PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental
(Civil Law System) yang berlandaskan pendekatan normatif. Prinsip dasar sistem
hukum Eropa Kontinental ialah bahwa hukum itu memperoleh kekuasaan
mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk Undang-Undang yang tersusun
secara sistematis dalam kodifikasi. Sehingga setiap perbuatan atau peristiwa
dianggap melanggar hukum bila telah diatur dalam Undang-Undang, namun
apabila tidak terdapat aturan yang mengatur hal tersebut maka tidak dianggap
melanggar hukum. Berbeda dengan Negara yang menganut sistem hukum Anglo
Saxon (Common Law System) dengan pendekatan empiris. Putusan pengadilan,
kebiasaan dan peraturan hukum tertulis tersebut tidak tersusun secara sistematis
dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum Eropa Kontinental namun
hukum tertulis yang berupa undang-undang dan peraturan administrasi negara
diakui juga, kerena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis
tersebut bersumber dari putusan pengadilan (Romli, 1996).
Menurut J.E. Sahetapy (1992), kejahatan sebagaimana terdapat dalam
perundang-undangan, adalah setiap perbuatan (termasuk kelalaian) yang dilarang
oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana
oleh negara. Perbuatan pidana merupakan suatu kejadian yang mengandung
unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, sehingga siapa yang
menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai pidana (hukuman). Kejahatan
merupakan suatu perbuatan pidana dengan ancaman hukumannya dapat berupa
hukuman denda, hukuman penjara dan hukuman mati serta kadangkala masih
ditambah dengan hukuman penyitaan barang-barang tertentu, pencabutan hak
tertentu dan pengumuman keputusan hakim. Semua jenis kejahatan telah diatur
dalam Buku II KUHP yang mengatur tentang kejahatan, terdiri dari 31 Bab dan
385 Pasal (Pasal 104 - 448). Salah satu contoh kejahatan adalah perbuatan
kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur.
Tujuan
ini
tertuang
dalam
Keputusan
Menteri
Kehakiman
dan keadilan, dalam penyidikan suatu kasus kejahatan, dan observasi terhadap
bukti fisik dan interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang bukti merupakan
alat utama dalam penyidikan tersebut (Wirasuta, 2009).
Isu mengenai keterlibatan anak dan hukum tidak dapat terlepas dari
bidang-bidang hukum seperti hukum pidana, hukum perdata dan hukum
perkawinan dimana secara langsung akan melibatkan anak sebagai saksi atau
pihak yang diperebutkan atau diperkarakan. Pada situasi tersebut anak berada
dalam kondisi tereksploitasi karena harus berada dalam situasi yang tidak dapat
dimengerti. Pada titik inilah, pendekatan psikologi forensik dibutuhkan untuk
menghasilkan rumusan terbaik dalam mengedepankan hak anak yang terlibat
dalam kasus hukum. Selain itu, sudah menjadi kesepakatan umum dalam hukum
internasional maupun nasional bahwa setiap keterlibatan anak dalam kasus
hukum, harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dengan catatan
bahwa sanksi hukum akan diberlakukan sebagai opsi terakhir (ultimum remedium)
dan bersifat terpaksa (Soedjono, 1977).
Kepolisian Republik Indonesia sebagai garda depan penegakan hukum di
Indonesia harus menjalankan sistem peradilan pidana yang mampu menerapkan
diskresi (pengenyampingan hukum), diversi (pembelokan arah hukum), serta
mengedepankan metode restorative justice dalam penerapan hukum kepada anak.
Sejak awal haruslah dipahami bahwa hukum atau cara kerja hukum adalah sesuatu
yang sulit dimengerti oleh anak dan putusan-putusan hukum pun diyakini tidak
akan membawa sesuatu yang positif pada anak sebagai tersangka (Yesmil dan
Adang, 2008).
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Bagaimana fungsi hukum forensik terkait psikologi forensik dalam
mengungkap kejahatan kekerasan seksual terhadap anak dibawah
umur?
2. Apa saja ruang lingkup bidang psikologi forensik dalam mengungkap
kejahatan?
1.3. Tujuan Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Hukum Forensik Dalam Hukum Pidana
Indonesia merupakan keluarga hukum Eropa Kontinental dengan model
negara hukum Rechtsstaat. Hal ini diakibatkan karena pada masa penjajahan,
Indonesia merupakan jajahan Belanda. Belanda selaku negara penguasa tanah
jajahan bermaksud mentertibkan penduduk jajahan dan pengelolahan tanah dan
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus.
4. Pasal 180 ayat (1) tentang keterangan ahli
Dala hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul
di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan
dapat pula minta agar diajukan bahan oleh yang berkepentingan.
5. Pasal 186 tentang keterangan ahli
Keterangan ahli ialah apa yang seseorang ahli nyatakan di sidang
pengadialan.
Sedangkan alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang
disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah:
1.
Keterangan Saksi
Berdasarkan tata urutan alat-alat bukti dalam KUHAP tersebut, maka
akan didengar atau menjadi saksi utama (kroon getugie) ialah saksi korban.
Saksi korban ialah orang yang dirugikan akibat terjadi kejahatan atau
pelanggaran tersebut, namun terdapat saksi lain yang didengar keterangannya.
Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas:
a) Saksi A Charge (memberatkan terdakwa)
Saksi A Charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan
diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang
memberatkan terdakwa.
b) Saksi A De Charge (menguntungkan terdakwa)
Saksi A De Charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh
penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya
meringankan terdakwa.
2.
Keterangan Ahli
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
Pasal 187 KUHAP yang berbunyi: surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184
ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain.
4. Petunjuk
Berdasarkan pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah sebagai
perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, antara satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diperoleh
dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat (2)
KUHAP). Menurut Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang mengatakan bahwa
penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah dilakukan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nuraninya.
5. Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa merupakan alat bukti berdasarkan pengakuan
terdakwa. Keterangan terdakwa dapat berupa penyangkalan, pengakuan
ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Keterangan
terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat
bukti mempunyai syarat-syarat:
a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan
b. Mengaku ia bersalah.
2.1 Ruang Lingkup Ilmu Forensik
Dalam mmbuktikan suatu kebenaran meteriil terhadap bersalah atau tidak
bersalahnya seorang tersangka atau terdakwa dalam meberikan keyakinan kepada
hakim, hanya dapat dilakukan dengan cara pembuktian ilmiah berdasarkan
keahlian disiplin ilmu yang dikenal dengan istilah forensik (Abdussalam, 2014).
Pembuktian dengan menggunakan forensik ini pada semua Negara maju
telah berkembang dan digunakan sebagai alah bukti yang sah utama dalam
memberikan keyakinan hakim walaupun tersangka atau terdakwa bersikap diam
atau membisu ataupun tidak mengakui perbuatannya (Abdussalam, 2014). Seluruh
llmu pengetahuan yang mendukung pembuktian ilmiah demi kepentingan
peradilan disebut dengan Ilmu-ilmu Forensik (Wirasuta, 2009).
Adapun Ilmu yang menunjang Ilmu Forensik antara lain:
a. Kedokteran
b. Farmasi
c. Kimia
d. Fisika
e. Psikologi
Sedangkan cabang Ilmu-ilmu Forensik antara lain:
a. Kedokteran forensik
Ilmu Kedokteran Forensik berperan dalam Identifikasi mayat , waktu
kematian, pemeriksaan tindak kekerasan, penelusuran keturunan, dan
Cause of death (Autopsi) namun seorang dokter hanyalah pelaksana
dan
lain-lain.
Seorang
ahli
fotografi
forensik
harus
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.Hukum Forensik Terkait Psikologi Forensik Dalam Mengungkap
Kejahatan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Dibawah Umur
Secara umum ilmu forensik memiliki 3 peran yakni :
3.1.1. Hukum forensik menangani kejahatan sebagai masalah yuridis
(hukum)
Kejahatan sebagai masalah hukum adalah aspek pertama dari tindak
kriminal itu sendiri, karena kejahatan merupakan perbuatan dan peristiwa
yang melanggar hukum. Hukum yang mengatur perbuatan kejahatan adalah
Hukum Pidana yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Hukum Acara Pidana yang ditetapkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Romli, 1996). Hukum tersebut yang
digunakan dalam menangani masalah kejahatan dan hukum tersebut
digunakan apabila telah terjadi perbuatan maupun peristiwa yang melanggar
hukum sehingga dalam penyelesaian masalahnya digunakanlah kedua hukum
tersebut.
Hukum dapat dibagi menjadi 2 yakni :
1. Hukum publik (Hukum Pidana)
Hukum publik merupakan hukum yang mengatur hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat sehingga pemerintah merupakan
penanggungjawab dalam penyelesaian masalahnya. Setiap perbuatan
atau peristiwa yang melanggar hukum, merupakan kewajiban Negara
untuk
menyelesaikannya
tanpa
harus
adanya
laporan
untuk
secara
pribadi,
pihak-pihak
yang
terlibat
dapat
kebohongan,
atau
membujuk
anak
melakukan
psikologi itu selalu ilmu jiwa, serta dalam mempelajari psikologi harus dari sudut
ilmu. Senada dikatakan oleh Morgan dkk. (dalam Walgito, 1997), bahwa psikologi
adalah sebagian ilmu diperoleh dengan pendekatan ilmiah yang dijalankan secara
sistematis berdasarkan data empiris.
Pengertian forensik berasal dari bahasa Yunani, yaitu forensik yang
bermakna debat atau perdebatan. Forensik disini adalah bidang ilmu pengetahuan
yang digunakan untuk membantu proses penegakan keadilan melalui proses
penerapan ilmu atau sains (Wikipedia, 2011). Menurut Xena (2007), mengatakan
bahwa forensik adalah sebuah penerapan dari berbagai ilmu pengetahuan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk sebuah sistem hukum yang
sama hal ini mungkin terkait dengan tindak pidana. Menurut Wijaya (2009),
mengungkapkan pengertian forensik adalah ilmu apa pun yang digunakan untuk
tujuan hukum dengan tidak memihak bukti ilmiah yang digunakan dalam
pengadilan hukum dan dalam penyelidikan dan pengadilan pidana.
Dijelaskan diatas bahwa psikologi juga memiliki bidang khusus hal-hal
berkaitan dengan hukum, yaitu psikologi forensik. Sebelumnya, psikologi di
Indonesia hanya mengenal lima bidang, yaitu psikologi perkembangan, industri,
pendidikan, sosial dan klinis. Padahal di Eropa dan Amerika Serikat bidang
psikologi sampai bidang psikologi forensik. Psikologi forensik mulai tampak dan
kelihatan ketika awal tahun 2000 dan berkembang sampai saat ini. Salah satu
contoh psikologi forensik di Indonesia mulai masuk ke penegakan hukum, yaitu
pada tahun 2003, dalam kasus Sumanto pemakan mayat asal Purbalingga.
Walaupun psikolog menyatakan Sumanto menderita gangguan jiwa atau psikopat,
akhirnya ditempatkan di bangsal khusus penderita penyakit jiwa, yaitu Bangsal
Sakura Kelas III. Namun demikian, tetap diajukan ke siding pengadilan dan
dinyatakan bersalah. Pada tahun 2008 ilmu psikologi berperan kembali.
Berdasarkan hasil tes psikologi dan hasil pemeriksaan tim kedokteran kejiwaan
Polda Jatim bahwa Ryan mengalami gangguan kejiwaan psikopatis (Prasetyo,
2008).
Psikologi forensik menurut Putwain dan Simon (dalam Probowati, 2008),
mendefinisikan psikologi hukum adalah semua bentuk pelayanan psikologi yang
dilakukan di dalam hukum. Sedangkan Brigham (dalam Sunberg dkk., 2007)
berkaitan
dengan
persoalan
hukum.
Sedangkan
Rizky
(2009),
of
criminal
conduct
(psikologi
perbuatan
kriminal),
(psikologi
psychological
study
kriminal),
of
crime
semua
(kajian
berhubungan
dengan
psikologis
tentang
kriminalitas/kejahatan).
2. Forensic clinical psychology (psikologi klinis forensic), correctional
psychology (psikologi koreksional), assessment dan penanganan atau
rehabilitasi perilaku yang tidak diinginkan secara sosial
3. Mempelajari tentang metode atau teknik yang digunakan oleh badan
kepolisian, antara lain police psychology (psikologi polisi), behavioral
science
(ilmu
penyelidikan).
perilaku)
dan
investigative
psychology
(psikologi
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
Terdapat korelasi antara kejahatan khususnya kekerasan seksual pada anak
dibawah umur dengan ilmu-ilmu forensik dan fungsi hukum forensik berperan
dalam pembuktian suatu perbuatan pidana secara ilmiah terkait dengan ilmu
psikologi forensik dalam mengungkap kejahatan kekerasan seksual terhadap anak
dibawah umur.
DAFTAR PUSTAKA
Abdussalam, H.R., Desasfuyanto, A. 2014. Buku Pintar Forensik (Pembuktian
Ilmiah). PTIK Press: Jakarta.
Costanzo, M. 2006. Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Djisman Samosir. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di
Indonesia. Bina Cipta: Bandung.
Hamzah, A. 2009. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) Di Dalam KUHP.
Sinar Grafika: Jakarta.
J.E. Sahetapy. 1992. Teori Kriminologi Suatu Pengantar. PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung.
Pratiwi, N.A., Sudantra, K. 2007. Kajian Yuridis Pidana Denda Terhadap
Kekerasan Seksual Pada Anak Dibawah Umur. Fakultas Hukum,
Universitas Udayana, Bukit, Jimbaran.
Probowati, Y. 2005. Peran Psikologi Perkembangan dalam Permasalahan
Kekerasan Seksual dengan Korban Anak-Anak. Jurnal Psikodinamik, The
Indonesian Journal of Psychology. 7(1): 68-77.
Probowati, Y. 2008. Psikologi Forensik. Tantangan Psikolog Sebagai Ilmuwan dan
Profesional. The Indonesian Journal of Psychology. 23(4): 338-353.
Romli Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bina Cipta: Jakarta.
Sholehuddin. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Soedjono, D. 1977. Ilmu Jiwa Kejahatan dalam Studi Kejahatan. Karya
Nusantara: Bandung.
Wirasuta, G. 2009. Pengantar Menuju Ilmu Forensik. Jurusan Farmasi Fmipa
Universitas Udayana, Bukit, Jimbaran.
Yesmil Anwar dan Adang. 2008. Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum.
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta.