Anda di halaman 1dari 6

BAB III

PEMBAHASAN

CONTOH PENERAPAN AUDIT FORENSIK DALAM KASUS HAMBALANG


1. Kasus Hambalang
Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON)
di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis
bahwa proyek bernilai Rp1,2 triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga
Departemen Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga
Pelajar Tingkat Nasional (National Training Camp Sport Center).
Kemudian, pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan
yang representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan
Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi
pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai
layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu,
Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa
Hambalang, Citeureup, Bogor. Tim melihat, lahan di Hambalang itu sudah memenuhi semua
kriteria penilaian tersebut di atas. Sehingga lokasi tersebut dipilih untuk dibangun.
Menindaklanjuti pemilihan Hambalang, Dirjen Olahraga Depdiknas langsung
mengajukan permohonan penetapan lokasi Diklat Olahraga Pelajar Nasional kepada Bupati
Bogor. Bupati Bogor menyetujui dengan mengeluarkan Keputusan Bupati Bogor nomor
591/244/Kpes/Huk/2004 tanggal 19Juli 2004. Sambil menunggu izin penetapan lokasi dari
Bupati Bogor tesebut, pada 14 Mei 2004, Dirjen Olahraga telah menunjuk pihak ketiga yaitu
PT LKJ untuk melaksanakan pematangan lahan dan pembuatan sertifikat tanah dengan
kontrak No.364/KTR/P3oP/2004 dengan jangka waktu pelaksanaan sampai dengan 9
November 2004 senilai Rp4.359.521.320.
Namun, ternyata lokasi Hambalang itu masuk zona kerentanan gerakan tanah
menengah tinggi sesuai dengan peta rawan bencana yang diterbitkan Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM. Sesuai dengan sifat batuannya,
PVMBG menyarankan untuk tidak mendirikan bangunan di lokasi tersebut karena memiliki
risiko bawaan yang tinggi bagi terjadinya bencana alam berupa gerakan tanah.
Selain itu, status tanah di lokasi dimaksud masih belum jelas, meskipun telah dikuasai
sejak pelepasan/pengoperan hak garapan dari para penggarap kepada Ditjen Olahraga setelah
realisasi pembayaran uang kerohiman kepada para penggarap sesuai Berita Acara Serah
Terima Pelepasan/Pengoperan Hak Garapan tertanggal 19 September 2004.

Sejak itulah area tanah tersebut diakui sebagai aset Ditjen Olahraga dan kemudian
pada tanggal 18 Oktober 2005 diserahterimakan kepada organisasi baru yaitu Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) setelah Ditjen Olahraga berubah menjadi
Kemenpora. Menpora saat itu, Adhyaksa Dault mengakui bahwa untuk membangun pusat
olahraga pihaknya mengajukan anggaran sebesar Rp125 miliar. Karena proyek tersebut
awalnya bukan untuk pembangunan pusat olahraga. Melainkan hanya pembangunan sekolah
olahraga. "Rekomendasi awalnya, di sana hanya untuk bangun sekolah olahraga dua lantai
dan saya tidak tahu bagaimana ceritanya berubah menjadi sport center," kata Adhyaksa saat
berbincang dengan VIVAnews.
Nilai proyek ini kemudian melejit hingga Rp2,5 triliun saat Kemenpora dipimpin oleh
Menteri Andi Mallarangeng. Hal tersebut terungkap dalam audit Hambalang, bahwa pada
tanggal 8 Februari 2010 dalam Raker antara Kemenpora dengan Komisi X, Menpora
menyampaikan rencana Lanjutan Pembangunan tahap I P3SON di Bukit Hambalang
Rp625.000.000.000. Permintaan itu diajukan karena dalam DIPA Kemenpora TA 2010 baru
tersedia Rp125 miliar. Menpora Andi Mallarangeng juga menyampaikan bahwa usulan
tersebut merupakan bagian rencana pembangunan P3SON Bukit Hambalang Sentul yang
secara keseluruhan memerlukan dana sebesar Rp2,5 triliun.
Andi Mallarangeng pun menghormati hasil audit BPK atas proyek Hambalang
tersebut. Bahkan dirinya mendukung perlu adanya pihak yang bertanggung jawab jika
memang ditemukan adanya penyimpangan. "Sebagai menteri tentu saya menjalankan tugas
sebaik-baiknya termasuk dalam hal pengawasan," kata Andi.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menyebut total kerugian
negara akibat Proyek Hambalang sebesar Rp463,67 miliar. Hal itu disampaikan dalam
paparan laporan hasil audit Hambalang Jilid II di ruang pimpinan DPR, Senayan, Jakarta,
Jumat (23/8). "BPK menyimpulkan ada indikasi kerugian negara sebesar Rp463,67 miliar
akibat adanya indikasi penyimpaangan dan penyalahgunaan wewenang wewenang yang
mengandung unsur-unsur pidana yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan
P3SON Hambalang," paparnya.
Pelanggaraan tersebut terletak pada beberapa tahapan. Pertama, proses pengurusan
hak atas tanah. Kedua, proses pengurusan izin pembangunan. "Ketiga, proses pelelangan.
Keempat, proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak," tambahnya.
Kelima, pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan keenam, pembayaran dan aliran dana yang
diikuti rekayasa akuntansi.

Terkait proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak, BPK juga
menemukan

adanya

pencabutan

Peraturan

Menteri

Keuangan

(PMK)

Nomor:

56/PMK.02/2010 yang diganti dengan PMK Nomor: 194/PMK.02/2011 tentang Tata Cara
Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
yang diduga mengalami penurunan makna substantif dalam proses persetujuan Kontrak
Tahun Jamak. Hal ini dapat melegalisasi penyimpangan semacam kasus hambalang untuk
tahun-tahun berikutnya.
2. Hasil Audit Forensik Kasus Hambalang
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo memaparkan sejumlah hasil
audit terhadap kasus Hambalang ke DPR. Menurutnya laporan audit investigasi kasus
Hambalang dilakukan dua tahap. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kasus Hambalang tahap I
dilakukan pada 30 Oktober 2012.
Hasilnya telah disampaikan ke DPR. Dalam LHP tahap I, BPK menyimpulkan ada
indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan atau penyalahgunaan
wewenang dalam proses persetujuan tahun jamak, proses pelelangan, proses pelaksanaan
konstruksi, dan dalam proses pencarian uang muka yang dilakukan pihak terkait dalam
pembangunan Hambalang yang mengakibatkan timbulnya indikasi kerugian negara sekurangkurangnya Rp 263,66 miliar.
Artinya, LHP tahap I dan II merupakan satu satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya secara komprehensif menyajikan berbagai dugaan penyimbangan
dan/atau penyalahgunaan wewenang dalam pembangunan Hambalang.
Dalam LHP tahap II, terang Hadi, BPK menyimpulkan terdapat indikasi
penyimpangan dan/atau penyalahgunaan wewenang yang mengandung penyimpangan yang
dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan proyek hambalang. Penyimpangan
wewenang itu terjadi pada proses pengurusan hak atas tanah, proses izin pembangunan,
proses pelelangan, proses persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak, pelaksanaan
pekerjaan konstruksi, pembayaran, dan aliran dana yang di ikuti dengan rekayasa akuntasi
dalam proyek Pusat Pendidiakn Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3 SON),
Hambalang.. Dalam LHP tahap II ini BPK kembali menemukan adanya penyimpangan dalam
proses pengajuan dan kerugian negara mencapai Rp471 miliar.
Berikut kesimpulan LHP tahap II BPK soal Hambalang;
1)

Bahwa permohonan persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenpora kepada


Menteri Keuangan atas proyek pembangunan P3 SON Hambalang tidak memenuhi

persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku, sehingga


selayaknya permohonan tersebut tidak dapat disetujui Menteri Keuangan.
2)

Bahwa pihak-pihak terkait secara bersama-sama diduga telah melakukan rekayasa


pelelangan untuk memenangkan rekanan tertentu dalam proses pemilihan rekanan
pelaksana proyek pembangunan P3 SON Hambalang.

3) Bahwa pihak Kemenpora selaku pemilik proyek tidak pernah melakukan studi amdal
maupun menyusun DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup) terhadap proyek
pembangunan P3 SON Hambalang sebagaimana yang diamanatkan UU Lingkungan
Hidup. Persyaratan adanya studi amdal terlebih dahulu sebelum mengajukan izin
lokasi, site plan, dan IMB kepada Pemkab Bogor tidak pernah dipenuhi oleh
Kemenpora.
Terkait dengan persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak, BPK juga
menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No 56/2010 yang diganti
dengan Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan
Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 patut diduga bertentangan dengan Pasal 14
UU No 1/2004. Peraturan tersebut diduga untuk melegalisasi dugaan penyimpangan yang
telah terjadi. Pencabutan Permenkeu No 56/2010,mengindikasikan adanya pembenaran atas
ketidakbenaran atau penyimpangan atas Pasal 14 UU No 1/2004. Berbagai indikasi
penyimpangan yang dimuat dalam LHP tahap I dan II mengakibatkan kerugian negara
sebesar Rp 463,67 miliar. Yaitu senilai total dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk
pembayaran proyek pada 2010 dan 2011 sebesar Rp 471, 71 miliar. Dikurangi dengan nilai
uang yang masih berada pada KSO AW sebesar Rp 8,03 miliar.
Kesimpulan tersebut, didasarkan pada fakta-fakta sebagai berikut. Kemenpora tidak
pernah memenuhi persyaratan untuk melakukan studi amdal sebelum mengajukan izin lokasi.
Kemudian, setplant dan izin mendirikan bangunan kepada pemkab Bogor atau menyusun
dokumen evalusi lingkungan hidup mengenai proyek Hambalang.
Permohonan persetujuan tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri Keuangan atas
proyek Pembangunan Hambalang, kata Hadi, tidak memenuhi persyaratan sebagai mana yang
ditetapkan dalam peraturan yang berlaku. Sehingga sudah seharusnya permohonan tersebut
ditolak.

Kronologi Kasus Korupsi Proyek Hambalang 23 Februari 2013 23:28:39 Diperbarui: 24 Juni
2015 17:49:00 Dibaca : 23,265 Komentar : 3 Nilai : 0 Semuanya menjadi terbuka ketika
Koordinator Anggaran Komisi X DPR RI yang juga Bendahara Umum Partai Demokrat,
Muhammad Nazaruddin, ditangkap. Nazar mulai mengungkap pelbagai aktifitas korupsi yang
melibatkannya, salah satunya korupsi pada proyek Hambalang yang ternyata juga melibatkan
dedengkot-dedengkot Partai Demokrat lainnya: Anas Urbaningrum, Andi Alfian
Mallarangeng, dan Angelina Sondakh. Dalam perjalanannya, muncullah kronologi sebagai
berikut: 1 Agustus 2011: KPK mulai menyelidiki kasus korupsi proyek Hambalang senilai Rp
2,5 triliun. 8 Februari 2012: Nazar menyatakan bahwa ada uang Rp 100 miliar yang dibagibagi, hasil dari korupsi proyek Hambalang. Rp 50 miliar digunakan untuk pemenangan Anas
sebagai Ketua Umum Partai Demokrat; sisanya Rp 50 miliar dibagi-bagikan kepada anggota
DPR RI, termasuk kepada Menpora Andi Alfian Mallarangeng. 9 Maret 2012: Anas
membantah pernyataan Nazar. Anas bahkan berkata dengan tegas, "Satu rupiah saja Anas
korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas. 5 Juli 2012: KPK menjadikan tersangka Dedi
Kusnidar, Kepala Biro Keuangan dan Rumahtangga Kemenpora. Dedi disangkakan
menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat pembuat komitmen proyek. 3 Desember 2012:
KPK menjadikan tersangka Andi Alfian Mallarangeng dalam posisinya sebagai Menpora dan
pengguna anggaran. Selain itu, KPK juga mencekal Zulkarnain Mallarangeng, adik Andi, dan
M. Arif Taufikurrahman, pejabat PT Adhi Karya. 22 Februari 2013: KPK menjadikan
tersangka Anas Urbaningrum. Anas diduga menerima gratifikasi berupa barang dan uang,
terkait dengan perannya dalam proyek Hambalang. ***** Ide pembangunan Pusat
Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional tercetus sejak jaman Menteri Pemuda
dan Olahraga dijabat oleh Adiyaksa Dault. Dipilihlah wilayah untuk membangun, yaitu tanah
di daerah Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Namun pembangunan urung terealisasi karena
persoalan sertifikasi tanah. Saat Menpora dijabat Andi Alfian Mallarangeng, proyek
Hambalang terealisasi. Tender pun dilakukan. Pemenangnya adalah PT Adhi Karya dan PT
Wijaya Karya. Anas Urbaningrum diduga mengatur pemenangan itu bersama Muhammad
Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan teman dekat Anas, Mahfud Suroso. Masalah sertifikasi
juga berhasil diselesaikan. Pemenangan dua perusahaan BUMN itu ternyata tidak gratis. PT
Dutasari Citralaras menjadi subkontraktor proyek Hambalang dan mendapat jatah senilai Rp
63 miliar. Perusahaan yang dipimpin Mahfud itu dikomisarisi oleh Athiyyah Laila, istri Anas.
Selain itu, PT Adhi Karya juga menggelontorkan dana terima kasih senilai Rp 100 miliar.
Setengah dana itu dipakai untuk pemenangan Anas sebagai Ketua Partai Demokrat dan
sisanya dibagi-bagikan oleh Mahfud kepada anggota DPR RI, termasuk kepada Menpora

Andi Mallarangeng. Selain itu, Anas juga mendapatkan gratifikasi berupa mobil Toyota
Harrier dari Nazar. Referensi: Majalah Detik, Metro TV, TvOne, Tempo
SUMBER http://www.kompasiana.com/fachrulkhairuddin/kronologi-kasus-korupsi-proyekhambalang_551fc515a333119542b65a2c

Anda mungkin juga menyukai