Anda di halaman 1dari 9

KASUS ETIK

ASPEK ETIK DALAM


PENGELOLAAN INFORMASI
PADA PASIEN DENGAN
GONORRHEA

Oleh:
Ina Soraya, dr.

Pendamping:
dr. Tina Soelistiawati
dr. Niken Dewanti P.D

RSUD SOEDARSONO PASURUAN


KOTA PASURUAN
2016

Nama Peserta : dr. Ina Soraya


Nama Wahana : RS Soedarsono kota Pasuruan
Topik : Aspek Etik dalam Pengelolaan Informasi Pada Pasien Dengan Gonorrhea
Tanggal (kasus): 14 Oktober 2016
Nama Pasien: Tn. T
No RM: 224527
Deskripsi: Laki-laki, 31 tahun, datang dengan keluhan kencing nanah sejak 1 hari
yang lalu
Tujuan: Mengetahui bagaiman aspek etik dalam pengelolaan informasi pada pasien
dengan Gonorrhea
Data utama
1. Latar Belakang
Gonorrhea merupakan isu kesehatan yang cukup sensitif untuk
dibicarakan. Mengingat penularan penyakit ini melalui hubungan seksual.
Kewajiban etik yang utama dari tenaga kesehatan dalam hal ini adalah
melindungi privasi dan kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak pasien
dengan menjaga kerahasiaan rekam medis pasien. Dalam mengambil
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral yakni prinsip otonomi, prinsip
beneficence, prinsip non-malificence, dan prinsip justice. Namun, seringkali di
dalam prakteknya seorang dokter sering mengalami dilema antara
kepentingan pasien dengan kepentingan sosial.
2. Kasus
Tn. T datang ditemani istrinya. Pasien mengeluh kencing nanah sejak 1
hari yang lalu. Alat kemaluan terasa panas. Istri memiliki keluhan yang sama
disangkal. Riwayat pernikahan sebelumnya, pasien dan istri masing-masing
merupakan pernikahan pertama dan berhubungan intim dengan selain
pasangan disangkal. Teman istri yang tinggal serumah dengan keluarga pasien
juga memiliki keluhan yang sama. Istri pasien khawatir dan menanyakan
penyakit apakah yang diderita oleh suaminya dan menanyakan bagaimana
cara penularannya.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya pus pada ujung uretra serta
tampak kemerahan dan pembengkakan. Tidak terdapat pembesaran kelenjar
getah bening pada daerah inguinal unilateral maupun bilateral. Hasil
pemeriksaan sediaan langsung dengan pewarnaan gram ditemukan gonokok
gram negative, intraseluler dan ekstraseluler. Ketika dilakukan perabaan

pasien merasa nyeri pada daerah penis dan teraba lebih hangat. Sebagai
tatalaksana lebih lanjut, bagaimanakah sikap dokter dalam hal ini ditinjau dari
aspek etik?

3. Pembahasan
1. Prinsip etika kedokteran
Keputusan yang hendak diambil oleh dokter sebaiknya
mempertimbangkan mengenai hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak
pasien akan mengakibatkan pelanggaran atas kebutuhan dasar diatas
kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.
Beuchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai
ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa aturan
dibawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:
A. Prinsip Otonomi
Menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien. Dari prinsip
moral inilah yang kemudian melahirkan doktirn informed concent.
B. Prinsip Beneficence
Mengutamakan tindakan yang ditujukan demi kebaikan pasien. Dalam
beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan
juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar dari sisi buruknya.
C. Prinsip Non-malificence
Melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini juga
dikenal dengan primum non nocere atau above all, do no harm.
D. Prinsip Justice
Mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam
mendistribusikan sumber daya.
Sedangkan aturan turunannya adalah veracity (berbicara jujur, benar
dan terbuka), privacy (menghormati hak pribadi pasien), confidentiality
(menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity (loyalitas dan menepati janji).
Jonsen, Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang
menggunakan 4 topik yang essenial dalam pelayanan klinik, yaitu:
A. Medical indication

Semua prosedur dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi


keadaanpasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini
ditinjau dari sisi etiknya, terutaa menggunakan kaidah beneficence dan
non- maleficence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa
dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien
pada doktirn informed concent.
B. Patient preferences
Topik ini memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat
dan beban yang akan diterimanya, yang berarto cerminana kaidah
autonomy. Pertanyaan etika meliputi pertanyaan tentang kompetensi
pasien, sifat volunter sikap dan keputusannya, pemahaman atas
informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien dalam keadaan tidak
sadar dan kompeten serta nilai dan keyakinan yang dianut oleh pasien.
C. Quality of life
Merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insan. Apa,
siapa dan bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan
etik sekitar prognosis yang berkaitan dengan beneficence, nonmaleficence dan autonomy.
D. Contextual features
Membahas etik seputar aspek non medis yang mendahului keputusan
seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi
sumber daya dan faktor hukum.
2. Informed concent
Di Indonesia informed concent telah memperoleh justifikasi yuridis
melaui Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/1989.
Persetujuan tindakan medik (informed concent) dalam praktik banyak
mengalami kendala, karena faktor bahasa, faktor campur tangan keluarga
atau pihak ketiga dalam hal memberi persetujuan, faktor perbedaan
kepentingan antara dokter dan pasien, dan faktor lainnya.
Informed concent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi
yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran
tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien.

Informed concent dilhat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian


antara dua pihak, meliankan lebih kepada persetujuan sepihak atas layanan
yang ditawarkan pihak lain.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004
pasal 45 ayat 1 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun
2008, Informed Concent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan Informed Concent adalah
memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan
hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif.
Informed Concent dapat diberikan:
Dinyatakan (expresssed)
-

Dinayatakan secara lisan

Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis idperlukan apabila


dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang
invasif atau beresiko mempengaruhi kesehatan pasien secara
bermakna. Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis
menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus
memperoleh persetujuan tertulis.

Tidak dinyatakan (implied)


Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun
melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis
inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktek sehari-hari.
Misalnya adalah seorang yang menggulung lengan bajunya dan
mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
Informed concent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang
telah dinyatakan sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai
persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat
bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat
dan keadaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk

mengatasinya.
Proxy concent adalah concent yang diberikan oleh orang yang
bukan si pasien itu sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu
memberikan concent secara pribadi, dan concent tersebut harus
mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia
mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang
banyak). Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxyconcent adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung dll.
Proxy-concent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang
dan ketat. Suatu kasus telah membuka mata orang Indonesia betapa
riskannya proxy-concent ini, yaitu ketika seorang kakek-kakek menurut
dokter telah mengoperasinya hanya berdasarkan persetujuan anaknya,
padahal ia tidak pernah dalam keadaan tidak sadar atau tidak kompeten.
3. Rahasia kedokteran
Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional
dianggap sebagai norma dasar yang melindungi hubungan dokter dengan
pasien. Sumpah dokter indonesia salah satunya berbunyi: saya akan
merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya,
sedangkan kode etik kodeokteran indonesia emrumuskannya sebagai
setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Peraturan pemerintah No. 10 tahun 1966 yang mengatur tentang
seluruh tenaga kesehatan untuk menyimpan segala sesuatu yang
diketahuinya selama melakukan pekerjaan di bidang kedokteran sebagai
rahasia. Namun PP tersebut memebrikan pengecualian sebagaimana
terdapat dalam 2 pasal, yaitu apabila terdapat peraturan perundangundangan yang sederajat (PP) atau yang lebih tinggi (UU) yang
mengaturnya lain.
Baik UU kesehatan maupun UU praktik kedokteran juga mewajibka
tenaga kesehatan untuk menyimpan rahasia kedokteran. Selanjutnya UU
praktik kedokteran memberikan peluang pengungkapan informasi
kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):
a. Untuk kepentingan kesehatan pasien

b. Untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka


penegakan hukum
c. Permintaan pasien sendiri
d. Berdasarkan ketentuan undang-undang
Ketentuan pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak
akan dipidanakan oelh karena melakukan suatu perbuatan untuk
menjalankan undang-undang memperkuat peluang bagi tenaga
kesehatan dalam keadaan dan situasi tertentu dapat terbuka rahasia
kedokteran tanpa diancam pidana. Hal ini mengakibatkan bebasnya
para dokter dan tenaga administrasi kesehatan dalam membuat Visum
et Repertum (kewajiban dalam KUHAP) dan dalam menyampaikan
pelaporan tentang statistik kesehatan, penyakit wabah, dan karantina
(diatur dalam UU terkait)
Rahasia medis antara suami istri
Rahasia medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokterpasien. Ini berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang
rahasia penyakti pasien yang dipercayakannya kepada orang lain, tanpa
seizin si pasien. Hal ini di negara-negara barat merupakan sesuatu yang
harus dijaga benar, karena berdasarkan paham individualisme yang
dianut. Hal ini berlainan dengan keadaan sosial budaya Inodnesia, di
negara kita yang menganut budaya timur, jiak ada seorang anggota
keluarga yang sakit, tidak saja harus diketahui oelh keluarga kecilnya,
tetapi juga merupakan sesuatu yang harus diketahui pula oleh keluarga
besarnya.
Merupakan hal lazim bila diantara suami istri umumnya tidak ada
rahasia. Namun jika menyangkut suatu masalah seperti rahasi medis
tertentu (termausk di Indonesia) para dokter haruslah bertindak lebih hatihati. Jika yang diderita penyakit-penyakit umum seperti usus buntu,
wasir, influenza tidaklah menjadi persoalan diketahuinya. Lain jika
menyangkut penyakit-penyakit tertentu yang bisa menularkan seperti
penyakit kelamin, atau hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan seksual
seperti keguguran, kehamilan, kadangkala juga menyangkut penyakit
jiwa, jika dimita suatu keterangan tertulis oleh suami atau istrinya, apalagi
jika yang meminta adalah seorang pengacara dari suami atau istri. Jika

hendak memberitahukan hal-hal demikian maka harus meminta


persetujuan pasien yang bersangkutan.
Misal dalam pemeriksaan seorang suami ternyata terkena penyakit
kelamin yang menular melalui hubungan seksual. Hal ini bisa menularkan
kepada istrinya. Secara umum sebaiknya dokter itu merundingkannya
dengan pasien itu sendiri, cara bagaimana ia harus memberitahukan
kepada istri/suaminya, karena pasangannya harus diperiksa juga. Timbul
persoalan jika yang diperiksa adalah istri yang diantar oleh suaminya.
Dalam hal ini sebenarnya sudah dianggap ada persetujuan dari kedua
belah pihak untuk mengungkapkan. Apakah dokter dengan bebas boleh
mengutarakan bahwa istrinya sedang mengandung atau mengalami
keguguran. Sebaiknya juga dibicarakan dahulu dengan pasien itu, sebab
bisa saja ada kemungkinan bahwa sang suami baru saja kembali dari luar
negeri sesudah sekian bulan. Juga jika menyangkut penyakit kelamin,
tidak dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak.

4. Kesimpulan
Pada kasus ini, dimana dokter mendapatkan pasien laki-laki dengan
Gonorrhea dan pasien telah berhubungan dengan istrinya, maka sebagai
dokter kita hars mengobati keduanya. Dokter juga harus mempertimbangkan
hak otonomi pasien bila dia mengatakan bahwa takut ketahuan oleh istrinya.
Namun kembali kita harus mempertimbangkan apa yang terbaik untuk pasien,
karena jika kita tidak mengobati keduanya, maka penyakit Gonorrhea ini akan
menjadi lingkaran setan yang tidak terputus dan bukan tidak mungkin akan
menular lagi pada orang lain jika pasien atau istrinya berhubungan dengan
orang lain. Dalam hal ini, sebagai dokter yang harus dikatakan pada pasien
adalah tetap menyuruh pasien agar pasien dan istrinya berobat, karena dokter
harus memberi yang terbaik untuk pasien agar pasien dan istrinya sehat
kembali.
Akhirnya,

dalam

melakukan

komunikasi

dokter-pasien

perlu

mempertimbangkan hak pasien, tapi dokter juga mempunyai kewajiban utnuk


membuat pasien sehat. Pasien juga harus dibuat mengerti semua tindakan
yang dilakukan dokter juga demi kebaikan pasien itu sendiri.

Daftar Pustaka:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja. Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar
bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar. Jakarta. Oktober 2005
Hanafiah, Jusuf M, Amir. Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran:EGC. Jakarta.
2007
Samil, Ratna Suprapti. Etika Kedokteran Indonesia. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta. 2001
Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2006.
Hubungan
dokter
dan
pasien.
Diunduh
pada
3
Maret
2015
dari:
http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/hubungan-dokter-pasien.html
Kode
Etik
Kedokteran.
2009.
Diunduh
pada
3
Maret
2015
dari:
http//repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/652/1/Kode%20Etik%20Kedokteran.pdf
Pratiwi, Kurniawati Hesli. Etika Kedokteran dan Rahasia Kedokteran. 2009. Diunduh pada 3 Maret 2015
dari: https//www.scrib.com/mobile/doc/153767424
Sjaiful Fahmi Daili. Gonore dalam Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; editor: Adhi Juanda, Mochtar
Hamzah, Siti Aisah. Edisi kelima. Cetakan keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2009. H.372-373
Zubairi, Samsuridjal. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam:HIV/AIDS di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.h. 2861-2868

Hasil pembelajaran:
1. Mengetahui hak hak pasien dengan Gonorrhea
2. Mengetahui kewajiban dokter maupun tenaga kesehatan dalam menangani
pasien dengan Gonorrhea
3. Mengetahui cara mengelola informasi pasien dengan Gonorrhea ditinjau dari
segi etik

Anda mungkin juga menyukai