya digunakan
sebagi pakan ternak (Warisno, 2003).

2. Uraian kandungan kimia tumbuhan


a. Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan metabolit sekunder yang banyak terdapat
pada tanaman angiospermae. Tidak ada difinisi yang tepat tentang alkaloid, tetapi
pada umumnya alkaloid mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung
satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari
sintem siklik, bersifat fisiologis aktif. (Claus dkk, 1970; Lewis, 1977).
Alkaloid yang terdapat di dalam daun papaya adalah alkaloid karpain.
Alkaloid karpain termasuk dalam golongan alkaloid piridina dan termasuk dalam
kelompok alkaloid sejati. Untuk identifikasi alkaloid dapat dilakukan dengan cara
reaksi pengendapan dan reaksi warna. Untuk reaksi pengendapan, larutan untuk
pengendapan alkaloid dibagi menjadi 4 golongan yaitu:

1. Golongan I : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu


membentuk garam yang tidak larut : asam siliko wolframat LP, asam
fosfo molibdat LP, dan asam fosfo wolframat LP.
2. Golongan II : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu
membentuk senyawa kompleks bebas, kemudian membentuk endapan:
Bouchardat LP, Wagner LP.
3. Golongan III : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu
membentuk senyawa adisi yang tidak larut : Mayer LP, Dragendroff
LP dan Marme LP.
4. Golongan IV : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu
membentuk ikatan asam organik : Harger LP.
Sampel dikatakan mengandung alkaloid jika reaksi positif yang membentuk
endapan sekurang-kurangnya dua reaksi dari golongan reaksi pengendapan yang
dilakukan. Sebagian besar alkaloid tidak larut atau sedikit larut dalam air, tetapi
bereaksi dengan asam membentuk garam yang larut dalam air. Alkaloid bebas
biasanya larut dalam eter atau kloroform maupun pelarut nonpolar lainnya
kebanyakan berbentuk kristal, meskipun ada beberapa yang amorf dan hanya
sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar. Garam alkaloid berbentuk kristal.
Alkaloid biasanya tidak berwarna dan memiliki rasa pahit.
Karpain adalah alkaloid yang terdapat dalam daun papaya. Rumus struktur
dari karpain adalah C28H50N2O4 terdiri dari dua substituen identik yakni cincin
piperidin berikatan dengan gugus ester.

10

Gambar 1. Struktur karpain dan diastromer (Hegnauer,1964)

b. Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol. Sebagai glikosida, saponin
bila dihidrolisis oleh asam menghasilkan aglikon yabg disebut sapogenin dan
macam-macam gula serta asam uronat yang berkaitan. Berdasarkan struktur
aglikon/sapogenin. Saponin dibedakan menjadi saponin tipe steroid dan tipe
triterpenoid (Claus, 1970; Lewis, 1977).
Saponin atau glikosida sapogenin merupakan salah satu tipe dari glikosida
yang tersebar luas dalam tanaman tingkat tinggi. Tiap saponin terdiri dari
sapogenin yang merupakan molekul aglikon dan sebuah gula. Sapogenin mengkin
dapat berupa steroid atau triterpen dan gulanya dapat berupa glukosa, galaktosa,
pentosa atau metil pentosa. Semua saponin akan berbusa bila dikocok dengan air,
membentuk emulsi minyak dalam air dan digunakan sebagai koloid pelindung.
Meskipun hampir tidak toksik bagi manusia, tetapi saponin memiliki kemampuan
untuk menghemolisa darah jika diinjeksikan ke dalam pembuluh darah.
Saponin mempunyai rasa yang pahit, biasanya menyebabkan bersin atau
mengiritasi selaput lendir, bersifat toksik pada binatang berdarah dingin seperti
ikan. Saponin digunakan juga sebagai deterjen, selain itu meningkatkan absorbs

11

diuretika serta merangsang kerja ginjal. Dalam pengobatan rakyat digunakan


untuk mengobati rematik (Lewis,1977).
Uji saponin yang sederhana adalah dengan mengkocok ekstrak alkohol air
dari tanaman dalam tabung reaksi dan apakah terbentuk busa yang tahan lama
pada permukaan cairan, paling tidak busa bertahan selama 30 menit. Identifikasi
dapat dilakukan berdasarkan kemampuan saponin menghemolisis sel darah merah.
Tetapi biasanya lebih baik bila uji sederhana itu dipastikan dengan cara
kromatografi lapis tipis (Harborne,1987).

Gambar 2. Struktur saponin steroid dan saponin triterpenoid (Gunawan, 2004)

c. Antrakuinon
Pada hidrolisis glikosida antrakuinon menghasilkan aglikon yang
merupakan antrakuinon, berupa di, tri, atau tetra hidroksi antrakuinon, dan
modifikasi dari senyawa ini meliputi turunan reduksinya, yaitu oksantron,
antranol dan antron dan senyawa diantron yang merupakan gabungan dua molekul
antron.
Turunan antrakuinon seringkali berwarna merah orange, umumnya larut
dalam air panas atau alkohol encer. Senyawa induk dari antron berwarna kuning
pucat, tidak berfluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sementara bentuk
isomernya antranol berwarna kuning kecoklatan dan dalam alkali membentuk
larutan yang berfuoresensi kuat (Robinson, 1995)

12

Gambar 3 . Struktur antrakuinon, antron, antranol, oksantron, dan diantranol


(Gunawan, 2004)

Untuk deteksi kualitatif antrakuinon dalam tanaman biasanya digunakan


reaksi Borntrager. Serbuk bahan dimaserasi dengan menggunakan pelarut yang
tidak campur, dan setelah disaring ditambahkan ammonia dalam air, bila terjadi
warna merah jambu atau violet menunjukkan adanya turunan antrakuinon yang
bebas. Jika hanya bentuk glikosida yang ada maka reaksi harus dimodifikasi
dengan hidrolisis dulu menggunakan kalium hidroksida dalam alkohol atau
menggunakan asam klorida 2 N. Jika C-glikosida terdapat dalam sampel, maka
dibutuhkan metode khusus untuk memecah gula dari aglikonnya. Untuk keperluan
ini dapat digunakan besi (III) klorida, natrium ditionat atau peroksida dalam
medium alkali. Apabila sempel yang diperiksa mengandung glikosida yang sangat
stabil atau turunan reduksi tipe antranol maka reaksi Borntrager akan negatif. Bila
ditambahkan alkali pada serbuk bahan atau irisannya maka warna merah yang
akan timbul menunjukkan lokasi dari turunan antrakuinon di dalam jaringan.

13

d. Papain
Papain adalah suatu enzim pemecah protein yang diperoleh dari getah buah
papaya. Enzim adalah molekul kompleks yang diproduksi di dalam organisme
hidup untuk mengkatalisis reaksi kimia di dalam sel. Getah dari tanaman papaya
dan buahnya yang berwarna hijau mengandung dua macam enzim proteolitik,
yaitu papain dan kemopapain. Jumlah kemopapain lebih berlimpah akan tetapi
aktivitas papain dua kali lebih kuat. Papain diaktifkan oleh cysteine, sulfida, sulfit,
dan lain sebagainya, dan ditingkatkan stabilitasnya dengan penambahan agen
pengikat logam seperti EDTA. Aktivitas papain paling optimim pada pH 6,0-7,0.
Papain dalam penggunaan sehari-hari sebagai pelunak daging, penggunaan lain
dari papain adalah larutan pembersih lensa kontak (Robbers, 1996).

3. Aedes aegypti
a. Klasifikasi
Klasifikasi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut (Sudarto, 1990).
Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insekta

Bangsa

: Dipthera

Suku

: Culicidae

Marga

: Aedes

Jenis

: Aedes aegypti

14

b. Siklus hidup
Nyamuk Aedes aegypti termasuk ordo diptera dengan metamorfosis
sempurna. Stadium-stadium terdiri dari telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa.
Setiap harinya nyamuk Aedes aegypti betina bertelur rata-rata 100 butir. Telur
menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva. Terdapat empat tahapan dalam
perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan sampai mencapai instar
keempat memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah mencapai instar keempat
larva berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman. Pupa bertahan
selama dua hari sebelum akhirnya menjadi nyamuk. Nyamuk betina dewasa
sebagai penghisap darah manusia dan hewan untuk sarana pematangan telur-telur
yang dihasilkannya karena kebutuhan protein yang ada dalam darah. Telur yang
telah matang diletakkan satu persatu di tepi permukaan air pada lubang pohon dan
tempat/wadah yang tergenang air (Ginanjar, 2007).

c. Ciri-ciri dan morfologi


1)

Telur
Telur Aedes aegypti berwarna hitam, tampak bulat memanjang dan

berbentuk oval berukuran 0,5-0,8 mm, permukaan polygonal, tidak memiliki


alat pelampung (lihat gambar 4). Telur Aedes aegypti seperti sarang tawon,
telur dapat bertahan sampai berbulan-bulan pada suhu -2o C sampai 42o C.
(Sumarmo, 1983).
Di alam bebas telur diletakkan satu persatu menempel pada
dinding wadah/tempat perindukan terlihat sedikit diatas permukaan air. Waktu

15

penetasan 1-2 hari atau dapat lebih lama bergantung pada keadaan air di
wadah/tempat perindukan. Telur Aedes aegypti dapat bertahan 1 bulan dalam
kondisi kering dan jika terendam air telur kering dapat menjadi larva
(Ginanjar, 2008).

Gambar 4 . Telur Aedes aegypti (Zettel dan Kaufman, 2008)

2) Larva
Setelah telur menetas tumbuh menjadi larva stadium (instar) , larva
instar 1 melakukan 3 kali pengelupasan kulit (moulting),

berturut-turut

menjadi larva instar 2, 3 dan instar 4. Pada larva 4 (akhir) akan melakukan
pengelupasan kulit dan berubah bentuk menjadi stadium pupa.
duri dada

Gambar 5. Larva instar III Aedes aegypti (Zettel dan Kaufman, 2008)

16

Ada 4 tingkatan perkembangan larva sesuai dengan pertumbuhannya


yaitu:
a. Larva instar I: berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada
belum jelas dan corong pernafasan pada siphon belum jelas.
b. Larva instar II: berukuran 2,5-3,5 mm, duri-duri belum jelas,
corong kepala mulai menghitam.
c. Larva instar III: berukuran 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas dan
corong pernafasan berwarna coklat kehitaman (lihat gambar 5).
d. Larva instar IV: berukuran 5-6 mm dengan warna kepala gelap.
Larva instar I sangat kecil, berwarna transparan, duri-duri pada
thoraks belum jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam. Larva
instar II bertambah besar dan corong pernafasannya sudah berwarna hitam.
Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan tubuh dapat dibagi
menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen). Larva
biasanya ditemukan di drum, tempayan gentong atau bak mandi keluarga yang
kurang diperhatikan kebersihannya (Sumarmo, 1983).

Gambar 6. Penampang segmen utama larva nyamuk Aedes aegypti (WHO,1995)

17

Larva Aedes aegypti biasa bergerak lincah dan aktif, dengan


memperlihatkan gerakan naik kepermukaan air dan turun ke dasar wadah
secara berulang. Larva mengambil makanan di dasar wadah, oleh karena itu
disebut pemakan makanan di dasar (bottom feeder). Pada saat larva
mengambil oksigen dari udara, larva menempatkan corong udara pada
permukaan air seolah-olah badan larva berada pada posisi membentuk sudut
dengan permukaan air (Kusnindar, 1990).
Temperatur optimal untuk perkembangan larva berkisar pada suhu
250 C - 300 C. Larva berubah menjadi pupa melewati 4 fase atau biasa disebut
instar. Perubahan instar larva mengalami pengelupasan kulit. Perkembangan
dari instar I ke instar II berlangsung selama 2-3 hari, kemudian dari instar II ke
instar III berlangsung selama 2 hari, sedangkan perubahan dari instar III ke
instar IV memerlukan waktu dalam 2-3 hari.

3) Pupa
Stadium pupa merupakan stadium akhir dalam air. Stadium pupa
berbentuk bengkok dengan kepala-dada (cephalothorax) lebih besar
dibandingkan bagian perutnya dan bernafas dengan sepasang organ berbentuk
terompet (Peters, 2007). Stadium ini merupakan fase puasa (tanpa makan) dan
sangat sensitif terhadap pergerakan air. Jika terjadi pergerakan air maka pupa
akan bergerak cepat menyelam ke dalam air kemudian muncul kembali
dengan cara menggantungkan badannya menggunakan tabung pernafasan pada
permukaan air (Cahyati dan Suharyo, 2006).

18

4) Dewasa
Stadium dewasa nyamuk Aedes aegypti tubuhnya tersusun atas 3
bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang
mata majemuk dan antena yang berbulu. Aedes aegypti dewasa tubuhnya
berwarna hitam mempunyai bercak putih keperakan atau putih kekuningan.
Pada toraks bagian dorsal terdapat bercak putih yang khas bentuknya berupa 2
garis sejajar di bagian tengah toraks dan 2 garis lengkung di tepi toraks
(Soedorto, 2011).
Perbedaan nyamuk betina dan jantan adalah pada bagian mulut dan
antena. Nyamuk betina memiliki antena tipe-pilosse dan mulut tipe penusukpenghisap (piercing-sucking) sehingga mampu menghisap darah manusia.
Nyamuk dewasa betina mencari makan dengan menghisap darah manusia
atau hewan pada siang hari. Pada malam hari nyamuk beristirahat dalam
rumah pada benda-benda yang digantung seperti pakaian. Nyamuk ini
mempunyai kebiasaan mengigit berulang, yaitu mengigit beberapa orang
secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini karena nyamuk Aedes aegypti
sangat sensitif dan mudah terganggu. Keadaan ini akan beresiko dalam
memindahkan virus dengue ke beberapa orang sehingga ada laporan penderita
demam dengue dalam satu rumah. Nyamuk jantan mencari makan dengan
menghisap sari buah atau bunga. Nyamuk jantan biasanya tidak pergi jauh dari
tempat perindukan, menunggu nyamuk betina untuk berkopulasi (Sumarmo,
1983).

19

Gambar 7. Bentuk thorax pada nyamuk Aedes aegypti betina dewasa (WHO,1995)

d. Uji Larvasida
Penelitian eksperimental terhadap larva instar III-IV nyamuk Aedes
aepypti. Penelitian dilakukan sesuai dengan guidelines for laboratory and field
testing of mosquito larvicides, (WHO 2005). Data yang didapat berupa daya
larvasida, yang menerangkan kekuatan racun dari ekstrak untuk membunuh larva
nyamuk Aedes aegypti. LC 50 digunakan sebagai ukuran dari daya larvasida
tersebut.

4. PENYARIAN
Ekstrak adalah sediaaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Anonim, 1995)
Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang
tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang disari, mengandung zat aktif
yang dapat larut dan zat yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein dan

20

lain-lain (Anonim, 1986). Dalam penyarian, pemilihan cairan penyari adalah hal
yang penting dan harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang
baik harus memenuhi kriteria berikut:
1. Murah dan mudah diperoleh
2. Stabil secara fisika dan kimia
3. Bereaksi netral
4. Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar
5. Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki
6. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat
7. Diperbolehkan oleh peraturan
Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari dalam
penyarian adalah air, etanol, etanol-air atau eter. Penyarian pada perusahaan obat
tradisional masih terbatas pada penggunaan cairan penyari air, etanol atau etanolair (Anonim, 1986).
Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi
zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan
yang mengandung zat tersebut. Kecepatan melintasi lapisan batas dipengaruhi
oleh faktor yang mempengaruhi pemindahan massa yaitu: perbedaan konsentrasi,
tebal lapisan batas, serta koefisien difusi. Proses penyarian dapat dipisahkan
menjadi: pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian dan pemekatan. Secara
umum, jenis penyarian ada beberapa macam, yaitu: infundasi, maserasi, perkolasi
dan destilasi uap. Dari ketiga macam penyarian tersebut sering terdapat
modifikasi, seperti misalnya maserasi dapat disempurnakan dengan digesti

21

(Anonim, 1986). Jika penyarian dilakukan dengan mencelupkan sejumlah serbuk


simplisia begitu saja pada cairan penyari maka penyarian tersebut tak akan dapat
sempurna karena suatu kesetimbangan akan terjadi antara larutan zat aktif yang
terdapat dalam sel dengan larutan zat aktif yang terdapat di luar butir sel.
Penyarian dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi yang terdapat mulai dari pusat
butir serbuk simplisia sampai ke permukaannya, maupun pada perbedaan
konsentrasi yang terdapat di lapisan batas, sehingga suatu titik akan dicapai oleh
zat-zat yang tersari jika ada daya dorong yang cukup untuk melanjutkan
pemindahan massa. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar daya dorong
tersebut hingga makin cepat penyarian. Cairan penyari harus dapat mencapai
seluruh serbuk dan secara terus menerus mendesak larutan yang memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi keluar (Anonim, 1986).
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara meredam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak
keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).
Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau
pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya
kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian
(Anonim, 1986). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara

22

pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan.


Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang
sempurna (Anonim, 1986).

5. SIMPLEX LATTICE DESIGN


Salah satu metode optimasi formula adalah simplex lattice design.
Prosedur ini dapat digunakan untuk menentukan proporsi bahan-bahan yang
menghasilkan formulasi dengan variabel atau hasil yang ditentukan paling baik.
Respon permukaan dan daerah optimum dapat diperoleh dengan penerapan
metode simplex lattice design. Misalnya akan diteliti pengaruh 2 macam solven,
yaitu A dan B terhadap kelarutan zat aktif X. Tiga macam percobaan dibuat untuk
melihat pengaruh solven tersebut, yaitu 100 % A, 100 % B, dan 50 % - 50 %
campuran A dan B (Bolton, 1987).
Prinsip dasar SLD adalah untuk mengetahui profil efek campuran terhadap
suatu parameter. Dasar dari metode ini adalah adanya dua variabel bebas A dan B.
Rancangan ini dibuat dengan memilih tiga kombinasi dari campuran dua variabel
tersebut dan dari setiap kombinasi diamati respon yang didapat. Respon yang
diharapkan haruslah yang paling mendekati tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya baik maksimum atau minimum. Hubungan antara respon dan
komponen dapat digambarkan dengan rumus :
Y = a [ A] + b [ B ] + ab [A] [B]

23

Keterangan :
Y : respon yang diharapkan
a, b, ab = koefisien yang didapat dari percobaan
[ A] [ B] = fraksi ( bagian ) komponen dengan persyaratan : 0 [ A] 1,
0 [ B] 1
Nilai respon yang didapat dari hasil percobaan disubtitusikan ke dalam
persamaan di atas, maka dapat dihitung nilai koefisien a, b dan ab. Jika nilai-nilai
koefisien ini telah diketahui, dapat pula dihitung nilai Y (respon) pada setiap
variasi campuran A dan B sehingga didapatkan gambaran profilnya (Bolton,
1987).

6.

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS


Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh

suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam system yang terdiri dari dua fase
atau lebih, salah satu diantaranya bergerak berkesinambungan dalam arah tertentu
dan dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya
perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan tekanan uap, ukuran molekul atau
kerapatan muatan ion (Anonim, 1995)
Kromatografi lapis tipis (KLT) termasuk jenis kromatografi cair yang paling
sederhana. Keuntungan penggunaan metode ini adalah mudah, murah dan
pemakaian pelarut dan cuplikan yang jumlahnya sedikit untuk pemisahan
golongan senyawa. Pada sistem KLT melibakan sifat fase diam (sifat lapisan) dan
sifat fase gerak atau campuran pelarut pengembang. Fase diam dapat berupa

24

serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penjerap atau sebagai penyangga
untuk lapisan zat cair. Penjerap yang paling umum dipakai adalah silika dan
selulosa. Mekasnisme yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorbsi (Gandjar
dan Rohman, 2013).
Sampel senyawa uji diaplikasikan pada fase diam dalam bentuk totolan
kecil atau pita. Fase gerak akan melewati fase diam dengan gaya kapilaritas.
Komponen-komponen suatu senyawa akan bergerak karena adanya fase gerak
dengan jarak tempuh yang berbeda pada fase diam, biasanya disebut
pengembangan kromatogram. Perbedaan jarak tempuh setiap komponen senyawa
disebabkan karena afinitas yang berbeda dari masing-masing komponen dengan
fase diam atau fase gerak. Interaksi yang mungkin terjadi pada pemisahan
senyawa dengan metode kromatografi diantaranya ikatan hidrogen, transfer
muatan atau ikatan Van der Waals (Sherma, 1996).
Evaluasi dilakukan dengan pengamatan secara visual dan membandingkan
jarak bercak dari awal pengembangan senyawa yang dipisahkan. Jarak tersebut
umumnya dikonversikan dalam nilai Rf (Retardation factor) yang merupakan
hasil bagi antara jarak yang ditempuh senyawa terlarut dengan jarak yang
ditempuh pelarut.
Perhitungan nilai Rf seperti rumus seperti di bawah ini:

Angka Rf berjangka antara 0,00 sampai 1,00 dan ditentukan dalam dua
desimal. hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai
berjangka 0 sampai 10. Deteksi dari komponen senyawa yang telah dipisahkan

25

akan lebih mudah bila komponen tersebut secara alami telah berwarna, berpendar
atau mengabsorbsi sinar ultraviolet. Namun, kebanyakan komponen harus diberi
pereaksi penampak bercak dengan cara disemprot atau dicelup supaya dapat
menghasilkan warna atau pendar. Absorbsi sinar ultraviolet bisanya terjadi pada
senyawa aromatik atau yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi (Harborne,
1987)
Selain dengan pengamatan di bawah sinar ultraviolet deteksi juga
dilakukan dengan pereaksi semprot. Pereaksi warna harus mencapai pelat KLT
dalam bentuk tetesan yang sangat halus sebagai aerosol, dan bukan sebagai
semprotan kasar. Pembentukan warna yang optimum sering kali memerlukan
peningkatan suhu dan waktu tertentu. Pemanasan yang baik apabila penyebaran
suhunya seragam. Pembanding yang digunakan dalam uji kromatografi yakni:
a. Asam Galat
Asam galat adalah asam trihidroksibenzoid, sejenis asam fenolik juga sering
dikenal dengan 3,4,5-trihidroksibenzoid, sering ditemukan pada daun teh, kulit
kayu ek, dan tanaman lainnya. Asam galat umumnya digunakan dalam industri
farmasi sebagai standar untuk menentukan kadar fenol.

Gambar 8. Struktur Asam Galat (Robinson, 1995)

26

b. Istizin
Istizin atau dikenal dengan 1,8-dihydroxyanthraquinone, merupakan zat organik
secara yang merupakan derivat antrakuinon, terdapat pergantian

dua atom

hidrogen dengan gugus hidroksi (OH-). Senyawa ini sering digunakan sebagai
laksantif.

Gambar 9. Struktur istizin (NCBI, 2013)

c. Stigmatserol
Stigmasterol merupakan senyawa turunan asam lemak yang terdapat hampir pada
semua tumbuhan. Struktur kimia stigmasterol identik dengan struktur kimia
kolesterol, namun berbeda pada rantai cabangnya. Stigmasterol memiliki ikatan
rangkap antara atom C 22 dan C 23 dengan konfigurasi trans.

Gambar 10. Struktur Stigmasterol (NCBI, 2013)

27

d. Kinin
Kinin merupakan senyawa antimalaria, termasuk kedalam golongan alkaloid yang
diperoleh dari kulit kayu pohon kina. Pada struktur kinin terdapat 2 bagian yaitu
cincin kinin dan kinolin. Kinin memiliki rumus molekul C20H24N2O2, dengan
berat molekul 324,4 g/mol. Pada cincin kinolin terdapat 2 atom C asimetrik.
Pemeriannya berupa serbuk mikrokristal atau granul-granul berwarna putih,
sedikit berfluorosensi.

Gambar 11. Struktur Kinin (NCBI, 2013)

F. LANDASAN TEORI
Daun pepaya mempunyai khasiat sebagai larvasida yang telah diteliti oleh
(Kalimuthu, 2012) ekstrak metanol dari daun pepaya Carica papaya telah teruji
memiliki aktivitas larvasida terhadap larva Aedes aegypti pada konsentrasi 74,07
ppm Senyawa aktif dari daun pepaya dapat disari dengan optimal jika
menggunakan pelarut yang sesuai. Biji dari buah papaya mangandung alkaloid
karpain yang bersifat toksik dan menimbulkan reaksi kimia dalam proses
pertumbuhan sehingga larva tidak dapat melakukan metamorphosis secara

28

sempurna (Margo, 2010). Menurut (Anonim, 1986), etanol adalah penyari yang
sering digunakan untuk penyarian, sering kali etanol di kombinasikan dengan air
dengan komposisi yang beragam tergantung bahan yang akan disari.
Etanol merupakan penyari yang berifat polar akan tetapi jika kadarnya
tinggi maka sifat senyawanya semi polar. Hal ini yang dikatakan like dissolves
like dimana senyawa yang memiliki sifat yang polar cendrung larut dalam pelarut
yang polar, dan sebaliknya.

Senyawa yang bersifar nonpolar akan sulit di

metabolisme karena sulit untuk dieksresikan oleh tubuh sehingga bersifat toksik.
Metode Simplex Lattice Design (SLD) dapat menentukan optimasi dari
formula pada berbagau perbedaan jumlah komposisi bahan, dimana jumlah
totalnya sama dengan satu bagian (Bolton, 1997). Metode ini efektif untuk
memprediksi optimasi komposisi pelarut yang sesuai dengan respon yang
diinginkan. Suena (2009) melaporkan bahwa metode SLD dapat digunakan untuk
optimasi pelarut dalam penyarian daun mimba sebagai antibakteri.

G. HIPOTESIS
1. Profil SLD aktivitas larvasida dan rendemen akan memberikan bentuk yang
linier dimana semakin tinggi kadar etanol yang digunakan aktivitas dan
rendemen yang dihasilkan ekstrak semakin tinggi.
2. Perbedaan komposisi pelarut etanol dan air pada ekstraksi daun papaya akan
menyari senyawa kimia yang berbeda pada eksrak sehingga berpengaruh pada
respon larvasida dan hasil rendemen.

Anda mungkin juga menyukai