ETNOGRAFI
DISUSUN OLEH:
ARIF DWI SAPUTRA, S.S, M.Mpar
oleh orang Eropa Barat sejak akhir abad ke-16, dan lambat laun dalam proses yang
berlangsung kira-kira 4 abad lamanya, berbagai daerah dimuka bumi mulai terkena
pengaruh negara-negara Eropa barat. Dari proses kedatangan orang Eropa ini mulai
ditulis buku-buku kisah perjalanan dan laporan-laporan tentang deskripsi adat-istiadat,
susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari beraneka warna suku bangsa di Afrika,
Asia, Oseania dan Amerika yang ditulis oleh para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama
nasrani, dan pegawai pemerintah negara jajahan. Bahan tulisan ini ternyata sangat
berbeda dengan segala sesuatu yang ada pada masyarakat Eropa Barat pada masa itu.
Bahan-bahan tulisan ini disebut bahan etnografi. Etnografi tentang masyarakat di luar
Eropa ini umumnya berisi keanehan-keanehan yang tidak terdapat di masyarakat Eropa.
Dari keanehan-keanehan yang ada ini kemudian menarik minat kaum terpelajar di
Eropa sejak abad ke-18. Dari sini kemudian timbul tiga macam sikap yang bertentangan
terhadap bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika, yaitu:
Sebagian orang Eropa memandang akan sifat keburukan dari bangsa-bangsa di luar
Eropa, dan mengatakan bahwa bangsa-bangsa itu bukan manusia sebenarnya tetapi
adalah manusia liar dan keturunan iblis.
Sebagian orang Eropa memandang akan sifat-sifat baik dari bangsa-bangsa di luar Eropa,
dan mengatakan bahwa bangsa-bangsa tadi adalah contoh dari masyarakat yang masih
murni yang belum tercampur dengan kejahatan dan keburukan masyarakat Eropa Barat
pada masa itu. Sebagian orang Eropa tertarik akan adat-istiadat yang aneh, dan mulai
mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa diluar Eropa. Dari sini
kemudian mulai muncul museum di Eropa.
Adapun tokoh-tokoh penulis etnografi dalam fase pertama ini yang terdiri dari para
musafir, penyiar agama nasrani, dan pegawai pemerintah negara jajahan adalah sebagai
berikut: Dari golongan musafir adalah A. Bastian (seorang dokter kapal berkebangsaan
jerman) yang telah berkeliling ke berbagai benua dan kemudian menulis kebudayaan dari
susku-suku bangsa yang disinggahinya.
Pengarang etnografi dari golongan penyiar agama salah satunya adalah J.F. lafitau
(pendeta katolik bansa Perancis) yang pernah bekerja di daerah sungai St. Lawrence dan
menulis tentang etnografi suku-sku Indian (1724).
Pengarang etnografi dari golongan pegawai pemeritah negara jajahan salah satunya
adalah T.S. Raffles (1811-1815) dengan karangan etnografinya yang berjudul History of
Java yang terdiri dari 2 jilid buku.
B. Fase kedua (pertengahan abad ke-19).
Integrasi yang sungguh-sungguh baru muncul pada pertengahan abad ke-19,
sewaktu timbul karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi tersebut berdasarkan
cara berpikir evolusi masyarakat. Masyarakat diluar Eropa dianggap sebagai
penggambaran tingkatan evolusi kebudayaan dari yang paling sederhana dengan
masyarakat Eropa adalah merupakan tingkatan tertinggi pada masa itu. Dari beberapa
karangan etnografi yang ditulis pada sekitar tahun 1860, dengan mengklasifikasikan
bahan tentang beraneka warna kebudayaan di seluruh dunia ke dalam tingkat-tingkat
evolusi yang tertentu, maka dari sini mulai muncul ilmu Antropologi.
Kemudian timbul pula beberapa karangan yang hendak meneliti sejarah penyebaran
kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di muka bumi. Di sinipun kebudayaan bangsabangsa di luar Eropa dianggap sebagai sisa-sisa dan contoh-contoh dari kebudayaan
manusia yang kuno, sehingga dengan meneliti kebudayaan bangsa-bangsa di luarEropa
orang dapat menambah pengertiannya tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Pada fase kedua ini tujuan dari penulisan etnografi adalah untuk mempelajari masyarakat
dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang
tingkat-tingkat kekunoan dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan
manusia.
Adapun tokoh sarjana dalam fase perkembangan kedua adalah sebagai berikut: L.H
Morgan (ahli hukum) yang menulis buku dengan judul Ancient Society (1877), Karl
Mark menulis buku tentang evolusi masyarakat dan sistem kals sosial dalam masyarakat
manusia dengan judul Das Kapital.
C. Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20).
Pada permulaan abad ke-20, sebagian besar dari negara-negara penjajah di Eropa
masing-masing berhasil mencapai kemantapan kekuasaannya di daerah jajahan di luar
Eropa. Untuk keperluan pemerintah negara jajahannya, yang pada masa ini mulai
berhadapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah di luar Eropa, maka ilmu Etnografi
sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah-daerah di luar
Eropaitu, menjadi sangat penting. Berkaitan dengan itu dikembangkan pendirian bahwa
mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa itu penting, karena bangsa-bangsa itu pada
umumnya masih mempunyai masyarakat yang belum kompleks seperti masyarakat
Eropa. Suatu pengertian masyarakat yang tak kompleks akan menambah juga pengertian
orang tentang masyarakat yang kompleks.
Dalam fase ketiga ini ilmu Etnografi menjadi suatu ilmu yang sangat praktis dan
mempunyai tujuan mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar
Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu penertian tentang
masyarakat masa kini yang kompleks.
Adapun tokoh sarjana dalam fase ketiga adalah sebagai berikut: B. Malinoswki yang
menulis penduduk kepulauan Trobiand, dan Snock Hongronje yang menulis tentang suku
bangsa Aceh.
D. Fase Keempat (Sesudah tahun 1930).
Dalam fase ini ilmu Etnografi mengalami masa perkembangannya yang paling luas,
baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun
mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Dengan timbulnya antipati terhadap
kolonialisme sesudah Perang Dunia II dan hilangnya bangsa-bangsa primitif di dunia
yang tidak mendapat pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika, seolah-olah Etnografi
kehilangan
lahan
penulisan,
dengan
demikian
mendorong
ilmu
Etnografi
Adapun tokoh sarjana dalam fase kempat adalah sebagai berikut: F. Boas, Ruth
Benedict, Margaret Mead, dan R. Linton.
KEBUDAYAAN
Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar. Dari sini hampir seluruh tindakan manusia adalah
kebudayaan, karena hanya
amat
dalam kehidupan
Wujud kedua dari kebudayaan ini disebut juga sistem sosial (social system). Sistem
sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta
bergaul satu dengan lainnya, dan selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat
tata kelakuan. Sistem sosial ini bersifat kongkret terjadi disekeliling manusia, bisa
diamati, difoto dan didokumentasikan.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud ketiga ini disebut kebudayaan fisik. Bentuknya berupa seluruh total dari hasil
fisik dari aktivitas, perbuatan, dan semua karya semua manusia dalam masyarakat.
C. Unsur-Unsur Kebudayaan
Sarjana Antropologi biasanya mengupas suatu kebudayaan sebagai suatu
keseluruhan yang terintegrasi, yang mana pada waktu melakukan analisa membagi
keseluruhan itu ke dalam unsur-unsur besar yang disebut unsur-unsur kebudayaan
universal. Dinamakan universal karena unsur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam
semua kebudayaan dari semua bangsa di manapun di dunia. Ada tujuh unsur kebudayaan
yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat disebut
sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan di dunia adalah:
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi sosial
4. Sistem peralatan hidup dan tehnologi
5. Sistem mata pencaharian hidup
6. Sistem religi
7. Kesenian
Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu menjelma dalam ketiga wujud
kebudayaan, yaitu berupa sistem budaya, sosial sistem, dan budaya fisik.
Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan
suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing,
sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam
kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan sendiri.
Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada: 1) golongan-golongan manusia
dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, 2) saling bergaul secara intensif
untuk waktu yang lama, sehingga 3) kebudayaan-kebudayaan golongan tadi masingmasing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah
wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya golongan-golongan
yang berinteraksi dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan
beberapa golongan minoritas. Biasanya golongan-golongan minoritas itu yang mengubah
sifat khas unsur-unsur kebudayaannya, sehingga lambat laun kehilangan kepribadiannya,
dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.
E. Proses Pembaharuan atau Inovasi
Inovasi adalah suatu proses pembaharuan dari penggunaan sumber-sumber alam,
energi dan modal, pengaturan baru dari tenaga kerja dan penggunaan tehnologi baru yang
semua akan menyebabkan adanya sistem produksi, dan dibuatnya produk-produk yang
baru. Dengan demikian inovasi adalah pembaharuan kebudayaan yang berhubungan
dengan tehnologi dan ekonomi.
Proses inovasi sangat erat sangkut-pautnya dengan penemuan baru dalam tehnologi.
Suatu penemuan biasanya juga merupakan suatu proses sosial panjang melalui dua
tahapan, yaitu discovery dan invention.
Suatu discovery adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan baru yang
diciptakan oleh seorang individu, atau suatu rangkaian dari beberapa penemuan individu
dalam masyarakat. Discovery baru menjadi inventioan apabila masyarakat sudah
mengakui, menerima, dan menerapkan penemuan baru tersebut. Setelah proses invention
ini baru dapat dikatakan penemuan adalah suatu inovasi.
Oleh karena itu dapat dibedakan suatu kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia
berdasarkan atas kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi ke dalam enam jenis
kelompok, yaitu:
1. Masyarakat pemburu dan peramu. Kebudayaan suku bangsa yang hidup dari
berburu dan meramu (hunting and gathering societies), setelah abad ke-19 sudah
hampir tidak ada lagi di muka bumi ini.
2. Masyarakat peternak (pastoral societies). Masyarakat peternak hingga kini masih
ada di dunia dengan hidup di daerah-daerah padang rumput stepa dan sabana di
Asia Barat, Asia Tengah, Siberia, asia Timur Laut, dan di Afrika Selatan. Binatang
yang dipelihara berbeda-beda menurut daerah geografinya.
3. Masyarakat peladang (societies of shifting cultivators). Masyarakat yang hidup
dengan berladang hanya terbatas pengembaraannya di daerah hutan rimba tropikal
di daerah pengairan sungai Kongo di Afrika Tengah, di daerah Asia Tenggara, dan
di daerah pengairan sungai Amazon di Amerika Selatan.
4. Masyarakat nelayan (fishing communities). Masyarakat nelayan ada di seluruh
dunia: di sepanjang pantai, baik di negara-negara yang ada dipinggir benua-benua,
maupun dipulau-pulau. Secara khusus desa-desa nelayan biasanya terletak
dpinggir muara-muara sungai atau dipinggir sebuah teluk.
5. Masyarakat petani pedesaan (peasant communities). Masyarakat petani pedesaan
biasanya berorientasi terhadap kebudayaan dari otoritas yang lebih tinggi, yang
biasanya berada di kota-kota administratif.
6. Masyarakat perkotaan kompleks. Sesudah berakhirnya Perang Dunia II dengan
mulai munculnya negara-negara merdeka di Afrika, Asia, dan Amerika Latin;
obyek perhatian ahli antropologi/etnografi mulai tertarik pada masyarakat
perkotaan yang kompleks.
C. Daerah Kebudayaan
Pembatasan deskripsi tentang suatu kebudayaan suku bangsa dalam sebuah tulisan
etnografi memerlukan suatu metode untuk menentukan azas-azas pembatasan, yang mana
unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang menunjukkan persamaan dengan
unsur-unsur sejenis dalam kebudayaan suku-suku bangsa lain dapat dibandingkan satu
dengan yang lain. Untuk itu diperlukan suatu konsep yang mencakup persamaan unsur-
unsur kebudayaan antara suku-suku bangsa menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar
lagi. Konsep itu adalah konsep daerah kebudayan, atau culture area.
Suatu daerah kebudayaan merupakan suatu penggabungan atau penggolongan dari
suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaan yang beraneka warna
mempunyai beberapa unsur dan ciri menyolok yang serupa. Penggolongan daerah
kebudayaan sebenarnya merupakan suatu sistem klasifikasi yang mengklaskan beraneka
warna suku bangsa yang tersebar di suatu daerah atau benua, ke dalam golongangolongan berdasarkan atas beberapa persamaan unsur dalam kebudayaannya.
Suatu daerah kebudayaan menggolongkan ke dalam satu golongan, beberapa puluh
kebudayaan yang satu dengan yang lain berbeda, berdasarkan atas persamaan dari
sejumlah ciri menyolok dalam kebudayaan-kebudayaan bersangkutan. Ciri-ciri yang
menjadi alasan untuk klasifikasi itu tidak hanya berujud unsur kebudayaan fisik,misalnya
alat-alat berburu, alat-alat bertani, alat-alat transportasi, senjata, perhiasan, bentuk dan
gaya pakaian, tempat kediaman dan sebagainya, melainkan juga unsur-unsur kebudayaan
yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem budaya, seperti misalnya unsur-unsur
organisasi kemasyarakatan, sistem ekonoimi, upacara keagamaan, unsur cara berpikir,
dan adat istiadat. Ciri-ciri menyolok yang sama dalam suatu daerah kebudayaan menjadi
alasan untuk klasifikasi. Biasanya hanya beberapa kebudayaan di pusat dari suatu daerah
kebudayaan itu menunjukkan persamaan-persamaan besar dari unsur-unsurnya; semakin
menjauh dari pusat, makin berkurang pula jumlah unsur-unsur yang sama, dan akhirnya
persamaan itu tidak ada lagi, dan memasuki daerah kebudayaan tetangga.
Daerah Kebudayaan Amerika Utara
1. Daerah kebudayaan Eskimo.
2. Daerah kebudayaan Yukon-Mackenzie.
3. Daerah kebudayaan Pantai barat laut.
4. Daerah kebudayaan dataran Tinggi.
5. Daerah kebudayaan Plains
6. Daerah kebudayaan Hutan timur.
7. Daerah kebudayaan dataran Kalifornia.
8. Daerah kebudayaan Baratdaya.
9. Daerah kebudayaan tenggara.
besar
dan
kompleksnya
masyarakat,
sistem-sistem
politik
formal
ketegangan antar keluarga, karena kekuasaan suami tidak di rumah tangganya sendiri,
tetappi dirumahtangga saudara perempuannya. Perceraian adalah hal yang wajar dalam
masyarakat matrlineal.
Keturunan ganda untuk beberapa keperluan bersifat matrilineal, sedang untuk
keperluan lain bersifat patrilineal. Keturunan ambilineal memberikan sedikit fleksibelitas,
karena orang dapat memilih menghubungkan diri dengan kelompok keturunan pihak ibu
atau pihak ayah.
Kelompok keturunan sering merupakan unit dengan struktur yang rumit, yang
memberi bantuan dan keamanan kepada para anggotanya. Kelompok keturunan juga
dapat merupakan tempat penyimpanan tradisi keagamaan, yang memperkuat tradisi
kelompok dengan pemujaannya pada leluhur bersama. Lineage adalah kelompok
keturunan semacam badan hukum, yang terdiri atas saudara-saudara sedarah yang dapat
menelusuri keturunan mereka dari leluhur yang sama. Karena umunya lineage mengikuti
peraturan eksogami, maka persaingan seksual dalam kelompok sebagian besar dapat
dihindarkan. Disamping itu, perkawinan seorang anggota kelompok berarti persekutuan
antara dua lineage. Eksogami lineage juga membantu adanya komunikasi terbuka di
dalam masyarakat dan menunjang pertukaran informasi antar lineage.
Pembelahan (fission) adalah pemecahan kelompok lineage yang besar menjadi
sejumlah lineage baru yang lebih kecil, sedang lineage yang semula menjadi klen. Para
anggota klen menganggap dirinya sebagai keturunan dari leluhur bersama tanpa dapat
mengetahui hubungan genealogis yang sebenarnya dari leluhur yang bersangkutan.
Berbeda dengan genealogi, tempat tinggal klen biasanya terpencar dan tidak di suatu
tempat. Karena tidak adanya kesatuan tempat tinggal, identifikasi klen diperkuat oleh
totem, biasanya lambang unsur alam, yang mengingatkan para anggotanya kepada leluhur
bersama mereka. Fatri atau paruh adalah kelompok keturunan yang terdiri atas dua klen
atau lebih yang dianggap saling berhubungan.
Kekerabatan bilateral, yang karateristik untuk masyarakat barat, mengikuti garis
kedua orangtua dan mengakui adanya leluhur yanng banyak. Orang sama-sama
menghubungkan diri dengan semua saudara baik dari pihak ibu maupun ayah. Kelompok
yang begitu besar itu sebagai satuan sosial tidak praktis dan biasanya menyusut menjadi
lingkungan kecil yang terdiri atas keluarga dari pihak ayah dan ibu, dan disebut
kelompok saudara (kindred). Kelompok saudara tidak pernah sama untuk dua orang yang
mana pun, kecuali untuk saudara-saudara sekandung. Karena kaburnya sifatnya yang
sementara, dan karena mudahnya berubah, kelompok saudara sebagai unit sosial lebih
lemah daripada kelompok keturunan.
Sistem keturunan yang terdapat dalam berbagai masyarakat mempunyai tipe
berbeda-beda. Dalam masyarakat industri dan masyarakat pemburu dan peramu, di mana
keluarga inti penting sekali, dapat diharapkan akan terdapat kelompok kekerabatan dan
organisasi sesaudara.
Dalam setiap masyarakat, hubungan kekeluargaan ditentukan oleh aturan-aturan
kebudayaan. Faktof-faktor seperti kelamin, perbedaan generasi dan genealogis ikut
membedakan kerabat yang satu dari kerabat yang lain. Sistem Hawai adalah sistem
kekerabatan yang paling sederhana. Semua saudara dari generasi dan seks yang sama
mendapat nama yang sama. Sistem Eskimo, yang digunakan dalam kebudayaan Anglo
Amerika, mengutamakan keluarga inti dan mencampur semua saudara lainnya tanpa
mengadakan perbedaan di antara mereka. Dalam sistem Iroguois, istilah yang sama
digunakan untuk ayah dan saudara laki-laki ayah, dan juga untuk ibu dan saudara
perempuan ibu. Dalam sistem Omaha dan Crow, Di antara kerabat-kerabat tertentu tidak
diadakan
perbedaan
menurut
generasi
sistem
deskriptif
yang
relatif
langka
memperlakukan semua bibi, paman, saudara sepupu, dan saudara kandung secara
berbeda-beda.
disebut partisipan , konsultan, serta teman sejawat; 10) titik berat perhatian harus pada
pandangan emik bukan pandangan etik; 11) dalam pengumpulan data harus
menggunakan purposive sampling dan bukan probabilitas statistik; 12) dapat
menggunakan data kualitatif dan kuantitatif, namun sebagian besar menggunakan
kualitatif.
Dari ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi merupakan model penelitian
budaya yang khas. Etnografi bukan memandang budaya semata-mata sebagai produk,
melainkan proses. Hal ini sejalan dengan konsep bahwa kebudayaan akan menyangkut
nilai, motif, peranan moral etik, dan maknanya sebagai sebuah sistem sosial.Kebudayaan
tidak hanya cabang nilai, melainkan merupakan keseluruhan institusi hidup manusia.
Dengan kata lain, kebudayaan merupakan hasil belajar manusia termasuk di dalamnya
tingkah laku. Karena itu, etnografi harus menyangkut hakikat kebudayaan, yaitu sebagai
pengetahuan yang diperoleh yang digunakan orang untuk menginterpretasikan
pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik.
Pelukisan etnografi dilakukan secara tick deskription (deskripsi tebal dan
mendalam).
Etnografi
bercirikan
kelengkapan
data,
namun
pembahasan
juga
sehari-hari kedua golongan ini tidak sama. Demikian pula ada perbedaan antara orang
Nias yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan.Perbedaan tersebut antara lain
tercermin dalam kehidupan ekonomi. Orang Nias kota sudah mengembangkan
bermacam-macam mata pencaharian, seperti berdagang, pegawai kantor, dan sebagainya.
Sebaliknya orang Nias di pedalaman masih mengandalkan hidup sebagai petani ladang.
Di kabupaten Nias terdapat dua kelompok bahas besar, yaitu bahasa Indonesia dan
bahasa Nias. Bahasa Nias masih dominan pemakaiannya dalam peregaulan sehari-hari,
sedangkan bahasa Indonesia masih terbatas pemakaiannya pada kalangan terpelajar saja.
Bahasa Nias merupakan bahasa asli penduduk pribumi kepulauan Nias. Dalam
pemakaiannya, bahasa-bahasa yang terdapat di Nias dapat dibedakan menjadi:
1. Bahasa Utara ; digunakan di Nias bagian utara, timur dan barat. Kelompok bahasa
ini disebut Laraga.
2. Bahasa Selatan ; disebut juga bahasa Tello, dipakai di daerah Nias selatan, tengah
dan pulau Tello.
Perbedaan bahasa Utara dan selatan hanya terletak pada dialek dan istilah lokal yang
digunakan. Oleh karenanya pemakai kedua bahasa ini dapat saling mengerti satu sama
lain.
Orang Nias hidup berkelompok dalam suatu kampung yang mereka sebut banua
dan dipimpin oleh seorang Siulu (bangsawan) yang mereka sebut Tuhenori atau salawa
(raja). Dalam sistem kekerabatan, kesatuan sosial terkecil adalah sangambato atau
keluarga batih, terdiri atas ayah, ibu dan anak yang belum menikah. Secara sosial
keluarga batih tidak sepenting kesatuan kerabat yang hidup bersama dalam satu rumah
(omo) dan menjalankan kegiatan sosial
komunal.
Mata pencaharian utama orang Nias adalah berladang tanaman ubi jalar, ubi kayu,
kentang dan sedikit padi. Pada saat sekarang di pulau Nias ditanam pula cengkeh dan
nilam untuk diambil minyaknya.
Pada zaman dahulu Nias pernah mencapai tingkat perkembangan kebudayaan
megalitik yang mengagumkan. Hasil karya budaya batui itu sampai sekarang masih
ditemui sisa-sisanya, seperti meja dan kursi batu, tugu-tugu dan arca arwah serta omo
hada (rumah adat) yang didirikan di atas batu-batu besar pipih dengan ting-tiang kayu
besar, penuh dengan ukiran-ukiran kuno. Agama asli penduduk Nias di sebut Malohe
Adu (penyembah roh) yang didalamnya dikenal banyak dewa, diantaranya yang paling
tinggi adalah lawolangi. Mereka memuja roh dengan mendirikan patung-patung dari batu
dan kayu, rumah pemujaan roh disebut osali. Pemimpin agama asli disebut ere.
SUKU BANGSA BATAK
Suku bangsa Batak diperkirakan merupakan keturunan kelompok melayu tua (proto
melayu) yang bergerak dari daratan Asia Selatan, dalam upaya mereka mencari tempat
yang lebih hangat pada masa antar es. Gerakan nenek moyang kelompok proto melayu
itu sebagian menetap di Sumatera Utara, dan sebagian meneruskan perjalanan ke
kalimantan dan Sulawesi.
Orang Batak menganut sistem kekerabatan yang menghitung garis keturunan secara
patrilineal, yaitu memperhitungkan anggota keluarga menurut garis keturunan ayah.
Orang-orang yang berasal dari satu ayah disebut paripe (satu keluarga), pada orang Karo
dinamakan sada bapa (satu keluarga), sedangkan pada orang Simalungun disebut
sepanganan (satu keluarga). Pada permulaan mereka hidup dalam perkauman yang
terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan yang mengusut garis keturunan ayah, dan
mendiami satu kesatuan wilayah permukiman yang dikenal dengan sebutan huta atau
lumban. Biasanya kesatuan kerabat itu berpangkal dari seorang kakek yang menjadi
cikal bakal dan pendiri pemukiman, karenanya juga disebut saompu. Kelompokkelompok kerabat luas terbatas saompu yang mempunyai hubungan seketurunan dengan
nenek moyang yang nyata maupu yang fiktif membentuk kesatuan kerabat yang dikenal
dengan sebutan marga.
Hubungan sosial dengan sesama marga diatur melalui hubungan perkawinan,
terutama antara marga pemberi pengatin wanita (boru) dengan marga penerima
pengantin wanita (hula-hula). Untuk mempertahankan kelestarian kelompok kerabat
yang patrilineal, marga-marga tersebut tidak boleh tukar menukar mempelai. Karena itu
hubungan perkawiana satu jurusan memaksa setiap marga menjalin hubungan
perkawinan dengan sekurang-kurangnya dua marga lain, yaitu dengan marga pemberi dan
marga penerima mempelai wanita.
beberapa
dialek,
seperti
dialek
Simaleki,
Sekudu,
Sikalagan,
Silabu,
sederhana, laki-laki memakai kambi (cawat dari kulit kayu) dan wanitanya memakai
semacam rok dari anyaman serat pohon pisang. Mereka sudah lama mengembangkan
busana cacah tubuh (tattoo) yang spesifik. Namun pada masa sekarang ciri-ciri
kehidupan seperti itu sudah hampir punah.
Masyarakat mentawai hidup dalam kesatuan sosial ekonomi yang berdasarkan
persamaan derajat. Mereka hidup mengelonpok dalam suatu pemukiman yang mereka
sebut uma, yaitu istilah kelompok pemukiman dan tempat pemukiman itu sendiri. Uma
biasanya berupa rumah tradisional yang besar dan bisa dihuni beberapa keluarga batih
menurut garis keturunan ayah. Di dekat uma didirikan beberapa lalep, yaitu rumah
keluarga yang perkawinan mereka belum resmi.
Setiap uma dipimpin oleh seorang senior yang disebut rimata. Rimata sebenarnya
adalah pemimpin adat uma itu sendiri. Hubungan antara satu uma dengan uma lainnya
dijaga dengan pengadaan ikatan perkawinan.
Upacara-upacara religi Mentawai banyak ragamnya dan semuanya itu dipimpin
oleh seorang kerei atau Sikerei. Masyarakat Mentawai yakin bahwa semua benda di
alam mempunyai sumangat (roh), dan kekuatan alam yang terselubung secara
keseluruhan itu mereka sebut kina ulau. Kekuatan terselubung dalam sebuah benda yang
bisa mengganggu manusia mereka sebut bajao. Karena itu dalam waktu-waktu tertentu
mereka harus mengadakan upacara pembersihan uma yang mereka sebut upacara
pulaijat. Upacara ini berlangsung sampai satu minggu atau lebih. Selama itu mereka
terkena aturan punen, yaitu ritus pelarangan mengerjakan tabu yang berkaitan dengan
pulaijat.
SUKU BANGSA MINANGKABAU
Suku bangsa Minangkabau mendiami sebagian besar wilayah propinsi sumatera
Barat. Daerah aslinya merupakan kesatuan tiga wilayah adat yang disebut luhak nan tigo
(wilayah yang tiga), yaitu : Luhak Agam (sekarang menjadi kabupaten Agam), Luhak
Limapuluh koto, dan Luhak tanah datar. Bagi orang Minangkabau ada satu daerah yang
selalu dianggap sebagai asal nenek moyang mereka, yaitu Pariaman-Padang Panjang
yang terletak di kaki gunung Marapi.
matrilineal yang mana peranan ayah dalam rumah tangga sangat kecil, sebaliknya saudara
laki-laki ibu yang lebih banyak berperan. Suami dalam lingkungan rumah istrinya disebut
sumando, sedangkan dalam lingkungan rumah ibunya dia disebut tungganai, yaitu orang
yang bertanggungjawab atas saudara perempuan beserta anak-anaknya. Kedua, karena
keluarga intinya sendiri tinggal dengan keluarga senior dari pihak istrinya yang bersamasama tinggal di rumah gadang (rumah komunal).
Sebuah paruik bisa sama dengan sebuah kaum tetapi bisa juga terdiri atau sejumlah
kaum. Kaum adalah keluarga luas matrilokal yang dipimpin oleh mamak (saudara lakilaki tertua ibu). Sedangkan kolompok kekerabatan terbesar disebut suku yang bukan
kesatuan teritorial, karena anggota-anggota suatu suku tinggal menyebar dimana-mana.
Ciri yang dapat menunjukkan suatu suku dapat diketahui dari namanya. Di Minangkabau
banyak terdapat suku, tetapi yang dianggap paling utama adalah empat suku, yaitu Koto,
Piliang, Bodi, dan Chaniago.
Kelompok kekerabatan yang bisa dikatakan bersifat genealogis sekaligus teritorial
adalah kampueng, yang merupakan klien matrilineal yang mendiami suatu wilayah
tertentu dan mewarisi sebuah rumah adat. Pemimpin sebuah kampueng disebut penghulu
kampueng.
Sistem perkawinan orang Minangkabau bersifat eksogami suku. Pihak pemberi
laki-laki disebut bako, sedangkan pihak penerima laki-laki anak pisang. Ikatan
kekerabatan antara pihak bako dengan anak pisang ini disebut pasumandan. Perkawinan
yang dianggap ideal adalah antara seorang laki-laki dengan anak
perempuan ninik
mamaknya. Dalam suatu perkawinan sebenarnya tidak ada mas kawin dari pihak laki-laki
kepada pihak perempuan. Sebaliknya, kadang-kadang justru pihak perempuanlah yang
memberi sejumlah uang atau barang kepada pihak laki-laki.
Kesatuan hidup setempat berupa sebuah desa yang disebut nagari terdiri atas dua
wilayah, yaitu tempat pemukiman utama dan pusat desa dan taratak yang merupakan
daerah ladang atau hutan. Suatu desa dipimpin oleh kapolo nagari (wali nagari). Setiap
nagari terdiri dari beberapa kampung yang biasanya dihuni oleh suatu suku tertentu.
Pada masyarakat Minangkabau yang cenderung egaliter dan demokratis, secara
kasar ada pelapisan sosial yang hanya berlaku digambarkan melalui istilah-istilah
kamanakan tali pariuk, kamanakan tali budi, dan kamanakan bawah lutuik.
Golongan pertama merupakan keturunan langsung dari keluarga pendatang pertama pada
suatu wilayah yang disebut urang asa (orang asal). Golongan selanjutnya adalah
merupakan keturunan dari keluarga yang datang kemudian. Sedangkan golongan terakhir
merupakan keturunan orang-orang yang menghamba pada urang asa.
Perbedaan kelas sosial yang tajam dalam masyarakat boleh dikatakan tidak ada.
Hanya sedikit pada tingkat kepemimpinan, karena selain penghulu andiko (penghulu
utama) dikenal pemimpin adat lainnya yang disebut tungku tigo sajajaran, terdiri dari
ninik mamak (orang tua bijaksana), cadiak pandai (orang pintar), dan alim ulama.
SUKU BANGSA BUGIS
Suku bangsa Bugis senang menyebut dirinya orang Ugi. Suku bangsa ini
mendiami beberapa kabupaten di propinsi Sulawesi Selatan. Orang Bugis juga banyak
merantau dan mendiami daerah lain di Indonesia, mereka terkenal sebagai petualang dan
pelaut yang ulung.
Menurut ahli etnolinguistik, bahasa Bugis sekelompok dengan bahasa-bahasa
orang Luwu, Sadan, mandar, Sallu, Makasar dan Seko. Bahasa Bugis terdiri atas
beberapa dialek, seperti dialek Bone, Soppeng, Luwu, Wajo, Bulukumba dan lain-lain.
Sejak berabad-abad lalu orang Bugis telah mengenal tulisan sendiri yang disebut aksara
lontarak, yaitu aksara tradisional yang mungkin berasal dari huruf sansekerta yang
ditulis di atas daun lontar.
Prinsip garis kekerabatan orang Bugis tergolong bilateral atau lebih tepat parental.
Hubungan kekerabatan dihitung melalui dua jalur, yaitu hubungan kerabat sedarah yang
disebut seajing dan hubungan kerabat karena perkawinan yang disebut siteppa-teppa.
Kerabat seajing amat besar peranannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain mengurus
masalah perkawinan dan kekerabatan, mereka juga wajib membela dan mempertahankan
siri, yaitu martabat atau harga diri. Keluarga luas tersebut juga menyelenggarakan
upacara-upacara seputar lingkaran hidup, seperti upacara perkawinan, kelahiran,
kematian dan lain sebagainya.
Pada umumnya mata pencahariannya adalah sebagai petani di sawah atau ladang.
Jenis tanaman perdaganagan yang dibudidayakan adalah tembakau, cengkeh, kelapa,dan
buah-buahan. Petani Bugis terkenal ulet seperti pelautnya. Sistem kelautan mereka
menjadikan masyarakat ini disegani oleh suku-suku bangsa lainnya. Mereka pandai
membuat perahu kayu yang ramping dan kuat yang dinamakan pinisi, sedang wanitanya
terkenal dengan kerajinan kain tenun bugis.
Pada masa dahulu, masyarakat Bugis digolongkan ke dalam beberapa lapisan
sosial yang cukup tajam. Golongan keturunan raja dinamakan anakarung (bangsawan),
golongan rakyat biasa dinamakan tomaradika. Kemudian ada pula golongan budak yang
disebut ata, yang berasal dari tawanan perang atau orang yang melanggar hukum adat.
Kepercayaan sebelum agama Islam dianut oleh sebagian besar masyarakat Bugis
adalah meyakini adanya tokoh dewa tertinggi yang disebut dengan beberapa nama, yaitu
patotoe (yang menentukan nasib), Dewata Seuwae (dewa yang tunggal). Selain
kepercayaan, masyarakat Bugis juga melahirkan berbagai macam jenis kesenian.
yang cukup tajam karena pengaruh kerajaan Bugis dan Makasar dulu. Golongan
bangsawan disebut madika, sedangkan golongan rakyat kebanyakan disebut tomakaka.
Agama asli orang Toraja disebut Aluk Todolo, yaitu religi lama yang terpusat
kepada tiga aspek. Aspek pertama, pemujaan kepada tokoh pencipta yang disebut Puang
matua; aspek kedua pemujaan kepada deata (dewa-dewa pemelihara); dan aspek ketiga
pemujaan roh-roh nenek moyang yang disebut to mebali puang.Sistem religi lama ini
juga diwujudkan dalam konsep mereka tentang kematian dan upacara sekitar kematian.
SUKU BANGSA BALI
Suku bangsa bali mendiami pulau Bali yang sampai sekarang menjadi sebuah
propinsi dengan delapan buah kabupaten. Secara tradisional bagian pegunungan di pulau
ini mereka sebut kaja dan bagian dataran rendah arah ke pantai mereka sebut kelot.
Kondisi alam yang bergunung-gunung menyebabkan adanya perbedaan kebudayaan
antara penduduk pegunungan dengan dataran rendah. Penduduk dataran tinggi jumlahnya
lebih sedikit, dan sedikit pula mereka menerima pengaruh dari kebudayaan luar. Bahasa
yang mereka gunakan pun sedikit berbeda dengan bahasa borang Bali pada umumnya.
Kelompok masyarakat yang bermikim di daerah pegunungan ini lebih suka disebut
sebagai orang Aga.
Mata pencaharian utama orang Bali berpusat pada pertanian padi di sawah, yang
sudah berkembang lengkap dengan kelompok-kelompok kesatuan petaninya yang disebut
subak. Jenis mata pencaharian pedesaan lain juga berkembang dengan baik, seperti
pemeliharaan ternak sapi, kerbau, ayam, itik, babi dan sebagainya. Ayam merupakan
hewan kegemaran sabung ayam jantan dengan menggunakan taji besi.
Jiwa kekaryaan masyarakat Bali berkembang hampir dalam segala bidang, seperti
perkembangan karya bangunan rumah tempat tinggal, rumah ibadat, perlengkapan desa,
dan lain-lain. Mereka pandai sekali mengukir kayu, emas, tembaga, batu dan sebagainya.
Kepandaian menenun yang mereka miliki erat berkaitan dengan pola dan kehidupan
sosial budaya masyarakat Bali yang religius. Lingkaran hidup individu maupun
kehidupan bermasyarakat diwarnai oleh rangkaian adat lengkap dengan berbagai
sesajinya.
Masyarakat bali hidup dalam lingkungan permukiman yang disebut pawongan atau
desa yang terdiri atas dua jenis, yaitu desa adat dan desa dinas. Desa jenis pertama
merupakan desa tradisional yang terbentuk berdasarkan ketentuan adat, dan warganya
terikat secara religius ke dalam berbagai kegiatan upacara desa. Pemimpin desa adat
disebut kelian adat atau bandesa asat. Tokoh ini dipilih dari keanggotaan kerapatan adat
desa yang disebut kerama desa untuk waktu yang tidak terbatas. Desa dinas adalah
bentuk desa menurut sistem administrasi nasional yang berada di bawah sebuah
kecamatan. Pemimpin desa dinas disebut perbekel atau bandesa.
Disetiap desa terdapat tempat-tempat ibadat seperti pura puseh, pura desa, dan
pura dalem. Rumah-rumah dalam setiap desa juga didirikan menurut suatu ketentuan
religi, yang mana ruangan-ruangan rumah dan pengerjaannya dibagi-bagi menurut
kepercayaan setempat. Bagian rumah arah ke hulu disebut uramu mandala, yaitu tempat
persembahyangan keluarga. Di bagian ini terdapat bangunan pemujaan kecil yang disebut
sanggah. Bagian tengah rumah merupakan tempat anggota keluarga. Bagian hilir disebut
kawasan nista mandala yang kurang baik sifatnya, sehingga yang ditempatkan pada
bagian itu adalah kandang ternak dan tempat pembuangan kotoran.
Setiap desa di Bali terbagi dalam beberapa buah banjar, yaitu kesatuan hidup yang
berorientasi pada kegiatan-kegiatan sosial ekonomi( pertanian) serta upacara adat dan
religi. Setiap banjar terbagi lagi ke dalam beberapa buah tempekan (kampung).
Kemudian setiap tempekan terbagi lagi atas beberapa buah pekurenan. Kalau desa
dipimpin oleh seorang perbekel, maka banjar dipimpin oleh seorang klian banjar.
Tokoh ini dibantu oleh beberapa orang juru arah atau kesinoman.
Prinsip hubungan kekerabatan orang Bali berdasarkan asas patrilineal (purusa) yang
amat dipengaruhin oleh bentuk keluarga luas patrilineal yang mereka sebut dadia.
Masyarakat Bali dibedakan atas golongan-golongan berdasarkan sistem pelapisan sosial
yang disebut wangsa (kasta). Mereka terikat kedalam perkawinan yg bersifat endogami
dadia atau endogami wangsa. Perkawinan yang dianggap paling ideal adalah
perkawinan antara anak-anak dari dua orang laki-laki bersaudara.
Hampir semua aspek kehidupan sehari-hari masyarakat bali dipengaruhi agama
Hindu Dharma yang mereka anut, karena itu pengertian masyarakat bali tidak bisa
dilepaskan dari sistem religi hindu. Ajaran-ajaran agama Hindu Dharma itu termaktub
dalam kitab suci yang disebut Weda. Agama Hindu Dharma meyakini konsep ketuhanan
Trimurti, yaitu Tuhan yang mempunyai tiga wujud: Brahma (pencipta), Wisnu
(pemelihara), Syiwa (pelebur segala yg ada). Selain itu ada pula beberapa tokoh dewa
yang lebih rendah. Untuk menghormati semua dewa itulah diselenggarakan upacara dan
sesaji. Mereka juga menganggap penting beberapa konsepsi lainnya, misalnya tentang
Roh Abadi yang disebut Athman, adanya buah dari setiap perbuatan (karmapala),
kelahiran kembali (moksa). Upacara kematian dalam sistem religi Bali Hindu selalu
melaksanakan tiga tahapan upacara. Pertama, upacara pembakaran mayat (ngaben),
kedua upacara penyucian (nyekah), dan upacara terakhir upacara ngelinggihang.
Suatu kelompok masyarakat yang menjadi bagian dari sukubangsa Bali adalah
orang Trunyan , yang memiliki keunikan tersendiri. Kebudayaan orang Trunyan
memang agak berbeda dengan kebudayaan Bali Hindu, yaitu mempunyai ciri-ciri
kebudayaan pra-hindu. Ada suatu hal yang sangat menonjol dan unik dari kebudayaan
orang Trunyan ini terutama yang berkaitan dengan peristiwa kematian, bahwa jenasah
tidak dikebumikan atau dibakar seperti yang lazim dilakukan orang Bali hindu, tetapi
dibiarkan membusuk di udara terbuka.
Dalam upacara kematian dilaksanakan pula upacara pemakaman yang disebut
ngutang mayit. Upacara ini mula-mula diadakan di rumah, kemudian dilanjutkan di
tempat pemakaman Sema Wayah (bagi orang yg telah menikah dan mati wajar), atau di
Sema Nguda (bagi mereka yang matin wajar dan belum menikah), serta di Sema bantas
(bagi orang yang matinya tidak wajar). Sistem pemakaman yang dilakukan adalah dengan
cara memasah(exposure), dalam arti jenazah hanya diletakkan di atas tanah tanpa
dikubur.
SUKU BANGSA BADUY
Suku bangsa Baduy digolongkan juga sebagai bagian dari sukubangsa Sunda, karena
kebudayaan dan bahasanya banyak persamaan. Masyarakat baduy terbagi kedalam dua
kelompok, yaitu kelompok Baduy Dalam yang disebut Urang Kajeroan, dan orang
Baduy Luar disebut Urang kaluaran atau Urang Penamping.
Kampung orang Baduy dalam hanya ada tiga buah dan semuanya terletak di wilayah
tanah adat yang mereka sebut taneuh larangan (tanah larangan), yaitu kampung
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gadjah mada University Press.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Antropologi. Jakarta: Djambatan.
Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana,