Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
201401230311168
2.
201410230311169
3.
201410230311172
Kelas
: Psikologi C 2014
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
BAB I
PERNDAHULUAN
A. Latar Belakang
Modernitas muhammadiyah lahir sebagai respon atas sejarah, bukan spontanitas.
Ketika rakyat tenggelam dalam kemiskinan dan kebodohan semasa rezim kolonial,
muhammadiyah lahir dengan banyak respon; pendidikan modern dan mengembangkan
spirit PKO ( Pertolongan Kesengsaraan Oemoem) ketika masyarakat telena dalam
tradisional dan pencampuran ajaran agama, muhammadiyah memberikan wacana dan
spirit baru, tajdid dan purifikasi.
Muhammadiyah sebagai gerakan islam merumuskan gerakan pembaharuannya
dalam bentuk purifikasi dan dinamisasi. Purifikasi didasarkan pada sumsi bahwa
kemunduran umat islam terjadi karena umat islam tidak mengembangkan aqidah islam
yang benar, sehingga harus dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan teori
Segala sesuatu dalam ibadaH adalah dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Quran
dan Hadist sedangkan dinamisasi dilakukan dalam bidang muamalah, dengan
melakukan gerakan modernisasi sesuai dengan teori Segala sesuatu boleh dikerjakan
selama tak ada larangan dala Al-quran dan Hadist.
Muhammadiyah dalam gerakan pembaharuannya di lakukan bersamaan antara
gerakan purifikasi dengan gerakan muamalah. Purifikasi dalam bidang aqidah yang
dilakukan oleh muhammadiyah adalah aqidah yang memiliki keterkaitan dengan aspek
sosial kemasyarakatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tajdid dan tajrid?
2. Bagaimana model tajrid dan tajdid Muhammadiyah?
3. Bagaimana model gerakan keagamaan Muhammadiyah?
4. Apa makna gerkakan keagamaan Muhammadiyah?
5. Apa gerakan tajdid pada 100 tahun kedua?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertuan tajdid dan tajrid.
2. Untuk mengetahui model tajrid dan tajdid Muhammadiyah.
3. Untuk mengetahui model gerakan keagamaan Muhammadiyah.
4. Untuk mengetahui makna gerakan keagamaan Muhammadiyah.
5. Untuk mengetahui gerakan tajdid pada 100 tahun kedua.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Tajdid dan Tajrih
a. Tajdid
Istilah tajdid berasal dari bahasa Arab yaitu jaddada, yang berarti
memperbaharui atau menjadikan baru. Dalam kamus Bahasa Indonesia tajdid berarti
pembaruan, modernisasi atau restorasi.
Secara bahasa (etimologi) tajdid memiliki makna pembaharuan dan pelakunya
disebut mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminologi),
tajdid berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk
pemikiran ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal
maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat (Ibnu Salim dkk,
1998).
Dalam pengertian lain, tajdid adalah upaya untuk memperbaharui interpretasiinterpretasi atau pendapat-pendapat ulama terdahulu terhadap ajaran-ajaran dasar
Islam, atas dasar bahwa ajaran tersebut sedah tidak relevan dengan tuntutan dan
perkembangan zaman. Oleh karena itu, tajdid adalah usaha yang kontinyu dan
dinamis, sebab selalu berhadapan dan berinteraksi dengan historisitas kehidupan
manusia.
Dalam konteks Muhammadiyah, tajdid bertujuan untuk menghidupkan
kembali ajaran al-Qur'an dan Sunnah serta memerintahkan kaum muslimin untuk
kembali kepadanya. Adapun yang masih merupakan rumpun tajdid dalam perspektif
Muhammadiyah adalah seperti diurakan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah sebagai
berikut: Pertama, K.H. Azhar basyir menyebutkan bahwa Muhammadiyah bertujuan
memurnikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah dari praktek-praktek takhayul, bidah dan
khurafat yang dianggap syirik.
Dengan kata lain, Muhammadiyah berkepentingan mengusung Islam murni
(Azhar Basyir, 1993). Kedua Syafii Maarif menyebutkan bahwa Muhammadiyah
mentahbihkan dirinya sebagai gerakan non-mazhab, dinamisasi di tengah-tengah arus
utama umat Islam yang terkungkung dalam belenggu mazhab (Syafii Maarif, 1997).
Dan Ketiga, K. H. Suja inti dari pendirian Muhammadiyah sebagai jawaban terhadap
surat al-Maun yang dikaitkan dengan pembebasan kaum tertindas. (Q.S. Al-Anfal: 24,
dalam Sukrianto AR 1990).
Secara garis besar, perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat
dibedakan menjadi tiga pase, yakni fase aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase
rekonstruksi. Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk
K.H. Ahmad Dahlan, belum memikirkan landasan konseosional dan teoritis tentang
apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis
dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan
Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang
dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh
Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya kristen,
yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri ini. Adapun rumusan tajdid yang
resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdd
memiliki dua arti, yakni:
b. Tajrih
Tarjih berasal dari kata rojjaha yurajjihu- tarjihan, yang berarti mengambil
sesuatu yang lebih kuat. Menurut istilah ahli ushul fiqh adalah, usaha yang dilakukan
oleh mujtahid untuk mengemukakan satu antara dua jalan (dua dalil) yang saling
bertentangan , karena mempunyai kelebihan yang lebih kuat dari yang lainnya
Tarjih dalam istilah persyarikatan, sebagaimana terdapat uraian singkat
mengenai
Matan
Keyakinan
dan
Cita-cita
hidup
Muhamadiyah
adalah
segi
ini
lebih
banyak
berhubungan
dengan
cara
merintis
bidang
sosial
kemasyarakatan
dengan
mendirikan rumah sakit, piklinik, panti auhan, rumah singgah, panti jompo, Pusat
kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), posyandu lansia yang dikelola melalui
amal usahanya dan bukan secara individual sebagai mana dilakukan orang pada
umumnya. Usaha pembaharuan dalam bidang sosial kemasyarakatan ditandai
dengan didirikannya Pertolongan Kesengsaraan Oemoen (PKO) di tahun 1923.
Perhatian terhadap kesengsaraan orang lain merupakan kewajiban orang muslim,
sebagai perwujudan tuntunan agama yang jelas untuk ber amal maruf dan juga
sebagai bentuk pengamalan firman Allah dalam surat Al-ma;un 107: 1-7 yang
artinya:
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, itulah orang yang
menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makanan orang miskin.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang yang lalai dari
sholatnya, orang-orang berbuat riya dan enggan(menolong dengan) barang
berguna..
b. Model Tarjih Muhammadiyah
1) Al-Tarjih Baina al-Nusush
Al-tarjih baina al-nusush, atau menguatkan salah satu nash (ayat atau
hadits) yang saling bertentangan. Untuk mengetahui kuatnya salah satu nash yang
saling bertentangan, ada beberapa cara yang dikemukakan para ulama usul fiqh,
yaitu:
a. Dari Segi Sanad ( Para Perawi Hadith)
Imam al-Syawkany ( 1172-1250 H/ 1759-1828 M) berpendapat bahwa
pentarjihan dapat dilakukan dengan 42 cara, yang di antaranya dikelompokkan
kepada:
a) Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya.
Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi hadith.
Jumhur ulama hadith yang sanadnya lebih banyak ditarjihkan dari hadith
yang sanadnya lebih sedikit. Karena kemungkinan terjadinya kesalahan
dalam suatu hadith yang diriwayatkan oleh banyak perawi sangat kecil.
b) Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri.
Yaitu hadith Mutawatir dikuatkan dari hadith Masyhur atau
menguatkan hadith Masyhur daripada hadith Ahad. Bisa juga dilakukan
dengan cara melihat persambungan sanadnya, yaitu mentarjih hadith yang
sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW dari hadith yang
sanadnya terputus.
c) Pentarjihan melalui cara menerima hadith dari Rasulullah SAW.
Yaitu menguatkan hadith yang langsung didengar dari Nabi SAW
dari pada hadith yang didengar melalui perantaraan orang lain atau tulisan.
Dirajihkan juga riwayat yang memakai lafal langsung dari Nabi SAW
yang menunjukkan kata kerja, seperti kata naha (melarang), amara
(memerintahkan), dan adzina (mengizinkan), daripada riwayat yang
lainnya
b. Dari Segi Matan
Yang dimaksud dengan matan di sini adalah teks ayat, hadith, atau
ijma`. Imam al-Amidi ahli ushul fiqh mazhab Syafi`i (551-631 H/ 1156-1233
M), mengemukakan 51 cara dalam pentarjihan dari segi matan, di antaranya
adalah:
a) Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang
mengandung perintah, karena menolak kemudharatan lebih utama
daripada mengambil manfaat.
b) Teks yang mangandung perintah didahulukan daripada teks yang
mengandung kebolehan karena melaksanakan perintah berarti sekaligus
kebolehan sudah tercakup di dalamnya.
c) Makna hakikat suatu lafaz lebih didahulukan darpada makna majaz.
d) Dalil Khusus lebih didahulukan dari dalil umum.
e) Teks umum yang belum ditakhsis lebih didahulukan daripada teks umum
yang telah ditakhsis.
c. Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum
Cara pentarjihan melalui metode ini, Imam al-Amidi mengemukakan
ada
11
cara,
sedangkan
Muhammad
ibn
Ali
al-Syawkani
artinya, penguatan jamaah sudah menjadi platform dari berdiri dan pengembangan
gerakan Muhamaadiyah.
b. Langkah Penguatan Jamaah
Langkah pemberdayaan melalui penguatan institusi cabang dan ranting akan
memberi kontribusi bagi penguatan kohesi sosial /solidaritas antar warga di tengah
meluasnya paham-paham radikal yang cenderung anarkis belakangan ini. Ledakan
bom di Pesantren Umar Bin Khattab Bima NTB, dapat menjadi bukti betapa
rapuhnya kohesi sosial warga. Komunitas kecil jauh di Bima saja, terdapat tindakan
kekerasan terhadap ummat Islam. oleh karena itu, memperkuat kembali identitas lokal
melalui gerakan jamaah, dipandang perlu dalam kerangka penguatan potensi dan
basis gerakan untuk hal-hal yang produktif.
Langkah yang dapat dilakukan untuk menggiatkan cabang dan ranting
Muhammadiyah melalui gerakan jamaah dan dakwah jamaah antara lain:
1. Melakukan assesment awal mengenai kehidupan keagamaan di desa atau
komunitas atau ranting
2. Memantapkan konsep dakwah jamaah yang akan dipergunakan agar sesuai
dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat basis
3. Melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi para fasilitator yang akan menggerakkan
cabang dan ranting
4. Melakukan pendampingan dakwah jamaah
5. Memantapkan organisasi gerakan di akar rumput (pimpinan ranting) sebagai
ujung tombak gerakan dakwah jamaah
Untuk mensinergiskan langkah-langkah diatas, diperlukan adanya keterlibatan
berbagai lembaga amal Muhammadiyah, seperti: sekolah, rumah sakit ataupun masjid
dari seluruh daerah di Indonesia. Pelibatan lembaga amal itu dalam mempercepat
proses pengembangan cabang dan ranting sebagai sentral untuk mengembangkan
Muhammadiyah sebagai organisasi yang bercorak community based. Agar nantinya
tidak hanya memperkuat infrastruktur Muhammadiyah, tetapi juga memperkuat
infrastruktur
masyarakat,
sehingga
terbentuk
masyarakat
khairah
ummah
yang
unggul.
Sebagaimana
pokok
pikiran
keenam Anggaran
Dasar
Melalui gerakan pencerahan yang membawa misi dakwah dan tajdid yang membebaskan,
memberdayakan, dan memajukan kehidupan di tengah dinamika abad modern yang sarat
tantangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrohman, Asjmuni. (2002). Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Metodologi dan Aplikasi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Badan
pendidikan
Kader
PP.
Muhammadiyah.
(1994).
Materi
Induk
Perkaderan