Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pola Asuh Orang Tua


2.1.1. Definisi
Pola berarti susunan, model, bentuk, tata cara, gaya dalam melakukan sesuatu.
Sedangkan mengasuh berarti, membina interaksi dan komunikasi secara penuh
perhatian sehingga anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa serta
mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat (Krisnawati dalam Ebin, 2005:8). Berdasarkan kedua pengertian ini
maka pola asuh dapat diartikan sebagai gambaran tentang sikap dan perilaku orang
tua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan
pengasuhan.
Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan memberikan
perhatian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap
keinginan anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai,
dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan
diresapi, kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya (Godam, 2008:64).
Mengasuh anak orang tua tidak hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan,
dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian
anak (Riyanto, 2002).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Bentuk Pola Asuh


Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan
kepribadian anak setelah menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsurunsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya
ke dalam jiwa seorang individu sejak awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak.
Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil belajar makan, belajar
kebersihan, disiplin, belajar bermain dan bergaul dengan anak lain dan sebagainya
(Koentjaraningrat, 1997). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola asuh yang
diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian dan
perilaku kesehatan anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa. Apabila polapola yang diterapkan orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku
yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak.
Tarmizi (2009)

dan Ira Pentrato (2006) menjelaskan pola asuh orang tua

adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatip konsisten dari
waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif
maupun positif. Menurut Baumrind (1967) (Ira Pentrato 2006), terdapat 3 macam
pola asuh orang tua antara lain: demokratis, otoriter, permisif.

2.1.2.1. Pola Asuh Demokratis


Pola asuh demokratis yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak,
dan tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap
rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang

Universitas Sumatera Utara

tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang
berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan
kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan
pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

2.1.2.2. Pola Asuh Otoriter


Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus
dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau
makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa,
memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan
oleh orang tua, maka orang tua tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga
tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang
tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai
anaknya.

2.1.2.3. Pola Asuh Permisif


Pola asuh permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang
sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu
tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau
memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit
bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat
hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

Universitas Sumatera Utara

2.1.3. Dampak Pola Asuh


Ira Petranto (2006:4) menguraikan dampak pola asuh pada anak adalah dapat
dikarakteristikkan sebagai berikut:
1.

Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri,


dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu
menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif
terhadap orang-orang lain.

2.

Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut,


pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma,
berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

3.

Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif,


agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang
percaya diri, dan kurang matang secara sosial.
Dari karakteristik-karakteristik tersebut bisa kita lihat, bahwa harga diri anak
yang rendah terutama adalah karena pola asuh orang tua yang permisif.

2.2. Perilaku Kesehatan Remaja


2.2.1. Definisi Remaja
Perkataan remaja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu adolescence
dan berasal dari kata Latin, adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau
perkembangan menuju kematangan (Sebald, 1992). Dalam arti yang lebih luas lagi,

Universitas Sumatera Utara

Piaget (1969) mengatakan pengertian remaja mencakup kematangan mental,


emosional, sosial dan fisik.
Rice (1996) mendefinisikan remaja sebagai suatu periode antara masa kanakkanak menuju kedewasaan. Pandangan serupa dikemukakan Lerner dan Hultsch
(1983) bahwa perkembangan remaja adalah periode di antara rentang waktu di
mana saat dianggap masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Di masa remaja terjadi
proses perubahan biologis, kognitif dan emosional (Santrock, 2001). Perubahan fisik
dan perkembangan seksual yang terjadi secara cepat juga disertai bertambahnya
tuntutan masyarakat (Conger, 1991).

2.2.1.1. Pembagian dan Batasan Usia Remaja


Berbagai batasan usia dan pembagian masa remaja yang telah dikemukakan
para ahli. Stone dan Church (1973) membagi masa remaja menjadi remaja awal,
remaja akhir dan dewasa muda. Remaja awal adalah suatu periode dari mulainya
masa pubertas hingga kurang lebih satu tahun sesudah pubertas yaitu pada saat pola
fisiologis berfungsi dengan stabil. Remaja akhir adalah periode sesudahnya dari
remaja awal hingga usia yang dibolehkan untuk ikut pemilu, menyetir kendaraan
atau saat mulai masuk kuliah. Dewasa muda adalah periode dari permulaan kuliah
hingga usia awal dua puluhan.
Menurut Hurlock (1980) secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian
yaitu awal masa remaja dan akhir masa remaja. Awal masa remaja berlangsung
kira-kira dari 13 tahun hingga 16 tahun atau 17 tahun, dan akhir masa remaja

Universitas Sumatera Utara

bermula dari usia 16 tahun atau 17 tahun hingga usia 18 tahun, yaitu usia matang
secara hukum. Santrock (2001) juga membagi masa remaja menjadi dua bagian,
yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Hanya saja Santrock (2001)
mengatakan usia remaja awal sekitar 10-13 tahun dan usia remaja akhir berkisar
antara 18-22 tahun.
Mnks, et.al (2001) beranggapan bahwa usia remaja berlangsung antara umur
12 tahun dan 21 tahun dan terbagi atas tiga bagian, yaitu masa remaja awal antara
12-15 tahun, masa remaja pertengahan antara 15-18 tahun dan masa remaja akhir
antara 18-21 tahun. Menurut Abu Ahmadi (2003) dilihat dari segi budaya atau
fungsional usia remaja 13-18 tahun-21 tahun. Di muka umum pengadilan manusia
berumur 18 tahun sudah dianggap dewasa. Untuk tugas-tugas negara 18 tahun sering
diambil sebagai batas dewasa tetapi dalam menuntut hak seperti hak pilih, ada yang
mengambil 18 tahun dan ada yang mengambil 21 tahun sebagai permulaan dewasa.

2.2.1.2. Karakteristik Masa Remaja


Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan
periode sebelum dan sesudahnya. Hurlock (1980) menerangkan beberapa
karakteristik remaja adalah sebagai berikut:
1. Masa remaja sebagai periode yang penting
Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat
psikologis. Dikatakan Tanner (1971) bahwa sebagian besar anak muda, usia
antara 12 tahun dan 16 tahun merupakan tahun yang penuh kejadian yang

Universitas Sumatera Utara

menyangkut pertumbuhan dan perkembangan. Perkembangan fisik yang cepat


dan penting disertai
terutama

dengan cepatnya perkembangan mental yang terjadi

pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan

perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat
baru (Hurlock, 1980).
2. Masa remaja sebagai periode transisi
Dalam setiap adanya transisi suatu perubahan, status individu menjadi tidak
jelas karena terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa
remaja, individu bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa. Di
sisi lain, status remaja yang tidak jelas ini memberikan keuntungan karena status
tersebut memberi ruang dan waktu kepada seorang remaja untuk mencoba gaya
hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling
sesuai bagi dirinya (Gunter dan Moore, 1975).
3. Masa remaja sebagai periode perubahan
Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja akan seiring dengan perubahan
sikap dan perilaku. Ini berarti saat perubahan sifat berlangsung dengan cepat
maka akan terjadi juga perubahan sikap dan perilaku dengan cepat dan
sebaliknya. Hurlock (1980) menjelaskan ada beberapa perubahan yang pada
umumnya terjadi pada masa remaja, yaitu:
a. Peningkatan emosional
Peningkatan emosi lebih menonjol pada masa awal periode masa remaja.

Universitas Sumatera Utara

b. Perubahan fisiologis tubuh


Perubahan pada proses pematangan seksual membuat individu remaja
menjadi tidak percaya diri terhadap kemampuan dan minat mereka.
c. Perubahan minat dan peran
Perubahan yang diharapkan oleh lingkungan sosial dapat menimbulkan
masalah baru dan lebih banyak dibandingkan masa sebelumnya. Hal ini
akan terjadi terus hingga individu itu sendiri yang menyelesaikannya.
d. Perubahan terhadap nilai-nilai
Beberapa nilai-nilai yang dianggap penting pada masa sebelumnya menjadi
tidak penting lagi di masa remaja. Pada masa ini mulai dipahami bahwa
kualitas lebih penting dibandingkan kuantitas.
e. Ambivalen terhadap perubahan
Pada masa remaja, individu menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi
sering takut bertanggungjawab akan akibat yang terjadi.
4. Masa remaja sebagai masa bermasalah
Berbagai masalah yang terjadi di masa remaja sering menjadi masalah yang sulit
diatasi. Ada dua alasan yang menyebabkan hal ini terjadi (Hurlock, 1980), yaitu:
(i) pada masa kanak-kanak segala masalah diselesaikan oleh orang tua ataupun
para guru sehingga remaja tidak mempunyai pengalaman terhadap masalah yang
terjadi; (ii) para remaja merasa telah mandiri sehingga menolak bantuan orang
tua ataupun para

guru

dengan alasan ingin mengatasi masalahnya sendiri.

Karena tidak mampu maka banyak kegagalan yang seringkali disertai dengan

Universitas Sumatera Utara

akibat yang tragis. Kegagalan ini menurut Freud (1969) bukan karena
ketidakmampuan individu tetapi karena tuntutan yang diajukan pada remaja
terjadi dikala tenaganya telah dihabiskan untuk mengatasi masalah pokok yang
disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal.
5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Identitas diri yang dicari remaja adalah usaha untuk menjelaskan siapa dirinya
dan apa peranannya dalam masyarakat (Erikson, 1964). Pada tahun-tahun awal
masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok menjadi penting. Tiap
penyimpangan dari standar kelompok dapat mengancam keanggotaannya dalam
kelompok (Boyd, 1975). Lambat laun, individu remaja mulai mendambakan
identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-temannya
dalam segala hal. Salah satu cara memunculkan identitas diri adalah dengan
menggunakan simbol status yang mudah terlihat seperti model pakaian, gaya,
jenis kendaraan dan lain-lain. Cara ini dimaksudkan agar menarik perhatian dan
dipandang oleh orang lain. Pada saat yang sama individu juga tetap
mempertahankan identitas dirinya sebagai anggota dari suatu kelompok sebaya.
6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Ada anggapan bahwa masa remaja adalah masa yang sangat bernilai, tetapi
sangat disayangkan banyak yang menjadikannya menjadi sesuatu yang bernilai
negatif (Majeres, 1976). Stereotip yang mengatakan remaja adalah anak-anak
yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung berperilaku merusak
menyebabkan banyak kalangan dewasa takut bertanggungjawab dan bersikap

Universitas Sumatera Utara

tidak simpatik terhadap perilaku remaja walaupun dilakukan dengan normal


(Hurlock,1980).

Stereotip

yang

telah

dibangun

masyarakat

dalam

menggambarkan citra diri remaja, lambat laun dianggap sebagai gambaran asli
dan membuat para remaja membentuk perilakunya sesuai gambaran tersebut
(Anthony, 1969).
7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja melihat dirinya dan orang lain seperti yang diinginkannya dan bukan
sebagaimana adanya, terlebih lagi dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak
realistik ini bukan hanya kepada dirinya semata tetapi juga terhadap temanteman dan keluarganya (Hurlock, 1980). Hal ini semakin menyebabkan
meningginya emosi terutama di awal masa remaja. Semakin cita-citanya tidak
realistis maka individu tersebut semakin menjadi pemarah. Remaja tersebut
akan sakit hati dan kecewa apabila ada orang lain yang mengecewakannya dan ia
tidak berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkannya (Russian, 1975).
8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Remaja akan menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun
dan untuk menciptakan kesan bahwa mereka akan beranjak dewasa. Gaya
berpakaian dan bertindak seperti dewasa dirasakan belum memadai. Oleh sebab
itu remaja mulai memusatkan pada perilaku yang dihubungkan pada status
dewasa, seperti merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan
terlarang dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka beranggapan perilaku ini
akan memberikan citra yang diinginkan (Hurlock, 1980).

Universitas Sumatera Utara

2.2.1.3. Perkembangan Masa Remaja


Berbagai perkembangan pada masa remaja dapat dilihat dari berbagai aspek.
Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perkembangan fisik
Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja merupakan gejala utama dari
perkembangan remaja karena ada hubungannya dengan aspek lain dari
perkembangan remaja. Hurlock

(1980) membagi perubahan fisik atas dua

bagian, yaitu: (i) perubahan eksternal, yang meliputi perubahan tinggi badan,
berat badan, proporsi tubuh, perubahan organ seks dan ciri-ciri seks sekunder;
dan (ii) perubahan internal, yang meliputi perubahan system pencernaan, sistem
peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin dan jaringan tubuh. Turner
dan Helms (1995) menyebutkan remaja mengalami karakteristik yang primer
dan sekunder. Karakteristik seks primer adalah karakteristik dari organ
reproduksi sedangkan karakteristik seks sekunder adalah perkembangan secara
non-genital. Apabila karakteristik seks primer dan sekunder seorang individu
telah matang maka ia memiliki kemampuan bereproduksi atau yang disebut
dengan pubertas. Masa pubertas dimulai saat kelenjar di bawah otak mengirim
pesan pada kelenjar seks untuk meningkatkan pengeluaran hormon. Hal-hal
yang berhubungan dengan pubertas adalah gen, kesehatan dan lingkungan
(Papalia dan Olds, 1995).

Universitas Sumatera Utara

2. Perkembangan kognitif
Piaget dalam Turner dan Helms (1995) menyebutkan perkembangan kognitif
remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu saat pemikirannya menjadi
semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai mengembangkan pemikiran yang
bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat berbagai kemungkinan dalam
pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai memikirkan bagaimana
pandangan orang lain terhadap dirinya. Dikatakan Sulaeman (1995) bahwa
pada masa remaja, seorang individu mengalami kematangan secara intelektual
dan cara berpikirnya mengalami perubahan serta mampu membentuk konsepkonsep. Pada masa ini terjadi pertambahan dalam kemampuan menggeneralisasi,
pertambahan kemampuan-kemampuan berpikir tentang masa depan, mampu
berpikir tentang hal-hal atau ide-ide yang lebih luas dan pertambahan
kemampuan untuk berpikir dan berkomunikasi secara logis.
3. Perkembangan kepribadian
Pada tahap ini terjadi suatu konflik yang disebut konflik antara identity vs role
confusion (Erikson, 1964; Morgan, et.al., 1986). Di masa ini remaja sedang
dalam proses pembentukan
individu berharap dapat

identitas diri yang merupakan masa

mengatakan siapa dirinya

di mana

saat ini dan apa

yang

dikehendakinya di masa mendatang. Untuk membentuk identitas diri, remaja


harus mengetahui dan mengorganisasi

kemampuan, keinginan, minat

dan

hasrat mereka sehingga mereka mampu mengekspresikannya ke dalam konteks


sosial. Freud dalam Turner dan Helms (1995) mengatakan pada masa ini

Universitas Sumatera Utara

remaja berada pada tahap genital dalam perkembangan kepribadiannya. Ciri-ciri


yang mencolok dari tahap ini adalah adanya sublimasi dari perasaan-perasaan
oedipal melalui ekspresi libido, yaitu dengan cara jatuh cinta dengan lawan
jenis.
4. Perkembangan emosi
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan,
yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari
perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1980). Pada masa perkembangan emosi
terjadi ketidakstabilan emosi di mana individu mengalami perasaan-perasaan
yang kontradiktif sifatnya (Pikunas, 1976), seperti sinis terhadap orang lain
maupun terhadap kejadian tertentu, benci, perasaan cinta, apatis, peduli dan
sebagainya (Rice, 1999). Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak
terkendali dan tampaknya irrasional tetapi pada umumnya terjadi perbaikan
perilaku emosional secara perlahan (Hurlock, 1980).
5. Perkembangan sosial
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang
berhubungan

dengan

penyesuaian

sosial

(Hurlock,

1980).

Diterangkan

Greenberger, et. al., (1975) bahwa upaya yang terpenting dan tersulit adalah
penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan
dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam
seleksi persahabatan ataupun dukungan dan penolakan sosial serta seleksi
pemimpin. Karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-

Universitas Sumatera Utara

teman sebaya sebagai suatu kelompok, maka pengaruh teman sebaya lebih
besar daripada pengaruh keluarga. Untuk itu apabila seorang remaja ingin serupa
dengan penampilan anggota kelompok yang populer, maka kesempatan untuk
diterima oleh kelompok menjadi lebih besar (Littrell dan Eicher 1973; Musa dan
Roach, 1973).
6. Perkembangan Moral
Pada masa ini remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang telah ada
pada masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan
merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman
bagi perilakunya (Hurlock, 1980). Dalam diri seorang yang mempunyai moral
yang matang selalu ada rasa bersalah dan malu. Hanya saja rasa bersalah
berperan lebih penting daripada rasa malu dalam mengendalikan perilaku apabila
pengendalian lahiriah tidak ada (Ausubel, et.al., 1977).

2.2.2. Perilaku Kesehatan


2.2.2.1. Definisi Perilaku
Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu
sendiri yang sangat mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan,
berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya.
Sehingga perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas yang dapat diamati
secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung dari luar.

Universitas Sumatera Utara

Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan


respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena
perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan
kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori S-O-R
atau Stimulus Organisme Respons. Skiner membedakan adanya dua respons yaitu:
(1.) Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting
stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relative tetap. Misalnya:
makanan yang sehat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya yang terang
menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini juga mencakup
perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau
menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraanya dengan mengadakan pesta, dan
sebagainya. (2.) Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang
timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat
respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan
baik (respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh
penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan
lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus tersebut, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1. Perilaku tertutup (covert behaviour)


Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima
stimulus tersebut, dan belum dapat diamati dengan jelas oleh orang lain. Oleh sebab
itu, disebut covert behaviour atau unobservable behaviour, misalnya: seorang ibu
hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS
dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya.
2. Perilaku terbuka (overt behaviour)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan terbuka.
Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik
(practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh
karena itu disebut overt behaviour, tindakan nyata atau praktik (practice) misalnya,
seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke Puskesmas
untuk diimunisasi, penderita TB paru minum obat secara teratur, dan sebagainya.
Seperti yang telah disebutkan di atas, sebagian besar perilaku manusia adalah
operant response. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku perlu
diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur
pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut Skiner adalah sebagai
berikut:
a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer
berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.

Universitas Sumatera Utara

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang


membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut
disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku
yang dimaksud.
c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara,
mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen
tersebut.
d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang
telah tersusun.
Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiah diberikan. Hal ini
akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan
sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan komponen (perilaku)
yang ke dua yang kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak perlu diberi
hadiah lagi). Demikian berulang-ulang sampai komponen ke dua terbentuk. Setelah
itu dilanjutkan dengan komponen ke tiga, ke empat, dan selanjutnya sampai seluruh
perilaku yang diharapkan terbentuk (Soekidjo, 2007).

2.2.2.2. Pembagian Perilaku


Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan
adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan,

Universitas Sumatera Utara

minuman,

serta

lingkungan.

Dari

batasan

ini,

perilaku

kesehatan

dapat

diklarifikasikan menjadi 3 kelompok:


1.

Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance) adalah perilaku atau


usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit
dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh karena itu, perilaku
pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek yaitu:
a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.
Kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun
perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal
mungkin.
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman), makan dan minuman dapat
memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya
makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan
seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung
pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau
sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya dan tindakan seseorang saat menderita
penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan dan perilaku ini dimulai dari mengobati
sendiri (self treatment) sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

Universitas Sumatera Utara

3. Perilaku kesehatan lingkungan


Perilaku kesehatan lingkungan adalah tentang bagaimana seseorang merespon
lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya,
sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan
perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak
mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya
bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, dan sebagainya.
Seorang ahli lain (Becker, 1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku
kesehatan, yaitu:
a. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau
kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.
Perilaku ini mencakup antara lain:
1) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet),
2) Olah raga yang teratur, juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas
dalam arti frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olah raga.
3) Tidak merokok.
Merokok adalah kebiasaan buruk yang mengakibatkan berbagai macam
penyakit. Ironisnya kebiasaan merokok, khususnya di Indonesia, seolah-olah
sudah membudaya. Hampir 50% penduduk Indonesia usia dewasa merokok.
Bahkan dari hasil suatu penelitian, sekitar 15% remaja Indonesia telah
merokok.

Universitas Sumatera Utara

4) Tidak minum-minuman keras dan narkoba.


Kebiasaan minum miras dan mengkonsumsi narkoba (narkotik dan bahanbahan berbahaya lainya) juga cenderung meningkat. Sekitar 1% penduduk
Indonesia dewasa diperkirakan sudah mempunyai kebiasaan minum miras
ini.
5). Istirahat yang cukup.
Dengan meningkatnya kebutuhan hidup akibat tuntutan untuk menyesuaikan
dengan lingkungan modern, mengharuskan orang untuk bekerja keras dan
berlebihan, sehingga waktu istirahat berkurang. Hal ini dapat membahayakan
kesehatan.
6). Mengendalikan stress.
Stres akan terjadi pada siapa saja, dan akibatnya bermacam-macam bagi
kesehatan. Lebih-lebih sebagai akibat dari tuntutan hidup yang keras seperti
diuraikan di atas. Kecenderungan stres akan meningkat pada setiap orang.
Stres tidak dapat kita dihindari, yang penting dijaga agar stres tidak
menyebabkan gangguan kesehatan, kita harus dapat mengendalikan atau
mengelola stres dengan kegiatan-kegiatan yang positif.
7). Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya: tidak
berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, penyesuaian diri kita dengan
lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

b. Perilaku sakit (illness behaviour)


Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,
persepsinya terhadap sakit, pengetahuannya tentang penyebab dan gejala sakit,
penguatan penyakit, dan sebagainya.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)
Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup hakhak orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban harus diketahui oleh orang sakit
sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut
perilaku peran orang sakit (the sick role).
Perilaku ini meliputi: 1) tindakan untuk memperoleh kesembuhan; 2) mengenal
mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan penyakit yang layak; 3)
mengetahui hak, (misalnya: hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan
kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit (memberitahu penyakitnya
kepada orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan
penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya).

2.2.2.3. Domain Perilaku


Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau
ransangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat
tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.
Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut
determinan perilaku. Determinan perilaku ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,


yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial
budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering
merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku
manusia itu ke dalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni: kognitif, afektif
dan psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk
pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang (overt behaviour).
a. Proses Adopsi Perilaku
Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang

Universitas Sumatera Utara

mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan, yaitu:
1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
stimulus (objek) terlebih dahulu,
2. Interest, yakni orang yang mulai tertarik kepada stimulus,
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru,
5. Adaption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran,
dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Maka teori ini
dimodifikasi menjadi empat fase yaitu :
1. Knowledge yaitu memberikan pengetahuan-pengetahuan mengenai kesehatan,
menurut bidang yang akan dicapai oleh program tersebut. Dengan sendirinya
pengetahuan yang diberikan itu disesuaikan dengan tingkat perkembangan
masyarakat/individu yang dididik.
2. Persuassion yaitu : dalam tingkat ini masyarakat sudah mulai mengambil hati
terhadap pengetahuan yang diperoleh. Maka pendidikan kesehatan masyarakat
bertugas untuk lebih mendekati mereka; kalau perlu secara personal.
3. Decision : dalam fase ini masyarakat sudah memutuskan untuk mencoba tingkah
laku baru. Untuk itu maka, perlu adanya motivasi yang kuat dari para petugas

Universitas Sumatera Utara

kesehatan dan juga penerangan-penerangan yang jelas, agar putusan mereka itu tidak
berdasarkan paksaan.
4. Comfirmasi: apabila masyarakat atau individu telah mau melaksanakan tingkah
laku yang baru sesuai dengan norma-norma kesehatan, kita tinggal menguatkan
tingkah laku mereka ini, supaya tidak terjadi drop out. Caranya dengan selalu
meneruskan usaha-usaha pelayanan yang telah ada.
b. Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan,
yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik di seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima.
2. Memahami (comprehention)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar.
3. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam
komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih
ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk yang baru. Dengan kata
lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan,
dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap teori atau
rumusan-rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek yang didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau dengan kriteria yang telah ada.
2. Sikap (attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tersebut tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Newcomb salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu
merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, bukan merupakan pelaksanaan
motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi

Universitas Sumatera Utara

merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan kesiapan
untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan
terhadap objek.
a. Komponen Pokok Sikap
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok,
yaitu: 1. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek; 2.
kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek; 3. kecenderungan untuk
bertindak (tend to behave). Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama
membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini,
pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
b. Berbagai Tingkatan Sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan:
menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing), bertanggung
jawab (responsible)
3. Praktik atau tindakan (practice)
Suatu sikap yang belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt
behaviour). Untuk mewujudkan suatu sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain
adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan
(support) dari pihak lain, misalnya dari orang terdekat. Praktik ini mempunyai
beberapa tingkatan:

Universitas Sumatera Utara

1. Persepsi (perseption), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan


dengan tindakan yang akan diambil.
2. Respons terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai
dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
3. Mekanisme (mecanisme), melakukan sesuatu secara benar dan otomatis sehingga
menjadi suatu kebiasaan.
4. Adopsi (adoption), yaitu suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik.

2.3.

Keluarga Batak Toba

2.3.1. Definisi Keluarga


Keluarga merupakan lingkungan primer bagi hampir setiap individu, sejak
dilahirkan sampai datang masanya meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga
sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling intensif dan
paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seseorang mengenal lingkungan yang
lebih luas, terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Karena itu sebelum
mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia
menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk
dijadikan bagian dari kepribadiannya (Sarwono, 2004).
Besar keluarga dapat menjadi tolok ukur keharmonisan dalam membina
interaksi sesama anggota keluarga. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000), besar
keluarga dapat pula mengganggu pola serta corak hubungan antar anggota keluarga.

Universitas Sumatera Utara

Hal ini mengakibatkan munculnya berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh,
sikap bersaing dan tersisih. Kondisi tersebut tentu dapat menimbulkan ketegangan
yang dapat berakibat lebih buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri.
Dalam hal ini, Asrori dan Ali (2004) menekankan pentingnya pola interaksi di
dalam keluarga. Interaksi yang terjadi antar individu dalam lingkungan keluarga akan
tampil dalam kualitas yang berbeda-beda. Kualitas mengacu kepada derajat relatif
kebaikan atau keunggulan interaksi antar individu. Suatu interaksi dikatakan
berkualitas

jika

mampu

memberikan

kesempatan

kepada

individu

untuk

mengembangkan diri dengan segala kemungkinan yang dimilikinya. Tingkat


pendidikan orang tua juga sangat menentukan keberhasilan pembentukan
kepribadian dan perilaku remaja.
Menurut Pulungan (1993) dalam Cahyaningsih (1999), orang tua yang
berpendidikan tinggi cenderung lebih mengembangkan diri dan pengetahuannya,
serta lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan informasi dan masyarakat
dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Hal inilah yang
mempengaruhi perlakuan mereka terhadap anak dalam keluarga. Dalam keluarga,
orang tua bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada anak-anaknya dengan
pendidikan yang baik berdasarkan nilai-nilai akhlak dan spiritual yang luhur. Namun,
sayangnya tidak semua orang tua dapat melakukannya. Buktinya dalam kehidupan di
masyarakat masih sering ditemukan anak-anak nakal dengan sikap dan perilaku yang
tidak hanya terlibat dalam perkelahian, tetapi juga terlibat dalam pergaulan bebas,
perjudian, pencurian, narkoba, dan sebagainya (Djamarah, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Maksud bentukan keluarga dalam hal ini adalah kata-kata apakah yang sering
dikatakan oleh orang tuanya. Pujian apa yang sering didengar, hukuman apa yang
sering dialami berkaitan dengan satu perilaku di rumah. Motivasi apa serta contoh
apa yang diperlihatkan keluarganya. Semua itu akan membentuk perilaku seseorang.
Semua stimulus diperoleh sejak lahir baik dari kakak, ayah, ibu, teman, televisi dan
sebagainya. Semua akan mempengaruhi cara kita bersikap terhadap sesuatu, pada
saat itulah kepribadian terbentuk.

2.3.2. Kebiasaan Batak Toba


Suku Batak Toba meletakkan pendidikan dan kesehatan sebagai hal utama
dalam kehidupan mereka dilandasi oleh nilai-nilai filsafat hidup orang Batak Toba,
hagabeon anak, hamoraon kekayaan, dan hasangapon kehormatan (Panjaitan
1977). Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kesehatan anak-anak suatu keluarga,
semakin terhormat atau sangap keluarga itu dalam masyarakatnya.
Mayoritas penduduk di daerah Batak Toba hanya bermata pencaharian sebagai
petani dengan kehidupan yang sederhana, namun orang tua menunjukkan aspirasi
yang tinggi terhadap pendidikan dan kesehatan anak. Bagi orang Batak Toba,
rangkaian tiga kata hagabeaon, hamoraon, hasangapon secara eksistensial saling
mendukung, yaitu nilai budaya yang menjadi tujuan dan pedoman hidup ideal orang
Batak Toba (Harahap& Siahaan, 1987).
Faktor-faktor lain yang berperan dalam keberhasilan suku Batak Toba adalah
ajaran agama, kondisi alam yang tandus, kondisi lingkungan sosial, peran orang tua,

Universitas Sumatera Utara

khususnya peran ibu yang bersedia berkorban demi keberhasilan anak-anaknya,


serta perasaan hosom (dendam), teal (sombong), elat (dengki) dan late (iri) yang
membuat orang Batak Toba tidak mau kalah.
Masyarakat Batak Toba pada umumnya memandang tugas utama seorang
wanita adalah mengurus rumah tangga dan mengurus anak. Seandainya seorang
wanita melakukan pekerjaan di luar tugas rumah tangga, maka selalu diharapkan
oleh masyarakat Batak Toba, bahwa pekerjaan tersebut tidak menghambat tugas
rumah tangga.
Sebaliknya inang-inang, yang terdiri dari pedagang-pedagang wanita Batak
Toba, sebagian besar waktunya sehari-hari dipergunakan untuk berdagang.
Bagaimana mereka dapat menjalankan peranan sebagai ibu, sebagai isteri, sebagai
tenaga pendidik anak, sebagai anggota keluarga luas sebagai anggota masyarakat
Batak Toba, dan bagaimana pandangan warga masyarakat Batak Toba itu sendiri
terhadap inang-inang dan kegiatan dagangnya.
Meskipun inang-inang jarang berada di rumah, dan sebagian besar waktunya
dipergunakan untuk mencari nafkahnya, hal ini tidak berarti bahwa anak-anak tidak
merasa dekat dengan ibunya. Penelitian Panjaitan (1977) menunjukkan adanya gejala
hubungan yang lebih dekat di antara ibu dan anak, dibandingkan dengan hubungan di
antara ayah dan anak. Bagi inang-inang yang memiliki waktu di rumah, tersedia
waktu lebih banyak

untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak. Sedangkan

seorang inang-inang menceritakan bagaimana ia mengatur waktu antara urusan


dagang dan urusan menyangkut kepentingan rumah tangga. Hal ini dapat

Universitas Sumatera Utara

disimpulkan bahwa anak-anak yang melihat perjuangan hidup ibunya akan menjadi
pelajaran bagi anak-anaknya untuk masa depannya.
Panjaitan (1977) mengatakan pola makan orang Batak Toba tetap
mempertahankan makanan seperti ikan asin, ikan Teri, sayur Singkong, ikan Mas,
daging Babi, sebagian dari menu sehari-hari. Tempe dan tahu hanya sekali-sekali
dihidangkan sehari-hari. Terutama oleh kaum tua Batak Toba di Jakarta sebagian
besar menganggap Tempe dan Tahu sebagai makanan murahan, dan tidak pantas
dihidangkan dalam pesta-pesta adat Batak Toba.
Orang Batak Toba itu sebenarnya tidak miskin, tetapi kurang mampu mengolah
ekonomi dan kebutuhan keluarga, kalau sudah ada uang sudah cukup, tanpa
memperhatikan keadaan kesehatan keluarga, sedangkan apabila orang Batak Toba
sakit mereka enggan mengakuinya dan tidak mau berobat. Seperti dikemukakan
Togar Nainggolan seorang Antopolog, bahwa kemiskinan orang Batak Toba itu
terjadi karena pengaruh mental masyarakat. Dalam pengamatannya, dia melihat
bahwa orang Batak Toba yang disebut miskin jauh lebih komsumtif dan boros dalam
hal pemakaian waktu duduk sambil bernyayi larut malam. Dia menunjukkan indikasi
misalnya berapa banyak uang harus beli rokok dan minuman tuak (Situmorang,
2008). Secara tidak sadar Orang Batak Toba sudah menanamkan sikap tersebut
kepada anak-anaknya.

Universitas Sumatera Utara

2.3.3. Nilai-Nilai Utama Budaya Batak Toba


Suku Batak Toba dalam menjalani hidupnya berpedoman pada sejumlah nilainilai utama yang menjadi keyakinan, penghormatan, cita-cita hidupnya. Menurut
Harahap dan Siahaan (1987) ada sembilan nilai-nilai utama yaitu:
1. Sistem kekerabatan dalihan na tolu
Hubungan antara manusia dalam kehidupan orang Batak Toba diatur dalam sistem
kekerabatan dalihan na tolu. Dalihan na tolu sebagai jaringan kekerabatan yang
mengajarkan hak dan kewajiban yang setara di antara ketiga unsur dalihan na tolu,
dongan sabutuha kelompok klen semarga, hula-hula kelompok pemberi isteri,
dan boru kelompok klen yang menerima isteri. Yang mencakup hubungan
premordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur
dalihan na tolu (hula-hula, dongan tubu, boru), pisang raut (anak boru dari anak
boru), hatobangon (cendikiawan) dan segala yang berkaitan hubungan kekerabatan
karena pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain.
2. Religi
Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang
datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta
hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya. Religi yang memasuki
segala aspek kehidupan orang Batak Toba tetap terpelihara, sekalipun banyak
pengaruh memasuki kehidupan orang Batak Toba seperti agama Kristen dan
modernisasi. Semua pengaruh itu tidak pernah berhasil menghapus identitas orang
Batak Toba yang mempertahankan identitas kebatakannya.

Universitas Sumatera Utara

Menarik untuk memperhatikan, bahwa tugu-tugu peringatan nenek moyang yang


megah dibangun di kampung halaman orang-orang modern yang kaya dan
berpendidikan, bahkan pejabat dan berpangkat, yang migran di kota-kota di luar
wilayah budaya Batak Toba. Ini merupakan bukti bahwa religi dalam masyarakat
Batak Toba benar-benar berkadar tinggi.
3. Hagabeon
Hagabeon, banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak
Toba yang terkenal disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang
mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 orang dan putri 16
orang. Dari ungkapan di atas kelihatan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan
dalam pandangan orang tua, karena dalam perbandingan jumlah kelihatan harus lebih
banyak. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang
tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat
hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak Toba yang ditakdirkan memiliki
budaya bersaing yang sangat tinggi. Konsep hagabeon berakar, dari budaya bersaing
pada jaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam
perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil
yang besar. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut saur matua
bulung (seperti daun, yang gugur setelah tua).
4. Hasangapon
Hasangapon merupakan hasil yang diperoleh setelah hagabeon dan hamoraon.
Hasangapon, kehormatan kemuliaan, kewibawaan, kharisma, satu nilai utama yang

Universitas Sumatera Utara

memberi dorongan kuat untuk meraih kejayaan. Nilai ini memberi dorongan kuat,
lebih-lebih pada orang Batak Toba pada jaman modern ini untuk meraih jabatan dan
pangkat yang memberikan kemuliaan, kewibawaan, kharisma dan kekuasaan.
5. Hamoraon
Hamoraon dalam kehidupan sehari-hari orang Batak Toba merupakan misi budaya
yang menonjol. Hamoraon, kaya raya, salah satu nilai budaya yang mendasari dan
mendorong orang Batak Toba untuk mencari harta benda yang banyak.
6. Hamajuan
Hamajuan merupakan gagasan-gagasan pembaharuan yang dibawa oleh misionaris
telah membuka cakrawala yang luas dalam wawasan orang Batak Toba. Modernisasi
yang diperkenalkan oleh orang Batak Toba mendorong gerak migrasi penduduk
setempat menuju pusat-pusat kemajuan di Sumatera Timur sebagai penggarap tanah.
Gerak meninggalkan huta ini kemudian bukan saja untuk bekerja, tetapi juga
melanjutkan pendidikan.
7. Hukum/ Patik dohot Uhum
Hukum patik dohot uhum merupakan kesadaran hukum tradisional mengandung
religi. Hukum tradisional adalah aturan yang datang dari Debata Mulajadi Na bolon
melalui nenek moyang hula-hula, yang mengatur kehidupan manusia dengan
manusia dengan alam sekitarnya, sekaligus mengantur hubungan manusia dengan
roh nenek moyang dan Debata Mulajadi Na Bolon. Nilai patik dohot uhum
merupakan nilai yang kuat disosialisasikan oleh orang Batak Toba. Budaya

Universitas Sumatera Utara

menegakkan kebenaran, berkecimpung dalam dunia hukum merupakan dunia orang


Batak Toba.
8. Pengayoman
Pengayoman adalah pemberi kearifan, pemberi kesejahteraan, pelindung yang ditaati,
pencipta ketenteraman batin dalam sistem kekerabatan Dalihan na Tolu diperankan
oleh hula-hula. Kehadiran pengayom, pelindung, pemberi kesejahteraan, hanya
diperlukan dalam keadaan yang sangat mendesak.
9. Konflik
Sistem kekerabatan dalihan na tolu memiliki mekanisme untuk menyelesaikan setiap
konflik melalui musyawarah keluarga dekat, rapat adat ataupun rapat warga. Dalam
proses sosialisasi orang Batak Toba, hidup berkonflik menjadi bagian yang terpadu
menyatu dengan komponen sosialisasi lainnya. Segi positif ini adalah proses
sosialisasi yang menyangkut latihan berkesinambungan untuk mampu menganalisis
setiap persoalan. Proses melibatkan atau dilibatkan dalam suasana konflik, mendidik
orang Batak Toba menjadi orang yang terbuka. Berkonflik dalam masyarakat Batak
Toba bukanlah suatu aib. Namun manifestasi konflik yang terjadi pada logika orang
Batak Toba yang kompetitif apabila tidak dikendalikan dengan baik akan dapat
berakibat negatip. Bila pardengganan (rukun kembali) tidak berhasil yang akan
muncul adalah berupa rasa iri yang mendalam, dengki yang meluap-luap serta
kesombongan diri yang dalam bahasa Batak Toba disebut elat.

Universitas Sumatera Utara

2.3.4. Kesehatan Keluarga Batak Toba


2.3.4.1. Kesehatan Keluarga
Kesehatan adalah keseluruhan aktivitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, yang terletak pada rentang sehat sakit (Leininger, 1978). Kesehatan
merupakan suatu keyakinan, nilai, pola kegiatan yang dalam konteks budaya
digunakan untuk menjaga dan memelihara keadaaan seimbang/sehat, yang dapat
diamati dalam aktivitas sehari-hari (Andrew&Boyle,1995). Kesehatan menjadi fokus
dalam interaksi antara anggota keluarga.
Keluarga merupakan unit pelayanan kesehatan yang terdepan dalam
meningkatkan derajat kesehatan komunitas. Apabila setiap keluarga sehat akan
tercipta komunitas yang sehat. Masalah kesehatan yang dialami oleh salah satu
anggota keluarga dapat memengaruhi anggota keluarga yang lain. Masalah kesehatan
yang dialami oleh sebuah keluarga tersebut dan memengaruhi komunitas setempat,
bahkan komunitas global (Sudiharto 2007:22).
Setiap anggota keluarga mempunyai struktur peran formal dan informal.
Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi, kemampuan
keluarga untuk saling berbagi, kemampuan system pendukung di antara anggota
keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan menyelesaikan masalah.
Menurut Friedman (1999), lima fungsi dasar keluarga adalah sebagai berikut:
1. Fungsi afektif, adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan
psikologis, saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima
dan mendukung.

Universitas Sumatera Utara

2. Fungsi sosialisasi, adalah proses perkembangan dan perubahan individu keluarga,


tempat anggota keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan di lingkungan
sosial.
3. Fungsi reproduksi, adalah fungsi keluarga meneruskan kelangsungan keturunan
dan menambah sumber daya manusia.
4. Fungsi ekonomi, adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
seperti sandang, pangan, dan papan.
5. Fungsi perawatan kesehatan, adalah kemampuan keluarga untuk merawat
anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan.
Kesehatan keluarga Batak Toba dimulai dari rumah, yang berarti rumah
bukanlah hanya sebatas bangunan fisik, melainkan suatu wujud dan gambaran dari
ungkapan keyakinan, cita-cita, pengharapan dan pandangan hidup Simamora (1997:
9). Rumah adalah salah satu wujud atau hakekat dari keluarga. Dengan kata lain,
rumah, jabu dan bagas mendapat arti yang lebih dalam karena erat kaitannya dengan
keluarga. Rumah, jabu dan bagas adalah tempat tinggal keluarga.
Sehubungan dengan ini, kita tidak terlalu melihat perbedaan antara kata
rumah dan jabu, seperti yang dikatakan oleh Raja Marpodang dalam bukunya,
dalihan na tolu: nilai budaya suku Batak dikatakan: bahwa rumah berkaitan dengan
spiritual, sedang jabu berkaitan dengan fungsi, moral dan sopan santun. Berarti dari
rumah anak memperoleh pengasuhan agar kelak anak adalah pewaris, penerus, dan
calon pengemban bangsa. Secara lebih dramatis dikatakan bahwa anak merupakan
penanaman modal sosial ekonomi suatu bangsa. Dalam arti individual, anak bagi

Universitas Sumatera Utara

orangtuanya mempunyai nilai khusus yang penting. Dalam kedua aspek tersebut
yang diharapkan adalah agar anak dapat tumbuh sehat dan berkembang sebaikbaiknya sehingga kelak menjadi orang dewasa yang sehat secara fisik, mental, dan
psikososial sebagai sumber daya manusia yang berkualitas.

2.3.4.2. Perilaku Kesehatan Keluarga Batak Toba


Kepercayaan kuno Batak adalah syamaisme, yaitu suatu kepercayaan dengan
melakukan pemasukan roh ke dalam tubuh seseorang sehingga roh itu dapat berkatakata. Orang yang menjadi perantara di sebut Shaman. Shaman bagi orang Batak
disebut si Baso yang berarti kata. Pada umumnya, si Baso ini adalah dukun Wanita.
Ketika Baso berkata-kata, bahasanya harus ditafsirkan secara khas. Pembicaraan
yang dipercayai akan menjadi petunjuk bagi orang untuk pengobatan dan ramalan.
Selain Baso, ada juga yang memegang peranan penting yaitu Datu, biasanya seorang
pria. Datu di dalam kegiatannya tidak menjadi medium, melainkan langsung
berbicara dengan dunia roh. Datu bertugas mengobati orang sakit sehingga dalam
tugas ini Datu tidak saja mengetahui white magic, tetapi juga harus menghalau
black magic atau magis jahat.
Menurut kepercayaan orang Batak, apabila seorang jatuh sakit, tondi atau
tendi si sakit pergi ke suatu tempat meninggalkan tubuhnya. Karena tendinya itu
pergi, orang jatuh sakit. Agar orang yang sakit dapat sembuh, tendinya harus
dipanggil agar masuk kembali ke tubuh orang sakit itu (tondi mulak tu badan).

Universitas Sumatera Utara

Mediator untuk panggil tondi itu setelah berulang-ulang di panggil tidak mau pulang
juga, berarti orang sakit tersebut tidak ada harapan untuk sembuh atau hidup lagi.
Bila usia orang yang sakit lebih muda, mereka perlu meminta pertimbangan
orang yang lebih tua untuk memecahkan masalah dengan musyawarah. Bila istri
yang mengalami gangguan kesehatan, suami sebagai kepala rumah tangga perlu
dilibatkan. Keputusan masalah kesehatan berada di tangan suami, tetapi umumnya
suami harus mendiskusikannya terlebih dahulu dengan istri dan anak-anaknya
sebelum mengambil keputusan.
Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan pengobatan, lamakelamaan orang-orang Batak mencari pengobatan ke tenaga kesehatan atau ke
puskesmas terdekat. Walaupun demikian, masih ada yang berobat ke Shaman untuk
mengatasi masalah kesehatan keluarga mereka, baik keluarga yang tinggal di
pedalaman maupun yang berada di luar Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

2.4.

Landasan Teori
Landasan teori pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Pola Asuh Orang Tua


Perilaku Kesehatan Remaja

Demokratis
Otoriter
Permisif

Keluarga Batak Toba

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Nilai-nilai Budaya Batak Toba :


Sistem kekerabatan dalihan na tolu
Religi
Hagabeon
Hasangapon
Hamoraon
Hamajuon
Hukum/Patik dohot Uhum
Pengayoman
Konflik

Gambar 2.1. Landasan Teori


Pada gambar 2.1 di atas, dapat dilihat bahwa perilaku kesehatan remaja pada
keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir dipengaruhi
beberapa nilai-nilai budaya pada masyarakat dan keluarga Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara

2.5. Kerangka Konsep Penelitian


Berdasarkan landasan teori, dapat dirumuskan konsep penelitian sebagai
berikut :

Pola Asuh Orang Tua


Demokratis
Otoriter
Permisif

Perilaku Kesehatan Remaja

Karakteristik Remaja
Jenis kelamin remaja
Usia remaja
Pekerjaan orang tua
Penghasilan orang tua

Variabel yang diteliti


Variabel antara

Gambar 2.2. Kerangka Teori Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat dilihat bahwa perilaku


kesehatan remaja berkaitan dengan pola asuh orang tua yang meliputi pola asuh
demokratis, otoriter, permisif, sedangkan variabel antara karakteristik remaja yaitu
jenis kelamin remaja, usia remaja, pekerjaan orang tua, dan penghasilan orang tua.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai