Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental
(Civil Law System) yang berlandaskan pendekatan normatif. Prinsip dasar sistem
hukum Eropa Kontinental ialah bahwa hukum itu memperoleh kekuasaan
mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk Undang-Undang yang tersusun
secara sistematis dalam kodifikasi. Sehingga setiap perbuatan atau peristiwa
dianggap melanggar hukum bila telah diatur dalam Undang-Undang, namun
apabila tidak terdapat aturan yang mengatur hal tersebut maka tidak dianggap
melanggar hukum. Berbeda dengan Negara yang menganut sistem hukum Anglo
Saxon (Common Law System) dengan pendekatan empiris. Putusan pengadilan,
kebiasaan dan peraturan hukum tertulis tersebut tidak tersusun secara sistematis
dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum Eropa Kontinental namun
hukum tertulis yang berupa undang-undang dan peraturan administrasi negara
diakui juga, kerena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis
tersebut bersumber dari putusan pengadilan (Romli, 1996).
Menurut J.E. Sahetapy (1992), kejahatan sebagaimana terdapat dalam
perundang-undangan, adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian) yang dilarang
oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana
oleh negara. Perbuatan pidana merupakan suatu kejadian yang mengandung
unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, sehingga siapa yang
menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai pidana (hukuman). Kejahatan
merupakan suatu perbuatan pidana dengan ancaman hukumannya dapat berupa
hukuman denda, hukuman penjara dan hukuman mati serta kadangkala masih
ditambah dengan hukuman penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak
tertentu dan pengumuman keputusan hakim. Semua jenis kejahatan telah diatur
dalam Buku II KUHP yang mengatur tentang kejahatan, terdiri dari 31 Bab dan
385 Pasal (Pasal 104 - 448). Salah satu contoh kejahatan adalah perbuatan
kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur.

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan


hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan
hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan
tertentu. Dalam KUHP pelaku kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur
dijerat dengan Pasal 81 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun
hal ini masih dianggap belum memadai dan jauh dari rasa keadilan masyarakat.
Menurut Pasal 1 (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang Peradilan Anak, Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan sedangkan pengertian Perlindungan Anak menurut Pasal
1 (2) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (Pratiwi dan Sudantra, 2007).
Dalam penyidikan suatu perbuatan pidana, pembuktian dan pemeriksaan
bukti fisik secara ilmiah merupakan suatu keharusan dalam proses penyidikan dan
penegakan hukum, sehingga diharapkan tujuan dari hukum acara pidana, yang
menjadi landasan proses peradilan pidana, dapat tercapai yaitu mencari kebenaran
materiil.

Tujuan

ini

tertuang

dalam

Keputusan

Menteri

Kehakiman

No.M.01.PW.07.03 tahun 1983 yaitu untuk mencari dan mendapatkan atau


setidak-tidaknya mendekati kebanaran materiil, ialah kebenaran yang selengkaplengkapnya dari sutau perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti
bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu
dapat dipersalahkan (Wirasuta, 2009).
Dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bidang ilmu yang
dilibatkan atau dimanfaatkan dalam penyidikan suatu kasus kriminal untuk
kepentingan hukum dan keadilan. Ilmu pengetahuan tersebut sering dikenal
dengan Ilmu Forensik. Pada umumnya ilmu forensik diartikan sebagai penerapan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum

dan keadilan, dalam penyidikan suatu kasus kejahatan, dan observasi terhadap
bukti fisik dan interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang bukti merupakan
alat utama dalam penyidikan tersebut (Wirasuta, 2009).
Isu mengenai keterlibatan anak dan hukum tidak dapat terlepas dari
bidang-bidang hukum seperti hukum pidana, hukum perdata dan hukum
perkawinan dimana secara langsung akan melibatkan anak sebagai saksi atau
pihak yang diperebutkan atau diperkarakan. Pada situasi tersebut anak berada
dalam kondisi tereksploitasi karena harus berada dalam situasi yang tidak dapat
dimengerti. Pada titik inilah, pendekatan psikologi forensik dibutuhkan untuk
menghasilkan rumusan terbaik dalam mengedepankan hak anak yang terlibat
dalam kasus hukum. Selain itu, sudah menjadi kesepakatan umum dalam hukum
internasional maupun nasional bahwa setiap keterlibatan anak dalam kasus
hukum, harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dengan catatan
bahwa sanksi hukum akan diberlakukan sebagai opsi terakhir (ultimum remedium)
dan bersifat terpaksa (Soedjono, 1977).
Kepolisian Republik Indonesia sebagai garda depan penegakan hukum di
Indonesia harus menjalankan sistem peradilan pidana yang mampu menerapkan
diskresi (pengenyampingan hukum), diversi (pembelokan arah hukum), serta
mengedepankan metode restorative justice dalam penerapan hukum kepada anak.
Sejak awal haruslah dipahami bahwa hukum atau cara kerja hukum adalah sesuatu
yang sulit dimengerti oleh anak dan putusan-putusan hukum pun diyakini tidak
akan membawa sesuatu yang positif pada anak sebagai tersangka (Yesmil dan
Adang, 2008).
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Bagaimana fungsi hukum forensik terkait psikologi forensik dalam
mengungkap kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dibawah
umur?
2. Apa saja ruang lingkup bidang psikologi forensik dalam mengungkap
kejahatan?
1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembuatan paper ini adalah:


1. Untuk mengetahui fungsi hukum forensik dikaitkan dengan ilmu
psikologi forensik dalam mengungkap kejahatan kekerasan seksual
pada anak dibawah umur.
2. Untuk mengetahui ruang lingkup bidang psikologi forensik dalam
mengungkap kejahatan.
1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dalam pembuatan makalah ini adalah agar
dapat memberikan informasi kepada pembaca dalam mengkaji fungsi hukum
forensik terkait dengan ilmu psikologi forensik dalam mengungkap kejahatan
kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Hukum Forensik Dalam Hukum Pidana
Indonesia merupakan keluarga hukum Eropa Kontinental dengan model
negara hukum Rechtsstaat. Hal ini diakibatkan karena pada masa penjajahan,
Indonesia merupakan jajahan Belanda. Belanda selaku negara penguasa tanah
jajahan bermaksud mentertibkan penduduk jajahan dan pengelolahan tanah dan

hasil tanah jajahan dengan memberlakukan hukum belanda melalui kebijakan


konkordansi, yakni memberlakukan hukum Belanda di negara koloni (Romli,
1996).
Pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa
Negara Indonesia merupakan Negara Hukum. Sehingga hukum khususnya di
Indonesia ditempatkan sebagai satu-satunya aturan main dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (supremacy of law) (Djisman, 1992).
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana,
serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang
melakukannya (Djisman, 1992). Sumber-sumber hukum pidana di Indonesia
antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. UU Pidana di luar KUHP
3. Ketentuan Pidana dalam Peraturan perundang-undangan non-pidana
Dalam setiap pembuktian suatu perbuatan pidana diperlukan suatu barang
bukti, dan barang bukti tersebut harus mendukung pembuktian secara ilmiah.
Ilmi-ilmu yang mendukung pembuktian suatu perbuatan pidana secara ilmiah
untuk kepentingan peradilan disebut ilmu-ilmu forensik (Wirasuta, 2009). Adapun
Menurut Adussalam (2014), menyatakan pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur
tentang Forensik, antara lain :
1. Pasal 6 (1) tentang penyidik
Penyidik adalah
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang.
2. Pasal 108 ayat (1) tentang tata laksana laporan tindak pidana
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi
korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan
laporan atau pengaduan kepada penyidik dan atau penyidik baik lisan
maupun tulisan.
3. Pasal 120 ayat (1) tentang keterangan ahli

Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus.
4. Pasal 180 ayat (1) tentang keterangan ahli
Dala hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul
di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan
dapat pula minta agar diajukan bahan oleh yang berkepentingan.
5. Pasal 186 tentang keterangan ahli
Keterangan ahli ialah apa yang seseorang ahli nyatakan di sidang
pengadialan.
Sedangkan alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang
disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah:
1.

Keterangan Saksi
Berdasarkan tata urutan alat-alat bukti dalam KUHAP tersebut, maka

akan didengar atau menjadi saksi utama (kroon getugie) ialah saksi korban.
Saksi korban ialah orang yang dirugikan akibat terjadi kejahatan atau
pelanggaran tersebut, namun terdapat saksi lain yang didengar keterangannya.
Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas:
a) Saksi A Charge (memberatkan terdakwa)

Saksi A Charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan
diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang
memberatkan terdakwa.
b) Saksi A De Charge (menguntungkan terdakwa)
Saksi A De Charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya
meringankan terdakwa.
2.

Keterangan Ahli
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang

memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat


mengungkap suatu perbuatan pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1
butir 28 KUHAP), sedangkan menurut Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli
ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli
dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat mengingat
sumpah diwaktu menerima jabatan atau pekerjaan, jika hal itu tidak diberikan
pada waktu pemeriksaan penyidik atau penuntut umum maka pada
pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat
dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia
mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim (penjelasan Pasal 186
KUHAP).
3. Surat
Surat menurut Pitlo adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti,
yang menterjemahkan suatu isi pikiran, namun tidak termasuk kata surat,
adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan. Contoh dari
alat bukti surat itu, adalah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh
polisi, BAP Pengadilan, Berita Acara Penyitaan, Surat Perintah Penahanan,
Surat Izin Penggeledahan, Surat Izin Penyitaan, dan lain-lainnya.
Aspek fundamental surat sebagai alat bukti diatur pada Pasal 184 ayat
(1) huruf c KUHAP. Secara substansial tentang bukti surat ini ditentukan oleh

Pasal 187 KUHAP yang berbunyi: surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184
ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain.
4. Petunjuk
Berdasarkan pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah sebagai
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, antara satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diperoleh
dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat (2)
KUHAP). Menurut Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang mengatakan bahwa
penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah dilakukan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya.

5. Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa merupakan alat bukti berdasarkan pengakuan
terdakwa. Keterangan terdakwa dapat berupa penyangkalan, pengakuan
ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Keterangan
terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat
bukti mempunyai syarat-syarat:
a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan
b. Mengaku ia bersalah.
2.1 Ruang Lingkup Ilmu Forensik
Dalam mmbuktikan suatu kebenaran meteriil terhadap bersalah atau tidak
bersalahnya seorang tersangka atau terdakwa dalam meberikan keyakinan kepada
hakim, hanya dapat dilakukan dengan cara pembuktian ilmiah berdasarkan
keahlian disiplin ilmu yang dikenal dengan istilah forensik (Abdussalam, 2014).
Pembuktian dengan menggunakan forensik ini pada semua Negara maju
telah berkembang dan digunakan sebagai alah bukti yang sah utama dalam
memberikan keyakinan hakim walaupun tersangka atau terdakwa bersikap diam
atau membisu ataupun tidak mengakui perbuatannya (Abdussalam, 2014). Seluruh
llmu pengetahuan yang mendukung pembuktian ilmiah demi kepentingan
peradilan disebut dengan Ilmu-ilmu Forensik (Wirasuta, 2009).
Adapun Ilmu yang menunjang Ilmu Forensik antara lain:
a. Kedokteran
b. Farmasi
c. Kimia
d. Fisika
e. Psikologi
Sedangkan cabang Ilmu-ilmu Forensik antara lain:
a. Kedokteran forensik
Ilmu Kedokteran Forensik berperan dalam Identifikasi mayat , waktu
kematian, pemeriksaan tindak kekerasan, penelusuran keturunan, dan
Cause of death (Autopsi) namun seorang dokter hanyalah pelaksana

dari apa yang diminta polisi, dokter tidak diperbolehkan memohon


Visum et Repertum (VER) atau mencabutnya (Abdussalam, 2014).
b. Toksikologi forensik
Ilmu toksikologi forensik merupakan cabang ilmu forensik yang
dikembangkan dari ilmu kimia dan biologi. Peran toksikologi forensic
adalah dalam analisis dan mengevaluasi racun penyebab kematian,
analisis ada atau tidaknya alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh
atau napas, yang dapat mengakibatkan perubahan prilaku dan analisis
obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika
dan obat terlarang lainnya (Wirasuta, 2009).
c. Antropologi forensik
Ilmu antropologi forensik berperan dalam mengidentifikasi sisa-sisa
tulang, tengkorak dan mumi. Hasil identifikasinya dapat berupa jenis
kelamin, ras, perkiraan umur dan waktu kematian (Wirasuta, 2009).
d. Odontologi forensik
Ilmu odontologi forensik berperan dalam mengidentifikasi gigi, dental
restoration, dental protesa, struktur rahang atas, tulang palatal, rahang,
pola tulang trabekula, krak gigi, tengkuk, keriput bibir, morfologi
mulut dan muka. Sehingga peta gigi dari korban atau pelaku, bekas
gigitan, sidik bibir dapat dijadikan sebagai bukti dalam penyidikan
tindak kejahatan (Wirasuta, 2009).
e. Psikiatri forensik
Seorang ahli psikiatri forensik akan mampu menggambarkan prilaku,
kepribadian dan masalah psikis pelaku dan korban sehinga gambaran
sikap (profil) dari pelaku dan korban dapat dijadikan petunjuk bagi
penyidik. Masalah psikologi (jiwa) dapat memberi berpengaruh atau
dorongan bagi seseorang untuk melakukan tindak kejahatan, atau
perbuatan bunuh diri (Wirasuta, 2009).
f. Balistik forensik
Ilmu balistik forensik merupakan cabang ilmu forensik yang
dikembangkan dari ilmu kimia dan fisika, yang memiliki peran dalam
melakukan penyidikan kasus tindak kriminal dengan senjata api dan

bahan peledak. Hasil identifikasinya dapat berupa Informasi mengenai


jenis senjata, jarak tembak, arah tembak, senjata masih beroperasi atau
tidak (Wirasuta, 2009).
g. Fotografi forensik
Ilmu fotografi forensik merupakan ilmu yang digunakan untuk
mendokumentasikan kondisi atau keadaan umum tempat kejadian serta
barang bukti yang ada, seperti : bekas jejak sepatu, jejak ban, senjata
api,

dan

lain-lain.

Seorang

ahli

fotografi

forensik

harus

mendokumentasikan segala sesuatunya secara lengkap, terarah dan


sistematis (Abdussalam, 2014).

BAB III

PEMBAHASAN
3.1.Hukum Forensik Terkait Psikologi Forensik Dalam Mengungkap
Kejahatan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dibawah Umur
Secara umum ilmu forensik memiliki 3 peran yakni :
3.1.1. Hukum forensik menangani kejahatan sebagai masalah yuridis
(hukum)
Kejahatan sebagai masalah hukum adalah aspek pertama dari tindak
kriminal itu sendiri, karena kejahatan merupakan perbuatan dan peristiwa
yang melanggar hukum. Hukum yang mengatur perbuatan kejahatan adalah
Hukum Pidana yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Hukum Acara Pidana yang ditetapkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Romli, 1996). Hukum tersebut yang
digunakan dalam menangani masalah kejahatan dan hukum tersebut
digunakan apabila telah terjadi perbuatan maupun peristiwa yang melanggar
hukum sehingga dalam penyelesaian masalahnya digunakanlah kedua hukum
tersebut.
Hukum dapat dibagi menjadi 2 yakni :
1. Hukum publik (Hukum Pidana)
Hukum publik merupakan hukum yang mengatur hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat sehingga pemerintah merupakan
penanggungjawab dalam penyelesaian masalahnya. Setiap perbuatan
atau peristiwa yang melanggar hukum, merupakan kewajiban Negara
untuk

menyelesaikannya

tanpa

harus

adanya

laporan

untuk

menyelesaikan pelanggaran tersebut.


2. Hukum privat
Hukum privat merupakan hukum yang mengatur hubungan antara
masyarakat dengan masyarakat, kelompok dengan kelompok, maupun
kelompok dengan masyarakat sehingga penegakan hukumnya dapat
diselesaikan secara pribadi namun ketika perkara tersebut tidak mampu
diselesaikan

secara

pribadi,

pihak-pihak

yang

terlibat

dapat

mengajukan permohonan kepada Negara dalam penyelesaiannya.

Negara bersifat pasif dalam memutuskan perkara, artinya Negara


memutuskan hasil hanya berdasarkan keinginan dari piha-pihak terkait.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak merupakan suatu perbuatan
pidana (hukum publik) yang telah diatur dalam undang-undang. Menurut
Pasal 1 (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang Peradilan anak, anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan sedangkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang di kategorikan sebagai anak terdapat dalam pasal 287 ayat (1)
KUHP yang pada intinya usia yang dikategorikan sebagai anak adalah
seseorang yang belum mencapai lima belas tahun (Sholehuddin, 2003).
Adapun delik yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan
seksual terhadap anak dibawah umur, yaitu dalam Tindak Pidana Perkosaan
dan Perbuatan Cabul. Pemerkosaan merupakan suatu tindak kejahatan yang
pada umumnya diatur dalam pasal 285 KUHP, yang bunyinya adalah sebagai
berikut Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
sedangkan pencabulan merupakan suatu tindak kejahatan yang pada umumnya
diatur dalam pasal 286 KUHP yang berbunyi Barangsiapa dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa seorang anak melakukan atau membiarkan
dilakukan perbuatan cabul, diancam karena menyerang kehormatan kesusilaan
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun (Hamzah, 2009).
Pencabulan dalam bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan untuk
bersetubuh dengan anak di bawah umur diatur juga dalam Undang-Undang No
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada pasal 81 ayat (1) dan (2) yang
menyebutkan :
a. Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

b. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula


bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,
serangkaian

kebohongan,

atau

membujuk

anak

melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.


Selain bertujuan untuk menegakkan hukum, hukum pidana memiliki
memiliki tujuan yakni:
1. Berdasarkan teori absolut
Hukuman dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku
akibat perbuatannya yang telah mengakibatkan kesengsaraan pada
orang lain.
2. Berdasarkan teori relatif (Doel Teori)
a. Menjerakan
b. Memperbaiki pribadi terpidana
c. Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya
Telah diaturnya kekerasan seksual terhadap anak sebagai salah satu
perbuatan pidana yang telah tercantum dalam undang-undang perlindungan
anak serta KUHP, maka hukum pidana dan hukum acara pidana yang
merupakan bagian dari ilmu forensik yang menangani masalah kejahatan
sebagai masalah yuridis adalah ilmu pokok dalam penyelesaian tindak pidana
tersebut (Sholehuddin, 2003).
Dalam prakteknya tidak semua perbuatan pidana dapat diberikan
sanksi atau dipertanggungjawabkan. Terdapat beberapa syarat perbuatan tidak
dapat dipetanggungjawabkan antara lain:
a. Adanya kondisi kejiwaan yang tidak memungkinkan untuk
mengerti atau insaf dari perbuatannya atau psikopati.
b. Perbuatan pidana yang dilakukan karena keadaaan memaksa
keadaan terpaksa dan upaya pembelaan diri.
3.1.2. Fungsi hukum forensik menangani kejahatan sebagai masalah
teknis
Kejahatan dipandang sebagai masalah teknis, karena kejahatan dari
segi wujud perbuatannya maupun alat yang digunakannya memerlukan

penganan secara teknis dengan menggunakan bantuan diluar ilmu hukum


pidana maupun acara pidana, yang termasuk dalam kelompok ini antara lain
ilmu kriminalistik, kedokteran forensik, kimia forensik, fisika forensik,
toksikologi forensik, serologi/biologi molekuler forensik, odontologi forensik,
dan entomogoli forensik. Pada umumnya suatu laboratorium kriminalistik
mencakup bidang ilmu kedokteran forensik, kimia forensik dan ilmu fisika
forensik. Bidang kimia forensik mencangkup juga analisa racun (toksikologi
forensik), sedangkan ilmu fisika forensik mempunyai cabang yang amat luas
termasuk: balistik forensik, ilmu sidik jari, fotografi forensik. Melalui ilmuilmu tersebut, dapat disimpulkan penyebab terjadinya perbuatan pidana
tersebut secara ilmiah (Wirasuta, 2009).
Perbuatan pidana seperti kekerasan seksual pada anak, telah diatur
dalam hukum maka perlu dilakukan pembuktian ilmiah dalam upaya
penegakan hukum, untuk membuktikan adanya perbuatan kekerasan seksual
tentu dibuktikan dengan barang bukti (BB) berupa air mani atau sperma
maupun bukti-bukti lainnya. Kedokteran, kimia dan biologi forensik mampu
membuktikan bahwa BB tersebut milik siapa, tentu saja hal ini didukung oleh
ilmu-ilmu forensik lainnya sehingga dapat dibuktikan secara ilmiah bahwa
telah terjadi tindak pidana berupa kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini
menunjukkan bahwa ilmu-ilmu forensik memiliki peran dalam menangani
masalah sebagai masalah teknis (Romli, 1996).
3.1.3.

Hukum forensik menangani kejahatan sebagai masalah manusia


Kriminologi, psikologi forensik, dan psikiatri/neurologi forensik

merupakan bagian dari ilmu-ilmu forensik yang menangani kejahatan sebagai


masalah manusia. Kejahatan sebagai masalah manusia, karena pelaku atau
subyek hukum adalah manusia. Perbuatan pidana yang dilakukan manusia
tidak terlepas dari unsur jiwa. Kodrat manusia sebagai mahluk sosial, yang
hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga perbuatan yang dilakukan juga
dipengaruhi oleh faktor internal (dorongan dari dalam dirinya sendiri) dan
faktor eksternal (dipengaruhi oleh lingkungannya) (Yesmil dan Adang, 2008).

Berdasarkan asas keadilan, dalam pemutusan sanksi dari perbuatan


pidana, perlu ditelusuri faktor-faktor yang menjadi sebab seseorang itu
melakukan kejahatan, sehingga dilakukan penelitian terhadap aspek yang
menyangkut kehidupannya, seperti faktor kejiwaan, keluarga, dan faktor
lingkungan masyarakatnya. Seseorang yang melakukan perbuatan pidana
dapat disebabkan adanya dorongan kejiwaan yang tidak stabil karena keadaan
ekonomi keluarganya, ataupun karena pengaruh dari keadaan sosial
masyarakatnya. Dalam hal ini peran serta kriminolog, psikolog forensik, dan
psikiater forensik mempunyai peran penting dalam menyelesaikan kasus
kejahatan (Wirasuta, 2009).
Terkait kasus kekerasan seksual pada anak dibawah umur, ilmu
psikologi dan psikiatri forensik dapat membantu polisi melakukan asesmen
untuk memberikan gambaran kondisi mental pelaku (Constanto, 2006)
sedangkan pada korban, ilmu-ilmu tersebut dapat membantu dalam upaya
penggalian keterangan korban, khusus kasus yang korbannya merupakan
anak-anak maka diperlukan ketrampilan khusus demi mencapai kondisi yang
nyaman sehingga korban dapat lebih terbuka (Probowati, 2005). Dampak
psikis dari korban kekerasan seksual pada anak dibawah umur merupakan hal
yang harus dipikirkan pemulihannya oleh para ahli psikologi forensik, karena
efek psikologi korban kekerasan seksual terhadap anak dapat berupa gangguan
stres pasca trauma yang mungkin akan terbawa hingga dewasa sehingga perlu
dikakukan usaha khusus dalam upaya pemulihan psikis korban sedangkan
dampak fisik yang dapat dialami antara lain: cedera, infeksi dan kerusakan
neurologis yang masih dapat disembuhkan dalam jangka waktu tertentu.
3.2. Psikologi Forensik
Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyke yang artinya adalah jiwa
dan logos artinya ilmu pengetahuan. Namun demikian menurut Walgito (1997)
bahwa para ahli kurang sependapat dengan pengertian psikologi tersebut sama
dengan ilmu jiwa. Karena jiwa disini menurut Gerungan (dalam Walgito) adalah
ilmu jiwa yang meliputi segala pemikiran, pengetahuan, segala spekulasi
mengenai jiwa itu sendiri. Karena ilmu jiwa itu belum tentu psikologi, tetapi

psikologi itu selalu ilmu jiwa, serta dalam mempelajari psikologi harus dari sudut
ilmu. Senada dikatakan oleh Morgan dkk. (dalam Walgito, 1997), bahwa psikologi
adalah sebagian ilmu diperoleh dengan pendekatan ilmiah yang dijalankan secara
sistematis berdasarkan data empiris.
Pengertian forensik berasal dari bahasa Yunani, yaitu forensik yang
bermakna debat atau perdebatan. Forensik disini adalah bidang ilmu pengetahuan
yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses
penerapan ilmu atau sains (Wikipedia, 2011). Menurut Xena (2007), mengatakan
bahwa forensik adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum yang
sama hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana. Menurut Wijaya (2009),
mengungkapkan pengertian forensik adalah ilmu apa pun yang digunakan untuk
tujuan hukum dengan tidak memihak bukti ilmiah yang digunakan dalam
pengadilan hukum dan dalam penyelidikan dan pengadilan pidana.
Dijelaskan diatas bahwa psikologi juga memiliki bidang khusus hal-hal
berkaitan dengan hukum, yaitu psikologi forensik. Sebelumnya, psikologi di
Indonesia hanya mengenal lima bidang, yaitu psikologi perkembangan, industri,
pendidikan, sosial dan klinis. Padahal di Eropa dan Amerika Serikat bidang
psikologi sampai bidang psikologi forensik. Psikologi forensik mulai tampak dan
kelihatan ketika awal tahun 2000 dan berkembang sampai saat ini. Salah satu
contoh psikologi forensik di Indonesia mulai masuk ke penegakan hukum, yaitu
pada tahun 2003, dalam kasus Sumanto pemakan mayat asal Purbalingga.
Walaupun psikolog menyatakan Sumanto menderita gangguan jiwa atau psikopat,
akhirnya ditempatkan di bangsal khusus penderita penyakit jiwa, yaitu Bangsal
Sakura Kelas III. Namun demikian, tetap diajukan ke siding pengadilan dan
dinyatakan bersalah. Pada tahun 2008 ilmu psikologi berperan kembali.
Berdasarkan hasil tes psikologi dan hasil pemeriksaan tim kedokteran kejiwaan
Polda Jatim bahwa Ryan mengalami gangguan kejiwaan psikopatis (Prasetyo,
2008).
Psikologi forensik menurut Putwain dan Simon (dalam Probowati, 2008),
mendefinisikan psikologi hukum adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang
dilakukan di dalam hukum. Sedangkan Brigham (dalam Sunberg dkk., 2007)

mendefinisikan psikologi forensik adalah sebagai aplikasi yang sangat beragam


dari ilmu psikologi dan semua isu hukum atau sebagai aplikasi yang sempit dari
psikologi klinis pada sistem hukum. Dalam Websters New World Dictionary
tahun 1998 (dalam Sunberg dkk., 2007) mendefinisikan psikologi forensik adalah
sesuatu yang khas atau yang pas, untuk peradilan hukum, perdebatan publik, atau
argumentasi formal yang menspesialisasikan diri atau ada hubungannya dengan
aplikasi pengetahuan ilmiah, terutama pengetahuan medis, pada masalah-masalah
hukum, seperti pada investigasi terhadap suatu tindak kejahatan. Menurut Devi
(dalam Byrne dan Baron, 2005) menyatakan bahwa psikologi forensik adalah
studi

berkaitan

dengan

persoalan

hukum.

Sedangkan

Rizky

(2009),

mendefinisikan psikologi forensik, semua pekerjaan psikologi secara langsung


membantu pengadilan, pihak-pihak yang terlibat dalam proses hukum, fasilitasfasilitas kesehatan mental koreksional, forensik dan badan-badan administratif,
yudikatif dan legislatif yang bertindak dalam sebuah kapasitas yudisial.
3.2.1. Ruang lingkup bidang psikologi forensik
Kalangan para psikolog forensik Sunberg dkk. (2007), mengatakan bahwa
yang menjadi eksplorasi psikologi forensik dikelompokkan menjadi bagian antara
lain:
1. Psychology

of

criminal

conduct

(psikologi

perbuatan

kriminal),

psychology of criminal behavior (psikologi perilaku kriminal), criminal


psychology

(psikologi

psychological

study

kriminal),
of

crime

semua
(kajian

berhubungan

dengan

psikologis

tentang

kriminalitas/kejahatan).
2. Forensic clinical psychology (psikologi klinis forensic), correctional
psychology (psikologi koreksional), assessment dan penanganan atau
rehabilitasi perilaku yang tidak diinginkan secara sosial
3. Mempelajari tentang metode atau teknik yang digunakan oleh badan
kepolisian, antara lain police psychology (psikologi polisi), behavioral
science

(ilmu

penyelidikan).

perilaku)

dan

investigative

psychology

(psikologi

4. Bidang psychology and law (psikologi dan hukum) terutama difokuskan


pada proses persidangan hukum dan sikap serta keyakinan partisipannya.
3.2.2. Sirkulasi fase-fase psikologi forensik
Sedangkan Sunberg dkk. (2007), menyatakan bahwa psikologi forensik
dapat dilihat sebagai bidang yang terdiri atas tiga tipe dasar yang berkorespodensi
dengan fase-fase sistem hukum kriminal (pidana), hukum sipil atau hukum
preventif. Fase-fase klasifikasi psikologi forensik saling berhubungan secara
sirkuler antara lain: kegiatan investigasi menghasilkan respons-respons ajudikatif,
yang menghasilkan ukuran-ukuran untuk mencegah perilaku yang tidak
diinginkan yang lebih jauh, dan preferensi akan menghasilkan pertanyaanpertanyaan yang perlu diinvestigasi.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
Terdapat korelasi antara kejahatan khususnya kekerasan seksual pada anak
dibawah umur dengan ilmu-ilmu forensik dan fungsi hukum forensik berperan
dalam pembuktian suatu perbuatan pidana secara ilmiah terkait dengan ilmu
psikologi forensik dalam mengungkap kejahatan kekerasan seksual terhadap anak
dibawah umur.

DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, H.R., Desasfuyanto, A. 2014. Buku Pintar Forensik (Pembuktian
Ilmiah). PTIK Press: Jakarta.
Costanzo, M. 2006. Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Djisman Samosir. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di
Indonesia. Bina Cipta: Bandung.
Hamzah, A. 2009. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) Di Dalam KUHP.
Sinar Grafika: Jakarta.
J.E. Sahetapy. 1992. Teori Kriminologi Suatu Pengantar. PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung.
Pratiwi, N.A., Sudantra, K. 2007. Kajian Yuridis Pidana Denda Terhadap
Kekerasan Seksual Pada Anak Dibawah Umur. Fakultas Hukum,
Universitas Udayana, Bukit, Jimbaran.
Probowati, Y. 2005. Peran Psikologi Perkembangan dalam Permasalahan
Kekerasan Seksual dengan Korban Anak-Anak. Jurnal Psikodinamik, The
Indonesian Journal of Psychology. 7(1): 68-77.
Probowati, Y. 2008. Psikologi Forensik. Tantangan Psikolog Sebagai Ilmuwan dan
Profesional. The Indonesian Journal of Psychology. 23(4): 338-353.
Romli Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bina Cipta: Jakarta.
Sholehuddin. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Soedjono, D. 1977. Ilmu Jiwa Kejahatan dalam Studi Kejahatan. Karya
Nusantara: Bandung.
Wirasuta, G. 2009. Pengantar Menuju Ilmu Forensik. Jurusan Farmasi Fmipa
Universitas Udayana, Bukit, Jimbaran.
Yesmil Anwar dan Adang. 2008. Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum.
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai