Anda di halaman 1dari 9

Mengenal CBM (Coal Bed Methane)

Posted by imambudiraharjo on January 19, 2010


Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak,
karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun
batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya
banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron,
sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan
permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas
dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan
batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar.
Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana,
sehingga secara umum gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat
CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy (peringkat
3), bersama-sama dengan tight sand gas, devonian shale gas, dan gas hydrate.
High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai
conventional gas.
Produksi CBM
Di dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika
berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di
dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada batubara yang dikelilingi oleh
rekahan itu disebut dengan matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan
CBM menempel pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian,
lapisan batubara pada target eksplorasi CBM selain berperan sebagai reservoir,
juga berperan sebagai source rock.

Gambar 1. Prinsip produksi CBM


(Sumber: sekitan no hon, hal. 109)
CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui rekahan, dengan merendahkan
tekanan air pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan
dalam matriks terhadap tekanan dinamakan kurva Langmuir Isotherm (proses
tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan tekanan). Untuk
memperoleh CBM, sumur produksi dibuat melalui pengeboran dari permukaan
tanah sampai ke lapisan batubara target. Karena di dalam tanah sendiri lapisan
batubara mengalami tekanan yang tinggi, maka efek penurunan tekanan akan
timbul bila air tanah di sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal
ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari lapisan batubara yang
memerangkapnya, dan selanjutnya akan mengalir ke permukaan tanah melalui
sumur produksi tadi. Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga akan keluar
pada proses produksi ini.
Potensi
CBM
Mengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan riset geosains organik dengan
menggunakan isotop stabil karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa
terdapat 2 jenis pola pembentukan.
Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika terjadi perubahan kimia
pada batubara akibat pengaruh panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini

disebut dengan proses thermogenesis. Sedangkan untuk CBM pada lapisan brown
coal (lignit) yang terdapat di kedalaman kurang dari 200m, gas metana terbentuk
oleh aktivitas mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini disebut
dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk secara thermogenesis maupun
biogenesis, gas yang terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.

Gambar 2. Pembentukan CBM


(Sumber: sekitan no hon, hal. 109)
Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara, yang makin bertambah
kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous, lalu berkurang
hingga antrasit. Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan
batubaranya semakin tebal.
Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI special publication) ada 11
cekungan batubara (coal basin) di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar
urutan cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito (101.6 Tcf), 3.
Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5 Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM
di Sumsel sama dengan total (conventional) gas reserves di seluruh Indonesia.
Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk diperhatikan:
Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone) dan reservoir CBM
(coal) pada kedalaman, tekanan, dan volume batuan yang sama, maka volume
CBM bisa mencapai 3 6 kali lebih banyak dari conventional gas. Dengan kata
lain, CBM menarik secara kuantitas.

Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption pada coal matrix, sehingga
dari segi eksplorasi faktor keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada
antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan bahwa ada batubara
ada CBM.
Produksi CBM & Teknologi Pengeboran
Pada metode produksi CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya
dapat dilakukan pada lapisan batubara dengan permeabilitas yang baik.
Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan arah pada pengeboran, arah lubang
bor dari permukaan dapat ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran
memanjang dalam suatu lapisan batubara dapat dilakukan. Seperti ditunjukkan
oleh gambar di bawah, produksi gas dapat ditingkatkan volumenya melalui satu
lubang bor dengan menggunakan teknik ini.

Gambar 3. Teknik produksi CBM


(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)
Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara ekonomis pada suatu lokasi
yang selama ini tidak dapat diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya
yang jelek. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan di Australia dan beberapa
negara lain, dimana produksi gas yang efisien dilakukan dengan sistem produksi
yang mengkombinasikan sumur vertikal dan horizontal, seperti terlihat pada
gambar di bawah.

Gambar 4. Produksi CBM dengan sumur kombinasi


(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)
Lebih jauh lagi, telah muncul pula ide berupa sistem produksi multilateral, yakni
sistem produksi yang mengoptimalkan teknik pengontrolan arah bor. Lateral yang
dimaksud disini adalah sumur (lubang bor) yang digali arah horizontal, sedangkan
multilateral adalah sumur horizontal yang terbagi-bagi menjadi banyak cabang.
Pada produksi yang lokasi permukaannya terkendala oleh keterbatasan instalasi
fasilitas akibat berada di pegunungan misalnya, maka biaya produksi
memungkinkan untuk ditekan bila menggunakan metode ini. Secara praktikal,
misalnya dengan melakukan integrasi fasilitas permukaan.
Catatan:
Teknik
pengontrolan
arah
bor
Teknik pengeboran yang menggunakan down hole motor (pada mekanisme ini,
hanya bit yang terpasang di ujung down hole motor saja yang berputar, melalui
kerja fluida bertekanan yang dikirim dari permukaan) dan bukan mesin bor rotary
(pada mekanisme ini, perputaran bit disebabkan oleh perputaran batang bor atau
rod) yang selama ini lazim digunakan, untuk melakukan pengeboran sumur
horizontal dll dari permukaan. Pada teknik ini, alat yang disebut MWD
(Measurement While Drilling) terpasang di bagian belakang down hole motor,

berfungsi untuk memonitor arah lubang bor dan melakukan koreksi arah sambil
terus mengebor.

Gambar 5. Pengontrolan arah bor


(Sumber: sekitan no hon, hal. 113)
ECBM
ECBM (Enhanced Coal Bed Methane Recovery) adalah teknik untuk
meningkatkan keterambilan CBM. Pada teknik ini, gas injeksi yang umum
digunakan adalah N dan CO2. Disini, hasil yang diperoleh sangat berbeda
tergantung dari gas injeksi mana yang digunakan. Gambar di bawah ini
menunjukkan produksi CBM dengan menggunakan gas injeksi N dan CO2.

Gambar 6. ECBM dengan N dan CO2


(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)
Bila N yang digunakan, hasilnya segera muncul sehingga volume produksi juga
meningkat. Akan tetapi, karena N dapat mencapai sumur produksi dengan cepat,
maka volume produksi secara keseluruhan justru menjadi berkurang.
Ketika N diinjeksikan ke dalam rekahan (cleat), maka kadar N di dalamnya akan
meningkat. Dan karena konsentrasi N di dalam matriks adalah rendah, maka N
akan mengalir masuk ke matriks tersebut. Sebagian N yang masuk ke dalam
matriks akan menempel pada pori-pori. Oleh karena jumlah adsorpsi N lebih
sedikit bila dibandingkan dengan gas metana, maka matriks akan berada dalam
kondisi jenuh (saturated) dengan sedikit N saja.

Gambar 7. Tingkat adsorpsi gas


(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)

Gambar 8. Substitusi gas injeksi pada matriks batubara


(Sumber: sekitan no hon, hal. 115)
Namun tidak demikian dengan CO2. Gas ini lebih mudah menempel bila
dibandingkan dengan gas metana, sehingga CO2 akan menghalau gas metana
yang menempel pada pori-pori. CO2 kemudian segera saja banyak menempel di
tempat tersebut. Dengan demikian, di dalam matriks akan banyak terdapat CO2
sehingga volume gas itu yang mengalir melalui cleat lebih sedikit bila
dibandingkan dengan N. Akibatnya, CO2 memerlukan waktu yang lebih lama
untuk mencapai sumur produksi. Selain itu, karena CO2 lebih banyak
mensubstitusi gas metana yang berada di dalam matriks, maka tingkat
keterambilan (recovery) CBM juga meningkat.

*Tulisan ini adalah terjemah bebas buku Sekitan no hon sub bab 45, 47, dan 48
(editor Kazuo Fujita, penerbit Nikkan Kgy Shinbunsha, April 2009), ditambah
sumber lain, terutama tulisan Yudi Purnama di milist iagi-net-I tertanggal 24 April
2007.

Anda mungkin juga menyukai