Chapter II - 3 PDF
Chapter II - 3 PDF
TINJAUAN PUSTAKA
adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatip konsisten dari
waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif
maupun positif. Menurut Baumrind (1967) (Ira Pentrato 2006), terdapat 3 macam
pola asuh orang tua antara lain: demokratis, otoriter, permisif.
tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang
berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan
kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan
pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
2.
3.
bermula dari usia 16 tahun atau 17 tahun hingga usia 18 tahun, yaitu usia matang
secara hukum. Santrock (2001) juga membagi masa remaja menjadi dua bagian,
yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Hanya saja Santrock (2001)
mengatakan usia remaja awal sekitar 10-13 tahun dan usia remaja akhir berkisar
antara 18-22 tahun.
Mnks, et.al (2001) beranggapan bahwa usia remaja berlangsung antara umur
12 tahun dan 21 tahun dan terbagi atas tiga bagian, yaitu masa remaja awal antara
12-15 tahun, masa remaja pertengahan antara 15-18 tahun dan masa remaja akhir
antara 18-21 tahun. Menurut Abu Ahmadi (2003) dilihat dari segi budaya atau
fungsional usia remaja 13-18 tahun-21 tahun. Di muka umum pengadilan manusia
berumur 18 tahun sudah dianggap dewasa. Untuk tugas-tugas negara 18 tahun sering
diambil sebagai batas dewasa tetapi dalam menuntut hak seperti hak pilih, ada yang
mengambil 18 tahun dan ada yang mengambil 21 tahun sebagai permulaan dewasa.
perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat
baru (Hurlock, 1980).
2. Masa remaja sebagai periode transisi
Dalam setiap adanya transisi suatu perubahan, status individu menjadi tidak
jelas karena terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa
remaja, individu bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa. Di
sisi lain, status remaja yang tidak jelas ini memberikan keuntungan karena status
tersebut memberi ruang dan waktu kepada seorang remaja untuk mencoba gaya
hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling
sesuai bagi dirinya (Gunter dan Moore, 1975).
3. Masa remaja sebagai periode perubahan
Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja akan seiring dengan perubahan
sikap dan perilaku. Ini berarti saat perubahan sifat berlangsung dengan cepat
maka akan terjadi juga perubahan sikap dan perilaku dengan cepat dan
sebaliknya. Hurlock (1980) menjelaskan ada beberapa perubahan yang pada
umumnya terjadi pada masa remaja, yaitu:
a. Peningkatan emosional
Peningkatan emosi lebih menonjol pada masa awal periode masa remaja.
guru
Karena tidak mampu maka banyak kegagalan yang seringkali disertai dengan
akibat yang tragis. Kegagalan ini menurut Freud (1969) bukan karena
ketidakmampuan individu tetapi karena tuntutan yang diajukan pada remaja
terjadi dikala tenaganya telah dihabiskan untuk mengatasi masalah pokok yang
disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Identitas diri yang dicari remaja adalah usaha untuk menjelaskan siapa dirinya
dan apa peranannya dalam masyarakat (Erikson, 1964). Pada tahun-tahun awal
masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok menjadi penting. Tiap
penyimpangan dari standar kelompok dapat mengancam keanggotaannya dalam
kelompok (Boyd, 1975). Lambat laun, individu remaja mulai mendambakan
identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-temannya
dalam segala hal. Salah satu cara memunculkan identitas diri adalah dengan
menggunakan simbol status yang mudah terlihat seperti model pakaian, gaya,
jenis kendaraan dan lain-lain. Cara ini dimaksudkan agar menarik perhatian dan
dipandang oleh orang lain. Pada saat yang sama individu juga tetap
mempertahankan identitas dirinya sebagai anggota dari suatu kelompok sebaya.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Ada anggapan bahwa masa remaja adalah masa yang sangat bernilai, tetapi
sangat disayangkan banyak yang menjadikannya menjadi sesuatu yang bernilai
negatif (Majeres, 1976). Stereotip yang mengatakan remaja adalah anak-anak
yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung berperilaku merusak
menyebabkan banyak kalangan dewasa takut bertanggungjawab dan bersikap
Stereotip
yang
telah
dibangun
masyarakat
dalam
menggambarkan citra diri remaja, lambat laun dianggap sebagai gambaran asli
dan membuat para remaja membentuk perilakunya sesuai gambaran tersebut
(Anthony, 1969).
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja melihat dirinya dan orang lain seperti yang diinginkannya dan bukan
sebagaimana adanya, terlebih lagi dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak
realistik ini bukan hanya kepada dirinya semata tetapi juga terhadap temanteman dan keluarganya (Hurlock, 1980). Hal ini semakin menyebabkan
meningginya emosi terutama di awal masa remaja. Semakin cita-citanya tidak
realistis maka individu tersebut semakin menjadi pemarah. Remaja tersebut
akan sakit hati dan kecewa apabila ada orang lain yang mengecewakannya dan ia
tidak berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkannya (Russian, 1975).
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Remaja akan menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun
dan untuk menciptakan kesan bahwa mereka akan beranjak dewasa. Gaya
berpakaian dan bertindak seperti dewasa dirasakan belum memadai. Oleh sebab
itu remaja mulai memusatkan pada perilaku yang dihubungkan pada status
dewasa, seperti merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan
terlarang dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka beranggapan perilaku ini
akan memberikan citra yang diinginkan (Hurlock, 1980).
bagian, yaitu: (i) perubahan eksternal, yang meliputi perubahan tinggi badan,
berat badan, proporsi tubuh, perubahan organ seks dan ciri-ciri seks sekunder;
dan (ii) perubahan internal, yang meliputi perubahan system pencernaan, sistem
peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin dan jaringan tubuh. Turner
dan Helms (1995) menyebutkan remaja mengalami karakteristik yang primer
dan sekunder. Karakteristik seks primer adalah karakteristik dari organ
reproduksi sedangkan karakteristik seks sekunder adalah perkembangan secara
non-genital. Apabila karakteristik seks primer dan sekunder seorang individu
telah matang maka ia memiliki kemampuan bereproduksi atau yang disebut
dengan pubertas. Masa pubertas dimulai saat kelenjar di bawah otak mengirim
pesan pada kelenjar seks untuk meningkatkan pengeluaran hormon. Hal-hal
yang berhubungan dengan pubertas adalah gen, kesehatan dan lingkungan
(Papalia dan Olds, 1995).
2. Perkembangan kognitif
Piaget dalam Turner dan Helms (1995) menyebutkan perkembangan kognitif
remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu saat pemikirannya menjadi
semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai mengembangkan pemikiran yang
bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat berbagai kemungkinan dalam
pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai memikirkan bagaimana
pandangan orang lain terhadap dirinya. Dikatakan Sulaeman (1995) bahwa
pada masa remaja, seorang individu mengalami kematangan secara intelektual
dan cara berpikirnya mengalami perubahan serta mampu membentuk konsepkonsep. Pada masa ini terjadi pertambahan dalam kemampuan menggeneralisasi,
pertambahan kemampuan-kemampuan berpikir tentang masa depan, mampu
berpikir tentang hal-hal atau ide-ide yang lebih luas dan pertambahan
kemampuan untuk berpikir dan berkomunikasi secara logis.
3. Perkembangan kepribadian
Pada tahap ini terjadi suatu konflik yang disebut konflik antara identity vs role
confusion (Erikson, 1964; Morgan, et.al., 1986). Di masa ini remaja sedang
dalam proses pembentukan
individu berharap dapat
di mana
yang
dan
dengan
penyesuaian
sosial
(Hurlock,
1980).
Diterangkan
Greenberger, et. al., (1975) bahwa upaya yang terpenting dan tersulit adalah
penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan
dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam
seleksi persahabatan ataupun dukungan dan penolakan sosial serta seleksi
pemimpin. Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-
teman sebaya sebagai suatu kelompok, maka pengaruh teman sebaya lebih
besar daripada pengaruh keluarga. Untuk itu apabila seorang remaja ingin serupa
dengan penampilan anggota kelompok yang populer, maka kesempatan untuk
diterima oleh kelompok menjadi lebih besar (Littrell dan Eicher 1973; Musa dan
Roach, 1973).
6. Perkembangan Moral
Pada masa ini remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang telah ada
pada masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan
merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman
bagi perilakunya (Hurlock, 1980). Dalam diri seorang yang mempunyai moral
yang matang selalu ada rasa bersalah dan malu. Hanya saja rasa bersalah
berperan lebih penting daripada rasa malu dalam mengendalikan perilaku apabila
pengendalian lahiriah tidak ada (Ausubel, et.al., 1977).
minuman,
serta
lingkungan.
Dari
batasan
ini,
perilaku
kesehatan
dapat
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau
sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya dan tindakan seseorang saat menderita
penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan dan perilaku ini dimulai dari mengobati
sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan, yaitu:
1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
stimulus (objek) terlebih dahulu,
2. Interest, yakni orang yang mulai tertarik kepada stimulus,
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru,
5. Adaption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran,
dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Maka teori ini
dimodifikasi menjadi empat fase yaitu :
1. Knowledge yaitu memberikan pengetahuan-pengetahuan mengenai kesehatan,
menurut bidang yang akan dicapai oleh program tersebut. Dengan sendirinya
pengetahuan yang diberikan itu disesuaikan dengan tingkat perkembangan
masyarakat/individu yang dididik.
2. Persuassion yaitu : dalam tingkat ini masyarakat sudah mulai mengambil hati
terhadap pengetahuan yang diperoleh. Maka pendidikan kesehatan masyarakat
bertugas untuk lebih mendekati mereka; kalau perlu secara personal.
3. Decision : dalam fase ini masyarakat sudah memutuskan untuk mencoba tingkah
laku baru. Untuk itu maka, perlu adanya motivasi yang kuat dari para petugas
kesehatan dan juga penerangan-penerangan yang jelas, agar putusan mereka itu tidak
berdasarkan paksaan.
4. Comfirmasi: apabila masyarakat atau individu telah mau melaksanakan tingkah
laku yang baru sesuai dengan norma-norma kesehatan, kita tinggal menguatkan
tingkah laku mereka ini, supaya tidak terjadi drop out. Caranya dengan selalu
meneruskan usaha-usaha pelayanan yang telah ada.
b. Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan,
yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik di seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima.
2. Memahami (comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar.
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
4. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih
ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk yang baru. Dengan kata
lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan,
dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap teori atau
rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek yang didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau dengan kriteria yang telah ada.
2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tersebut tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Newcomb salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, bukan merupakan pelaksanaan
motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan kesiapan
untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek.
a. Komponen Pokok Sikap
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok,
yaitu: 1. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek; 2.
kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek; 3. kecenderungan untuk
bertindak (tend to behave). Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama
membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini,
pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
b. Berbagai Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan:
menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing), bertanggung
jawab (responsible)
3. Praktik atau tindakan (practice)
Suatu sikap yang belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behaviour). Untuk mewujudkan suatu sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan
(support) dari pihak lain, misalnya dari orang terdekat. Praktik ini mempunyai
beberapa tingkatan:
2.3.
Hal ini mengakibatkan munculnya berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh,
sikap bersaing dan tersisih. Kondisi tersebut tentu dapat menimbulkan ketegangan
yang dapat berakibat lebih buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri.
Dalam hal ini, Asrori dan Ali (2004) menekankan pentingnya pola interaksi di
dalam keluarga. Interaksi yang terjadi antar individu dalam lingkungan keluarga akan
tampil dalam kualitas yang berbeda-beda. Kualitas mengacu kepada derajat relatif
kebaikan atau keunggulan interaksi antar individu. Suatu interaksi dikatakan
berkualitas
jika
mampu
memberikan
kesempatan
kepada
individu
untuk
Maksud bentukan keluarga dalam hal ini adalah kata-kata apakah yang sering
dikatakan oleh orang tuanya. Pujian apa yang sering didengar, hukuman apa yang
sering dialami berkaitan dengan satu perilaku di rumah. Motivasi apa serta contoh
apa yang diperlihatkan keluarganya. Semua itu akan membentuk perilaku seseorang.
Semua stimulus diperoleh sejak lahir baik dari kakak, ayah, ibu, teman, televisi dan
sebagainya. Semua akan mempengaruhi cara kita bersikap terhadap sesuatu, pada
saat itulah kepribadian terbentuk.
disimpulkan bahwa anak-anak yang melihat perjuangan hidup ibunya akan menjadi
pelajaran bagi anak-anaknya untuk masa depannya.
Panjaitan (1977) mengatakan pola makan orang Batak Toba tetap
mempertahankan makanan seperti ikan asin, ikan Teri, sayur Singkong, ikan Mas,
daging Babi, sebagian dari menu sehari-hari. Tempe dan tahu hanya sekali-sekali
dihidangkan sehari-hari. Terutama oleh kaum tua Batak Toba di Jakarta sebagian
besar menganggap Tempe dan Tahu sebagai makanan murahan, dan tidak pantas
dihidangkan dalam pesta-pesta adat Batak Toba.
Orang Batak Toba itu sebenarnya tidak miskin, tetapi kurang mampu mengolah
ekonomi dan kebutuhan keluarga, kalau sudah ada uang sudah cukup, tanpa
memperhatikan keadaan kesehatan keluarga, sedangkan apabila orang Batak Toba
sakit mereka enggan mengakuinya dan tidak mau berobat. Seperti dikemukakan
Togar Nainggolan seorang Antopolog, bahwa kemiskinan orang Batak Toba itu
terjadi karena pengaruh mental masyarakat. Dalam pengamatannya, dia melihat
bahwa orang Batak Toba yang disebut miskin jauh lebih komsumtif dan boros dalam
hal pemakaian waktu duduk sambil bernyayi larut malam. Dia menunjukkan indikasi
misalnya berapa banyak uang harus beli rokok dan minuman tuak (Situmorang,
2008). Secara tidak sadar Orang Batak Toba sudah menanamkan sikap tersebut
kepada anak-anaknya.
memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat,
lebih-lebih pada orang Batak Toba pada jaman modern ini untuk meraih jabatan dan
pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.
5. Hamoraon
Hamoraon dalam kehidupan sehari-hari orang Batak Toba merupakan misi budaya
yang menonjol. Hamoraon, kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan
mendorong orang Batak Toba untuk mencari harta benda yang banyak.
6. Hamajuan
Hamajuan merupakan gagasan-gagasan pembaharuan yang dibawa oleh misionaris
telah membuka cakrawala yang luas dalam wawasan orang Batak Toba. Modernisasi
yang diperkenalkan oleh orang Batak Toba mendorong gerak migrasi penduduk
setempat menuju pusat-pusat kemajuan di Sumatera Timur sebagai penggarap tanah.
Gerak meninggalkan huta ini kemudian bukan saja untuk bekerja, tetapi juga
melanjutkan pendidikan.
7. Hukum/ Patik dohot Uhum
Hukum patik dohot uhum merupakan kesadaran hukum tradisional mengandung
religi. Hukum tradisional adalah aturan yang datang dari Debata Mulajadi Na bolon
melalui nenek moyang hula-hula, yang mengatur kehidupan manusia dengan
manusia dengan alam sekitarnya, sekaligus mengantur hubungan manusia dengan
roh nenek moyang dan Debata Mulajadi Na Bolon. Nilai patik dohot uhum
merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak Toba. Budaya
orangtuanya mempunyai nilai khusus yang penting. Dalam kedua aspek tersebut
yang diharapkan adalah agar anak dapat tumbuh sehat dan berkembang sebaikbaiknya sehingga kelak menjadi orang dewasa yang sehat secara fisik, mental, dan
psikososial sebagai sumber daya manusia yang berkualitas.
Mediator untuk panggil tondi itu setelah berulang-ulang di panggil tidak mau pulang
juga, berarti orang sakit tersebut tidak ada harapan untuk sembuh atau hidup lagi.
Bila usia orang yang sakit lebih muda, mereka perlu meminta pertimbangan
orang yang lebih tua untuk memecahkan masalah dengan musyawarah. Bila istri
yang mengalami gangguan kesehatan, suami sebagai kepala rumah tangga perlu
dilibatkan. Keputusan masalah kesehatan berada di tangan suami, tetapi umumnya
suami harus mendiskusikannya terlebih dahulu dengan istri dan anak-anaknya
sebelum mengambil keputusan.
Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan pengobatan, lamakelamaan orang-orang Batak mencari pengobatan ke tenaga kesehatan atau ke
puskesmas terdekat. Walaupun demikian, masih ada yang berobat ke Shaman untuk
mengatasi masalah kesehatan keluarga mereka, baik keluarga yang tinggal di
pedalaman maupun yang berada di luar Sumatera Utara.
2.4.
Landasan Teori
Landasan teori pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Demokratis
Otoriter
Permisif
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Karakteristik Remaja
Jenis kelamin remaja
Usia remaja
Pekerjaan orang tua
Penghasilan orang tua