Isi Gizi
Isi Gizi
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Masalah gizi adalah gangguan pada beberapa segi kesejahteraan perorangan
atau masyarakat yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi
yang diperoleh dari makanan. Sedang yang dimaksudkan dengan zat gizi adalah
zat kimia yang terdapat dalam makanan yang diperlukan manusia untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan. Sampai saat ini dikenal berbagai
macam zat gizi yang digolongkan menjadi dua yaitu zat gizi makro (zat gizi
sumber energi seperti karbohidrat, lemak dan protein) serta zat gzizi mikro seperti
vitamin dan mineral (Soekirman 2000)
Kekurangan vitamin A masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh
dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama
umur pada masa pertumbuhan (balita). Kekurangan vitamin A dapat menurunkan
sistem kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Kekurangan
vitamin A dapat terjadi karena beberapa sebab antara lain konsumsi makanan yang
tidak cukup vitamin A dan provitamin A untuk jangka waktu yang lama, bayi yang
tidak diberikan ASI eksklusif, menu yang tidak seimbang (kurang lemak, protein,
zink atau zat gizi lainnya) yang diperlukan untuk penyerapan vitamin A dan
penggunaan vitamin A dalam tubuh, adanya gangguan penyerapan vitamin A dan
provitamin A seperti pada penyakit-penyakit antara lain diare kronik, KEP dan
lain-lain sehingga kebutuhan vitamin A meningkat, adanya kerusakan hati yang
menyebabkan gangguan pembentukan retinol binding protein (RBP) dan prealbumin
yang
penting
untuk
penyerapan
vitamin.
KVA sering timbul pada balita dan anak-anak. Di Indonesia, kecukupan gizi anak
usia hingga tiga tahun seharusnya 350-400 RE per hari. Namun, dalam beberapa
survei dikatakan bahwa 50% anak berusia 1-2 tahun tidak mengkonsumsi vitamin
A dalam jumlah yang memadai karena faktor kemiskinan dan malnutrisi. Selama
krisis ekonomi melanda Indonesia sejak tahun 1997, daya beli masyarakat
menurun sehingga terjadi kecenderungan meningkatnya KVA pada ibu hamil dan
balita.
Masalah gizi di Indonesia masih banyak ditemukan, baik masalah akibat
kekurangan zat gizi maupun akibat kelebihan zat gizi. Masalah gizi akibat
kekurangan zat gizi diantaranya adalah anemia. Anemia adalah suatu keadaan
dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang dari nilai normal (Wahyuni 2004).
Anemia di Indonesia biasanya disebabkan karena kekurangan zat besi sehingga
sering disebut anemia zat besi (Gunatmaningsih 2007).
Anemia dapat menyerang segala kalangan, mulai dari balita, anak-anak,
remaja, dewasa, lansia, ibu hamil sampai ibu menyusui. Laporan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2007, berdasarkan acuan SK Menkes
No.736a tahun 1989, di Indonesia prevalensi anemia mencapai 14,8%. Dari 33
provinsi, 20 provinsi memiliki angka prevalensi anemia lebih besar. Prevalensi
anemia di perkotaan menurut Riskesdas paling tinggi terjadi pada kelompok
wanita yaitu 19,7%, diikuti kelompok laki-laki dewasa 12,1%. Pada anak-anak
prevalensinya mencapai 9,8%. WHO Guidelines menyebutkan bila prevalensi
anemia dalam suatu populasi lebih dari 15%, hal itu sudah merupakan masalah
kesehatan nasional.
Jenis anemia pada hasil Riskesdas tersebut sebagian besar adalah anemia
mikrositik hipokromik (60,2%). Anemia mikrositik-hipokromik umumnya karena
kekurangan zat besi, selain itu karena penyakit kronis tingkat lanjut, atau
keracunan timbal. Anemia akibat kekurangan zat besi kemudian dikenal dengan
nama anemia gizi besi.
Secara umum tingginya prevalensi anemia gizi besi antara lain disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu kehilangan darah secara kronis, asupan zat besi tidak
cukup, penyerapan yang tidak adekuat dan peningkatan kebutuhan akan zat besi
BAB II
3
PEMBAHASAN
2.1 Penyakit Kekurangan Vitamin A (KVA)
2.1.1 Pengertian Vitamin A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat
diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat
dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya tahan tubuh untuk
melawan penyakit misalnya campak, diare dan penyakit infeksi lain). Vitamin A
atau berdasarkan struktur kimianya dibagi menjadi 2 bentuk yaitu :
a. Retinol
Retinol dapat dimanfaatkan langsung oleh tubuh karena umumnya sumber
retinol diperoleh dari makanan hewani seperti,telur, hati, atau minyak ikan yang
mudah dicerna dalam tubuh.
b. Betacarotene
Sering disebut pro-vitamin A baru dapat dirasakan setelah mengalami
proses pengolahan menjadi retinol. Sumber betacarotene berasal dari makanan
nabati yang berwarna orange atau hijau tua, seperti wortel, bayam, ubi, mangga,
dan papaya.
Retinol atau Retinal atau juga Asam Retinoat, dikenal sebagai faktor
pencegahan xeropthalmia, berfungsi untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur
kepekaan rangsang sinar pada saraf mata, Jumlah yang dianjurkan berdasarkan
Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (KGA-2004) per hari 400 ug retinol
untuk anak-anak dan dewasa 500 ug retinol.Tubuh menyimpan retinol dan
betacarotene dalam hati dan mengambilnya jika tubuh memerlukannya.
2.1.2
Fungsi Vitamin A
Vitamin A memegang peranan penting untuk pemeliharaan sel kornea dan
putih mata (sklera) dan kornea bisa mengeras dan membentuk jaringan
pengangkutan vitamin A.
Kulit dan lapisan paru-paru, usus dan saluran kemih bisa mengeras.
Kekurangan vitamin A juga menyebabkan peradangan kulit (dermatitis)
kuku.
Gangguan pertumbuhan pada anak-anak.
Sakit kepala hebat, peningkatan tekanan dalam otak dan kelemahan umum
terjadi kemudian.
Pertumbuhan tulang dan nyeri sendi sering terjadi, terutama pada anak-
anak.
Hati dan limfa dapat membesar.
Bayi yang lahir dari ibu yang mengkonsumsi isotretinoin (vitamin A
buatan yang digunakan untuk mengobati kelainan kulit) selama kehamilan
bisa memiliki cacat lahir.
Scars).
Terhentinya proses pertumbuhan.
Terganggunya pertumbuhan pada bayi.
Mengakibatkan campak yang berat yang berkaitan dengan adanya
komplikasi pada anak-anak serta menghambat penyembuhan. (Melenotte
et al,2012)
Namun demikian perlu juga diperhatikan bahwa pemberian dosis Vitamin
A yang terlalu tinggi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan akibat yang
kurang baik antara lain :
a.
cengeng, pada sekitar tulang yang panjang membengkak, kulit kering dan gatalgatal.
b. Hipervitaminosis pada orang dewasa menimbulkan sakit kepala, mualmual dan diare. (Sugiarno. 2010)
KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari organorgan seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain. Akan tetapi
gambaran gangguan secara fisik dapat langsung terlihat oleh mata. Kelainan kulit
pada umumnya terlihat pada tungkai baeah bagian depan dan lengan atas bagian
belakang, kulit nampak kering dan bersisik. Kelainan ini selain diebabkan oleh
KVA dapat juga disebabkan kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin
golongan B atau KEP.
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang
telah berlangsung lama. gejala tersebut akan lebih cepat muncul jika menderita
penyaki campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi lainnya.Gejala klinis KVA pada
mata menurut klasifikasi WHO sebagai berikut :
1. Buta senja = XN. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang
retina. Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang
yang remang-remang setelah lama berada di cahaya yang terang.
Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tidak dapat melihat
lingkungan yang kurang cahaya.
2. Xerosis konjunctiva = XI A. Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat
atau terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan
permukaan kasar dan kusam.
3. Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah tandatanda XI A ditambah dengan bercak bitot, yaitu bercak putih seperti busa
sabun atau keju terutama celah mata sisi luar. Bercak ini merupakan
penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda khas pada
penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan prevalensi
kurang vitamin A pada masyarakat. Dalam keadaan berat tanda-tanda pada
XI B adalah, tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjunctiva,
konjunctiva tampak menebal, berlipat dan berkerut.
4. Xerosis kornea = X2. Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai
kornea, kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.
5. Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak seperti
bubur dan dapat terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi
kornea.Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi
dan prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat
menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat
mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahaptahap awal xeroftalmia.
6. Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea. Kornea tampak menjadi
putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh
akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut. Penderita
menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan
operasi cangkok kornea.
7. Xeroftalmia Fundus (XF). Tampak seperti cendolXN, XI A, XI B, X2
biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik.
Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera
diobati karena dalam beberapa hari bisa menjadi keratomalasia. X3A dan
X3 B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang
bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi pada kornea cukup luas
10
11
terkena ISPA. Ibu hamil dan menyusui seperti halnya juga anak-anak, berisiko
mengalami KVA karena pada masa tersebut ibu membutuhkan vitamin A yang
tinggi untuk pertumbuhan janin dan produksi ASI.
Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui
proses Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman.
Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata.
Selain itu kegiatan konsumsi kapsul vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab
itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin
A dosis tinggi.
a. Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis
100.000 SI (warna biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak
pada bulan Februari dan Agustus.
b. Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis
200.000 SI (warna merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara
serentak pada bulan Februari dan Agustus.
c. Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul
vitamin A dosis 200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi
memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI (Depkes RI, 2009).
d. Wanita hamil : suplemen vitamin A tidak direkomendasikan selama
kehamilan sebagai bagian dari antenatal care rutin untuk mencegah
maternal and infant morbidity dan mortality. Namun, pada daerah dimana
terdapat masalah kesehatan publik yang berat yang berkaitan dengan
kekurangan vitamin A, maka suplementasi vitamin A direkomendasikan
untuk mencegah rabun senja. Secara khusus, wanita hamil dapat
mengkonsumsi hingga 10,000 IU vitamin A setiap harinya atau vitamin A
hingga 25,000 IU setiap minggu. Suplementasi dapat dilanjutkan hingga
12 minggu selama kehamilan hingga melahirkan. Hal ini perlu
ditekankan bahwa WHO mengidentifikasi populasi berisiko sebagai
mereka yang prevalensi menderita rabun senja 5% pada wanita hamil
atau 5% pada anak anak yang berusia 2459 bulan.( McGuire, 2012)
12
e. Ibu
nifas:
suplementasi
vitamin
pada
ibu
nifas
tidaklah
Bahan Makanan
Satuan
Bahan Makanan
Internasional
Internasional
(SI)/100gram
(SI)/100gram
Satuan
117 Ayam
13
810
43900
1150
1230
Wortel
Bayam
12000
6000 Apokat
10000 Belimbing
Daun singkong
11000
Kangkung
20
Buah :
Daun melinjo
Genjer
150
Mangga masak
pohon
3800 Apel
63000 Jambu biji
180
170
6350
90
25
makanan
nabati
atau
hewani
yang
dikonsumsi.
Sebagai gambaran, angka 350 RE terdapat pada tiga butir telur atau 250 gram
bayam. Jadi seorang anak balita memenuhi kecukupan gizi vitamin A jika ia
mengonsumsi tiga telur atau 250 gram bayam dalam sehari. Tapi, tentu saja,
seorang anak akan bosan jika terus menerus diberi telur dan bayam, apalagi dalam
jumlah besar. Terdapat banyak sayuran dan buah yang mengandung vitamin A.
Sayuran dan buah yang mengandung AKG dalam jumlah besar, lebih dari 150
RE/100 gr, adalah pepaya, bayam, kangkung, wortel, ubi jalar, mangga, dan
sebagainya. Sementara sumber makanan nabati dengan kandungan vitamin A
lebih rendah, sekitar 1-60 RE/100 gr, terdapat pada jagung, semangka, tomat,
pisang, belimbing, dan sejenisnya. Untuk sumber makanan hewani, kandungan
vitamin A dalam jumlah besar terdapat pada telur, daging ayam dan hati.
Sedangkan ikan, susu segar, dan udang memiliki kandungan vitamin A tergolong
kecil. Untuk lebih mudah mengingat jenis makanan apa saja yang mengandung
vitamin A. Jenis lainnya adalah makanan yang sudah difortifikasi atau ditambah
zat gizinya seperti jenis mie instan, biskuit, mentega dan susu instan.
B. Intervensi KVA berbasis bukan makanan
Mencegah dan menanggulangi KVA dengan basis bukan makanan atau
non food based intervention dilakukan dengan program suplementasi yaitu
pemberian tambahan (suplemen) vitamin A kepada anak atau ibu dalam bentuk pil
atau kapsul. Program ini merupakan program utama dan berhasil menanggulangi
KVA di Indonesia dan banyak negara lain. Untuk mencegah terjadinya
kekurangan vitamin A di Posyandu atau Puskesmas pada setiap bulan Februari
dan Agustus seluruh bayi usia 6-11 bulan, harus mendapat 1 kapsul vitamin A biru
dan seluruh anak balita usia 12-59 bulan mendapat kapsul vitamin A warna merah.
15
Sedangkan untuk ibu nifas sampai 30 hari setelah melahirkan mendapat 1 kapsul
vitamin A warna merah.
Untuk mengobati anak dengan gejala buta senja (XN) hingga xerosis
kornea (X2), dimana penglihatan masih dapat disembuhkan, diberikan kapsul
vitamin A pada hari pertama pengobatan sebanyak (50.000 SI) kapsul biru
untuk bayi berusia kurang atau sama dengan 5 bulan, 1 kapsul biru (100.000 SI)
untuk bayi berusia 6 sampai 11 bulan atau 1 kapsul merah (200.000 SI) untuk
anak 12-59 bulan. Pada hari kedua diberikan 1 kapsul vitamin A sesuai umur dan
dua minggu kemudian diberi lagi 1 kapsul vitamin A juga sesuai umur.
Departemen Kesehatan juga terus melakukan program penanggulangan
kekurangan vitamin A sejak tahun 1970-an. Menurut catatan Depkes, tahun 1992
bahaya kebutaan akibat kekurangan vitamin A mampu diturunkan secara
signifikan. Namun sebanyak 50,2 persen balita masih menderita kekurangan
vitamin A sub-klinis yang juga sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup
anak. Guna menanggulangi hal ini, Depkes melaksanakan program pemberian
kapsul vitamin A bagi anak usia 6-59 bulan di Indonesia. Vitamin A dosis tinggi
diberikan pada balita dan ibu nifas. Pada balita diberikan dua kali setahun, setiap
bulan Februari dan Agustus dengan dosis 100.000 IU untuk anak 6-12 bulan dan
200.000 IU untuk anak 12-59 bulan dan ibu nifas.
Contoh Diet untuk Penderita Kurang Vitamin A (KVA)
a. Makan pagi :
Nasi
Tumis tempe + wortel
Ikan kembung goreng
Selingan I : Mangga
b. Makan siang :
Nasi
Sayur bening wortel + bayam
Semur ayam
Selingan II : Ubi rebus dan Jus apel
c. Makan Malam :
16
Nasi
Tumis kangkung
Hati sapi goreng
Hb laki-laki dewasa
: >13 g/dl
Hb perempuan dewasa
: >12 g/dl
Hb anak-anak
: >11 g/dl
Hb ibu hamil
: >11 g/dl
kebutuhan
dan
berkurangnya
penyerapan.
Masing-masing
17
Proses kelahiran
b. Faktor berkurangnya intake zat besi
Status sosial ekonomi yang rendah
Vegetarian
Diet tidak seimbang
Alkoholism
Usia lanjut
Etnik dengan resiko tinggi (indo-canada)
c. Faktor Bertambahnya Kehilangan zat besi
Wanita yang sedang menstruasi
Pendarahan pada gastrointestinal
Donor darah secara teratur
Pasien yang kehilangan darah secara signifikan
Hematuria
Parasit intestinal (berasal dari daerah endemik)
Hemoglobinuria
Olahraga fisik ekstrim
Patologi (anemia hemolitik)
d. Faktor berkurangnya penyerapan zat besi
Diet (tannin, fitat dalam serat, kalsium dalam susu, teh, kopi,
minuman berkarbonasi)
Patologi saluran pencernaan atas : gastritis kronis, Gastric
Lymphoma, Celiac Disease, Crohns disease, dll.
Pengobatan yang mengurangi keasaman lambung atau yang
mengikat zat besi
Gastrektomi
Patologi duodenal
Pasien gagal ginjal kronis
Ada 2 penggolongan Anemia yaitu:
1. Berdasarkan Morfologinya:
a. Anemia Mikrositik Hipokrom
Anemia Defisiensi Zat besi: Adalah Anemia defisiensi besi adalah anemia
yang disebabkan oleh kurangnya persediaan besi untk eritropoiesis, karena
18
adalah
anemia
yang
disebabkan
oleh
20
konstipasi, diare, dan feses menjadi gelap. Strategi untuk meminimalisasi efek
tersebut adalah pemberian dosis dimulai dari yang terendah dan ditingkatkan
secara bertahap sampai 4-5 hari. Suplemen besi juga bisa dikonsumsi bersama
makanan (Guidelines & Protocols Advisory Committee of British Columbia
2010).
Obat dan suplemen bisa mengurangi absorpsi besi dalam tubuh. Absorpsi besi
dapat ditingkatkan dengan memberikan suplemen besi pada saat lambung kosong
(sekitar 1,5-2 jam setelah makan) disertai dengan jus atau vitamin C, tanpa
multivitamin, kalsium dan tablet antasid (Guidelines & Protocols Advisory
Committee of British Columbia 2010).
Kebutuhan zat besi berbeda pada berbagai kelompok umur. Kebutuhan zat
besi orang Indonesia menurut angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 dapat dilihat
dalam tabel berikut ini.
Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi besi tahun 2004 bagi orang Indonesia
Kelompok Umur
Anak
Laki-laki
Wanita
0-6 bl
7-12 bl
1-3 th
4-6 th
7-9 th
10-12 th
13-15 th
16-18 th
19+ th
10-12 th
13-49 th
50+ th
21
Menyusui
+6
Selain dengan suplemen besi, penanganan anemia gizi besi dalam jangka
panjang dapat dilakukan dengan diet kaya besi. Diet ini dapat dilakukan dengan
mengkonsumsi makanan sumber zat besi. Cara ini cenderung tidak menimbulkan
efek samping dibandingkan dengan suplementasi besi.
Zat besi dalam makanan dikelompokkan menjadi besi heme dan besi
non-heme. Besi heme terdapat pada makanan yang berasal dari hewan, seperti
daging merah, ikan, dan unggas, sedangkan besi non-heme terdapat pada makanan
yang berasal dari tumbuhan, yaitu. buah dan sayuran. Besi heme diabsorpsi lebih
tinggi (15-35%) dibandingkan dengan non-heme (2-5%). Hal tersebut karena
dalam tumbuhan terdapat beberpa faktor yang dapat menghambat penyerapan
besi, diantaranya dapat mengurangi keasaman lambung, infeksi Helicobacter
pylory, tannin pada teh, polifenol (kopi, teh herbal, dan coklat), pitat (kacangkacangan, gandum, beras) dan kalsium serta fopsfat (tablet antacid). Oleh karena
itu sebaiknya konsumsi makanan dengan besi non heme disertai dengan makanan
yang dapat meningkatkan absorpsi non heme seperti jus jeruk, dan sumber
vitamin C lainnya. Selain itu dapat dilakukan juga dengan cara fortifikasi EDTA
dalam makanan (Guidelines & Protocols Advisory Committee of British
Columbia 2010). Makanan sumber besi heme dan non-heme dapat dilihat dalam
tabel dibawah ini.
22
*hati sebaiknya tidak dikonsumsi oleh wanita hamil karena tingginya vitamin A
yang dapat berbahaya bagi janin
Tabel 3 Sumber besi non-heme
Jenis makanan
Serving size
Biji Labu, dipanggang
60 ml (1/4 gelas)
Tahu, keras atau setengah 150 g (3/4 gelas)
keras
Sereal bayi kering
28 g (10 sdt)
Tempe
50 g (1 potong)
Kacang merah, direbus
175 ml (3/4 gelas)
Sawi
100 g (1 ikat)
Bayam
50 g (I ikat)
Daun katuk
25 g (1 ikat)
Makan Siang :
Makan malam :
23
Sebelum tidur :
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia pasti memerlukan
vitamin A dan mau tidak mau mereka harus mau juga mengkonsumsi
makanan yang mengandung sumber vitamin A agar kesehatan tubuhnya
selalu terjaga, dan sebaliknya bila seseorang tersebut tida mau
mengkonsumsinya pasti ia akan mengalami penyakit tertentu, antara lain:
kerbunan pada mata, mudah terinfeksi virus dll.
Dan Kekurangan zat besi merupakan salah satu masalah gizi utama
dan jika terjadi pada anak-anak akan menjadi persoalan serius bangsa.
Kekurangan zat besi mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap tingkat
kemampuan dan prestasi belajar, bila tidak segera diatasi akan terjadi
kehilangan sumber daya manusia baru yang berkualitas.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2002. Gizi dalam daur kehiduan.Bagian Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Palembang. Proyek peningkatan Penelitian
Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.
Haryadi, Hendri. 2011 . Makalah Kekurangan Vitamin A Ilmu Gizi.
Diakses dari http://handri-haryadi.blogspot.com
Sugiamo. 2010. Defesiensi Vitamin A
http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2012/06/11/all-about-kvakurang-vitamin-a-468998.html
Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. Bagian Ilmu Gizi Fakultas
Kedokteran Universitas Palembang. Proyek Peningkatan Penelitian
Pendidikan Tinggi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depdiknas.
Halati. 2006. Vitamin A. www.ilmusehat.com. [14 September 2008].
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan
Masyarakat. Jakarta: Direkrorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
Almatsier. 2006. Prinsip Ilmu Gizi. Jakarta : Erlangga
25
Arumsari E. 2008. Faktor resiko anemia pada remaja putri peserta program
pencegahan dan penanngulangan anemia gizi besi (PPAGB) di kota Bekasi
[skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Wirakusumah ES. 1998. Perencanaan Menu Anemia Gizi Besi. Jakarta ;
Trubus Agriwidya
https://www.tanyadok.com/artikel-kesehatan/menu-sehat-cegah-anemia
diakses tanggal 09 Mei 2016
26