Anda di halaman 1dari 169

GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT

SATUAN BATUPASIR SEMILIR


DAERAH SEMIN,KECAMATAN SEMIN,
KABUPATEN GUNUNG KIDUL
SKRIPSI
PROVINSI D.I.YOGYAKARTA
Oleh :

BAYU AJI SUSILO


111.060.007

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
YOGYAKARTA
2011
1

GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT SATUAN BATUPASIR SEMILIR


DAERAH SEMIN,KECAMATAN SEMIN,KABUPATEN GUNUNG KIDUL,
PROVINSI D.I.YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

Oleh :

BAYU AJI SUSILO


111.060.007

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
YOGYAKARTA
2011

PENGESAHAN
GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT SATUAN BATUPASIR SEMILIR
DAERAH SEMIN,KECAMATAN SEMIN,KABUPATEN GUNUNG KIDUL,
PROVINSI D.I.YOGYAKARTA

SKRIPSI

Oleh :

BAYU AJI SUSILO


111.060.007

Yogyakarta,13 Juni 2011


Menyetujui,
Dosen Pembimbing I,

Dosen Pembimbing II,

Dr. Ir. C. Prasetyadi , MSc.


NPY. 19581104 1987030 1 001

Dr. Ir. Sutanto, DEA.


NPY.19540907 19831 1 001

Mengetahui,
Ketua Jurusan Teknik Geologi

Ir.H. Sugeng Raharjo ,M.T


NPY. 19581208 199203 1 001
3

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat diberikan kecerahan berfikir dan daya juang untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu tanpa adanya suatu halangan yang berarti.
Skripsi dengan judul Geologi dan Studi Fasies Turbidit Satuan Batupasir Semilir
Daerah Semin,Kecamatan Semin,Kabupaten Gunung Kidul,Provinsi D.I.Yogyakarta
disusun sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Geologi Fakultas
Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta dan juga
merupakan salah satu titik yang menarik dalam perjalanan hidup penulis dalam proses
memahami dan menghayati suatu tahapan belajar dan berfikir

guna mengetahui cermin

kebenaran alam.
Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari peran dan dukungan serta motivasi dari
berbagai pihak, maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Kedua Orang tua tercinta diBalikpapan atas semangat yang tak terhingga.
2. Bpk. Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi, Fakultas
Teknologi Mineral, UPN Veteran Yogyakarta.
3. Bpk. Dr. Ir. C. Prasetyadi, MSc., selaku Dosen Pembimbing I.
4. Bpk.Prof.Dr. Ir. Sutanto,DEA selaku Dosen Pembimbing II.
5. Keluarga besar Bpk. Marso atas bantuan fasilitas selama kegiatan pemetaan
berlangsung.
6. Tim

Pemetaan

Wonogiri

Sukses

(Marcukipilami,Adit

Maridit,Goper

Maroper,Kelpeh,Q-nyod) atas kerjasama dan kinerja yang solid selama kegiatan


lapangan berlangsung.
7. Desty Sukma Larasati atas dorongan dan semangatnya.
8. Keluarga Besar DGebank dan Pangea 2006.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu - persatu yang telah membantu penulis
baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4

Menyadari tidak adanya manusia yang sempurna di dunia ini, begitu pula dalam
penulisan skripsi ini, apa yang tertulis di dalamnya masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari para
pembaca agar tercapainya kesempurnaan dalam penulisan ilmiah berikutnya.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan berguna untuk dipahami
bagi para pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa pada khususnya serta dapat
dikembangkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta,13 Juni 2011


Penulis,

BAYU AJI SUSILO

MOTTO
Hari yang disebut dengan hari terbaik telah dimulai ketika kita membuka mata
Di pagi hari.

PERSEMBAHAN
Segala rasa syukur tiada henti terucap kepada Allah S.W.T yang telah memberikan kesempatan,
nikmat akal sehat, daya juang, serta rezeki yang berlimpah.
Spesial teruntuk Keluarga di Balikpapan (Bapak,Ibu,adik) yang telah memberikan semangat
tiada henti.
Bunda yang selalu mengingatkan agar bias menjadi manusia yang terbaik.
Desty Sukma Larasati atas segala dukungan dan semangatnya.
Ardhy CQ pribadi sebagai partner terbaik.
DGebank BIG Famili for life and everything,North Hill Indonesia dalam kebersamaan
PANGEA 2006.

Matahari masih terus bersinar ,jangan mundur setelah semua yang kita lakukan dan
korbankan,masih ada waktu untuk membuktikan akhir kesuksesan kita semua.!!!

GEOLOGI DAN STUDI FASIES TURBIDIT SATUAN BATUPASIR SEMILIR


DAERAH SEMIN,KECAMATAN SEMIN,KABUPATEN GUNUNG KIDUL
PROVINSI D.I.YOGYAKARTA.

SARI
Oleh :
Bayu Aji Susilo
111.060.007
Daerah penelitian terletak pada wilayah selatan Kota Yogyakarta, secara administratif termasuk
dalam wilayah Semin dan sekitarnya, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunung Kidul Provinsi
D.I.Yogyakarta. Secara geografis terletak pada koordinat 472000mT 478343mT dan
9130000mU 9135000mU, yang tercakup dalam peta rupa bumi lembar Manyaran dengan
nomor peta 1408-323 dengan skala 1 : 25.000.
Secara geomorfik, daerah penelitian dibagi menjadi tiga satuan bentukan asal, yaitu bentukan
asal struktural terdiri atas sub satuan geomorfik perbukitan struktural sesar (S21),bentuk asal
denudasional terdiri atas sub satuan geomorfik perbukitan terkikis (D1),bentuk asal Fluvial
terdiri atas sub satuan geomorfik tubuh sungai (F2)dan sub satuan geomorfik dataran banjir
(F7).
Pada daerah penelitian, stratigrafi terdiri dari tiga satuan batuan dari tua ke muda antara lain
Satuan Batupasir Semilir berumur Miosen Awal,Satuan Batugamping Wionosari berumur
Miosen Akhir Plosen Awal,Satuan Batupasir lepas berumur Holosen.Hubungan stratigrafi yang
terbentuk yaitu hubungan ketidakselarasan Disconformity Unconformity antara Satuan Batupasir
Semilir dengan Satuan Batugamping Wonosari,Sama halnya dengan hubungan antara Satuan
Batugamping Wonosari dengan Satuan Batupasir lepas juga memiliki hubungan ketidakselaran
Disconformity Unconformity.
Satuan Batupasir Semilir merupakan suatu endapan turbidit, yakni endapan klastika kasar dan
halus yang terbentuk dari hasil resedimentasi oleh sistem aliran, yang terdiri dari sedimen yang
bergerak turun karena gravitasi (sediment gravity flow) yang kemudian berkembang, dan pada
akhirnya menjadi suatu sistem kipas bawah laut sehingga muncul struktur sedimen yang khas
seperti slump yang terbagi menjadi 2 fasies pengendapan yaitu dengan ciri adanya penebalan ke
atas, terdapat asosiasi Classical Turbidites (CT) yakni munculnya sikuen Bouma(1962) interval
Ta Te dengan hadirnya Massive Sandstone (MS), berupa singkapan batupasir berukuran
sedang hingga sangat kasar dengan tebal lebih dari 50cm mendefinisikan fasies pengendapan
Smooth portion of suprafan lobes (Walker,1978) ) yang berkembang pada bagian barat daerah
telitian. dan hadirnya asosiasi Pebbly Sandstone (PS) atau batupasir kerikilan dengan Massive
Sandstone (MS), berupa singkapan batupasir berukuran sedang hingga sangat kasar dengan tebal
lebih dari 50cm yang berpola menipis keatas mendefinisikan fasies Smooth to channelled
portion of suprafan lobes (Walker,1978) yang berkembang pada bagian timur daerah
telitian.Secara keseluruhan maka Satuan Batupasir Semilir terendapkan secara turbidit pada
fasies Suprafan Lobes on Mid Fan (Walker, 1978).
7

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Geologi Pulau Jawa te1ah banyak dipe1ajari dan bahkan hampir keseluruhan wilayah

telah dipetakan secara sistematik. Penyelidikan geo1ogi, baik untuk kepentingan eksplorasi
migas, mineral ataupun untuk kepentingan ilmiah te1ah banyak dilakukan. Namun demikian
pemahaman secara menyeluruh tentang geologi Jawa masih terbatas terutama Daerah
Pegunungan Selatan. Banyak aspek yang masih perlu dikaji tentang geologi Pegunungan
Selatan, baik masalah stratigrafi, sedimentasi dan perkembangan cekungan maupun tektonik
dan volkanisme.
Geologi wilayah Semin dipilih sebagai daerah pemetaan geologi karena daerah penelitian
sebagai laboratorium alam merupakan daerah yang secara geologi cukup menarik untuk
dilakukan penelitian. Hal ini disebabkan karena daerah tersebut mempunyai suatu tatanan
geologi yang kompleks baik secara stratigrafi, struktur geologi, tektonika, maupun morfogenesa
serta proses proses geologi yang sangat menarik untuk dipelajari guna menerapkan ilmu-ilmu
geologi lapangan berdasarkan hukum-hukum geologi yang telah diperoleh di bangku
perkuliahan dan juga dikarenakan masih kurangnya penelitian yang dilakukan didaerah ini
khususnya dari segi geologinya terutama dalam pendalaman tentang fasies turbidit Satuan
Batupasir Semilir.
Hal - hal tersebut yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian pada Daerah
Semin Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul Provinsi DI Yogyakarta dengan judul
Geologi dan Studi Fasies Turbidit Satuan Batupasir Semilir Daerah Semin Kecamatan
Semin,Kabupaten Gunung Kidul,Provinsi DI Yogyakarta.

1.2.

Maksud dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini adalah sebagai tugas akhir dalam memenuhi persyaratan

akademik guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Geologi (S1)

Jurusan Teknik Geologi,

Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.


Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui kondisi dan perkembangan geologi
daerah penelitian yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan sejarah
geologi dalam satu kesatuan ruang dan waktu (time & space) geologi. Serta mempelajari
karakteristik fasies pada Satuan Batupasir Semilir yang berguna dalam menyusun urutan waktu
pengendapan sedimen (kronostratigrafi) serta mengetahui perkembangan perubahan lingkungan
pengendapan yang pernah terjadi dari waktu ke waktu.

1.3.

Letak dan Luas, Kesampaian Daerah Penelitian, dan Waktu Penelitian

1.3.1. Letak dan Luas Daerah Penelitian


Daerah pemetaan secara administrasi meliputi terletak di Kecamatan Semin Kabupaten
Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelah utara daerah penelitian dibatasi
oleh Dusun Sambirejo, sebelah timur dibatasi oleh Desa Kepuhsari, sebelah selatan dibatasi oleh
Desa Karang sari .Luas daerah penelitian adalah 5 x 6 km (Gambar 1.2).

1.3.2. Kesampaian Daerah


Daerah penelitian dapat dijangkau dengan transportasi darat yang terletak 45 km ke
arah timur Yogyakarta dan dapat dicapai dengan kendaraan bermotor roda empat atau roda dua
selama 60 menit dari kota Yogyakarta, sedangkan untuk lokasi pengamatan dapat dicapai
dengan kendaraan bermotor roda dua kecuali dibeberapa tempat yang hanya dapat dicapai
dengan berjalan kaki,(Gambar 1.1).

Gambar 1.1. Lokasi Daerah Penelitian

Gambar 1.2. Peta rupa bumi daerah penelitian (tanpa skala).

10

1.3.3. Waktu Penelitian


Waktu penelitian berlangsung selama satu bulan di lapangan terhitung dari pertengahan
Desember 2010 hingga April 2011 yang bersifat mandiri kemudian dilanjutkan dengan kegiatan
pengolahan data serta analisis data dan pembuatan laporan penelitian sebagai sistematika selama
kegiatan penelitian berlansung, kegiatan tahap lanjut ini memakan waktu 3 hingga 4 bulan.

1.4.

Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan yang diangkat penulis meliputi permasalahan geologi secara umum

meliputi geologi regional, stratigrafi, struktur geologi, geomorfologi dan sejarah geologi.
Adapun permasalahan khusus yang diangkat oleh penulis

mengenai fasies turbidit

Satuan Batupasir Semilir.


Permasalahan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Permasalahan Geologi.
2. Permasalahan Studi Fasies Turbidit Satuan Batupasir Semilir.

1.4.1. Permasalahan Geologi


Permasalahan permasalahan geologi yang diuraikan dalam penelitian ini, dikelompokan
menjadi empat bagian ,yaitu :
1. Permasalahan Geomorfologi.
2. Permasalahan Stratigrafi.
3. Permasalahan Struktur Geologi.
4. Permasalahan Sejarah Geologi.

11

1.4.1.1.Permasalahan Geomorfologi
Dari interpretasi dan analisa peta topografi serta pengamatan kenampakan morfologi
dilapangan, dijumpai kenampakan pola aliran, bukit, lembah, kelurusan punggungan serta
pengaruh litologi dan struktur geologi, sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan sebagai
berikut :
a. Berapa macam satuan geomorfik pada daerah penelitian?
b. Faktor apa saja yang mengontrol bentuk dan penyebaran bentang alam daerah penelitian?
c. Jenis pola aliran yang terbentuk dan apa faktor pengontrolnya?
d. Sejauh mana proses erosi yang telah berlangsung di daerah penelitian?
e. Bagaimana perkembangan tahapan geomorfologinya?

1.4.1.2.Permasalahan Stratigrafi
Perbedaan relief dan dimensi bentang alam akan memberikan pengaruh terhadap
geometri suatu batuan sehingga akan menimbulkan permasalahan berupa :
a. Apa saja jenis litologi yang ada pada daerah penelitian? dan Bagaimana variasinya?
b. Bagaimana penyebaran dan ketebalan batuan?
c. Bagaimana kandungan fosil dan umurnya?
d. Bagaimana urutan satuan batuan dari tua ke muda?
e. Bagaimana hubungan antar satuan batuan?
f. Bagaimana mekanisme dan lingkungan pengendapannya?
g. Apa nama Satuan Batupasir batuannya?

1.4.1.3.Permasalahan Struktur Geologi


DeSatuan Batupasir pada batuan akibat proses tektonik yang bekerja akan menghasilkan
struktur geologi yang terkait oleh beberapa hal, yaitu :
a. Jenis struktur apa saja yang berkembang di daerah penelitian?
b. Bagaimana pola dan kedudukan struktur tersebut?
c. Berapa dimensi atau ukuran dan arah struktur tersebut?
d. Bagaimana mekanisme, pola dan arah gaya yang membentuknya?

12

1.4.1.4.Permasalahan Sejarah Geologi


Dari seluruh kajian geologi yang dilakukan dari pengamatan lapangan, pengumpulan data
hingga tahap analisis, akan menimbulkan permasalahan mengenai perkembangan geologi dari
waktu ke waktu yang meliputi :
a. Bagaimana mekanisme dan perkembangan proses pengendapan tiap Satuan Batupasir
pada daerah penelitian dalam ruang dan waktu geologi?
b. Bagaimana perkembangan tahapan tektonik yang terjadi di daerah penelitian dalam ruang
dan waktu geologi sehingga membentuk pola struktur seperti sekarang ?

1.4.2. Studi Khusus


Permasalahan studi yang akan diuraikan penulis dalam studi khususnya yaitu mengenai
permasalahan Fasies Turbidit Satuan Batupasir Semilir.

1.4.2.1 Permasalahan Fasies


Beberapa permasalahan yang terkait dengan studi fasies yang akan diuraikan penulis
dalam penelitian ini, meliputi :
a. Ada berapa jenis fasies batuan pada Satuan Batupasir Semilir?
b. Bagaimana hubungan antara butiran dengan pembentukan litofasies
c. Bagaimana mekanisme pada saat pembentukan litofasies
d. Bagaimana hubungan antar fasies pada Satuan Batupasir Semilir?
e. Bagaimana lingkungan pengendapan dari fasies fasies yang ada pada Satuan Batupasir
Semilir?

1.5.

Metode Penelitian
Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul pada daerah penelitian, penulis

melakukan berbagai tahapan dan metoda penelitian dalam pendekatan masalah (Gambar 1.2),
baik secara historis, deskriptif maupun analisis terbagi menjadi lima tahapan dan metoda yang
meliputi :
1. Penelitian Pendahuluan.
2. Penelitian Lapangan.
13

3. Tahap pengolahan data.


4. Tahap Penyusunan laporan.
5. Hasil Penelitian.

1.5.1. Penelitian Pendahuluan


Penelitian pendahuluan meliputi studi pustaka yang dilakukan berdasarkan pada publikasi
dari penelitian-penelitian ahli geologi terdahulu yang dipublikasikan dan terkait dengan geologi
regional daerah penelitian, sedangkan studi literatur dilakukan terhadap hal - hal yang terkait
dengan pemahaman konsep geologi yang mendukung judul penelitian guna menyelesaikan
permasalahan permasalahan yang bersifat mendasar. Studi pustaka dan literatur ini kemudian
dijadikan sebagai bahan acuan bagi penulis dalam pembuatan proposal.
Beberapa peneliti terdahulu yang pernah melakukan studi yang terkait dengan daerah
penelitian penulis secara lokal maupun secara regional yang dijadikan acuan penelitian, meliputi
:
a. Van Bemmelen (1949), mengelompokkan geologi regional Pulau jawa berdasarkan
fisiografi menjadi beberapa zona, salah satunya adalah Zona Pegunungan Selatan dimana
daerah penelitian penulis tercakup didalamnya.
b. Rahardjo ( 1977 ), Melakukan penelitian kemudian menyusun stratigrafi Pegunungan
Selatan secara lengkap meliputi aspek sedimentologi dan paleontologi dengan penekanan
untuk memperoleh kejelasan umur pembentukan dan lingkungan pengendapannya.
c. Martodjojo ( 1984 ), Merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari peneliti
sebelumnya dalam penyusunan stratigrafi Pegunungan Selatan.
d. Surono (1992), Melakukan penelitian kemudian menyusun stratigrafi Pegunungan Selatan
secara lengkap.
e. Samodra ( 1992 ), Melakukan penelitian kemudian menyusun stratigrafi Pegunungan
Selatan secara lengkap,terutama untuk Daerah Pacitan dan sekitarnya.

14

f. Surono, B. Toha, I. Sudarno, dan S. Wiryosujono ( 1992 ), Penyusunan Peta Geologi


Lembar Surakarta-Giritontro pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya
Manusia.
g. Gendut Hartono ( 2010 ),Melakukan Penelitian Peran Paleovolkanisme Dalam Tataan
Produk Batuan Gunung Api Tersier Di Gunung Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah
sebagai desertasinya untuk memperoleh gelar doktor.
1.5.2. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan secara umum dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pra-mapping dan
tahap pemetaan (mapping).

1.5.2.1. Tahap Pra-Mapping


Tahap pra-mapping berupa kegiatan observasi dan survey lapangan guna menentukan
lokasi dan luas daerah penelitian yang sesuai dengan topik judul yang akan diambil penulis, baik
sebagai secara studi umum (geologi) maupun untuk studi khusus (fasies). Setelah lokasi
penelitian didapatkan pada tahap ini juga dilakukan perijinan dan penyiapan peta dasar guna
memperlancar proses pelaksanaan tahapan kerja berikutnya.

1.5.2.2. Tahap Pemetaan (Mapping)


Tahap pemetaan berupa kegiatan pengumpulan data lapangan yaitu dengan melakukan
tahapan kerja yaitu :
1. Penentuan koordinat serta pengeplotan lokasi pengamatan pada peta topografi (Gambar 1.3).
2. Pengamatan dan deskripsi singkapan batuan ,pembuatan sketsa singkapan batuan serta
pengukuran kedudukan lapisan batuan guna mengetahui bagaimana aktifitas tektonik pada
daerah peneltian
3. Pengambilan foto singkapan,foto bentang alam dan sampel batuan guna melakukan
pengamatan pengamatan geomorfologi daerah penelitian
4. Melakukan pengukuran penampang stratigrafi terukur (profil).

15

Gambar 1.3. Peta topografi daerah penelitian(tanpa skala).

Dalam menunjang penelitian lapangan diatas beberapa alat dan perlengkapan yang
dipergunakan penulis dalam membantu pengambilan data di lapangan antara lain :
1. Peta dasar, berupa peta topografi dengan skala 1 : 20.000.
2. Palu geologi, berupa palu batuan sedimen.
3. Kompas geologi.
4. Lup dengan perbesaran 20X.
5. GPS (Global Positioning System).
6. Komparator batuan sedimen.
7. Plastik sampel ukuran 2 kg dan larutan HCl 0,1 N.
8. Meteran dengan ukuran 30 m.
9. Buku catatan lapangan.
10. Alat tulis.

16

1.5.3. Pengolahan Data


Tahap pengolahan data yaitu dengan melakukan penggabungan dari hasil studi pustaka
dan literatur yang dilakukan di studio dengan hasil pengamatan serta pengambilan data lapangan
yang didukung oleh analisis laboratorium, yang meliputi : analisa kemiringan lereng, analisis
granulometri, analisis paleontologi, analisis petrografi, analisis struktur geologi dan analisis
kandungan mineral.
Data-data lapangan berupa pengukuran penampang stratigrafi terukur (profil) dianalisis
berdasarkan aspek fasies batuan guna mengetahui lingkungan pengendapan berdasarkan
pendekatan model-model yang telah dibuat oleh beberapa ahli .

1.5.4. Penyusunan Laporan


Tahap akhir dari seluruh kegiatan penelitian yang telah dilakukan disajikan dalam bentuk
laporan dan peta yang merangkum semua permasalahan yang diangkat penulis beserta hasil
analisis guna menjawab permasalahan diatas (Gambar 1.4).

1.5.5 Hasil Penelitian


Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan inSatuan Batupasir geologi daerah penelitian
serta penjelasan mengenai studi khusus tentang Fasies Turbidit Satuan Batupasir Semilir
sehingga hasil akhir dari penelitian ini dapat dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

1.6 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari beberapa sudut pandang
yang dibagi menjadi dua manfaat penelitian yaitu :
1.

Manfaat Keilmuan.

2.

Manfaat Institusi.

1.6.1.Manfaat Keilmuan
Manfaat penelitian ini bagi bidang keilmuan adalah :

17

a. Menambah khazanah pengetahuan mengenai studi geologi dan fasies khususnya pada
Satuan Batupasir Semilir.
b. Memperkuat pemahaman mengenai penerapan aplikasi metoda geologi lapangan
yang riil dalam kaitannya dengan kerangka berfikir yang disesuaikan dengan konsep
konsep serta kaidah kaidah geologi yang berlaku.
c. Kemampuan untuk dapat mengintegrasikan antar data geologi, baik yang diperoleh di
lapangan maupun dari hasil analisis laboratorium.
1.6.2.Manfaat Institusi
Manfaat penelitian yang dilakukan penulis bagi pihak institusi berupa :
a. Melengkapi dan menambah hasil studi maupun data data yang belum terlengkapi
dari penelitian terdahulu, khususnya yang terkait dengan daerah penelitian penulis.
b. Memberikan masukan mengenai studi fasies turbidit khususnya pada Satuan
Batupasir Semilir.
c. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memajukan dunia pendidikan yang terkait
dengan ilmu kebumian, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta umumnya dan bagi
kemajuan bangsa dan negara pada khususnya.

18

Gambar 1.4. Diagram alir tahapan dan metode penelitian.

19

BAB 2
GEOLOGI PEGUNUNGAN SELATAN
2.1.

Fisiografi Pulau Jawa.


Wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur secara fisiografi dapat dikelompokkan

kedalam lima zona (Van Bemmelen, 1949), dari selatan ke utara (Gambar 2.1) :
1. Zona PegununganSelatan
2. Zona Solo
3. Zona Kendeng
4. Zona Randublatung
5. Zona Rembang
Zona fisiografi ini mencerminkan elemen struktur dari hasil penafsiran anomali
gayaberat di bagian utara Jawa Timur (Sutarso dan Suyitno, 1976). Elemen struktur
dengan anomali positif adalah Zona Kendeng dan Zona Rembang, sedangkan elemen
struktur anomali negatif adalah Depresi Semarang-Pati, Depresi Randublatung dan
depresi Kening-Solo. Struktur utama Jawa Tengah-Jawa Timur disamping arah barat
timur yang mengilruti zona tersebut, juga terdapat struktur yang berarah NE-SW
memotong disekitar batas Zona Rembang dan volkanik Muria.

Gambar 2.1.Fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (dikembangkan dari Van Bemmelen,
1949).

20

2.1.1 Zona Pegunungan Selatan


Daerah Pegunungan Selatan Jawa secara fisiografi termasuk ke dalam lajur
Pegunungan Selatan Jawa (Van Bemmelen, 1949), sedangkan secara tektonik regional
diperkirakan pada cekungan antar busur sampai busur volkanik. Daerah Pegunungan
Selatan yang membujur mulai dari Yogyakarta kearah timur, Wonosari, Wonogiri,
Pacitan menerus ke Daerah Malang selatan, terus ke Daerah Blambangan. Berdasarkan
pada letak yang berada di zona Pegunungan Selatan Jawa Timur, bentang alam yang
terdiri atas rangkaian pegunungan yang memanjang relatif barat - timur dan jenis
litologi penyusunnya yang didominasi oleh material material volkanikklastik, daerah
penelitian termasuk dalam zona Wonosari Plateau.
Zona Pegunungan Selatan Jawa terbentang dari wilayah Jawa Tengah, di selatan
Yogyakarta dengan tebal kurang lebih 55 km, hingga Jawa Timur, dengan lebar kurang
lebih 25 km, di selatan Blitar. Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran
Yogyakarta-Surakarta di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk
Gajahmungkur, Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat,
antara Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran Sungai Opak,
sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini
hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan mempunyai
lebar kurang lebih. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona
Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu.Subzona Wonosari
merupakan dataran tinggi ( 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona Pegunungan
Selatan, yaitu di Daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona
Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan
dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah Sungai Oyo
yang mengalir ke barat dan menyatu dengan Sungai Opak sebagai endapan permukaan di
daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya
adalah batugamping.
21

Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu
bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan
ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng (sink
holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai bawah
tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat hingga
Pacitan di sebelah timur.Zona Pegunungan Selatan pada umumnya merupakan blok yang
terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup
kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta,
sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan
merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu,
dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan
Popoh selain tersusun oleh batugamping

juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas

volkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van
Bemmelen,1949).
2.2

Tatanan Tektonik Pegunungan Selatan

Zona Pegunungan Selatan merupakan cekungan yang menunjang dengan arah relatif
barat timur mulai dari Parangtritis di bagian barat sampai Ujung Purwo di bagian Jawa Timur.
Perkembangan tektoniknya tidak lepas dari interaksi konvergen antara Lempeng Hindia
Australia dengan Lempeng Micro Sunda.
Mengenai Evolusi Tektonik Tersier Pulau Jawa (Prasetyadi ,2007),dijelaskan bahwa
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Busur Sunda yang mempunyai sejarah geodinamik
aktif, yang jika dirunut perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase tektonik
dimulai dari Kapur Akhir hingga sekarang yaitu :
1. Periode Kapur akhir Paleosen.
2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan) .
3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional Terbentuknya OAF) .
4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional Struktur Inversi ) .
5. Periode Miosen Tengah Miosen Akhir.

22

1. Periode Kapur Akhir Paleosen


Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng IndoAustralia ke arah timurlaut meng-hasilkan

subduksi dibawah Sunda Microplate

sepanjang suture Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase)
selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian horst (tinggian) dan graben
(rendahan).

Aktivitas magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut

Sumatra Jawa-Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc


basin) berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah.
Mendekati Kapur Akhir Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana,
mendekati zona subduksi Karangsambung-Meratus. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe,
1996). Basement bersifat kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi
Karangsambung-Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di Sumur
Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya
Sumur Taka Talu-1 menembus basement diorit. Docking atau merapatnya fragmen
mikro-kontinen pada bagian tepi timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi
Karangsambung-Meratus dan terangkatnya zona subduksi tersebut menghasilkan
Pegunungan Meratus (Gambar 2.2 A).

2. Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan)


Antara 54 jtl 45 jtl (Eosen), di wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi
lempeng ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke utara
India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama
setelah pembentukan anomali 19 atau 45 jtl. Berkurangnya secara mencolok gerak India
ke utara dan matinya Wharton Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak
pertama Benua India dengan zona subduksi di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya
tektonik regangan (extension tectonics) di sebagian besar wilayah Asia Tenggara yang
ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa
Timur, Barito, dan Kutai) dan endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift. Pelamparan
extension tectonics ini

berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang


23

telah ada sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen. Konfigurasi struktur basement


mempengaruhi arah cekungan syn-rift Paleogen di wilayah tepian tenggara Sundaland
(Sumatra, Jawa, dan Kalimantan Tenggara) (Gambar 2.2 B).
3. Periode Oligosen Tengah (Kompresional Terbentuknya OAF)
Sebagian besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak selaras
dengan satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah Karangsambung
batuan Oligosen diwakili oleh Formasi Totogan yang kontaknya dengan satuan batuan
lebih tua menunjukkan ada yang selaras dan tidakselaras. Di daerah Karangsambung
Selatan batas antara Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan sulit ditentukan dan
diperkirakan berangsur, sedangkan ke arah utara Formasi Totogan ada yang langsung
kontak secara tidak selaras dengan batuan dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah
Nanggulan kontak ketidakselarasan terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur
Eosen Akhir dengan satuan breksi volkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen
Tengah. Demikian pula di daerah Bayat, bagian atas Formasi Wungkal-Gamping yang
berumur Eosen Akhir, tanda-tanda ketidak selarasan ditunjukkan oleh terdapatnya
fragmen-fragmen batuan Eosen di sekuen bagian bawah Formasi Kebobutak yang
berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di Nanggulan dan Bayat merupakan
ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh deformasi tektonik yang sama yang
menyebabkan terdeformasinya Formasi Karangsambung. Akibat deformasi ini di daerah
Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati karena endapan Eosen Formasi Ngimbang
disini pada umumnya selaras dengan endapan Oligosen Formasi Kujung. Deformasi ini
kemungkinan juga berkaitan dengan pergerakan ke utara Benua Australia.

Ketika

Wharton Ridge masih aktif Benua Australia bergerak ke utara sangat lambat. Setelah
matinya pusat pemekaran Wharton pada 45 jt, India dan Australia berada pada satu
lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke utara
menjadi lebih cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya
kecepatan ini meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng Samudera Hindia di
Palung Jawa dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar yang

24

keberadaannya diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga terjadi efek


kompresional di daerah Karangsambung yang mengakibatkan terdeformasinya Formasi
Karangsambung serta terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping di
Bayat. Meningkatnya laju pergerakan ke utara Benua Australia diperkirakan masih
berlangsung sampai Oligosen Tengah. Peristiwa ini memicu aktifitas volkanisme yang
kemungkinan berkaitan erat dengan munculnya zona gunungapi utama di bagian selatan
Jawa (OAF=Old Andesite Formation) yang sekarang dikenal sebagai Zona Pegunungan
Selatan. Aktifitas volkanisme ini tidak menjangkau wilayah Jawa bagian utara dimana
pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di daerah ini (Gambar 2.2 C).
4. Periode Oligo-Miosen (Kompresional Struktur Inversi )
Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan
Australia berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard collision)
antara India dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya. Akibatnya laju
penunjaman Lempeng Samudera Hindia di palung Sunda juga berkurang secara drastis.
Hard collision India menyebabkan efek maksimal tektonik ekstrusi sehingga berkembang
fase kompresi di wilayah Asia Tenggara. Fase kompresi ini menginversi sebagian besar
endapan syn-rift Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben
RMKS menjadi zona Sesar RMKS. Di selatan Jawa, kegiatan volkanik Oligosen menjadi
tidak aktif dan mengalami pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai dengan pengendapan karbonat besar-besaran seperti Formasi Wonosari di Jawa Tengah dan Formasi
Punung di Jawa Timur. Sedangkan di bagian utara dengan aktifnya inversi berkembang
endapan syn-inversi formasi-formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona Kendeng.
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Indian
menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah busur depan Sumatra dan Jawa.
Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-selatan yang
dominan sepanjang sesar-sesar turun (horst dan graben) utara-selatan yang telah ada.

25

5. Periode Miosen Tengah Miosen Akhir


Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut

menghasilkan mekanisme

transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit dibagian


yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur Jawa Timur,
bagian basement

dominan berarah timur-barat, sebagaimana secara khusus dapat

diamati dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng dan juga Dalaman Madura.Bagian
basement berarah Timur Barat merupakan bagian dari fragmen benua yang mengalasi
dan sebelumnya tertransport dari selatan dan bertubrukan dengan Sundaland sepanjang
Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik kompresi karena subduksi ke arah utara telah
mengubah sesar basement Barat Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam
perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994). Kenaikan muka air laut
selama periode ini, menghasilkan pengendapan sedimen klastik di daerah rendahan, dan
sembulan karbonat (carbonate buildup) pada tinggian yang membatasinya.

26

Gambar 2.2. Rekonstruksi perkembangan tektonik Pulau Jawa (Prasetyadi,2007),dengan penjelasan sebagai berikut :
A. Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai pada Kapur Paleosen.
B .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai pada Eosen Tengah.
C .Rekontruksi skematik perkembangan tektonik Pulau Jawa dimulai pada Oligosen Tengah.

20

2.3

Stratigrafi Pegunungan Selatan


Penamaan

satuan

litostratigrafi

Pegunungan

Selatan

telah

dikemukakan oleh beberapa peneliti terdahulu tetapi dalam susunan


stratigrafi tiap tiap formasi yang ada pada Daerah Pegunungan Selatan
khususnya pada Daerah Semin penulis mengacu pada susunan Stratigrafi
Pegunungan Selatan yang dibuat oleh Surono pada tahun 1992 karena dirasa
sesuai dengan keadaan tiap formasi tersebut pada lokasi penelitian yang
digambarkan pada kolom stratigrafi berikut (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah dan penarikan umur
absolut menurut peneliti terdahulu (Surono, et al. 1992).

26

Dari kolom stratigrafi diatas (Gambar 2.3) dapat dijelaskan urutan


serta hubungan stratigrafi Pegunungan Selatan adalah sebagai berikut :
Batuan dasar berupa batuan malihan.Basement berupa batuan malihan ini
didominasi oleh hadirnya Kelompok batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo,
Bayat secara umum terdiri dari filit, sekis dan marmer .Filit merupakan
litologi yang dominan dijumpai, baik di daerah Jiwo Timur dan Jiwo Barat, di
lokasi-lokasi Gunung Konang, Gunung Semangu, Gunung Merak, Gunung
Kebo, Gunung Budo, dan Gunung Sari. Sebagian besar singkapan filit dalam
keadaan lapuk; hanya sedikit singkapan filit yang segar Selain filit batuan
metamorf yang merupakan batuan Pra-Tersier lainnya yaitu sekis.Singkapan
sekis dijumpai setempat-setempat, seperti di Jiwo Timur dijumpai di bagian
barat G.Jokotuo, G.Konang, G. Semangu, dan lereng tenggara Gunung
Pendul, sedangkan di Jiwo Barat lereng selatan G. Merak. Di lokasi sekis ini
terdapat sebagai fragmen dalam batulempung Eosen Formasi WungkalGamping. Juga terdapat marmer sebagai kelompok dari batuan malihan yang
singkapannya terdapat di daerah Jokotuo dan lereng utara Gunung Jabalkat.
Terdapat menyisip di dalam filit, singkapan marmer ini memiliki sebaran
tidak terlalu luas dan terpotong oleh sesar seperti yang terdapat di daerah
Jokotuo.
Umur batuan Pra-Tersier di daerah Perbukitan Jiwo, Bayat
diinterpretasikan berdasarkan kontak ketidakselarasan dengan batuan Eosen
yang menumpang di atasnya.

Formasi Wungkal dan Formasi Gamping. Formasi Wungkal dicirikan oleh


kalkarenit dengan sisipan batupasir dan batulempung, sedangkan Formasi
Gamping dicirikan oleh kalkarenit dan batupasir tufaan. Di Daerah Gamping
(sebelah barat Kota Yogyakata, sebagai tipe lokasi), Formasi Gamping ini
dicirikan

oleh

terumbu.Beberapa

batugamping
peneliti

yang

berasosiasi

menafsirkan

sebagai

dengan

gamping

ketidakselarasan

(Sumosusastro, 1956 dan Marks, 1957) dan peneliti lainnya menafsirkan


hubungan kedua formasi tersebut selaras (Bothe, 1929, Sumarso dan
27

Ismoyowati, 1975). Surono et al (1989) menyebutnya sebagai Formasi


GampingWungkal yang merupakan satu formasi yang tidak terpisahkan.
Namun demikian semua para peneliti tersebut sepakat bahwa kedua formasi
tersebut berumur Eosen Tengah-Eosen Atas.Di atas Formasi Wungkal dan
Formasi Gamping ditutupi secara tidakselaras oleh sedimen volkanoklastik
yang dikelompokkan sebagai : Formasi Kebo, Formasi Butak, Formasi
Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.

Formasi Kebo, terdiri dari perselingan konglomerat, batupasir tufaan, serpih


dan lanau. Di beberapa tempat dijumpai adanya lava bantal dan intrusi diorit.
Ketebalan formasi ini sekitar 800 meter dan diendapkan di lingkungan laut,
dan pada umumnya memperlihatkan endapan aliran gravitasi (gravity-flow
deposits).

Formasi Butak, lokasi tipe formasi ini terdapat di Gunung Butak yang
terletak di Sub-zona Baturagung. Formasi ini tersusun oleh litologi breksi,
batupasir tufaan, konglomerat batuapung, batulempung dan serpih yang
memperlihatkan perselingan, dan menunjukkan ciri endapan aliran gravitasi
di lingkungan laut. Formasi ini berumur Oligosen.Ciri Formasi Kebo dan
Formasi Butak di beberapa tempat tidak begitu nyata sehingga, pada
umumnya beberapa peneliti menyebutnya sebagai Formasi Kebo-Butak yang
berumur Oligosen Atas (N1-N3).

Formasi Mandalika.
Tipe lokasi formasi ini terdapat di Desa Mandalika. Formasi ini memiliki
ketebalan antara 80-200 m. Formasi ini tersusun oleh lava andesitik-basaltik,
porfiri, petite, rhyolite dan dasit; dasit, lava andesitik, tuff dasit dengan
dioritik dyke; lava andesitic basaltic trachytik dasitik dan breksia andesitic
yang ter-prophyliti-kan; andesite, dasit, breksia volkanik, gamping kristalin;
breksia, lava, tuff, dengan interkalasi dari batupasir dan batulanau yang
memperlihatkan cirri endapan darat. Satuan ini beda fasies menjari dengan
Anggota Tuff dari Formasi Kebobutak.
28

Formasi Semilir. Formasi ini tersingkap baik di Gunung Semilir di sekitar


Baturagung, terdiri dari perselingan tufa, tufa lapili, batupasir tufaan,
batulempung, serpih dan batulanau dengan sisipan breksi, sebagai endapan
aliran gravitasi di lingkungan laut dalam. Formasi ini berumur Oligosen Awal
(N1-N2).

Formasi Nglanggran. Lokasi tipenya adalah di Desa Nglanggran. Formasi


ini terdiri dari breksi dengan sisipan batupasir tufaan, yang memperlihatkan
sebagai endapan aliran gravitasi pada lingkungan laut. Formasi ini berumur
Oligosen Akhir (N3). Formasi Nglanggran, pada umumnya selaras di atas
Formasi Semilir, akan tetapi di tempat-tempat lainnya, kedua formasi tersebut
saling bersilangjari (Surono, 1989).

Formasi Sambipitu. Lokasi tipenya terdapat di Desa Sambipitu. Formasi ini


tersusun oleh perselingan antara batupasir tufaan, serpih dan batulanau, yang
memperlihatkan ciri endapan turbidit. Di bagian atas sering dijumpai adanya
struktur slump skala besar. Satuan ini selaras di atas Formasi Nglanggran, dan
merupakan endapan lingkungan laut pada Miosen Awal bagian tengah
Miosen awal bagian akhir (N6 - N8).

Formasi Oyo. Formasi ini tersingkap baik di Kali Oyo sebagai lokasi
tipenya, terdiri dari perselingan batugamping bioklastik, kalkarenit,
batugamping pasiran dan napal dengan sisipan konglomerat batugamping.
Satuan ini diendapkan pada lingkungan paparan dangkal pada Miosen Tengah
(N10-N12).

Formasi Wonosari. Formasi ini tersingkap baik di Daerah Wonosari dan


sekitarnya, membentuk morfologi karts, terdiri dari batugamping terumbu,
batugamping bioklastik berlapis dan napal. Satuan batuan ini merupakan
endapan karbonat paparan (carbonate plateform) pada Miosen Tengah hingga
Miosen Akhir (N9-N18). Formasi Wonosari ini mempunyai hubungan selaras
29

di atas Formasi Oyo, akan tetapi di beberapa tempat, bagian bawah formasi
ini saling berhubungan silang jari dengan Formasi Oyo.

Formasi Kepek. Lokasi tipenya terdapat di Kali Kepek, tersusun oleh


batugamping dan napal dengan ketebalan mencapai 200 meter. Litologi
satuan ini nenunjukkan ciri endapan paparan laut dangkal dan merupakan
bagian dari sistem endapan karbonat paparan pada umur Miosen Akhir (N15N18). Formasi ini mempunyai hubungan silang jari dengan satuan
batugamping terumbu Formasi Wonosari. Di atas batuan karbonat tersebut,
secara tidakselaras terdapat satuan batulempung hitam, dengan ketebalan 10
meter. Satuan ini menunjukkan ciri sebagai endapan danau di Daerah
Baturetno pada waktu Plistosen. Selain itu, Daerah setempat terdapat laterit
berwarna merah sampai coklat kemerahan sebagai endapan terrarosa, yang
pada umumnya menempati uvala pada morfologi karst. Di lokasi lainnya,
hubungan antara sedimen volkanoklastik dan sedimen karbonat tersebut
berubah secara berangsur (Surono et al, 1989).

30

BAB 3
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.1.

Geomorfologi
Pengertian geomorfologi adalah studi yang menguraikan bentuk lahan dan

proses yang mempengaruhi pembentukannya serta menyelidiki hubungan timbal


balik antara bentuk lahan dengan proses dalam tatanan keruangan (Van Zuidam,
1979).
Dalam pembagian satuan geomorfologi daerah telitian penulis mengacu pada
klasifikasi morfologi menurut Van Zuidam, (1983).

3.1.1. Dasar Pembagian Bentuk Lahan


Dalam pembagian bentuk lahan penulis juga memperhatikan faktor - faktor
yang mempengaruhi proses pembentukan bentang alam suatu daerah yang terdiri
dari:
a. Morfologi: studi bentuk lahan yang mempelajari relief secara umum,
meliputi:
-

Morfografi adalah susunan dari obyek alami yang ada di permukaan


bumi, bersifat pemerian atau deskriptif suatu bentuk lahan, antara lain
lembah, bukit, perbukitan, dataran, pegunungan, teras sungai, beting
pantai, kipas aluvial, plato dan lain-lain.

Morfometri adalah aspek kuantitatif dari suatu aspek bentuk lahan, antara
lain kelerengan, bentuk lereng, panjang lereng, ketinggian, beda tinggi,
bentuk lembah dan pola pengaliran. Dalam analisa kelerengan dapat
diukur besaran kelerengan dengan rumus sebagai (klasifikasi kemiringan
lereng,lihat tabel 3.1) berikut:

31

Tabel 3.1. Pembangian klasifikasi kelerengan menurut Van Zuidam, (1979).

b. Morfogenesa: asal usul pembentukan dan perkembangan bentuk lahan serta


proses-proses geomorfologi yang terjadi, dalam hal ini adalah struktur
geologi, litologi penyusun dan proses dan proses geomorfologi. Morfogenesa
meliputi:
-

Morfostruktur aktif, berupa tenaga endogen seperti pengangkatan,


perlipatan dan pensesaran. Dengan kata lain, bentuk lahan yang berkaitan
erat dengan hasil gaya endogen yang dinamis termasuk gunung api,
tektonik (lipatan dan sesar), misal : gunungapi, pegunungan antiklin dan
gawir sesar.

32

Morfostruktur pasif, bentuk lahan yang diklasifikasikan berdasarkan tipe


batuan maupun struktur batuan yang ada kaitannya dengan denudasi
misalnya messa, cuesta, hogback dan kubah.

Morfodinamik, berupa tenaga eksogen yang berhubungan dengan tenaga


air, es, gerakan masa dan kegunungapian. Dengan kata lain, bentuk lahan
yang berkaitan erat dengan hasil kerja gaya eksogen (air, es, angin dan
gerakan tanah), misal gumuk pasir, undak sungai, pematang pantai dan
lahan kritis.

Secara garis besar susunan pembuatan peta geomorfologi berdasarkan aspek


geomorfologi yang telah ada dapat dijelaskan dalam bagan alir penentuan satuan
geomorfik berikut ini ( Gambar 3.1) :

Gambar 3.1. Bagan alir penentuan satuan geomorfik.

33

3.1.2. Pola Pengaliran Daerah Penelitian


Pola pengaliran adalah kumpulan jalur-jalur pengaliran hingga bagian
terkecilnya pada batuan yang mengalami pelapukan atau tidak, ditempati oleh sungai
secara permanen. (Arthur Davis Howard, 1966).
Berdasarkan sifat alirannya sungai di daerah telitian termasuk dalam sungai
eksternal, yakni aliran air yang berada dipermukaan yang membentuk sungai
maupun danau, kemudian berdasarkan genesanya pada derah telitian tergolong
sebagai sungai dengan aliran subsekuen, yaitu sungai yang mengalir sepanjang jurus
perlapisan batuan dan membentuk lembah sepanjang daerah lunak, seperti pada
Sungai Gebang,Sungai Oyo.
Berdasarkan klasifikasi Arthur Davis Howard, (1966), maka di daerah
penelitian terdapat dua jenis pola pengaliran, yaitu :
1. Pola pengaliran subdendritik .
2. Pola pengaliran paralel

3.1.2.1 Pola pengaliran subdendritik .


Pola pengaliran subdendritik (Gambar 3.2) merupakan perkembangan dari
pola dasar dendritik, karena pengaruh dari topografi yang memiliki kemiringan
lereng antara landai hingga miring dan resistensi batuan dan tanah yang relatif
seragam, sehingga dihasilkan bentukan pola pengaliran menyerupai cabang pohon,
kemudian

faktor pengontrol berupa struktur juga mempengaruhi, namun tidak

dominan.

Gambar 3.2. Pola pengaliran ubahan subdendritik (A.D. Howard,1966)

34

Pola pengaliran subdendritik ini mencakup 60 % daerah penelitian yaitu


pada bagian barat meliputi beberapa desa antara lain Desa Candirejo ,Desa Ngadipiro
lor ,Desa Ngadipiri Kidul,Desa Rejosari dan Desa Pugeran.

3.1.2.2 Pola pengaliran parallel .


Selain pola subdendritik juga terdapat pola aliran parallel (Gambar 3.3), yang
merupakan rangkaian bentuk aliran yang memperlihatkan keseragaman kemiringan
lereng pada daerah telitian. Perkembangan pola pengaliran paralel pada daerah
telitian dipengaruhi oleh faktor topografi dengan kemiringan lereng yang besar,
sehingga air bergerak cukup cepat sepanjang batuan yang berbeda resistensinya, dan
sudut yang dibentuk antara anak sungai dan sungai utama umumnya hampir sama
juga karena pengaruh oleh kemiringan lereng yang seragam dikarenakan adanya
pengaruh struktur seperti homoklin yang mengakibatkan bentukan lapisan yang
miring.

Gambar 3.3. Pola pengaliran ubahan paralel (A.D. Howard,1966)

Pola pengaliran subdendritik ini mencakup 40 % daerah penelitian yaitu pada


bagian timur meliputi beberapa desa antara lain Desa Kaligayam Lor ,Desa
Kaligayam Kidul ,Desa Pagutan,Desa Kepuh Sari.
Untuk pembagian jenis pola pengaliran pada daerah Penelitian dapat dilihat pada
peta pola pengaliran daerah telitian (Gambar 3.4).

35

Gambar 3.4. Peta pola pengaliran daerah tenelitian dimana SD : Pola Pengaliran Sub
Dendritik dan P : Pola pengaliran Parallel.

3.1.3. Stadia Erosi Daerah Penelitian


Secara genetik pembentukan stadia erosi dipengaruhi oleh faktor iklim, relief
(kelerengan), sifat resistensi batuan , siklus fluviatil, serta proses denudasional yang
berlangsung. Perubahan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan topografi yang
akhirnya membentuk topografi seperti sekarang .Proses pengerosian pada daerah
penelitian diinterpretasikan sedang, dibuktikan dengan masih adanya punggungan
dan masih adanya perbukitan dengan lereng yang curam, kemudian bentuk lembah di
daerah penelitian berbentuk U,selain itu pada daerah telitian juga ditemukan
banyak percabangan sungai berukuran kecil , selain percabangan sungai kecil ,sungai
besar juga terdapat pada daerah penelitian (Gambar 3.4) seperti pada Sungai Oyo
dengan lebar sungai sekitar 50 M.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka dapat disimpulkan bahwa stadia daerah
penelitian adalah stadia dewasa (Foto 3.1).

36

Foto 3.1. Foto udara daerah telitian.

37

3.1.4. Geomorfologi Daerah Penelitian


Pada hasil pengamatan daerah telitian dan interpretasi peta lembar Surakarta
dari peneliti terdahulu S. Asikin, bahwa daerah telitian merupakan sayap antiklin
bagian selatan. Hal ini tercermin dari kedudukan lapisan yang relatif ke arah selatan
(homoklin). Ini mengindikasikan bahwa geomorfologi daerah telitian dikontrol oleh
proses struktur geologi. Hasil dari proses struktur geologi ini adalah adanya
perbukitan serta lembah homoklin. Proses erosi yang intensif membentuk, bukit dan
sungai yang berbentuk U, dengan morfologi yang hampir datar. Hubungan dengan
litologi daerah telitian bahwa daerah yang relatif menonjol atau curam mempunyai
intensitas tingkat resistensi yang lebih kuat daripada daerah yang mempunyai
tingkatan resistensi batuan yang tidak kuat yang ada di daerah yang lebih landai dan
datar. Melihat dari fakta dan data ada bahwa daerah telitian ini dapat dikategorikan
sebagai stadia geomorfik tingkat dewasa yang dikontrol oleh kemiringan
lereng,resistensi batuan dan struktur geologi yang mempengaruhinya.
Berdasarkan aspek-aspek geomorfologi tersebut dengan disertai klasifikasi
menurut Van Zuidam, (1983), maka bentuk lahan pada daerah penelitian dapat
diklasifikasikan menjadi 3 satuan geomorfik (Lihat lampiran Peta Geomorfologi)
yaitu :
1.

Satuan Geomorfik Bentukan Asal Struktural


1.1 Subsatuan Geomorfik Cuesta (S13)
1.2 Subsatuan Geomorfik Perbukitan Struktural sesar (S21)

2.

Satuan Geomorfik Bentukan Asal Fluvial


2.1 Subsatuan Geomorfik Tubuh Sungai (F2)

3.

Satuan Geomorfik Bentukan Asal Denudasional


3.1 Subsatuan Geomorfik perbukitan terkikis (D1)

38

3.1.4.1. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Struktural


Bentukan asal struktural pada hal ini merupakan bentukan morfologi suatu
daerah yang memiliki suatu bentukan yang khas yang sangat dipengaruhi oleh
aktifitas struktur geologi yang berkembang pada daerah tersebut yang berasal dari
tenaga endogen sehingga menghasilkan bentukan morfologi tertentu.Pada daerah
telitian struktur geologi sangat mempengaruhi pembentukan morfologi,dimana dapat
diketahui bahwa struktur geologi

yang mengontrol pada daerah telitian,

yaitu

berupa struktur yang terpengaruh oleh proses pemiringan atau tilting yang terjadi
karena daerah telitian merupakan sayap selatan antiklin yang kemudian patah dengan
sejumlah step Fault dan Flexure yang kemudian membentuk blok blok sesar
antithetic.
Bentukan asal struktural pada daerah telitian terbagi menjadi 2 subsatuan
geomorfik yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
3.1.4.1.1.Subsatuan Geomorfik Cuesta (S13)
Subsatuan goemorfik ini merupakan bentukan morfologi suatu dataran yang
terletak pada daerah tinggian dimana memiliki kemiringan lerengnya tidak sama
sebagai akibat dari kedudukan lapisan-lapisan batuan pembentuknya yang landai.
(Foto 3.2).Bentukan morfologi ini tersebar di bagian barat laut dan diterdapat juga
pada bagian timur dengan kemiringan lereng miring (8-13%) dan menempati sekitar
30% daerah telitian.Batuan penyusun morfologi ini berupa Satuan Batugamping
Wonosari serta memiliki pola pengalira subdendritik.

Foto 3.2. Kenampakan subsatuan geomorfik Cuesta (S13), foto diambil pada Daerah
Pucung.Koordinat X:472532 ; Y:9133590.Arah kamera N285E, cuaca cerah.
39

3.1.3.4.2 Subsatuan Geomorfik Perbukitan Struktural Sesar (S21)


Subsatuan geomorfik perbukitan zona sesar (Foto 3.3 dan 3.4 ) menempati
50% dari seluruh daerah penelitian dengan relief perbukitan yang bergelombang dari
utara ke selatan, dengan topografi berbukit dengan kemiringan lereng agak curam
(14-20%), lereng searah, mempunyai pola kontur yang rapat, mempunyai kisaran
elevasi 225337 m dpal, dengan komposisi lithologi terdari dari Batupasir volkanik
dengan sisipan Batulempung yang memiliki kemiringan lapisan kearah selatan pula.
Subsatuan geomorfik ini miliki pola pengaliran subdendritk dan paralel yang
meunjukan arah kemiringan lereng yang relatif seragam,alasan mengapa daerah ini
termasuk dalam subsatuan geomorfik perbukitan zona sesar dikarenakan banyaknya
ditemukan tanda tanda adanya zona sesar yang berarah utara selatan pada daerah
ini,yang ditunjukan dengan keadaan morfologi seperti adanya penyimpangan arah
aliran sungai serta adanya kedudukan lapisan batuan yang tidak beraturan pada
daerah telitian ini.

40

Foto 3.3.Kenampakan subsatuan geomorfik perbukitan Struktural Sesar (S21), foto diambil pada Daerah Kepuh, Desa Kepuh. Koordinat X:475543 ;
Y:9132000.Arah kamera N285E, cuaca mendung.

Foto 3.4.Kenampakan subsatuan geomorfik perbukitan Struktural Sesar (S21), foto diambil pada Daerah Sempu, Desa Sempu kidul. Koordinat
X:475132 ; Y:9132987.Arah kamera N075E, cuaca cerah.
36

3.1.4.2. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Fluvial


Satuan geomorfik bentukan asal fluvial ini dikontrol oleh adanya proses
pengerosian, sehingga dengan adanya proses erosi, maka akan dihasilkan bentukan
morfologi yang mencirikan adanya proses erosi yang bekerja pada daerah tersebut
seperti adanya tubuh sungai yang berukuran besar pada daerah telitian serta adanya
dataran banjir di yang terbentuk akibat banyaknya material erosi yang tertransport dan
mengendap pada sisi tubuh sungai utama.
3.1.4.2.1. Subsatuan Geomorfik Tubuh Sungai (F2)
Subsatuan geomorfik tubuh sungai, menempati luasan 5% dari seluruh daerah
penelitian, merupakan tubuh sungai pada Sungai oyo yang terletak di daerah Selatan
lokasi penelitian lebar sungai mencapai lebih dari 50 meter (Foto 3.5), mengalir dari
arah barat ke timur daerah penelitian Bentuk tubuh sungai relatif berkelok-kelok
(meandering) yang merupakan bedrock stream yaitu sungai yang mengalir diatas batuan
penyusunnya dengan genesa pembentukannya termasuk pada sungai subsekuen, yaitu
sungai yang mengalir sepanjang jurus perlapisan batuan, mempunyai elevasi kurang dari
150 mdpl.

Foto 3.5. Kenampakan subsatuan geomorfik tubuh sungai (F2), foto diambil pada Daerah
Payaman,memperlihatkan tubuh sungai kali Oyo. Koordinat X:475338 ;
Y:9131009.Arah kamera N297E, cuaca cerah.

3.1.4.2.2. Subsatuan Geomorfik Dataran Banjir (F7)


Subsatuan geomorfik dataran banjir yang menempati luasan 5% dari seluruh
daerah penelitian, relief berupa dataran, dengan kelerengan datar/hampir datar (0-2%) ,
mempunyai kisaran elevasi antara 175-200 mdpl. Sub satuan geomorfik ini tersusun dari
material lepas hasil erosi dan pelapukan dari batuan yang berukuran lempung, pasir,
kerikil, hingga bongkah yang terendapkan disekitar daerah aliran sungai utama.
Subsatuan geomorfik ini terletak di bagian selatan daerah penelitian yaitu pada daerah
sepanjang aliran sungai Oyo (Foto 3.6).

Foto 3.6.Kenampakan subsatuan geomorfik dataran banjir (F7), foto diambil pada Daerah
Payaman, Koordinat X:475338 ; Y:9131009.Arah kamera N297E, cuaca cerah.

3.1.4.3. Satuan Geomorfik Bentukan Asal Denudasional


Denudasi ( penelanjangan ) adalah Jumlah keseluruhan dari hasil proses
pengurangan permukaan lahan. Proses pengurangan permukaan lahan dapat berupa
proses pelapukan , gerakan tanah / batuan dan pengikisan . Sehingga untuk batuan yang
mempunyai resistensi tinggi akan memberikan relief yang lebih menonjol dibandingkan
dengan batuan yang mempunyai resistensi rendah. Satuan geomorfik denudasional
terdiri dari satu subsatuan geomorfik, yakni perbukitan terkikis. Pada satuan geomorfik
bentukan asal denudasional ini disusun oleh litologi Batupasir volkanik.
3.1.4.3.1. Subsatuan Geomorfik Perbukitan terkikis (D1)
Subsatuan geomorfik perbukitan terdenudasi bergelombang sedang menempati
luasan 10% dari seluruh daerah penelitian, dengan morfologi berupa perbukitan yang
bergelombang, dengan kemiringan lereng relatif sedang, yakni landai (3-7%) hingga
miring(8-13%), mempunyai kisaran elevasi antara 225-275,8mdpl. Bentuk lembah
relatif berbentuk U, pola pengaliran paralel. Subsatuan Perbukitan terkikis tersusun
dari litologi berupa Batupasir volkanik (Foto 3.7).

Foto 3.7.Kenampakan subsatuan geomorfik perbukitan terkikis (D1), foto diambil pada Daerah
Ngreco,. Koordinat X:476235 ; Y:9132473.Arah kamera N306E, cuaca cerah.

3.2

Stratigrafi Daerah Telitian


Berdasarkan pada pemetaan geologi permukaan yang telah dilakukan pada

daerah penelitian, terdapat 3 macam satuan batuan yang berumur dari Miosen awal
hingga Holosen, disebutkan dari tua hingga ke muda, yaitu:
1. Satuan Batupasir Semilir (Miosen Awal)
2. Satuan Batugamping Wonosari (Miosen Akhir-Pliosen Awal)
3. Satuan Pasir Lepas (Holosen)
Penamaan satuan batuan diatas, diambil berdasarkan dari kemiripan karakteristik
litologi, termasuk tekstur batuan, struktur sedimen, komposisi mineral, dan kandungan
fosil. Hubungan stratigrafi antara satuan batuan yang satu dengan yang lain berdasarkan
pada posisi stratigrafi dan bukti keadaan kontak satuan batuan di lapangan yang
ditemukan yakni adanya hubungan ketidakselarasan Angular unconformity dikarenakan
adanya perbedaan kemiringan lapisan batuan antara Satuan Batupasir Semilir dengan
Satauan Batugampig wonosari.
Kandungan fosil telah digunakan untuk mengetahui kisaran umur batuan.
Identifikasi lingkungan pengendapan berdasarkan beberapa aspek yaitu, fisik (tekstur
dan struktur sedimen), kimia (komposisi litologi), dan biologi (kandungan fosil).
Berdasarkan analisa umur batuan didapatkan perbedaan umur yang jauh antara Satuan
Batupasir Semilir dengan Satauan Batugampig wonosari dikarenakan adanya perbedaan
umur antara kedua satuan batuan tersebut yang sangat jauh.
Untuk satuan Batugamping Wonosari dengan Satuan pasir lepas juga terdapat
ketidakselarasan Angular Uconformity karena perbedaan umur yang jauh antara kedua
setaun batuan tersebut serta adanya perbedaan dari kemiringan lapisan batuan.

Sesuai dengan kaidah hukum superposisi maka stratigrafi tersebut dapat


dijelaskan melalui suatu kolom stratigrafi daerah pelitian seperti pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5. Stratigrafi daerah penelitian (penulis,2011).

3.2.1 Satuan Batupasir Semilir (Miosen Awal)


Litologi:
Secara spesifik, Satuan Batupasir Semilir pada daerah penelitian merupakan tipe
endapan volkanik klastik yang terendapkan melalui sistem turbidit pada lingkungan laut
dalam yaiutu kipas bawah laut,hal ini dikuatkan dengan hadirnya struktur-sturktur
penciri

arus

turbidit

tersebut

seperti

adanya

struktur

sedimen

slump,laminasi,convolut,load cast ,graded bedding ,juga adanya lapisan tipis


Batulempung dengan struktur laminasi. Berikut adalah beberapa jenis komposisi
penyusun Satuan Batupasir Semilir yang terdapat pada daerah telitian yaitu :
Ditemukan secara merata lapisan Batupasir volkanik dengan ukuran butir pasir
sangat halus hingga pasir kasar pada daerah telitian yang memiliki struktur sedimen
yang beragam sebagai penciri batuan yang terendapkan dengan arus turbidit diantaranya
adalah laminasi,convolut,load cast ,graded bedding dan dilain tempat didapatkan
struktur sedimen slump dengan komposisi berupa keterdapatan fragmen berupa tuff,juga
terdapat

bebrapa

mineral

dari

aktifitas

volkanik

lainnya

seperti

Kuarsa,Hornblende,Biotit dan Plagioklas,dimana memiliki kandungan semen berupa


semen silika dan untuk dibeberapa tempat ditemukan Batupasir volkanik dengan
komposisi semen karbonat yang menandakan adanya aktifitas perubahan muka air laut
di daerah telitian
Kemudian terdapat lapisan Batulempung berwarna coklat dengan struktur
laminasi dengan komposisi semen silika.Pada dasarnya kehadiran Batulempung pada
daerah telitian ini merupan suatu sisipan yang terdapat dalam lithologi Batupasir
volkanik ini,dimana ketebalan Batulempung ini hanyalah sekitar 15-20 cm yang
merupakan sedimentasi traksi yang mengendap secara perlahan pada fase terakhir dari
suatu aktifitas turbidit shingga membentuk lapisan tipis dengan struktur laminasi.

Selain lithologi diatas ,dibeberapa lokasi pengamatan lainnya juga ditemukan


adanya lapisan Batupasir krikilan yang memiliki ukuran butir dari pasir sedang hingga
krikil,dengan derajat pembundaran menyudut,terpilah buruk serta memiliki kemas
tertutup.Jenis lithologi ini memiliki komposisi fragmen batuan yang beragam
diantaranya,andesit,basalt,tuff,Batulempung,biasanya keterdapatan lithologi ini memiliki
kontak erosional dengan lapisan batuan dibawahnya yang menandakan adanya suatu
channel pada daerah telitian.
Pada dasarnya Satuan Batupasir Semilir ini memiliki arah kemiringan lapisan
yang seragam yaitu kearah selatan akan tetapi dibebera tempat ditemukan lapisan
dengan arah kemiringan yang berbeda yaitu ke arah barat hal ini dikarenakan adanya
pengaruh dari gejala struktur geologi pada daerah telitian yaitu adanya beberapa sesar
mendatara dengan arah utara selatan.
Berikut adalah salah satu kenampakan singkapan dari Satuan Batupasir Semilir
pada daera telitian ( Foto 3.8 ) serta beberapa macam struktur sedimen yang terdapat
pada Satuan Batupasir Semilir sebagai penciri aktifitas turbidit ( Foto 3.9 ).

Foto 3.8.Salah satu foto singkapan Satuan Batupasir Semilir pada daerah telitian,diambil dari
Desa Blembem dengan koordinat X : 0474516,Y : 9134301 arah kamera N
083E,cuaca cerah.

Foto 3.9. Beberapa foto perlapisan Satuan Batupasir Semilir yang memperlihatkan struktur
sedimen penciri mekanisme pengendapan turbidit yang diambil pada beberapa Lokasi
pengamatan .
A. Foto lapisan Batulempung dengan struktur sedimen laminasi pada Lp 71.
B. Foto lapisan Batupasir volkanik dengan struktur sedimen convolut pada Lp 71.
C. Foto lapisan Batupasir volkanik dengan stuktur sedimen cross bedding pada Lp24.
D. Foto lapisan Batupasir volkanik dengan struktu sedimen gradded bedding pada Lp 32.
E. Foto lapisan Batupasir volkanik dengan struktur sedimen current ripple pada Lp 45.
F. Foto lapisan Batupasir krikilan dengan struktur sedimen gradded bedding pada Lp 24.

Analisa Petrografi
Selain deskripsi batuan secara megaskopis di lapangan,juga dilakukan analisa
petrografi berupa deskripsi batuan secara mikroskopis dengan menggunakan sayatan
batuan pada beberapa sample Satuan Batupasir Semilir guna mengetahui jenis dan nama
batuan tersebut dalam kaitannya pada studi ini.
Secara keseluruhan analisa petrografi ini dilakukan pada enam sample Satuan
Batupasir Semilir.Berikut adalah beberapa contoh deskripsi secara mikroskopis sample
Satuan Batupasir Semilir dengan perbesaran mikroskop 40 kali (Foto 3.10 dan 3.11):

Pada analisa sample Lp 36 secara mikroskopis dijelaskan deskripsi batuan sebagai


berikut :
Sayatan Tipis batuan sedimen, tak berwarna - coklat, tekstur klastik, di dukung oleh
lumpur, UB : 0,1 1,5 mm, menyudut tanggung - membundar tanggung, terpilah buruk,
kemas terbuka, disusun oleh Mineral lumpur (50%),kuarsa (20%),litik tuff
(15%),feldspar(10%),mineral opak(3%).
Nama Batuan : Volkanic wacke (Gilbert,1954)
A

10

10

10

10
XPL

XPL
PPL

// - Nicol

0.5 mm

X Nicol

0.5 mm

Foto 3.10. Kenampakan sayatan tipis Batupasir Semilir nikol sejajar (kiri) dan nikol silang
(kanan) pada sample Lp 36.

Pada analisa sample Lp 57 secara mikroskopis dijelaskan deskripsi batuan sebagai


berikut :
Sayatan Tipis batuan sedimen, tak berwarna , tekstur klastik, di dukung oleh lumpur, UB
: 0,1 1,5 mm, menyudut tanggung - membundar tanggung, terpilah buruk,kemas
terbuka, disusun oleh Mineral lumpur (35%), kuarsa (25%),litik tuff (25%),feldspar
(12%), mineral opak (3%).
Nama Batuan : Volkanic wacke (Gilbert,1954)
A

10

10

10

10
XPL

XPL
PPL

// - Nicol

0.5 mm

X Nicol

0.5 mm

Foto 3.11. Kenampakan sayatan tipis Batupasir Semilir nikol sejajar (kiri) dan nikol silang
(kanan) pada sample Lp 57.

Secara keseluruhan hasil analisa petrografi dari enam sample Satuan Batupasir
Semilir ini menunjukan jenis batuan volkanic wacke (Gilbert,1954),hal ini sesuai dengan
mekanisme pengendapan Satuan Batupasir Semilir yang terendapkan secara turbidit
dalam arus traksi dengan kecepatan tinggi sehingga semua partikel sedimen becampur
menjadi satu dan menghasilkan batuan sedimen dengan fragmen yang mengambang
didalam matriks dan tidak bersentuhan antara fragmen yang satu dengan yang lainnya.

10

Penyebaran:
Tingginya aktifitas vulkanisme yang terjadi berkali-kali pada daerah telitian
menghasilkan tebalnya lapisan Satuan Batupasir Semilir ini dengan cakupan daerah
persebaran yang sangat luas.
Satuan Batupasir Semilir pada daerah penelitian menempati 80 % dari daerah
penelitian dan menghampar dari utara keselatan pada daerah penelitian yang meliputi
Beberapa Desa yaitu Desa Candirejo,Desa Ngasem,Desa Sentul,Desa Rejosari dan Desa
kepuhsari.Satuan Batupasir Semilir ini memiliki ketebalan sekitar 600 M pada daerah
telitian yang meliputi daerah tinggian maupaun daerah lembahan yang tampak melalui
penampang sayatan geologi (Lihat Lampiran Peta Geologi).
Umur:
Dari beberapa semple Batupasir volkanik telah diambil untuk dilakukan analisa
paleontologi mikro guna mendapatkan umur relatif unntuk Satuan Batupasir Semilir
yakni dilakukan pada sample batuan Lp 47 dan Lp 85 yang kemudian didapatkan
beberapa umur pada masing masing sample yang di ujicoba tersebut yaitu :

Pada prepararasi sample Lp 47 ditemukan beberapa fosil mikroplankton yaitu :


Catapsydrax

dissimilis,Globoquadrina

altispira,Globorotalia

siakensis,Orbulina

universa,Globorotalia kuglieri,Globigerina venezuelana,Globorotalia obesa,


Orbulina bilobata,Globigerina prabulloides.
Dari hasil analisis fosil mikroplankton pada sampel batuan Lp 47 tersebut didapatkan
kisaran umur Satuan Batupasir Volkanik Semilir tersebut adalah Miosen Awal ( N4-N5 )
menurut Blow,1969.

Pada prepararasi sample Lp 85 ditemukan beberapa fosil mikroplankton yaitu :


Hastigerina aequilaterdis,Globorotalia sikensis,Globoquadrina altispira,
Globigerina venezuelana,Orbulina billobata,Globigerinoides immaturus,

11

Catapsydrax stainforthi,Globigerinoides trilobus.


Dari hasil analisis fosil mikroplankton

pada sampel batuan Lp 85 tersebut

didapatkan kisaran umur Satuan Batupasir Semilir tersebut adalah Miosen Awal

N7 ) menurut Blow,1969.
Dari hasil analisa paleontologi mikro dari beberapa samle batuan diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa Satuan Batupasir Semilir memiliki kisaran umur relatif
Miosen Awal ( N4-N7 ) menurut Blow,1969.
Lingkungan Pengendapan:
Berdasarkan kenampakan lapangan dan hasil analisa beberapa penampang profil
(Lihat lampiran Penampang Profil) pada Satuan Batupasir Semilir yang didominasi oleh
Batupasir volkanik dengan sisipan Batulempung dibeberapa tempat menunjukan penciri
endapan turbidit pada lingkungan laut dalam. Hal ini juga diperkuat dengan data asosiasi
perubahan ketebalan, perubahan ukuran butir serta asosiasi kehadiran struktur sedimen
pada daerah telitian serta kehadiran struktur pada interval sekuen Bouma sering dijumpai
seperti erosional struktur dan gradded bedding (interval a, Foto 3.9 F), parallel bedding
(interval b), convolute (interval c,Foto 3.9 B), slump bedding, parallel lamination
(inteval d), pelagic mud berupa lempung masif dengan ketebalan 15-20 cm (interval e,
Foto 3.9 A) dan juga terdapat Batupasir kerikilan (Foto 3.9 F), asosiasi kehadiran
strukutur ini merupakan data yang memperkuat bahwa Satuan Batupasir Semilir
terendapkan dengan mekanisme pengendapan berupa arus turbidit pada lingkungan laut
dalam yakni pada kipas bawah laut.
Penentuan lingkungan pengendapan juga dilakukan berdasarkan kandungan fosil
foraminifera bentonik pada beberapa sample batuan yaitu pada Lp 47 dan Lp 85 yang
kemudian didapatkan beberapa lingkungan bathimetri pada masing masing sample
yang di ujicoba tersebut diantaranya :

12

Pada prepararasi sample Lp 47 ditemukan beberapa fosil benthos yaitu :


Orthomorphina ambiqua,Bolivina milida,lagena gracillina.
Dari hasil analisis fosil benthos pada sampel batuan Lp 47 tersebut didapatkan kisaran
lingkungan bathimetri terendapkannya Satuan Batupasir Semilir tersebut adalah pada
kedalaman bathial atas,menurut Barker,1960.

Pada prepararasi sample Lp 85 ditemukan beberapa fosil benthos yaitu :


Nummoloculina contraria,Lenticulina iota,Shiphomnoides echinata,
Pleurostomella rapa, Nomon pompilioides, Amphisteghina quoyii.
Dari hasil analisis fosil benthos pada sampel batuan Lp 85 tersebut didapatkan
kisaran lingkungan bathimetri terendapkannya Satuan Batupasir Semilir tersebut adalah
pada kedalaman bathial atas bathial bawah,menurut Barker,1960.
Berdasarkan hasil analisa data lapangan dan dari preparasi benthos pada
beberapa sampel yang diambil di Satuan Batupasir Volkanik Semilir, menunjukan
bahwa satuan batuan ini terendapkan pada fase yang relatif stabil yaitu pada kedalaman
Bathial atas Bathial bawah sesuai seperti penjelasan gambar berikut ini (Gambar 3.6).

Gambar 3.6. Lingkungan bathimetri terendapkannya Satuan Batupasir Semilir disesuaikan


dengan kipas bawah laut (Walker,1976).

13

3.2.2. Satuan Batugamping Wonosari ( Miosen Akhir Pliosen Awal ).


Litologi:
Pada

daerah

Satuan

Batugamping

Wonosari

ini

tersusun

oleh

Batugampingpasiran dengan ukuran butir lutite arenit berwarna putih dengan struktur
sedimen berupa perlapisan dengan tebal perlapisan sekitan 20-35 cm,memiliki
komposisi berupa Alochem : pecahan cangkang ,Mikrit : lumpur karbonat dan Sparit
kalsit (Foto 3.14).
Pada umumnya Satuan ini memiliki kemiringan lapisan yang relatif datar dan
seragam yakni berkisarr sekitar 5 10 dan merupakan endapan laut dangkal sebagai
penciri adanya perubahan kenaikan muka air laut pada daerah telitian.
Analisa Petrografi
Sama halnya pada Sample Satuan Batupasir Semilir,Pada sample Satuan
Batugamping Wonosari juga dilakukan analisa petrografi berupa deskripsi batuan secara
mikroskopis dengan menggunakan sayatan guna mengetahui jenis dan nama batuan
tersebut .
Secara keseluruhan analisa petrografi ini dilakukan pada dua sample Satuan
Batugamping Wonosari,berikut adalah beberapa contoh deskripsi secara mikroskopis
sample Satuan Batugamping Wonosari dengan perbesaran mikroskop 40 kali (Foto 3.12
dan 3.13):

Pada analisa sample Lp 89 secara mikroskopis dijelaskan deskripsi batuan sebagai


berikut :
Sayatan Tipis batuan sedimen, tak berwarna - coklat, tekstur klastik, di dukung oleh
butiran, disusun oleh pecahan fosil (93%),lumpur karbonat (7%).
Nama Batuan : Packstone (Dunham,1962).

14

7
8
9

10

10

10

10
XPL

XPL
PPL

// - Nicol

0.5 mm

X Nicol

0.5 mm

Foto 3.12. Kenampakan sayatan tipis Batugamping Wonosari nikol sejajar (kiri) dan nikol silang
(kanan) pada sample Lp 89.

Pada analisa sample Lp 95 secara mikroskopis dijelaskan deskripsi batuan sebagai


berikut :
Sayatan Tipis batuan sedimen, tak berwarna - coklat, tekstur klastik, di dukung oleh
butiran, disusun oleh pecahan fosil (92%), lumpur karbonat (8%).
Nama Batuan : Packstone (Dunham,1962).
A

10

10

10

10
XPL

XPL
PPL

// - Nicol

0.5 mm

X Nicol

0.5 mm

Foto 3.13. Kenampakan sayatan tipis Batugamping Wonosari nikol sejajar (kiri) dan nikol silang
(kanan) pada sample Lp 95.

15

Dari hasil analisa petrografi pada kedua sample Satuan Batugamping Wonosari
didapatkan penamaan mikroskopis adalah packstone (Dunham,1962),hal ini sesuai
dengan keadaan singkapan batugamping tersebut yang berupa perlapisan.
Yang menjelaskan bahwa Satuan Batugamping Wonosari yang ada pada daerah
penelitian terendapkan pada daerah flank atau limpahan erosional dari tubuh teurmbu
utama (core reef ).
Penyebaran:
Satuan Batugamping Wonosari ini tersebar meliputi + 20% pada daerah penelitian yakni
pada bagian barat laut daerah telitian yang meliputi beberapa Desa antara lain : Desa
Candi,Desa Klumpit dan Desa Sentul denganketebalan lapisan yang terlihat pada
sayatan geologi sekitar 150 M meliputi daerah tinggian bagian barat laut daerah telitian
(Lihat Lampiran Peta Geologi).

Foto 3.14. Salah satu foto singkapan kontak Satuan Batupasir Semilir dengan Satuan
Batugamping Wonosari pada daerah telitian,diambil dari Desa Ngrau dengan
koordinat X : 0472691,Y : 9133301 arah kamera N 239E,cuaca cerah.

16

Umur:
Dari beberapa semple batugamping telah diambil untuk dilakukan analisa
paleontologi mikro guna mendapatkan umur relatif untuk Satuan Batugamping
Wonosari yakni dilakukan pada sample batuan Lp 85 dan Lp 98 yang kemudian
didapatkan beberapa umur pada masing masing sample yang di ujicoba tersebut yaitu :

Pada prepararasi sample Lp 85 ditemukan beberapa fosil mikroplankton yaitu :


Globigerinoides primordius,Glibigerinoides immaturus,Globorotalia tumida,
Globigerina venezuelana,Globorotalia plesiotumida,Globoquadrina altispira,
Globorotalia pseudomiosenica,Orbulina universa,Globoquadrina dehischens.
Dari hasil analisis fosil mikroplankton pada sampel batuan Lp 85 tersebut didapatkan
kisaran umur Satuan Batugamping wonosari tersebut adalah Miosen Akhir Pliosen
Awal ( N18 ).

Pada prepararasi sample Lp 98 ditemukan beberapa fosil mikroplankton yaitu :


Orbulina unuversa,Globoquadrina altispira,Gloquuadrina dehischens,
Globigerina venezuelana,Globorotalia multicamerata,Globorotalia plesiotumida,
Orbulina billobata,globigerinoides trilobus.
Dari hasil analisis fosil mikroplankton pada sampel batuan Lp 98 tersebut didapatkan
kisaran umur Satuan Batugamping Wonosari tersebut adalah Miosen Akhir Pliosen
Awal ( N17-N18 ).
Dari hasil analisa paleontologi mikro dari beberapa samle batuan diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa Batugamping Wonosari memiliki kisaran umur relatif Miosen
Akhir Pliosen Awal ( N17-N18 ) menurut Blow,1969.

17

Lingkungan Pengendapan:
Berdasarkan kenampakan kondisi di lapangan bahwa keterdapatan suatu lapisan
batugamping dikarenakan adanya gejala kenaikan muka air laut,dan pada hakikatnya
batugamping hanya dapat terendapkan pada lingkungan kedalaman laut yakni neritik
hingga bathial atas.
Kemudian dilihat dari ukuran butiran dari Satuan Batugamping Wonosari yang
relatif berupa pasir halus pasir kasar mengidikasikan bahwa Satuan ini berada pada
lingkungan bathimetri yang tidak terlalu dalam yakni sekitar daerah neritik sehingga
masih dipengaruhi oleh perubahan pasang surut air laut,hal ini diperkuat dengan
ditemukannya lapisan Batugamping terumbu sebagai ciri khas Satuan Batugamping
Wonosari.
Dari semua kenampakan lapangan yang ada dapat dilihat bahwa Satuan
Batugamping wonosari ini terendapkan pada lingkungan tepi paparan atau daerah
carbonate platform.
Penentuan lingkungan pengendapan juga dilakukan berdasarkan kandungan fosil
foraminifera bentonik pada beberapa sample batuan yaitu pada Lp 85 dan Lp 98 yang
kemudian didapatkan beberapa lingkungan bathimetri pada masing masing sample
yang di ujicoba tersebut diantaranya :

Pada prepararasi sample Lp 85 ditemukan beberapa fosil benthos yaitu :


Echinoides echinata,Pyrgo laeris,Lagena gracillima,Fissurina,
Adclosina semistriata.
Dari hasil analisis fosil benthos pada sampel batuan Lp 85 tersebut didapatkan kisaran
lingkungan bathimetri terendapkannya Satuan Batugamping wonosari tersebut adalah
pada kedalaman neritik tengah neritik luar,menurut Barker,1960.

18

Pada prepararasi sample Lp 98 ditemukan beberapa fosil benthos yaitu :


Cibides praecinclus,Gyroidina scalata,Lagena gracillima,Fissurina brandii
Dari hasil analisis fosil benthos pada sampel batuan Lp 98 tersebut didapatkan kisaran
lingkungan bathimetri terendapkannya Satuan Batugamping Wonosari tersebut adalah
pada kedalaman neritik luar,menurut Barker,1960.
Berdasarkan hasil analisa data lapangan dan dari preparasi benthos pada
beberapa sampel yang diambil di Satuan Batugamping Wonosari, menunjukan bahwa
satuan batuan ini terendapkan pada fase kedalaman yang relatif stabil yaitu pada
kedalaman Neritik tengah Neritik luar sesuai seperti penjelasan gambar berikut ini
(Gambar 3.7).

Gambar 3.7. Lingkungan terendapkannya Satuan Batugamping Wonosari .

19

Hubungan Stratigrafi:
Hubungan stratigrafi antara Satuan Batugamping Wonosari dengan Satuan
Batupasir Semilir jika dilihat dari hasil analisa umur batuan melalui preparasi
paleontologi mikro maka akan didapatkan perbedaan umur yang sangat jauh berbeda
antara kedua satuan tersebut yakni Satuan Batupasir Semilir terendapkan pada kala
Miosen Awal sedangkan Satuan Batugamping wonosari terendapkan pada kala Miosen
akhir Pliosen Awal ,serta dilihat dari kedudukan kedua Satuan batuan tersebut
memperlihatkan adanya perbedaan sudut dip.perbedaan - perbedaan yang sangat
mencolok ini menunjukan adanya hubangan ketidakselarasan Angular Unconformity.
Kemungkinan hal ini desibabkan karena adanya pengaruh tektonik yang sangat
dominan pada setelah terendapkannya Satuan Batupasir Semilir yaitu pengangkatan
yang sangat jauh sehingga Lokasi terendapkannya Satuan Batupasir Semilir ini menjadi
suatu tinggian sehingga meterial sedimen yang akan terendapkan setelah terbentuknya
Satuan Batupasir Semilir tidak dapat terendapkan pada lokasi tinggian tersebut hingga
pada akhirnya terjadi kenaikan muka air laut besar-besaran pada kala Miosen hingga
mencapai daerah tinggian tempat terendapkannya Satuan Batupasir Semilir ini, yang
kemudian menyebabkan material sedimentasi laut dapat terendapkan diatas Satuan
Batupasir Semilir yang telah terbentuk lebih dahulu.

20

3.2.3 Satuan Pasir Lepas (Holosen)


Litologi:
Satuan Pasir Lepas ini merupakan endapan aluvial kuerter yang terdapat pada
daerah telitian yang merupakan material hasil pelapukan dari batuan yang telah ada
terlebih dahulu oleh karena itu satuan ini tersusun oleh material berukuran pasir halus
hingga sangat kasar juga dijumpai adanya material kerikil dan keseluruhan dari satuan
ini belum mengalami proses diagenesa seperti kompaksi sehingga masih berwujud
sebagai material lepas yang belum terkonsolidasi yang memiliki total ketebalan satuan
yaitu + 50M.
Penyebaran:
Untuk penyebaran dari satuan ini masih terbatas pada daerah aliran sungai pada
daerah telitian khususnya Sungai Oyo sebagai material dataran banjir karena masih
merupakan material lepas yang tertransport melalui media aliran sungai.
Umur:
Dari kenampakan lapangan yang ditemukan kenampakan satuan ini masih berupa
material lepas yang belum terkonsolidasi dan terdapat pada lapisan teratas pada daerah
telitian maka dapat disimpulkan bahwa material ini merupakan lapisan termuda dan
berumur Holosen.
Hubungan Stratigrafi:
Hubungan stratigrafi antara Satuan Batugamping Wonosari dengan Satuan Pasir
Lepas adalah adanya perbedaan umur pengendapan yang sangat jauh yakni Satuan
Batugampin Wonosari terendapkan Pada Miosen Akhir Pliosen Awal sedangkan
Satuan Pasir lepas terendapkan pada Holosen sehingga disimpulkan kedua satuan ini
memiliki hubungan ketidakselarasan Angular Unconformity dilihat juga dari perbedaan
kemiringan lapisan batuan yang ada.

21

3.3.

Struktur Geologi
Kompleks Pegunungan Selatan berupa sebuah blok yang miring ke arah

Samudera Indonesia (selatan), dimana pada bagian utaranya terdapat gawir-gawir


yang memanjang relatif barat-timur. Hal ini terjadi karena adanya evolusi tektonik
yang terjadi di Pulau Jawa pada zaman Kapur hingga sekarang sedangakan adanya
trend dengan arah relative barat laut tenggara dikarenakan adanya imbas tektonik dari
pola meratus.
Pembentukan struktur geologi daerah penelitian dimulai pada Miosen yang
ditandai dengan terbentuk sesar mendatar.
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian diidentifikasi
berdasarkan bukti langsung di lapangan berupa adanya beberapa sesar minor dan
dikombinasikan dengan interpretasi topografi apabila struktur yang ditunjukkan oleh
adanya kelurusan morfologi, kemudian ditemukan indikasi indikasi adanya lapisan
tegak, kelurusan kedudukan batuan yang berbeda diantara sekitarnya, hal tersebut
mengindikasikan bahwa adanya pengaruh struktur geologi yang mengontrol daerah
tersebut. Berdasarkan metode ini, ada beberapa daerah yang menjadi lokasi sebaran dari
sesar tersebut yang kemudian dilakukan penamaan sesar menurut klasifikasi Rickard,
1972 (Gambar 3.8).

22

Gambar 3.8 Diagram klasifikasi sesar menurut Rickard, 1972.

Keterangan gambar 3.8 :


1. Thrust Slip Fault

12. Lag Slip Fault

2. Reverse Slip Fault

13. Normal Slip Fault

3. Right Thrust Slip Fault

14. Left Lag Slip Fault

4. Thrust Right Slip Fault

15. Lag Left Slip Fault

5. Reverse Right Slip Fault

16. Normal Left Slip Fault

6. Right Reverse Slip Fault

17. Left Normal Slip Fault

7. Right Slip Fault

18. Left Slip Fault

8. Lag Right Slip Fault

19. Thrust Left Slip Fault

9. Right Lag Slip Fault

20. Left Thrust Slip Fault

10. Right Normal Slip Fault

21. Left Reverse Slip Fault

11. Normal Right Slip Fault

22. Reverse Left Slip Fault

23

3.3.1.

Struktur Sesar

3.3.1.1. Struktur Sesar Daerah Pagutan.


Berdasarkan hasil pengamatan keadaan lapangan diketahui dari data kedudukan
batuan yang ada ditemukan arah kedudukan batuan yang menunjukan suatu kelurusan
jurus berarah utara-selatan selain itu bukti lain tentang aktifitas tektonik pada daerah
telitian dijelaskan dengan ditemukan adannya kekar- kekar yang berpasangan pada
Daerah Pagutan , Daerah Ngrotorejo,juga pada daerah Kaligayam Kidul.Dari keadaan
tersebut sudah dapat disimpulkan bahwa pada daerah ini terdapat adanya aktifitas
tektonik berupa pergerakan sesar.
Dari hasil pengukuran kekar kekar yang ditemukan pada Daerah Kaligayam
Kidul didapatkan data kedudukan kekar yang kemudian akan dilakukan analisa struktur

untuk mengetahui jenis serta arah dari sesar tersebut.Berikut adalah data kedudukan
kekar pada Daerah Kaligayam Kidul:
Tabel 3.2 Kedudukan kekar pada Satuan Batupasir Semilir pada Daerah Kaligayam Kidul.

Strike
N 220E
N 222E
N 210E
N 253E
N 233E
N 235E
N 241E
N 220E
N 185E
N 184E
N 194E
N 236E
N 174E
N 185E
N 184E

Dip
54
83
85
75
84
76
77
70
75
85
80
76
73
83
54

24

Dari data kekar diatas kemudian dilakukan analisa diagram stereonet untuk
mengetahui jenis sesar yang ada pada daerah Kaligayam Kidul ini (Gambar 3.9).

Gambar 3.9 Diagram stereonet analisa kekar pada Daerah Kaligayam Kidul.

Gambar 3.10 Diagram blok sesar mendatar daerah telitian.

Dari hasil analisa stereonet pada kekar Daerah Pagutan ini didapatkan bidang
sesar dengan kedudukan N 170E/84 yang menjelaskan adanya sesar mendatar dextral
(Gambar 3.10) pada Daerah Pagutan ini atau menurut klasifikasi Rickard,1972 yakni
Right Slip Fault dengan besar sudut rake 8.

25

3.3.1.2. Struktur Sesar Rejosari.


Pada Daerah Rejosari ini juga ditemukan adannya kelurusan kedudukan batuan
yang merupakan indikasi dari adannya sesar pada daerah ini beraha utara-selatan,sama
halnya pada Daerah Pagutan ,pada Daerah Rejosari ini juga tidak ditemukan adanya
bidang sesar yang dapat menjelaskan secara langsung kenampakan dari kelurusan
kedudukan lapisan batuan yang ditemukan pada daerah ini,sebagai bukti lain yang
menunjukan adanya aktifitas tektonik pada daerah ini kembali ditemukan adannya
kenampakan kekar yang berpasangan yang mempunyai kedudukan sebagai berikut :
Tabel 3.3 Kedudukan kekar pada Satuan Batupasir Volkanik Semilir pada Daerah Rejosari.

Strike
N 247E
N 260E
N 210E
N 253E
N 250E
N 253E
N 241E
N 251E
N 185E
N 184E
N 194E
N 244E
N 181E
N 185E
N 184E

Dip
54
73
75
75
70
76
77
70
58
67
68
76
65
60
54

26

Dari data kekar diatas kemudian dilakukan analisa diagram stereonet untuk
mengetahui jenis sesar yang ada pada Daerah Rejosari ini (Gambar 3.11).

Gambar 3.11 Diagram stereonet analisa kekar pada Daerah Rejosari

Gambar 3.12 Diagram blok sesar mendatar turun kanan daerah telitian.

Dari hasil analisa stereonet pada kekar Daerah Rejosari ini didapatkan bidang
sesar dengan kedudukan N 162E/64 yang menjelaskan adanya sesar mendatar turun
kanan (Oblique) (Gambar 3.12) atau menurut klasifikasi Rickard,1972 yakni Normal
Right Slip Fault dengan besar sudut rake 12.

27

3.3.1.3. Struktur Sesar lainnya.


Selain dua daerah diatas juga terdapat beberapa tempat lainnya yang terdapat
adannya sesar mendatar kanan pada daerah telitian yakni pada Daerah Tegal Sari dan
Daerah Kepuh namun pada dua daerah ini tidak ditemukan adannya jejak jejak
keberadaan sesar tersebut seperti adannya kekar seperti pada beberapa tempat lainnya
(Foto 3.11)sehingga dapat dilakukan analisa kedudukan sesar sesar tersebut .Dari
kenampakan lapangan hanya ditemukan adannya kelurusan jurus dari lapisan batuan
pada daerah ini sehingga dapat ditarik garis yang diperkirakan sebagai bidang sesar
,karena memiliki arah tegasan yang sama dengan sesar yang terdapat pada Daerah
Pagutan yakni berarah utara selatan maka diperkirakan sesar tersebut merupakan sesar
mendatar dengan kedudukan bidang sesar yang besarnya tidak jauuh berbeda denga
bidang sesar mendatar yang terdapat pada Daerah Pagutan yakni sekitar N 170E/84
yang menjelaskan adanya sesar mendatar dextral pada kedua daerah ini atau menurut

klasifikasi Rickard,1972 yakni Right Slip Fault.


Selain adanya pergerakan sesar,pada daerah telitian khususnya pada Daerah
Tegalsari juga ditemukan adanya lipatan sinklin yang ditunjukan dengan adanya
kedudukan batuan dengan arah dip yang berlawanan sebagai akibat limpahan dari
adanya pergerakan dua buah sesar mendatar yang ada.

Foto 3.15. Salah satu foto kekar yang terdapat pada Satuan Batupasir Semilir pada daerah
telitian,diambil dari Desa Josari dengan koordinat X : 047475964,Y : 9132556 arah
kamera N 269E,cuaca mendung.

28

3.4

Sejarah Geologi
Berdasarkan data-data geologi yang meliputi data lapangan, antara lain yang

terdiri dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapan, serta pola struktur dan
mekanisme pembentukannya serta ditambah dengan hasil interpretasi dan penafsiran,
pada akhirnya dapat

dibuat

suatu sintesis

geologi daerah penelitian yang

menggambarkan sejarah geologi pada suatu kerangka ruang dan waktu. Penentuan
sejarah geologi daerah penelitian juga mengacu pada sejarah geologi regional penelitipeneliti terdahulu. Model sejarah geologi daerah penelitian dimulai sejak kala Miosen
Awal dimana batuan tertua di daerah penelitian pertama kali diendapkan, hingga batuan
yang terendapkan saat ini (Recent).
Sejarah geologi daerah telitian dapat dijelaskan dalam empat fase sebagai berikut
:
1.

Pada Miosen Awal (N4 N7)


Adanya aktifitas subduksi yang terjadi sebelum Miosen Awal menghasilkan

deretan gunung api dan diperkirakan jenis gunung api yang terdapat pada daerah telitian
merupakan gunung api subaquaeos .Seiring dengan berjalannya waktu terjadi aktifitas
volkanisme pada daerah telitian yang kemudian menghasilkan endapan material
volkanik yang beragam jenisnya .Hasil letusan gunung api tersebut langsung tertransport
dan terendapkan pada daerah sekitar sumber letusan tersebut.Kemudian terjadi
residimentasi material (epiklastik) tersebut pada lingkungan bawah laut (Gambar
3.13)secara turbidit pada Miosen Awal ( N4 N7 ) .Aktifitas volkanik ini terjadi dengan
intensitas yang cukup tinggi ditunjukan dengan ketebalan Satuan Batupasir Semilir
cukup tebal pada daerah telitian.Kemudian setelah tebentuk Satuan Batupasir Semilir ini
terjadi aktifitas tektonik berupa pengangkatan, proses tektonik berupa pengangkatan ini
mengakibatkan Satuan Batupasir Semilir berada pada daerah tinggian akibatnya tidak
ditemukannya proses pengendapan satuan batuan lainnya setelah Miosen Awal pada
daerah telitian. Setelah proses pengangkatan selesai kemudian terjadi tektonik kompresi

29

denggan gaya utama berasal dari utara selatan yang kemudian menghasilkan zona
zona sesar mendatar pada daerah telitian (Gambar 3.14).

Gambar 3.13 Diagram blok sejarah geologi ketika terjadinya pengendapan material sedimen
Satuan Batupasir Semilir pada lingkungan kipas bawah laut.

Gambar 3.14 Hasil dari proses pengangkatan Satuan Batupasir Semilir hingga tersingkap
kepermukaan dan gterkena proses tektonik berupa persesaran.

30

2.

Pada Miosen Akhir Pliosen Awal (N17 N18)


Adanya pergeseran arah subduksi yang dimulai pada Oligosen hingga Miosen

tengah selain menghasilkan deretan gunung api pada pulau jawa ,dari waktu kewaktu
aktifitas volkanisme semakin menurun,dilain sisi pergeseran arah subduksi ini juga
menghasilkan pengangkatan pada daerah sekitar laut dangkal selatan Pulau Jawa hal ini
yang diikuti oleh perubahan muka air laut yang mengalami kenaikan yang sangat tinggi
sehingga material sedimentasi laut dapat berkembang dan terendapkan pada daerah
telitian yang pada saat itu berupa tinggian hingga terbentuklah Satuan Batugamping
Wonosari pada Miosen Akhir yang terus berlanjut hingga Pliosen Awal.Adanya
perbedaan waktu pengendapan yang sangat jauh antara Satuan Batupasir Semilir dengan
Satuan Batugamping Wonosari serta adanya perbedaan sudutdip dari kedua satuan
batuan ini menunujukan hubungan ketidakselarasan Angular Unconformity (Gambar
3.15).

Gambar 3.15 Proses terjadinya transgresi atau kenaikan muka air laut pada Miosen Akhir.

31

3.

Setelah Pliosen Awal hingga saat ini


Setelah terbentuknya Satuan Batugamping Wonosari pada Pliosen Awal tidak

terjadi lagi aktifitas pengendapan material sedimen pada daerah telitian tetapi yang tejadi
adalah proses tektonik berupa pengangkatan hingga akhirnya semua satuan batuan
tersingkap didaratan,kemudian berkembanglah proses erosional yang cukup tinggi pada
daerah telitian dibuktikan dengan terbentuknya sungai besar dengan lembah berbentuk
U.Pada akhirnya material lepas hasil erosi tersebut kemudian terendapkan sebagai
aluvial pada daerah telitian.Perbedaan umur yang sangat jauh antara Satuan
Batugamping Wonosari dengan Satuan Pasir Lepas ini juga menghasilkan hubungan
ketidakselarasan Angular Unconformity (Gambar 3.16).

Gambar 3.16 Proses terjadinya proses tektonik berupa pengangkatan Satuan Batugamping
Wonosari kepermukaan,kemudian terbentuknya Satuan pasir Lepas karena
proses erosional.

32

BAB 4
STUDI FASIES TURBIDIT SATUAN BATUPASIR SEMILIR
4.1

Landasan Teori

4.1.1 Pengertian Arus Turbidit


Setiap tipe penganalisaan cekungan, menghendaki adanya suatu interpretasi
terhadap batuan penyusunnya, terutama mengenai lingkungan pengendapan dimana
batuan tersebut terbentuk. Oleh karena itu sedimentologi mempunyai peranan penting
bagi seorang ahli geologi di lapangan untuk bisa membedakan fasies serta asosiasinya,
dalam rangka penganalisaan cekungan di suatu daerah.
Pendekatan yang dilakukan dalam proses analisis tersebut adalah dengan
membuat perbandingan antara kenampakan endapan yang terjadi saat ini beserta
lingkungan pengendapannya dengan endapan-endapan purba yang lingkungan
pengendapannya akan dideterminasikan, khusus mengenai turbidit yang akan penulis
bahas lebih lanjut, akan mengacu pada beberapa peneliti diantaranya Bouma (1962),
Walker (1971, Mutti dan Richi (1972), Mutti dan Walker (1973), Middleton & Hampton
(1973), dan Mutti (1992).
Menurut (Walker, 1973) turbidit adalah suatu endapan dari arus turbid, dimana
arus turbid itu sendiri didefinisikan sebagai arus densitas yang mempunyai berat jenis
yang berbeda dengan cairan di sekitarnya (umumnya air laut), karena arus tersebut
mengandung endapan yang terhambur .
Middleton & Hampton (1973), menyatakan bahwa aliran yang terdiri dari
sedimen yang bergerak turun karena gravitasi, disebut sediment gravity flow atau disebut
juga sebagai arus densitas (Koesoemadinata 1980). Arus densitas merupakan lengseranlengseran dari onggokan sedimen yang lerengnya telah menjadi tidak stabil dan
meluncur karena suatu gaya. Luncuran-luncuran ini kemudian menghasilkan slumps
(permulaan lengseran) yang kemudian berkembang menjadi suatu arus dimana butiran
butiran tersebut yang akan menghasilkan arus.

33

4.1.2 Ciri-ciri endapan Turbidit :


Endapan turbidit mempunyai karakteristik tertentu yang sekaligus dapat
dijadikan sebagai ciri pengenalnya. Namun perlu diperhatikan bahwa ciri itu bukan
hanya berdasarkan suatu sifat tunggal sehingga tidak bisa secara langsung untuk
mengatakan bahwa suatu endapan adalah endapan turbidit. Hal ini mengingat bahwa
banyak struktur sedimen tersebut, yang juga berkembang pada sedimen yang bukan
turbidit (Keunen, 1964).
Karakteristik endapan turbidit pada dasarnya dapat dikelompokan ke dalam dua
bagian besar berdassarkan litologi dan struktur sedimen, yaitu :
1) Karakteristik Litologi
a) Terdapat perselingan tipis yang bersifat ritmis antar batuan berbutir relatif kasar
dengan batuan yang berbutir relatif halus, dengan ketebalan lapisan beberapa
milimeter sampai beberapa puluh centimeter. Umumnya perselingan antar
Batupasir dan serpih. Batas atas dan bawah lapisan datar, tanpa adanya
penggerusan (scouring).
b) Pada lapisan batuan berbutir kasar memiliki pemilahan buruk dan mengandung
mineral-mineral kuarsa, feldspar, mika, glaukonit, juga banyak didapatkan
matrik lempung. Kadang-kadang dijumpai adanya fosil rework, yang
menunjukan lingkungan laut dangkal.
c) Pada beberapa lapisan batupoasir dan batulanau didapatkan adanya fragmen
tumbuhan.
d) Kontak perlapisan yang tajam, kadang berangsur menjadi endapan pelagik.
e) Pada perlapisan batuan, terlihat adanya struktur sedimen tertentu yang
menunjukan proses pengendapannya turbudit yaitu antara lain perlapisan
bersusun, perlapisan sejajar, perlapisan bergelombang, konvolut, dengan uruturutan tertentu.

34

f) Sifat-sifat penunjukan arus,memperlihatkan pola aliran yang hampir seragam


saat suplai terjadi.
Karakteristik tersebut tidak selalu harus ada pada suatu endapan turbidit.
Dalam hal ini lebih merupakan suatu alternatif, mengingat bahwa suatu endapan
turbidit juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang akan memberikan ciri
yang berbeda dari suatu tempat ke tempat lain.
2) Karakteristik Struktur sedimen
Menurut Bouma (1962) dalam hal pengenalan endapan turbidit salah satu
ciri yang penting adalah struktur sedimen, karena mekanisme pengendapan arus
turbid memberikan karakteristik sedimen tertentu. Banyak klasifikasi struktur
sedimen hasil mekanisme arus turbid, salah satunya karakteristik genetik dari
Selly (1969). Selly (1969) mengelompokan struktur sedimen menjadi 3
berdasarkan proses pembentukannya :

a) Struktur Sedimen Pre-Depositional


Merupakan struktur sedimen yang terjadi sebelum pengendapan sedimen,
yang berhubungan dengan proses erosi oleh bagian kepala (head) dari suatu
arus turbid (Middleton, 1973). Umumnya pada bidang batas antara lapisan
Batupasir dan serpih. Beberapa struktur sedimen yang antara lain flute cast,
groove cast.
b) Struktur Sedimen Syn-Depositional
Struktur yang terbentuk bersamaan dengan pengendapan sedimen, dan
merupakan struktur yang penting dalam penentuan suatu endapan turbidit.
Beberapa struktur sedimen yang penting diantaranya adalah perlapisan
bersusun, perlapisan sejajar dan perlapisan bergelombang.
c) Struktur Sedimen Post-Derpositional
Struktur sedimen yang dibentuk setelah terjadi pengendapan sedimen, yang
umumnya berhubungan dengan proses deformasi. Salah satunya struktur
pembebanan.
35

Umumnya struktur sedimen yang ditemukan pada endapan turbidit adalah


struktur sedimen yang terbentuk karena proses sedimentasi, terutama yang
terjadi karena proses pengendapan suspensi dan arus.

4.1.3 Mekanisme Pembentukan Endapan Turbidit

Middleton (1967) menyatakan bahwa arus turbid merupakan salah satu tipe dari
arus kerapatan (density current), dimana arus bergerak secara gaya berat, karena adanya
perbedaan kerapatan antara arus dengan cairan di sekeliingnya, yang disebabkan oleh
adanya dispersi sedimen pada suatu tempat (misalnya : muara sungai atau delta), dimana
sedimen banyak terakumulasi karena adanya faktor pemicu, misalnya : suatu gempa
bumi, tsunami,dll, mulai bergerak dan meluncur secara tiba-tiba ke arah bawah
cekungan. Saat sedimen tersebut mulai meluncur ke bawah akan membentuk slump.
Slump tersebut bergerak perlahan-lahan dan berangsur-angsur menjadi lebih cepat
disebabkan adanya pengurangan viskositas. Selanjutnya massa sedimen akan bergerak
sampai pada lereng yang curam, maka terjadilah kenaikan kecepatan dan pergerakan
selanjutnya berubah menjadi arus turbid, sehingga butiran kasar akan terkonsentrasi
pada bagian kepala arus, sedangkan yang lebih halus di bagian ekor. Karena pengaruh
gravitasi maka arus turbid akan bergerak ke bawah mengikuti ngarai di bawah samudera.
Pada saat mendekati daerah pengendapannya, kecepatan arus mulai berkurang
karena penurunan gravitasi akibat kemiringan lereng yang semakin landai. Dalam
kondisi seperti ini maka bagian kepala dari arus akan mengerosi lapisan dibawahnya
membentuk struktur sedimen scour mark. Sesuai dengan sifat-sifat kerapatan arus, maka
pengendapan akan terjadi sekaligus, sehingga sedimen yang diendapkan mempunyai
pemilahan yang sangat buruk. Dalam hal ini material-material yang lebih berat akan
terkumpul pada bagian depan arus turbid, sedangkan material halus akan terperangkap
bersama-sama. Endapan yang pertama terbentuk adalah Batupasir berstruktur perlapisan
bersusun. Selanjutnya arus akan semakin lemah dan sedimen yang halus akan
diendapkan. Apabila kecepatan arus telah hilang, maka akan terjadi pengendapan

36

lempung pelagik dalam suasana suspensi yang menunjukan kondisi lingkungan bernergi
rendah (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Skema arus turbidit dan hasil endapannya ( Mulder & Alexander ,2001).

37

Bouma (1962) menyimpulkan bahwa partikel-partikel sedimen bergerak tanpa


bantuan benturan atau seretan air, tetapi bergerak dibawah permukaan air yang relatif
tenang (stagnant water). Massa sedimen bisa

saja tidak tercampur air secara baik

sehingga mengakibatkan massa sedimen tersebut terlalu encer untuk melengser dan
membentuk arus turbid. Sedimen yang berbutir kasar tidak menempati bagian kepala
dan apabila terendapkan massa sedimen kasar akan membentuk fluxoturbidite yaitu
endapan antara nendatan dan arus turbid (Dzulynski, dkk, 1959).
Menurut Koesoemadinata (1972) pengendapan arus turbid merupakan suatu
keadaan massa teronggok pada lereng benua, yang secara tiba-tiba dapat meluncur
dengan kecepatan tinggi bercampur dengan air, yang merupakan suatu aliran menuju
laut dalam. Disini partikel-partikel sedimen bergerak tanpa bantuan benturan /seretan
air, melainkan oleh energi inersia, dimana energi potensial diubah menjadi energi
kinetik, kemudian pengendapan terjadi segera setelah energi kinetik habis.
Middleton dan Hampton (1973) memperkenalkan istilah sediment gravity flow
untuk menerangkan mekanisme pengangkutan Batupasir dan sedimen klastik kasar
lainnya dalam lingkungan laut dalam melalui pematang bawah samudra (submarine
canyons). Dalam hal ini istilah sediment gravity flow, digunakan secara umum untuk
aliran sedimen atau campuran sedimen fluida dibawah pengaruh gaya berat. Berdasarkan
gerakan relatif antar butir dan jaraknya dari sumber.
Mutti dan Ricci Luchi (1972), mengatakan bahwa fasies adalah suatu lapisan
atau kumpulan lapisan yang memperlihatkan karakteristik litologi, geometri dan
sedimentologi tertentu yang berbeda dengan batuan di sekitarnya. Suatu mekanisme
yang bekerja serentak pada saat yang sama. Asosiasi fasies didefinisikan sebagai suatu
kombinasi dua atau lebih fasies yang membentuk suatu tubuh batuan dalam berbagai
skala dan kombinasi. Asosiasi fasies ini mencerminkan lingkungan pengendapan atau
proses dimana fasies-fasies itu terbentuk.

38

4.1.4 Mekanisme Pengendapan dan Struktur Sedimen.

Ada beberapa mekanisme pengendapan dari material hasil transport material


sedimen yang tentukan akan menghasilkan beberapa macam jenis struktur sedimen yang
berbeda dipengaruhi oleh factor mekanisme pengendapannya tersebut.
Berikut adalah beberapa jenis mekanisme pengendapan material sedimen dalam
kaitannya sebagai penciri adannya aktifitas turbidit yaitu :
1. Peluncuran .
terjadi dekat dasar sehingga mempunyai kekuatan untuk mengikis, hal ini akan
berakibat terjadinya struktur pada alas lapisan misalnya: Drag cast, flute cast (cetak
suling), scouring, dan sebagainya.

2. Fraksi kasar.
Sedimentasi terjadi segera setelah arus kehilangan tenaga. Karena pengendapan
berlangsung cepat, sehingga endapan yang terjadi terpilah buruk dan fraksi kasar
berkesempatan mengendap terlebih dahulu, sehingga membentuk perlapisan
bersusun/ Gradded bedding (interval a Bouma ' 62). Pada bagian atasnya pemilahan
berkembang semakin baik dan struktur sedimen yang terbentuk adalah perlapisan
sejajar/ parallel lamination (interval b Bouma ' 62) (Gambar 4.2).

3. Fraksi halus.
Fraksi halus lebih lama tertinggal di media dalam keadaan keruh. Pengendapan
mula-mula berlangsung dengan adanya aliran fraksi dari suatu suspensi. Dengan
demikian secara berurut terjadi climbing ripple, current ripple, recumbent folded
laminae, convolute lamination (interval c Bouma 1962).Sedimen yang teronggok
pada suatu lereng dapat tiba-tiba meluncur dengan kecepatan tinggi bercampur
dengan air berupa suatu aliran padat (density current). Partikel-partikel sedimen
bergerak tanpa benturan/seretan air, tetapi inertia flow.. Energi potensial/ gravity
dirubah menjadi energi kinetik, pengendapan terjadi segera setelah energi kinetik

39

habis. Umumnya turbidit ditafsirkan sebagai endapan laut dalam meskipun


sebenarnya bisa saja terjadi pada laut dangkal, bahkan merupakan endapan
danau.Pada akhir pengendapan drift sudah tidak ada lagi, sehingga yang terbentuk
adalah pengendapan suspensi. Struktur yang terjadi yaitu laminasi sejajar (interval d
Bouma ' 62), disusul endapan pelitis (interval e Bouma ' 62).

Gambar 4.2. Sikuen turbidit (Bouma 1962), memperlihatkan struktur sedimen,ukuran


butir dan kondisi pengendapan.

Berdasarkan atas gerakan relatif antar partikel selama masa sedimen bergerak
dan jarak dari sumber, maka arus densitas dibagi menjadi empat (MiddletonHampton,
1975,Gambar 4.3) ,serta untuk hubungan antara proses transport dengan jarak telah
dijelaskan oleh Keling dan Stanley,1976 (Gambar 4.4) yaitu:

1. Aliran turbid (turbidity current),


Dimana butir-butir telah lepas sama sekali dan masing-masing butir didukung oleh
fluida (telah terinduksi menjadi turbulen).
2. Aliran sedimen yang difluidakan (fluidized sediment flow),
Butir yang lepas di dukung oleh cairan yang diperas ke atas antar butir. Butir-butir masih
bersentuhan. Pengedapan terjadi bila air pori telah terperas keluar secara vertikal, dan akan

40

menghasilkan struktur mangkok (dish structure). Menghasilkan tipe endapan proximal


turbidite.

3. Aliran butir (grain flow),


Dimana butir-butir belum lepas dan dalam mengalir masih sering bersentuhan. Dalam hal ini
peran media hampir tidak ada. Matrik berupa pasir dan mengendap sekaligus. Debris flow
dan grain flow menghasilkan fluxo turbidite.

4. Aliran debris (debris flow),


Dimana butir-butir kasar masih didukung oleh matriks (massa dasar) campuran
sedimen yang lebih halus dan media (air) dan masih mempunyai kekuatan. Jika
butir-butir ini masih mempunyai kekuatan dan relatif merupakan massa dan terdapat
kohesi antara butir, maka hal ini disebut slump (lengseran), sehingga masih bersifat
plastis.

41

Gambar 4.3. Klasifikasi proses-proses arus densitas (Middleton & Hampton, 1973).

Gambar 4.4. Diagram hubungan antara transport sedimen dan variasi jarak
(Kelling & Stanley, 1976).

42

4.2

Fasies Turbidit.

4.2.1 Fasies Turbidit Bouma (1962).


Bouma (1962) memberikan urutan ideal endapan turbidit yang dikenal dengan
Bouma Sequence, dari interval a-e. Urut-urutan endapan turbidit yang umumnya berupa
perselingan antara Batupasir dan Batulempung merupakan suatu satuan yang berirama
(ritmis), dimana setiap satuan merupakan hasil episode tunggal dari suatu arus turbid.
Bouma Sequence yang lengkap dibagi 5 interval (Gambar 4.5), peralihan antara satu
interval ke interval berikutnya dapat secara tajam, berangsur, atau semu, yaitu :
1. Gradded Interval (Ta)
Merupakan perlapisan bersusun dan bagian terbawah dari urut-urutan ini, bertekstur
pasir kadang-kadang sampai kerikilatau kerakal. Struktur perlapisan ini menjadi
tidak jelas atau hilang sama sekali apabila Batupasir penyusun ini terpilah baik.
Tanda-tanda struktur lainnya tidak tampak.
2. Lower Interval of Parallel Lamination (Tb)
Merupakan perselingan antara Batupasir dengan serpih atau Batulempung, kontak
dengan interval dibawahnya umumnya secara berangsur.
3. Interval of Current Ripple Lamination (Tc)
Merupakan struktur perlapisan bergelombang dan konvolut. Ketebalannya berkisar
antara 5-20 cm, mempunyai besar butir yang lebih halus daripada kedua interval
dibawahnya. (Interval Tb).
4. Upper Interval of Parallel Lamination (Td)
Merupakan lapisan sejajar, besar butir berkisar dari pasir sangat halus sampai
lempung lanauan. Interval paralel laminasi bagian atas, tersusun perselingan
antaraBatupasir halus dan lempung, kadang-kadang lempung pasirannya berkurang
ke arah atas. Bidang sentuh sangat jelas.
5. Pelitic Interval (Te)
Merupakan susunan batuan bersifat lempungan dan tidak menunjukan struktur yang
jelas ke arah tegak, material pasiran berkurang, ukuran besar butir makin halus,

43

cangkang foraminifera makin sering ditemukan.Diatas lapisan ini sering ditemukan


lapisan yang bersifat lempung napalan atau yang disebut lempung pelagik.

Gambar 4.5. Sikuen turbidit Bouma 1962, memperlihatkan struktur sedimen, ukuran butir dan
kondisi pengendapan.

Urut-urutan ideal seperti diatas mungkin tak selalu didapatkan dalam lapisan, dan
umumnya dapat merupakan urut-urutan internal sebagai berikut :

1. Base cut out sequence.


Urutan interval ini merupakan urutan turbidit yang lebih utuh,sedangkan bagian
bawahnya hilang. Bagian yang hilang bisa Ta, Ta-b, Ta-c dan Ta-d.
2. Truncated sequence
Urutan interval yang hilang dari sekuen yang hilang adalah bagian atas, yaitu : Tb-e,
Tc-e, Td-e, Te. Hal ini disebabkan adanya erosi oleh arus turbidit yang kedua.
3. Truncated base cut out sequence
Urutan ini merupakan kombinasi dari kedua kelompok base cut out sequence dan
truncated sequence yaitu bagian atas dan bagian bawah bisa saja hilang.

44

Pada dasarnya endapan oleh arus turbid yang besar mempunyai rangkaian yang
lengkap dan setelah pengendapan material yang kasar kecepatan berkurang dan pada
saat tertentu dimana kecepatan sangat rendah mulai terbentuk laminasi interval (Tb-e =
T2). Proses berkurangnya kecepatan dan ukuran butir sedimen berjalan terus.selama
pengendapan, sehingga terbentuk rangkaian (Tc=T3), (Td-e=T4) dan (Te=T5).
Berdasarkan sifat jauh dekatnya sumber, maka endapan turbidit dapat dibagi
menjadi 3 fasies, yaitu : fasies proximal, intermediate dan distal. Distal merupakan
endapan turbidit yang pengendapannya relatif lebih jauh dari sumbernya atau tidak
mengandung interval a dan b. endapannya dicirikan oleh adanya perselingan yang
teratur antara Batupasir dan serpih, lapisan Batupasirnya tipis-tipis dan lapisan serpihnya
lebih tebal. Pengendapan yang relatif lebih dekat dengan sumbernya disebut turbidit
proximal, biasanya berbutir kasar, kadang0kadang konglomeratan dan sedikit serpih.
4.2.3 Fasies Turbidit Mutti (1992)

Fasies Turbidit dapat didefinisikan sebagai kumpulan genetik fasies secara lateral
yang dapat diidentifikasi melalui lapisan lapisan individu batuan yang memiliki
kesamaan waktu. Secara genetik fasies tracts yang berasal dari paket sedimen dapat
dikatakan sebagai turbidite facies association (FA), sedangkan ekspresi vertikal dari
facies association tersebut dapat dikatakan sebagai fasies sequence (FS).
Dalam hubungannya dengan mekanisme sediment gravity flow Mutti (1992)
melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai endapan turbidit. System turbidit
dapat dihasilkan oleh 2 komponen dasar, yaitu komponen erosional yang berada di
bagian atas dan dapat mengindikasikan sumber utama dari material sedimen, serta
komponen pengendapan yang berada di bagian bawah, dimana sedimen tertransport dari
komponen erosional sebelumnya dan diendapkan seiring dengan penyusutan tingkat arus
gravitasi (gravity flow).
Mutti (1992) membagi fasies-fasies pada endapan turbidit didasarkan pada
beberapa hal, diantaranya : tekstur batuan, komposisi batuan, struktur sedimen dan

45

kenampakan erosi. Sehingga dapat membedakan antara fasies yang satu dengan fasies
yang lain (Gambar 4.6).

Gambar 4.6. Fasies Turbidit dan proses proses yang terkait (Mutti, 1992).

Fasies fasies tersebut kemudian digolongkan menjadi 3 tipe utama, yaitu :

1. Very Coarse Grained Facies (VCGF)


Endapan pada Fasies Turbidit ini terdiri dari beragam jenis tipe sediment, mulai
dari mud supported sampai clast-supported conglomerates. Facies dasar dari Very
Coarse Grained Facies adalah F1, F2 dan F3 (Gambar 5.11).
Endapan endapan pada fasies F1 dan F2 merupakan endapan endapan debris flow
deposits, dimana sediment tertransport dan terendapkan oleh arus cohesive. cohesive
debris flow dapat mengindikasikan endapan-endapan klastika yang didukung oleh aliran
buoyancy dan cohesivitas dari campuran antara lumpur dan air sebagai media
pentransport sedimen.

46

Endapan F1 adalah produk dari cohesiv debris flow yang memiliki karakteristik
sebagai berikut :

Terdapatnya lag deposit di bagian dasar aliran

Klastika yang lebih besar mengambang dalam matriks

Kecenderungan klastika yang kasar untuk berada di dasar dan menerus hingga ke
atas dari dasar aliran.
Endapan F2 adalah produk dari hyperconcentrated flow yang dihasilkan dari

proses transportasi dari debris flow menuruni lereng yang bercampur dengan fluida.
Endapan endapan pada fasies F2 umumnya terdapat pada coarse grained turbidite
system. Karakteristik dari endapan-endapan pada fasies F2 pada dasarnya hampir sama
dengan karakteristik dari endapan-endapan pada fasies F1, diantaranya :

Terdapat peristiwa dimana dasar aliran tergerus dan terbentuk struktur rip-up
mudstone clasts yang relatif besar.

Klastika yang berukuran besar mengambang dalam matriks pasiran

Klastika yang berukuran lebih besar menunjukkan kecenderungan untuk berada di


bagian bawah.
Tahap akhir dari proses transportasi cohesive debris flow adalah menghasilkan

endapan-endapan yang termasuk kedalam fasies F3 ( klastika kasar dari konglomerat).


Endapan endapan pada fasies F3 ini merupakan salah satu tipe endapan turbidit yang
dihasilkan oleh hyperconcentrated flow yang mentrasnportasikan material berukuran
butiran sampai kerikil (High Density Turbidity Current). Endapan endapan F3 terdiri
atas konglomerat dengan matriks pasiran yang membentuk dasar aliran, yang pada
akhirnya akan dibatasi oleh permukaan erosi. Endapan endapan pada fasies F3 ini
dapat terbentuk akibat adanya shear strses yang diberikan oleh lapisan material yang
tertinggal oleh aliran.

47

2. Coarse Grained Facies (CGF)


Fasies-fasies yang termasuk ke dalam Coarse Grained Facies dalam aliran yang
menuju dasar cekungan yaitu WF, F4, F5, dan F6 yang dapat diinterpretasikan sebagai
produk dari butiran High Density Turbidity Currentdan proses transformasi yang akan
dihasilkan pada akhir aliran. Endapan endapan pada fasies F4 dan F5 pada umumnya
memiliki karakteristik yang relatif tebal dan terdiri atas coarse-grained traction carpets.
Endapan-endapan pada fasies WF terdiri atas endapan endapan yang tipis, memiliki
tingkat keseragaman butir yang buruk yang terdiri atas butiran berukuran pasir sangat
kasar dan pasir kasar yang menunjukkan struktur laminasi bergelombang. Sedimen pada
fasies WF dapat diinterpretasikan sebagai produk dari upper flow regime yang dibentuk
oleh transportasi dari hyperconcentrated flow hingga high density & supercritical
turbidity current. Endapan endapan pada fasies F6 dapat diindikasikan sebagai
endapan endapan berukuran kasar yang memiliki kecenderungan imbrikasi pada
butirannya. Endapan endapan pada fasies F6 ini memiliki tingkat keseragaman butir
yang relatif baik dan di bagian bawahnya membentuk butiran dengan kecenderungan
menghalus ke atas. Sedimen sedimen pada fasies F6 ini adalah produk dari loncatan
fluida yang merubah supercritical high density turbidity current menjadi sub critical
high density turbidity current. Perpindahan aliran berikutnya membawa butiran yang
lebih kasar dimana butiran tersebut tertransport bersamaan dengan arus turbulensi
vertikal, untuk menyesuaikan searah dengan arus dan dapat tertransport secara traksi dan
terendapkan di sepanjang dasar aliran. Struktur sedimen yang berkembang terdiri atas :
perlapisan sejajar dan perlapisan memotong dalam skala kecil. Karakteristik pada
endapan endapan fasies F6 selanjutnya dapat dilihat lebih detail, yaitu :

Seluruh ketebalan dari lapisan dasar pada umumnya dibatasi oleh batas yang tajam
dan terbentuk struktur rippled diatas permukaan lapisan.

Endapan endapan lag deposit yang berada di dasar aliran.

48

3. Fine Grained Facies (FGF)


Fasies-fasies yang termasuk di dalam Fine Grained Facies adalah F7, F8 dan F9.
sedimen dari fasies fasies tersebut merupakan produk dari low-density, subcritical
turbidity current. Arus turbid ini memulai pengendapannya setelah melewati hydraulic
jump (lihat sediment F6) atau arus gravity yang telah mentransport fasies F5 dalam arus
yang kemudian menghasilkan endapan fasies F7. Tahap akhir dari pengendapan ini
adalah meningkatnya kandungan lumpur yang mengendap secara suspensi dan akhirnya
dapat menyesuaikan dengan aliran quo static. Endapan endapan pada fasies F7 dalam
sistem arus turbidit pada umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut :

Lapisan tipis dari Batupasir yang relatif kasar

Lapisan horizontal pada bagian dasar aliran dapat diindikasikan sebagai hasil dari
traction carpet , dan di beberapa tempat, endapan endapan tersebut menunjukkan
kecenderungan butiran yang mengkasar keatas. Tapi pada umumnya traction carpet
ini akan menunjukkan kecenderungan butiran yang menghalus ke atas yang
mengindikasikan arus yang mentransport sedimen tersebut.
Endapan endapan pada fasies F8 merupakan salah satu endapan yang paling

ideal dengan tipe endapan pada sikuen Bouma, yang terdiri atas struktur sedimen, dan
ukuran butir dari pasir sedang pasir halus, kecenderungan penghalusan ke atas dapat
hadir jika arus yang mentransport dan material yang tertransport dapat memenuhi
persyaratannya. Endapan endapan pada fasies F8 pada umumnya terdiri atas material
material berbutir halus.Endapan endapan pada fasies F7 dan F8 merupakan hasil dari
rekonsentrasi sediment yang terbentuk setelah loncatan fluida tersebut telah terlewati,
yang kemudian diikuti oleh proses sedimentasi sepanjang jalur tipis dari traction carpet
(F7) dan suspensi (F8). Endapan endapan pada fasies F9 terbentuk oleh endapan
endapan berbutir sangat halus dengan struktur laminasi sejajar yang dibatasi oleh
Batulempung berstruktur masif. Tingkatan fasies F9 dapat didefinisikan sebagai
turbidite beds dimana diendapkan oleh proses selesainya traction carpet yang
berhubungan dengan fase sebelumnya dalam sistem low density turbidity current.

49

Fasies F9 kemudian dapat dibagi kedalam 2 sub fasies yaitu :

Fasies 9a, yang sangat berkaitan dengan classical turbidite pada sikuen Bouma.

Fasies 9b, walaupun memiliki karakteristik yang hampir sama dengan fasies 9a
namun pada dasarnya memiliki tingkat perbandingan sand-shale ratio yang lebih
besar, memiliki ukuran butir yang lebih kasar dibandingkan dengan butiran pada
fasies 9a, memiliki tingkat keseragaman butir yang lebih buruk.

4.3

Kipas Bawah Laut (Sub Marine Fan)

Sedimentasi dari arus turbidit yang ideal, umunya merupakan suatu fan (kipas)
pada dasar lereng- lereng bawah laut (sub marine fan), yang saling memotong dan
berselang seling dengan endapan bathyal (Koesoemadinata, 1980). Arus turbid yang
menggerakan endapan turbidit

pada awalnya terbentuk pada sub marine canyon

bersama- sama dengan arus lainnya, yang termasuk kedalam sediment gravity flow .
Selanjutnya arus arus tersebut yang akan memegang peranan dalam mentransport
sedimen ke daerah bathyal dan abysal. Ternyata arus turbid yang merupakan bagian dari
arus densitas dalam melakukan fungsinya sebagai arus yang mengalir, tergantung akan
adanya perbedaan densitas, yang dihasilkan oleh sedimen yang tersuspensikan akibat
arus turbulen pada tubuh arus (Fiedman & Sanders, 1978).
Arah umum dari aliran arus densitas yang normal, adalah menuju ke continental
margin atau ke arah basin margin. Aliran dengan arah demikian bisa terjadi secara terus
menerus tetapi bisa juga sewaktu-waktu. Aliran yang tetap terjadi manakala longshore
current pada suatu shelf menjumpai submarine canyon, yang melintang menghadang
arahnya, sehingga arah arus tersebut berubah secara tiba-tiba, dengan sendirinya arus
densitas akan mengalir secara menerus. Sedangkan aliran yang sewaktu-waktu tersebut
hanya akan mengalir karena sesuatu sebab, misalnya :

Meluncurnya sedimen yang overloading pada sisi continental shelf yang menghadap
ke laut, pada suatu saat mengalir ke arah cekungan.

Runtuhnya dinding dari dua sisi submarine canyon.

50

Runtuhnya distal margin dari suatu delta yang terdiri terutama dari lempung serta
lanau prodelta yang berisi porewater yang tinggi. Proses runtuhnya tersebut
diakibatkan oleh berat sedimen itu sendiri yang telah mengalami overload pada
bagian tubuhnya. Maka berjuta-juta ton sedimen yang tak terkonsolidasikan dengan
baik meluncur menjadi suatu aliran suspensi yang akan menambah densitas dari air
dan merubah system arus menjadi arus densita.

4.3.1 Model Kipas Bawah Laut Walker


Model kipas menurut Walker (1978) ini merupakan penyempurnaan dari
beberapa peneliti terdahulu yang terdiri dari saluran utama (fedder channel),
lereng(slope), kipas atas (upper fan ), kipas tengah (middle fan) yang terdiri dari
channeled portion of suprafan lobes, kipas bawah (lower fan) dan dasar cekungan (basin
plain). Pada umumnya kipas tersebut berasosiasi dengan lima fasies turbidit yang
diajukan oleh Walker (1978) yang terdiri atas :
1. Fasies Slump (SL)
Fasies ini terdiri dari bentukan struktur sedimen slump yang terjadi karena adannya
mekanisme longsoran yang mengakibatkan meluncurnya lapisan sedimen karena
adanya dorongan arus graffiti.Fasies ini biasanya terdapat pada daerah upper fan
dimana pengaruh dari kemiringan lereng sangat berpengaruh.

2. Fasies Turbidit Klasik (Classical Turbidite, CT)


Fasies ini pada umumnya terdiri dari perselingan antara Batupasir dan
serpih/Batulempung dengan perlapisan sejajar tanpa endapan channel. Struktur
sedimen yang sering dijumpai adalah perlapisan bersusun, perlapisan sejajar, dan
laminasi, konvolut atau a,b,c Bouma (1962), lapisan Batupasir menebal ke arah atas.
Pada bagian dasar Batupasir dijumpai hasil erosi akibat penggerusan arus turbidit
(sole mark) dan dapat digunakan untuk menentukan arus turbid purba. Dicirikan
oleh adanya CCC (Clast, Convolution, Climbing ripples). Climbing ripples dan

51

convolut merupakan hasil dari pengendapan suspensi, sedangkan clast merupakan


hasil erosi arus turbid (Walker, 1985).

3. Fasies Batupasir masif (Massive Sandstone, MS)


Fasies ini terdiri dari Batupasir masif, kadang-kadang terdapat endapan channel,
ketebalan 0,5-5 meter, struktur mangkok/dish structure. Fasies ini berasosiasi dengan
kipas laut bagian tengah dan atas.

4. Fasies Batupasir Kerakalan (Pebbly Sandstone, PS)


Fasies ini terdiri dari Batupasir kasar, kerikil-kerakal, struktur sedimen
memperlihatkan perlapisan bersusun, laminasi sejajar, tebal 0,5 5 meter.
Berasosiasi dengan channel, penyebarannya secara lateral tidak menerus, penipisan
lapisan Batupasir ke arah atas dan urutan Bouma tidak berlaku.

5. Fasies Konglomeratan (Clast Supported Conglomerate, CGL)


Fasies ini terdiri dari Batupasir sangat kasar, konglomerat, dicirikan oleh perlapisan
bersusun, bentuk butir menyudut tanggung-membundar tanggung, pemilahan buruk,
penipisan lapisan Batupasir ke arah atas, tebal 1-5 m. Fasies ini berasosiasi dengan
sutrafanlobes dari kipas tengah dan kipas atas. Fasies Lapisan yang didukung oleh
aliran debris flow dan lengseran (Pebbly mudstone, debris flow, slump and slides,
SL).Fasies ini terdiri dari berbagai kumpulan batuan, pasir, kerikil, kerakal dan
bongkah-bongkah yang terkompaksi. Fasies ini berasosiasi dengan lingkungan
pengendapan kipas atas (upper channel fill).
Dari 5 klasifikasi fasies tersebut memiliki genesa berbeda dalam proses
pembentukannya (Gambar 4.7).

52

Gambar 4.7.Genesa Fasies Turbidit (Walker, 1978).

Adapun material sedimen yang mengisi pada tiap tiap bagian dari kipas bawah
laut Walker ini sangant beragam dan berbeda beda yang dikelompokan menjadi tujuh
fasies yaitu :

Fasies A : Berupa Batupasir berukuran kasar dan konglomerat.

Fasies B : Berupa Batupasir massif berukuran sedang sampai halus.

Fasies C : Berupa Batupasir berukuran sedang sampai halus dimana terdapat


asosiasi dengan sekuen bouma (CT).

Fasies D : Berupa Batupasir berukuran halus sampai sangat halus dimana


terdapat asosiasi dengan sekuen bouma (CT).

Fasies E : Serupa dengan fasies D tetapi memiliki tingkat kandungan


perselingan Batupasir dengan Batulempung yang tinggi.

Fasies F : berupa lapisan yang terganggu seperti adannya aktifitas slump.

Fasies G : Fasies ini merupakan lapisan lempung pelagic ataupun hemipelagik


yang cukup tebal.

53

Ketujuh fasies tersebut berasosiasi dengan tiga lingkungan pengendapan, yaitu :


lereng (slope), dibagi menjadi lereng atas (upper slope) dan lereng bawah (lower slope);
kipas (fan) dibagi menjadi kipas dalam (inner fan), kipas tengah (middle fan) dan kipas
luar (outer fan); kumpulan daratan cekungan.Walker (1978) membagi kipas laut dalam 4
bagian pokok, yaitu :

1. Asosiasi Fasies Pada Lembah Pengisi


Lembah pengisi merupakan alur utama dari sedimen yang membentuk lipas laut
dalam. Lembah ini memotong lereng kontinen dan dapat menerus dari laut dalam
sampai dekat pantai. Dari penyelidikan yang dilakukan umumnya lembah pengisi
berisi sedimen berukuran halus (fasies G), interkalasi lensa-lensa tubuh Batupasir
dari fasies A merupakan endapan paritan (submarine channel), interkalasi batuan
yang campur aduk (fasies F) juga sering didapatkan sisipan fasies E dan D,
diperkirakan sebagai akibat dari kenaikan atau fluktuasi muka air laut setelah zaman
es.
2. Asosiasi Fasies Kipas Laut Dalam
Kipas ini dibagi menjadi 3 bagian (Gambar 4.8), yaitu : kipas atas (upper fan), kipas
tengah (middle fan), dan kipas bawah (lower fan).

Gambar 4.8. Model pengendapan kipas bawah laut, memperlihatkan sikuen perlapisan pada
masingmasing elemen (Walker, 1976).
54

A. Kipas Atas (upper fan)


Kipas atas merupakan pengendapan pertama dari suatu sistem kipas laut dalam,
yang merupakan tempat dimana aliran gravitasi itu terhenti oleh perubahan kemiringan.
Oleh karena itu, seandainya aliran pekat (gravitasi endapan ulang) ini membawa
fragmen ukuran besar, maka tempat fragmen kasar tersebut diendapkan adalah bagian
ini. Fragmen kasar dapat berupa Batupasir dan konglomerat yang dapat digolongkan ke
dalam fasies A,B dan F.
Bentuk lembah-lembah pada kipas atas ini bermacam-macam, bias bersifat
meander, bias juga hampir berkelok (low sinuosity). Mungkin hal ini berhubungan
dengan kemiringan dan kecepatan arus melaluinya, ukuran kipas atas ini cukup besar
dan bervariasi tergantung besar dan kecilnya kipas itu sendiri,lebarnya bisa mencapai
mulai dari ratusan meter sampai beberapa kilometer, dengan kedalaman dari puluhan
sampai ratusan meter. Alur-alur pada kipas atas berukuran cukup besar.
Walker (1978) memberikan model urutan macam sedimen kipas atas ke bawah.
Bagian teratas ditandai oleh fragmen aliran (debris flow) berstruktur longsoran (slump),
jika sedimennya berupa konglomerat, maka umumnya letak semakin ke bawah
pemilahannya makin teratur, mengakibatkan bentuk lapisan tersusun terbalik ke bagian
atas dan berubah menjadi lapisan normal bagian bawah.

B. Kipas tengah (middle fan)


Bagian tengah kipas laut dalam adalah yang paling menarik dan sering
diperdebatkan. Letak kipas tengah berada di bawah aliran kipas atas.
Morfologi kipas laut dalam bagian tengah, dapat dibagi menjadi 2, yaitu
suprafan dan suprafan lobes, disamping ketinggian dari lautan, juga morfologi di
dalamnya. Suprafan umumnya ditandai lembah yang tidak mempunyai tanggul alam
(Nomark, 1978) dimana lembah tersebut saling menganyam (braided), sehingga dalam
profil seismic berbentuk bukit-bukit kecil. Relief ini sebenarnya merupakan bukit-bukit
dan lembah yang dapat mempunyai relief 90 meter. Lembah dapat berisi pasir sampai
kerakal (Nomark,1980), kadang-kadang dapat menunjukan urutan Bouma (1962).

55

Bagian suprafan sebenarnya lebih merupakan model yang kadang-kadang di


lapangan sulit untuk diterapkan. Masalah dasar tmbuhnya model bagian ini adalah
adanya urutan batuan yang cirinya sangat menyerupai kipas luar, tetapi masih
menunjukan bentuk-bentuk torehan, dimana ciri terakhir ini menurut Walker (1978)
adalah kipas Suprafan.
Asosiasi fasies kipas bagian tengah berupa tubuh-tubuh Batupasir dengan sedikit
konglomerat yang berbentuk lensa yang lebih lebar dan luas. Batupasir dan Konglomerat
tergolong ke dalam fasies A, B, dan F. Fasies-fasies itu disisipi juga oleh lapisan-lapisan
sejajar dari fasies D dan E, kadang-kadang juga fasies C.
Asosiasi fasies ini berbeda dengan asosiasi fasies yang terdapat di kipas bagian
dalam, yaitu :

Tubuh Batupasir dan konglomerat dimensinya kecil

Geometrinya kurang cembung ke bawah

Adanya sisipan-sisipan perselingan dari Batupasir-Batulempung.

C. Kipas Bawah (Lower Fan)


Kipas bawah terletak pada bagian luar dari system laut dalam, Umumnya
mempunyai morfologi yang datar sangat landai (Nomark,1978). Kipas bawah
merupakan endapan paling akhir dari system paket atau aliran gravitasi tersebut yang
paling mungkin mencapai bagian kipas adalah system aliran dari arus kenyang. Ukuran
yang paling mungkin di daerah kipas luar adalah berukuran halus.
Serta menunjukan urutan vertikal , Bouma (1962). Asosiasi fasies kipas bawah
disusun oleh lensa-lensa butiran di dalam Batulempung, perselingan Batupasir dan
batulanau yang berlapis tebal. Lensa-lensa Batupasir dari fasies B dan C, sedangkan
batuan-batuan yang mengapitnya dari fasies D .
Karakteristik asosiasi fasies fasies kipas bagian bawah ditandai oleh :

Langkanya batuan-batuan yang diendapkan di dalamnya paritan (channel deposit)

Penampang geometrinya berbentuk lensa.

56

Di bagian puncak sekuen, kadang-kadang didapatkan juga endapan paritan dan


amalgamasi.

Sering kali sekuennya memperlihatkan penebalan lapisan ke bagian atas.

Dari ketiga bagian dari kipas bawah laut tersebut akan menghasilkan sekuen
pengandapan dengan cirri yang berbeda antara satu dengan yang lain yang dijelaskan
oleh sekuen kipas bawah laut Walker,1978 (Gambar 4.9).

Gambar 4.9.Hipotesa Sikuen kipas bawah laut yang dapat berkembang selama proses
progradasi kipas bawah laut. C.U adalah sikuen penebalan dan pengkasaran
ke atas, F.U adalah sikuen penipisan dan penghalusan ke atas. CT adalah
fasies classical turbidite, PS adalah fasies Batupasir kerikilan, CGL adalah
fasies konglomerat, DF adalah fasies debris flow dan SL adalah fasies slump
(Walker,1978).

57

4.4

Hasil Analisa Fasies Turbidit Satuan Batupasir Semilir


Pada umumnya endapan turbidit ditafsirkan sebagai endapan laut dalam, hal ini

dikarenakan sebuah endapan turbidit adalah suatu sedimen yang beronggok pada suatu
lereng, kemudian secara tiba tiba meluncur dengan kecepatan tinggi bercampur air
berupa suatu aliran padat. Partikel pertikel sedimen bergerak tanpa bantuan seretan air,
tetapi inersia (Sanders,1965). Inersia yakni energi potensial atau gravity yang dirubah
menjadi energi kinetis, dan pengendapan terjadi segera setelah energi kinetis habis,
misalnya di tempat datar. Arus turbidit ini terutama terjadi di laut, dan merupakan
mekanisme yang penting dalam mentrasfer sedimen ke daerah yang lebih rendah, yakni
pada bathial hingga abisal (Koesoemadinata,1981). Sehingga dalam suatu endapan
turbidit, akan ditemui adanya pencampuran fosil dari batuan yang lebih tua, ke endapan
turbidit yang baru terbentuk, yang mengisi daerah yang lebih rendah.
Dalam menentukan suatu fasies turbidit dapat dilakukan berdasarkan beberapa
parameter, antara lain parameter fisik, kimia, dan biologi. Metode untuk menentukan
seluruh parameter tersebut adalah dengan melakukan analisis profil detail pada beberapa
lintasan pengamatan pada Satuan Batupasir Semilir yang mewakili keadaan fenomena
geologi daerah penelitian,penulis menggunakan beberapa acuan dalam melakukan
interpretasi fasies turbidit yakni Bouma (1962), Walker (1978), Mutti (1992).
Untuk

membuktikan adanya pengaruh arus

turbidit

pada

mekanisme

pengendapan Satuan Batupasir Semilir dengan mengacu pada beberapa peneliti, serta
mengenai model dan pembagian fasies turbidit, maka penulis membuat 7 lintasan profil
pada daerah penelitian yang dikelompokan menjadi tiga daerah lintasan profil yang
didasarkan pada lokasi pengambilan profil (Lihat lampiran profil) yaitu:

Profil bagian barat yang terdiri atas :


1. Profil Lintasan Ngrau, Desa Rejosari
2. Profil Lintasan Sentul,Desa Ngasinan
3. Profil Lintasan Sambeng,Desa Putuk

58

Profil bagian tengah yang terdiri atas :


1. Profil Lintasan Blembem, Desa Candirejo
2. Profil Lintasan Kepuh, Desa Kepuh

Profil bagian timur yang terdiri atas :


3. Profil Lintasan Sambeng, Desa Sambeng
4. Profil Lintasan Garotan, Desa Kepuhsari

Gambar 4.12.

Peta lokasi persebaran lintasan profil pada daerah penelitian (kotak warna
merah).
Kotak warna hijau merupakan lokasi profil bagian barat.
Kotak warna kuning merupakan lokasi profil bagian tengah.
Kotak warna biru merupakan lokasi profil bagian timur.

59

4.4.1 Profil Bagian Barat Daerah Telitian.


Dibagian barat daerah telitian ini dilakukan beberapa profol stratigrafi terukur
untuk mengetahui lapisan tiap batuan sedimen yang ditemukan serta bagaimana
hubbungannya dengan lapisan yang lain, terdapat tiga profil stratigrafi terukur pada
daerah ini dimana sesuai hukum superposisi dapat dijelaskan sacara urut dari lapisan
tertua yakni profil stratigrafi terukur Daerah Ngrau,Sentul dan Sambeng.Untuk
penjelasan lebih lanjut mengenai karakter dari masing masing lapisan pada tiap daerah
tersebut dapat diketahui melalui penjelasan berikut :
4.4.1.1 Profil Lintasan Ngrau, Desa Rejosari
Lokasi
Lintasan profil pada lokasi ini terbagi menjadi 3 lokasi pengamatan yaitu Lp
88,Lp 89 dan Lp 95 yang terletak di daerah Ngrau Desa Rejosari yang relatif berada
pada bagian barat daerah penelitian, dengan koordinat X: 472980, Y: 9133153.

Foto 4.1. Kenampakan singkapan Satuan Batupasir semilir yang menunjukan fasies Pebbly Sandstone
(PS)pada Lp 95 Smooth to Channelled of Suprafan Lobes( Walker,1978).diambil pada Daerah
Ngrau Koordinat X:473135 ; Y:9133012.Arah kamera N285E, cuaca cerah.

60

Litologi
Pada lintasan profil ini, terdapat singkapan Batupasir volkanik (Foto 4.1) dengan
tebal total 12,77m dengan litologi penyusunnya berupa perlapisan Batupasir volkanik
dengan sisipan berupa Batulempung dengan beberapa kenampakan struktur sedmen
adalah perlapisan, laminasi, dan gradded bedding dan terdapat juga kontak dengan
batugamping Wonosari dengan penjelasan lapisan sebagai berikut :
1 ). Pada Lokasi Pengamatan 89
Terdapat perlapisan Batupasir volkanik, berwarna coklat,perlapisan, dengan
ukuran butir pasir sedang-halus (1/4 - 1/2mm), terpilah buruk ,menyudut ,kemas terbuka
dan memiliki komposisi mineral: kalsit,tuff,hornblene,kuarsa,semen silika dengan
lapisan yang berada ditengah memiliki komposisi semen karbonat dengan total tebal
lapisan 5,3 M yang memperlihatkan adanya penebalan lapisan ke atas.
Pada lapisan atas Batupasir volkanik ini terdapat kontak dengan lithologi
Batugamping Wonosari yang berwarna putih,struktu sedimen perlapisan ,memiliki
ukuran butir arenit ( pasir kasar (0,5-1mm)),butiran menyudut,terpilah buruk dengan
kemas tertutup serta memiliki komposisi berupa Alochem: pecahan cangkang,semen
kalsit.
2 ). Pada Lokasi Pengamatan 88
Pada lintasan profil ini terdapat perlapisan Batupasir volkanik berwarna
putih,ukuran butir pasir kasar (0,5-1mm),menyudut,sortasi buruk,kemas terbuka,dangan
komposisi berupa tuff,hornblende,kuarsa semen silika
Kemudian pada lapisan tengah terdapat

Batupasir volkanik berwarna

putih,dengan ukuran butir pasir halus (0,125-0,5mm),membundar,terpilah baik,kemas


tertutup memiliki komposisi berupa tuff,kuarsa dengan semen silika.

61

Pada lapisan bawahnya berupa perlapisan Batupasir volkanik berwarna


putih,ukuran

butir

pasir

sedang

(0,25-0,5mm),menyudut,sortasi

buruk,kemas

terbuka,dangan komposisi berupa tuff,hornblende,kuarsa semen silika.


Ketiga lapisan ini menunjukan kenampakan penebalan lapisan keatas dengan
total ketebalan 2,6 M.
3 ). Pada Lokasi Pengamatan 95
Pada bagian atas terdapat perlapisan Batupasir krakalan berwarna hitam dengan
ukuran butir pasir sedang krakal (0,25-64mm) dengan butiran yang membundar,kemas
terbuka berkomposisi basalt,tuff,hornblende,plagioklas dan kuarsa,semen silika.
Kemudian dibagian bawah secara bersusun terdapat perlapisan Batupasir tuffan
dengan ukuran butir pasir halus pasir sedang (0,125-0,5mm) dengan ketebatalan antara
30-50 cm

dan juga terdapat sisipan berupa Batu lempung,semua kenampakan

singkapaan ini memperlihatkan lapisan yang menebal keatas dengan total ketebalan
4,87M.
Interpretasi Fasies
Interpretasi fasies pada lintasan ini dilakukan berdasarkan dari 3 acuan peneliti
terdahulu yaitu menurut Bouma (1962),Mutti (1992),dan Walker (1978).

Berdasarkan pada Konsep Bouma (1962).


Pada lokasi ini masih terlihat adanya kenampakan struktur sedimen yang

mencirikan adanya pengaruh arus turbidit sesuai dengan konsep bouma sequence yaitu
adanya perlapisan Batupasir volkanik berstuktur sedimen laminasi (T-d),kemudian
terdapat lapisan tipis Batulempung dengan struktur laminsi (T-e) yang menggambarkan
pola sedimentasi menghalus keatas.

62

Kehadiran beberapa bouma sequence ini tidak lengkap dikarenakan perbedaan


kemiringan lereng dari tempat terendapkannya lapisan ini,tetapi hal ini sudah dapat
menjelaskan adannya aktifitas turbidit pada daerah ini.

Berdasarkan pada Konsep Mutti (1992).


Pada Lintasan Daerah Ngrau Desa Candisari dapat diidentifikasi menurut konsep

Mutti (1992) yaitu pada :


Pada lapisan bawah Lp 95 termasuk kedalam kelompok Low density Turbidity
Curent yakni fasies Fine Grain Fasies (FGF) F9 yang didominsi oleh endapan
berukuran butir pasir sedang pasir halus yang masih berasosiasi dengan adanya Bouma
sequence dengan hadirnya lapisan Batupasir volkanik berukuran halus dengan struktur
laminasi dan adanya lapisan Batulempung dengan struktur sedimen laminasi lalu pada
bagian tengah berubah menjadi fasies Coarse Grain Facies (CGF) F4 yang ditunjukan
oleh hadirnya lapisan tebal pasir kasar yang dengan lapisan atas berupa Very Coarse
Grain Fasies (VCGF) F3 yang merupakan kelompok dari High density turbidity curent
berupa endapan material kasar batupasir krikilan.
Pada Lp 88 dan Lp 89 termasuk dalam kelompok Coarse Grained Facies (CGF),
dan yang berkembang adalah fasies F4 dimana Endapan endapan pada fasies F4 dapat
diindikasikan sebagai endapan endapan berukuran kasar yang memiliki lapisan yang
sangat tebal.

Berdasarkan pada Konsep Walker (1978)


Pada profil Daerah Ngrau ini memperlihatkan adanya kenampakan struktur

sedimen penciri adanya gejala turbidit yaitu interval

Bouma termasuk kedalam

kelompok classical turbidite (CT),dijelaskan dengan hadirnya lapisan Batupasir


volkanik dengan struktur laminasi (T-d)lalu adanya lapisan Batulempung (T-e) serta
hadirnya lapisan Batupasir Krakalan dengan struktur sedimen berupa gradded bedding
yang merupakan kelompok dari sequen Bouma (CT) selain hadirnya CT yang

63

memperlihatkan lapisan yang menebal keatas ,kemudian pada bagian tengah lapisan
berasosiasi dengan munculnya lapisan Batupasir Krakalan yang masuk pada kriteria
Pebble sandstone (PS) yang cukup tebal yang mencirikan suatu endapan channel
Lalu pada bagian atas terendapkan Batupasirvolkanik yang cukup tebal yang
masuk dalam kriteria Batupasir massive (MS) yang memperlihatkan penebalan kearah
atas.
Dari keseluruhan hasil analisa diatas, maka penulis dapat menginterpretasikan
bahwa fasies pengendapan Profil Ngrau, berada pada suatu komplek kipas bawah laut
fasies turbidit, pada bagian smooth to cannelled portion of suprafan lobes on mid fan
(Walker, 1978).
Lapiasan Batupasir daerah ini umumnya di dominasi oleh material material
volkanik, seperti hadirnya tuff. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat pengendapan
berlangsung, terjadi suplai material sedimen akibat aktifitas volkanik.
Adannya kontak antara Satuan Batupasir volkanik Semilir dengan Satuan
Batugamping Wonosari menandakan adanya perubahan suplai sedimen yaitu
meningkatnya aktifitas sedimentasi yang bersumber dari laut dikarenakan adanya proses
kenaikan muka air laut.
4.4.1.2 Profil Lintasan Sentul,Desa Ngasinan
Lokasi
Lintasan profil pada lokasi ini terbagi menjadi 4 lokasi pengamatan yaitu Lp
79,Lp 83,Lp 81 dan Lp 85 yang terletak di daerah Sentul Desa Ngasinan yang relatif
berada pada bagian barat daerah penelitian, dengan koordinat X: 472987, Y: 9132146

64

Litologi
Pada lintasan profil ini, terdapat singkapan Batupasir volkanik dengan tebal total
12,51 M dengan litologi penyusunnya berupa perlapisan Satuan Batupasir volkanik
Semilir yang memiliki beberapa kenampakan struktur sedimen antra lain perlapisan,
laminasi, dan gradded bedding ,kemudian pada bagian atas dijumpai kontak dengan
Satuan Batugamping wonosari dengan penjelasan lapisan sebagai berikut :
1 ). Pada Lokasi Pengamatan 79
Terdapat perlapisan Batupasir volkanik yang terdiri dari 5 lapisan batuan yaitu
pada bagian bawah terdapat lapisan Batupasir volkanik berwarna abu- abu,memiliki
struktur sedimen perlapisan sejajar,ukuran butir pasir sedang (0,25-0,5mm),butiran
menyudut,terpilah baik,kemas tertutup serta memiliki komposisi berupa fragmen
tuff,plagiklas,kuarsa ,semen silika.
Kemudian pada lapisan selanjutnya dijumpai lapisan Batupasir volkanik Semilir
berwarna putih berstruktur sedimen perlapisan sejajar dengan ukuran butir pasir sangat
halus (0,06-0,125mm)yang memiliki komposisi semen silika.
Pada lapisan selanjutnya dijumpai lapisan Batupasir volkanik berwarna putih
,memiliki struktur sedimen perlapisan sejajar,ukuran butir pasir kasar(0,5-1mm),butiran
membulat ,terpilah buruk dengan kemas terbuka serta memiliki komposisi berupa
fragmen tuff,plagiklas,kuarsa ,semen silika.
Pada lapisan selanjutnya dijumpai sisipan Batulempung berwarna putih dengan
struktur laminasi ,dengan tebal 15 cm lalu pada bagian atas Batulempung dijumpai
lapisan Batupasir volkanik Semilir berwarna putih dengan struktur gradded bedding
dengan ukuran butir pasir sangat kasar (1-2mm),butiran membulat,terpilah buruk denagn
kemas terbuka,memiliki komposisi berupa fragmen tuff,hornblende,plagioklas,kuarsa
dengan semen silika.

65

Pada lokasi pengamatan ini memperlihatkan pola lapisan sedimen menipis keatas
dengan total ketebalan lapisan 2,88 M.
2 ). Pada Lokasi Pengamatan 83
Pada lokasi pengamatan ini dijumpai Batupasir volkanik dengan struktur
perlapisan yang sangat tebal yang terdiri dari 4 lapisan batuan dengan ukuran butir pasir
sedang hingga pasir kasar (0,25-1mm)dangan butiran membundar,terpilah baik dengan
kemas

terbuka

serta

memiliki

komposisi

berupa

fragmen

tuff,plagioklas,hornblende,kuarsa serta memiliki semen silika.Selain perlapisan pada


lokasi pengamatan ini juga terdapat lapisan Batupasir volkanik Semilir dengan struktur
sedimen gradded bedding.lapisan ini secara keseluruhan memiliki total tebal lapisan
3,9M yang memperlihatkan pola sedimentasi menebal keatas.
3 ). Pada Lokasi Pengamatan 81
Pada lokasi pengamatan ini dijumpai 8 lapisan Batupasir volkanik dengan sisipan
batu lempung dimana perlapisan Batupasir volkanik tersebut memiliki warna putih
denga struktur sedimen perlapisan sejajar yang memiliki besar ukuran buti dari pasir
halus hingga pasir kasar (0,125-1mm),butiran membundar tanggung,terpilah baik ,kemas
tertutup ,memiliki komposisi berupa fragmen tuff,plagioklas,hornblende,kuarsa serta
semen silika.Secara keseluruhan lapisan ini memiliki total tebal lapisan 3,68 M yang
memperlihatkan pola sedimentasi menebal keatas.
4 ). Pada Lokasi Pengamatan 85
Pada lokasi pengamatan ini dijumpai lapisan Batupasir volkanik dengan struktur
sedimen perlapisan sejajar berwarna coklat berukuran pasir sedang hingga pasir kasar
(0,25-1mm)dengan butiran membundar,terpilah buruk kemas terbuka ,mamilik
komposisi berupa fragmen tuff,plagioklas,hornblende,kuarsa serta semen silika.Pada
lapisan paling atas dijumpai kontak denga Satuan Batugamping Wonosari berwarna

66

putih dnegn struktur sediemn perlapisan .ukuran butir pasir sangat halus (arenit).Total
tebal keseluruhan lapisan pada lokasi pengamatan ini adalah 2,1 M.
Interpretasi Fasies
Interpretasi fasies pada lintasan ini dilakukan berdasarkan dari 3 acuan peneliti
terdahulu yaitu menurut Bouma (1962),Mutti (1992),dan Walker (1978).

Berdasarkan pada Konsep Bouma (1962).


Pada lokasi pengamatan ini dijumpai lapisan Batupasir volkanik dengan struktur

sedimen gradded bedding (Ta) menunjukkan adanya proses sedeimentasi fraksi kasar
(debris) yang kemudian secara menerus dijumpai lapisan Batupasir volkanik berstuktur
laminasi (Tb) kemudian pada bagian atas terdapat Batulempung dengan struktur
sedimen laminasi (Te) yang terendapkan secara susupensi yang menggambarkan pola
sedimentasi menghalus keatas,dari ciri tersebut terdapat kasamaan ciri fasies turbidit
yang dikemukakan oleh bouma yang memperkuat bahwa Satuan Batupasir Semilir di
daerah telitian terendapkan dengan proses turbidit.

Berdasarkan pada Konsep Mutti (1992).


Pada Lintasan Daerah Sentul dapat diidentifikasi menurut konsep Mutti (1992)

yaitu pada :
Pada lokasi pengamatan 79 hadirnya lapisan batuan berukuran pasir sedang
menunjukan adanya perkembangan dari Fine Grain facies (FGF) yakni F8 kemudian
pada lapisan atas dijumpai struktur sedimen penciri pengandapan turbidit yakni gradded
bedding,laminasi

dan

perlapisan

batuan

berukuran

pasir

halus

yang

dapat

diklasifikasikan pada fasies F9 menurut konsep Mutti.


Berkembang pula fasies Coarse Grain facies (CGF) yang ditunjukkan dengan
hadirnya lapisan Batupasir volkanik berukauran butir pasir kasar yang sangat tebal
penciri fasies F4 pada Lp 83 kemudian pada bagian atas yakni pada Lp 81 dan 82

67

berkembang fasies F6 hal ini menandakan bahwa terdapat mekanisme pengendapan dari
kelompok Higt Density Turbidity Curent pada daerah ini kemudian melemah menjadi
arus tersebut melemah hingga menghasilkan dominasi material halus dari kelompok Low
Density Turbidity Curent yang ditunjukan adanya fasies F9.

Berdasarkan pada Konsep Walker (1978)


Pada profil lintasa garotan ini dijumpai adanya perlapisan Batupasir volkanik

pada masing-masing Lokasi pengamatan sangan tebal yakni lebih dari 50cm maka
menurut walker berkembang fasies Massive Sandstone (MS).
Selain hadirnya fasies MS yang memperlihatkan lapisan yang menebal keatas
,kemudian pada bagian bawah dari profil menunjukan kehadiran lapisan berstuktur
sedimen tasi penciri endapan turbidit yakni gradded bedding,laminasi serta hadirnya
lapisan Batulempung berstruktur laminasi sehingga masuk dalam klasifikasi Clasical
Turbidit (CT).
Dari keseluruhan hasil analisa diatas, maka penulis dapat menginterpretasikan
bahwa fasies pengendapan Profil Daerah Sentu ini, berada pada suatu komplek kipas
bawah laut fasies turbidit, pada bagian smooth portion of suprafan lobes on mid fan
(Walker, 1978).
4.4.1.3 Profil Lintasan Sambeng,Desa Putuk
Lokasi
Lintasan profil pada lokasi ini terbagi menjadi 5 lokasi pengamatan yaitu Lp 64
,Lp 65,Lp 66,Lp 70,Lp 72 yang terletak di daerah Sambeng,Desa Putuk yang relatif
berada pada bagian selatan daerah penelitian, dengan koordinat X: 474578, Y: 913574.

68

Litologi
Pada lintasan profil ini, terdapat singkapan Batupasir Semilir dengan tebal total
11,2 M dengan litologi penyusunnya berupa perlapisan Batupasir volkanik yang
memiliki beberapa kenampakan struktur sedimen antra lain perlapisan, laminasi,load
cast dan gradded bedding (Foto 4.2).

Foto 4.2. Kenampakan singkapan Satuan Batupasir Semilir yang menunjukan fasies Classical Turbidit
(CT) pada Lp 64 Smooth Portion of Suprafan Lobes (Walker,1978) foto diambil pada Daerah
Putuk. Koordinat X:474532 ; Y:9130590.Arah kamera N255E, cuaca cerah.

Jenis lithologi yang dijumpai pada profil stratigrafi terukur lintasan Sambeng
Daerah Putuk ini dapat dijelaskan dari lapisan paling tua secara berurutan sebagai
berikut :

69

1 ). Pada Lokasi Pengamatan 64


Dijumpai lapisan Batupasir volkanik

berwarna abu-abu yang terdiri dari 3

lapisan dimana padalapisan bawah terdapat struktur sedimen berupa gradded bedding
dengan ukuran butir pasir kasar kemudian pada lapisan kedua berupa lapisan Batupasir
volkanik berukuran butir pasir sangat halus (0,06-0,125mm)dengan struktur sedimen
laminasi lalu pada bagian atas terdapat lapisan Batupasir volkanik dengan struktur
sedimentasi perlapisan yang berukuran butir pasir sedang.Lapisan Batupasir ini memiliki
komposisi berupa fragmen tuff,plagioklas,kuarsa serta semen silika.
Pada lapisan teratas merupakan lapisan batu pasir kasar dengan ketebalan sekitar
2M dengan pola sedimentasi menipis keatas
2 ). Pada Lokasi Pengamatan 65
Pada lokasi pengamatan ini didapatkan lapisan Batupasir volkanik berwarna
putih dengan struktur sedimen laminasi yang memiliki ukuran butir pasir sangat halus
(0,06-0,125mm)dengan komposisi semen silika.
Pada lapisan kedua lokasi pengamatan ini didapatkan lapisan Batupasir volkanik
berwarna putih dengan struktur sedimen gradded bedding, dengan ukuran butir pasir
halus hingga sanga kasar ,butiran membundar tanggung,terpilah buruk ,kemas terbuka
serta memiliki komposisi berupa Fragmen tuff,plagioklas,hornblende,biotit serta semen
karbonat.
Lapisan ini terus berulang secar menerus hingga mencapai total ketebalan lapisan
2,1 M yang menunjukan pola sedimentasi menebal keatas (Foto 4.3).

70

Foto 4.3. Kenampakan singkapan Satuan Batupasir Semilir menunjukan pola sedimen menebal keatas
pada Lp 81 Smooth Portion of Suprafan Lobes (Walker,1978), foto diambil pada Daerah
Sentul. Koordinat X:473003 ; Y:9132190.Arah kamera N285E, cuaca cerah.

3 ). Pada Lokasi Pengamatan 66


Pada lokasi pengamatan ini dijumpai lapisan Batupasir volkanik berukuran pasir
sangat halus hingga pasir sedang yang secara menerus memperlihatkan pola sedimen
menebal keatas denga ukuran butir mengkasar.Batupasir volkanik ini memiliki warna
abu-abu dengan struktur sedeimen perlapisan ,butiran menyudut tanggung,terpilah baik
dengan kemas tertutup,memiliki komposisi berupa fragmen tuff,plagioklas,hornblende
serta semen karbonat.
4 ). Pada Lokasi Pengamatan 70
Pada lokasi pengamatan ini dijumpai lapisan Batupasir volkanik berwarna putih
dengan ukuran butir pasir kasar (0,5-1mm)struktur sedimen perlapisan sejajar ,butiran
menyudut ,terpilah baik,kemas tertutup serta memiliki komposisi berupa fragmen

71

tuff,plagioklas,kuarsa,serta semen silika.Pada lapisan atas Batupasir volkanik ini


terdapat lapisan Batulempung berwarna coklat dengan struktur laminasi.
5 ). Pada Lokasi Pengamatan 70
Pada lokasi pengamatan ini dijumpai lapisan Batupasir volkanik berwarna putih
dengan struktur sedimen penciri adanya proses pengendapan secara turbidit daiantaranya
pada lapisan bawah terdapat lapisan Batupasir volkanik dengan struktur sedimen
gradded bedding,kemudian terdapat Batupasir volkanik dengan struktur sedimen tasi
laminasi,lalu pada lapisan ke 3 terdapat struktur sedimentasi pembebanan yaitu load cast
dan pada lapisan paling atas berupa lapisan tipis Batulempung denga struktur
sedimentasi laminasi.
Secara keseluruhan Batupasir volkanik ni berwarna putih dan berukuran butir
pasir halus hingga pasir kasar (0,125-1mm),membundar dengan derajat pemilahan buruk
serta

kemas

terbuka

yang

memiliki

komposisi

fragmen

berupa

tuff,plagioklas,hornblende,kuarsa serta semen silika.


Interpretasi Fasies
Interpretasi fasies pada lintasan ini dilakukan berdasarkan dari 3 acuan peneliti
terdahulu yaitu menurut Bouma (1962),Mutti (1992),dan Walker (1978).

Berdasarkan pada Konsep Bouma (1962).


Pada lokasi pengamatan ini masih dijumpai struktur sedimen penciri endapan

turbidit secara lengkap dalam satu paket sedimentasi yaitu pada Lp 72 dimana ada
lapisan ditemukan lapisan Batupasir volkanik dengan struktur sedimen gradded bedding
sebagai interval (Ta),kemudian Batupasir volkanik berstuktur sedimen laminasi (Tb)
,lalu adanya lapisan struktur sedimen karena proses pembebanan yakni load cast (Tc)
yang terbentuk karena adanya pembebanan material kasar yang membebani batuan yang
lebih halus kemudian pada bagian teratas lapisan ditemukan Batulempung dengan

72

struktur sedimen laminasi (Te).hal ini menguatkan bahwa Satuan Batupasir volkanik
semilir memang terendapkan dengan mekanisme turbidit.
Pada Lp 64,65 dan 70 juga dijumpai lapisan penciri sequence bouma tetapi
susunannya tidak lengkap hal ini dikarenakan adannya perbedaan kemiringan lereng
pada saat proses pengendapan terjadi.

Berdasarkan pada Konsep Mutti (1992).


Pada Lintasan Daerah Kepuhdapat diidentifikasi menurut konsep Mutti (1992)

yaitu pada :
Dari kenampakan lapisan batuan yang memiliki butiran berukuran relatif berupa
pasir halus pasir sedang maka yang berkembang pada daerah ini adalah fasies F8
didukung dengan hadirnya struktur sedimen yang penciri Bouma Sequence dengan pola
sedimen menghalus keatas menandakan berkembang pula fasies F9 yang sangat
berkaitan dengan classical turbidit yang termasuk dalam Fine Grain Facies (FGF)
dengan mekanisme sediman yang termasuk kedalam kelompok Low Density Turbidity
Curent.

Berdasakan pada Konsep Walker (1978)


Pada bagian bawah profil terdapat lapisan sedimen yang masuk dalam klasifikasi

CT dengan pola sedimen menebal keatas yang sangat tebal kdan berulang.Lalu pada
bagian tengah dijumpai adanya perlapisan Batupasir volkanik pada masing-masing
Lokasi pengamatan sangan tebal yakni lebih dari 50cm maka menurut walker
berkembang fasies Massive Sandstone (MS) dengan pola sedimentasi menebal keatas.
Kehadiran tiap tiap lapisan Batupasir volkanik yang cukup tebal yang masuk
dalam beberapa klasifikasi ini selalu memperlihatkan pola sedimentasi menebal keatas
maka penulis dapat menginterpretasikan bahwa fasies pengendapan Profil daerah
Sambeng ini berada pada suatu komplek kipas bawah laut fasies turbidit, pada bagian
smooth portion of suprafan lobes on mid fan (Walker, 1978).

73

4.4.1.4 Kesimpulan Lintasan Profil Bagian Barat


Dari hasil analisa profil secara keseluruhan pada bagian barat daerah telitian
sesuai dengan kenampakan lapangan terhadap Satuan Batupasir Semilir ini serta
mengacu pada panduan mengenai mekanisme pengendapan dengan sistem turbidit maka
dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada Satuan Batupasir Semilir bagian barat ini berkembang mekanisme
pengendapan dengan sistem turbidit yang ditandai dengan hadirnya lapisan
penciri turbidit (Bouma Sequence,1962) walaupun tidak dalam satu singkapan
yang utuh dan lengkap.
2. Sesuai dengan fasies turbidit yang dikemukaan oleh Mutti,1992 diketahui bahwa
fasies yang berkembang pada bagian barat daerah telitian ini termasuk dalam
Coarse Grain Fasies ( F4 dan F6) kemudian berangsur berubah pada bagian atas
profil menjadi Fine Grain fasies ( F9 ).

3. Menurut model pengendapan kipas bawah laut (Walker,1978) dapat dilihat dari
keseluruhan profil yaitu pada bagian bawah profil berkembang fasies Smooth to
Channelled Portion of Suprafan Lobes kemudian berubah menjadi fasies Smooth
portion of Suprafan Lobes ,hal ini menandakan bahwa adanya perubahan channel
pada pada saat pengendapan Satuan Batupasir Semilir kemungkinan dikarenakan
oleh adanya perubahan jumlah material sedimen yang tertransport serta adanya
perbedaan kuat arus pendorong material tersebut.
4. Dari analisa fosil diketahui bahwa Satuan Batupasir Semilir ini terendapkan pada
kedalaman Bathial Atas pada kala Miosen Awal (N7).

74

4.4.2 Profil Bagian Tengah Daerah Telitian.


Dibagian tengah daerah telitian ini juga dilakukan beberapa profil stratigrafi
terukur sama halnya dengan daerah barat dareh telitian guna mengetahui lapisan tiap
batuan sedimen yang ditemukan serta bagaimana hubungannya dengan lapisan yang
lain, terdapat tiga profil stratigrafi terukur pada daerah ini dimana sesuai hukum
superposisi dapat dijelaskan sacara urut dari lapisan tertua yakni profil stratigrafi terukur
Daerah Blembem dan kepuh (Lihat Gambar 2.15).Untuk penjelasan lebih lanjut
mengenai karakter dari masing masing lapisan pada tiap daerah tersebut dapat
diketahui melalui penjelasan berikut :
4.4.2.1 Profil Lintasan Blembem, Desa Candirejo.
Lokasi
Lintasan profil pada lokasi ini terbagi menjadi 3 lokasi pengamatan yaitu Lp
59,Lp 61 dan Lp 62 yang terletak di daerah Blembem Desa Candirejo yang relatif berada
pada bagian utara daerah penelitian, dengan koordinat X: 475102, Y: 9134525.
Litologi
Pada lintasan profil ini, terdapat singkapan Satuan Batupasir Semilir dengan tebal
total 12,17m dengan litologi penyusunnya berupa perlapisan Batupasir volkanik Semilir
dengan sisipan berupa Batulempung dengan beberapa kenampakan struktur sedmen
adalah, convolute, perlapisan, laminasi, dan gradded bedding dengan penjelasan lapisan
sebagai berikut :
1 ). Pada Lokasi Pengamatan 62
Terdapat perlapisan Batupasir volkanik, berwarna coklat, dengan ukuran butir
pasir sedang-halus (0,125-0,5) hingga pasir kasar (0,5-1mm ) terpilah baik, membundar,
kms:tertutup.

tebal

lapisan

antara

20-30cm,

komposisi

mineral:

tuff,hornblene,kuarsa,semen silika dengan lapisan yang berada ditengah memiliki

75

komposisi semen karbonat dengan Struktur sedimen slump dengan total tebal lapisan 2,3
M yang memperlihatkan adanya penebalan lapisan ke atas.
2 ). Pada Lokasi Pengamatan 62
Pada lapisan atas Terdapat lapisan Batupasir volkanik berwarna putih
,convolut,dengan

ukuran

butir

pasir

kasar

(0,5-1mm),butiran

membundar

tanggung,kemas tertutup berkomposisi tuff,hornblende,kuarsa dengan semen silika.


Pada lapisan kedua berupa Batupasir volkanik berwarna putih memiliki struktur
sedimen laminasi dengan ukuran butir pasir sedang (0,25-0,5mm),membundar
tanggung,komposisi tuff,horblende,plagioklas,kuarsa dengan semen silika.
Lapisan terakhir berupa Batuppasir volkanik berwarna putih,memperlihatkan
struktur gradded bedding dengan ukuran butir pasir halus - sangat kasar(0,1251mm),komposisi berupa tuff,hornblende,kuarsa dan terdapat fragmen basalt,semen
silika.Pada Lp 61 ini memperlihatkan lapisan yang menipis keatas dengan total
ketebalan lapisan 2,3M.
3 ). Pada Lokasi Pengamatan 59
Pada bagian atas terdapat perlapisan Batupasir volkanik berwarna putih dengan
ukuran butir pasir kasr-sangat kasar (0,5-2mm)dengan butiran yang membundar,kemas
terbuka berkomposisi tuff,biotit,plagioklas dan kuarsa,semen silika. Dibagian tengah
lapisan terdapat Batupasir volkanik berwarna putih dengan ukuran butir relatif halus
yaitu berupa pasir sedang sangat halus (0,06-0,5mm),dengan struktur sedimen berupa
perlapisan,laminasi,juga terdapat lapisan Batulempung berwarna putih dengan struktur
sedimen laminasi diman memiliki komposisi berupa tuff,plagioklas, hornblende dengan
semen silika.
Pada bagian bawah lapisan ini terdapat susunan Batupasir volkanik dengan
struktur perlapisan berukuran butir kasar- sangat kasar(0,5-2mm),membundar,kemas
terbuka dengan komposisi tuff,plagioklas,biotit,hornblende,kuarsa,semen silika .

76

Pada LP 59 ini terdapat susunan lapisan yang mepeerlihatkan penipisan lapisan


keatas dengan total tebal lapisan 7,8 M.
Lapiasan Batupasir daerah ini umumnya di dominasi oleh material material
volkanik, seperti hadirnya tuff. Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat pengendapan
berlangsung, terjadi suplai material sedimen akibat aktifitas volkanik.
Interpretasi Fasies
Interpretasi fasies pada lintasan ini dilakukan berdasarkan dari 3 acuan peneliti
terdahulu yaitu menurut Bouma (1962),Mutti (1992),dan Walker (1978).

Berdasarkan pada Konsep Bouma (1962).


Pada Lokasi pengamatan ini dilakukan profil, karena pada singkapan tersebut

sangat mencerminkan suatu ciri ciri endapan turbidit yakni dengan adanya interval
pada Bouma sequence (1962) yang sering dijumpai, antara lain hadirnya interval T-a,Tb,T-c struktur sedimen berupa perlapisan bersusun serta laminas idi beberapa tempat
pada litologi Batupasir, pada struktur sedimen perlapisan sejajar bersusun, menceritakan
mengenai proses sedimentasi yang terjadi setelah arus kehilangan tenaga (dalam hal ini
adalah channel pada kipas bawah laut), dan yang mula mula di endapkan pada bagian
bawah adalah ukuran butir yang lebih kasar, kemudian pada bagian atas akan
mengendap butiran - butiran yang lebih halus. Sehingga butir butir kasar akan
mengendap lebih dahulu daripada butiran - butiran yang lebih halus, dan struktur
sedimen yang terbentuk adalah perlapisan bersusun. Kemudian interval T-b berupa
Batupasir volkanik berstruktur sedimen cunvolut. Sequence ini terdapat pada Lp 61.

77

Berdasarkan pada Konsep Mutti (1992).


Pada Lintasan Daerah Blembem Desa Candirejo dapat diidentifikasi menurut

konsp Mutti (1992) yakni pada bagian bawah berkembang Coarse Grain Facies (CGF)
yakni fasies F4 dan F6 dimana didominasi oleh material berukuran kasar yang sangat
tebal yang terendapkan pada kondisi High Density Turbidity Curent.
Kemudian pada bagian atas terjadi pengurangan kekuatan arus hingga terbentuk
lapisan dari kelompok Low Density turbidity curent yang ditandai dengan pengendapan
material berukuran pasir halus pasir sedang dengan struktur sedimen yang berkaitan
dengan Classical Turbidit (F9).

Berdasarkan Pada Konsep Walker (1978)


Pada profil Daerah Blembem memperlihatkan adanya kenampakan struktur

sedimen slump (SL) di beberapa tempat pada Lp 62, struktur sedimen slump merupakan
hasil dari adanya aktifitas runtuhan atau luncuran sebuah endapan sedimen, sehingga
berbentuk terlipat lipat. Namun tidak harus berada pada bagian atas suatu sistem kipas
bawah laut yang berasosiasi dengan hadirnya debris flow,yakni batuan berukauran butir
pasir kasar sangat kasar. melainkan dapat terjadi runtuhan pada dinding channel yang
mengakibatkan adanya struktur sedimen berupa slump (Foto 4.4).Kemudian terdapat
perlapisan Batupasirvolkanik yang masuk pada kelompok Massive sandstone (MS) yang
menipis keatas pada bagian bawah lapisan serta adanya asosiasi interval

Bouma

termasuk kedalam kelompok classical turbidite (CT), selain hadirnya CT yang


memperlihatkan lapisan yang menipis keatas pada bagian tengah lapisan.
Dari keseluruhan hasil analisa diatas, maka penulis dapat menginterpretasikan
bahwa fasies pengendapan Profil Bayanan, berada pada suatu komplek kipas bawah laut
fasies turbidit, pada bagian smooth to cannelled portion of suprafan lobes on mid fan
(Walker, 1978)

78

Foto 4.4. Kenampakan singkapan Satuan Batupasir Semilir Lp 43 menunjukan adannya struktur sedimen
Slump foto diambil pada Daerah Patran. Koordinat X:475532 ; Y:9133090.Arah kamera
N176E, cuaca cerah.

4.4.2.2 Profil Lintasan Kepuh ,Desa Kepuh


Lokasi
Lintasan profil pada lokasi ini terbagi menjadi 3 lokasi pengamatan yaitu Lp
50,Lp 52 dan Lp 5 yang terletak di daerah Garotan Desa kepuh yang relatif berada pada
bagian tengah daerah penelitian, dengan koordinat X: 475463, Y: 9132325 .
Litologi
Pada lintasan profil ini, terdapat singkapan Satuan Batupasir Semilir dengan tebal
total 7,2 M dengan litologi penyusunnya berupa perlapisan Satuan Batupasir Semilir
yang memiliki beberapa kenampakan struktur sedimen antra lain perlapisan, laminasi,
dan gradded bedding dengan penjelasan lapisan sebagai berikut :
1 ). Pada Lokasi Pengamatan 53
Terdapat perlapisan Batupasir volkanik yang terdiri dari 5 lapisan Batupasir
volkanik dengan sisipan batu lempung.
Untuk Batupasir volkanik memiliki warna kuning,dengan struktur sedimen
perlapisan sejajar dengan ukuran butir dari pasir sangat halus hingga pasir sangat kasar
0,06-2mm),butiran menyudut tanggunga hingga membundar,terpilah buruk kemas

79

terbuka dengan komposisi terdiri dari fragmen tuff,hornblende,plagioklas,biotit serta


semen silika.
Pada lapisan teratas merupakan lapisan batu pasir kasar dengan ketebalan sekitar
1,5M dengan pola sedimentasi menebal keatas.
2 ). Pada Lokasi Pengamatan 52
Pada lokasi pengamatan ini didapatkan lapisan Batupasir volkanik berwarna
putih denga struktur sedimen gradded bedding, dengan ukuran butir pasir halus hingga
sangat kasar (0,125-2mm),butiran membundar tanggung,terpilah buruk ,kemas terbuka
serta memiliki komposisi berupa Fragmen tuff,plagioklas,hornblende,biotit serta semen
silika.
3 ). Pada Lokasi Pengamatan 50
Terdapat lapisan Batupasir volkanik berwarna putih dengan struktur laminasi
,memiliki ukuran butir pasir halus (0,125-0,25mm),butiran menyudut tanggung ,terpilah
buruk ,memiliki kemas terbuka ,berkomposisi berupa fragmen zeolit,tuff,plagioklas serta
semen silika.
Kemudian pada lapisan teratas merupakan lapisan Batupasir volkanik berwarna
putih,ukuran butir pasir kasar,butiran menyudut tanggung ,terpilah buruk ,memiliki
kemas tertutup ,berkomposisi berupa fragmen zeolit,tuff,plagioklas serta semen silika
Kedua lapisan ini memiliki total tebal lapisan 1,55M dengan pola sedeimentasi
menebal keatas.
Interpretasi Fasies
Interpretasi fasies pada lintasan ini dilakukan berdasarkan dari 3 acuan peneliti
terdahulu yaitu menurut Bouma (1962),Mutti (1992),dan Walker (1978).

80

Berdasarkan pada Konsep Bouma (1962).


Pada lokasi pengamatan ini tidak dijumpai adannya lapisan penciri Bouma

Sequence karena pada lintasan ini didominasi oleh lapsan Batupasir berukuran kasar
yang sangat tebal.

Berdasarkan pada Konsep Mutti (1992).


Pada Lintasan Daerah Kepuhdapat diidentifikasi menurut konsep Mutti (1992)

yaitu pada :
Dari kenampakan lapisan batuan yang memiliki butiran berukuran relatif berupa
pasir kasar hingga krakal maka yang berkembang pada daerah ini adalah fasies F6
dengan struktur sedimen yang berkembang adalah perlapisan sejajar dan adanya lapisan
Batulempung yang cukup tebal.
Kemudian terdapat lapisan Batupasir krikilan sebagai penciri channel yang
termasuk kedalam fasies F2.Dari keseluruhan lapisan pada lintasn ini berupa dominasi
dari Coarse Grain Facies (CGF) yang terendapkan pada kondisi High Density Turbidity
Curent.

Berdasarkan pada Konsep Walker (1978)


Pada profil lintasa garotan ini dijumpai adanya perlapisan Batupasir volkanik

pada masing-masing Lokasi pengamatan sangan tebal yakni lebih dari 50cm maka
menurut walker berkembang fasies Massive Sandstone (MS).
Kehadidan tiap tiap lapisan Batupasir volkanik yang cukup tebal ini selalu
memperlihatkan

pola

sedimentasi

menebal

keatas

maka

penulis

dapat

menginterpretasikan bahwa fasies pengendapan Profil daerah Kepuh ini berada pada
suatu komplek kipas bawah laut fasies turbidit, pada bagian smooth portion of suprafan
lobes on mid fan (Walker, 1978).

81

4.4.2.3 Kesimpulan Lintasan Profil Bagian Tengah


Dari hasil analisa profil secara keseluruhan pada bagian tengah daerah telitian
sesuai dengan kenampakan lapangan terhadap Satuan Batupasir Semilir ini serta
mengacu pada panduan mengenai mekanisme pengendapan dengan sistem turbidit maka
dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada Satuan Batupasir Semilir bagian tengah ini berkembang mekanisme
pengendapan dengan sistem turbidit yang ditandai dengan hadirnya lapisan
penciri turbidit (Bouma Sequence,1962) walaupun tidak dalam satu singkapan
yang utuh dan lengkap.
2. Sesuai dengan fasies turbidit yang dikemukaan oleh Mutti,1992 diketahui bahwa
fasies yang berkembang pada bagian tengah daerah telitian ini termasuk dalam
Fine Grain fasies yakni dimulai dari F9,F8 dan semakin ke atas berkembang
semakin kasar menjadi F7 yang didominasi oleh Batupasir masif.
3. Menurut model pengendapan kipas bawah laut (Walker,1978) dapat dilihat dari
keseluruhan profil yaitu pada bagian bawah profil berkembang fasies Smooth to
Channelled Portion of Suprafan Lobes hal ini menandakan bahwa daerah tengah
ini merupakan daerah yang dekat dengan channel dalam mekanisme sedimentasi
laut dalam.
4. Dari analisa fosil diketahui bahwa Satuan Batupasir Semilir ini terendapkan pada
kedalaman Bathial Atas .

82

4.4.3 Profil Bagian Timur Daerah Telitian.


Dibagian timur daerah telitian ini juga dilakukan beberapa profil stratigrafi
terukur seperti pada daerah barat dan timur daerah telitian untuk mengetahui lapisan tiap
batuan sedimen yang ditemukan serta bagaimana hubungannya dengan lapisan yang
lain, terdapat tiga profil stratigrafi terukur pada daerah ini dimana sesuai hukum
superposisi dapat dijelaskan sacara urut dari lapisan tertua yakni profil stratigrafi terukur
Daerah Sambeng dan garotan.Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai karakter dari
masing masing lapisan pada tiap daerah tersebut dapat diketahui melalui penjelasan
berikut :
4.4.3.1 Profil Lintasan Sambeng,Daerah Sambeng.
Lokasi
Lintasan profil pada lokasi ini terbagi menjadi 2 lokasi pengamatan yaitu Lp 38
dan Lp 47 yang terletak di daerah Sambeng yang relatif berada pada bagian timur daerah
penelitian, dengan koordinat X: 477101 Y: 9132222.
Litologi
Pada lintasan profil ini, terdapat singkapan Satuan Batupasir Semilir dengan tebal
total 8,4 M dengan litologi penyusunnya berupa perlapisan Batupasir volkanik dengan
sisipan berupa Batulempung dengan beberapa kenampakan struktur sedmen adalah
perlapisan, laminasi, dan gradded bedding

dan silang siur.yang dijelaskan sebagai

berikut :
1 ). Pada Lokasi Pengamatan 38
Terdapat perlapisan Batupasir volkanik, berwarna coklat,perlapisan, dengan
ukuran butir pasir sedang-halus (1/4 - 1/2mm) terpilah buruk ,menyudut tanggung
,kemas terbuka dan memilii komposisi mineral: tuff ,plagioklas,hornblende,semen silika

83

ddiman terdapat lapisan Batulempung berwarna hitam dengan struktur sedimen laminasi
pada bagian atas lapisan ini
Singkapan pada lokasi pengamatan ini mmemiliki total ketebalan 2,1 M
2 ). Pada Lokasi Pengamatan 47
Secara teratur lapisan ini terdiri dari 7 lapisan dengan masing-masing
memperlihatkan struktur sedimen penciri channel dengan hadirnya perlapisan Batupasir
volkanik berwarna putih,ukuran butir pasir sedang (0,25-0,5mm),menyudut,sortasi
buruk,kemas terbuka,dangan komposisi berupa tuff,hornblende,kuarsa semen silika.
Kemudian pada lapisan kedua berupa Lapisan Batupasir volkanik berstruktur
laminasi warna putih,dengan ukuran butir pasir sangat halus(0,06-0,125mm),butiran
membundar,semen silika.Juga terdapat lapisan Batupasir volkanik berwana putih dengan
struktur gradded bedding,ukuran butir pasir sedang-krikil,membundar dengan kemas
terbuka serta berkomposisi tuff,piroksin,plagioklas,semen silika.
Kemudian terdapat lapisan Batupasir volkanik berwarna putih dengan struktur
sedimen silang siur,ukuran butir pasir sedang-kasar (0,25-1mm),sortai buruk,kemas
terbuka serta memiliki komposisi berupa piroksin,kuarsa,hornblende,plagioklas dan
semen silika.
Lalu pada begian bawah berupa Batupasir volkanik berwarna putih berstruktur
sedimen laminasi dengan ukuran butir pasir sedang (0,25-0,5mm),membundar ,sortasi
buruk,kemas terbuka,memiliki komposisi biotit,plagioklas,kuarsaserta semen silika.
lapisan ini menunjukan kenampakan penebalan lapisan keatas dengan total
ketebalan 6,35 M.

84

Interpretasi Fasies
Interpretasi fasies pada lintasan ini dilakukan berdasarkan dari 3 acuan peneliti
terdahulu yaitu menurut Bouma (1962),Mutti (1992),dan Walker (1978).

Berdasarkan pada Konsep Bouma (1962).


Pada lokasi ini masih terlihat adanya kenampakan struktur sedimen yang

mencirikan adanya channel dengan pengaruh arus turbidit yang didominasi oleh material
kasar sehingga kenampakan dari lapisan penciri Bouma Seqeunce jarang ditemui.
Pada Lp 36 dijumpai adanya Batupasir volkanik dengan struktur sedimen
laminasi dengan ukuran butir pasir sedang dengan lapisan diatasnya berupa batu
lempung.Lapisan ini diinterpretasikan sebagai salah satu penciri Bouma Sequence yakni
Td dan Te dengan pola sedimen menghalus.

Berdasarkan pada Konsep Mutti (1992).


Pada Lintasan Daerah Sambeng dapat diidentifikasi menurut konsep Mutti

(1992)

Secara keseluruhan merupakan dominasi material berukuran kasar dengan

lapisan yang tebal yang termasuk kedalam Coarse Grain Facies (CGF) yaitu F6 dan F4
yang juga terdapat fasies pengisi channel berupa material batupasir krikilan yang
termasuk kedalam F3 yang terendapkan pada kondisi High Density Turbidity Curent.
Pada lapisan bawah yakni hadirnya fasies F9 dari Fine Grain facies (FGF)
merupakan kelompok yang terendapkan ketika fraksi kasar telah mengendap terlebih
dahulu yakni pada kondisi Low Density Turbidity Curent yakni terdapat pada Lp 38.

Berdasarkan pada Konsep Walker (1978)


Pada profil Daerah Sambeng ini memperlihatkan adanya kenampakan struktur

sedimen penciri adanya gejala turbidit yaitu interval

Bouma termasuk kedalam

kelompok classical turbidite (CT),dijeelaskan dengan hadirnya lapisan Batupasir

85

volkanik dengan struktur laminasi (T-b)lalu adanya lapisan Batupasir volkanik


berstruktur sedimen silang suir (T-c)
Selain hadirnya CT yang memperlihatkan lapisan yang menebal keatas
,kemudian pada bagian tengah lapisan berasosiasi dengan munculnya lapisan Batupasir
Krikalan yang masuk pada kriteria Pebble sandstone (PS) yang cukup tebal yang
mencirikan suatu endapan channel
Lalu pada bagian atas terendapkan Batupasir volkanik yang cukup tebal yang
masuk dalam kriteria Batupasir massive (MS) yang memperlihatkan penebalan kearah
atas.
Dari keseluruhan hasil analisa diatas, maka penulis dapat menginterpretasikan bahwa
fasies pengendapan Profil Ngrau, berada pada suatu komplek kipas bawah laut fasies
turbidit, pada bagian smooth to cannelled portion of suprafan lobes on mid fan (Walker,
1978)

Foto 4.5. Kenampakan singkapan Satuan Batupasir Semilir menunjukan fasies Classical Turbidit (CT)
pada Lp 47 Smooth Portion of Suprafan Lobes (Walker,1978). foto diambil pada Daerah
Ngasem. Koordinat X:472235 ; Y:9130390.Arah kamera N245E, cuaca cerah.

86

4.4.3.2 Profil Lintasan Garotan ,Desa Kepuhsari


Lokasi
Lintasan profil pada lokasi ini terbagi menjadi 3 lokasi pengamatan yaitu Lp
24,Lp 25 dan Lp 101 yang terletak di daerah Garotan Desa kepuhsari yang relatif berada
pada bagian tenggara daerah penelitian, dengan koordinat X: 478564, Y: 9130987
Litologi
Pada lintasan profil ini, terdapat singkapan Satuan Batupasir Semilir dengan tebal
total 10,38 M dengan litologi penyusunnya berupa perlapisan Batupasir volkanik yang
memiliki beberapa kenampakan struktur sedimen antra lain perlapisan, laminasi, dan
cross bedding dengan penjelasan lapisan sebagai berikut :
1 ). Pada Lokasi Pengamatan 101
Terdapat perlapisan Batupasir volkanik yang terdiri dari 8 lapisan batuan,
berwarna putih,perlapisan, dengan ukuran butir pasir halus hingga kasar (0,1251mm),terpilah buruk ,menyudut ,kemas terbuka dan memiliki komposisi mineral:
tuff,hornblene,kuarsa,semen silika juga terdapat sisipan Batulempung berwarna
putih,laminasi berkomposisi semen silika.Dari kenampakan singkapan ini dapat
diketahui bahwa susuna perlapisan batuan ini menunjukan pola menebal keatas dengan
total ketebalan lapisan 3,63 M.
2 ). Pada Lokasi Pengamatan 25
Terdapat perlapisan Batupasir volkanik yang terdiri dari 2 lapisan batuan,
berwarna putih,perlapisan, dengan ukuran butir pasir sedang hingga sangat kasar (0,25 2mm),terpilah buruk ,menyudut ,kemas terbuka dan memiliki komposisi mineral:
F:feldspar,tuff,plagioklas serta terdapat fragmen berupa batu beku basalt,serta memiliki
semen silika Dari kenampakan singkapan ini dapat diketahui bahwa susuna perlapisan
batuan ini menunjukan pola menebal keatas dengan total tebel lapisan 2,1 M..

87

3 ). Pada Lokasi Pengamatan 24


Terdapat perlapisan Batupasir volkanik yang terdiri dari 4 lapisan batuan yaitu
pada bagian bawah singkapan terdapat lapisan Batupasir gampingan berwarna
putih,struktur

sedimen silang siur,berukuran sedang krikil (0,25-4mm),butiran

menyudut,kemas

tertutup

serta

memiliki

komposisi

fragmen

berupa,Basalt,Batulempung,Batupasir,tuff ,Matriks berupa pasir sangat halus.


Kemudian secara urut lapisan semakin keatas terdapat lapisan Batupasir
gampingan yang semakin kasar yang berukuran pasir kasar hingga krakal (0,54mm),memiliki struktur sedimen perlapisan sejajar,komposisi berupa Fragmen
basalt,Batupasir,Batulempung serta tuff dengan semen karbonat,setiap lapisan yang satu
dengan lainnya dibatasi dengan kontak lapisan berupa bidang erosional.
Dari lapisan yang paling tua hingga termuda dijumpali pola sedimentasi lapisan
yang menebal keatas dengan total tebal lapisan 4,62M.Singkapan ini diinterpretasikan
sebagai endapan channel.
Interpretasi Fasies
Interpretasi fasies pada lintasan ini dilakukan berdasarkan dari 3 acuan peneliti
terdahulu yaitu menurut Bouma (1962),Mutti (1992),dan Walker (1978).

Berdasarkan pada Konsep Bouma (1962).


Pada lokasi ini masih terlihat adanya kenampakan struktur sedimen yang

mencirikan adanya channel dijelaskan dengan dijumpainya lapisan batuan yang


berukauran pasir kasar hingga krakal serta adanya kontak erosional pada lapisan
tersebut.selain itu juga dijumpai lapisan Batupasir volkanik Semilir yang berstruktur
sedimen silang siur yang merupakan salah satu ciri struktur sedimen pada daerah
channel.

88

Kehadiran dari Bouma sequence terdapat pada lapisan atas profil yakni pada Lp
19 dimana merupakan pengendapan material yang terbentuk ketika fraksi kasar yang ada
telah terendapkan terlebih dahulu . Bouma sequence ini hadir tidak lengkap yakni hanya
lapisan Ta,Tb,Tc,Td saja.

Berdasarkan pada Konsep Mutti (1992).


Pada Lintasan Daerah Garotan dapat diidentifikasi menurut konsep Mutti (1992)

yaitu pada :
Dari kenampakan lapisan batuan yang memiliki butiran berukuran relatf berupa
pasir kasar hingga krakal maka yang berkembang pada daerah ini adalah Coarse Grain
Facies (CGF) yakni fasies F4 dan F6.kemudian pada bagian atas terdapat fasies pengisi
channel yakni berupa material Batupasir krakalan yang termasuk dalam Very Coarse
Grain facies (VCGF) yakni F2 keselurukan fasies yang merupakan dominasi dari
material berukuran kasar ini terendapakan dalam kondisi High Density turbidity Curent.
Tetapi dibagian atasa dari profil dimana terdapat lapisan penciri Bouma Sequence
yaitu fasies F9 dari kelompok Fine Grain Facies (FGF) yang berupa endapan material
halus yang memperluhatkan pola sedimentasi menghalus keatas ini terendapkan pada
kondiso Low Density Turbidity Curent.

Berdasarkan pada Konsep Walker (1978)


Pada profil lintasa garotan ini dijumpai adanya perlapisan Batupasir volkanik

pada masing-masing Lokasi pengamatan sangan tebal yakni lebih dari 50cm maka
menurut walker berkembang fasies Massive Sandstone (MS).
Selain hadirnya fasies MS yang memperlihatkan lapisan yang menebal keatas
,kemudian pada bagian tengah lapisan berasosiasi dengan munculnya lapisan Batupasir
Krikalan yang masuk pada kriteria Pebble sandstone (PS) yang cukup tebal yang
mencirikan suatu endapan channel (Foto 4.6).

89

Dari keseluruhan hasil analisa diatas, maka penulis dapat menginterpretasikan


bahwa fasies pengendapan Profil Garotan, berada pada suatu komplek kipas bawah laut
fasies turbidit, pada bagian smooth to cannelled portion of suprafan lobes on mid fan
(Walker, 1978).

Foto 4.6. Kenampakan singkapan Satuan Batupasir Semilir menunjukan suatu indikasi channel termasuk
pada fasies Pebbly Sandstone (PS) pada Lp 24 Smooth to Channelled of Suprafan Lobes
(Walker,1978).foto diambil pada Daerah Garotan. Koordinat X:478432 ; Y:9130690.Arah
kamera N096E, cuaca cerah.

90

4.4.3.3 Kesimpulan Lintasan Profil Bagian Timur


Dari hasil analisa profil secara keseluruhan pada bagian timur daerah telitian
sesuai dengan kenampakan lapangan terhadap Satuan Batupasir Semilir ini serta
mengacu pada panduan mengenai mekanisme pengendapan dengan sistem turbidit maka
dapat disimpulkan bahwa :
1. Pada Satuan Batupasir Semilir bagian timur ini berkembang mekanisme
pengendapan dengan sistem turbidit yang ditandai dengan hadirnya lapisan
penciri turbidit (Bouma Sequence,1962) walaupun tidak dalam satu singkapan
yang utuh dan lengkap.
2. Sesuai dengan fasies turbidit yang dikemukaan oleh Mutti,1992 diketahui bahwa
fasies yang berkembang pada bagian tengah daerah telitian ini termasuk dalam
Coarse Grain fasies yakni berkembang fasies F8 yang didominasi oleh Batupasir
masif tetapi juga terdapat Batupasir krikilan yang diinterpretasikan sebagai salah
satu ciri channel dari mekanisme pengendapan kipas bawah laut ini.
3. Menurut model pengendapan kipas bawah laut (Walker,1978) dapat dilihat dari
keseluruhan profil yaitu pada bagian bawah profil berkembang fasies Smooth to
Channelled Portion of Suprafan Lobes hal ini menandakan bahwa daerah tengah
ini merupakan daerah yang dekat dengan channel dalam mekanisme sedimentasi
laut dalam.
4. Dari analisa fosil diketahui bahwa Satuan Batupasir Semilir ini terendapkan pada
kedalaman Bathial Atas .

91

4.5

Analisa Persebaran Lateral Satuan Batupasir Semilir


Hubungan stratigarafi secara horizontal dapat diperoleh dengan cara menerapkan

hubungan kesebandingan pada tiap satuan batuan ,dalam hal ini dilakukan dengan
melakukan kesebandingan tiap lithofasies sesuai dengan hukum superposisi yang dapat
diterapkan pada daerah telitian guna mengetahui bagaiman perkembangan serta
hubungan antara tiap fasies pengendapan yang ada pada suatu satuan batuan kaitannya
dengan endapan turbidit pada fasies kipas bawah laut daerah telitian (lihat lampiran
kesebandingan profil).
Dari hasil kesebandingan tiap lithofasies yang sudah dilakukan pada tiap lintasan
profil yang ada didapatkan bahwa pada daerah telitian berkembang fasies pengendapan
kipas bawah laut yakni pada bagian barat hingga ketimur daerah telitian berkembang
fasies Smooth portion of suprafan lobes on mid fan (Walker,1978 kemudian secara
berangsur berubah menjadi fasies Smooth to channelled portion of suprafan lobes
(Walker,1978) dibagian barat hal ini ditunjukan dengan hadirnya lapisan satuan batuan
berukuran kasar hingga krikilan yang menunjukan ciri adanya suatu channel .
Dilihat dari hasil kesebandingan antara tiap tiap profil stratigrafi terukur secara
hukum superposisi ditemukan bahwa fasies Smooth to channelled portion of suprafan
lobes (Walker,1978) berada pada lapisan yang lebih tua dibandingkan dengan fasies
Smooth portion of suprafan lobes on mid fan (Walker,1978) ,hal ini menjelaskan bahwa
adanya amalgamasi atau perubahan channel pada daerah telitian selain itu dapat
diketahui bahwa turbidit pada daerah telitian bersumber dari bagian utara daerah telitian.
Jika dilihat dari bentukan morfologi saat ini,daerah yang didominasi oleh fasies
Smooth portion of suprafan lobes on mid fan (Walker,1978) berada pada morfologi yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang didominasi oleh fasies Smooth to
channelled portion of suprafan lobes (Walker,1978),hal ini berbanding terbalik dengan
konsep kipas bawah laut dimana daerah channel harusnya berada pada tempat yang
lebih tinggi dibandingkan daerah limpahan material sedimen yang terendapkan melalui

92

channel tersebut .oleh karena itu ,keadaan ini membuktikan bahwa ada proses
pengangkatan yang sangat dominan terjadi pada daerah berkembangnya fasies Smooth
portion of suprafan lobes on mid fan (Walker,1978) sehingga dapat tersingkap menjadi
suatu daerah tinggian seperti saat ini.
4.6

Data Pendukung Fasies Turbidit Satuan Batupasir Semilir


Selain adanya bukti-bukti lapangan tentang adanya fasies turbidit pada Satuan

Batupasir Semilir yang dijelaskan dalam bentuk profil atau urutan stratigrafi
terukur,dilakukan juga analisa sayatan tipis petrografi pada beberapa sample Satuan
Batupasir Semilir pada daerah telitian dimana menghasilkan penamaan secara
mikroskopis (Gilbert,1954) didapatkan nama petrografi berupa Volkanic Wacke ,hal ini
sangat mendukung adanya aktifitas turbidit pada pengendapan Satuan Batupasir Semilir
dilihat dari kandungan fragmen batuan yang mengambang dalam matriks dan tidak
saling bersentuhan antara fragmen satu sengan yang lainnya yang menjelaskan
mekanisme transportasi sedimen berupa arus traksi dengan proses pengendapan yang
cepat (lihat lampiran sayatan petrografi).

Foto 4.7. Salah satu contoh sayatan petrografi nikol sejajar (kiri)dan nikol silang (kanan) pada sample
no.36 yang menunjukan jenis batuan Volcanic Wecke (Gilbert,1954).

93

BAB 5
POTENSI GEOLOGI
Potensi geologi ialah kemampuan alam untuk dapat menghasilkan suatu produk
dari hasil proses proses geologi yang bekerja, baik produk yang dapat menimbulkan
dampak manfaat (positif) maupun juga produk yang dapat menimbulkan kerugikan
(negatif) bagi umat manusia. Berdasarkan kedua aspek manfaat diatas maka potensi
geologi pada daerah telitian dapat dibagi seperti dibawah ini.
5.1. Potensi Geologi Positif
Potensi geologi positif adalah suatu potensi atau tata guna lahan jika dilihat dari
segi geologinya sehingga dapat dimanfaatkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari
dimana dapat memberikan nilai tambah yang positif dalam peningkatan taraf hidup
masyarakat.
Potensi geologi positif pada daerah penelitian ini dibagi menjadi dua jenis
pemanfaatan batuan yaitu :
1. Pemanfaatan Satuan Batugamping Wonosari.
2. Pemanfaatan Satuan Batupasir Semilir.

5.1.1. Pemanfaatan Satuan Batugamping Wonosari

Batugamping pada daerah telitian merupakan batugamping yang berkualitas baik


dan memiliki ketebalan lapisan yang sangat tebal dengan daerah cakupan yang sangat
luas.Batugamping ini juga dimanfaatkan penduduk sekitar guna meningkatkan taraf
hidup mereka, penambangan batugamping pada daerah telitian dijumpai disekitar
Daerah Candi yang berada pada Satuan Batugamping Wonosari, dalam hal ini
batugamping

ditambang

secara

tradisional

dengan

menggunakan

palu

godam.pengambilan batugamping ini dilakukan sesuai dengan arah perlapisan dari


batugamping itu sendiri karena akan memudahkan dalam pengolahan selanjutnya yakni

94

diusahakan sebagai bahan pembuatan batu tempel yang merupakan salah satu jenis
hiasan dinding (Foto 5.1 dan 5.2).
Walaupun dilakukan sebagai industri rumahan namun distribusi batu tempel ini
tersebar diseluruh Daerah Wonogiri,Solo dan Yogyakarta karena memang hasilnya
sangat bagus digunakan sebagai salah satu jenis hiasan dinding.

Foto 5.1 Industri rumahan yang memanfaatan Satuan Batugamping Wonosari sebagai bahan
hiasan dinding berupa batu tempel.

Foto 5.2 Hiasan dinding dari pemanfaatan batugamping berupa batu tempel.

95

5.1.2.Pemanfaatan Satuan Batupasir Semilir


Satuan Batupasir Semilir yang terdapat pada daerah telitian telah dimanfaatkan
dengan baik oleh penduduk sekitar karena keterdapatannya sangat mudah ditemukan dan
dimanfaatkan.Batupasir ini dapat secara langsung dimanfaatkan dan banyak dilakukan
penambangan secara tradisional, batupasir jenis ini sangat umum digunakan sebagai
bahan pembuatan pondasi bangunan selain batugamping karena memiliki resistensi yang
kuat dan keras selain itu memiliki sebaran yang cukup luas pada daerah telitian yakni 80
% dari daerah telitian tetapi proses penambang juga dilihat dari kualitas batupasir itu
sendiri (Foto 5.3).

Foto 5.3 Area penambangan Satuan Batupasir Semilir yang akan dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan.

96

5.2. Potensi Geologi Negatif


Potensi geologi negatif adalah suatu potensi yang dapat memberikan dampak
negatif bagi kehidupan masyarakat serta menghasilkan suatu ketidaknyamanan dalam
kehidupan sehari-hari.
Potensi geologi negatif pada daerah penelitian ini dibagi menjadi dua jenis yaitu :
1. Gerakan Tanah.
2. Penambangan Satuan Batugamping Wonosari yang tidak bertanggung jawab.

5.2.1. Gerakan Tanah.


Tingkat curah hujan yang tinggi pada daerah telitian menyebabkan tingkat
pelapukan yang tinggi, sehingga pada litologi litologi yang kurang resisten dengan
sudut kelerengan yang besar dan kontrol struktur kekar yang berada disekitar wilayah
tersebut dapat berpotensi menimbulkan adanya gerakan tanah. Pada daerah telitian
gerakan tanah dijumpai pada derah telitian yaitu pada Satuan Batupasir Semilir dimana
jenis gerakan tanah ini berupa rockfall (Foto 5.5).

Foto 5.5. Gerakan tanah tipe rockfall yang terjadi pada daerah telitian,dimana warga bekerja
sama membersihkannya.

97

5.2.2. Penambangan Batugamping Wonosari yang tidak bertanggung jawab.


Adannya aktifitas penambanagan batugamping secara besar-besaran pada daerah
telitian ini selain memberikan dampak positif bagi pemasukan sehari-hari oleh
masyarakat sekitar juga memberikan dampak positif jangka panjang yaitu adannya
kerusakan alam yang dihasilkan oleh kegiatan penembangan yang tak beryanggung
jawab dikarenakan tidak dilakukannya peremajaan daerah telah selesai ditambang yang
ditinggalkan serta dibiarkan begitu saja tanpa ada tindakan penyelamatan tertentu oleh
pihak penambang (Foto 5.4).
Selain rusaknya lingkungan oleh penambangan tanpa reklamasi lahan,aktifitas ini
juga mengakibatkan rusaknya infrastruktur kehidupan masyarakat yaitu rusaknya jalan
karena dilalui oleh kendaraan pengangkut hasil tambang yang hilir mudik menggunakan
jalan raya,hal ini juga kurang diperhatikan oleh para penambang.

Foto 5.4 Area penambangan Satuan Batugamping Wonosari yang rusak karena tidak dilakukan
reklamasi setelah kegiatan penambangan selesai dilakukan.

98

BAB 6
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada beberapa bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
1. Jenis pola pengaliran yang berkembang pada daerah penelitian, yaitu pola
pengaliran subdendritik dan paralel.

2. Secara geomorfik, daerah penelitian dibagi menjadi tiga satuan bentukan asal,
yaitu :
a) Bentukan asal struktural ( S ) ,yang terbagi atas 1 satuan geomorfik,yaitu :
1. Sub satuan geomorfik perbukitan struktural sesar ( S21 ).
b) Bentukan asal fluvial ( F ) ,yang terbagi atas 1 sub satuan geomorfik,yaitu:
1. Sub satuan geomorfik tubuh sungai ( F2 ).
2. Sub satuan dataran banjir ( F7 )
c) Bentukan asal Denudasional (D) ,yang terbagi atas 1 sub satuan geomorfik,yaitu:
1. Sub satuan geomorfik Perbukitan terkikis ( D1 ).

3. Struktur geologi pada daerah penelitian memiliki kondisi yang cukup kompleks
yakni letak lokasi penelitian pada bentukan homoklin yang kemudian
terpengaruh oleh struktur sesar sehingga menghasilkan kedudukan lapisan batuan
yang tidak seragam arahnya,kemudian dikarenakan kondisi singkapan batuan
yang telah mengalami pelapukan dengan intensitas yang tinggi sehingga tidak
mudah untuk menemukan data struktur geologi yang lengkap. Beberapa struktur
geologi yang telah diidentifikasi berdasarkan data bidang sesar, gores garis,
kelurusan jurus batuan serta berkembangnya lapisan tegak di daerah sesar, dan
adanya kenampakan offset dari sesar minor. sehingga dapat ditarik kesimpulan
bahwa pada daerah penelitian berkembang sesar mendatar dengan arah tegasan
utara - selatan.

99

4. Pada daerah penelitian, didapatkan dua satuan batuan dari tua kemuda yaitu
Satuan Batupasir Semilir yang berumur Miosen Awal terendapkan pada
lingkungan laut dalam yaitu kipas bawah laut secara turbidit kemudian terdapat
Satuan Batugamping Wonosari berumur Miosen Akhir Pliosen Awal yang
terendapkan secara tidak selaras diatas Satuan Batupasir Semilir dimana
memperlihatkan ketidakselarasan Angular Unconformity dikarenakan perbedaan
umur batuan yang sangat jauh serta adanya perbedaan kemiringan lapisan
batuan.Setelah terbentuk Satuan Batugamping Wonosari tidak terjadi lagi
pengendapan meterial sedimen lagi,akan tetapi terjadi proses pengerosian yang
cukup tinggi hingga kemudian menghasilkan Satuan Pasir lepas disepanjang
aliran sungai pada daerah telitian yang juga memiliki hubungan ketidakselarasan
Angular Unconformity.

5. Dari hasil analisa pada beberapa lintasan profil di daerah penelitian, maka Satuan
Batupasir Semilir merupakan fasies endapan turbidit:
o Dibagian barat hingga utara daerah telitian berkembang fasies Smooth
portion of suprafan lobes (Walker,1978) yang dicirikan adanya penebalan ke
atas, terdapat asosiasi dengan classical turbidites (CT) yakni munculnya
sikuen Bouma(1962) dapat lengkap atau tidak, dominasi lithofasies F8 lebih
berkembang baik dibanding F9 dari sembilan lithofasies F1 hingga F9, yang
umumnya terbentuk pada daerah mid fan (konsep Mutti, 1992), Dalam
sikuen progradasi, pada bagian atas terdapat massive sandstone (MS), berupa
singkapan batupasir berukuran sedang hingga sangat kasar dengan tebal
lebih dari 50cm.
o Semakin kearah timur daerah telitian hingga keselatan berkembang fasies
Smooth to Channelled portion of suprafan lobes (Walker,1978) terdapat
classical turbidites (CT) dan massive sandstone (MS), namun asosiasinya
adalah hadirnya Pebbly sandstone (PS) yakni batupasir kerikilan yang
mengindikasikan bahwa terjadi penchannelan, batupasir kerikilan tidak

100

dideskripsi dengan sikuen Bouma, namun berdasarkan konsep mutti (1992),


termasuk dalam F2, yakni produk yang dihasilkan dari proses transportasi
dari debris flow menuruni lereng yang bercampur dengan fluida. Endapan
endapan pada fasies F2 umumnya terdapat pada coarse grained turbidite
system. Karakteristik dari endapan-endapan pada fasies F2 diantaranya
klastika yang berukuran besar mengambang dalam matriks pasiran.Selain
intu juga berkembang fasies F6-F7 pada daerah telituan yang dapat
diindikasikan sebagai endapan endapan berukuran kasar yang memiliki
kecenderungan imbrikasi pada butirannya. Endapan endapan pada fasies F6
ini memiliki tingkat keseragaman butir yang relatif baik dan di bagian
bawahnya membentuk butiran dengan kecenderungan menghalus ke atas.
Sedimen sedimen pada fasies F6 ini adalah produk dari loncatan fluida
yang merubah supercritical high density turbidity current menjadi sub
critical high density turbidity current,sedangkan untuk fasies F7 merupakan
endapan tipis dari material uyang berukuran butir relatif kasar.

6. Untuk pemanfaataan potensi geologi daerah telitiaan terdapat beberapa potensi


positif dan juga beberapa potensi negatif diantaranya :

Potensi positif

1. Pemanfaatan Satuan Batugamping Wonosari yang cukup tebal sebagai


produk hiasan dinding yang sangat menarik yaitu batu tempel.
2. Pemanfaatan Satuan Batupasir Semilir sebagai salah satu bahan bangunan.

Potensi negatif

1. Adanya ketidaksetabilan kemiringan lereng yang memicu terjadinya tanah


longsor pada daerah telitian.
2. Adanya

penambangan

Satuan

Batugamping

Wonosari

yang

tidak

bertanggung jawab sehingga menyebabkan kerusakan lahan pada daerah


telitian.

101

DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R.W. 1949, van., The Geology of Indonesia, vol IA, 2nd ed, The Haque
Martinus Nijhoff, Netherlands.
Koesoemadinata,R.P, 1980, Prinsip Prinsip Sedimentasi, Bandung, Penerbit ITB.
Mutti, E, 1992, Turbidites Sandstones, Universitas de Parma Italy.
Prasetyadi,C.,Sutarto., dan Pratiknyo,P., 2010, Geologi Daerah Subduksi Zaman
Kapur Tepi Tenggara Paparan Sunda, Panduan Ekskursi Besar Geologi 2010
UPNVYK, Yogyakarta.
Reading,H.G, 1978, Sedimentari Environment and Facies, Blackwell Scientific
Publication, Oxford.
Scholle,P.A and Spearing,D, 1982, Sandstone Depositional Environment, The
American Associatian of Petroleum Geologis, Oklahoma.

Mutti, E, 1992, Turbidites Sandstones, Universitas de Parma Italy.

Walker, R.G., 1978, Facies Models, Geological association of canada, Toronto.

102

LAMPIRAN

Analisa Petrografi

Analisa paleontologi mikro

Peta Lintasan

Peta Geologi

Peta Geomorfologi

Analisa Profil Daerah Telitian ( 7 Lintasan )

Diagram Hubungan Kesebandingan Profil

103

Analisa Petrografi

104

105

106

107

108

109

110

111

Analisa Paleontologi Mikro

112

113

114

115

Peta Lintasan

116

Peta Geologi

117

Peta Geomorfologi

118

Profil 1 ( Daerah Ngrau )

119

Profil 2 ( Daerah Sentul )

120

Profil 3 (Daerah Sambeng )

121

Profil 4 ( Daerah Blembem )

122

Profil 5 ( Daerah Kepuh )

123

Profil 6 ( Daerah Sambeng )

124

Profil 7 ( Daerah Garotan )

125

Hubungan Kesebandingan Profil Daerah Telitian

126

Anda mungkin juga menyukai