Anda di halaman 1dari 12

FIMOSIS

Definisi
Fimosis adalah suatu kelainan dimana prepusium penis yang tidak dapat di retraksi
(ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis. Fimosis dialami oleh sebagian besar bayi
baru lahir karena terdapat adhesi alamiah antara prepusium dengan glans penis.1,4
Etiologi
Fimosis dapat timbul kemudian setelah lahir. Hal ini berkaitan dengan tingkat
higienitas alat kelamin yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit preputium
(balanoposthitis kronik)3, atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) 8.
Pada fimosis kongenital umumya terjadi akibat terbentuknya jaringan parut di prepusium
yang biasanya muncul karena sebelumnya terdapat balanopostitis. Apapun penyebabnya,
sebagian besar fimosis disertai tanda-tanda peradangan penis distal.3
Sedangkan fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir biasanya terjadi karena ruang di
antara kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini menyebabkan prepusium
menjadi melekat pada glans penis, sehingga sulit ditarik ke arah proximal. Apabila stenosis
atau retraksi tersebut ditarik dengan paksa melewati glans penis, sirkulasi glans dapat
terganggu hingga menyebabkan kongesti, pembengkakan, dan nyeri distal penis atau biasa
disebut parafimosis3.

Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi, fimosis banyak terjadi pada bayi atau anak-anak
hingga mencapai usia 3 atau 4 tahun. Sedangkan sekitar 1-5% kasus terjadi sampai pada usia
16 tahun.8
Patogenesis
Normalnya hingga usia 3-4 tahun penis tumbuh dan berkembang, dan debris yang
dihasilkan oleh epitel prepusium (smegma) mengumpul didalam prepusium dan perlahanlahan memisahkan prepusium dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi secara berkala
membuat prepusium menjadi retraktil dan dapat ditarik ke proksimal. Pada saat usia 3 tahun,
90% prepusium sudah dapat di retraksi.1

Pada kasus fimosis lubang yang terdapat di prepusium sempit sehingga tidak bisa
ditarik mundur dan glans penis sama sekali tidak bisa dilihat. Kadang hanya tersisa lubang
yang sangat kecil di ujung prepusium. Pada kondisi ini, akan terjadi fenomena balloning
dimana prepusium mengembang saat berkemih karena desakan pancaran urine yang tidak
diimbangi besarnya lubang di ujung prepusium. Bila fimosis menghambat kelancaran
berkemih, seperti pada balloning maka sisa-sisa urin mudah terjebak di dalam prepusium.
Adanya kandungan glukosa pada urine menjadi pusat bagi pertumbuhan bakteri. Karena itu,
komplikasi yang paling sering dialami akibat fimosis adalah infeksi saluran kemih (ISK). ISK
paling sering menjadi indikasi sirkumsisi pada kasus fimosis7.
Fimosis juga terjadi jika tingkat higienitas rendah pada waktu BAK yang akan
mengakibatkan terjadinya penumpukan kotoran-kotoran pada glans penis sehingga
memungkinkan terjadinya infeksi pada daerah glans penis dan prepusium (balanitis) yang
meninggalkan jaringan parut sehingga prepusium tidak dapat ditarik kebelakang 7.
Pada lapisan dalam prepusium terdapat kelenjar sebacea yang memproduksi smegma.
Cairan ini berguna untuk melumasi permukaan prepusium. Letak kelenjar ini di dekat
pertemuan prepusium dan glans penis yang membentuk semacam lembah di bawah korona
glans penis (bagian kepala penis yang berdiameter paling lebar). Di tempat ini terkumpul
keringat, debris/kotoran, sel mati dan bakteri. Bila tidak terjadi fimosis, kotoran ini mudah
dibersihkan. Namun pada kondisi fimosis, pembersihan tersebut sulit dilakukan karena
prepusium tidak bisa ditarik penuh ke belakang. Bila yang terjadi adalah perlekatan
prepusium dengan glans penis, debris dan sel mati yang terkumpul tersebut tidak bisa
dibersihkan.7
Ada pula kondisi lain akibat infeksi yaitu balanopostitis. Pada infeksi ini terjadi
peradangan pada permukaan preputium dan glans penis. Terjadi pembengkakan kemerahan
dan produksi pus di antara glans penis dan prepusium. Meski jarang, infeksi ini bisa terjadi
pada diabetes.3
Manifestasi Klinis
Fimosis menyebabkan gangguan aliran urin berupa sulit kencing, pancaran urine
mengecil, menggelumbungnya ujung prepusium penis pada saat miksi, dan menimbulkan
retensi urine. Higiene lokal yang kurang bersih menyebabkan terjadinya infeksi pada
prepusium (postitis), infeksi pada glans penis (balanitis) atau infeksi pada glans dan
prepusium penis (balanopositis).1,3
Kadangkala pasien dibawa berobat oleh orang tuanya karena ada benjolan lunak di
ujung penis yang tak lain adalah korpus smegma yaitu timbunan smegma di dalam sakus

prepusium penis. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa prepusium dan glans penis yang
mengalami deskuamasi oleh bakteri yang ada di dalamnya1.
Tata Laksana
Tidak dianjurkan melakukan dilatasi atau retraksi yang dipaksakan pada penderita
fimosis, karena akan menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada ujung prepusium
sebagai fimosis sekunder. Fimosis yang disertai balanitis xerotika obliterans dapat dicoba
diberikan salep deksametasone 0,1% yang dioleskan 3 atau 4 kali. Diharapkan setelah
pemberian selama 6 minggu, prepusium dapat retraksi spontan. 1
Bila fimosis tidak menimbulkan ketidaknyamanan dapat diberikan penatalaksanaan
non-operatif, misalnya seperti pemberian krim steroid topikal yaitu betamethasone selama 46 minggu pada daerah glans penis. 7
Pada fimosis yang menimbulkan keluhan miksi, menggelembungnya ujung prepusium
pada saat miksi, atau fimosis yang disertai dengan infeksi postitis merupakan indikasi untuk
dilakukan sirkumsisi. Tentunya pada balanitis atau postitis harus diberi antibiotika dahulu
sebelum dilakukan sirkumsisi. 1
Fimosis yang harus ditangani dengan melakukan sirkumsisi bila terdapat obstruksi
dan balanopostitis. Bila ada balanopostitis, sebaiknya dilakukan sayatan dorsal terlebih
dahulu yang disusul dengan sirkumsisi sempurna setelah radang mereda.
Secara singkat teknik operasi sirkumsisi dapat dijelaskan sebagai berikut :
Setelah penderita diberi narkose, penderita di letakkan dalam posisi supine.
Desinfeksi lapangan pembedahan dengan antiseptik kemudian dipersempit dengan linen
steril. Preputium di bersihkan dengan cairan antiseptik pada sekitar glans penis. Preputium di
klem pada 3 tempat. Prepusium di gunting pada sisi dorsal penis sampai batas corona glandis.
Dibuat teugel pada ujung insisi. Teugel yang sama dikerjakan pada frenulum penis.
Preputium kemudian di potong melingkar sejajar dengan korona glandis. Kemudian kulit dan
mukosa dijahit dengan plain cut gut 4.0 atraumatik interupted. 5
Hati- hati komplikasi operasi pada sirkumsisi yaitu perdarahan. Pasca bedah penderita
dapat langsung rawat jalan, diobservasi kemungkinan komplikasi yang membahayakan jiwa
penderita seperti perdarahan.Pemberian antibiotik dan analgetik. 5
Komplikasi8
Ada beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat fimosis, yaitu :

Ketidaknyamanan/nyeri saat berkemih

Akumulasi sekret dan smegma di bawah preputium yang kemudian terkena infeksi sekunder
dan akhirnya terbentuk jaringan parut.

Pada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin.


Penarikan prepusium secara paksa dapat berakibat kontriksi dengan rasa nyeri dan
pembengkakan glans penis yang disebut parafimosis.

Pembengkakan/radang pada ujung kemaluan yang disebut ballonitis.

Timbul infeksi pada saluran air seni (ureter) kiri dan kanan, kemudian menimbulkan
kerusakan pada ginjal.

Fimosis merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker penis.

RETRITIS NON SPESIFIK


Penulis : Irnizarifka
Erika Khairani
Pendahuluan
Sebelum tahun 1970 hampir 90% kasus uretritis belum diketahui penyebabnya, sedangkan
10% sudah diketahui penyebabnya, yaitu Gonokok, Trichomonas vaginalis, Candida albicans
dan benda asing. Dengan semakin majunya fasilitas diagnostik sesudah tahun 1970, penyebab
uretritis sudah diketahui 75%, sedangkan sisanya 25% lagi masih dalam taraf penelitian2.
Uretritis merupakan kondisi urologis yang normal terjadi dan sulit ditegakkan diagnosanya
oleh dokter, sehingga mempersulit pemberian pengobatan yang tepat. Organisme seperti
Trichomonas vaginalis, Neiserria gonorrheae, Chlamydial trachomatis dan Mycoplasma spp
dilaporkan menjadi penyebab terjadinya uretritis. Meski demikian, sebagian pasien dengan
uretritis tidak memiliki organisme tersebut. Dengan demikian, diagnosa uretritis khususnya
pada pria dengan tidak adanya penanda inflamasi uretra menjadi sulit, karena belum adanya
informasi yang jelas mengenai komposisi flora uretra pada pria normal maupun penderita
uretritis5.
Pada sebuah studi yang dilakukan, didapatkan beberapa mikroorganisme gram positif yang
menjadi mikroflora pada uretra seseorang yang normal. Lactobacilli, Coagulase negative
staphylococci dan Streptococci dilaporkan juga menjadi bagian dari flora normal. Partisipasi
dari beberapa flora normal ini diyakini menjadi bagian untuk mencegah invasi
mikroorganisme oportunistik5.
Uretritis merupakan kondisi inflamasi yang terjadi pada uretra yang dapat disebabkan oleh
proses infeksi atau non infeksi dengan manifestasi discar, disuria, atau gatal pada ujung
uretra. Temuan fisik yang paling sering ditemukan berupa discar uretra, sedangkan temuan
laboratorium menunjukkan adanya peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear dengan

pengecatan Gram pada usapan uretra atau dari sedimen pancaran urin awal. Untuk
memudahkan dalam perawatan, seringkali infeksi uretritis diklasifikasikankan menjadi
Uretritis Gonococcal dan Uretritis Non-gonococcal (disebut pula uretritis non spesifik)3.
Disebut sebagai uretritis gonococcal jika pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
Neisseria gonorrhea, sebaliknya jika tidak ditemukan N.gonorrhea disebut sebagai urethritia
non gonococcal atau uretritis non spesifik. Kedua klasifikasi diatas termasuk dalam kategori
penyakit dengan transmisi secara seksual7.
Infeksi Chlamidya trachomatis pada banyak negara merupakan penyebab utama infeksi yang
ditularkan melalui hubungan seksual. Laporan WHO tahun 1995 menunjukkan bahwa infeksi
oleh C. trachomatis diperkirakan 89 juta orang. Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum
ada angka yang pasti mengenai infeksi C. trachomatis6.
Definisi
Uretritis Non Spesifik (UNS) memiliki pengertian yang lebih sempit dari Infeksi Genital Non
Spesifik, dimana peradangan hanya pada uretra yang disebabkan oleh kuman non spesifik.
Yang dimaksud dengan kuman spesifik adalah kuman yang dengan fasilitas laboratorium
biasa atau sederhana dapat ditemukan seketika, misalnya gonokok, Candida albicans,
Trichomonas vaginalis dan Gardnerella vaginalis2.
Uretritis Non Spesifik ditandai dengan keluarnya sekret dan/atau disuria, tetapi mungkin juga
asmtomatik. Chlamydial trachomatis merupakan mikroorganisme tersering di negara maju
yang menular melalui kontak seksual. Mikroorganisme ini utamanya menyerang traktus
genitalia4.
Epidemiologi
Uretritis Non Spesifik banyak ditemukan pada orang dengan keadaan sosial ekonomi lebih
tinggi, usia lebih tua dan aktivitas seksual yang lebih tinggi. Juga ternyata pria lebih banyak
daripada wanita dan golongan heteroseksual lebih banyak daripada golongan homoseksual2.
Chlamydia trachomatis merupakan penyebab Uretritis Non Spesifik (UNS) terbanyak
dibanding dengan organisme lain. Dari berbagai studi dilaporkan bahwa 30 60 % dari
penderita UNS dapat diisolasi C. trachomatis, selanjutnya 4 43 % dari pria penderita
gonore dan 0 7 % dari pria dengan uretritis asimtomatik6.
Etiologi
Uretritis non spesifik adalah inflamsi pada uretra yang disebabkan oleh infeksi selain
gonococcal. Etiologi dari uretritis non spesifik dapat disebabkan oleh bakterial, viral, ataupun
parasit. Banyak organisme berbeda yang berperan dalam terjadinya uretritis terutama agen
bakteri basil Gram negative seperti E.Coli, Proteus, Klebsiella atau Enterobacter. Namun
pada kasus uretritis non spesifik yang dapat ditularkan secara seksual agen yang sangat
berperan adalah8 :
Bakteri : Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Haemophylus vaginalis, dan
Mycoplasma genitalium.

Viral

: Herpes simpleks, Adenovirus.

Parasit : Trichomonas vaginalis.


Tabel I. Etiologi Uretritis Menular Seksual
Gonococcal:N. gonorrhea
Nongonococcal :
C. trachomatis, 15-40%
M. genitalium, 15-25 %
Lain-lain, 20-50 %
T. vaginalis, 5-15%
U. urealyticum. <15%
HSV, 2-3%
Adenovirus, 2-4%
Haemophilus sp., jarang
Tidak diketahui

1. Infeksi Chlamydial trachomatis


Telah terbukti bahwa lebih dari 50% kasus Uretritis Non Spesifik disebabkan oleh kuman ini.
Chlamydial trachomatis merupakan parasit intraobligat, menyerupai bakteri gram negatif.
Chlamydial trachomatis penyebab Uretritis Non Spesifik ini termasuk subgroup A dan
mempunyai tipe serologic D-K2.
Mikroorganisme ini menginfeksi 3-5% wanita muda yang secara seksual aktif. Prevalensi
kejadian pada pria tidak diketahui tetapi diperkirakan rendah. Prevalensi secara keseluruhan
diyakini meningkat, dikarenakan terdapat banyak infeksi yang tidak diketahui sehingga tidak
mendapatkan terapi. Terhitung 89 juta infeksi terjadi di dunia setiap tahunnya, dengan 4-5
juta penderita berada di USA. Infeksi klamidial terjadi lebih banyak pada kelompok usia di
bawah 25 tahun, dengan 1 atau lebih partner seksual, minim kontrasepsi, pengguna pil
kontrasepsi dan pelaku aborsi kehamilan4.
Dalam perkembangannya, Chlamydial trachomatis mengalami 2 fase. Fase pertama (non
infeksiosa) terjadi keadaan laten yang dapat ditemukan pada genitalia maupun konjungtiva.
Pada saat ini, kuman bersifat intraseluler dan berada di dalam vakuol yang letaknya melekat

pada inti sel hospes (disebut badan inklusi). Sedangkan fase kedua (penularan) bila vakuola
pecah kuman keluar dalam bentuk badan elementer yang dapat menimbulkan infeksi pada sel
hospes yang baru2.
Species C. trachomatis mempunyai 515 serovar, dimana serovar A,B dan C menyebabkan
tarchoma, serovar D sampai K menyebabkan infeksi genital, serovar L1 sampai L3
menyebabkan limfogranuloma venereum (LGV) 6.7. Chlamydia merupakan bakteri obligat
intraselular, hanya dapat berkembang biak di dalam sel eukariot hidup dengan membentuk
semacam koloni atau mikrokoloni yang disebut Badan Inklusi (BI). Chlamydia membelah
secara benary fision dalam badan intrasitoplasma. C. trachomatis berbeda dari kebanyakkan
bakteri karena berkembang mengikuti suatu siklus pertumbuhan yang unik dalam dua bentuk
yang berbeda, yaitu berupa Badan Inisial6.
Chlamydial trachomatis merupakan bakteri pathogen intraseluler yang mengakibatkan reaksi
inflamasi. Pathogenesis dari sekuel inflamasi kronis dipercaya dimediasi oleh agen
imunologis. Tetapi hal ini masih dalam penelitian4.
Chlamydial trachomatis adalah bakteri Gram negatif obligat intraseluler, dan merupakan
penyebab penyakit menular seksual yang paling sering terjadi. Diperkirakan terjadi 4 juta
kasus infeksi Chlamydia tiap tahunnya dengan angka prevalensi > 10 %, atau 15-40% dari
kasus uretritis non spesifik atau dua kali prevalensi dari kasus Gonorrhea. Traktus urogenital
merupakan daerah yang paling sering terinfeksi oleh C. trachomatis. Transmisi terjadi
melalui rute oral, anal, atau melalui hubungan seksual. Gejala terjadi dalam 1-3 minggu
setelah infeksi. Namun demikian, sering terjadi infeksi asimtomatik sebesar 80% pada wanita
dan 50 % pada pria. Co-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya sering kali terjadi
terutama gonorrhea7.
Manifestasi penyakit yang paling umum terjadi pada infeksi C. trachomatis adalah uretritis,
ditandai dengan discharge encer atau mukoid pada uretra, dapat disertai dengan disuria. Pada
infeksi rectum menyebabkan proktitis pada wanita maupun pria. Infeksi juga dapat
termanifestasi sebagai Lymphogranuloma venerum3.
Infeksi menular melalui kontak penetrasi seksual termasuk seks oral. Pada beberapa kasus
didapatkan penularan non kontak seksual, tetapi sangat jarang terjadi. Kebanyakan wanita
yang terinfeksi akan mengalami periode asimtomatik dalam hitungan bulan hingga tahun,
tetapi 10-40% akan mengalami penyakit peradangan pelvis. Masa inkubasinya tidak
diketahui. Bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi akan mengalami konjungtivitis klamidial
(30-50%) atau pneumonia. Pada pria, uretritis dikeluhkan dalam kurun waktu 1 bulan setelah
mendapat pajanan infeksi, tetapi sekitar 50% kasus asimtomatik4.
Terapi yang direkomendasikan adalah doksisiklin 100 mg bd untuk 7 hari atau azitromisin 1
gram per oral dosis tunggal. Keduanya sama secara klinis sama efektif. Pada wanita hamil,
eritromisin 500 md bd untuk 14 hari atau amoksisilin 500 mg td adalah obat pilihan, tetapi
penggunaan amoksisilin masih dalam perdebatan4.

2. Infeksi Ureaplasma urealyticum dan Mycoplasma hominis

Ureaplasma urealyticum merupakan 25% sebagai penyebab Uretritis Non Spesifik dan sering
bersamaan dengan infeksi Chlamydial trachomatis. Dahulu dikenal dengan nama T-strain
mycoplasma. Mycoplasma hominis juga sering bersama-sama dengan infeksi Ureaplasma
urealyticum. Mycoplasma hominis sebagai penyebab Uretritis Non Spesifik masih diragukan,
karena kuman ini bersifat komensal yang dapat menjadi pathogen dalam kondisi tertentu.
Ureaplasma urealyticum merupakan mikroorganisme paling kecil, gram negative dan sangat
pleomorfik karena tidak memiliki dinding sel yang kaku2.

3. Infeksi Mycoplasma genitalium


Mycoplasma sp. merupakan salah satu mikroorganisme terkecil yang dapt berkoloni di
traktur respirasi dan urogenital. Mycoplasma memiliki 13 spesies, 4 diantaranya menginfeksi
traktus genital, yaitu Mycoplasma hominis, M. genitalium, Ureaplasma parvum, dan U.
urealyticum. Sekitar 40-80 % wanita yang aktif secara seksual mengalami kolonisasi genital
dari ureaplasma. Organisme ini juga berperan dalam 20-30% kasus uretritis nonspesifik8.
Pasien dengan infeksi mycoplasma genital sering tidak terdiagnosis, karena gejala yang
timbul biasanya dikaitkan dengan patogen lain yang lebih umum seperti Chlamydia. Seperti
halnya Chlamydia, infeksi mycoplasma genital mengakibatkan uretritis, cervicitis, PID,
endometritis, salpingitis, dan chorioamnionitis. Spesies lainnya dpat menyebabkan infeksi
pernapasan, arthritis septic, pneumonia neonatal, dan meningitis8.

4. Infeksi Trichomonas vaginalis


Organisme lain seperti Trichomonas vaginalis dan virus herpes simpleks hanya berperan kecil
dalam kejadian kasus uretritis non spesifik. T. vaginalis merupakan protozoa yang
menyebabkan kondisi yang dinamakan trikomoniasis. T. vaginalis menginfeksi epitel vagina
dan uretra, menyebabkan ulserasi. Infeksi pada wanita menyebabkan timbulnya keputihan
yang berbau, berwarna kuning kehijauan, disertai pruritus, eritema dan dispareunia. Pada pria
seringkali asimtomatis, keluhan yang muncul berupa discar uretra, nyeri berkemih yang
terasa panas, dan frekuensi8.

5. Alergi
Ada dugaan bahwa Uretritis Non Spesifik disebabkan oleh reaksi alergi terhadap komponen
sekret alat urogenital pasangan seksualnya. Alasan ini dikemukakan karena pada pemeriksaan
sekret Uretritis Non Spesifik tersebut ternyata steril dan pemberian obat antihistamin dan
kortikosteroid mengurangi gejala penyakit2.

6. Bakteri

Mikroorganisme penyebab Uretritis Non Spesifik ini adalah Staphylococcus dan Diphteroid.
Sesungguhnya bakteri ini dapat tumbuh komensal dan menyebabkan uretritis hanya pada
beberapa kasus2.
Gejala Klinis
Tanda dan gejala Uretritis Gonococcal (UG) dan Uretritis Non-Gonococcal (UNG) pada
dasarnya adalah sama, namun berbeda pada derajat keparahan gejala yang timbul. Kedua
uretritis baik gonococcal maupun non-gonococcal menyebabkan adanya lendir, dysuria, dan
gatal pada uretra. Lendir yang sangat banyak, dan purulen lebih sering pada gonorrhea,
sedangkan pada kondisi UNG, lendir yang dihasilkan lebih sedikit dan mukoid. Pada UNG,
lendir sering hanya muncul pada pagi hari, atau hanya terlihat seperti krusta yang melekat di
meatus atau terlihat seperti bercak pada pakaian dalam. frekuensi, hematuria, dan urgensi
sering terjadi pada kedua jenis infeksi. Masa inkubasi jauh lebih pendek pada infeksi
gonorrhea, yaitu dalam 2-6 hari, sedangkan pada UNG, gejala muncul dalam 1-5 minggu
setelah infeksi, dengan masa inkubasi rata-rata 2-3 minggu7.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kreiger yang membandingkan manifestasi klinis uretritis
gonococcal, chlamydial, dan trichomonal. Hanya 55% pria dengan trichomoniasis yang
mengalami lendir uretra, dibandingkan pada infeksi Chlamydia 82%, dan 93% pada
gonorrhea. Lendir yang dihasilkan pada infeksi N. gonorrhea, 82% berjumlah sangat banyak
dan purulen. Berbeda dengan infeksi Chlamydia dan Trichomonal dengan sedikit lendir
berwarna jernih atau mukoid7.
Tanda pada Pria
Gejala baru mulai timbul biasanya setelah 1-3 minggu kontak seksual dan umumnya tidak
seberat gonore. Gejalanya berupa disuria ringan, perasaan tidak enak di uretra, sering kencing
dan keluarnya duh tubuh seropurulen. Dibandingkan dengan gonore, perjalanan penyakit
lebih lama karena masa inkubasi yang lebih lama dan ada kecenderungan kambuh kembali.
Pada beberapa keadaan tidak terlihat keluarnya cairan duh tubuh, sehingga menyulitkan
diagnosis. Dalam keadaan demikian sangat diperlukan pemeriksaan laboratorium.
Komplikasi yang dapat terjadi berupa prostatitis, vesikulitis, epididimitis dan striktur uretra2.

Tanda pada Wanita


Infeksi lebih ringan terjadi di serviks bila dibandingkan dengan vagina, kelenjar Bartholin
atau uretra sendiri. Sama seperti pada gonore, umumnya wanita tidak menunjukkan adanya
gejala. Sebagian kecil dengan keluhan keluarnya duh tubuh vagina, disuria ringan, sering
kencing, nyeri daerah pelvis dan dispareunia. Pada pemeriksaan serviks dapat dilihat tandatanda servisitis yang disertai adanya folikel-folikel kecil yang mudah berdarah. Komplikasi
dapat berupa bartholinitis, proktitis, salfingitis dan sistitis. Peritonitis dan perihepatitis juga
pernah dilaporkan2.
Diagnosis
Diagnosis secara klinis sukar untuk membedakan infeksi karena gonore atau non-gonore.
Menegakkan diagnosis servisitis atau uretritis oleh klamidia, perlu pemeriksaan khusus untuk

menemukan atau menentukan adanya C. trachomatis. Pemeriksaan laboratorium yang umum


digunakan sejak lama adalah pemeriksaan sediaan sitologi langsung dan biakan dari
inokulum yang diambil dari specimen urogenital. Baru pada tahun 1980an ditemukan
tehnologi pemeriksaan terhadap antigen dan asam nukleat C. trachomatis2.
Pemeriksaan menyeluruh pada pasien dengan penyakit menular seksual, termasuk uretritis,
sangat penting dalam mengarahkan terapi yang tepat. Kuantitas discar pada uretritis dapat
dikategorikan banyak (mengalir secara spontan dari uretra), sedikit (keluar hanya jika
uretra di ekspos), sedang (keluar secara spontan, namun hanya sedikit). Warna dan
karakter discharge uretra harus diperhatikan. Lendir berwarna kekuningan atau hijau disebut
sebagai lender purulen. Lendir berwarna putih yang bercampur cairan jernih dinamakan
lender mukoid. Jika hanya lendir bening, dinamakan jernih. Adanya inflamasi pada
meatus uretra, edema penis, dan pembesaran kelenjar limfe juga harus diperhatikan7.
Pemeriksaan sitologi langsung dengan pewarnaan giemsa memiliki sensitivitas tinggi untuk
konjungtivitis (95%), sedangkan untuk infeksi genital rendah (pria 15%, wanita 41%).
Sitologi dengan Papaniculou sensitivitasnya juga rendah, 62%. Hingga saat ini pemeriksaan
biakan masih menjadi baku emas pemeriksaan klamidia. Spesifitasnya mencapai 100%, tetapi
sensitivitasnya bervariasi bergantung pada laboratorium yang digunakan (nilai berkisar 7585%). Prosedur, tehnik dan biaya pemeriksaan biakan ini tinggi serta perlu waktu 3 hingga 7
hari2.
Metode pendeteksian antigen ada beberapa cara, yaitu Direct Fluorescent Antibody (DFA)
yang menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal dengan mikroskop imunofluoresen
dan Enzyme Immuno Assay (EIA) atau Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang
menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal dengan alat spektrofotometri. Metode
pendeteksian terbaru adalah dengan cara mendeteksi asam nukleat C. trachomatis. Hibridisasi
DNA Probe (Gen Probe) mendeteksi DNA CT lebih sensitive dibanding Elisa karena dapat
mendeteksi DNA dalam jumlah kecil melalui proses hibridisasi. Cara lain menggunakan
Amplifikasi Asam Nukleat (Polimerase Chain Reaction dan Ligase Chain Reaction) 2.
Dalam sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2008, didapatkan hasil bahwa tidak
diperlukan adanya investigasi lebih lanjut menggunakan mikroskopi pada penderita yang
asimtomatik karena hanya presentase kecil penderita didapatkan hasil yang positif akan
bakteri patogen1.
Penegakan diagnosis uretritis didasarkan pada tanda klinis serta pemeriksaan laboratorium,
sebagai berikut:
1. Discar purulen atau mukopurulen.
2. Pengecatan Gram pada sekresi uretra menunjukkan adanya >5 leukosit per lapang
pandang. Pengecatan Gram merupakan tes diagnostik yang umum digunakan untuk
mengevaluasi uretritis. Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik untuk menentukan
adanya uretritis dan ada tidaknya infeksi gonococcal. Infeksi gonococcal ditegakkan
jika ditemukan diplococcus intraseluler pada leukosit.
3. Tes leukosit esterase pada pancaran urin pertama yang menunjukkan hasil positif atau
pemeriksaan mikroskopis pancaran urin pertama menunjukkan 10 leukosit per
lapang pandang besar.

Jika tidak ada kriteria diatas yang positif, pasien harus di tes untuk konfirmasi infeksi N.
gonorrhea atau C. trachomatis. Jika hasil tes menunjukkan infeksi N. gonorrhea atau
C.trachomatis, pasien harus diberikan perawatan yang sesuai, pasangan seksual ikut untuk
menjalani tes7.
Penatalaksanaan
Secara umum, manajemen obat yang paling efektif adalah golongan tetrasiklin dan
eritromisin. Di samping itu dapat juga digunakan gabungan sulfa-trimetoprim, spiramisin dan
kuinolon2. Beberapa dosis obat yang dapat digunakan sebagai pada tabel berikut.
Tabel II. Medikamentosa
Medikasi
Dosis
Tetrasiklin HCl 4 x 500mg sehari
selama 1 minggu atau4
x 250mg sehari selama
2 minggu
Oksitertrasiklin 4 x 250mg sehari
selama 2 minggu
Doksisiklin
2 x 100mg sehari
selama 1 minggu
Eritromisin
4 x 500mg sehari
selama 1 minggu atau4
x 250mg sehari selama
2 minggu
(untuk penderita tidak
tahan tetrasiklin, hamil,
atau < 12 tahun)
Sulfatrimetoprim
Azitromisin
Spiramisin
Ofloksasin

2 x 2 tablet sehari
selama 1 minggu
1 gram dosis tunggal
4 x 500mg sehari
selama 1 minggu
2 x 200 mg sehari
selama 10 hari

Pasien dengan infeksi klamidia harus dimonitor selama 2 minggu. Pemberian informasi
kepada pasangan, pencegahan hubungan seksual sementara serta penyelesaian terapi dengan
benar harus dicek. Dalam hal ini pasangan maupun semua orang yang memiliki kontak
seksual langsung dengan penderita harus diidentifikasi dan diberikan saran untuk
mendapatkan terapi serupa4.
Pengobatan untuk infeksi mycoplasma genital, sama dengan pengobatan pada chlamydia.
Fluorokuinolon dapat digunakan sebagai terapi alternatif untuk M. Hominis dan Ureaplasma
sp. pada kondisi resistensi terhadap antibiotik lain3.

Prognosis
Kadang-kadang tanpa pengobatan, penyakit lambat laun berkurang dan akhirnya sembuh
sendiri (50-70% dalam waktu sekitar 3 bulan). Setelah pengobatan, kira-kira 10% penderita
akan mengalami eksaserbasi atau rekurensi2.

Anda mungkin juga menyukai